FILOSOFI
ANGKA “212” PADA NOVEL SILAT WIRO SABLENG
PENDEKAR
KAPAK MAUT NAGA GENI 212 KARYA ALMARHUM BASTIAN TITO.
Dalam penokohan di dalam sebuah cerita memang diperlukan sebuah brand
tertentu yang dapat memudahkan para penikmat cerita untuk mengingat tokoh yang
ada pada sebuah cerita. Tidak hanya nama
tokoh tapi juga bisa sebuah julukan bagi tokoh dalam cerita itu agar menjadi
akrab dalam imajinasi para pembacanya.
Dengan nama dan julukan itu, maka pembaca akan terhanyut dalam menyelami
alur cerita yang mengalir dalam cerita itu sambil berimajinasi bebas dalam penggambaran tokoh tersebut.
Di kesempatan
kali ini..saya akan mencoba mengupas salah satu buku novel silat karangan salah
satu pengarang yang selalu ditunggu-tunggu kelanjutan dari salah satu novelnya,
mekipun ada sedikit kekecewaan di hati penggemarnya, karena ceritanya terputus
tidak ada kelanjutannya lagi hingga tidak diketahui akhir dari ceritanya,
dikarenakan beliau sudah meninggal sebelum menyelesaikan novel beliau. Baiklah, novel tersebut adalah novel silat
“WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212” karangan BASTIAN TITO yang
beliau juga adalah ayah dari aktor muda ternama kebanggaan Indonesia, yaiti Vino G. Bastian. Dalam novel tersebut, terkadang tokoh utama bernama asli Wiro Saksana disebut dengan Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 atau hanya
Pendekar 212 saja.
Nah..sekarang apa maksud dari angka “212” yg
disematkan pada nama tokoh tersebut? Atau hanya deretan angka saja tanpa maksud
tertentu?
Untuk
mengetahuinya, maka kita harus merujuk pada seri perdana buku tersebut yang
beliau beri judul “Empat Berewok Dari Goa
Sanggreng”.
Dalam cuplikan
novel itu, dikisahkan guru dari Wiro Sableng yaitu Sinto Weni atau lebih dikenal dengan Sinto Gendeng memberikan petuah luhur tentang maksud dan kandungan
dari angka “212” yang disematkan pada nama pendekar 212 tersebut pada saat sang
pendekar sudah berumur tujuh belas tahun.
Berikut cuplikan dialog antara guru dan
murid itu, dalam judul “Empat
Berewok Dari Goa Sanggreng”.:
……..
Kesunyian menyeling beberapa
lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau
berada di sini, Wiro!"
"Eyang....," terkejut Wiro Saksana
mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
"Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di
dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang
dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam
ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan
mempelajari ilmu itu dariku...."
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun.
Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada
hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah
barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian.... tujuh belas tahun saat
pembalasan.... Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali.
Dia berdiri di hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
"Segala apa yang ada di dunia ini selalu
terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi
yang menjadi pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti.
"Misalnya Eyang?" tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan.
Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!"
"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada
lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada
mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada
panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek! Semuanya selalu
begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di
atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa
yang ciptakan kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Goblok!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta
kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng.
"Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu
kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau dilahirkan sama
nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di dunia
ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga
diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki
juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin
orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya
juga bikin manusia-manusia miskin. Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau
punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro
memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan
memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini
kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan
dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada melekat
dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa
yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan
adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri
manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin,
lapar kenyang, hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni
Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma
satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi
dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya
satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada
dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam diri manusia musti ada angka
dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti, goblok?!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
"Sekarang berdirilah kau!," perintah
Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri. Eyang Sinto Gendeng
menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya
dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini
mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa
lagi hingga kedua matanya berair.
………
Nah..bagaimana sahabat sekalian?..begitulah penjelasan
dari angka “212” menurut penokohan novel tersebut, walaupun saya tidak membahas
lebih dalam secara detail, tapi saya yakin dan percaya bahwa merujuk pada
dialog di atas, sahabat sekalian dapat menyimpulkan maksud deretan angka 212 tersebut.