WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : KHIANAT SEORANG PENDEKAR
KEDAI minuman itu penuh dengan para pengunjung yang ingin menikmati bandrek, pisang rebus dan kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati bandrekhangat sambil mengobrol dan menghisap rokok.
Tetamu yang ada dalam kedai itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal golok. Pertanda bahwa mereka adalah orang-orang kasar. Seorang pemuda muncul di pintu kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang gondrong basah acak-acakan.
"Saya mencari Memed Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si pemuda lalu meneruskan obrolan mereka, menghisap rokok atau meneguk bandrek. Tak ada yang menjawab. Semua seperti tak acuh seolah-olah pemuda itu tak ada disana.
Orang yang bertanya garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup jelas terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata, "Aku yakin tidak semua orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang menjawab?"
Seorang berdestar hitam berpipi cekung membuka mulut dari belakang meja di mana dia sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai. "Orang yang kau cari tak ada di sini"
"Saya mendapat keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam," berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan masuk ke dalam kedai yang sudah sesak oleh tamu itu.
"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi," kata orang kedai lalu menyarankan. "Tunggu saja di sini sambil minum-minum..."
Pemuda itu memandang berkeliling dan menjawab, "Biar saya menunggu di luar saja..."
"Terserah padamu. Tak ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda tadi balikkan tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai. Udara malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia tetap tegak di tempatnya mematung dan menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi agak pendek berkepala gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.
"Anak muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed Gendut?" salah seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan kecil. Biasa-biasa saja" jawab si pemuda.
"Hemm... Apa yang kecil dan apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak. Matanya liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya hanya ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan begitu. Kami berdua adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika kau ada keperluan kami bisa membantu." Kata si tinggi kekar.
Pemuda itu berpikir sejenak. Akhirnya menjawab. "Terima kasih. Biar saya menunggu Memed Gendut saja.
"Sikapmu tidak mempercayai kami berdua huh?!" kata si pendek botak dan dia melangkah mundar-mandir di depan pemuda itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu golok.
Si pemuda garuk-garuk kepalanya. "Apa gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi apa untungnya kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi besar ulurkan tangannya dan tepuk-tepuk bahu pemuda itu. "Jangan bicara seperti itu anak muda. Orang hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak begitu...?"
"Eh... Aku tadi bilang terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin menunggu Memed Gendut. Tapi kalian seperti memaksa!" Pemuda berambut gondrong yang bertampang seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar karena jengkel.
Si tinggi besar menyeringai dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala botak, lalu berkata pada pemuda di hadapannya. "Memed Gendut terkenal sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang asing mencarinya, pasti urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"
Si pemuda tak menjawab. Si botak kini ikut memegang bahu pemuda itu seraya berkata, "Jika kau memang ingin membeli kuda, serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini. Dalam waktu singkat kami akan kembali membawakan seekor kuda paling bagus untukmu... Nah serahkanlah"
"Serahkan apa?!"
"Uang pembeli kuda!"
"Apa kalian juga pedagang kuda?"
Si tinggi menjawab, "Tadi sudah kami katakan. Kami ingin menolongmu. Ternyata betul kau ingin membeli kuda! Memed Gendut memang pedagang kuda terkenal. Tapi harga kudanya mahal. Kuda milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih murah. Tunjukkan berapa uang yang kau punya?"
"Sudahlah. Biarkan aku sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan minum."
"Hemm " si tinggi besar usap-usap dagunya. "Kalau begitu kau harus bayar uang wara-wiri pada kami!"
"Eh, bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.
"Sebagai ganti rugi karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!" jawab si pendek botak seraya puntir kumis tebalnya.
Pemuda gondrong melongo lalu tertawa gelak-gelak.
"Sialan! Kenapa tertawa!" bentak si tinggi
"Kalian ini berdua mengemis atau hendak memeras?!" tukas pemuda itu.
"Terserah kau mau menyebut apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang yang kau miliki!" bentak si botak.
"Nah, nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri! Kini inginkan semua uangku! Benar-benar wong edan!"
"Srettt! Srettt...!"
Dua bilah golok telanjang tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda itu. Orang lain mungkin sudah pingsan atau terkancing ketakutan dikalungi dua buah golok seperti itu. Tapi anehnya si pemuda malah menyeringai dan keluarkan siulan.
"Kalau begini namanya bukan pengemis atau pemerasan, tapi perampokan!" katanya.
"Tepat sekali! Ini memang perampokan! Lekas serahkan semua uangmu!"
Si botak ulurkan tangan kirinya untuk menggeledah pinggang dan saku pakaian si pemuda. Tapi tiba-tiba pemuda itu hantamkan sikunya ke lambung si botak hingga orang ini terjungkal. Di saat yang bersamaan kawannya si tinggi merasakan satu tendangan menghantam tempurung lututnya hingga hancur dan terjengkang jatuh sambil berteriak kesakitan.
"Plaakkk! Plaakkk...!"
Satu tamparan amat keras melayang ke muka kedua orang itu. Bibir mereka pecah. Keduanya tergelimpang pingsan di bawah cucuran atap.
Suara pukulan dan tendangan serta pekik dan tamparan membuat semua tamu dalam kedai terkejut lalu berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Di luar mereka dapatkan dua kawan mereka tergelimpang pingsan di tanah yang becek sementara pemuda asing yang tadi mencari Memed Gendut tegak tenang-tenang bersidakap lengan. seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di tempat itu.
Seorang menyeruak dari kerumunan para pengunjung kedai dan bertanya, "Ada apa di sini?! Anak muda. Kau yang mencelakai kedua orang ini?"
"Bukan aku. Mereka minta celaka sendiri!" jawab si pemuda. Lama-lama dia merasa muak melihat sikap orang-orang itu. "Aku mencari Memed Gendut! Mereka hendak merampok! Wong edan!"
"Jangan menuduh sembarangan! Mereka adalah orang baik-baik!" Yang bicara adalah pemilik kedai.
"Begitu? Apa kau dapat menerangkan mengapa orang baik-baik mencabut golok dan memaksa aku menyerahkan uang?!"
"Kau mengarang cerita!" Seseorang berkata setengah berteriak.
Lalu beberapa orang membuat gerakan sama. Mencabut golok di pinggang masing-masing. Termasuk si pemilik kedai.
"Hemm... kalau begitu kalian semua ternyata kawanan rampok!" ujar si pemuda. "Rupanya sudah cukup lama kalian berkomplot di daerah ini tanpa pernah mendapat hajaran! Hari ini biar tuan besarmu memberikan, sedikit pelajaran! Majulah ramai-ramai!"
"Pemuda Sombong!"
"Minta mampus!"
Enam orang merangsak maju dengan senjata di tangan. Si pemuda sama sekali tidak takut. Sikapnya berdiri acuh tak acuh. Ketika dua dari enam pengeroyok menyerbu maju, pemuda berambut gondrong keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas. Tangan dan kakinya menghantam kian ke mari.
Maka terdengarlah jerit pekik di tempat itu. Tiga orang langsung terhampar di tanah, merintih kesakitan sambil pelangi dada, kepala atau perut. Dua lainnya tersandar di dinding kedai. Yang satu yang paling parah menyangsang di antara semak belukar di seberang jalan!
Melihat kejadian ini, yang lain-lain melangkah mundur menjauhi si pemuda. Rasa kagum tertutup oleh rasa takut. Ketika pemilik kedai buang senjatanya ke tanah dan masuk ke dalam kedai, yang lainnya pun mengikuti. Tapi ada pula yang segera meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam kegelapan malam.
Si pemuda tiba-tiba merasakan punggungnya di tepuk orang. Cepat dia berpaling dan dapatkan seorang lelaki kecil sangat kurus tegak di hadapannya. Orang ini memberi isyarat seraya berkata,
"Lekas ikuti aku!"
"Kau siapa?" tanya si pemuda curiga.
Orang itu tak menjawab, malah langsung berlari pergi. Meskipun merasa tidak enak tapi akhirnya pemuda itu mengejar juga orang tadi. Jauh di pinggiran desa, dekat pesawahan orang itu perlambat larinya lalu berhenti dan menunggu si pemuda.
"Katakan apa maksudmu menyuruh aku mengikuti?!" tanya si pemuda.
"Bukankah kau mencari Memed Gendut? Akulah orangnya!"
"Kurang ajar! Jangan berani bergurau"
"Aku tidak bergurau! Memang akulah Memed Gendut. Pedagang kuda yang kau cari!"
"Menurutku yang namanya Memed Gendut itu pasti manusianya gemuk besar. Tidak kurus kering cacingan sepertimu ini!"
Orang itu tertawa. "Kau hanya mengenal namaku. Belum pernah bertemu. Bukan kau seorang yang menduga salah. Orang-orang memberi nama itu padaku justru sebagai kebalikan dari keadaan tubuhku yang seperti jerangkong ini!"
"Begitu? Tapi aku masih belum percaya padamu. Bukankah tadi kulihat kau ada di dalam kedai ketika aku pertama kali datang dan bertanya?"
"Betul...!"
"Lalu kenapa kau tidak menjawab?"
"Aku tidak berani."
"Mengapa tidak berani?"
"Kedai dan daerah sini dikuasai oleh gerombolan rampok dan pemeras pimpinan Kumbang Plered. Orangnya, itu yang tinggi besar dan berkumis yang mula-mula mendatangimu bersama si botak. Pemilik kedai adalah salah seorang anak buahnya. Dan aku sejak lama jadi bulan-bulanan pemerasan mereka. Jika ada yang hendak membeli kuda, mereka langsung turun tangan menetapkan harga. Padaku kemudian hanya diberikan sejumlah uang yang sangat kecil. Aku sudah lama ingin meninggalkan daerah ini, tapi mereka mengancam anak dan istriku!"
Memed Gendut yang ternyata hanya seorang lelaki separuh baya bertubuh kurus kering diam sesaat. Lalu dia bertanya, "Kau mencariku apakah hendak membeli kuda...?"
Pemuda rambut gondrong mengangguk. "Tapi aku kawatir uangku tak cukup. Apakah bisa kalau menyewa saja?"
Memed Gendut tertawa. "Sewa menyewa tak pernah kulakukan. Itu urusan bikin repot saja. Melihat kau telah melakukan sesuatu yang hebat malam ini, aku bertanya, berapa uang yang kau miliki?"
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kantong kecil dan menyerahkannya pada si pedagang kuda. Memed Gendut memeriksa lalu memasukkan kantong itu ke dalam saku pakaiannya.
"Uangmu tak cukup untuk membeli sepotong kudapun. Tapi tak apa. Kau orang asing. Dari sini kemana tujuanmu?" tanya Memed Gendut.
"Lumajang."
"Lumajang? Berarti kau akan melewati lautan pasir Tengger. Dengan berkuda terus menerus paling tidak kau membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dan tak mungkin kau hanya memiliki seekor kuda. Paling tidak harus ada seekor kuda cadangan. Kalau hanya membawa seekor kuda, dan terjadi apa-apa dengan binatang itu, kau akan menemui ajal dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil jalan lain. Tapi itu berarti lebih dari sepuluh hari baru sampai di Lumajang."
"Itulah yang tak aku ingini. Aku harus cepat-cepat sampai di sana." Si pemuda tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya berulang kali. "Uangku katamu tidak cukup... Bagaimana ini?"
"Sudahlah, aku akan menolongmu. Boleh aku tahu namamu?"
"Panggil aku Wiro," jawab pemuda gondrong.
"Aku akan berikan dua ekor kuda padamu. Jika kemudian hari kau mau membayar kekurangannya terserah saja. Tapi aku tak begitu mengharapkan..."
"Terima kasih. Kau orang baik. Tapi dari tadi kita hanya bicara saja di pinggir sawah di malam buta dan gelap begini. Aku belum melihat kuda-kudamu..."
"Rumahku di timur sawah ini. Kita berangkat sekarang saja."
Kedua orang itu menyeberangi sawah menuju ke arah timur. Selewatnya pesawahan, dalam kegelapan malam di kejauhan tampak sederetan rumah. Salah satu di antaranya memiliki halaman luas yang diberi berpagar kayu tinggi. Lebih dari selusin kuda kelihatan di balik pagar itu. Inilah rumah Memed Gendut. Ketika sampai di ujung pagar, pedagang kuda ini hentikan langkah. Dia memandang ke arah rumah. Dalam kegelapan tampak sosok-sosok tubuh mendekam di sekitar bangunan.
"Hatiku tak enak. Ada beberapa orang di sekitar rumah. Aku curiga. Jangan-jangan..." kata Memed Gendut.
"Aku juga sudah melihat dari tadi," kata Wiro.
"Tenang saja. Jika orang-orang itu bermaksud jahat akan kugebuk seperti tadi aku menggebuk Kumbang Plered dan anak buahnya."
"Yang aku kawatirkan anak istriku di dalam rumah!" ujar Memed Gendut. Kedua orang itu memasuki pintu halaman.
"Berhenti di sana!" satu bentakan menggema keras di dalam kegelapan malam yang dingin.
"Astaga! Itu suara Kumbang Plered!" bisik Memed Gendut. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah berada di sini?!"
Delapan orang bergerak dari arah bangunan rumah. Semua menghunus senjata di tangan. Golok dan kelewang. Di sebelah depan memimpin seorang bertubuh tinggi besar. Ternyata dia memang Kumbang Plered, kepala gerombolan rampok dan pemeras.
"Memed Gendut!" teriak suara Kumbang Plered. Salah satu kakinya yang luka parah tampak di ikat dan diganjal dengan beberapa potong kayu. "Tidak disangka kau telah berkomplot dengan seorang pemuda asing dan berani melawan kami!"
"Aku tidak berkomplot dengan siapa-siapa Kumbang!" kata Memed Gendut. "Masih berani kau berdusta! Apa yang terjadi di kedai tadi cukup membuktikan tuduhanku! Dan sekarang terbukti lagi kau muncul di sini bersama kawanmu itu! Bagus! Bagus sekali perbuatanmu Memed. Dan kau harus bayar dengan mahal semua itu!"
"Selama ini aku selalu mengikuti kehendakmu Kumbang. Sekarang kulihat kau tidak beritikad baik terhadapku...?"
"Bukan hanya padamu Memed! Tapi juga terhadap kawanmu! Dengar baik-baik. Di dalam rumah dua orang anak buahku siap menggorok leher istri dan tiga anakmu!"
"Ya Tuhan!" pekik Memed Gendut. "Jangan kau celakai anak istriku!"
"Jika kau ingin mereka selamat ikuti kata dan perintahku!" kata Kumbang Plered.
"Apa yang kau inginkan Kumbang...?" suara Memed Gendut bergetar sementara Wiro tegak tak bergerak memperhatikan keadaan di sekitarnya.
"Pertama kawanmu itu harus menyerahkan seluruh uang yang dimilikinya
"Ini ambillah!" ujar Memed Gendut seraya melemparkan kantong uang yang tadi diterimanya dari Wiro.
Kumbang Plered cepat menangkap kantong uang itu. "Kedua, semua kuda yang ada di tempat ini mulai detik ini menjadi milikku..."
"Mati aku! Kumbang! Kau tahu mata pencaharianku adalah berjual beli kuda. Keuntungannya tidak seberapa. Kalau kau merampas semua kudaku bagaimana aku menghidupi anak istriku...!" teriak Memed Gendut dengan suara setengah meratap.
"Kalau begitu kau tak ingin anak istrimu selamat! Apakah perlu kuperintahkan agar mereka segera digorok saat ini?!"
"Jangan...! Jangan lakukan itu Kumbang! Kau boleh ambil semua kuda itu. Lalu pergi dari sini!" Kumbang Plered menyeringai.
"Bagus! Rupanya kau betul-betul mencintai anak istrimu. Hal ketiga! Kawanmu itu akan kami tangkap hidup-hidup. Jika dia berani melawan, anak istrimu tetap akan jadi korban!"
Memed Gendut berpaling pada Wiro. Si pemuda tampak berubah parasnya. Dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.
"Ada apa kau ingin menangkapku?!" tanya Wiro.
"Pertama karena apa yang telah kau lakukan terhadap kami di kedai bandrek tadi! Kedua kami mengetahui kau mengandung maksud buruk pergi ke Lumajang. Jadi kau pantas ditangkap dan diserahkan pada Adipati Kebo Penggiring!"
"Keparat setan alas!" Wiro memaki dalam hati. "Apakah bergundal sial ini benar-benar mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada Kumbang Plered Wiro tak ingin menunjukkan keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek, "Rupanya pelajaran yang kuberikan di kedai minuman itu masih belum cukup. Kau ingin kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"
Kumbang Plered meludah ke tanah. Saat itu bibirnya masih mengeluarkan darah akibat tamparan keras Wiro. "Pemuda gembel buruk! Jangan berlagak jagoan di hadapanku. Kau kenal dua temanku ini...?"
Kumbang Plered menunjuk pada dua lelaki berpakaian merah di sampingnya. Wiro ingat betul. Dua orang ini tidak ada dalam kedai bandrek ketika dia datang ke sana. Rupanya Kumbang Plered sengaja datang ke situ membawa mereka untuk dimintakan bantuan. Berarti keduanya memiliki kepandaian yang diandalkan.
"Siapa dua ekor kunyuk itu mana perduliku!" menyahuti Wiro.
Kumbang Plered tertawa mengekeh. Sedang dua orang berpakaian merah tampak berubah garang tampang mereka karena dicaci sebagai kunyuk oleh Wiro.
"Kawan-kawan, kalian dengar sendiri. Mulutnya terlalu lancang. Menurut hematku kalau tak dapat ditangkap hidup-hidup mayatnya pun cukup berharga. Bagaimana pendapat kalian?!"
Salah satu dari dua orang berpakaian merah itu menjawab, "Kami lebih suka mematahkan batang lehernya!"
Lalu dia memberi isyarat pada kawan di sebelahnya. Lima orang anak buah Kumbang Plered segera menyebar, mengurung. Memed Gendut menjauhkan diri ke sudut halaman. Dua lelaki berpakaian merah tampaknya hanya mengandalkan sepasang tangan kosong, bergerak mendekati Wiro. Siapakah kedua orang berpakaian serba merah ini?
Yang berjanggut macam kambing bernama Kuto Simpul. Kawannya yang bermata jereng bernama Reso Bondo. Sekitar setahun lalu kedua orang ini ikut menjadi pimpinan dari satu kelompok rampok hutan Roban yang ganas. Keduanya kemudian memisahkan diri lalu meneruskan kehidupan sesat dengan berkeliaran sebagai manusia-manusia bayaran.
Kalau dulu mereka malang melintang dalam rimba belantara maka kini keduanya berkeliaran di Kadipaten-Kadipaten bahkan tak jarang muncul di Kotaraja. Mereka akan melakukan apa saja, mulai dari membunuh dengan meracun sampai menjagal batang leher korban, asalkan mendapat bayaran. Karenanya tidak heran kalau kedua orang ini banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh golongan sesat tapi juga pejabat-pejabat kerajaan.
Kumbang Plered termasuk salah seorang yang rapat hubungannya dengan kedua orang ini. Karena kebetulan mereka berada di daerah itu, setelah dihajar oleh Wiro, Kumbang Plered memerintahkan anak buahnya menemui Kuto dan Reso. Bersama-sama mereka mendatangi rumah Memed Gendut. Dugaan mereka bahwa pedagang kuda dan pemuda itu akan muncul bersama di sana ternyata tidak meleset.
Melihat dua orang itu maju tanpa keluarkan senjata, Wiro segera maklum kalau mereka tidak boleh dianggap remeh. Namun dasar sikapnya yang suka menggoda dan mencemooh orang, pemuda ini enak saja kembali mengejek.
"Ayo dua ekor kunyuk majulah. Kalian membela bangsa perampok dan pemeras berarti kalian sama saja isi perutnya!"
Kuto Simpul dan Reso Bondo marah bukan main. Seumur hidup baru kali itu keduanya menerima penghinaan demikian rupa. Didahului dengan bentakan-bentakan garang, keduanya berkelebat menyerang. Suara serangan mereka mengeluarkan angin deras tanda keduanya memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang tinggi.
Untuk menjajaki sampai di mana kekuatan lawan, Wiro sengaja menyongsong dengan kedua lengan terpentang, berusaha mengadu tangan. Tapi dua orang lawan berlaku cerdik. Mereka menghindari terjadinya bentrokan pukulan, sebaliknya serentak menyebar ke kiri dan kanan lalu menghantam dengan pukulan tangan kosong.
"Wuttt! Wuttt...!"
Dua angin pukulan menerpa dengan deras. Wiro melompat ke belakang. Kedua tangannya diangkat ke atas. Masing-masing telapak melambai menyapu-nyapu. Terdengar suara menderu. Kuto dan Raso tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan mereka bukan saja menjadi buyar, tetapi membalik ke arah mereka sendiri!
Kedua orang itu cepat jatuhkan diri. Begitu menjejak tanah mereka gulingkan diri sambil kaki kirimkan tendangan. Kuto menendang ke arah kaki kanan Wiro sedang Reso Bondo menghantam ke arah dada. Mau tak mau Wiro terpaksa cari selamat dengan jalan melompat ke atas. Dari atas pemuda ini kembali kebutkan kedua tangannya. Tapi lawan sudah berguling lagi menjauh. Sambil bangkit Kuto Simpul berbisik pada kawannya.
"Reso, pemuda ini bukan cacing tanah sembarangan. Hati-hatilah!"
"Kau betul," sahut Reso Bondo. "Sebaiknya kita keluarkan empat jurus perampok mabok sekarang juga!"
Kuto Simpul mengangguk tanda setuju. Dari mulut kedua orang itu tiba-tiba keluar suara tawa berkakakan terus menerus. Sambil tertawa keduanya bergerak berputar-putar mengelilingi Wiro. Tangan dan kaki mereka ikut bergerak tiada putus-putusnya, memukul dan menendang, membuat Wiro terjepit di tengah-tengah dan siap jadi bulan-bulanan serangan.
"Jurus rampok mabok!" seru Kumbang Plered dalam hati dan terkejut. "Baru beberapa gebrakan mereka sudah mengeluarkan jurus hebat itu. Apakah pemuda keparat itu benar-benar luar biasa?"
"Hai! Kalian benar-benar seperti kunyuk mabok durian?'!" Wiro berteriak. "Menjauhlah! Badan kalian menebar bau busuki" Baru saja pemuda itu mengejek demikian, satu pukulan menghantam dadanya sebelah kiri.
"Bukkk...!"
"Kena!" seru Kuto Simpul giring walaupun mulutnya tampak meringis karena tangannya yang tadi berhasil menghantam dada lawan terasa sakit. Selain menahan sakit Kuto juga menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi jangankan membuat lawan terjungkal, cidera pun tidak. Maka diapun memberi isyarat pada Reso Bondo untuk melipat gandakan arus serangan dan menambah cepat gerakan memainkan jurus-jurus perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.
Memed Gendut yang melihat si pemuda terdesak malah kena pukul menjadi semakin ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk menemui anak istrinya. Tapi dua orang anak buah Kumbang Plered cepat menghadangnya dan menekankan ujung golok ke perut pedagang kuda itu.
"Lepaskan anak istriku! Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Memed Gendut Tubuhnya terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.
Sementara itu Kuto Simpul dan Reso Bondo sudah mulai menyerbu Wiro sambil terus berteriak-teriak. Empat jurus perampok mabok sebenarnya merupakan ilmu silat yang bukan sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan ilmu silat itu Kuto dan Reso telah membuat diri mereka ditakuti di mana-mana. Namun malam itu keduanya berhadapan dengan seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh berada di atas mereka. Meskipun telah melipat gandakan kecepatan serangan, tapi sampai jurus ke empat selesai, keduanya tidak berkesempatan untuk mendapatkan pukulan ataupun tendangan ke tubuh Wiro.
"Hai! Kenapa kalian berhenti barteriak-teriak?!" Wiro bertanya mengejek. "Rupanya sudah sembuh dari kerasukan setan?!"
"Keparat!" gertak Reso Bondo. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangan kanannya diluruskan dan menusuk deras ke tenggorokan Wiro. Kawannya tak tinggal diam, kirimkan tendangan ke bawah perut si pemuda.
"Hemm... Kali ini rasakan bagianmu!" kata Kumbang Plered yang merasa yakin serangan mendadak dan cepat dari kedua orang berpakaian merah itu pasti akan menghantam tubuh si pemuda. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Wiro miringkan tubuhnya ke belakang. Tusukan lima jari tangan Reso Bondo hanya menembus udara kosong. Di saat yang sama pemuda itu lepaskan tendangan kaki kanan, membabat kaki Kuto Simpul yang menderu ke arah selangkangannya. Sebelum tubuhnya jatuh punggung di tanah, Wiro masih sempat mencekal pergelangan tangan Reso Bondo lalu menyentakkan sekuat tenaga!
Gerakan yang dibuat Wiro bukan saja sangat sulit tapi sungguh luar biasa. Tubuh Reso Bendo laksana dilabrak topan, menderu jungkir balik di udara dan terhempas keras di tanah tanpa dia bisa membuat gerakan mengimbangi diri atau mampu berusaha jatuh di atas kedua kaki. Mata jereng manusia ini membeliak dan dari mulutnya terdengar suara gerung kesakitan. Kening dan hidungnya lecet berdarah disungkur tanah!
Dibandingkan dengan kawannya yakni Kuto Simpul si janggut kambing, Reso Bondo masih mending. Kalau dia cuma lecet kening dan hidung maka Kuto Simpul terdengar menjerit ketika tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tendangan Wiro. Tubuhnya terjengkang dan dia tak kuasa berdiri lagi.
"Keparat!" maki Reso Bondo seraya berdiri terhuyung-huyung. Dia berpaling pada Kumbang Plered dan berteriak, "Kumbang! Perintahkan orang-orangmu di dalam rumah membunuh perempuan dan anak-anak itu!"
"Jangan!" terdengar jeritan Memed Gendut. "Jangan ganggu anak istriku!"
Reso Bondo melompat dan menjambak rambut pedagang kuda itu. Dia memandang ke jurusan Wiro dan berteriak, "Kau dengar ratap orang ini? Jika kau tidak mau menyerah perempuan dan anak-anak di dalam rumah akan kusuruh bunuh!"
"Sialan! Bangsat ini benar-benar nekad!" maki Wiro dalam hati. "Kalau kau berani melukai perempuan dan anak-anaknya itu aku bersumpah untuk membunuhmu lebih dulu!" gertak Wiro.
"Bagus! Akan kita lihat! Siapa yang bakal mampus duluan!" ujar Reso Bondo mendengus. "Seret perampuan dan dua anak itu keluar rumah!"
Kumbang Plered melangkah terpincang-pincang. Walaupun dia berjalan dalam keadaan satu kaki cidera dan dengan bantuan tongkat kayu, tapi gerakannya masih cukup cepat. Dia masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian muncul lagi diikuti dua orang anak buahnya. Yang paling depan menyeret seorang perempuan yang tengah hamil besar. Di sebelah belakang menyusul lelaki kedua sambil mencekal leher pakaian dua orang anak lelaki kecil berusia dua dan tiga tahun. Kedua anak ini menangis menjerit-jerit
Kumbang Plered cabut golok besarnya dan letakkan ujung senjata itu di atas perut istri pedagang kuda sementara Reso Bondo angkat kedua tangannya ke atas, siap mengemplang kepala dua orang anak Memed Gendut!
"Baiklah! Aku menyerah!" kata Wiro sementara Memed Gendut meratap menyembah-nyembah di hadapan Reso Bondo agar kedua anak dan istrinya jangan dilukai, apalagi sampai dibunuh. "Kalian mau tangkap aku silahkan" ujar Wiro.
Kuto Simpul yang masih terkapar di tanah segera berteriak pada anak-anak buah Kumbang Plered. "Lekas kalian tangkap dan ikat pemuda gondrong itu!"
Tiga orang anak buah Kumbang Plered cepat maju mendekati Wiro. Salah seorang di antaranya membawa segulung tali. Wiro ulurkan tangan. Lelaki yang membawa tali segera bertindak untuk mengikat. Dua kawannya mencekal leher dan pinggang Wiro.
"Bagus... bagus! Ini yang aku mau!" kata Wiro dalam hati. Begitu tiga orang itu benar-benar sudah sangat dekat dengan dia, tangannya yang diulurkan dan baru saja dilingkari tali, meluncur ke depan dan ke samping, merampas golok yang tersisip di pinggang dua dari tiga anak buah Kumbang Plered. Gerakan pemuda ini demikian cepatnya. Tiga anak buah rampok dan pemeras itu menjerit keras ketika dua batang golok di tengah kiri kanan Wiro berkelebat.
Orang yang hendak mengikatkan tali terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berlumuran darah disambar golok. Kawannya di sebelah kiri jatuh tersungkur sambil meraung dan pegangi lengan kirinya yang putus. Sementara lelaki ke tiga menjerit keras sambil pegangi mukanya yang robek mulai dari dagu sampai pipi kanan.
Selagi Kuto Simpul, Reso Bondo dan Kumbang Plered serta yang lain-lainnya terkesiap kaget melihat apa yang terjadi, dua golok di tangan Wiro telah melesat di udara. Satu menancap di pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki bermata jereng ini keluarkan jerit keras, tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur jatuh menelungkup, membuat golok yang menancap di dadanya menembus lebih dalam hingga tersembul di punggungnya. Nyawanya tak tertolong lagi.
Kumbang Plered yang menyaksikan kematian Reso Bondo dengan mata melotot sama sekali tidak menyadari kalau golok kedua yang dilemparkan Wiro menderu ke arahnya. Dia baru tersentak kaget sewaktu senjata itu menderu dan menancap di lambungnya. Tongkat kayu lepas dari tangannya. Kepala rampok dan pemeras ini menjerit dua kali lalu roboh. Sesaat tubuhnya tampak berkelojotan setelah itu tak bergerak lagi!
Dua orang anak buah Kumbang Plered yang tadi menyeret dan mencekal anak istri Memed Gendut putus nyali. Serta merta mereka lepaskan perempuan dan dua anaknya itu lalu ambil langkah seribu. Beberapa orang kawan-kawannya yang juga ikut leleh keberanian mereka segara menghambur melarikan diri. Memed Gendut segera merangkul istri dan kedua anaknya.
Wiro melangkah mendekati mayat Kumbang Plered. Dari balik pakaian orang ini dia keluarkan kantong berisi uang miliknya yang dirampas dan melemparkan benda itu ke dekat Memed Gendut. Lalu Wiro melangkah menghampiri Kuto Simpul yang saat itu merangkang di tanah tengah berusaha melarikan diri dalam keadaan kaki patah.
"Janggut kambing! Kau mau lari ke mana?" Wiro membentak dan lelaki berpakaiarr merah ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel di keningnya.
Tubuhnya menggigil saking ketakutan. "Ampuni selembar jiwaku!" pintanya meratap.
Wiro menyeringai. "Lekas kau terangkan mengapa kau bersama konco-koncomu yang sudah mampus itu ingin menangkap aku. Tadi kalian menyebut-nyebut nama Adipati Lumajang. Ada sangkut paut apa kalian dengan Kebo Penggiring?!"
"Aku... kami " Kuto Simpul tampak seperti hendak berkelit.
Wiro injak kakinya yang patah hingga lelaki berjanggut kambing ini melolong setinggi langit.
"Rupanya satu kaki belum cukup! Apa ingin kupatahkan lagi kakimu satu lagi...?!" sentak Wiro.
"Jangan... Ampun! Aku akan bicara..."
"Bagus! Apa yang kau ketahui. Awas kalian berani dusta!"
"Tiga hari lalu seorang utusan Kebo Penggiring datang menemui Kumbang Plered. Keduanya kemudian menemui kami, maksudku aku dan Reso Bondo. Utusan itu memberi sejumlah uang dan perhiasan dengan perintah agar kami menangkapmu hidup atau mati..."
Wiro usap-usap dagunya lalu garuk-garuk rambutnya yang gondrong basah. "Kenapa Adipati Lumajang menginginkan diriku?" tanya Wiro.
"Demi Tuhan! Kalau itu kau tanyakan akupun tidak tahu!" jawab Reso Bondo lalu mengerang lagi kesakitan.
"Baik kalau begitu. Sekarang mana uang dan perhiasan yang kau terima dari utusan Adipati Lumajang itu...?"
"Aku tidak membawanya..."
Wiro menyeringai. "Jangan berani berdusta. Berikan uang dan perhiasan itu padaku! Atau kupatahkan kakimu satu lagi!"
"Ampun! Jangan, ini ambillah!" Dari dalam saku baju merahnya Kuto Simpul keluarkan sehelai selampai putih yang dipakai membungkus uang dan perhiasan. Benda itu diserahkannya pada si pemuda.
Wiro menimang-nimangnya sesaat lalu berkata, "Kau boleh pergi janggut kambing. Tapi ingat! Jika kau berani mengganggu pedagang kuda itu dan keluarganya, dadamu akan kutembus dengan golok seperti yang terjadi dengan kawanmu! Kau dengar janggut kambing?"
"Aku... aku dengar..." jawab Kuto Simpul. Lalu dengan susah payah dia merangkak, mencoba tegak tertatih-tatih, melangkah terpincang-pincang meninggalkan tempat itu.
"Anak muda! Tidak kusangka, kau bukan pemuda biasa rupanya. Aku dan istriku serta anak-anak mengucapkan tarima kasih "
"Huss!" Lskas berdiri!" sentak Wiro ketika dilihatnya Memed Gendut membawa anak istrinya dan berlutut di hadapannya. "Aku bukan Dewa atau Tuhan yang pantas kau sembah-sembah Dengar, aku akan pergi sekarang. Aku butuh kudamu. Pilihkan aku baik-baik..."
"Kau boleh ambil semua kuda kuda itu!" kata Memed Gendut seraya berdiri.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepala. Seperti katamu tadi aku hanya perlu dua ekor kuda..."
Memed Gendut segera memilih dua ekor kuda yang besar dan tegap sementara istrinya disuruh mengambil kantong kulit berisi air. Dua ekor kuda dan kantong air itu kemudian diserahkan pada Wiro.
Sesaat setelah naik ke atas kuda Wiro memandang pada pedagang kuda itu lalu berkata, "Sebaiknya kau menukar nama mu. Nama Memed Gendut tidak cocok dengan keadaan dirimu. Dan mungkin nama itu yang selalu membawa sial bagimu..."
"Lalu apa nama yang pantas bagiku?" tanya si pedagang kuda.
"Memed Kerempeng!" jawab Wiro. Ditepuknya pinggul kuda yang ditungganginya. Binatang ini menghambur ke depan. Kuda yang terikat di sebelah belakang lari mengikut.
Memed Gendut dan anak istrinya tegak memperhatikan kepergian pemuda itu yang akhirnya lenyap di kegelapan malam.
"Dia mungkin betul. Mulai saat ini kuganti namaku jadi Memed Kerempeng!" kata si pedagang kuda pula.
"Benar pak! membenarkan istrinya. "Nama itu kurasa lebih cocok untukmu... Bukan saja untuk membuang sial, tapi sekaligus guna mengingatkan kita pada budi besar pemuda itu..."
Teriknya sinar matahari laksana membakar pedataran pasir yang seperti tak berujung itu. Kuda yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat berlari sekencang yang dikehendaki. Bukan saja panasnya udara membuat binatang itu menjadi lebih cepat letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah mencengkeram kaki-kaki binatang itu. Keringat dan ludah membuih di sudut mulutnya. Di sebelah belakang kuda cadangan berlari mengikuti kuda induk dalam keadaan hampir tak berbeda.
Wiro mengambil kantong kulit yang berisi air dan tinggal setengahnya. Meskipun rasa haus membakar dada dan tenggorokannya tapi pemuda ini tak mau meneguk air itu banyak-banyak. Sulit baginya untuk menduga sampai barapa lama dia akan mengarungi pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu. Kalau persediaan air habis sedang tujuan masih jauh, bisa-bisa dia mati kehausan di perjalanan. Wiro menyeka mulutnya dengan belakang telapak tangan. Tangan yang masi basah itu diusapkannya ke mulut kuda
Sejauh mata memantang hanya pedataran pasir yang terlihat. Murid Sinto Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-lurus ke tenggara. Kulitnya terasa perih oleh sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Kalau saja bukan untuk memenuhi pemintaan tolong seorang sahabatnya, tidak nanti dia mau mengadakan perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain itu Wiro juga sadar, keselamatan dan kehormatan diri seorang gadis jelita harus dibelanya. Terbayang kembali pertemuannya dengan orang tua itu sekitar dua minggu lalu di bukit Tumbalsari.
Hari itu Wiro melintasi bukit tersebut dan seperti kebiasaannya sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Mendadak terdengar suara membentak Demikian kerasnya hingga bukit itu membahana di liang telinga si pemuda berdenyut.
"Keparat setan alas! Siapa yang bersiul-siul membuat berisik belantara mengganggu ketentraman orang!"
Wiro terkesiap kaget, hentikan langkah dan memandang ke atas pohon besar sebelah kanan dari arah mana tadi datangnya suara bentakan itu. Namun tak seorang pun tampak di atas sana. Wiro tegak berdiam diri sesaat. Kemudian kembali dia mengukirkan siulan. Pendek saja tapi keras karena disertai pengerahan tenaga dalam. Suara siulan itu bergema beberapa lamanya di atas bukit namun sirna tertindih oleh bentakan.
"Edan! Sombong amat tidak perdulikan peringatan orang! Anak muda tak tahu diri kau mengandalkan apa?!"
Wiro jadi jengkel dan balas membentak. "Bukit dan rimba belantara ini bukan milikmu. Disini diam berbagai binatang, mendekam segala setan gentayangan. Mengapa kau mengambil sikap sebagai pemilik tunggal? Jika tak ingin terganggu mengapa berada di sini? Bicara besar tapi tak berani unjukkan tampang!"
Terdengar suara gelak mengekeh yang membuat liang telinga murid Sinto Gendeng terngiang-ngiang. Suara tawa itu demikian dekatnya dan keras, namun tetap saja Wiro tak dapat mengetahui di mana manusia yang tertawa itu berada!
"Jika kau mau melihat tampangku, mari naik ke atas sini!"
Wiro mendongak ke atas. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendesir halus. Wiro cepat mengambil sikap waspada karena menyangka ada senjata rahasia yang menyerangnya. Tapi tak kelihatan apa-apa. Tahu-tahu sebentuk benang putih yang sangat halus, berkilau kilau oleh sentuhan sinar matahari yang menembus di sela-sela daun pepohonan, meluncur cepat ke arahnya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa benang putih itu telah menjirat lehernya. Tidak terlalu kencang namun cukup membuat nafasnya menyengal.
"Setan alas!" maki Wiro Sableng. Secepat kilat dia pergunakan tangan kanannya menjepit benang itu. Tapi astaga! ternyata dia tidak mampu memutus benang yang begitu alot itu. Wiro coba mengingat-ingat pada masa beberapa tahun yang silam. Dia seperti pernah melihat benang halus itu sebelumnya. Waktu itu si pemilik benang melibat pinggangnya. Namun dengan mudah diputusnya. Apa mungkin benang dan pemiliknya saat ini bukan orang yang dulu?
Selagi pemuda itu berpikir-pikir tiba-tiba dia merasakan satu sentakan keras. Lehernya yang tergulung benang halus tertarik kuat dan tubuhnya terangkat laksana terbang ke atas sebatang pohon tinggi yang berada dua tombak di hadapannya. Wiro merasakan batang lehernya seperti digorok oleh benang halus itu. Secepat kilat dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai suara menderu seperti suara ribuan tawon mendengung.
"Crasss...!"
Benang halus putih yang menjirat lehernya putus. Terlepas dari ikatan benang aneh itu sebenarnya Wiro kini bisa jatuhkan diri kembali ke tanah. Tapi sebaliknya pemuda ini malah terus melesatkan diri ke atas pohon, jungkir balik dua kali berturut-turut, dalam kejap dia sudah menyelinap dan tegak di salah satu cabang pohon. Hal ini dilakukannya karena dia sudah merasa yakin, orang-orang yang tadi menjiratnya sembunyi di pohon itu, di balik kerapatan daun-daun.
"Ha-ha-ha...! Rupanya si nenek peot Sinto Gendeng itu benar-benar telah mewariskan Kapak Maut Naga Geni 212 pada muridnya!"
Kata-kata yang disertai tawa itu membuat Wiro Sableng terkesiap kaget. Ternyata orang mengenali kapak yang masih tergenggam di tangan kanannya. Lebih dari itu malah juga mengetahui siapa gurunya! Tanpa pikir panjang Wiro babatkan senjata mustika itu ke depan.
"Kraakkk! Kraakkk! Byuurrr...!"
Dua cabang besar terbabat putus. Ranting-ranting pohon berikut daun-daunnya remuk dan berguguran ke bawah. Setengah dahan pohon itu kini tampak gundul! Dan di salah satu cabang kecil kini tampak duduk seorang kakek berjanggut putih, berpakaian selempang kain putih, tertawa mengekeh, memandang pada Wiro sambil kedip-kedipkan mata kirinya. Pendekar 21? Wiro Sableng cepat putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam. Yang hendak diserang tetap duduk tenang-tenang. Mendadak Wiro tahan gerakannya.
"Aih! Benar si tua bangka dulu itu!" seru Wiro dalam hati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanannya lalu simpan senjatanya di balik pinggang. "Dewa Tuak...!" seru Wiro kemudian.
Orang tua itu kembali tertawa panjang. Janggutnya yang putih berkibar-kibar di tiup angin. Sambil mengelus janggutnya dia berkata, "Enam tahun aku mematangkan benang suteraku. Ternyata tak mampu menahan tebasan kapak mu! Percuma saja menghabiskan waktu. Tapi aku senang kau masih mengenali tua renta ini. Apa kabarmu anak muda...?"
Orang tua itu yang berjuluk Dewa Tuak merupakan tokoh silat terkemuka di delapan penjuru angin. Usianya jauh lebih tua dari Eyang Sinto Gendang, Di pangkuannya ada sebuah tabung bambu besar. Sebuah tabung yang sama tergantung di belakang punggungnya. Si orang tua angkat bumbung bambu yang dipangkuannya, mendekatkan ujungnya ke mulut. Lalu...
"Glukkk! Glukkk! Glukkk...!"
Dia meneguk tuak harum yang ada dalam bumbung bambu itu sampai berlelahan ke pipi dan dagunya.
"Aku baik-baik saja Dewa Tuak. Bagaimana dengan dirimu bertanya Wiro.
Dewa Tuak turunkan bumbung bambunya. Sambil geleng-geleng kepala dan unjukkan wajah sedih orang tua ini berkata, "Aku sedang sial! Seseorang telah mengkhianati diriku. Eh, kau masih ingat pada murid perempuanku bernama Anggini? Yang tempo hari ingin ku jodohkan padamu. Tapi kau terlalu sombong dan menampiknya..."
"Maafkan aku Dewa Tuak. Aku sama sekali tidak sombong. Hanya saja untuk urusan jodoh saat itu aku belum bisa memikirkan..."
"Lalu sekarang apakah kau sudah memikirkan?" tanya Dewa Tuak.
"Masih belum " sahut Wiro.
"Tapi kau tidak melupakan muridku itu, bukan?
"Tentu saja tidak..."
"Bagus! Hanya saja dia ditimpa malapetaka saat ini. Dan itulah sebabnya aku sengaja mencegatmu disini...!"
"Apa yang telah terjadi dan mengapa kau mencegatku di sini, orang tua?" bertanya Wiro Sableng. Dia kini duduk di atas cabang di bawah cabang kecil yang diduduki Dewa Tuak.
"Beberapa tahun sebelum aku mengambil Anggini jadi murid, aku pernah mempunyai seorang murid lain. Seorang pemuda bernama Penging. Ternyata kemudian kuketahui bahwa pemuda itu bukan seorang manusia baik. Hatinya sangat culas. Selain itu dia banyak berhubungan dan bergaul dengan orang-orang jahat. Setelah kuberi nasihat beberapa kali dia selalu mengabaikan, akhirnya aku mengambil keputusan, tidak lagi menganggapnya sebagai murid. Dia kusuruh meninggalkan pertapaan dan kembali ke kampungnya. Kuketahui kemudian Penging tidak kembali ke kampung, tapi bertualang bersama manusia-manusia jahat. Membuat keonaran di mana-mana, membunuh dan merampok. Aku menyesal telah mengambilnya jadi murid, apalagi mengingat hampir seluruh ilmu silatku sudah kuturunkan padanya.
Tiga bulan lalu tiba-tiba dia muncul di pertapaanku, berlutut dan menangis. padaku diakuinya semua kesesatan, kejahatan dan segala dosa perbuatannya. Dia mengatakan telah insaf dan tobat. Ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin mengabdikan diri lagi menjadi muridku, bahkan katanya ingin jadi pertapa..."
"Lalu, apa kau menerima permintaannya itu. Dewa Tuak?" tanya Wiro.
Si kakek menggeleng. "Sekali aku tidak percaya pada seseorang, apapun janjinya tak akan lagi mau kudengar. Dia kusuruh pergi. Saat itu hari sudah malam. Karena kasihan aku hanya memperbolehkannya menginap dan besok pagi-pagi harus sudah meninggalkan pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun Penging telah lenyap. Bersama lenyapnya orang itu, lenyap pula sebuah buku milikku yang sangat berharga. Jelas manusia keparat itu telah mencurinya. Rupanya itulah sebenarnya kedok kedatangannya
"Kalau aku boleh bertanya, buku apakah yang dicuri bekas muridmu itu?"
"Sebuah buku tipis terdiri dari tiga halaman. Buku ini berusia lebih dari seratus tahun. Lebih tua dari umurku dan merupakan warisan guruku. Halaman pertama berisi pelajaran ilmu silat kuno yang merupakan inti sari dari ilmu silat yang kumiliki dan yang kuajarkan pada murid-muridku. Siapa yang menguasai ilmu itu dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika digunakan untuk kesesatan, sulit menumpasnya.
Halaman kedua berisi dasar-dasar penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam. Ini juga merupakan ilmu yang berbahaya jika dipakai untuk kejahatan. Lalu halaman terakhir berisi sejumlah ilmu pengobatan ampuh berdasarkan penusukan urat-urat syaraf dan darah. Sebenarnya buku itu akan kuwariskan pada muridku Anggini. Tapi kini segala sesuatunya sudah kapiran. Bangsat itu keburu mencurinya!"
"Muridmu yang bernama Anggini itu sendiri sekarang berada di mana...?" tanya Wiro.
"Itulah yang menjadi pikiranku pula," sahut Dewa Tuak seraya usap-usap janggut putihnya. "Tiga hari setelah Penging mencuri kitab itu, Anggini muncul. Langsung saja padanya kuberikan tugas untuk mengejar Penging. Dibandingkan dengan lelaki itu tingkat kepandaian Anggini memang lebih tinggi. Namun yang membuatku khawatir ialah sampai sebegitu jauh tak ada kabar dari Anggini. Malah kemudian dari seorang sahabat kuketahui bahwa sebenarnya Penging telah menjadi orang besar sejak dua tahun lalu. Entah bagaimana ceritanya dia kini menjadi Adipati Lumajang dan namanya diganti menjadi Kebo Penggiring. Dalam pengejarannya Anggini sampai ke Lumajang. Namun di sana dia justru kena ditangkap oleh orang-orang Kebo Penggiring. Kabarnya jika dalam batas waktu yang ditentukan gadis itu tidak mau menuruti kehendak Kebo Penggiring untuk mengawininya, Anggini akan dirusak kehormatannya lalu digantung dengan tuduhan hendak memberontak pada Kerajaan..."
"Gila betul!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Lebih dari gila!" menukas Dewa Tuak.
"Sudah begitu kejadiannya mengapa kau tidak langsung turun tangan?" bertanya Wiro.
"Itulah memang tadinya yang aku rencanakan. Namun, ada beberapa pertimbangan. Di usia yang sudah dekat liang kubur ini, aku tak ingin lagi mencari keributan. Aku ingin hidup tenteram tanpa melakukan kekerasan apalagi sampai mengalirkan darah. Semua itu akan menjadi sebab musabab dendam kesumat. Kudengar Kebo Penggiring dekat dengan Keraton. Berarti aku akan berhadapan dengan tokoh-tokoh tertentu yang sebenarnya kuketahui adalah sahabatku..."
"Kalau begitu kau minta saja pertolongan mereka."
"Tidak semudah itu. Manusia-manusia yang hidup di kota besar mengukur sesuatu tindakan dengan nilai untung rugi. Tak perduli apakah yang minta bantuan seorang sahabat atau bukan. Urusan macam begini belum apa-apa akan membuatku jengkel dan marah. Mau ku semua manusia macam begitu layak dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi ini berarti akan muncul musibah besar "
"Lalu apa rencanamu Dewa Tuak?"
"Aku mendapat petunjuk dari seorang tua yang biasa dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Kau kenal padanya...?"
"Kenal sekali!" jawab Wiro. "Aku beberapa kali mendapat petunjuknya."
"Nah, dialah yang memberi tahu kalau saat ini kau berada di daerah ini. Dia pula yang menasihatiku agar aku menerimamu, menuturkan apa kesulitanku lalu meminta agar kau menolongku..."
"Ah...!" Wiro garuk-garuk kepala.
Dewa Tuak menatap paras pemuda itu sesaat lalu berkata; "Jika kau tak mau memandangku dan keberatan menolongku, kau harus sudi memandang Si Segala Tahu"
Wiro terdiam. "Aku menunggu jawabmu, anak muda."
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Wiro akhirnya.
"Pergi ke Lumajang. Selamatkan Anggini. Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya itu "
"Hanya itu " mengulang Wiro dalam hati. Tetapi dia yakin bahwa persoalan yang bakal dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa Tuak tadi telah menerangkan bahwa sebagai Adipati, Kebo Penggiring memiliki kawan-kawan yang dekat dengan Keraton, yang berarti adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan?!
"Aku tahu kau mampu melakukannya Wiro. Jika aku tahu kau tak mampu, aku tak akan meminta bantuanmu... Dan kalau kau memang ingin menolong, makin cepat kau berangkat ke Lumajang, makin baik..."
"Kalau seorang tua dan sahabat sepertimu berkata begitu, apa lagi yang harus kulakukan selain membantu!"
"Terima kasih anak muda..." kata Dewa Tuak dan kali ini sambil tersenyum. "Ini kau ambillah bumbung yang satu ini!" Kakek itu lalu mengambil bumbung tuak yang tergantung di punggungnya lalu melemparkan benda itu kepada Wiro.
"Terima kasih, aku tak ingin jadi mabuk!" kata Wiro. Namun tabung bambu berisi tuak itu sudah melayang ke arahnya. Ketika dia terpaksa menangkapnya, memandang ke atas Dewa Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang pohon. Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. Akhirnya didekatkannya juga ujung bambu ke bibirnya lalu meneguk tuak kayangan yang rasanya memang manis sedap menghangatkan.
Wiro meneguk lagi air dalam kantong kulit yang dibawanya. Memandang ke depan dia masih belum melihat apa-apa. Seolah-olah pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu tidak berujung.
"Perjalanan gila!" maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Kalau tidak memandang kakek tua peminum tuak itu, dan jika tidak menimbang keselamatan muridnya tak bakal aku melakukan ini!"
Wiro meneguk sekali lagi air dalam kantong. Ketika untuk ke sekian kalinya dia memandang ke depan, samar-samar di kejauhan dilihatnya sebuah titik kecil, seperti terletak tepat di atas katulistiwa. Semakin dekat dia ke arah titik itu, semakin besar tampaknya dan dalam jarak kurang dari lima puluh tombak Wiro mengetahui benda yang tadi terlihat berupa titik ternyata adalah sesosok tubuh manusia yang menggeletak menelantang di atas pasir.
Orang ini masih muda, berpakaian dan berikat kepala putih-putih. Tubuhnya tinggi dan kekar. Namun saat itu tubuh yang kekar itu tampak tak berdaya. Kedua matanya terpicing. Wajah dan tubuhnya hampir berselimut pasir sedang bibirnya kelihatan kering.
"Ini bukan setan pedataran pasir!" kata Wiro membatin. "Tapi mengapa manusia ini berada di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah mati?"
Wiro turun dari kudanya. Dia memegang lengan pemuda yang terbujur di pasir itu. Terasa panas. Juga terasa denyutan nadi, tanda masih hidup.
"Sobat tak dikenal, bangunlah! Apa kau mau berkubur di tempat ini?!" Wiro menegur dengan suara keras.
Tubuh di atas pasir tidak bergerak, Wiro ambil kantong airnya lalu sedikit demi sedikit tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat kemudian bibir itu tampak bergerak. Wiro tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan kirinya dia menyeka pasir yang menutupi wajah si pemuda. Ternyata pemuda itu berwajah tampan. Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka perlahan-lahan.
"Apakah kau malaikat maut yang datang menjemputku...?" Keluar suara parau dan sangat perlahan dari mulut pemuda itu.
Kalau di tempat lain Wiro mungkin akan tertawa bergelak mendengar kata-kata itu. Dia tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan si pemuda di tanah dan menahan punggungnya dengan lutut agar tidak rebah.
"Aku bukan malaikat maut. Justru aku ingin bertanya mengapa kau enak-enakan tidur di gurun pasir ini...?"
Mata si pemuda membuka lebar. Mulutnya menyeringai. "Sialan!" ujarnya. "Siapa yang enak-enakan tidur. Terlambat kau muncul di sini aku sudah jadi mayat kering "
"Aku membawa kuda cadangan. Apakah kau bisa berdiri lalu ku bantu naik ke punggung binatang itu..."
"Aku harus melakukan apa yang kau katakan. Tapi beri lagi aku minum..."
Setelah minum, dengan ditolong oleh Wiro pemuda itu berdiri. Sesaat pemandangannya berkunang-kunang, tubuhnya seperti hendak terbanting. Wiro cepat memegang bahunya.
"Manusia-manusia keparat...!"
"Eh, siapa yang kau maki sobat?" tanya Wiro.
"Orang-orang itu. Mereka membokongku. Merampas dua senjata mustika milikku. Melarikan dan meninggalkan aku di pedataran pasir ini!"
"Siapa mereka..?"
"Aku tidak kenal. Mungkin bangsa perampok. Mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Sobat, kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Kau hendak menuju ke manakah...?"
"Lumajang," sahut Wiro.
"Kalau begitu kita pergi sama-sama. Manusia-manusia keparat itu pasti juga menuju ke sana."
"Namaku Wiro Sableng. Kau siapa?" tanya Pendekar 212.
"Nama mu aneh. Apakah kau benar-benar sableng hingga orang tuamu memberikan nama begitu...? Namaku Mahesa Kelud."
Wiro tersenyum. "Senjata apa yang mereka rampas darimu?" tanyanya kemudian.
"Sebilah Pedang Sakti dan sebilah Keris Ular Emas"
"Hemm... Nasibmu memang malang. Mudah- mudahan saja kau menemukan para pencuri itu..."
"Bukan hanya menemukannya. Tapi juga membunuh mereka semua!" jawab Mahesa Kelud dengan tangan terkepal, lalu naik ke atas kuda cadangan yang dibawa Wiro.
(Siapa adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam serial Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Emas)
Kedai Itu berbentuk pendopo terbuka dan cukup besar. Karena merupakan satu-satunya rumah makan di daerah tenggara maka sepanjang siang tampak selalu ramai. Apalagi terletak di Gucialit, sebuah kota kecil pusat persimpangan beberapa jalan di selatan Tengger.
Matahari pagi baru saja naik ketika kedua orang muda itu sampai di kedai dan langsung masuk. Tubuh serta-pakaian mereka yang kotor penuh debu membuat pemilik kedai segera menyongsong, bukan untuk melayani tapi untuk ajukan pertanyaan.
"Dua pemuda asing, apakah kalian punya uang untuk makan dan minum di kedaiku ini...?"
Wiro terkesiap tapi juga mendongkol marah. Dia memang sama sekali tidak punya uang lagi karena sudah diberikan pada Memed Gendut untuk pembeli kuda. Sebaliknya Mahesa Kelud yang setengah mati keletihan dan kelaparan belalakkan mata dan membentak,
"Jangankan makanan atau minuman, kepalamu akan kubeli! Jangan banyak tanya. Hidangkan makanan dan teh hangat!"
"Uangmu dulu, orang muda!" kata pemilik kedai sambil ulurkan tangan.
Wiro tak dapat menahan kesalnya. Dia berbisik pada Mahesa Kelud, "Kau punya uang... Lekas berikan padaku"
Mahesa Kelud yang hendak menampar pemilik kedai itu batalkan niatnya. Dengan rasa tidak mengerti dia berikan dua keping uang pada Wiro. Begitu menerima uang itu Wiro secepat kilat sumpalkan ke dalam mulut pemilik kedai.
"Ini uangnya. Kau makanlah!"
Tercekik dan megap-megap pemilik kedai itu masuk ke dalam sementara Wiro dan Mahesa Kelud duduk di bangku panjang. Seorang pelayan datang membawa makanan dengan sikap ketakutan. Dua pemuda ini segera menyantap dengan cepat. Selagi menggerogot sepotong ikan goreng, Mahesa Kelud layangkan pandangannya berkeliling. Tiba-tiba saja pemuda ini bantingkan ikan goreng itu ke meja.
"Sobat, ada apa? Kau ketulangan... Ikannya tidak enak?" tanya Wiro.
Mahesa menggoyangkan kepalanya ke arah sudut kedai di mana tampak duduk tiga orang lelaki berpakaian bagus yang baru saja selesai makan dan kini tengah menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Di bagian lain masih terdapat kira-kira setengah lusin tamu. Tiga orang tamu berpakaian bagus itu duduk membelakang dan agak jauh hingga tidak melihat kedatangan Mahesa dan Wiro, juga tidak mengetahui pertengkaran dengan pemilik kedai tadi.
"Siapa mereka...?" tanya Wiio.
"Tiga dari lima bangsat perampok yang menghadangku di pedataran pasir..." jawab Manesa Kelud seraya berdiri.
"Cara mereka berpakaian seperti hartawan, bukan seperti rampok..."
"Hartawan atau rampok yang pasti mereka akan rasakan tanganku saat ini juga!"
Habis berkata begitu Mahesa Kelud ambil sebuah kursi di samping kanannya. Kursi ini kemudian dilemparkannya ke arah tiga orang yang duduk membelakang. Kursi masih melayang setengah jalan tapi tiga orang berpakaian bagus yang duduk membelakang serentak sudah mencelat dari tempat masing-masing, pertanda bahwa mereka memiliki naluri kewaspadaan yang tinggi.
Kursi yang dilemparkan menghantam tiang kedai dan hancur berantakan. Tiga orang itu cepat membalik. Jelas rasa terkejut membayang di wajah mereka ketika melihat Mahesa Kelud melangkah mendekati. Terkejut karena menyangka pemuda itu pasti sudah menemui kematian di panggang sinar matahari di pedataran pasir.
Para pengunjung kedai yang lain saat itu telah berdiri dan menyingkir menjauh, menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sementara Wiro Sableng setelah memperhatikan sesaat, seperti tak acuh apa yang terjadi melanjutkan makannya dengan lahap.
Lelaki berpakaian bagus di sebelah tengah usap usap dagunya. Dia melirik pada kedua temannya lalu kembali memandang ke arah Mahesa yang kini tegak empat langkah di hadapannya dan kawan-kawan.
Mahesa menuding tepat-tepat ke arah ketiga orang itu dengan telunjuk kiri. "Sebelum pembebasan kulakukan lekas kalian kembalikan pedang serta keris milikku yang kalian rampas. Juga kuda putihku!. Tiga orang di hadapan Mahesa sama-sama menyeringai.
"Pemuda kesasar, pagi-pagi begini kau sudah bicara ngacok tak karuan. Kenal pun tidak. Tampang burukmu baru kami lihat saat ini. Dan kau bicara tentang segala macam pedang serta keris! Gila!'' Yang bicara adalah lelaki di sebelah tengah.
"Hemm... Kau dan teman-teman mu pandai bersandiwara! Bagus! Teruskan-sandiwara kalian sampai keliang kubur!"
Mahesa berkelebat ke depan. Tangan dan kakinya menebar serangan. Pemuda ini memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang bukan sembarangan. Gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong pernah menggegerkan dunia persilatan di tanah Jawa.
Di samping, itu dia mendapat tambahan kepandaian dari seorang tokoh yang dikenal dengan nama Karang Sewu. Ditambah pula ilmu silat langka yang didapatnya dari seorang tokoh luar biasa bernama Suara Tanpa Rupa. Tidak mengherankan kalau serangan yang dilancarkan Mahesa mendatangkan suara angin deras.
Tiga lawan yang mendapat serangan berpencar. Gerakan mereka bukan saja cepat sekali tetapi juga enteng. Ternyata tiga manusia inipun memiliki kepandaian tak rendah. Kalau tidak tak mungkin mereka dan dua kawan lainnya sanggup membokong Mahesa di pedataran pasir. Ketiga orang ini sebenarnya bukanlah bangsa perampok. Mereka merupakan tokoh-tokoh silat dari Kotaraja yang sengaja melakukan perjalanan atas permintaan seseorang di Lumajang.
Melihat serangan pertamanya menemui kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan rahangnya. Sambil menendang meja makan dia balikkan tubuh dan kini berkelebat menghantam ke arah lawan di ujung kiri.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala melihat perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Mahesa tadi. Namun tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.
Mahesa menghantam dengan jotosan mengandung aji 'Karang Sewu' atau pukulan batu karang yang sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun. Lawan yang diserang tampaknya sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke belakang dia bersuit keras. Suitan ini seolah-olah isyarat bagi kedua kawannya karena saat itu juga dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan.
Masih mengandalkan pukulan batu karang di kedua tangannya. Mahesa Kelud menjotos ke kiri dan ke kanan, sambut serangan dua lawan. Seperti kawannya tadi, dua orang ini melompat ke belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu orang yang berada di sebelah depan menghantam ke depan dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh! Mahesa sengaja sambut pukulan lawan dengan maju menyongsong sambil melintangkan tangan kiri, membabat lengan orang.
"Jangan!" teriak salah seorang ketika melihat kawannya yang memukul itu sengaja mengadu kekuatan dengan saling bentrokkan lengan. Tapi terlambat.
"Krakkk...!"
Tulang lengan orang di depan Mahesa Kelud bukan saja patah tetapi juga hancur hingga bagian sebelah bawah terkuntai-kuntai mengerikan. Jeritan setinggi langit keluar dari mulutnya. Tubuhnya jatuh duduk di lantai kedai. Dengan tangan kirinya dia cepat-cepat menotok urat besar di pangkal bahu hingga kebal rasa. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya bisa menjelepok begitu rupa.
"Pukulan karang sewu!" seru lelaki di samping kanan Mahesa.
Yang membuat murid Embah Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka kalau orang mengenali ilmu pukulannya. Wajah dua orang lawan tampak berubah. Setelah saling lemparkan pandangan yang mengandung isyarat keduanya gerakkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian mereka telah mengeluarkan senjata. Yang di sebelah kanannya memegang sebilah clurit besar hampir berbentuk arit Kawannya mencekal sebatang tongkat terbuat dari kuningan yang memancarkan sinar redup tapi angker.
Sebelumnya orang-orang itu bersama dua kawannya yang lain yang saat itu tak kelihatan di tempat itu telah berhasil membokong Mahesa di pedataran pasir Tengger. Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi. Kini dengan senjata di tangan tentunya dua lawan tersebut lebih banyak berbahaya.
Tetapi Mahesa Kelud percaya diri dan tidak gentar menghadapi. Bila dua lawan itu maju menyerbu dia siap menyambut dengan jurus kematian. Namun di saat itu justru terdengar suara membentak.
"Orang-orang tak tahu diri! Pengecut tengik! Sudah main keroyok sekarang pakai senjata pula! Tangan kosong harus dihadapi dengan tangan kosong! Itu namanya pendekar sejati!"
Dua orang lawan Mahesa Kelud tidak sempat menyelidik siapa yang membentak itu. Dua buah piring tiba-tiba melesat ke arah mereka. Sebelum keduanya sempat berkelit, lengan masing-masing sudah dihantam piring-piring itu. Piring pecah, makanan yang masih ada di atasnya berhambur mengotori pakaian dan muka kedua orang itu. Keduanya mengeluh tinggi dan karena tak tahan menanggung sakit terpaksa lepaskan senjata masing-masing sementara mereka dapatkan lengan mereka berlumuran darah akibat hantaman piring.
Mahesa Kelud melirik ke arah meja di mana Wiro Sableng duduk. "Sableng!" katanya sambil menyeringai. "Jurus piring terbangmu boleh juga! Tapi kita kehilangan dus piring nasi dan lauknya!"
"Tak usah kawatir! Kunyuk-kunyuk itu yang akan membayar!" sahut Wiro. "Makan tanpa minum tentu tak sedap! Nah silahkan meneguk air..."
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng lemparkan dua cangkir berisi air ke arah dua pengeroyok. Meskipun mereka sempat mengelak selamatkan kepala tapi air dalam cangkir besar itu telah lebih dulu mengguyur kepala keduanya.
Marah besar karena merasa dipermainkan, orang di sebelah kanan menerjang dengan satu tendangan ke arah perut Mahesa sementara kawannya berkelebat cepat memungut clurit besar dan tongkat kuningan. Namun dia hanya sempat mengambil tongkat kuningan karena sebelum dia berhasil memegang hulu clurit, Wiro Sableng sudah melompat ke hadapannya kirimkan tendangan ke arah pantatnya!
"Wuttt...!"
Tongkat kuningan memapas deras kaki yang datang menendang. Namun hanya menghantam tempat kosong karena di saat yang bersamaan Wiro melesat ke atas sambil hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu kanan lawan.
Krakkk...!"
Tulang bahu itu patah. Tongkat kuningan lepas dan pemiliknya jatuh di lantai kedai, berguling-guling sambil berteriak kesakitan, lalu tergelimpang dekat sebuah jambangan tanah liat.
Melihat kejadian ini kawannya yang menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap. Sebelumnya dia memang telah mempreteli Mahesa secara mudah. Tapi itu dilakukan bersama dua orang kawannya yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Kini tanpa dua kawan itu dan setelah menyaksikan dua kawannya yang ada di situ cidera berat, nyalinya menjadi lumer. Tanpa pikir panjang dia menghambur ke luar kedai.
"Ho-ho! Cacing tanah pengecut! Kau mau lari ke mana?" teriak Mahesa Kelud mengejar. Tapi dua buah senjata rahasia berbentuk lempengan besi hitam menyambutnya. Mahesa menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua senjata rahasia mental dan menancap di atas loteng kedai. Ketika hendak mengejar kembali, orang yang lari telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
Mahesa Kelud kepalkan tangan kanan. Dia melangkah mendekati orang yang patah tulang bahunya. Sementara Wiro menyeret kawannya yang patah tangan lalu melemparkannya ke dekat si patah bahu. Orang lain yang ada di kedai itu, termasuk pemilik dan para pelayan tak ada satupun yang berani bergerak. Mahesa Kelud injak tulang bahu yang patah hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Sakit ?!" tanya Mahesa Kelud mengejek.
"Sakit... Sakit sekaliiii...!" jawab orang itu.
"Bagus! Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan! Jika kau tidak mau menjawab dengan benar, tulang bahu mu satu lagi akan aku hancurkan!"
"Jangan! Jangan lakukan itu. Katakan apa yang ingin kau ketahui..." ratap orang itu ketakutan.
"Pertama di mana sepasang senjata mustika milikku serta kuda putihku kalian sembunyi kan?!" tanya Mahesa.
"Kami... kami tidak menyembunyikan. Dua orang kawan kami membawa kuda putih itu. Juga keris dan pedang merah"
"Di mana mereka sekarang?"
"Turut penjelasan keduanya mereka pergi ke Lumajang," menerangkan si hancur bahu.
"Lumajang! Di mana aku harus mencari mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.
"Keduanya pasti ke Kadipaten. Menemui Adipati Kebo Penggiring..."
"Apakah kalian berlima orang-orang Adipati itu?" Wiro yang ajukan pertanyaan.
"Bukan... kami bukan orang-orangnya. Kami hanya sahabat yang diminta tolong"
"Dimintai tolong apa? Apa Adipati yang menyuruh kalian menghadang dan merampokkku di pedataran pasir Tengger "
"Hal itu aku tidak jelas...!"
"Jangan berdusta!" ancam Mahesa Kelud lalu kaki kanannya menginjak bahu yang patah hingga orang itu menjerit setengah mati.
"Aku tidak berdusta..." teriaknya.
Lelaki yang patah tangan berusaha meyakinkan. "Temanku itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi pekerjaan. Kami harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih yang akan melintas pedataran Tengger menuju Lumajang. Kami berlima menemui kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi karena melihat kau membawa kuda bagus serta membekal senjata sakti maka kami membokongmu lalu meninggalkan di pedataran pasir
Mahesa melirik ke arah Wiro Sableng yang berdiri sambil garuk-garuk kepala. "Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju..." kata murid Sinto Gendeng itu.
"Benar... Mungkin sekali. Ciri-ciri kalian hampir sama..." jawab si patah lengan.
"Kenapa kalian diperintahkan membunuhku?" tanya Wiro.
"Itu kami tak tahu. Utusan itu tidak menjelaskan apa-apa."
"Juga tidak menjelaskan siapa yangg menyuruhnya...?"
Yang ditanya tak menjawab. Wiro angkat kaki kanannya lalu dihantamkan kebawah.
Kraakkk...!"
"Jangan...! Jangan hancurkan kakiku...!" jerit orang itu.
"Terserah padamu. Hancur kaki atau bicara..."
"Aku... aku akan bicara..." katanya.
"Buka mulutmu!"
"Terus terang, aku tak tahu siapa di belakang utusan itu. Namun aku menduga, dia diutus oleh Adipati Kebo Penggiring. Hanya itu yang aku ketahui. Hanya itu..."
Wiro berpaling pada Mahesa Kelud. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Aku harus mengejar pencuri kuda dan senjata itu..." sahut Mahesa Kelud.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang juga!" ujar Wiro Sableng. Lalu dia membungkuk dan menggeledah kedua orang itu.
"Apa yang kau cari?" tanya Mahesa Kelud.
"Sepasang senjata milikmu! Ternyata mereka memang tidak menyembunyikannya. Orang-orang seperti mereka tidak boleh dipercaya begitu saja. Segala ucapannya harus diselidik "
Wiro Sableng dan Mahesa Kelud memacu kuda masing-masing melewati daerah berbukit-bukit batu. Ini merupakan ujung dari pedataran pasir Tengger setelah mereka melewati Guci alit. Sehabis bebukitan batu itu, kota tujuan mereka yakni Lumajang hanya tinggal setengah hari perjalanan. Menjelang malam mereka berharap sudah sampai di sana dan melakukan apa yang harus mereka kerjakan.
Mahesa Kelud harus mendapatkan kambali kuda putih serta sepasang senjata mustikanya. Sedang Pendekar 212 Wiro Sableng sesuai dengan janjinya harus melaksanakan tugas yang dibebankan Dewa Tuak kepadanya yaitu mendapatkan kembali kitab milik kakek itu yang dicuri sang murid. Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan Anggini Murid Dewa Tuak yang dulu pernah hendak dijodohkan dengannya dari tangan Kebo Penggiring.
Di puncak sebuah bukit batu dua pendekar itu berhenti sejenak untuk beristirahat. Kebetulan di situ terdapat sebuah mata air. Mereka minum sepuasnya. Begitu juga kuda tunggangan masing-masing. Setelah mendapat kesegaran baru mereka melanjutkan perjalanan. Jalan menurun yang ditempuh diapit di kiri kanan oleh lamping batu setinggi hampir dua puluh tombak. Derap kaki-kaki kuda menggema di samping bukit batu itu.
"Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak..." Murid Sinto Gandeng berseru pada Mahesa Kelud. Dia memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa Kelud ikut meneliti keadaan di sekitarnya lalu berkata, "Tak ada yang harus dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!"
Dari Wiro murid Embah Jagatnata alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa Wiro harus pergi ke Lumajang.
"Turut beberapa penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu ini sering dipakai para perampok untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.
"Aku telah mengalami kejadian pahit di pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali ini, jika ada perampok yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!" menyahuti Mahesa Kelud.
Baru saja Mahesa Kelud berkata begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan mencurigakan di puncak bukit samping kiri. Hal yang sama juga tampak pada puncak bukit batu sebelah kanan.
"Lihat!" saru Wiro.
Mendongak ke atas Mahesa Kelud melihat ada tiga buah batu besar di puncak bukit sebelah kanan lalu tiga lagi di sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak ke tubir atas bukit lalu menggelinding ke bawah dengari suara gemuruh mengerikan.
"Lekas berlindung!" teriak Mahesa Kelud.
Dua pendekar itu menggebrak kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu menghambur lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari punggung kuda, selamatkan diri dengan berlindung di bawah lekukan bukit batu pada sisi kiri kanan.
Enam buah batu besar menghempas dahsyat. Dua ekor kuda terperangkap di celah bukit. Terdengar ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batu-batu yang jatuh. Lalu sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
Begitu debu dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang kembali Wiro dan Mahesa Kelud menyaksikan pemandangan yang mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang mati di bawah himpitan enam batu besar.
"Bangsat rendah!" sumpah Mahesa Kelud marah sekali. Kedua tangannya di silangkan di muka dada. Mulutnya bergetar melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya menggelegar menghimpun tenaga dalam. Didahului bentakan keras Mahesa Kelud kemudian hantamkan tangan kanannya ke atas. Kilatan api merah dan panas menderu.
Tubir bukit batu setinggi 20 tombak di atas kiri sana tampak berpijar lalu hancur berantakan. Pecahan batu dan bongkahan tanah beterbangan. Namun siapapun adanya orang orang di atas sana agaknya tak satupun yang cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu meninggalkan tempat itu sebelum pukulan 'ilmu api' yang dilepaskan murid Emban Jagatnata menghancurkan sebagian tubir batu.
Kagum melihat kehebatan kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah. Tangan kanannya sampai sebatas siku mendadak berubah menjadi putih perak. Ketika pendekar ini menghantam ke tubir bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat. Puncak bukit batu di atas sana menggelegar runtuh.
"Pukulan Sinar Matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika menyaksikan pukulan itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini menyaksikan sendiri. Kini Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Sableng ini!
Seperti pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa Kelud tadi, hantaman pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro pun tidak mengenai siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat itu pasti sudah melarikan diri!" ujar Mahesa Kelud jengkel. Dia ingin sekali mengejar, tapi tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka pasti orang-orang Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya tepuk-tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu berkata, "Tak ada jalan lain. Kita harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki!"
"Aku akan berikan pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud pula sambil kepalkan tinju.
Empat orang penunggang kuda tampak bersiap-siap di halaman samping gedung Kadipaten Lumajang. Salah seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian kebesaran Adipati bukan lain adalah Adipati Kebo Penggiring. Di sebelahnya berturut-turut adalah dua lelaki berpakaian bagus, berusia agak lanjut tapi memiliki tubuh sangat kekar. Salah seorang menunggang kuda putih. Yang seorang lagi kakek berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada mukanya sebelah kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian pasti, Tunggul Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari Kotaraja?" Adipati Kebo Penggiring bertanya.
Tiga orang di sampingnya sama mengangguk. Si cacat muka yang bernama Ronggo Kemitir membuka mulut, "Tak usah kawatir. Mereka pasti datang untuk menjemput senjata-senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita menghadapi pendekar suruhan Dewa Tuak itu"
Kebo Penggiring merasa kurang enak karena dianggap seperti takut. Dia cepat berkata. "Soal pemuda gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja aku dengar kini dia bergabung dengan seorang pendekar muda lainnya. Ini gara-gara dua sahabatku ini kesalahan turun tangan di pedataran Tengger. Betul begitu?"
Dua telaki bertubuh kekar berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah seorang dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Mahesa Kelud menjawab, "Dengan siapa pun pendekar gendeng itu bergabung tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-senjata miliknya"
"Tapi menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu muncul di sini, kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Adipati tinggal minta bagian tubuhnya yang mana. Kepala, atau hati atau jantung..."
Adipati Kebo Penggiring berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo itu. Di saat yang sama dari halaman belakang muncul seorang diiringi oleh dua pengawal yang menghunus tombak. Orang yang digiring dua pengawal itu ternyata adalah seorang gadis berparas cantik, berpakaian ungu. Kedua tangannya terikat di sebelah depan, setiap langkah yang dibuatnya tampak menyebabkan tubuhnya sebelah atas terhuyung-huyung.
"Ronggo Kemitir," kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat. "Sebelum berangkat, coba periksa dulu totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita mendapat kesulitan dalam perjalanan, walau cuma dekat saja "
Kakek berpakaian biru melompat turun dari atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba punggung gadis berpakaian ungu lalu berpaling pada Kebo Pengigiring sambil anggukkan kepala. "Totokan ku masih berjalan baik. Kedua tangan tetap lumpuh, jalan suara masih normal, sepanjang kaki masih bisa berjalan tapi terbatas
"Bagus! Kalau begitu naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di sebelah depan!" ujar Adipati Lumajang.
"Siapa sudi duduk bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis binal! Jaga mulutmu!" mendamprat Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring cuma menyeringai.
Dengan satu gerakan enteng dan sangat cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang gadis berbaju ungui lalu mengangkat dan mendudukkannya di atas kuda di sebelah depan sang Adipati. Hal ini membuat sang dara tambah marah dan memaki tiada henti. Namun dia tak bisa berbuat lain karena tubuhnya dikuasai satu totokan amat lihay.
"Penging murid murtad!" si gadis membentak menyebut nama asli Kebo Penggiring. "Guru akan datang dan membeset tubuhmu sampai lumat!"
Kebo Penggiring tertawa tawar. "Jika tua bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu tentu dia sudah datang dulu-dulu! Buktinya sampai hari ini dia tidak unjukkan muka! Gurumu hanya pandai mabuk-mabuk meneguk tuak!"
"Murid pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si gadis.
Kebo Penggiring memberi isyarat. Diikuti oleh Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki kekar satu lagi yang bernama Lah Bludak, mereka segera meninggalkan halaman Kadipaten.
Saat itu malam telah turun. Udara yang sejak sore mendung membuat malam tambah memekat gelap. Rombongan itu bergerak ke arah timur, menuju pusat Kadipaten yakni sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh dari gedung Kadipaten maka sebentar saja mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun, dalam kegelapan malam tampak berdiri sebuah panggung setinggi satu tombak.
Di atas panggung kayu itu dibangun dua buah tonggak besar berikut palangnya di sebelah atas, lengkap dengan tali besar. Keseluruhannya membentuk sebuah tiang gantungan yang mengerikan. Di bawah panggung tampak duduk berjongkok sesosok tubuh. Di hadapannya ada sebuah pendupaan menyala yang asapnya menebar bau menyan!
"Anggini, kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis yang duduk diatas kuda di sebelah depannya.
"Mataku tidak buta!" sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus, matamu tidak buta. Kuharap hatimu juga tidak terus-menerus membatu. Apa kau tidak takut melihat tiang gantungan itu?" tanya sang Adipati lagi.
"Takut...?!" sang dara menyeringai. "Mengapa harus takut! Digantung saat ini pun aku tidak takut! Tak perlu menunggu sampai besok pagi!"
"Kau memang gadis pemberani. Itu yang membuat aku kagum padamu," kata Kebo Penggiring terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu menerima permintaanku...?"
Anggini kembali menyeringai sinis. "Setelah kau curi kitab guru, setelah kau perlakukan aku seperti ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau masih punya muka meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu meludah ke tanah.
"Aku sudah bilang, buku itu akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita melangsungkan perkawinan"
Kembali Anggini meludah. "Penging, kau sudah terlanjur menyakiti hati guru! Kau bahkan sudah mengotori tanganmu dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku justru adalah untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak gadis yang ingin kuperistrikan. Semua bangga menjadi istri seorang Adipati. Tapi kau menolak "
"Segala setan pelayangan mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak! Justru aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada kesempatan pertama!"
Ronggo Kemitir si kakek bermuka cacat geleng-geleng kepala. "Gadis ini sulit untuk diberi pengertian Adipati " katanya.
Kebo Penggiring masih berusaha mencari harapan. "Masakan kau lebih suka digantung daripada jadi istriku? Padahal bukankah aku adalah kakak seperguruanmu sendiri...?"
"Pada hari pertama kau mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak menganggap kau muridnya lagi. Apa masih pantas aku menganggapmu sebagai kakak seperguruan? Tidak malu!"
"Kalau begitu kau benar-benar menginginkan mati Anggini. Ingin digantung dengan cap sebagai pemberontak"
"Kau boleh membunuh aku dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa dikalahkan oleh angkara murka. Kau mengkhianati guru sendiri. Mencelakai saudara seperguruan lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau ternyata memang manusia busuk luar biasa Penging!"
Paras Kebo Penggiring tampak merah mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang lain-lainnya dia membawa kudanya menuju panggung penggantungan. Setelah berada dekat ke tempat itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang duduk di bawah panggung dan menghadapi pendupaan yang menebarkan bau menyan itu ternyata adalah seorang nenek bermuka angker berpakaian serba hitam. Dia terdengar seperti melaporkan mantera-mantera. Melihat kedatangan rombongan Adipati, nenek ini hentikan membaca mantera, ulurkan kedua tangan ke muka memberi hormat.
"Nenek Juminah" tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu apakah semua persiapan berjalan lancar...?"
"Tentu saja Adipati... tentu saja!" jawab si nenek. Suaranya kecil dan dia bicara seperti orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih mati ketimbang dijadikan istri...?"
Sang Adipati termangu sesaat baru menjawab, "Agaknya jalan pikirannya tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan sesuatu sebelum kami meninggalkan tempat ini...?"
Nenek itu tegak dari jongkoknya. Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok. Matanya yang cekung memandang lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini jadi tergetar juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si nenek.
"Dulu aku punya seorang anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan dengan mu nak. Tapi dia begitu bangga ketika satu hari perajurit Kadipaten mengambilnya jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini cantik jelita lebih suka mati digantung daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo Penggiring. Adipati bukan satu pangkat yang rendah dan calon suamimu berwajah tampan gagah, apalagi masih kakak seperguruanmu. Apakah kau tidak hendak merubah jalan pikiranmu yang keliru itu nak...?"
"Nenek sialan!" maki Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia berkata, "Jika menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan tampang manusia ini tampang gagah, mengapa tidak kau saja yang minta dijadikan istri?!"
Si nenek terkesiap latu gelengkan kepala sementara Kebo Penggiring tersentak dan bergetar menahan amarah. "Gadis bodoh... gadis bodoh" kata si nenek berulang kali.
"Aku tak bisa
menolongmu. Sayang... sayang sekali Nenek itu kembali berjongkok dan menyebarkan kemenyan di atas pendupaan.
"Nenek Juminah, kau telah menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang bodoh. Memilih mati tercemar daripada menerima permintaanku "
Adipati Kebo Penggiring membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga orang lainnya.
"Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi Anggini?" tanya Kebo Penggiring.
Murid Dewa Tuak tidak menjawab. Kebo Penggiring membuka mulutnya kembali.
"Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan pada tiga orang dibelakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tiang gantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada gurumu Dewa Tuak!"
Anggini tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah. Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru, "Awasi Ada orang datang!"
Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap. Keduanya segera mendatangi rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua orang bersiap menjaga segala kemungkinan. Ternyata yang datang adalah dua orang yang memang sedang ditunggu-tunggu.
"Selamat datang di Kadipaten. Kangmas Tunggul Soka dan kangmas Gajah Bledeg, kalian berdua memang kami tunggu-tunggu..." menyambut Kabo Penggiring.
Yang datang ternyata adalah dua tokoh dari Kotaraja. Mereka muncul di situ sesuai dengan permintaan sang Adipati untuk dimintai bantuan dan sekaligus menyerahkan dua buah senjata mustika hasil rampasan. Selanjutnya senjata-senjata itu akan diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.
Dua oranti yang barusan datang tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi ramping dan mengenakan blangkon coklat dengan hiasan bintang besi kuning di sebelah depannya sesaat menatap paras gadis, yang duduk di atas kuda di sebelah depan sang Adipati.
Dia lalu bertanya: "Inikah gadis pemberontak yang besok bakal menjalani hukuman gantung" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia menggelengkan kepala berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini bagus dan wajah begini jelita harus dikubur menjadi umpan cacing tanah... Aku yang tua ini tak keberatan ditemani barang sejam dua jam..."
Semua orang tertawa bargelak mendengar ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa itu terdengar suara Kebo Penggiring. "Kangmas Gajah Bledeg, kau tak perlu kawatir. Malam ini kau akan mendapat bagian khusus"
"Begitu...?" ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan tenggorokan turun naik. Dia berpaling pada kawannya Tunggul Soka. "Ah, ternyata jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia"
Tunggul Soka tersenyum dan palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu hartanya: "Adipati apakah kami dapat segera menerima dua senjata pusaka pedang sakti dan keris ular emas itu..."
"Tentu saja Kangmas Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan baik-baik diKadipaten. Segera akan kuserahkan pada kalian besok selesai upacara penggantungan gembong pemberontak betina ini!"
"Hemm begitu...?" gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat membawa dua senjata itu kembali ke Kota raja.
"Disamping. itu kami memerlukan bantuan kangmas berdua untuk menghadapi para pengacau yang nanti akan segera muncul di Lumajang," berkata Ronggo Kemitir.
"Para pengacau?" ujar Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening. "Besarkah jumlah mereka. Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan siapa pemimpin mereka?" bertanya Tunggul Soka.
"Ah, mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua pemuda ingusan!" sahut Kebo Penggiring.
Mendengar hal itu Tunggul Soka dan Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak. "Kalau cuma dua pemudi ingusan biarlah aku menyediakan dua helai sapu-tangan untuk menyeka ingus mereka!" kata Gajah Bledag pula dan kembali pecah suara tawa bergelak ditempat itu"
Namun diam-diam ada kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut turun tangan.
Si nenek Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh berpakaian putih-putih.
"Kalian siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak.
Wiro Sableng dan Mahesa Kelud sesaat saling pandang lalu Wiro menjawab, "Kami dua setan dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenal siapa kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung gadis jelita gembong pemherontak?!"
Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku setan dari neraka itu! Tak kalah gertak si nenek menjawab, "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan Ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini, besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantung?!"
"Katakan di mana gadis pemberontak itu sekarang?!" tanya Wiro.
"Heh! Di Kadipaten tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik. Jangan-jangan kalian sengaja mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa Kelud melirik pada Wiro dan berkata, "Si keriput ini galak sekali. Biar kuberi pelajaran..."
"Jangan. Aku punya rencana lain" kata Wiro.
Lalu cepat dia menyambar pendupaan yang berisi bara menyala. Di salah satu sudut kolong panggung dilihatnya kaleng kecil berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk menyalakan pendupaan. Minyak itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada tiang-tiang sebelah atas dan bawah. Ketika bara ditebar di atas lantai yang basah oleh minyak, api pun segera berkobar.
"Kalian minta mati!" teriak nenek Juminah.
Tubuhnya yang bongkok melesat ke depan. Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan berkuku panjang menyambar ke dada dan wajah Wiro Sableng. Tapi gerakannya mendadak tertahan karena pinggangnya ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini siap pura-pura melemparkannya ke dalam kobaran api hingga nenak Juminah menjerit ketakutan.
Mahesa Kelud lagi lemparkan perempuan tua itu ke tanah seraya berkata, "Pergi temui Adipati Kebo Penggiring! Katakah kami dua setan dari neraka siap untuk mengambil nyawanya!"
"Gila! Kalian berdua mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.
Wiro tarik kain panjang yang dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke pinggul!
"Hai! Kau hendak menelanjangiku! Gila! Benar-benar gila" teriak si nenek seraya cepat menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu tanpa tunggu lebih lama lari lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun sudah tua dan bertubuh bungkuk larinya kencang juga.
Ketika Adipati Kebo Penggiring dan yang lain lainnya menerima laporan si nenek di Kadipaten, malam sudah menjelang pertengahannya.
"Mereka sudah muncul" desis Adipati Lumajang itu dan memandang berkeliling. "Kita harus bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun sebelum keduanya sampai di sini.
"Jangan kawatir! Kami akan membereskannya!" berkata Ronggo Kemitir seraya memberi isyarat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Sebaliknya dua orang terakhir ini menoleh ke arah Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu Gajah Bledeg segera membuka mulut. "Kami berdua tetap tinggal di sini. Menjaga keselamatan Adipati, mengawasi tawanan. Sekaligus mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan pada Sri Baginda di Kotaraja!"
Mendengar kata-kata itu Ronggo Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa berbuat lain. Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana kuda mereka ditambatkan.
"Aku bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan Keraton tadi mendatangkan kecurigaan" berkata Ronggo Kemitir, si kakek bermuka cacat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua orang yang diajak bicara mengiyakan dengan suara perlahan karena takut terdengar oleh Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga orang itu lenyap dari kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar yang didudukinya, sesaat melangkah mundar-mandir di hadapan Adipati Lumajang, kemudian terdengar suaranya berkata,
"Rongga Kemitir dan dua kawannya itu pasti mampu menghadapi dan menghajar dua pemuda yang datang menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih lama di sini "
Tentu saja Kebo Penggiring terkejut mendengar ucapan itu. "Maksud kangmas?" tanyanya.
"Maksud kami," yang menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan dua senjata mustika itu dan kami segera kembali ke Kotaraja"
"Ah, bukan begitu perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak kesal. "Kangmas berdua datang ke sini memang untuk menjemput dua senjata sakti itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. Maksudku sampai pemuda pemilik dua senjata mustika itu menemui ajal di depan mata hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini yang datang bukan dia seorang, malah membawa kawan yang tingkat kepandaiannya ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiran mu terlalu dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah Bledeg pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten ini"
"Jadi kangmas tidak menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan gadis itu sebelum tubuhnya yang bagus digantung besok pagi...?" tanya Kebo Penggiring. Dia sengaja berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu, tentu saja aku sangat mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat gadis secantik dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini lebih penting dari tubuh molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu..."
Kebo Penggiring mengomel habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat lain. Seraya berdiri dari kursinya dia berkata, "Jika begitu keinginan kangmas berdua baiklah. Silahkan menunggu sebentar."
Adipati itu melangkah masuk ke ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam secepat kilat dia menghilang ke sebuah ruangan rahasia di mana Pedang Sakti dan Keris Ular Mas milik Mahesa Kelud yang diterimanya dari Tambak Ijo disembunyikannya. Kedua senjata ini disisipkannya ke pinggang lalu bergegas meninggalkan ruangan rahasia itu. Dari sini Kebo Penggiring memasuki sebuah lorong kecil menurun dan sampai di sebuah kamar terbuat dari batu.
Di sinilah Anggini disekap. Sang dara masih berada dalam keadaan tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar. Dia sudah pasrah menerima nasib. Dinodai dan digantung. Namun gadis ini jadi heran ketika tiba-tiba saja Kebo Penggiring memanggul tubuhnya dan membawanya keluar dari kamar tahanan lewat sebuah jalan rahasia yang membawanya ke bagian belakang halaman gedung Kadipaten yang gelap.
"Kau mau bawa aku ke mana?!" tanya Anggini.
"Jangan banyak tanya!" desis Kebo Penggiring lalu cepat dia totok urat besar di leher si gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara.
Di bagian belakang gedung Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu tampaknya memang sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo Penggiring cukup cerdik dan panjang akal memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Cepat dia melompat ke atas punggung salah seekor kuda lalu membedal binatang itu dalam kegelapan malam sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun Kebo Penggiring berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg, tapi tanpa disadarinya dua sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya dalam kegelapan. Di pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini berhasil menyusulnya lewat jalan pintas. Salah seorang dari mereka menarik kaki belakang kuda yang ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh Anggini.
Sekali lagi Kebo Penggiring menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke depan dia melihat dua pemuda itu siap untuk menyerangnya. Kebo Penggiring cabut Keris Ular Emas dari sarungnya. Sinar kuning membersit terang di tempat gelap itu. Ujung keris ditempelkannya ke leher Anggini lalu dia membentak lemparkan ancaman.
"Tetap di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan menamatkan riwayat gadis ini!"
Wiro dan Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain tegak tak bergerak.
Perlahan-lahan dia kemudian memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis itu ke atas kuda kembali. Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang si gadis. Melihat ini Wiro segera bergerak untuk menghantam tapi Mahesa Kelud cepat mencegah dengan berteriak, "Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata itu beracun, meskipun hanya tergores berarti nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau! Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari atas kuda. Mahesa Kelud yang dibentak mau tak mau demi keselamatan gadis yang berada dibawah ancaman Kebo Penggiring terpaksa melangkah maju. Begitu mendekat Adipati itu hantamkan tendangan kaki kanan ke dada sipemuda. Tubuh Mahesa Kelud melintir lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak berkutik lagi.
"Kini giliranmu gondrong! Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia berpaling ke kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat itu. "Aku tahu kau sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika kau berani membokong silahkan! Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat dari kematian!" habis berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak kuda tunggangannya. Sebentar saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.
Anggini yang berada di sebelah depan berusaha memutar matanya, memandang berkeliling. Tapi malam sangat gelap dan kuda itu sudah menghambur jauh. "Benarkah pemuda itu yang dilihatnya tadi? Pendekar 212 Wiro Sableng? Mungkinkah guru meminta bantuannya?" berbisik hati sang dara. Lalu dia terkenang pada saat pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan Wiro. Hanya saja dia tak bisa mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat itu masih berada dalam ancaman bahaya besar.
Wiro Sableng melompat keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon besar. Hatinya jengkel sekali karena tak punya kesempatan untuk menghantam Kebo Penggiring yang ternyata berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas melihat wajah Anggini. Tak cukup jelas untuk melihat kecantikannya sebelum gadis itu menghilang dilarikan sang Adipati.
Cepat Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang terhampar di tanah. Ketika dia hendak menyentuh punggung pemuda itu, tubuh Mahesa Kelud mendadak membalik dengan tangan kanan siap menghantamkan pukulan 'Karang Sewu'!
"Sialan! Kukira kau pingsan benaran!" ujar Wiro.
"Untung aku membentengi badan dengan aji Karang Sewu. Kalau tidak, tendangan tadi sudah menghancurkan jantungku!" kata Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku yakin keparat itu terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara keluhan pendek dari mulutnya. Mana dia..?!"
"Kabur!"
"Harus kita kejar sebelum lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu segera berkelebat ke arah lenyapnya Kebo Penggiring.
Setelah lari jauh sepeminuman teh Wiro berbisik pada Mahesa Kelud. "Ada serombongan kunyuk yang mengejar kita di sebelah belakang"
"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak mengejar. Mereka menguntit. Semuanya berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah kanan, dua lagi di sisi sebelah kiri. Bagaimana pendapatmu? Apakah kita perlu menghantam mereka?!" tanya Mahesa."
"Sebaiknya jangan. Jika timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur makin jauh. Kau tak akan sempat menyelamatkan si gadis dan aku tak akan dapat mengambil dua senjata mustika itu!"
"Kau betul!" ujar Wiro. "Mari percepat lari kita!"
Adipati Kebo Penggiring tahu batul seluk-beluk jalan yang ditempuhnya. Karena itulah meskipun malam gelap dia dapat memacu kudanya dan meninggalkan siapapun mereka yang berusaha mengejar. Selewatnya sebuah pedataran lalang Kebo Penggiring memasuki daerah bebukitan kecil dan sampai di sebuah lembah. Dalam dinginnya malam dan kegelapan dia dapat melihat rumah bambu yang menjadi tujuannya, terletak ditepi sebuah telaga kecil.
Hanya saja saat itu sang Adipati melihat ada satu keanehan. Di atas atap bangunan bambu tampak sebuah lampu minyak diberi berpagar kertas tipis warna merah hingga angin tak dapat memadamkan nyala api lampu. Sebuah lampion!
"Apa maksud Eyang memasang lampion di atas atap" membatin Kebo Penggiring. Kudanya menderap kencang menuju rumah kecil itu dan dalam beberapa saat saja sudah sampai di sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.
"Eyang, saya datang..." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari dalam bangunan yang gelap terdengar suara batuk-batuk lalu orang menjawab, "Bagus... Masuklah. Malam buta begini kau muncul tentu ada sesuatu yang penting!"
Kabo Penggiring turun dari kudanya lalu menggendong Anggini dan masuk ke dalam bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun dia dapat melihat sosok tubuh sang guru yang duduk di sudut kanan, berjubah hitam, lengkap dengan topi kain hitam berbentuk kepala poncong.
"Eyang Poncong Item" sang guru ternyata bernama aneh, "Apakah kau ada baik-baik saja?"
"Tentu... tentu...!"
"Suara Eyang terdengar lain dan sering-sering batuk... "
"Ya... Tua bangka sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku batuk. Itu sebabnya suaraku lain"
Kebo Penggiring coba menembus kegelapan malam dalam bangunan bambu yang gelap pekat itu. Dia jelas merasakan satu kelainan. Tapi tidak dapat memastikan apa yang terasa lain itu. Otaknya bekerja keras tapi dia tak dapat memecahkan teka-teki yang ada dalam dirinya sendiri itu.
"Sosok tubuh siapa yang kau gotong masuk itu, muridku?"' Eyang Poncong Item bertanya dari sudut gelap.
"Adik seperguruanku Eyang..."
"Hemm... bukankah dia yang kabarnya menjadi gembong pemberontak terhadap Kerajaan? Kau menangkapnya atau bagaimana? Apakah dia sakit?"
Kebo Penggiring tak segera menjawab. Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada gurunya mengenai Anggini. Rasa tak enak kini menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru agaknya mencium keheranan muridnya maka dia cepat batuk-batuk dan berkata, "Kau tak usah heran, muridku. Walau kau tak pernah bercerita tapi aku punya seribu telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi diluaran. Kau datang di malam buta seperti terburu-buru. Apakah ada setan yang mengejarmu?"
"Memang ada yang mengejar saya Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh dan tak mungkin dapat mengejar sampai di sini. Hanya saja "
"Hanya saja apa Kebo Penggiring...?"
"Hem..." Tiba-tiba sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak suka bergelap-gelap dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu minyak di atas atap! Astaga. "Lampion di atas atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak keras.
"Ada apa dengan lampion itu?"
"Lampu itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang Poncong Item tertawa. "Kau memiliki rasa takut tak beralasan..."
"Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Kebo Penggiring. Lalu dia bergerak mencari-cari sesuatu.
"Apa yang kau cari?"
"Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan lampu itu Kebo Penggiring. Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan kukatakan padamu"
"Katakan saja Eyang," jawab Adipati Lumajang itu tanpa beringsut dari duduknya.
"Soal kitab yang kau dapat dari gurumu Dewa Tuak itu... Yang tempo hari kau berikan padaku"
"Ada apa dengan kitab itu Eyang?"
"Kitab itu lenyap dicuri orang!"
"Astaga!" Kebo Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup mencurinya dari tangan Eyang!" ujar sang Adipati hampir tak percaya.
"Itulah sebabnya kau kusuruh mendekat. Ada sesuatu yang hendak kuperlihatkan padamu!"
"Mau tak mau Kebo Penggiring bergerak juga mendekati sang guru. Ketika jarak mereka tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item gerakkan tangan kanannya.
"Wuttt...!"
Satu jotosan menghantam dada Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap dia sudah berdiri sambil memandang tak berkedip.
"Keparat! Kau bukan Eyang Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di depannya, yang juga telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh. "Murid pengkhianat! Kau licik tapi ternyata tak cukup cerdik!" Sang Eyang usap mukanya dan lemparkan topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu tanggalkan jubah hitam yang melekat di tubuhnya.
"Dewa Tuak!" saru Kebo Penggiring ketika akhirnya dia mengenali dalam gelap siapa adanya orang tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama Eyang Poncong Item itu, tetapi guru pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu di mana Eyang Poncong Item? Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah bambu ini?
Selagi Kebo Penggiring terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu menjangkau sebuah benda bulat panjang dari balik bahunya.
"Glukkk! Glukkk! Glukkk! Byuurrr...!"
Orang tua itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Di dalam gelap menebar harumnya bau tuak. Kebo Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai bambu lalu melompat ke kiri menerobos dinding.
"Murid murtad! Kau mau lari ke mana...?" bentak Dewa Tuak.
Dia melompat ke pintu. Sampai di luar kembali mengajar dengan semburan tuak. Kebo Penggiring tahu betul Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah menghindar selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan pukulan itu membuat Dewa Tuak terkejut. Buru-buru si kakek melompat ke atas dan dari atas semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Melihat datangnya semburan tuak disertai deru laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring segera maklum kalau bekas gurunya itu tidak main-main dan menginginkan kematiannya! Adipati ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap sinar merah berkiblat.
Terdengar suara berdering. Semburan tuak laksana menghantam dinding bambu lalu luruh ke tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur. Tak urung janggutnya kena dipapas sebagian. Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara Kebo Penggiring tertawa tergelak sambil melintangkan Pedang Sakti yang memancarkan sinar merah di depan dada. Sepasang mata Dewa Tuak tak berkesip memandangi senjata itu.
"Dari mana kau dapatkan pedang mustika itu?" Si kakek bertanya.
"Kau tanyakan saja nanti pada iblis di liang kubur!" jawab Kebo Penggiring seenaknya. Lalu dia menyerbu.
Serangan-serangannya ganas sekali. Meskipun dia tidak menguasai jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi dasar utama pasangan senjata mustika itu, namun karena senjata tersebut memang merupakan senjata sakti luar biasa, dimainkan dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata ampuh dan berbahaya. Dalam waktu singkat Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya kegesitannya saja yang membuatnya sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.
Memasuki jurus ke empat belas, satu bacokan deras yang sangat sulit dielakkannya, memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya untuk menjadi perisai diri. Tak ampun tabung itu terkutung dua namun si kakek sendiri berhasil selamatkan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak tertegun sambil urut-urut dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di bagian dada itu.
"Tua bangka buruk! Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana guruku Eyang Poncong Item!" Kebo Penggiring membentak.
Dewa Tuak tertawa mengekeh. "Dia sedang berenang bersenang-senang di telaga!" jawabnya.
"Maksudmu?!" bentak Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak dapat melihat apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dini hari namun keadaan masih pekat gelap.
"Aku meminta baik-baik kitab curian yang kau berikan padanya. Tapi dia lebih suka memilih berenang di telaga. Hanya sayang dia berenang tidak membawa nafas lagi... Ha-ha-ha!"
"Jadi?!"
"Gurumu sudah lama jadi bangkai..."
Dada Kebo Penggiring seperti mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia melompat untuk menyerbu kakek itu kembali. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat ada beberapa sosok tubuh berdiri dalam kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali orang-orang itu. Mereka adalah Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul Soka.
"Ah, urusan ini bisa jadi kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia mencari-cari tapi tak melihat Gajah Bledeg. Ketika dia berpaling ke arah bangunan bambu dilihatnya orang itu tegak di sana dan memanggul tubuh Anggini di bahu kirinya!
"Kangmas Gajah Bledeg! Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu?!" teriak Kebo Penggiring bertanya.
"Kebo Penggiring," sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya kau selesaikan saja urusanmu dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"
"Kalau kau berani melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya akan kubunuh kau!" mengancam Kebo Penggiring.
Gajah Bledeg tertawa bergelak. "Sebelumnya kau hendak mencelakai gadis ini! Hendak menodai dan menggantungnya! Sekarang mengapa kau ingin membelanya?!" tanya Gajah Bledeg jelas dengan maksud mengejek.
Kebo Penggiring geram bukan main. Sesaat dia memutar otak. Lalu berkata dengan suara bergetar, "Kangmas Gajah Bledeg, jika kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku menyerangmu!"
Kembali benggolan kerajaan itu tertawa dan menjawab menantang, "Siapa takut padamu Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat laporan ke Istana Bahwa kau berani mengangkat senjata terhadap orang Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang gembong pemberontak!"
Mendengar kata-kata Gajah Bledag itu. Kebo Penggiring tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia segera menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya sambil tertawa ha-ha hi-hi meskipun sambil mengurut dadanya yang sakit.
"Murid khianat! Pelajaran yang kuterima darimu belum selesai. Mari kita main-main lagi beberapa jurus sampai ada yang mampus di antara kita!"
Kebo Penggiring merasa heran melihat tindakan bekas gurunya ini. Seharusnya Dewa Tuak berusaha menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah justru menghadangnya.
"Tua bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup" Kebo Penggiring melompat menerjang.
Dewa Tuak tegak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru, "Pendekar 2121. Sudah saatnya kau keluar dari persembunyianmu. Kau datang ke mari bukan untuk menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan urusan dengan manusia jelek bernama Gajah Bledeg itu"
Wiro Sableng yang memang sejak tadi mendekam di balik semak belukar bersama Mahesa Kelud menunggu kesempatan baik, mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera melesat keluar, ke arah Gajah Bledeg.
Melihat hal ini Tunggul Soka tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo Kemitir agar membantu Gajah Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia membisikkan agar segera mengikutinya menyerbu Kebo Penggiring. Pedang merah di tangan Adipati itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti terselip di pinggangnya harus segera dirampas.
"Hemm... Jadi ini kacung suruhan Dewa Tuak yang diutus untuk membebaskan gadis molek ini? Apa betul namamu Sableng, cung?"
Kata-kata itu diucapkan Gajah Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini melangkah mendekatinya. Diejek demikian rupa Wiro Sableng keluarkan siulan tinggi.
"Tuan besar bernama Gajah Bledeg, turut penglihatanku kau tak pantas memakai nama Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari gajah!"
Marahlah Gajah Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul Anggini di bahu kirinya dia hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gandeng rundukkan kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis. Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti mengemplang tiang besi.
Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi, Gajah Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini di langkan rumah bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu Wiro Sableng. Kedua telapak tangannya terkembang. Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan, tetapi seperti orang menampar.
Dan setiap tamparan yang dilepaskannya mengeluarkan suara dahsyat seperti geledek atau petir menyambar. Membuat semua orang tergetar hatinya dan sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama Bledeg yang berarti geledek itu!
Wiro Sableng sendiri kaget bukan main. Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan suara menggetarkan, kedua telapak tangan Gajah Bledeg dirasakannya mengeluarkan hawa panas.
"Braakkk...!"
Salah satu tamparan Gajah Bledeg nyasar menghantam sebatang pohon dadap. Bekas tamparan itu langsung berwarna hitam. Sesaat kemudian terdengar suara berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu tumbang perlahan-lahan.
Kuduk Pendekar 212 jadi mengkirik dingin. Kalau mau selamat tak ada jalan lain. Dia juga harus keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya si muka cacat Ronggo Kemitir sudah berada di samping Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya. Ketika kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini sambut dengan pukulan 'Bentang Topan Melanda Samudera'.
Kalau Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget dan dapatkan tubuhnya terpental jauh lalu jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan seruan tertahan. Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha melawan tindihan pukulan sakti lawan yang laksana dinding karang menghimpitnya. Tubuhnya mengapung namun hanya sesaat.
Ketika Wiro dorongkan telapak tangan kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini terhempas ke belakang, berguling di tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri namun dadanya terasa sakit dan kedua lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri kucurkan keringat di keningnya tanda tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg sungguh luar biasa.
Di lain bagian Mahesa Kelud telah pula melompat keluar dari balik semak belukar di mana sebelumnya dia bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar ini merasa kawatir melihat begitu banyak orang yang menyerang Kebo Penggiring. Dewa Tuak menyerang Adipati itu jelas untuk menghukum muridnya yang khianat.
Sebaliknya kesempatan ini dapat dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk merampas senjata-senjata mustika miliknya yang dirampok dan kini berada di tangan Kebo Penggiring. Dalam pada itu Mahesa melihat pula dua lelaki tinggi besar berpakaian bagus yakni Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang merupakan dua dari lima orang yang telah merampoknya di pedataran Tengger. Menimbang sampai ke situ maka Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa Tuak! Kau terluka di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid perempuanmu itu? Biarkan aku menggasak segerombolan badut ini!"
Dewa Tuak hendak memaki marah mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu. Namun disadarinya bahwa saat itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam yakni akibat pukulan Eyang Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian yang terjadi pada sore hari yang sama Dewa Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya dan membuang mayat Poncong Item ke dalam telaga.
Ketika mayat itu digeledah dia telah menemukan kitab miliknya yang dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar Poncong Item yang telah menghasut Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut kemudian menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti mandraguna yang tak mudah dikalahkan.
Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa Tuak berhasil mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di dadanya. Kini menyadari kebenaran maksud baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat menghampiri tubuh Anggini yang terbaring di langkan rumah bambu. Sang murid ternyata tak kurang suatu apa selain di totok pada beberapa bagian urat pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak dapat menggerakkan kedua tangan dan tak bisa mempergunakan kedua kakinya.
Dengan cekatan Dewa Tuak melepaskan totokan itu satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan yang melumpuhkan Anggini memeluk si kakek seraya mengucapkan terima kasih. Lalu tanpa dapat dicegah gadis ini menyerbu ke tengah kalangan pertempuran. Di tangannya terdapat sehelai selendang berwarna ungu yang pada ujungnya tertera guratan hitam angka 212. Selendang ini merupakan senjata yang diandalkan sang dara.
Bagaimana angka 212 tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya tersendiri. Baca serial Wiro Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran.
Ketambahan lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin terjepit. Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin. Sepasang tangan dan dua kakinya siap dengan 'Aji Karang Sewu' yang dapat menghancurkan apa saja bila kena dihantamnya.
Selendang ungu di tangan Anggini menderu kian ke mari laksana seekor ulat, membelit dan mematuk tiada henti. Tunggul Soka serta Tambak Ijo dan Lah Bludak meskipun mengandalkan tangan kosong, ketiganya melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama hantaman tangan dan kaki Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Namun pedang merah sakti di tangan Kebo Penggiring merupakan senjata ampuh luar biasa yang dapat membendung semua serangan yang datang. Karenanya meskipun telah terkurung rapat tetap saja para pengeroyok tidak mampu menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas pedang.
Satu kali Tunggul Soka berlaku nekad. Setelah menggebrak dengan pukulan dan tendangan berantai dia menyusup dari bawah, bergerak cepat. Satu tangan menghantam pergalangan Kebo Penggiring, tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi hampir saja pentolan istana ini celaka. Tidak terduga pedang merah itu menyambar ganas kebawah.
"Brettt...!"
Bahu pakaian Tunggul Soka robek besar dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat melompat mundur. Wajahnya tampak pucat. Sebagai tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang tinggi. Dibandingkan dengan dirinya maka kepandaian Kebo Penggiring masih berada di bawah. Bagaimana Adipati yang dikeroyok begitu banyak lawan masih mampu bertahan dia membuat kejutan.
Tak ada alasan lain kecuali pedang merah di tangan kanannya benar-benar senjata luar biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk memiliki senjata tersebut. Tunggul Soka usap luka di bahunya. Darah berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu kembali dari samping kiri dilihatnya sesosok tubuh melesat dari kegelapan, langsung melabrak kalangan pertempuran.
Tunggul Soka tidak kenali siapa adanya orang ini. Sebaliknya begitu Kebo Penggiring melihat wajah penyerang baru itu, hatinya mau tak mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain pemuda yang telah ditendangnya dan disangkanya telah menemui ajal, paling tidak terluka parah. Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat menendang, masih terasa di kaki kanannya.
Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga kawannya telah menggagahi Mahesa Kelud di pedataran pasir Tengger, kini mereka berkelahi dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat atau lambat pemuda itu pasti akan membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi pangkal sebab semua kejadian ini.
Selintas pikiran licik muncul di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun berteriak, "Kangmas Tunggul Soka, Adipati Kebo Penggiring, Lah Bludak! Mari lupakan dulu persoalan di antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat ini!
"Kau betul dimas Tambak! Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.
"Keparat!" maki Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul Soka dengan anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya sendiri dan Anggini murid Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun mendekati si gadis dan berbisik, "Saudari kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi saling punggung denganku!"
Anggini yang juga mengerti kalau keadaan kini berubah, cepat melakukan apa yang dikatakan Mahesa lalu putar selendang ungunya lebih sehat. Bagi Mahesa Kelud yang paling penting adalah memperhatikan tindak-tanduk gerakan Kebo Penggiring. Adipati ini merupakan musuh paling berbahaya di antara empat pengeroyok karena pedang sakti berada di tangannya. Sebaliknya dua titik lemah di pihak lawan adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka kembali dia berbisik pada Anggini, "Hati-hati dengan pedang merah. Arahkan seranganmu lebih banyak pada dua lawan berpakaian bagus!"
"Aku mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya kini dibagi dua. Pertama disalurkan ke selendang ungu yang jadi senjatanya. Sebagian lagi ke lengan kiri. Pukulan dan tendangan berkecamuk silih berganti. Sinar ungu selendang Anggini menderu berkelebat di udara. Di antara semua itu pedang merah mengiblatkan sinar dan suara mendengung menggidikkan.
Mahesa Kelud kertakkan rahang. Setelah bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus ilmu Pedang Dewa pendekar ini akhirnya merasakan bahwa kedudukannya jurus demi jurus semakin tertekan. Maka diapun mulai siapkan pukulan sakti mandraguna yakni pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini serta merta menyadari dalam kecamuk perkelahian yang menggila seperti itu tak mungkin baginya mengeluarkan ilmu kesaktian itu.
Untuk melakukan pukulan Inti Api dia harus memejamkan mata membaca mantera. Jika itu dilakukan sama saja dengan membiarkan lawan membantai tubuhnyal Untuk sementara dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu sambil menunggu kesempatan untuk mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir terbang berwarna merah.
Kita ikuti kembali perkelahian di bagian lain yakni antara Pendekar 212 Wiro Sableng yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo Kemitir. Setelah mengatur jalan nafas dan darah masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo Kemitir kembali menyerbu murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau Gajah Bledeg kini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo Kemitir tampak membekal sebilah pedang berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk lurus, memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang seharusnya lancip ternyata bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan Renggo Kemitir Wiro Sableng tidak merasa takut. Pusat perhatiannya adalah sepasang tangan Gajah Bledeg yang terus menerus mengeluarkan suara menggelegar, menebar hawa panas.
Pendekar 212 bentengi diri dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat Ronggo Kemitir menjadi jeri dari dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah Bledeg berlaku lebih cerdik. Setiap selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya berkelebat cepat berpindah tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang. Dan ketika lawan membalik untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke jurusan lain.
Setelah saling hantam selama lebih dari sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan, Ronggo Kemitir harus dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212 lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut melihat sambaran sinar putih perak menyilaukan datang membabatnya disertai deru dan hawa panas luar biasa. Ketika dia jungkir balik selamatkan diri, di lain kejap Wiro sudah melesat ke kiri, kirimkan pukulan telak ke sisi kanan Ronggo Kemitir yang saat itu juga ikut terkesiap melihat kedahsyatan pukulan Sinar Matahari.
"Kraakkk...!"
Empat tulang iga Ronggo Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya sebelah dalam seperti ditusuk empat bilah pisau. Nafasnya mendadak menyengat. Tubuhnya terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk, tersandar ke semak belukar dan tak mampu berdiri lagi.
Wiro Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg. "Gajah jelek. Sekarang tinggal kau dan aku. Jika kau ingin kembali hidup-hidup ke Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus bersiaplah untuk menghadap setan akhirat!"
Meskipun hatinya tergetar melihat apa yang dialami Ronggo Kemitir namun ucapan Pendekar 212 Wiro Sableng itu membakar amarahnya. Didahului bentakan keras dia tepukkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Terdengar suara seperti geledek menggelegar. Tanah bergetar. Pendengaran sakit seperti ditusuk. Angin panas menderu menyambar tubuh Wiro Sableng.
Murid nenek sakti dari gunung Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin pukulan lawan menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan pukulan Sinar Matahari. Sekali ini dengan pengerahan lebih tiga perempat tenaga dalam. Terjadilah hal yang membuat semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesima kaget, gempar lalu bergidik ngeri.
Pukulan geledek yang dilepaskan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan pukulan Sinar Matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang-cabang pohon, ranting-ranting dan dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus hitam. Di sebelah bawah tanah terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu bekas kediaman Poncong Item roboh. Air telaga bergerlombang.
Tak ada satu orang pun yang sanggup menahan diri dari kejatuhan, termasuk Wiro sendiri. Semua orang-orang itu terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun gempa keras. Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, pentolan Istana itu tampak terkapar beberapa tombak di kejauhan. Pakaiannya tak kelihatan lagi. Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam!
Selagi semua orang terduduk terkesiap dan berusaha menenangkan kejut serta kengerian yang menguasai diri masing-masing. Tunggul Soka pergunakan kesempatan. Dengan satu gerakan kilat dia berkelebat kearah Kebo Penggiring. Sekali sentak saja dia berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan Adipati Lumajang itu.
"Bangsat pencuri!" teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.
"Jangan tolol!" balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa kau tidak melihat kedudukan kita sekarang terjepit? Kau masih memiliki sebilah senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi musuh-musuh!"
Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin memiliki senjata itu namun pada kesempatan yang tepat dengan licik dia dapat menutupi maksud buruknya itu. Dan Kebo Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul Soka tadi. Dia tampak mengeluarkan Keris Ular Emas dari balik pinggangnya. Sinar kekuningan memancar di udara malam menjelang dinihari yang masih gelap itu.
Mahesa Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit bagi pihaknya untuk menghadapi empat lawan yang nekad itu, terutama mereka yang memegang senjata mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini, kau mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan muridnya. Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak bisa guru!" terdengar sahutan sang dara. "Bagaimanapun aku harus menghajar manusia khianat itu. Mengingat rencana kejinya terhadapku, aku pantas memecahkan kepalanya!"
Kebo Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah...!"
"Manusia keji!" pekik Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu berkelebat disertai deru angin deras menyambar kepala sang Adipati. Yang diserang tusukkan keris emas di tangan kanannya ke atas.
"Brettt...!"
Ujung selendang ungu robek. Anggini kembeli terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan Mahesa Kelud tak tinggal diam. Keduanya menyerbu. Di lain pihak Tunggul Soka dan Tambak Ijo serta Lah Bludak sudah pula bergerak, menyongsong datangnya serangan.
Di saat perkelahian kembali hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara menggaung seperti ada ribuan tawon menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu sinar putih perak tampak berputar di udara lalu membeset ke arah Kebo Penggiring.
Percaya akan keampuhan Keris Ular Emas di tangannya sang Adipati tusukkan senjatanya ke depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar putih perak tadi membabat ke bawah menghindari bentrokan lalu menelikung ke pinggang. Kebo Penggiring terkejut. Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan lambungnya dingin.
Rasa dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa panas. Dia memandang ke bawah lalu menjerit melihat darah menyembur disusul usus yang membusai dari perutnya yang robek besar. Memandang ke depan dia melihat pemuda berambut gondrong itu tegak menyeringai dengan senjata aneh di tangani
"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Tunggul Soka. Kini setelah dia tahu pasti siapa adanya pemuda itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai pedang sakti, mengapa harus menyulitkan diri meneruskan perkelahian? Tanpa pikir panjang lagi tokoh silat Istana ini segera balikkan diri ambil langkah seribu.
Namun sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke arahnya lalu tekan alat rahasia di hulu senjata yang berbentuk kepala naga. Terdengar suara berdesir halus ketika selusin jarum putih melesat dari mulut kepala naga, menyerang ke arah Tunggul Soka.
Mendengar datangnya senjata rahasia ini Tunggul Soka cepat putar pedang merah di belakang punggung. Terdengar suara berdentringan disertai memerciknya bunga-bunga api. Selusin jarum patah dan luruh ke tanah.
Wiro memaki panjang pendek. Dia siap melompat untuk mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah berkelebat lebih dulu seraya melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna merah. Ratusan pasir itu menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan hampir tak mengeluarkan suara.
Tunggul Soka tersentak kaget ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada senjata rahasia lain menghantam tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan diri seraya putar pedang merah di belakang punggung. Namun terlambat. Puluhan pasir-pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke dalam daging, larut dalam aliran darah.
Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu mencoba lari. Dia hanya sanggup lari sejauh tiga tombak lalu tersungkur sambil mengerang. Sekujur tubuhnya terasa perih seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu disertai pula oleh hawa panas bukan alang kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata dan telinganya. Dari mulutnya terdengar suara seperti mengorok. Dadanya naik ke atas lalu terhempas ke bawah bersamaan dengan lepasnya nafasnya.
Mahesa Kelud cepat menyambar Pedang Dewa yang masih berada dalam pegangan Tunggul Soka. Kembali ke tempat pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo Penggiring sudah menggeletak di tanah. Usus membusai dan kepala pecah. Selagi sang Adipati meregang nyawa. Anggini yang tidak dapat menahan dendam kesumatnya hantamkan selendang ungunya ke kepala Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang nyawanya memang sudah tak tertolong lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut jebol!
Ketika Mahesa Kelud mengambil Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring dan menggeledah pakaiannya untuk menemukan sarung Pedang Dewa serta sarung Keris Ular Emas, Tambak Ijo dan Lah Bludak yang sudah lama mencari kesempatan segara menyelusup di balik pepohonan dalam kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget ketika terdengar bentakan,
"Kalian berdua mau lari ke mana?!" Dan tahu-tahu Mahesa Kelud sudah menghadang di depan mereka.
Tambak Ijo jatuhkan diri ke tanah. Lah Bludak mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Keduanya meratap minta diampuni.
"Setan tak bermalu!" bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan terhadapku cukup layak membuat aku membunuh kalian detik ini juga"
"Jangan Raden... ampuni selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang suruhan belaka..." ratap Tambak Ijo.
"Begitu...? Baiklah. Nyawa mu berdua aku ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa hidup senang di kemudian hari!"
Habis berkata begitu Mahesa tendang selangkangan kedua orang itu hingga anggota rahasia masing-masing hancur. Keduanya terpelanting pingsan.
Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Dewa Tuak tegak dengan tubuh gontai. Dia memandang berkeliling. "Beginilah hidup dan kehidupan..." katanya perlahan. "Kejahatan, kekejaman, dendam dan darah selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat kebajikan dan kebaikan. Mahesa Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua senjata mustikamu kembali?"
"Sudah kek. Aku sangat berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu serta kawanku si Sableng itu niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu selama-lamanya..."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering karena sudah beberapa lama tak meneguk tuak.
"Kalian dua pemuda tentu ingin melanjutkan perjalanan. Namun aku ada satu pertanyaan untukmu Pendekar 212"
"Apakah itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Urusan jodoh tempo hari. Apakah kau sudah memikirkan...?!"
Paras Wiro Sableng berubah. Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa Tuak, Anggini tampak tundukkan wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa Kelud tertawa geli dan kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika kau memang tak berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang lain..." terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro Sableng angkat kepalanya, berpaling pada Mahesa Kelud. Murid Embah Jagatnata ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini Wiro yang tertawa mengekeh.
"Kek, kau benar! Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!" kata Wiro.
"Hai! Urusan apa ini?!" seru Mahesa Kelud.
Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi Dewa Tuak cepat memegang lengannya.
"Soal jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa salahnya kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku"
"Maaf kek, aku masih ada keperluan lain..." kata Mahesa Kelud coba menampik tapi matanya melirik memperhatikan Anggini sejenak.
Dewa Tuak tertawa panjang. Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan kiri memegang lengan Anggini.
"Kek, tunggu... Aku harus mencari kuda putihku..." ujar Mahesa pula.
"Binatang itu, mengapa harus dikhawatirkan!" kata Dewa Tuak.
Lalu kakek ini keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda putih. Ternyata binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah dirampas Tambal Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah pergi, binatang ini mengikuti dari belakang. Sementara itu hari semakin terang tanda pagi segera menjelang.
SATU
KEDAI minuman itu penuh dengan para pengunjung yang ingin menikmati bandrek, pisang rebus dan kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati bandrekhangat sambil mengobrol dan menghisap rokok.
Tetamu yang ada dalam kedai itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal golok. Pertanda bahwa mereka adalah orang-orang kasar. Seorang pemuda muncul di pintu kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang gondrong basah acak-acakan.
"Saya mencari Memed Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si pemuda lalu meneruskan obrolan mereka, menghisap rokok atau meneguk bandrek. Tak ada yang menjawab. Semua seperti tak acuh seolah-olah pemuda itu tak ada disana.
Orang yang bertanya garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup jelas terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata, "Aku yakin tidak semua orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang menjawab?"
Seorang berdestar hitam berpipi cekung membuka mulut dari belakang meja di mana dia sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai. "Orang yang kau cari tak ada di sini"
"Saya mendapat keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam," berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan masuk ke dalam kedai yang sudah sesak oleh tamu itu.
"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi," kata orang kedai lalu menyarankan. "Tunggu saja di sini sambil minum-minum..."
Pemuda itu memandang berkeliling dan menjawab, "Biar saya menunggu di luar saja..."
"Terserah padamu. Tak ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda tadi balikkan tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai. Udara malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia tetap tegak di tempatnya mematung dan menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi agak pendek berkepala gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.
"Anak muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed Gendut?" salah seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan kecil. Biasa-biasa saja" jawab si pemuda.
"Hemm... Apa yang kecil dan apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak. Matanya liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya hanya ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan begitu. Kami berdua adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika kau ada keperluan kami bisa membantu." Kata si tinggi kekar.
Pemuda itu berpikir sejenak. Akhirnya menjawab. "Terima kasih. Biar saya menunggu Memed Gendut saja.
"Sikapmu tidak mempercayai kami berdua huh?!" kata si pendek botak dan dia melangkah mundar-mandir di depan pemuda itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu golok.
Si pemuda garuk-garuk kepalanya. "Apa gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi apa untungnya kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi besar ulurkan tangannya dan tepuk-tepuk bahu pemuda itu. "Jangan bicara seperti itu anak muda. Orang hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak begitu...?"
"Eh... Aku tadi bilang terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin menunggu Memed Gendut. Tapi kalian seperti memaksa!" Pemuda berambut gondrong yang bertampang seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar karena jengkel.
Si tinggi besar menyeringai dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala botak, lalu berkata pada pemuda di hadapannya. "Memed Gendut terkenal sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang asing mencarinya, pasti urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"
Si pemuda tak menjawab. Si botak kini ikut memegang bahu pemuda itu seraya berkata, "Jika kau memang ingin membeli kuda, serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini. Dalam waktu singkat kami akan kembali membawakan seekor kuda paling bagus untukmu... Nah serahkanlah"
"Serahkan apa?!"
"Uang pembeli kuda!"
"Apa kalian juga pedagang kuda?"
Si tinggi menjawab, "Tadi sudah kami katakan. Kami ingin menolongmu. Ternyata betul kau ingin membeli kuda! Memed Gendut memang pedagang kuda terkenal. Tapi harga kudanya mahal. Kuda milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih murah. Tunjukkan berapa uang yang kau punya?"
"Sudahlah. Biarkan aku sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan minum."
"Hemm " si tinggi besar usap-usap dagunya. "Kalau begitu kau harus bayar uang wara-wiri pada kami!"
"Eh, bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.
"Sebagai ganti rugi karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!" jawab si pendek botak seraya puntir kumis tebalnya.
Pemuda gondrong melongo lalu tertawa gelak-gelak.
"Sialan! Kenapa tertawa!" bentak si tinggi
"Kalian ini berdua mengemis atau hendak memeras?!" tukas pemuda itu.
"Terserah kau mau menyebut apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang yang kau miliki!" bentak si botak.
"Nah, nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri! Kini inginkan semua uangku! Benar-benar wong edan!"
"Srettt! Srettt...!"
Dua bilah golok telanjang tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda itu. Orang lain mungkin sudah pingsan atau terkancing ketakutan dikalungi dua buah golok seperti itu. Tapi anehnya si pemuda malah menyeringai dan keluarkan siulan.
"Kalau begini namanya bukan pengemis atau pemerasan, tapi perampokan!" katanya.
"Tepat sekali! Ini memang perampokan! Lekas serahkan semua uangmu!"
Si botak ulurkan tangan kirinya untuk menggeledah pinggang dan saku pakaian si pemuda. Tapi tiba-tiba pemuda itu hantamkan sikunya ke lambung si botak hingga orang ini terjungkal. Di saat yang bersamaan kawannya si tinggi merasakan satu tendangan menghantam tempurung lututnya hingga hancur dan terjengkang jatuh sambil berteriak kesakitan.
"Plaakkk! Plaakkk...!"
Satu tamparan amat keras melayang ke muka kedua orang itu. Bibir mereka pecah. Keduanya tergelimpang pingsan di bawah cucuran atap.
Suara pukulan dan tendangan serta pekik dan tamparan membuat semua tamu dalam kedai terkejut lalu berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Di luar mereka dapatkan dua kawan mereka tergelimpang pingsan di tanah yang becek sementara pemuda asing yang tadi mencari Memed Gendut tegak tenang-tenang bersidakap lengan. seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di tempat itu.
Seorang menyeruak dari kerumunan para pengunjung kedai dan bertanya, "Ada apa di sini?! Anak muda. Kau yang mencelakai kedua orang ini?"
"Bukan aku. Mereka minta celaka sendiri!" jawab si pemuda. Lama-lama dia merasa muak melihat sikap orang-orang itu. "Aku mencari Memed Gendut! Mereka hendak merampok! Wong edan!"
"Jangan menuduh sembarangan! Mereka adalah orang baik-baik!" Yang bicara adalah pemilik kedai.
"Begitu? Apa kau dapat menerangkan mengapa orang baik-baik mencabut golok dan memaksa aku menyerahkan uang?!"
"Kau mengarang cerita!" Seseorang berkata setengah berteriak.
Lalu beberapa orang membuat gerakan sama. Mencabut golok di pinggang masing-masing. Termasuk si pemilik kedai.
"Hemm... kalau begitu kalian semua ternyata kawanan rampok!" ujar si pemuda. "Rupanya sudah cukup lama kalian berkomplot di daerah ini tanpa pernah mendapat hajaran! Hari ini biar tuan besarmu memberikan, sedikit pelajaran! Majulah ramai-ramai!"
"Pemuda Sombong!"
"Minta mampus!"
Enam orang merangsak maju dengan senjata di tangan. Si pemuda sama sekali tidak takut. Sikapnya berdiri acuh tak acuh. Ketika dua dari enam pengeroyok menyerbu maju, pemuda berambut gondrong keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas. Tangan dan kakinya menghantam kian ke mari.
Maka terdengarlah jerit pekik di tempat itu. Tiga orang langsung terhampar di tanah, merintih kesakitan sambil pelangi dada, kepala atau perut. Dua lainnya tersandar di dinding kedai. Yang satu yang paling parah menyangsang di antara semak belukar di seberang jalan!
Melihat kejadian ini, yang lain-lain melangkah mundur menjauhi si pemuda. Rasa kagum tertutup oleh rasa takut. Ketika pemilik kedai buang senjatanya ke tanah dan masuk ke dalam kedai, yang lainnya pun mengikuti. Tapi ada pula yang segera meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam kegelapan malam.
Si pemuda tiba-tiba merasakan punggungnya di tepuk orang. Cepat dia berpaling dan dapatkan seorang lelaki kecil sangat kurus tegak di hadapannya. Orang ini memberi isyarat seraya berkata,
"Lekas ikuti aku!"
"Kau siapa?" tanya si pemuda curiga.
Orang itu tak menjawab, malah langsung berlari pergi. Meskipun merasa tidak enak tapi akhirnya pemuda itu mengejar juga orang tadi. Jauh di pinggiran desa, dekat pesawahan orang itu perlambat larinya lalu berhenti dan menunggu si pemuda.
"Katakan apa maksudmu menyuruh aku mengikuti?!" tanya si pemuda.
"Bukankah kau mencari Memed Gendut? Akulah orangnya!"
"Kurang ajar! Jangan berani bergurau"
"Aku tidak bergurau! Memang akulah Memed Gendut. Pedagang kuda yang kau cari!"
"Menurutku yang namanya Memed Gendut itu pasti manusianya gemuk besar. Tidak kurus kering cacingan sepertimu ini!"
Orang itu tertawa. "Kau hanya mengenal namaku. Belum pernah bertemu. Bukan kau seorang yang menduga salah. Orang-orang memberi nama itu padaku justru sebagai kebalikan dari keadaan tubuhku yang seperti jerangkong ini!"
"Begitu? Tapi aku masih belum percaya padamu. Bukankah tadi kulihat kau ada di dalam kedai ketika aku pertama kali datang dan bertanya?"
"Betul...!"
"Lalu kenapa kau tidak menjawab?"
"Aku tidak berani."
"Mengapa tidak berani?"
"Kedai dan daerah sini dikuasai oleh gerombolan rampok dan pemeras pimpinan Kumbang Plered. Orangnya, itu yang tinggi besar dan berkumis yang mula-mula mendatangimu bersama si botak. Pemilik kedai adalah salah seorang anak buahnya. Dan aku sejak lama jadi bulan-bulanan pemerasan mereka. Jika ada yang hendak membeli kuda, mereka langsung turun tangan menetapkan harga. Padaku kemudian hanya diberikan sejumlah uang yang sangat kecil. Aku sudah lama ingin meninggalkan daerah ini, tapi mereka mengancam anak dan istriku!"
Memed Gendut yang ternyata hanya seorang lelaki separuh baya bertubuh kurus kering diam sesaat. Lalu dia bertanya, "Kau mencariku apakah hendak membeli kuda...?"
Pemuda rambut gondrong mengangguk. "Tapi aku kawatir uangku tak cukup. Apakah bisa kalau menyewa saja?"
Memed Gendut tertawa. "Sewa menyewa tak pernah kulakukan. Itu urusan bikin repot saja. Melihat kau telah melakukan sesuatu yang hebat malam ini, aku bertanya, berapa uang yang kau miliki?"
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kantong kecil dan menyerahkannya pada si pedagang kuda. Memed Gendut memeriksa lalu memasukkan kantong itu ke dalam saku pakaiannya.
"Uangmu tak cukup untuk membeli sepotong kudapun. Tapi tak apa. Kau orang asing. Dari sini kemana tujuanmu?" tanya Memed Gendut.
"Lumajang."
"Lumajang? Berarti kau akan melewati lautan pasir Tengger. Dengan berkuda terus menerus paling tidak kau membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dan tak mungkin kau hanya memiliki seekor kuda. Paling tidak harus ada seekor kuda cadangan. Kalau hanya membawa seekor kuda, dan terjadi apa-apa dengan binatang itu, kau akan menemui ajal dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil jalan lain. Tapi itu berarti lebih dari sepuluh hari baru sampai di Lumajang."
"Itulah yang tak aku ingini. Aku harus cepat-cepat sampai di sana." Si pemuda tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya berulang kali. "Uangku katamu tidak cukup... Bagaimana ini?"
"Sudahlah, aku akan menolongmu. Boleh aku tahu namamu?"
"Panggil aku Wiro," jawab pemuda gondrong.
"Aku akan berikan dua ekor kuda padamu. Jika kemudian hari kau mau membayar kekurangannya terserah saja. Tapi aku tak begitu mengharapkan..."
"Terima kasih. Kau orang baik. Tapi dari tadi kita hanya bicara saja di pinggir sawah di malam buta dan gelap begini. Aku belum melihat kuda-kudamu..."
"Rumahku di timur sawah ini. Kita berangkat sekarang saja."
Kedua orang itu menyeberangi sawah menuju ke arah timur. Selewatnya pesawahan, dalam kegelapan malam di kejauhan tampak sederetan rumah. Salah satu di antaranya memiliki halaman luas yang diberi berpagar kayu tinggi. Lebih dari selusin kuda kelihatan di balik pagar itu. Inilah rumah Memed Gendut. Ketika sampai di ujung pagar, pedagang kuda ini hentikan langkah. Dia memandang ke arah rumah. Dalam kegelapan tampak sosok-sosok tubuh mendekam di sekitar bangunan.
"Hatiku tak enak. Ada beberapa orang di sekitar rumah. Aku curiga. Jangan-jangan..." kata Memed Gendut.
"Aku juga sudah melihat dari tadi," kata Wiro.
"Tenang saja. Jika orang-orang itu bermaksud jahat akan kugebuk seperti tadi aku menggebuk Kumbang Plered dan anak buahnya."
"Yang aku kawatirkan anak istriku di dalam rumah!" ujar Memed Gendut. Kedua orang itu memasuki pintu halaman.
"Berhenti di sana!" satu bentakan menggema keras di dalam kegelapan malam yang dingin.
"Astaga! Itu suara Kumbang Plered!" bisik Memed Gendut. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah berada di sini?!"
DUA
Delapan orang bergerak dari arah bangunan rumah. Semua menghunus senjata di tangan. Golok dan kelewang. Di sebelah depan memimpin seorang bertubuh tinggi besar. Ternyata dia memang Kumbang Plered, kepala gerombolan rampok dan pemeras.
"Memed Gendut!" teriak suara Kumbang Plered. Salah satu kakinya yang luka parah tampak di ikat dan diganjal dengan beberapa potong kayu. "Tidak disangka kau telah berkomplot dengan seorang pemuda asing dan berani melawan kami!"
"Aku tidak berkomplot dengan siapa-siapa Kumbang!" kata Memed Gendut. "Masih berani kau berdusta! Apa yang terjadi di kedai tadi cukup membuktikan tuduhanku! Dan sekarang terbukti lagi kau muncul di sini bersama kawanmu itu! Bagus! Bagus sekali perbuatanmu Memed. Dan kau harus bayar dengan mahal semua itu!"
"Selama ini aku selalu mengikuti kehendakmu Kumbang. Sekarang kulihat kau tidak beritikad baik terhadapku...?"
"Bukan hanya padamu Memed! Tapi juga terhadap kawanmu! Dengar baik-baik. Di dalam rumah dua orang anak buahku siap menggorok leher istri dan tiga anakmu!"
"Ya Tuhan!" pekik Memed Gendut. "Jangan kau celakai anak istriku!"
"Jika kau ingin mereka selamat ikuti kata dan perintahku!" kata Kumbang Plered.
"Apa yang kau inginkan Kumbang...?" suara Memed Gendut bergetar sementara Wiro tegak tak bergerak memperhatikan keadaan di sekitarnya.
"Pertama kawanmu itu harus menyerahkan seluruh uang yang dimilikinya
"Ini ambillah!" ujar Memed Gendut seraya melemparkan kantong uang yang tadi diterimanya dari Wiro.
Kumbang Plered cepat menangkap kantong uang itu. "Kedua, semua kuda yang ada di tempat ini mulai detik ini menjadi milikku..."
"Mati aku! Kumbang! Kau tahu mata pencaharianku adalah berjual beli kuda. Keuntungannya tidak seberapa. Kalau kau merampas semua kudaku bagaimana aku menghidupi anak istriku...!" teriak Memed Gendut dengan suara setengah meratap.
"Kalau begitu kau tak ingin anak istrimu selamat! Apakah perlu kuperintahkan agar mereka segera digorok saat ini?!"
"Jangan...! Jangan lakukan itu Kumbang! Kau boleh ambil semua kuda itu. Lalu pergi dari sini!" Kumbang Plered menyeringai.
"Bagus! Rupanya kau betul-betul mencintai anak istrimu. Hal ketiga! Kawanmu itu akan kami tangkap hidup-hidup. Jika dia berani melawan, anak istrimu tetap akan jadi korban!"
Memed Gendut berpaling pada Wiro. Si pemuda tampak berubah parasnya. Dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.
"Ada apa kau ingin menangkapku?!" tanya Wiro.
"Pertama karena apa yang telah kau lakukan terhadap kami di kedai bandrek tadi! Kedua kami mengetahui kau mengandung maksud buruk pergi ke Lumajang. Jadi kau pantas ditangkap dan diserahkan pada Adipati Kebo Penggiring!"
"Keparat setan alas!" Wiro memaki dalam hati. "Apakah bergundal sial ini benar-benar mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada Kumbang Plered Wiro tak ingin menunjukkan keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek, "Rupanya pelajaran yang kuberikan di kedai minuman itu masih belum cukup. Kau ingin kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"
Kumbang Plered meludah ke tanah. Saat itu bibirnya masih mengeluarkan darah akibat tamparan keras Wiro. "Pemuda gembel buruk! Jangan berlagak jagoan di hadapanku. Kau kenal dua temanku ini...?"
Kumbang Plered menunjuk pada dua lelaki berpakaian merah di sampingnya. Wiro ingat betul. Dua orang ini tidak ada dalam kedai bandrek ketika dia datang ke sana. Rupanya Kumbang Plered sengaja datang ke situ membawa mereka untuk dimintakan bantuan. Berarti keduanya memiliki kepandaian yang diandalkan.
"Siapa dua ekor kunyuk itu mana perduliku!" menyahuti Wiro.
Kumbang Plered tertawa mengekeh. Sedang dua orang berpakaian merah tampak berubah garang tampang mereka karena dicaci sebagai kunyuk oleh Wiro.
"Kawan-kawan, kalian dengar sendiri. Mulutnya terlalu lancang. Menurut hematku kalau tak dapat ditangkap hidup-hidup mayatnya pun cukup berharga. Bagaimana pendapat kalian?!"
Salah satu dari dua orang berpakaian merah itu menjawab, "Kami lebih suka mematahkan batang lehernya!"
Lalu dia memberi isyarat pada kawan di sebelahnya. Lima orang anak buah Kumbang Plered segera menyebar, mengurung. Memed Gendut menjauhkan diri ke sudut halaman. Dua lelaki berpakaian merah tampaknya hanya mengandalkan sepasang tangan kosong, bergerak mendekati Wiro. Siapakah kedua orang berpakaian serba merah ini?
Yang berjanggut macam kambing bernama Kuto Simpul. Kawannya yang bermata jereng bernama Reso Bondo. Sekitar setahun lalu kedua orang ini ikut menjadi pimpinan dari satu kelompok rampok hutan Roban yang ganas. Keduanya kemudian memisahkan diri lalu meneruskan kehidupan sesat dengan berkeliaran sebagai manusia-manusia bayaran.
Kalau dulu mereka malang melintang dalam rimba belantara maka kini keduanya berkeliaran di Kadipaten-Kadipaten bahkan tak jarang muncul di Kotaraja. Mereka akan melakukan apa saja, mulai dari membunuh dengan meracun sampai menjagal batang leher korban, asalkan mendapat bayaran. Karenanya tidak heran kalau kedua orang ini banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh golongan sesat tapi juga pejabat-pejabat kerajaan.
Kumbang Plered termasuk salah seorang yang rapat hubungannya dengan kedua orang ini. Karena kebetulan mereka berada di daerah itu, setelah dihajar oleh Wiro, Kumbang Plered memerintahkan anak buahnya menemui Kuto dan Reso. Bersama-sama mereka mendatangi rumah Memed Gendut. Dugaan mereka bahwa pedagang kuda dan pemuda itu akan muncul bersama di sana ternyata tidak meleset.
Melihat dua orang itu maju tanpa keluarkan senjata, Wiro segera maklum kalau mereka tidak boleh dianggap remeh. Namun dasar sikapnya yang suka menggoda dan mencemooh orang, pemuda ini enak saja kembali mengejek.
"Ayo dua ekor kunyuk majulah. Kalian membela bangsa perampok dan pemeras berarti kalian sama saja isi perutnya!"
Kuto Simpul dan Reso Bondo marah bukan main. Seumur hidup baru kali itu keduanya menerima penghinaan demikian rupa. Didahului dengan bentakan-bentakan garang, keduanya berkelebat menyerang. Suara serangan mereka mengeluarkan angin deras tanda keduanya memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang tinggi.
Untuk menjajaki sampai di mana kekuatan lawan, Wiro sengaja menyongsong dengan kedua lengan terpentang, berusaha mengadu tangan. Tapi dua orang lawan berlaku cerdik. Mereka menghindari terjadinya bentrokan pukulan, sebaliknya serentak menyebar ke kiri dan kanan lalu menghantam dengan pukulan tangan kosong.
"Wuttt! Wuttt...!"
Dua angin pukulan menerpa dengan deras. Wiro melompat ke belakang. Kedua tangannya diangkat ke atas. Masing-masing telapak melambai menyapu-nyapu. Terdengar suara menderu. Kuto dan Raso tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan mereka bukan saja menjadi buyar, tetapi membalik ke arah mereka sendiri!
Kedua orang itu cepat jatuhkan diri. Begitu menjejak tanah mereka gulingkan diri sambil kaki kirimkan tendangan. Kuto menendang ke arah kaki kanan Wiro sedang Reso Bondo menghantam ke arah dada. Mau tak mau Wiro terpaksa cari selamat dengan jalan melompat ke atas. Dari atas pemuda ini kembali kebutkan kedua tangannya. Tapi lawan sudah berguling lagi menjauh. Sambil bangkit Kuto Simpul berbisik pada kawannya.
"Reso, pemuda ini bukan cacing tanah sembarangan. Hati-hatilah!"
"Kau betul," sahut Reso Bondo. "Sebaiknya kita keluarkan empat jurus perampok mabok sekarang juga!"
Kuto Simpul mengangguk tanda setuju. Dari mulut kedua orang itu tiba-tiba keluar suara tawa berkakakan terus menerus. Sambil tertawa keduanya bergerak berputar-putar mengelilingi Wiro. Tangan dan kaki mereka ikut bergerak tiada putus-putusnya, memukul dan menendang, membuat Wiro terjepit di tengah-tengah dan siap jadi bulan-bulanan serangan.
"Jurus rampok mabok!" seru Kumbang Plered dalam hati dan terkejut. "Baru beberapa gebrakan mereka sudah mengeluarkan jurus hebat itu. Apakah pemuda keparat itu benar-benar luar biasa?"
"Hai! Kalian benar-benar seperti kunyuk mabok durian?'!" Wiro berteriak. "Menjauhlah! Badan kalian menebar bau busuki" Baru saja pemuda itu mengejek demikian, satu pukulan menghantam dadanya sebelah kiri.
"Bukkk...!"
"Kena!" seru Kuto Simpul giring walaupun mulutnya tampak meringis karena tangannya yang tadi berhasil menghantam dada lawan terasa sakit. Selain menahan sakit Kuto juga menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi jangankan membuat lawan terjungkal, cidera pun tidak. Maka diapun memberi isyarat pada Reso Bondo untuk melipat gandakan arus serangan dan menambah cepat gerakan memainkan jurus-jurus perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.
Memed Gendut yang melihat si pemuda terdesak malah kena pukul menjadi semakin ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk menemui anak istrinya. Tapi dua orang anak buah Kumbang Plered cepat menghadangnya dan menekankan ujung golok ke perut pedagang kuda itu.
"Lepaskan anak istriku! Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Memed Gendut Tubuhnya terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.
Sementara itu Kuto Simpul dan Reso Bondo sudah mulai menyerbu Wiro sambil terus berteriak-teriak. Empat jurus perampok mabok sebenarnya merupakan ilmu silat yang bukan sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan ilmu silat itu Kuto dan Reso telah membuat diri mereka ditakuti di mana-mana. Namun malam itu keduanya berhadapan dengan seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh berada di atas mereka. Meskipun telah melipat gandakan kecepatan serangan, tapi sampai jurus ke empat selesai, keduanya tidak berkesempatan untuk mendapatkan pukulan ataupun tendangan ke tubuh Wiro.
"Hai! Kenapa kalian berhenti barteriak-teriak?!" Wiro bertanya mengejek. "Rupanya sudah sembuh dari kerasukan setan?!"
"Keparat!" gertak Reso Bondo. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangan kanannya diluruskan dan menusuk deras ke tenggorokan Wiro. Kawannya tak tinggal diam, kirimkan tendangan ke bawah perut si pemuda.
"Hemm... Kali ini rasakan bagianmu!" kata Kumbang Plered yang merasa yakin serangan mendadak dan cepat dari kedua orang berpakaian merah itu pasti akan menghantam tubuh si pemuda. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Wiro miringkan tubuhnya ke belakang. Tusukan lima jari tangan Reso Bondo hanya menembus udara kosong. Di saat yang sama pemuda itu lepaskan tendangan kaki kanan, membabat kaki Kuto Simpul yang menderu ke arah selangkangannya. Sebelum tubuhnya jatuh punggung di tanah, Wiro masih sempat mencekal pergelangan tangan Reso Bondo lalu menyentakkan sekuat tenaga!
Gerakan yang dibuat Wiro bukan saja sangat sulit tapi sungguh luar biasa. Tubuh Reso Bendo laksana dilabrak topan, menderu jungkir balik di udara dan terhempas keras di tanah tanpa dia bisa membuat gerakan mengimbangi diri atau mampu berusaha jatuh di atas kedua kaki. Mata jereng manusia ini membeliak dan dari mulutnya terdengar suara gerung kesakitan. Kening dan hidungnya lecet berdarah disungkur tanah!
Dibandingkan dengan kawannya yakni Kuto Simpul si janggut kambing, Reso Bondo masih mending. Kalau dia cuma lecet kening dan hidung maka Kuto Simpul terdengar menjerit ketika tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tendangan Wiro. Tubuhnya terjengkang dan dia tak kuasa berdiri lagi.
"Keparat!" maki Reso Bondo seraya berdiri terhuyung-huyung. Dia berpaling pada Kumbang Plered dan berteriak, "Kumbang! Perintahkan orang-orangmu di dalam rumah membunuh perempuan dan anak-anak itu!"
"Jangan!" terdengar jeritan Memed Gendut. "Jangan ganggu anak istriku!"
Reso Bondo melompat dan menjambak rambut pedagang kuda itu. Dia memandang ke jurusan Wiro dan berteriak, "Kau dengar ratap orang ini? Jika kau tidak mau menyerah perempuan dan anak-anak di dalam rumah akan kusuruh bunuh!"
"Sialan! Bangsat ini benar-benar nekad!" maki Wiro dalam hati. "Kalau kau berani melukai perempuan dan anak-anaknya itu aku bersumpah untuk membunuhmu lebih dulu!" gertak Wiro.
"Bagus! Akan kita lihat! Siapa yang bakal mampus duluan!" ujar Reso Bondo mendengus. "Seret perampuan dan dua anak itu keluar rumah!"
Kumbang Plered melangkah terpincang-pincang. Walaupun dia berjalan dalam keadaan satu kaki cidera dan dengan bantuan tongkat kayu, tapi gerakannya masih cukup cepat. Dia masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian muncul lagi diikuti dua orang anak buahnya. Yang paling depan menyeret seorang perempuan yang tengah hamil besar. Di sebelah belakang menyusul lelaki kedua sambil mencekal leher pakaian dua orang anak lelaki kecil berusia dua dan tiga tahun. Kedua anak ini menangis menjerit-jerit
Kumbang Plered cabut golok besarnya dan letakkan ujung senjata itu di atas perut istri pedagang kuda sementara Reso Bondo angkat kedua tangannya ke atas, siap mengemplang kepala dua orang anak Memed Gendut!
"Baiklah! Aku menyerah!" kata Wiro sementara Memed Gendut meratap menyembah-nyembah di hadapan Reso Bondo agar kedua anak dan istrinya jangan dilukai, apalagi sampai dibunuh. "Kalian mau tangkap aku silahkan" ujar Wiro.
Kuto Simpul yang masih terkapar di tanah segera berteriak pada anak-anak buah Kumbang Plered. "Lekas kalian tangkap dan ikat pemuda gondrong itu!"
Tiga orang anak buah Kumbang Plered cepat maju mendekati Wiro. Salah seorang di antaranya membawa segulung tali. Wiro ulurkan tangan. Lelaki yang membawa tali segera bertindak untuk mengikat. Dua kawannya mencekal leher dan pinggang Wiro.
"Bagus... bagus! Ini yang aku mau!" kata Wiro dalam hati. Begitu tiga orang itu benar-benar sudah sangat dekat dengan dia, tangannya yang diulurkan dan baru saja dilingkari tali, meluncur ke depan dan ke samping, merampas golok yang tersisip di pinggang dua dari tiga anak buah Kumbang Plered. Gerakan pemuda ini demikian cepatnya. Tiga anak buah rampok dan pemeras itu menjerit keras ketika dua batang golok di tengah kiri kanan Wiro berkelebat.
Orang yang hendak mengikatkan tali terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berlumuran darah disambar golok. Kawannya di sebelah kiri jatuh tersungkur sambil meraung dan pegangi lengan kirinya yang putus. Sementara lelaki ke tiga menjerit keras sambil pegangi mukanya yang robek mulai dari dagu sampai pipi kanan.
Selagi Kuto Simpul, Reso Bondo dan Kumbang Plered serta yang lain-lainnya terkesiap kaget melihat apa yang terjadi, dua golok di tangan Wiro telah melesat di udara. Satu menancap di pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki bermata jereng ini keluarkan jerit keras, tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur jatuh menelungkup, membuat golok yang menancap di dadanya menembus lebih dalam hingga tersembul di punggungnya. Nyawanya tak tertolong lagi.
Kumbang Plered yang menyaksikan kematian Reso Bondo dengan mata melotot sama sekali tidak menyadari kalau golok kedua yang dilemparkan Wiro menderu ke arahnya. Dia baru tersentak kaget sewaktu senjata itu menderu dan menancap di lambungnya. Tongkat kayu lepas dari tangannya. Kepala rampok dan pemeras ini menjerit dua kali lalu roboh. Sesaat tubuhnya tampak berkelojotan setelah itu tak bergerak lagi!
Dua orang anak buah Kumbang Plered yang tadi menyeret dan mencekal anak istri Memed Gendut putus nyali. Serta merta mereka lepaskan perempuan dan dua anaknya itu lalu ambil langkah seribu. Beberapa orang kawan-kawannya yang juga ikut leleh keberanian mereka segara menghambur melarikan diri. Memed Gendut segera merangkul istri dan kedua anaknya.
Wiro melangkah mendekati mayat Kumbang Plered. Dari balik pakaian orang ini dia keluarkan kantong berisi uang miliknya yang dirampas dan melemparkan benda itu ke dekat Memed Gendut. Lalu Wiro melangkah menghampiri Kuto Simpul yang saat itu merangkang di tanah tengah berusaha melarikan diri dalam keadaan kaki patah.
"Janggut kambing! Kau mau lari ke mana?" Wiro membentak dan lelaki berpakaiarr merah ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel di keningnya.
Tubuhnya menggigil saking ketakutan. "Ampuni selembar jiwaku!" pintanya meratap.
Wiro menyeringai. "Lekas kau terangkan mengapa kau bersama konco-koncomu yang sudah mampus itu ingin menangkap aku. Tadi kalian menyebut-nyebut nama Adipati Lumajang. Ada sangkut paut apa kalian dengan Kebo Penggiring?!"
"Aku... kami " Kuto Simpul tampak seperti hendak berkelit.
Wiro injak kakinya yang patah hingga lelaki berjanggut kambing ini melolong setinggi langit.
"Rupanya satu kaki belum cukup! Apa ingin kupatahkan lagi kakimu satu lagi...?!" sentak Wiro.
"Jangan... Ampun! Aku akan bicara..."
"Bagus! Apa yang kau ketahui. Awas kalian berani dusta!"
"Tiga hari lalu seorang utusan Kebo Penggiring datang menemui Kumbang Plered. Keduanya kemudian menemui kami, maksudku aku dan Reso Bondo. Utusan itu memberi sejumlah uang dan perhiasan dengan perintah agar kami menangkapmu hidup atau mati..."
Wiro usap-usap dagunya lalu garuk-garuk rambutnya yang gondrong basah. "Kenapa Adipati Lumajang menginginkan diriku?" tanya Wiro.
"Demi Tuhan! Kalau itu kau tanyakan akupun tidak tahu!" jawab Reso Bondo lalu mengerang lagi kesakitan.
"Baik kalau begitu. Sekarang mana uang dan perhiasan yang kau terima dari utusan Adipati Lumajang itu...?"
"Aku tidak membawanya..."
Wiro menyeringai. "Jangan berani berdusta. Berikan uang dan perhiasan itu padaku! Atau kupatahkan kakimu satu lagi!"
"Ampun! Jangan, ini ambillah!" Dari dalam saku baju merahnya Kuto Simpul keluarkan sehelai selampai putih yang dipakai membungkus uang dan perhiasan. Benda itu diserahkannya pada si pemuda.
Wiro menimang-nimangnya sesaat lalu berkata, "Kau boleh pergi janggut kambing. Tapi ingat! Jika kau berani mengganggu pedagang kuda itu dan keluarganya, dadamu akan kutembus dengan golok seperti yang terjadi dengan kawanmu! Kau dengar janggut kambing?"
"Aku... aku dengar..." jawab Kuto Simpul. Lalu dengan susah payah dia merangkak, mencoba tegak tertatih-tatih, melangkah terpincang-pincang meninggalkan tempat itu.
"Anak muda! Tidak kusangka, kau bukan pemuda biasa rupanya. Aku dan istriku serta anak-anak mengucapkan tarima kasih "
"Huss!" Lskas berdiri!" sentak Wiro ketika dilihatnya Memed Gendut membawa anak istrinya dan berlutut di hadapannya. "Aku bukan Dewa atau Tuhan yang pantas kau sembah-sembah Dengar, aku akan pergi sekarang. Aku butuh kudamu. Pilihkan aku baik-baik..."
"Kau boleh ambil semua kuda kuda itu!" kata Memed Gendut seraya berdiri.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepala. Seperti katamu tadi aku hanya perlu dua ekor kuda..."
Memed Gendut segera memilih dua ekor kuda yang besar dan tegap sementara istrinya disuruh mengambil kantong kulit berisi air. Dua ekor kuda dan kantong air itu kemudian diserahkan pada Wiro.
Sesaat setelah naik ke atas kuda Wiro memandang pada pedagang kuda itu lalu berkata, "Sebaiknya kau menukar nama mu. Nama Memed Gendut tidak cocok dengan keadaan dirimu. Dan mungkin nama itu yang selalu membawa sial bagimu..."
"Lalu apa nama yang pantas bagiku?" tanya si pedagang kuda.
"Memed Kerempeng!" jawab Wiro. Ditepuknya pinggul kuda yang ditungganginya. Binatang ini menghambur ke depan. Kuda yang terikat di sebelah belakang lari mengikut.
Memed Gendut dan anak istrinya tegak memperhatikan kepergian pemuda itu yang akhirnya lenyap di kegelapan malam.
"Dia mungkin betul. Mulai saat ini kuganti namaku jadi Memed Kerempeng!" kata si pedagang kuda pula.
"Benar pak! membenarkan istrinya. "Nama itu kurasa lebih cocok untukmu... Bukan saja untuk membuang sial, tapi sekaligus guna mengingatkan kita pada budi besar pemuda itu..."
********************
TIGA
Teriknya sinar matahari laksana membakar pedataran pasir yang seperti tak berujung itu. Kuda yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat berlari sekencang yang dikehendaki. Bukan saja panasnya udara membuat binatang itu menjadi lebih cepat letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah mencengkeram kaki-kaki binatang itu. Keringat dan ludah membuih di sudut mulutnya. Di sebelah belakang kuda cadangan berlari mengikuti kuda induk dalam keadaan hampir tak berbeda.
Wiro mengambil kantong kulit yang berisi air dan tinggal setengahnya. Meskipun rasa haus membakar dada dan tenggorokannya tapi pemuda ini tak mau meneguk air itu banyak-banyak. Sulit baginya untuk menduga sampai barapa lama dia akan mengarungi pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu. Kalau persediaan air habis sedang tujuan masih jauh, bisa-bisa dia mati kehausan di perjalanan. Wiro menyeka mulutnya dengan belakang telapak tangan. Tangan yang masi basah itu diusapkannya ke mulut kuda
Sejauh mata memantang hanya pedataran pasir yang terlihat. Murid Sinto Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-lurus ke tenggara. Kulitnya terasa perih oleh sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Kalau saja bukan untuk memenuhi pemintaan tolong seorang sahabatnya, tidak nanti dia mau mengadakan perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain itu Wiro juga sadar, keselamatan dan kehormatan diri seorang gadis jelita harus dibelanya. Terbayang kembali pertemuannya dengan orang tua itu sekitar dua minggu lalu di bukit Tumbalsari.
Hari itu Wiro melintasi bukit tersebut dan seperti kebiasaannya sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Mendadak terdengar suara membentak Demikian kerasnya hingga bukit itu membahana di liang telinga si pemuda berdenyut.
"Keparat setan alas! Siapa yang bersiul-siul membuat berisik belantara mengganggu ketentraman orang!"
Wiro terkesiap kaget, hentikan langkah dan memandang ke atas pohon besar sebelah kanan dari arah mana tadi datangnya suara bentakan itu. Namun tak seorang pun tampak di atas sana. Wiro tegak berdiam diri sesaat. Kemudian kembali dia mengukirkan siulan. Pendek saja tapi keras karena disertai pengerahan tenaga dalam. Suara siulan itu bergema beberapa lamanya di atas bukit namun sirna tertindih oleh bentakan.
"Edan! Sombong amat tidak perdulikan peringatan orang! Anak muda tak tahu diri kau mengandalkan apa?!"
Wiro jadi jengkel dan balas membentak. "Bukit dan rimba belantara ini bukan milikmu. Disini diam berbagai binatang, mendekam segala setan gentayangan. Mengapa kau mengambil sikap sebagai pemilik tunggal? Jika tak ingin terganggu mengapa berada di sini? Bicara besar tapi tak berani unjukkan tampang!"
Terdengar suara gelak mengekeh yang membuat liang telinga murid Sinto Gendeng terngiang-ngiang. Suara tawa itu demikian dekatnya dan keras, namun tetap saja Wiro tak dapat mengetahui di mana manusia yang tertawa itu berada!
"Jika kau mau melihat tampangku, mari naik ke atas sini!"
Wiro mendongak ke atas. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendesir halus. Wiro cepat mengambil sikap waspada karena menyangka ada senjata rahasia yang menyerangnya. Tapi tak kelihatan apa-apa. Tahu-tahu sebentuk benang putih yang sangat halus, berkilau kilau oleh sentuhan sinar matahari yang menembus di sela-sela daun pepohonan, meluncur cepat ke arahnya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa benang putih itu telah menjirat lehernya. Tidak terlalu kencang namun cukup membuat nafasnya menyengal.
"Setan alas!" maki Wiro Sableng. Secepat kilat dia pergunakan tangan kanannya menjepit benang itu. Tapi astaga! ternyata dia tidak mampu memutus benang yang begitu alot itu. Wiro coba mengingat-ingat pada masa beberapa tahun yang silam. Dia seperti pernah melihat benang halus itu sebelumnya. Waktu itu si pemilik benang melibat pinggangnya. Namun dengan mudah diputusnya. Apa mungkin benang dan pemiliknya saat ini bukan orang yang dulu?
Selagi pemuda itu berpikir-pikir tiba-tiba dia merasakan satu sentakan keras. Lehernya yang tergulung benang halus tertarik kuat dan tubuhnya terangkat laksana terbang ke atas sebatang pohon tinggi yang berada dua tombak di hadapannya. Wiro merasakan batang lehernya seperti digorok oleh benang halus itu. Secepat kilat dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai suara menderu seperti suara ribuan tawon mendengung.
"Crasss...!"
Benang halus putih yang menjirat lehernya putus. Terlepas dari ikatan benang aneh itu sebenarnya Wiro kini bisa jatuhkan diri kembali ke tanah. Tapi sebaliknya pemuda ini malah terus melesatkan diri ke atas pohon, jungkir balik dua kali berturut-turut, dalam kejap dia sudah menyelinap dan tegak di salah satu cabang pohon. Hal ini dilakukannya karena dia sudah merasa yakin, orang-orang yang tadi menjiratnya sembunyi di pohon itu, di balik kerapatan daun-daun.
"Ha-ha-ha...! Rupanya si nenek peot Sinto Gendeng itu benar-benar telah mewariskan Kapak Maut Naga Geni 212 pada muridnya!"
Kata-kata yang disertai tawa itu membuat Wiro Sableng terkesiap kaget. Ternyata orang mengenali kapak yang masih tergenggam di tangan kanannya. Lebih dari itu malah juga mengetahui siapa gurunya! Tanpa pikir panjang Wiro babatkan senjata mustika itu ke depan.
"Kraakkk! Kraakkk! Byuurrr...!"
Dua cabang besar terbabat putus. Ranting-ranting pohon berikut daun-daunnya remuk dan berguguran ke bawah. Setengah dahan pohon itu kini tampak gundul! Dan di salah satu cabang kecil kini tampak duduk seorang kakek berjanggut putih, berpakaian selempang kain putih, tertawa mengekeh, memandang pada Wiro sambil kedip-kedipkan mata kirinya. Pendekar 21? Wiro Sableng cepat putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam. Yang hendak diserang tetap duduk tenang-tenang. Mendadak Wiro tahan gerakannya.
"Aih! Benar si tua bangka dulu itu!" seru Wiro dalam hati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanannya lalu simpan senjatanya di balik pinggang. "Dewa Tuak...!" seru Wiro kemudian.
Orang tua itu kembali tertawa panjang. Janggutnya yang putih berkibar-kibar di tiup angin. Sambil mengelus janggutnya dia berkata, "Enam tahun aku mematangkan benang suteraku. Ternyata tak mampu menahan tebasan kapak mu! Percuma saja menghabiskan waktu. Tapi aku senang kau masih mengenali tua renta ini. Apa kabarmu anak muda...?"
Orang tua itu yang berjuluk Dewa Tuak merupakan tokoh silat terkemuka di delapan penjuru angin. Usianya jauh lebih tua dari Eyang Sinto Gendang, Di pangkuannya ada sebuah tabung bambu besar. Sebuah tabung yang sama tergantung di belakang punggungnya. Si orang tua angkat bumbung bambu yang dipangkuannya, mendekatkan ujungnya ke mulut. Lalu...
"Glukkk! Glukkk! Glukkk...!"
Dia meneguk tuak harum yang ada dalam bumbung bambu itu sampai berlelahan ke pipi dan dagunya.
"Aku baik-baik saja Dewa Tuak. Bagaimana dengan dirimu bertanya Wiro.
Dewa Tuak turunkan bumbung bambunya. Sambil geleng-geleng kepala dan unjukkan wajah sedih orang tua ini berkata, "Aku sedang sial! Seseorang telah mengkhianati diriku. Eh, kau masih ingat pada murid perempuanku bernama Anggini? Yang tempo hari ingin ku jodohkan padamu. Tapi kau terlalu sombong dan menampiknya..."
"Maafkan aku Dewa Tuak. Aku sama sekali tidak sombong. Hanya saja untuk urusan jodoh saat itu aku belum bisa memikirkan..."
"Lalu sekarang apakah kau sudah memikirkan?" tanya Dewa Tuak.
"Masih belum " sahut Wiro.
"Tapi kau tidak melupakan muridku itu, bukan?
"Tentu saja tidak..."
"Bagus! Hanya saja dia ditimpa malapetaka saat ini. Dan itulah sebabnya aku sengaja mencegatmu disini...!"
"Apa yang telah terjadi dan mengapa kau mencegatku di sini, orang tua?" bertanya Wiro Sableng. Dia kini duduk di atas cabang di bawah cabang kecil yang diduduki Dewa Tuak.
"Beberapa tahun sebelum aku mengambil Anggini jadi murid, aku pernah mempunyai seorang murid lain. Seorang pemuda bernama Penging. Ternyata kemudian kuketahui bahwa pemuda itu bukan seorang manusia baik. Hatinya sangat culas. Selain itu dia banyak berhubungan dan bergaul dengan orang-orang jahat. Setelah kuberi nasihat beberapa kali dia selalu mengabaikan, akhirnya aku mengambil keputusan, tidak lagi menganggapnya sebagai murid. Dia kusuruh meninggalkan pertapaan dan kembali ke kampungnya. Kuketahui kemudian Penging tidak kembali ke kampung, tapi bertualang bersama manusia-manusia jahat. Membuat keonaran di mana-mana, membunuh dan merampok. Aku menyesal telah mengambilnya jadi murid, apalagi mengingat hampir seluruh ilmu silatku sudah kuturunkan padanya.
Tiga bulan lalu tiba-tiba dia muncul di pertapaanku, berlutut dan menangis. padaku diakuinya semua kesesatan, kejahatan dan segala dosa perbuatannya. Dia mengatakan telah insaf dan tobat. Ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin mengabdikan diri lagi menjadi muridku, bahkan katanya ingin jadi pertapa..."
"Lalu, apa kau menerima permintaannya itu. Dewa Tuak?" tanya Wiro.
Si kakek menggeleng. "Sekali aku tidak percaya pada seseorang, apapun janjinya tak akan lagi mau kudengar. Dia kusuruh pergi. Saat itu hari sudah malam. Karena kasihan aku hanya memperbolehkannya menginap dan besok pagi-pagi harus sudah meninggalkan pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun Penging telah lenyap. Bersama lenyapnya orang itu, lenyap pula sebuah buku milikku yang sangat berharga. Jelas manusia keparat itu telah mencurinya. Rupanya itulah sebenarnya kedok kedatangannya
"Kalau aku boleh bertanya, buku apakah yang dicuri bekas muridmu itu?"
"Sebuah buku tipis terdiri dari tiga halaman. Buku ini berusia lebih dari seratus tahun. Lebih tua dari umurku dan merupakan warisan guruku. Halaman pertama berisi pelajaran ilmu silat kuno yang merupakan inti sari dari ilmu silat yang kumiliki dan yang kuajarkan pada murid-muridku. Siapa yang menguasai ilmu itu dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika digunakan untuk kesesatan, sulit menumpasnya.
Halaman kedua berisi dasar-dasar penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam. Ini juga merupakan ilmu yang berbahaya jika dipakai untuk kejahatan. Lalu halaman terakhir berisi sejumlah ilmu pengobatan ampuh berdasarkan penusukan urat-urat syaraf dan darah. Sebenarnya buku itu akan kuwariskan pada muridku Anggini. Tapi kini segala sesuatunya sudah kapiran. Bangsat itu keburu mencurinya!"
"Muridmu yang bernama Anggini itu sendiri sekarang berada di mana...?" tanya Wiro.
"Itulah yang menjadi pikiranku pula," sahut Dewa Tuak seraya usap-usap janggut putihnya. "Tiga hari setelah Penging mencuri kitab itu, Anggini muncul. Langsung saja padanya kuberikan tugas untuk mengejar Penging. Dibandingkan dengan lelaki itu tingkat kepandaian Anggini memang lebih tinggi. Namun yang membuatku khawatir ialah sampai sebegitu jauh tak ada kabar dari Anggini. Malah kemudian dari seorang sahabat kuketahui bahwa sebenarnya Penging telah menjadi orang besar sejak dua tahun lalu. Entah bagaimana ceritanya dia kini menjadi Adipati Lumajang dan namanya diganti menjadi Kebo Penggiring. Dalam pengejarannya Anggini sampai ke Lumajang. Namun di sana dia justru kena ditangkap oleh orang-orang Kebo Penggiring. Kabarnya jika dalam batas waktu yang ditentukan gadis itu tidak mau menuruti kehendak Kebo Penggiring untuk mengawininya, Anggini akan dirusak kehormatannya lalu digantung dengan tuduhan hendak memberontak pada Kerajaan..."
"Gila betul!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Lebih dari gila!" menukas Dewa Tuak.
"Sudah begitu kejadiannya mengapa kau tidak langsung turun tangan?" bertanya Wiro.
"Itulah memang tadinya yang aku rencanakan. Namun, ada beberapa pertimbangan. Di usia yang sudah dekat liang kubur ini, aku tak ingin lagi mencari keributan. Aku ingin hidup tenteram tanpa melakukan kekerasan apalagi sampai mengalirkan darah. Semua itu akan menjadi sebab musabab dendam kesumat. Kudengar Kebo Penggiring dekat dengan Keraton. Berarti aku akan berhadapan dengan tokoh-tokoh tertentu yang sebenarnya kuketahui adalah sahabatku..."
"Kalau begitu kau minta saja pertolongan mereka."
"Tidak semudah itu. Manusia-manusia yang hidup di kota besar mengukur sesuatu tindakan dengan nilai untung rugi. Tak perduli apakah yang minta bantuan seorang sahabat atau bukan. Urusan macam begini belum apa-apa akan membuatku jengkel dan marah. Mau ku semua manusia macam begitu layak dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi ini berarti akan muncul musibah besar "
"Lalu apa rencanamu Dewa Tuak?"
"Aku mendapat petunjuk dari seorang tua yang biasa dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Kau kenal padanya...?"
"Kenal sekali!" jawab Wiro. "Aku beberapa kali mendapat petunjuknya."
"Nah, dialah yang memberi tahu kalau saat ini kau berada di daerah ini. Dia pula yang menasihatiku agar aku menerimamu, menuturkan apa kesulitanku lalu meminta agar kau menolongku..."
"Ah...!" Wiro garuk-garuk kepala.
Dewa Tuak menatap paras pemuda itu sesaat lalu berkata; "Jika kau tak mau memandangku dan keberatan menolongku, kau harus sudi memandang Si Segala Tahu"
Wiro terdiam. "Aku menunggu jawabmu, anak muda."
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Wiro akhirnya.
"Pergi ke Lumajang. Selamatkan Anggini. Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya itu "
"Hanya itu " mengulang Wiro dalam hati. Tetapi dia yakin bahwa persoalan yang bakal dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa Tuak tadi telah menerangkan bahwa sebagai Adipati, Kebo Penggiring memiliki kawan-kawan yang dekat dengan Keraton, yang berarti adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan?!
"Aku tahu kau mampu melakukannya Wiro. Jika aku tahu kau tak mampu, aku tak akan meminta bantuanmu... Dan kalau kau memang ingin menolong, makin cepat kau berangkat ke Lumajang, makin baik..."
"Kalau seorang tua dan sahabat sepertimu berkata begitu, apa lagi yang harus kulakukan selain membantu!"
"Terima kasih anak muda..." kata Dewa Tuak dan kali ini sambil tersenyum. "Ini kau ambillah bumbung yang satu ini!" Kakek itu lalu mengambil bumbung tuak yang tergantung di punggungnya lalu melemparkan benda itu kepada Wiro.
"Terima kasih, aku tak ingin jadi mabuk!" kata Wiro. Namun tabung bambu berisi tuak itu sudah melayang ke arahnya. Ketika dia terpaksa menangkapnya, memandang ke atas Dewa Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang pohon. Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. Akhirnya didekatkannya juga ujung bambu ke bibirnya lalu meneguk tuak kayangan yang rasanya memang manis sedap menghangatkan.
********************
Wiro meneguk lagi air dalam kantong kulit yang dibawanya. Memandang ke depan dia masih belum melihat apa-apa. Seolah-olah pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu tidak berujung.
"Perjalanan gila!" maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Kalau tidak memandang kakek tua peminum tuak itu, dan jika tidak menimbang keselamatan muridnya tak bakal aku melakukan ini!"
Wiro meneguk sekali lagi air dalam kantong. Ketika untuk ke sekian kalinya dia memandang ke depan, samar-samar di kejauhan dilihatnya sebuah titik kecil, seperti terletak tepat di atas katulistiwa. Semakin dekat dia ke arah titik itu, semakin besar tampaknya dan dalam jarak kurang dari lima puluh tombak Wiro mengetahui benda yang tadi terlihat berupa titik ternyata adalah sesosok tubuh manusia yang menggeletak menelantang di atas pasir.
Orang ini masih muda, berpakaian dan berikat kepala putih-putih. Tubuhnya tinggi dan kekar. Namun saat itu tubuh yang kekar itu tampak tak berdaya. Kedua matanya terpicing. Wajah dan tubuhnya hampir berselimut pasir sedang bibirnya kelihatan kering.
"Ini bukan setan pedataran pasir!" kata Wiro membatin. "Tapi mengapa manusia ini berada di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah mati?"
Wiro turun dari kudanya. Dia memegang lengan pemuda yang terbujur di pasir itu. Terasa panas. Juga terasa denyutan nadi, tanda masih hidup.
"Sobat tak dikenal, bangunlah! Apa kau mau berkubur di tempat ini?!" Wiro menegur dengan suara keras.
Tubuh di atas pasir tidak bergerak, Wiro ambil kantong airnya lalu sedikit demi sedikit tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat kemudian bibir itu tampak bergerak. Wiro tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan kirinya dia menyeka pasir yang menutupi wajah si pemuda. Ternyata pemuda itu berwajah tampan. Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka perlahan-lahan.
"Apakah kau malaikat maut yang datang menjemputku...?" Keluar suara parau dan sangat perlahan dari mulut pemuda itu.
Kalau di tempat lain Wiro mungkin akan tertawa bergelak mendengar kata-kata itu. Dia tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan si pemuda di tanah dan menahan punggungnya dengan lutut agar tidak rebah.
"Aku bukan malaikat maut. Justru aku ingin bertanya mengapa kau enak-enakan tidur di gurun pasir ini...?"
Mata si pemuda membuka lebar. Mulutnya menyeringai. "Sialan!" ujarnya. "Siapa yang enak-enakan tidur. Terlambat kau muncul di sini aku sudah jadi mayat kering "
"Aku membawa kuda cadangan. Apakah kau bisa berdiri lalu ku bantu naik ke punggung binatang itu..."
"Aku harus melakukan apa yang kau katakan. Tapi beri lagi aku minum..."
Setelah minum, dengan ditolong oleh Wiro pemuda itu berdiri. Sesaat pemandangannya berkunang-kunang, tubuhnya seperti hendak terbanting. Wiro cepat memegang bahunya.
"Manusia-manusia keparat...!"
"Eh, siapa yang kau maki sobat?" tanya Wiro.
"Orang-orang itu. Mereka membokongku. Merampas dua senjata mustika milikku. Melarikan dan meninggalkan aku di pedataran pasir ini!"
"Siapa mereka..?"
"Aku tidak kenal. Mungkin bangsa perampok. Mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Sobat, kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Kau hendak menuju ke manakah...?"
"Lumajang," sahut Wiro.
"Kalau begitu kita pergi sama-sama. Manusia-manusia keparat itu pasti juga menuju ke sana."
"Namaku Wiro Sableng. Kau siapa?" tanya Pendekar 212.
"Nama mu aneh. Apakah kau benar-benar sableng hingga orang tuamu memberikan nama begitu...? Namaku Mahesa Kelud."
Wiro tersenyum. "Senjata apa yang mereka rampas darimu?" tanyanya kemudian.
"Sebilah Pedang Sakti dan sebilah Keris Ular Emas"
"Hemm... Nasibmu memang malang. Mudah- mudahan saja kau menemukan para pencuri itu..."
"Bukan hanya menemukannya. Tapi juga membunuh mereka semua!" jawab Mahesa Kelud dengan tangan terkepal, lalu naik ke atas kuda cadangan yang dibawa Wiro.
(Siapa adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam serial Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Emas)
********************
EMPAT
Kedai Itu berbentuk pendopo terbuka dan cukup besar. Karena merupakan satu-satunya rumah makan di daerah tenggara maka sepanjang siang tampak selalu ramai. Apalagi terletak di Gucialit, sebuah kota kecil pusat persimpangan beberapa jalan di selatan Tengger.
Matahari pagi baru saja naik ketika kedua orang muda itu sampai di kedai dan langsung masuk. Tubuh serta-pakaian mereka yang kotor penuh debu membuat pemilik kedai segera menyongsong, bukan untuk melayani tapi untuk ajukan pertanyaan.
"Dua pemuda asing, apakah kalian punya uang untuk makan dan minum di kedaiku ini...?"
Wiro terkesiap tapi juga mendongkol marah. Dia memang sama sekali tidak punya uang lagi karena sudah diberikan pada Memed Gendut untuk pembeli kuda. Sebaliknya Mahesa Kelud yang setengah mati keletihan dan kelaparan belalakkan mata dan membentak,
"Jangankan makanan atau minuman, kepalamu akan kubeli! Jangan banyak tanya. Hidangkan makanan dan teh hangat!"
"Uangmu dulu, orang muda!" kata pemilik kedai sambil ulurkan tangan.
Wiro tak dapat menahan kesalnya. Dia berbisik pada Mahesa Kelud, "Kau punya uang... Lekas berikan padaku"
Mahesa Kelud yang hendak menampar pemilik kedai itu batalkan niatnya. Dengan rasa tidak mengerti dia berikan dua keping uang pada Wiro. Begitu menerima uang itu Wiro secepat kilat sumpalkan ke dalam mulut pemilik kedai.
"Ini uangnya. Kau makanlah!"
Tercekik dan megap-megap pemilik kedai itu masuk ke dalam sementara Wiro dan Mahesa Kelud duduk di bangku panjang. Seorang pelayan datang membawa makanan dengan sikap ketakutan. Dua pemuda ini segera menyantap dengan cepat. Selagi menggerogot sepotong ikan goreng, Mahesa Kelud layangkan pandangannya berkeliling. Tiba-tiba saja pemuda ini bantingkan ikan goreng itu ke meja.
"Sobat, ada apa? Kau ketulangan... Ikannya tidak enak?" tanya Wiro.
Mahesa menggoyangkan kepalanya ke arah sudut kedai di mana tampak duduk tiga orang lelaki berpakaian bagus yang baru saja selesai makan dan kini tengah menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Di bagian lain masih terdapat kira-kira setengah lusin tamu. Tiga orang tamu berpakaian bagus itu duduk membelakang dan agak jauh hingga tidak melihat kedatangan Mahesa dan Wiro, juga tidak mengetahui pertengkaran dengan pemilik kedai tadi.
"Siapa mereka...?" tanya Wiio.
"Tiga dari lima bangsat perampok yang menghadangku di pedataran pasir..." jawab Manesa Kelud seraya berdiri.
"Cara mereka berpakaian seperti hartawan, bukan seperti rampok..."
"Hartawan atau rampok yang pasti mereka akan rasakan tanganku saat ini juga!"
Habis berkata begitu Mahesa Kelud ambil sebuah kursi di samping kanannya. Kursi ini kemudian dilemparkannya ke arah tiga orang yang duduk membelakang. Kursi masih melayang setengah jalan tapi tiga orang berpakaian bagus yang duduk membelakang serentak sudah mencelat dari tempat masing-masing, pertanda bahwa mereka memiliki naluri kewaspadaan yang tinggi.
Kursi yang dilemparkan menghantam tiang kedai dan hancur berantakan. Tiga orang itu cepat membalik. Jelas rasa terkejut membayang di wajah mereka ketika melihat Mahesa Kelud melangkah mendekati. Terkejut karena menyangka pemuda itu pasti sudah menemui kematian di panggang sinar matahari di pedataran pasir.
Para pengunjung kedai yang lain saat itu telah berdiri dan menyingkir menjauh, menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sementara Wiro Sableng setelah memperhatikan sesaat, seperti tak acuh apa yang terjadi melanjutkan makannya dengan lahap.
Lelaki berpakaian bagus di sebelah tengah usap usap dagunya. Dia melirik pada kedua temannya lalu kembali memandang ke arah Mahesa yang kini tegak empat langkah di hadapannya dan kawan-kawan.
Mahesa menuding tepat-tepat ke arah ketiga orang itu dengan telunjuk kiri. "Sebelum pembebasan kulakukan lekas kalian kembalikan pedang serta keris milikku yang kalian rampas. Juga kuda putihku!. Tiga orang di hadapan Mahesa sama-sama menyeringai.
"Pemuda kesasar, pagi-pagi begini kau sudah bicara ngacok tak karuan. Kenal pun tidak. Tampang burukmu baru kami lihat saat ini. Dan kau bicara tentang segala macam pedang serta keris! Gila!'' Yang bicara adalah lelaki di sebelah tengah.
"Hemm... Kau dan teman-teman mu pandai bersandiwara! Bagus! Teruskan-sandiwara kalian sampai keliang kubur!"
Mahesa berkelebat ke depan. Tangan dan kakinya menebar serangan. Pemuda ini memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang bukan sembarangan. Gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong pernah menggegerkan dunia persilatan di tanah Jawa.
Di samping, itu dia mendapat tambahan kepandaian dari seorang tokoh yang dikenal dengan nama Karang Sewu. Ditambah pula ilmu silat langka yang didapatnya dari seorang tokoh luar biasa bernama Suara Tanpa Rupa. Tidak mengherankan kalau serangan yang dilancarkan Mahesa mendatangkan suara angin deras.
Tiga lawan yang mendapat serangan berpencar. Gerakan mereka bukan saja cepat sekali tetapi juga enteng. Ternyata tiga manusia inipun memiliki kepandaian tak rendah. Kalau tidak tak mungkin mereka dan dua kawan lainnya sanggup membokong Mahesa di pedataran pasir. Ketiga orang ini sebenarnya bukanlah bangsa perampok. Mereka merupakan tokoh-tokoh silat dari Kotaraja yang sengaja melakukan perjalanan atas permintaan seseorang di Lumajang.
Melihat serangan pertamanya menemui kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan rahangnya. Sambil menendang meja makan dia balikkan tubuh dan kini berkelebat menghantam ke arah lawan di ujung kiri.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala melihat perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Mahesa tadi. Namun tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.
Mahesa menghantam dengan jotosan mengandung aji 'Karang Sewu' atau pukulan batu karang yang sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun. Lawan yang diserang tampaknya sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke belakang dia bersuit keras. Suitan ini seolah-olah isyarat bagi kedua kawannya karena saat itu juga dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan.
Masih mengandalkan pukulan batu karang di kedua tangannya. Mahesa Kelud menjotos ke kiri dan ke kanan, sambut serangan dua lawan. Seperti kawannya tadi, dua orang ini melompat ke belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu orang yang berada di sebelah depan menghantam ke depan dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh! Mahesa sengaja sambut pukulan lawan dengan maju menyongsong sambil melintangkan tangan kiri, membabat lengan orang.
"Jangan!" teriak salah seorang ketika melihat kawannya yang memukul itu sengaja mengadu kekuatan dengan saling bentrokkan lengan. Tapi terlambat.
"Krakkk...!"
Tulang lengan orang di depan Mahesa Kelud bukan saja patah tetapi juga hancur hingga bagian sebelah bawah terkuntai-kuntai mengerikan. Jeritan setinggi langit keluar dari mulutnya. Tubuhnya jatuh duduk di lantai kedai. Dengan tangan kirinya dia cepat-cepat menotok urat besar di pangkal bahu hingga kebal rasa. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya bisa menjelepok begitu rupa.
"Pukulan karang sewu!" seru lelaki di samping kanan Mahesa.
Yang membuat murid Embah Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka kalau orang mengenali ilmu pukulannya. Wajah dua orang lawan tampak berubah. Setelah saling lemparkan pandangan yang mengandung isyarat keduanya gerakkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian mereka telah mengeluarkan senjata. Yang di sebelah kanannya memegang sebilah clurit besar hampir berbentuk arit Kawannya mencekal sebatang tongkat terbuat dari kuningan yang memancarkan sinar redup tapi angker.
Sebelumnya orang-orang itu bersama dua kawannya yang lain yang saat itu tak kelihatan di tempat itu telah berhasil membokong Mahesa di pedataran pasir Tengger. Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi. Kini dengan senjata di tangan tentunya dua lawan tersebut lebih banyak berbahaya.
Tetapi Mahesa Kelud percaya diri dan tidak gentar menghadapi. Bila dua lawan itu maju menyerbu dia siap menyambut dengan jurus kematian. Namun di saat itu justru terdengar suara membentak.
"Orang-orang tak tahu diri! Pengecut tengik! Sudah main keroyok sekarang pakai senjata pula! Tangan kosong harus dihadapi dengan tangan kosong! Itu namanya pendekar sejati!"
Dua orang lawan Mahesa Kelud tidak sempat menyelidik siapa yang membentak itu. Dua buah piring tiba-tiba melesat ke arah mereka. Sebelum keduanya sempat berkelit, lengan masing-masing sudah dihantam piring-piring itu. Piring pecah, makanan yang masih ada di atasnya berhambur mengotori pakaian dan muka kedua orang itu. Keduanya mengeluh tinggi dan karena tak tahan menanggung sakit terpaksa lepaskan senjata masing-masing sementara mereka dapatkan lengan mereka berlumuran darah akibat hantaman piring.
Mahesa Kelud melirik ke arah meja di mana Wiro Sableng duduk. "Sableng!" katanya sambil menyeringai. "Jurus piring terbangmu boleh juga! Tapi kita kehilangan dus piring nasi dan lauknya!"
"Tak usah kawatir! Kunyuk-kunyuk itu yang akan membayar!" sahut Wiro. "Makan tanpa minum tentu tak sedap! Nah silahkan meneguk air..."
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng lemparkan dua cangkir berisi air ke arah dua pengeroyok. Meskipun mereka sempat mengelak selamatkan kepala tapi air dalam cangkir besar itu telah lebih dulu mengguyur kepala keduanya.
Marah besar karena merasa dipermainkan, orang di sebelah kanan menerjang dengan satu tendangan ke arah perut Mahesa sementara kawannya berkelebat cepat memungut clurit besar dan tongkat kuningan. Namun dia hanya sempat mengambil tongkat kuningan karena sebelum dia berhasil memegang hulu clurit, Wiro Sableng sudah melompat ke hadapannya kirimkan tendangan ke arah pantatnya!
"Wuttt...!"
Tongkat kuningan memapas deras kaki yang datang menendang. Namun hanya menghantam tempat kosong karena di saat yang bersamaan Wiro melesat ke atas sambil hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu kanan lawan.
Krakkk...!"
Tulang bahu itu patah. Tongkat kuningan lepas dan pemiliknya jatuh di lantai kedai, berguling-guling sambil berteriak kesakitan, lalu tergelimpang dekat sebuah jambangan tanah liat.
Melihat kejadian ini kawannya yang menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap. Sebelumnya dia memang telah mempreteli Mahesa secara mudah. Tapi itu dilakukan bersama dua orang kawannya yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Kini tanpa dua kawan itu dan setelah menyaksikan dua kawannya yang ada di situ cidera berat, nyalinya menjadi lumer. Tanpa pikir panjang dia menghambur ke luar kedai.
"Ho-ho! Cacing tanah pengecut! Kau mau lari ke mana?" teriak Mahesa Kelud mengejar. Tapi dua buah senjata rahasia berbentuk lempengan besi hitam menyambutnya. Mahesa menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua senjata rahasia mental dan menancap di atas loteng kedai. Ketika hendak mengejar kembali, orang yang lari telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
Mahesa Kelud kepalkan tangan kanan. Dia melangkah mendekati orang yang patah tulang bahunya. Sementara Wiro menyeret kawannya yang patah tangan lalu melemparkannya ke dekat si patah bahu. Orang lain yang ada di kedai itu, termasuk pemilik dan para pelayan tak ada satupun yang berani bergerak. Mahesa Kelud injak tulang bahu yang patah hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Sakit ?!" tanya Mahesa Kelud mengejek.
"Sakit... Sakit sekaliiii...!" jawab orang itu.
"Bagus! Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan! Jika kau tidak mau menjawab dengan benar, tulang bahu mu satu lagi akan aku hancurkan!"
"Jangan! Jangan lakukan itu. Katakan apa yang ingin kau ketahui..." ratap orang itu ketakutan.
"Pertama di mana sepasang senjata mustika milikku serta kuda putihku kalian sembunyi kan?!" tanya Mahesa.
"Kami... kami tidak menyembunyikan. Dua orang kawan kami membawa kuda putih itu. Juga keris dan pedang merah"
"Di mana mereka sekarang?"
"Turut penjelasan keduanya mereka pergi ke Lumajang," menerangkan si hancur bahu.
"Lumajang! Di mana aku harus mencari mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.
"Keduanya pasti ke Kadipaten. Menemui Adipati Kebo Penggiring..."
"Apakah kalian berlima orang-orang Adipati itu?" Wiro yang ajukan pertanyaan.
"Bukan... kami bukan orang-orangnya. Kami hanya sahabat yang diminta tolong"
"Dimintai tolong apa? Apa Adipati yang menyuruh kalian menghadang dan merampokkku di pedataran pasir Tengger "
"Hal itu aku tidak jelas...!"
"Jangan berdusta!" ancam Mahesa Kelud lalu kaki kanannya menginjak bahu yang patah hingga orang itu menjerit setengah mati.
"Aku tidak berdusta..." teriaknya.
Lelaki yang patah tangan berusaha meyakinkan. "Temanku itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi pekerjaan. Kami harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih yang akan melintas pedataran Tengger menuju Lumajang. Kami berlima menemui kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi karena melihat kau membawa kuda bagus serta membekal senjata sakti maka kami membokongmu lalu meninggalkan di pedataran pasir
Mahesa melirik ke arah Wiro Sableng yang berdiri sambil garuk-garuk kepala. "Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju..." kata murid Sinto Gendeng itu.
"Benar... Mungkin sekali. Ciri-ciri kalian hampir sama..." jawab si patah lengan.
"Kenapa kalian diperintahkan membunuhku?" tanya Wiro.
"Itu kami tak tahu. Utusan itu tidak menjelaskan apa-apa."
"Juga tidak menjelaskan siapa yangg menyuruhnya...?"
Yang ditanya tak menjawab. Wiro angkat kaki kanannya lalu dihantamkan kebawah.
Kraakkk...!"
"Jangan...! Jangan hancurkan kakiku...!" jerit orang itu.
"Terserah padamu. Hancur kaki atau bicara..."
"Aku... aku akan bicara..." katanya.
"Buka mulutmu!"
"Terus terang, aku tak tahu siapa di belakang utusan itu. Namun aku menduga, dia diutus oleh Adipati Kebo Penggiring. Hanya itu yang aku ketahui. Hanya itu..."
Wiro berpaling pada Mahesa Kelud. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Aku harus mengejar pencuri kuda dan senjata itu..." sahut Mahesa Kelud.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang juga!" ujar Wiro Sableng. Lalu dia membungkuk dan menggeledah kedua orang itu.
"Apa yang kau cari?" tanya Mahesa Kelud.
"Sepasang senjata milikmu! Ternyata mereka memang tidak menyembunyikannya. Orang-orang seperti mereka tidak boleh dipercaya begitu saja. Segala ucapannya harus diselidik "
LIMA
Wiro Sableng dan Mahesa Kelud memacu kuda masing-masing melewati daerah berbukit-bukit batu. Ini merupakan ujung dari pedataran pasir Tengger setelah mereka melewati Guci alit. Sehabis bebukitan batu itu, kota tujuan mereka yakni Lumajang hanya tinggal setengah hari perjalanan. Menjelang malam mereka berharap sudah sampai di sana dan melakukan apa yang harus mereka kerjakan.
Mahesa Kelud harus mendapatkan kambali kuda putih serta sepasang senjata mustikanya. Sedang Pendekar 212 Wiro Sableng sesuai dengan janjinya harus melaksanakan tugas yang dibebankan Dewa Tuak kepadanya yaitu mendapatkan kembali kitab milik kakek itu yang dicuri sang murid. Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan Anggini Murid Dewa Tuak yang dulu pernah hendak dijodohkan dengannya dari tangan Kebo Penggiring.
Di puncak sebuah bukit batu dua pendekar itu berhenti sejenak untuk beristirahat. Kebetulan di situ terdapat sebuah mata air. Mereka minum sepuasnya. Begitu juga kuda tunggangan masing-masing. Setelah mendapat kesegaran baru mereka melanjutkan perjalanan. Jalan menurun yang ditempuh diapit di kiri kanan oleh lamping batu setinggi hampir dua puluh tombak. Derap kaki-kaki kuda menggema di samping bukit batu itu.
"Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak..." Murid Sinto Gandeng berseru pada Mahesa Kelud. Dia memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa Kelud ikut meneliti keadaan di sekitarnya lalu berkata, "Tak ada yang harus dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!"
Dari Wiro murid Embah Jagatnata alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa Wiro harus pergi ke Lumajang.
"Turut beberapa penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu ini sering dipakai para perampok untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.
"Aku telah mengalami kejadian pahit di pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali ini, jika ada perampok yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!" menyahuti Mahesa Kelud.
Baru saja Mahesa Kelud berkata begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan mencurigakan di puncak bukit samping kiri. Hal yang sama juga tampak pada puncak bukit batu sebelah kanan.
"Lihat!" saru Wiro.
Mendongak ke atas Mahesa Kelud melihat ada tiga buah batu besar di puncak bukit sebelah kanan lalu tiga lagi di sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak ke tubir atas bukit lalu menggelinding ke bawah dengari suara gemuruh mengerikan.
"Lekas berlindung!" teriak Mahesa Kelud.
Dua pendekar itu menggebrak kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu menghambur lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari punggung kuda, selamatkan diri dengan berlindung di bawah lekukan bukit batu pada sisi kiri kanan.
Enam buah batu besar menghempas dahsyat. Dua ekor kuda terperangkap di celah bukit. Terdengar ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batu-batu yang jatuh. Lalu sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
Begitu debu dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang kembali Wiro dan Mahesa Kelud menyaksikan pemandangan yang mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang mati di bawah himpitan enam batu besar.
"Bangsat rendah!" sumpah Mahesa Kelud marah sekali. Kedua tangannya di silangkan di muka dada. Mulutnya bergetar melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya menggelegar menghimpun tenaga dalam. Didahului bentakan keras Mahesa Kelud kemudian hantamkan tangan kanannya ke atas. Kilatan api merah dan panas menderu.
Tubir bukit batu setinggi 20 tombak di atas kiri sana tampak berpijar lalu hancur berantakan. Pecahan batu dan bongkahan tanah beterbangan. Namun siapapun adanya orang orang di atas sana agaknya tak satupun yang cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu meninggalkan tempat itu sebelum pukulan 'ilmu api' yang dilepaskan murid Emban Jagatnata menghancurkan sebagian tubir batu.
Kagum melihat kehebatan kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah. Tangan kanannya sampai sebatas siku mendadak berubah menjadi putih perak. Ketika pendekar ini menghantam ke tubir bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat. Puncak bukit batu di atas sana menggelegar runtuh.
"Pukulan Sinar Matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika menyaksikan pukulan itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini menyaksikan sendiri. Kini Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Sableng ini!
Seperti pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa Kelud tadi, hantaman pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro pun tidak mengenai siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat itu pasti sudah melarikan diri!" ujar Mahesa Kelud jengkel. Dia ingin sekali mengejar, tapi tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka pasti orang-orang Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya tepuk-tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu berkata, "Tak ada jalan lain. Kita harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki!"
"Aku akan berikan pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud pula sambil kepalkan tinju.
********************
Empat orang penunggang kuda tampak bersiap-siap di halaman samping gedung Kadipaten Lumajang. Salah seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian kebesaran Adipati bukan lain adalah Adipati Kebo Penggiring. Di sebelahnya berturut-turut adalah dua lelaki berpakaian bagus, berusia agak lanjut tapi memiliki tubuh sangat kekar. Salah seorang menunggang kuda putih. Yang seorang lagi kakek berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada mukanya sebelah kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian pasti, Tunggul Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari Kotaraja?" Adipati Kebo Penggiring bertanya.
Tiga orang di sampingnya sama mengangguk. Si cacat muka yang bernama Ronggo Kemitir membuka mulut, "Tak usah kawatir. Mereka pasti datang untuk menjemput senjata-senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita menghadapi pendekar suruhan Dewa Tuak itu"
Kebo Penggiring merasa kurang enak karena dianggap seperti takut. Dia cepat berkata. "Soal pemuda gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja aku dengar kini dia bergabung dengan seorang pendekar muda lainnya. Ini gara-gara dua sahabatku ini kesalahan turun tangan di pedataran Tengger. Betul begitu?"
Dua telaki bertubuh kekar berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah seorang dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Mahesa Kelud menjawab, "Dengan siapa pun pendekar gendeng itu bergabung tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-senjata miliknya"
"Tapi menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu muncul di sini, kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Adipati tinggal minta bagian tubuhnya yang mana. Kepala, atau hati atau jantung..."
Adipati Kebo Penggiring berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo itu. Di saat yang sama dari halaman belakang muncul seorang diiringi oleh dua pengawal yang menghunus tombak. Orang yang digiring dua pengawal itu ternyata adalah seorang gadis berparas cantik, berpakaian ungu. Kedua tangannya terikat di sebelah depan, setiap langkah yang dibuatnya tampak menyebabkan tubuhnya sebelah atas terhuyung-huyung.
"Ronggo Kemitir," kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat. "Sebelum berangkat, coba periksa dulu totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita mendapat kesulitan dalam perjalanan, walau cuma dekat saja "
Kakek berpakaian biru melompat turun dari atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba punggung gadis berpakaian ungu lalu berpaling pada Kebo Pengigiring sambil anggukkan kepala. "Totokan ku masih berjalan baik. Kedua tangan tetap lumpuh, jalan suara masih normal, sepanjang kaki masih bisa berjalan tapi terbatas
"Bagus! Kalau begitu naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di sebelah depan!" ujar Adipati Lumajang.
"Siapa sudi duduk bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis binal! Jaga mulutmu!" mendamprat Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring cuma menyeringai.
Dengan satu gerakan enteng dan sangat cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang gadis berbaju ungui lalu mengangkat dan mendudukkannya di atas kuda di sebelah depan sang Adipati. Hal ini membuat sang dara tambah marah dan memaki tiada henti. Namun dia tak bisa berbuat lain karena tubuhnya dikuasai satu totokan amat lihay.
"Penging murid murtad!" si gadis membentak menyebut nama asli Kebo Penggiring. "Guru akan datang dan membeset tubuhmu sampai lumat!"
Kebo Penggiring tertawa tawar. "Jika tua bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu tentu dia sudah datang dulu-dulu! Buktinya sampai hari ini dia tidak unjukkan muka! Gurumu hanya pandai mabuk-mabuk meneguk tuak!"
"Murid pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si gadis.
Kebo Penggiring memberi isyarat. Diikuti oleh Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki kekar satu lagi yang bernama Lah Bludak, mereka segera meninggalkan halaman Kadipaten.
Saat itu malam telah turun. Udara yang sejak sore mendung membuat malam tambah memekat gelap. Rombongan itu bergerak ke arah timur, menuju pusat Kadipaten yakni sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh dari gedung Kadipaten maka sebentar saja mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun, dalam kegelapan malam tampak berdiri sebuah panggung setinggi satu tombak.
Di atas panggung kayu itu dibangun dua buah tonggak besar berikut palangnya di sebelah atas, lengkap dengan tali besar. Keseluruhannya membentuk sebuah tiang gantungan yang mengerikan. Di bawah panggung tampak duduk berjongkok sesosok tubuh. Di hadapannya ada sebuah pendupaan menyala yang asapnya menebar bau menyan!
"Anggini, kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis yang duduk diatas kuda di sebelah depannya.
"Mataku tidak buta!" sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus, matamu tidak buta. Kuharap hatimu juga tidak terus-menerus membatu. Apa kau tidak takut melihat tiang gantungan itu?" tanya sang Adipati lagi.
"Takut...?!" sang dara menyeringai. "Mengapa harus takut! Digantung saat ini pun aku tidak takut! Tak perlu menunggu sampai besok pagi!"
"Kau memang gadis pemberani. Itu yang membuat aku kagum padamu," kata Kebo Penggiring terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu menerima permintaanku...?"
Anggini kembali menyeringai sinis. "Setelah kau curi kitab guru, setelah kau perlakukan aku seperti ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau masih punya muka meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu meludah ke tanah.
"Aku sudah bilang, buku itu akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita melangsungkan perkawinan"
Kembali Anggini meludah. "Penging, kau sudah terlanjur menyakiti hati guru! Kau bahkan sudah mengotori tanganmu dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku justru adalah untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak gadis yang ingin kuperistrikan. Semua bangga menjadi istri seorang Adipati. Tapi kau menolak "
"Segala setan pelayangan mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak! Justru aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada kesempatan pertama!"
Ronggo Kemitir si kakek bermuka cacat geleng-geleng kepala. "Gadis ini sulit untuk diberi pengertian Adipati " katanya.
Kebo Penggiring masih berusaha mencari harapan. "Masakan kau lebih suka digantung daripada jadi istriku? Padahal bukankah aku adalah kakak seperguruanmu sendiri...?"
"Pada hari pertama kau mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak menganggap kau muridnya lagi. Apa masih pantas aku menganggapmu sebagai kakak seperguruan? Tidak malu!"
"Kalau begitu kau benar-benar menginginkan mati Anggini. Ingin digantung dengan cap sebagai pemberontak"
"Kau boleh membunuh aku dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa dikalahkan oleh angkara murka. Kau mengkhianati guru sendiri. Mencelakai saudara seperguruan lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau ternyata memang manusia busuk luar biasa Penging!"
Paras Kebo Penggiring tampak merah mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang lain-lainnya dia membawa kudanya menuju panggung penggantungan. Setelah berada dekat ke tempat itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang duduk di bawah panggung dan menghadapi pendupaan yang menebarkan bau menyan itu ternyata adalah seorang nenek bermuka angker berpakaian serba hitam. Dia terdengar seperti melaporkan mantera-mantera. Melihat kedatangan rombongan Adipati, nenek ini hentikan membaca mantera, ulurkan kedua tangan ke muka memberi hormat.
"Nenek Juminah" tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu apakah semua persiapan berjalan lancar...?"
"Tentu saja Adipati... tentu saja!" jawab si nenek. Suaranya kecil dan dia bicara seperti orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih mati ketimbang dijadikan istri...?"
Sang Adipati termangu sesaat baru menjawab, "Agaknya jalan pikirannya tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan sesuatu sebelum kami meninggalkan tempat ini...?"
Nenek itu tegak dari jongkoknya. Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok. Matanya yang cekung memandang lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini jadi tergetar juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si nenek.
"Dulu aku punya seorang anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan dengan mu nak. Tapi dia begitu bangga ketika satu hari perajurit Kadipaten mengambilnya jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini cantik jelita lebih suka mati digantung daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo Penggiring. Adipati bukan satu pangkat yang rendah dan calon suamimu berwajah tampan gagah, apalagi masih kakak seperguruanmu. Apakah kau tidak hendak merubah jalan pikiranmu yang keliru itu nak...?"
"Nenek sialan!" maki Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia berkata, "Jika menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan tampang manusia ini tampang gagah, mengapa tidak kau saja yang minta dijadikan istri?!"
Si nenek terkesiap latu gelengkan kepala sementara Kebo Penggiring tersentak dan bergetar menahan amarah. "Gadis bodoh... gadis bodoh" kata si nenek berulang kali.
"Aku tak bisa
menolongmu. Sayang... sayang sekali Nenek itu kembali berjongkok dan menyebarkan kemenyan di atas pendupaan.
"Nenek Juminah, kau telah menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang bodoh. Memilih mati tercemar daripada menerima permintaanku "
Adipati Kebo Penggiring membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga orang lainnya.
"Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi Anggini?" tanya Kebo Penggiring.
Murid Dewa Tuak tidak menjawab. Kebo Penggiring membuka mulutnya kembali.
"Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan pada tiga orang dibelakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tiang gantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada gurumu Dewa Tuak!"
Anggini tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah. Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru, "Awasi Ada orang datang!"
Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap. Keduanya segera mendatangi rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua orang bersiap menjaga segala kemungkinan. Ternyata yang datang adalah dua orang yang memang sedang ditunggu-tunggu.
"Selamat datang di Kadipaten. Kangmas Tunggul Soka dan kangmas Gajah Bledeg, kalian berdua memang kami tunggu-tunggu..." menyambut Kabo Penggiring.
Yang datang ternyata adalah dua tokoh dari Kotaraja. Mereka muncul di situ sesuai dengan permintaan sang Adipati untuk dimintai bantuan dan sekaligus menyerahkan dua buah senjata mustika hasil rampasan. Selanjutnya senjata-senjata itu akan diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.
Dua oranti yang barusan datang tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi ramping dan mengenakan blangkon coklat dengan hiasan bintang besi kuning di sebelah depannya sesaat menatap paras gadis, yang duduk di atas kuda di sebelah depan sang Adipati.
Dia lalu bertanya: "Inikah gadis pemberontak yang besok bakal menjalani hukuman gantung" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia menggelengkan kepala berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini bagus dan wajah begini jelita harus dikubur menjadi umpan cacing tanah... Aku yang tua ini tak keberatan ditemani barang sejam dua jam..."
Semua orang tertawa bargelak mendengar ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa itu terdengar suara Kebo Penggiring. "Kangmas Gajah Bledeg, kau tak perlu kawatir. Malam ini kau akan mendapat bagian khusus"
"Begitu...?" ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan tenggorokan turun naik. Dia berpaling pada kawannya Tunggul Soka. "Ah, ternyata jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia"
Tunggul Soka tersenyum dan palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu hartanya: "Adipati apakah kami dapat segera menerima dua senjata pusaka pedang sakti dan keris ular emas itu..."
"Tentu saja Kangmas Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan baik-baik diKadipaten. Segera akan kuserahkan pada kalian besok selesai upacara penggantungan gembong pemberontak betina ini!"
"Hemm begitu...?" gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat membawa dua senjata itu kembali ke Kota raja.
"Disamping. itu kami memerlukan bantuan kangmas berdua untuk menghadapi para pengacau yang nanti akan segera muncul di Lumajang," berkata Ronggo Kemitir.
"Para pengacau?" ujar Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening. "Besarkah jumlah mereka. Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan siapa pemimpin mereka?" bertanya Tunggul Soka.
"Ah, mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua pemuda ingusan!" sahut Kebo Penggiring.
Mendengar hal itu Tunggul Soka dan Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak. "Kalau cuma dua pemudi ingusan biarlah aku menyediakan dua helai sapu-tangan untuk menyeka ingus mereka!" kata Gajah Bledag pula dan kembali pecah suara tawa bergelak ditempat itu"
Namun diam-diam ada kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut turun tangan.
********************
ENAM
Si nenek Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh berpakaian putih-putih.
"Kalian siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak.
Wiro Sableng dan Mahesa Kelud sesaat saling pandang lalu Wiro menjawab, "Kami dua setan dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenal siapa kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung gadis jelita gembong pemherontak?!"
Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku setan dari neraka itu! Tak kalah gertak si nenek menjawab, "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan Ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini, besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantung?!"
"Katakan di mana gadis pemberontak itu sekarang?!" tanya Wiro.
"Heh! Di Kadipaten tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik. Jangan-jangan kalian sengaja mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa Kelud melirik pada Wiro dan berkata, "Si keriput ini galak sekali. Biar kuberi pelajaran..."
"Jangan. Aku punya rencana lain" kata Wiro.
Lalu cepat dia menyambar pendupaan yang berisi bara menyala. Di salah satu sudut kolong panggung dilihatnya kaleng kecil berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk menyalakan pendupaan. Minyak itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada tiang-tiang sebelah atas dan bawah. Ketika bara ditebar di atas lantai yang basah oleh minyak, api pun segera berkobar.
"Kalian minta mati!" teriak nenek Juminah.
Tubuhnya yang bongkok melesat ke depan. Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan berkuku panjang menyambar ke dada dan wajah Wiro Sableng. Tapi gerakannya mendadak tertahan karena pinggangnya ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini siap pura-pura melemparkannya ke dalam kobaran api hingga nenak Juminah menjerit ketakutan.
Mahesa Kelud lagi lemparkan perempuan tua itu ke tanah seraya berkata, "Pergi temui Adipati Kebo Penggiring! Katakah kami dua setan dari neraka siap untuk mengambil nyawanya!"
"Gila! Kalian berdua mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.
Wiro tarik kain panjang yang dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke pinggul!
"Hai! Kau hendak menelanjangiku! Gila! Benar-benar gila" teriak si nenek seraya cepat menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu tanpa tunggu lebih lama lari lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun sudah tua dan bertubuh bungkuk larinya kencang juga.
Ketika Adipati Kebo Penggiring dan yang lain lainnya menerima laporan si nenek di Kadipaten, malam sudah menjelang pertengahannya.
"Mereka sudah muncul" desis Adipati Lumajang itu dan memandang berkeliling. "Kita harus bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun sebelum keduanya sampai di sini.
"Jangan kawatir! Kami akan membereskannya!" berkata Ronggo Kemitir seraya memberi isyarat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Sebaliknya dua orang terakhir ini menoleh ke arah Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu Gajah Bledeg segera membuka mulut. "Kami berdua tetap tinggal di sini. Menjaga keselamatan Adipati, mengawasi tawanan. Sekaligus mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan pada Sri Baginda di Kotaraja!"
Mendengar kata-kata itu Ronggo Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa berbuat lain. Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana kuda mereka ditambatkan.
"Aku bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan Keraton tadi mendatangkan kecurigaan" berkata Ronggo Kemitir, si kakek bermuka cacat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua orang yang diajak bicara mengiyakan dengan suara perlahan karena takut terdengar oleh Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga orang itu lenyap dari kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar yang didudukinya, sesaat melangkah mundar-mandir di hadapan Adipati Lumajang, kemudian terdengar suaranya berkata,
"Rongga Kemitir dan dua kawannya itu pasti mampu menghadapi dan menghajar dua pemuda yang datang menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih lama di sini "
Tentu saja Kebo Penggiring terkejut mendengar ucapan itu. "Maksud kangmas?" tanyanya.
"Maksud kami," yang menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan dua senjata mustika itu dan kami segera kembali ke Kotaraja"
"Ah, bukan begitu perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak kesal. "Kangmas berdua datang ke sini memang untuk menjemput dua senjata sakti itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. Maksudku sampai pemuda pemilik dua senjata mustika itu menemui ajal di depan mata hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini yang datang bukan dia seorang, malah membawa kawan yang tingkat kepandaiannya ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiran mu terlalu dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah Bledeg pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten ini"
"Jadi kangmas tidak menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan gadis itu sebelum tubuhnya yang bagus digantung besok pagi...?" tanya Kebo Penggiring. Dia sengaja berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu, tentu saja aku sangat mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat gadis secantik dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini lebih penting dari tubuh molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu..."
Kebo Penggiring mengomel habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat lain. Seraya berdiri dari kursinya dia berkata, "Jika begitu keinginan kangmas berdua baiklah. Silahkan menunggu sebentar."
Adipati itu melangkah masuk ke ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam secepat kilat dia menghilang ke sebuah ruangan rahasia di mana Pedang Sakti dan Keris Ular Mas milik Mahesa Kelud yang diterimanya dari Tambak Ijo disembunyikannya. Kedua senjata ini disisipkannya ke pinggang lalu bergegas meninggalkan ruangan rahasia itu. Dari sini Kebo Penggiring memasuki sebuah lorong kecil menurun dan sampai di sebuah kamar terbuat dari batu.
Di sinilah Anggini disekap. Sang dara masih berada dalam keadaan tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar. Dia sudah pasrah menerima nasib. Dinodai dan digantung. Namun gadis ini jadi heran ketika tiba-tiba saja Kebo Penggiring memanggul tubuhnya dan membawanya keluar dari kamar tahanan lewat sebuah jalan rahasia yang membawanya ke bagian belakang halaman gedung Kadipaten yang gelap.
"Kau mau bawa aku ke mana?!" tanya Anggini.
"Jangan banyak tanya!" desis Kebo Penggiring lalu cepat dia totok urat besar di leher si gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara.
Di bagian belakang gedung Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu tampaknya memang sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo Penggiring cukup cerdik dan panjang akal memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Cepat dia melompat ke atas punggung salah seekor kuda lalu membedal binatang itu dalam kegelapan malam sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun Kebo Penggiring berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg, tapi tanpa disadarinya dua sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya dalam kegelapan. Di pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini berhasil menyusulnya lewat jalan pintas. Salah seorang dari mereka menarik kaki belakang kuda yang ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh Anggini.
Sekali lagi Kebo Penggiring menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke depan dia melihat dua pemuda itu siap untuk menyerangnya. Kebo Penggiring cabut Keris Ular Emas dari sarungnya. Sinar kuning membersit terang di tempat gelap itu. Ujung keris ditempelkannya ke leher Anggini lalu dia membentak lemparkan ancaman.
"Tetap di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan menamatkan riwayat gadis ini!"
Wiro dan Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain tegak tak bergerak.
Perlahan-lahan dia kemudian memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis itu ke atas kuda kembali. Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang si gadis. Melihat ini Wiro segera bergerak untuk menghantam tapi Mahesa Kelud cepat mencegah dengan berteriak, "Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata itu beracun, meskipun hanya tergores berarti nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau! Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari atas kuda. Mahesa Kelud yang dibentak mau tak mau demi keselamatan gadis yang berada dibawah ancaman Kebo Penggiring terpaksa melangkah maju. Begitu mendekat Adipati itu hantamkan tendangan kaki kanan ke dada sipemuda. Tubuh Mahesa Kelud melintir lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak berkutik lagi.
"Kini giliranmu gondrong! Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia berpaling ke kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat itu. "Aku tahu kau sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika kau berani membokong silahkan! Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat dari kematian!" habis berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak kuda tunggangannya. Sebentar saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.
Anggini yang berada di sebelah depan berusaha memutar matanya, memandang berkeliling. Tapi malam sangat gelap dan kuda itu sudah menghambur jauh. "Benarkah pemuda itu yang dilihatnya tadi? Pendekar 212 Wiro Sableng? Mungkinkah guru meminta bantuannya?" berbisik hati sang dara. Lalu dia terkenang pada saat pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan Wiro. Hanya saja dia tak bisa mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat itu masih berada dalam ancaman bahaya besar.
Wiro Sableng melompat keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon besar. Hatinya jengkel sekali karena tak punya kesempatan untuk menghantam Kebo Penggiring yang ternyata berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas melihat wajah Anggini. Tak cukup jelas untuk melihat kecantikannya sebelum gadis itu menghilang dilarikan sang Adipati.
Cepat Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang terhampar di tanah. Ketika dia hendak menyentuh punggung pemuda itu, tubuh Mahesa Kelud mendadak membalik dengan tangan kanan siap menghantamkan pukulan 'Karang Sewu'!
"Sialan! Kukira kau pingsan benaran!" ujar Wiro.
"Untung aku membentengi badan dengan aji Karang Sewu. Kalau tidak, tendangan tadi sudah menghancurkan jantungku!" kata Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku yakin keparat itu terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara keluhan pendek dari mulutnya. Mana dia..?!"
"Kabur!"
"Harus kita kejar sebelum lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu segera berkelebat ke arah lenyapnya Kebo Penggiring.
Setelah lari jauh sepeminuman teh Wiro berbisik pada Mahesa Kelud. "Ada serombongan kunyuk yang mengejar kita di sebelah belakang"
"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak mengejar. Mereka menguntit. Semuanya berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah kanan, dua lagi di sisi sebelah kiri. Bagaimana pendapatmu? Apakah kita perlu menghantam mereka?!" tanya Mahesa."
"Sebaiknya jangan. Jika timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur makin jauh. Kau tak akan sempat menyelamatkan si gadis dan aku tak akan dapat mengambil dua senjata mustika itu!"
"Kau betul!" ujar Wiro. "Mari percepat lari kita!"
********************
TUJUH
Adipati Kebo Penggiring tahu batul seluk-beluk jalan yang ditempuhnya. Karena itulah meskipun malam gelap dia dapat memacu kudanya dan meninggalkan siapapun mereka yang berusaha mengejar. Selewatnya sebuah pedataran lalang Kebo Penggiring memasuki daerah bebukitan kecil dan sampai di sebuah lembah. Dalam dinginnya malam dan kegelapan dia dapat melihat rumah bambu yang menjadi tujuannya, terletak ditepi sebuah telaga kecil.
Hanya saja saat itu sang Adipati melihat ada satu keanehan. Di atas atap bangunan bambu tampak sebuah lampu minyak diberi berpagar kertas tipis warna merah hingga angin tak dapat memadamkan nyala api lampu. Sebuah lampion!
"Apa maksud Eyang memasang lampion di atas atap" membatin Kebo Penggiring. Kudanya menderap kencang menuju rumah kecil itu dan dalam beberapa saat saja sudah sampai di sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.
"Eyang, saya datang..." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari dalam bangunan yang gelap terdengar suara batuk-batuk lalu orang menjawab, "Bagus... Masuklah. Malam buta begini kau muncul tentu ada sesuatu yang penting!"
Kabo Penggiring turun dari kudanya lalu menggendong Anggini dan masuk ke dalam bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun dia dapat melihat sosok tubuh sang guru yang duduk di sudut kanan, berjubah hitam, lengkap dengan topi kain hitam berbentuk kepala poncong.
"Eyang Poncong Item" sang guru ternyata bernama aneh, "Apakah kau ada baik-baik saja?"
"Tentu... tentu...!"
"Suara Eyang terdengar lain dan sering-sering batuk... "
"Ya... Tua bangka sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku batuk. Itu sebabnya suaraku lain"
Kebo Penggiring coba menembus kegelapan malam dalam bangunan bambu yang gelap pekat itu. Dia jelas merasakan satu kelainan. Tapi tidak dapat memastikan apa yang terasa lain itu. Otaknya bekerja keras tapi dia tak dapat memecahkan teka-teki yang ada dalam dirinya sendiri itu.
"Sosok tubuh siapa yang kau gotong masuk itu, muridku?"' Eyang Poncong Item bertanya dari sudut gelap.
"Adik seperguruanku Eyang..."
"Hemm... bukankah dia yang kabarnya menjadi gembong pemberontak terhadap Kerajaan? Kau menangkapnya atau bagaimana? Apakah dia sakit?"
Kebo Penggiring tak segera menjawab. Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada gurunya mengenai Anggini. Rasa tak enak kini menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru agaknya mencium keheranan muridnya maka dia cepat batuk-batuk dan berkata, "Kau tak usah heran, muridku. Walau kau tak pernah bercerita tapi aku punya seribu telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi diluaran. Kau datang di malam buta seperti terburu-buru. Apakah ada setan yang mengejarmu?"
"Memang ada yang mengejar saya Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh dan tak mungkin dapat mengejar sampai di sini. Hanya saja "
"Hanya saja apa Kebo Penggiring...?"
"Hem..." Tiba-tiba sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak suka bergelap-gelap dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu minyak di atas atap! Astaga. "Lampion di atas atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak keras.
"Ada apa dengan lampion itu?"
"Lampu itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang Poncong Item tertawa. "Kau memiliki rasa takut tak beralasan..."
"Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Kebo Penggiring. Lalu dia bergerak mencari-cari sesuatu.
"Apa yang kau cari?"
"Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan lampu itu Kebo Penggiring. Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan kukatakan padamu"
"Katakan saja Eyang," jawab Adipati Lumajang itu tanpa beringsut dari duduknya.
"Soal kitab yang kau dapat dari gurumu Dewa Tuak itu... Yang tempo hari kau berikan padaku"
"Ada apa dengan kitab itu Eyang?"
"Kitab itu lenyap dicuri orang!"
"Astaga!" Kebo Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup mencurinya dari tangan Eyang!" ujar sang Adipati hampir tak percaya.
"Itulah sebabnya kau kusuruh mendekat. Ada sesuatu yang hendak kuperlihatkan padamu!"
"Mau tak mau Kebo Penggiring bergerak juga mendekati sang guru. Ketika jarak mereka tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item gerakkan tangan kanannya.
"Wuttt...!"
Satu jotosan menghantam dada Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap dia sudah berdiri sambil memandang tak berkedip.
"Keparat! Kau bukan Eyang Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di depannya, yang juga telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh. "Murid pengkhianat! Kau licik tapi ternyata tak cukup cerdik!" Sang Eyang usap mukanya dan lemparkan topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu tanggalkan jubah hitam yang melekat di tubuhnya.
"Dewa Tuak!" saru Kebo Penggiring ketika akhirnya dia mengenali dalam gelap siapa adanya orang tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama Eyang Poncong Item itu, tetapi guru pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu di mana Eyang Poncong Item? Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah bambu ini?
Selagi Kebo Penggiring terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu menjangkau sebuah benda bulat panjang dari balik bahunya.
"Glukkk! Glukkk! Glukkk! Byuurrr...!"
Orang tua itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Di dalam gelap menebar harumnya bau tuak. Kebo Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai bambu lalu melompat ke kiri menerobos dinding.
"Murid murtad! Kau mau lari ke mana...?" bentak Dewa Tuak.
Dia melompat ke pintu. Sampai di luar kembali mengajar dengan semburan tuak. Kebo Penggiring tahu betul Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah menghindar selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan pukulan itu membuat Dewa Tuak terkejut. Buru-buru si kakek melompat ke atas dan dari atas semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Melihat datangnya semburan tuak disertai deru laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring segera maklum kalau bekas gurunya itu tidak main-main dan menginginkan kematiannya! Adipati ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap sinar merah berkiblat.
Terdengar suara berdering. Semburan tuak laksana menghantam dinding bambu lalu luruh ke tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur. Tak urung janggutnya kena dipapas sebagian. Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara Kebo Penggiring tertawa tergelak sambil melintangkan Pedang Sakti yang memancarkan sinar merah di depan dada. Sepasang mata Dewa Tuak tak berkesip memandangi senjata itu.
"Dari mana kau dapatkan pedang mustika itu?" Si kakek bertanya.
"Kau tanyakan saja nanti pada iblis di liang kubur!" jawab Kebo Penggiring seenaknya. Lalu dia menyerbu.
Serangan-serangannya ganas sekali. Meskipun dia tidak menguasai jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi dasar utama pasangan senjata mustika itu, namun karena senjata tersebut memang merupakan senjata sakti luar biasa, dimainkan dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata ampuh dan berbahaya. Dalam waktu singkat Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya kegesitannya saja yang membuatnya sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.
Memasuki jurus ke empat belas, satu bacokan deras yang sangat sulit dielakkannya, memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya untuk menjadi perisai diri. Tak ampun tabung itu terkutung dua namun si kakek sendiri berhasil selamatkan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak tertegun sambil urut-urut dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di bagian dada itu.
"Tua bangka buruk! Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana guruku Eyang Poncong Item!" Kebo Penggiring membentak.
Dewa Tuak tertawa mengekeh. "Dia sedang berenang bersenang-senang di telaga!" jawabnya.
"Maksudmu?!" bentak Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak dapat melihat apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dini hari namun keadaan masih pekat gelap.
"Aku meminta baik-baik kitab curian yang kau berikan padanya. Tapi dia lebih suka memilih berenang di telaga. Hanya sayang dia berenang tidak membawa nafas lagi... Ha-ha-ha!"
"Jadi?!"
"Gurumu sudah lama jadi bangkai..."
Dada Kebo Penggiring seperti mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia melompat untuk menyerbu kakek itu kembali. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat ada beberapa sosok tubuh berdiri dalam kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali orang-orang itu. Mereka adalah Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul Soka.
"Ah, urusan ini bisa jadi kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia mencari-cari tapi tak melihat Gajah Bledeg. Ketika dia berpaling ke arah bangunan bambu dilihatnya orang itu tegak di sana dan memanggul tubuh Anggini di bahu kirinya!
"Kangmas Gajah Bledeg! Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu?!" teriak Kebo Penggiring bertanya.
"Kebo Penggiring," sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya kau selesaikan saja urusanmu dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"
"Kalau kau berani melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya akan kubunuh kau!" mengancam Kebo Penggiring.
Gajah Bledeg tertawa bergelak. "Sebelumnya kau hendak mencelakai gadis ini! Hendak menodai dan menggantungnya! Sekarang mengapa kau ingin membelanya?!" tanya Gajah Bledeg jelas dengan maksud mengejek.
Kebo Penggiring geram bukan main. Sesaat dia memutar otak. Lalu berkata dengan suara bergetar, "Kangmas Gajah Bledeg, jika kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku menyerangmu!"
Kembali benggolan kerajaan itu tertawa dan menjawab menantang, "Siapa takut padamu Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat laporan ke Istana Bahwa kau berani mengangkat senjata terhadap orang Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang gembong pemberontak!"
Mendengar kata-kata Gajah Bledag itu. Kebo Penggiring tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia segera menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya sambil tertawa ha-ha hi-hi meskipun sambil mengurut dadanya yang sakit.
"Murid khianat! Pelajaran yang kuterima darimu belum selesai. Mari kita main-main lagi beberapa jurus sampai ada yang mampus di antara kita!"
Kebo Penggiring merasa heran melihat tindakan bekas gurunya ini. Seharusnya Dewa Tuak berusaha menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah justru menghadangnya.
"Tua bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup" Kebo Penggiring melompat menerjang.
Dewa Tuak tegak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru, "Pendekar 2121. Sudah saatnya kau keluar dari persembunyianmu. Kau datang ke mari bukan untuk menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan urusan dengan manusia jelek bernama Gajah Bledeg itu"
DELAPAN
Wiro Sableng yang memang sejak tadi mendekam di balik semak belukar bersama Mahesa Kelud menunggu kesempatan baik, mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera melesat keluar, ke arah Gajah Bledeg.
Melihat hal ini Tunggul Soka tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo Kemitir agar membantu Gajah Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia membisikkan agar segera mengikutinya menyerbu Kebo Penggiring. Pedang merah di tangan Adipati itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti terselip di pinggangnya harus segera dirampas.
"Hemm... Jadi ini kacung suruhan Dewa Tuak yang diutus untuk membebaskan gadis molek ini? Apa betul namamu Sableng, cung?"
Kata-kata itu diucapkan Gajah Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini melangkah mendekatinya. Diejek demikian rupa Wiro Sableng keluarkan siulan tinggi.
"Tuan besar bernama Gajah Bledeg, turut penglihatanku kau tak pantas memakai nama Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari gajah!"
Marahlah Gajah Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul Anggini di bahu kirinya dia hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gandeng rundukkan kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis. Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti mengemplang tiang besi.
Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi, Gajah Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini di langkan rumah bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu Wiro Sableng. Kedua telapak tangannya terkembang. Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan, tetapi seperti orang menampar.
Dan setiap tamparan yang dilepaskannya mengeluarkan suara dahsyat seperti geledek atau petir menyambar. Membuat semua orang tergetar hatinya dan sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama Bledeg yang berarti geledek itu!
Wiro Sableng sendiri kaget bukan main. Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan suara menggetarkan, kedua telapak tangan Gajah Bledeg dirasakannya mengeluarkan hawa panas.
"Braakkk...!"
Salah satu tamparan Gajah Bledeg nyasar menghantam sebatang pohon dadap. Bekas tamparan itu langsung berwarna hitam. Sesaat kemudian terdengar suara berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu tumbang perlahan-lahan.
Kuduk Pendekar 212 jadi mengkirik dingin. Kalau mau selamat tak ada jalan lain. Dia juga harus keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya si muka cacat Ronggo Kemitir sudah berada di samping Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya. Ketika kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini sambut dengan pukulan 'Bentang Topan Melanda Samudera'.
Kalau Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget dan dapatkan tubuhnya terpental jauh lalu jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan seruan tertahan. Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha melawan tindihan pukulan sakti lawan yang laksana dinding karang menghimpitnya. Tubuhnya mengapung namun hanya sesaat.
Ketika Wiro dorongkan telapak tangan kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini terhempas ke belakang, berguling di tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri namun dadanya terasa sakit dan kedua lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri kucurkan keringat di keningnya tanda tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg sungguh luar biasa.
Di lain bagian Mahesa Kelud telah pula melompat keluar dari balik semak belukar di mana sebelumnya dia bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar ini merasa kawatir melihat begitu banyak orang yang menyerang Kebo Penggiring. Dewa Tuak menyerang Adipati itu jelas untuk menghukum muridnya yang khianat.
Sebaliknya kesempatan ini dapat dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk merampas senjata-senjata mustika miliknya yang dirampok dan kini berada di tangan Kebo Penggiring. Dalam pada itu Mahesa melihat pula dua lelaki tinggi besar berpakaian bagus yakni Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang merupakan dua dari lima orang yang telah merampoknya di pedataran Tengger. Menimbang sampai ke situ maka Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa Tuak! Kau terluka di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid perempuanmu itu? Biarkan aku menggasak segerombolan badut ini!"
Dewa Tuak hendak memaki marah mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu. Namun disadarinya bahwa saat itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam yakni akibat pukulan Eyang Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian yang terjadi pada sore hari yang sama Dewa Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya dan membuang mayat Poncong Item ke dalam telaga.
Ketika mayat itu digeledah dia telah menemukan kitab miliknya yang dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar Poncong Item yang telah menghasut Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut kemudian menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti mandraguna yang tak mudah dikalahkan.
Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa Tuak berhasil mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di dadanya. Kini menyadari kebenaran maksud baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat menghampiri tubuh Anggini yang terbaring di langkan rumah bambu. Sang murid ternyata tak kurang suatu apa selain di totok pada beberapa bagian urat pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak dapat menggerakkan kedua tangan dan tak bisa mempergunakan kedua kakinya.
Dengan cekatan Dewa Tuak melepaskan totokan itu satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan yang melumpuhkan Anggini memeluk si kakek seraya mengucapkan terima kasih. Lalu tanpa dapat dicegah gadis ini menyerbu ke tengah kalangan pertempuran. Di tangannya terdapat sehelai selendang berwarna ungu yang pada ujungnya tertera guratan hitam angka 212. Selendang ini merupakan senjata yang diandalkan sang dara.
Bagaimana angka 212 tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya tersendiri. Baca serial Wiro Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran.
Ketambahan lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin terjepit. Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin. Sepasang tangan dan dua kakinya siap dengan 'Aji Karang Sewu' yang dapat menghancurkan apa saja bila kena dihantamnya.
Selendang ungu di tangan Anggini menderu kian ke mari laksana seekor ulat, membelit dan mematuk tiada henti. Tunggul Soka serta Tambak Ijo dan Lah Bludak meskipun mengandalkan tangan kosong, ketiganya melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama hantaman tangan dan kaki Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Namun pedang merah sakti di tangan Kebo Penggiring merupakan senjata ampuh luar biasa yang dapat membendung semua serangan yang datang. Karenanya meskipun telah terkurung rapat tetap saja para pengeroyok tidak mampu menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas pedang.
Satu kali Tunggul Soka berlaku nekad. Setelah menggebrak dengan pukulan dan tendangan berantai dia menyusup dari bawah, bergerak cepat. Satu tangan menghantam pergalangan Kebo Penggiring, tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi hampir saja pentolan istana ini celaka. Tidak terduga pedang merah itu menyambar ganas kebawah.
"Brettt...!"
Bahu pakaian Tunggul Soka robek besar dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat melompat mundur. Wajahnya tampak pucat. Sebagai tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang tinggi. Dibandingkan dengan dirinya maka kepandaian Kebo Penggiring masih berada di bawah. Bagaimana Adipati yang dikeroyok begitu banyak lawan masih mampu bertahan dia membuat kejutan.
Tak ada alasan lain kecuali pedang merah di tangan kanannya benar-benar senjata luar biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk memiliki senjata tersebut. Tunggul Soka usap luka di bahunya. Darah berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu kembali dari samping kiri dilihatnya sesosok tubuh melesat dari kegelapan, langsung melabrak kalangan pertempuran.
Tunggul Soka tidak kenali siapa adanya orang ini. Sebaliknya begitu Kebo Penggiring melihat wajah penyerang baru itu, hatinya mau tak mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain pemuda yang telah ditendangnya dan disangkanya telah menemui ajal, paling tidak terluka parah. Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat menendang, masih terasa di kaki kanannya.
Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga kawannya telah menggagahi Mahesa Kelud di pedataran pasir Tengger, kini mereka berkelahi dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat atau lambat pemuda itu pasti akan membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi pangkal sebab semua kejadian ini.
Selintas pikiran licik muncul di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun berteriak, "Kangmas Tunggul Soka, Adipati Kebo Penggiring, Lah Bludak! Mari lupakan dulu persoalan di antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat ini!
"Kau betul dimas Tambak! Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.
"Keparat!" maki Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul Soka dengan anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya sendiri dan Anggini murid Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun mendekati si gadis dan berbisik, "Saudari kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi saling punggung denganku!"
Anggini yang juga mengerti kalau keadaan kini berubah, cepat melakukan apa yang dikatakan Mahesa lalu putar selendang ungunya lebih sehat. Bagi Mahesa Kelud yang paling penting adalah memperhatikan tindak-tanduk gerakan Kebo Penggiring. Adipati ini merupakan musuh paling berbahaya di antara empat pengeroyok karena pedang sakti berada di tangannya. Sebaliknya dua titik lemah di pihak lawan adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka kembali dia berbisik pada Anggini, "Hati-hati dengan pedang merah. Arahkan seranganmu lebih banyak pada dua lawan berpakaian bagus!"
"Aku mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya kini dibagi dua. Pertama disalurkan ke selendang ungu yang jadi senjatanya. Sebagian lagi ke lengan kiri. Pukulan dan tendangan berkecamuk silih berganti. Sinar ungu selendang Anggini menderu berkelebat di udara. Di antara semua itu pedang merah mengiblatkan sinar dan suara mendengung menggidikkan.
Mahesa Kelud kertakkan rahang. Setelah bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus ilmu Pedang Dewa pendekar ini akhirnya merasakan bahwa kedudukannya jurus demi jurus semakin tertekan. Maka diapun mulai siapkan pukulan sakti mandraguna yakni pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini serta merta menyadari dalam kecamuk perkelahian yang menggila seperti itu tak mungkin baginya mengeluarkan ilmu kesaktian itu.
Untuk melakukan pukulan Inti Api dia harus memejamkan mata membaca mantera. Jika itu dilakukan sama saja dengan membiarkan lawan membantai tubuhnyal Untuk sementara dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu sambil menunggu kesempatan untuk mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir terbang berwarna merah.
Kita ikuti kembali perkelahian di bagian lain yakni antara Pendekar 212 Wiro Sableng yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo Kemitir. Setelah mengatur jalan nafas dan darah masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo Kemitir kembali menyerbu murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau Gajah Bledeg kini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo Kemitir tampak membekal sebilah pedang berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk lurus, memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang seharusnya lancip ternyata bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan Renggo Kemitir Wiro Sableng tidak merasa takut. Pusat perhatiannya adalah sepasang tangan Gajah Bledeg yang terus menerus mengeluarkan suara menggelegar, menebar hawa panas.
Pendekar 212 bentengi diri dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat Ronggo Kemitir menjadi jeri dari dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah Bledeg berlaku lebih cerdik. Setiap selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya berkelebat cepat berpindah tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang. Dan ketika lawan membalik untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke jurusan lain.
Setelah saling hantam selama lebih dari sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan, Ronggo Kemitir harus dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212 lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut melihat sambaran sinar putih perak menyilaukan datang membabatnya disertai deru dan hawa panas luar biasa. Ketika dia jungkir balik selamatkan diri, di lain kejap Wiro sudah melesat ke kiri, kirimkan pukulan telak ke sisi kanan Ronggo Kemitir yang saat itu juga ikut terkesiap melihat kedahsyatan pukulan Sinar Matahari.
"Kraakkk...!"
Empat tulang iga Ronggo Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya sebelah dalam seperti ditusuk empat bilah pisau. Nafasnya mendadak menyengat. Tubuhnya terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk, tersandar ke semak belukar dan tak mampu berdiri lagi.
Wiro Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg. "Gajah jelek. Sekarang tinggal kau dan aku. Jika kau ingin kembali hidup-hidup ke Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus bersiaplah untuk menghadap setan akhirat!"
Meskipun hatinya tergetar melihat apa yang dialami Ronggo Kemitir namun ucapan Pendekar 212 Wiro Sableng itu membakar amarahnya. Didahului bentakan keras dia tepukkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Terdengar suara seperti geledek menggelegar. Tanah bergetar. Pendengaran sakit seperti ditusuk. Angin panas menderu menyambar tubuh Wiro Sableng.
Murid nenek sakti dari gunung Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin pukulan lawan menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan pukulan Sinar Matahari. Sekali ini dengan pengerahan lebih tiga perempat tenaga dalam. Terjadilah hal yang membuat semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesima kaget, gempar lalu bergidik ngeri.
Pukulan geledek yang dilepaskan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan pukulan Sinar Matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang-cabang pohon, ranting-ranting dan dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus hitam. Di sebelah bawah tanah terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu bekas kediaman Poncong Item roboh. Air telaga bergerlombang.
Tak ada satu orang pun yang sanggup menahan diri dari kejatuhan, termasuk Wiro sendiri. Semua orang-orang itu terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun gempa keras. Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, pentolan Istana itu tampak terkapar beberapa tombak di kejauhan. Pakaiannya tak kelihatan lagi. Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam!
Selagi semua orang terduduk terkesiap dan berusaha menenangkan kejut serta kengerian yang menguasai diri masing-masing. Tunggul Soka pergunakan kesempatan. Dengan satu gerakan kilat dia berkelebat kearah Kebo Penggiring. Sekali sentak saja dia berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan Adipati Lumajang itu.
"Bangsat pencuri!" teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.
"Jangan tolol!" balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa kau tidak melihat kedudukan kita sekarang terjepit? Kau masih memiliki sebilah senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi musuh-musuh!"
Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin memiliki senjata itu namun pada kesempatan yang tepat dengan licik dia dapat menutupi maksud buruknya itu. Dan Kebo Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul Soka tadi. Dia tampak mengeluarkan Keris Ular Emas dari balik pinggangnya. Sinar kekuningan memancar di udara malam menjelang dinihari yang masih gelap itu.
Mahesa Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit bagi pihaknya untuk menghadapi empat lawan yang nekad itu, terutama mereka yang memegang senjata mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini, kau mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan muridnya. Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak bisa guru!" terdengar sahutan sang dara. "Bagaimanapun aku harus menghajar manusia khianat itu. Mengingat rencana kejinya terhadapku, aku pantas memecahkan kepalanya!"
Kebo Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah...!"
"Manusia keji!" pekik Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu berkelebat disertai deru angin deras menyambar kepala sang Adipati. Yang diserang tusukkan keris emas di tangan kanannya ke atas.
"Brettt...!"
Ujung selendang ungu robek. Anggini kembeli terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan Mahesa Kelud tak tinggal diam. Keduanya menyerbu. Di lain pihak Tunggul Soka dan Tambak Ijo serta Lah Bludak sudah pula bergerak, menyongsong datangnya serangan.
Di saat perkelahian kembali hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara menggaung seperti ada ribuan tawon menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu sinar putih perak tampak berputar di udara lalu membeset ke arah Kebo Penggiring.
Percaya akan keampuhan Keris Ular Emas di tangannya sang Adipati tusukkan senjatanya ke depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar putih perak tadi membabat ke bawah menghindari bentrokan lalu menelikung ke pinggang. Kebo Penggiring terkejut. Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan lambungnya dingin.
Rasa dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa panas. Dia memandang ke bawah lalu menjerit melihat darah menyembur disusul usus yang membusai dari perutnya yang robek besar. Memandang ke depan dia melihat pemuda berambut gondrong itu tegak menyeringai dengan senjata aneh di tangani
"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Tunggul Soka. Kini setelah dia tahu pasti siapa adanya pemuda itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai pedang sakti, mengapa harus menyulitkan diri meneruskan perkelahian? Tanpa pikir panjang lagi tokoh silat Istana ini segera balikkan diri ambil langkah seribu.
Namun sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke arahnya lalu tekan alat rahasia di hulu senjata yang berbentuk kepala naga. Terdengar suara berdesir halus ketika selusin jarum putih melesat dari mulut kepala naga, menyerang ke arah Tunggul Soka.
Mendengar datangnya senjata rahasia ini Tunggul Soka cepat putar pedang merah di belakang punggung. Terdengar suara berdentringan disertai memerciknya bunga-bunga api. Selusin jarum patah dan luruh ke tanah.
Wiro memaki panjang pendek. Dia siap melompat untuk mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah berkelebat lebih dulu seraya melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna merah. Ratusan pasir itu menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan hampir tak mengeluarkan suara.
Tunggul Soka tersentak kaget ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada senjata rahasia lain menghantam tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan diri seraya putar pedang merah di belakang punggung. Namun terlambat. Puluhan pasir-pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke dalam daging, larut dalam aliran darah.
Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu mencoba lari. Dia hanya sanggup lari sejauh tiga tombak lalu tersungkur sambil mengerang. Sekujur tubuhnya terasa perih seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu disertai pula oleh hawa panas bukan alang kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata dan telinganya. Dari mulutnya terdengar suara seperti mengorok. Dadanya naik ke atas lalu terhempas ke bawah bersamaan dengan lepasnya nafasnya.
Mahesa Kelud cepat menyambar Pedang Dewa yang masih berada dalam pegangan Tunggul Soka. Kembali ke tempat pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo Penggiring sudah menggeletak di tanah. Usus membusai dan kepala pecah. Selagi sang Adipati meregang nyawa. Anggini yang tidak dapat menahan dendam kesumatnya hantamkan selendang ungunya ke kepala Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang nyawanya memang sudah tak tertolong lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut jebol!
Ketika Mahesa Kelud mengambil Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring dan menggeledah pakaiannya untuk menemukan sarung Pedang Dewa serta sarung Keris Ular Emas, Tambak Ijo dan Lah Bludak yang sudah lama mencari kesempatan segara menyelusup di balik pepohonan dalam kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget ketika terdengar bentakan,
"Kalian berdua mau lari ke mana?!" Dan tahu-tahu Mahesa Kelud sudah menghadang di depan mereka.
Tambak Ijo jatuhkan diri ke tanah. Lah Bludak mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Keduanya meratap minta diampuni.
"Setan tak bermalu!" bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan terhadapku cukup layak membuat aku membunuh kalian detik ini juga"
"Jangan Raden... ampuni selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang suruhan belaka..." ratap Tambak Ijo.
"Begitu...? Baiklah. Nyawa mu berdua aku ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa hidup senang di kemudian hari!"
Habis berkata begitu Mahesa tendang selangkangan kedua orang itu hingga anggota rahasia masing-masing hancur. Keduanya terpelanting pingsan.
Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Dewa Tuak tegak dengan tubuh gontai. Dia memandang berkeliling. "Beginilah hidup dan kehidupan..." katanya perlahan. "Kejahatan, kekejaman, dendam dan darah selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat kebajikan dan kebaikan. Mahesa Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua senjata mustikamu kembali?"
"Sudah kek. Aku sangat berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu serta kawanku si Sableng itu niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu selama-lamanya..."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering karena sudah beberapa lama tak meneguk tuak.
"Kalian dua pemuda tentu ingin melanjutkan perjalanan. Namun aku ada satu pertanyaan untukmu Pendekar 212"
"Apakah itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Urusan jodoh tempo hari. Apakah kau sudah memikirkan...?!"
Paras Wiro Sableng berubah. Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa Tuak, Anggini tampak tundukkan wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa Kelud tertawa geli dan kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika kau memang tak berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang lain..." terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro Sableng angkat kepalanya, berpaling pada Mahesa Kelud. Murid Embah Jagatnata ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini Wiro yang tertawa mengekeh.
"Kek, kau benar! Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!" kata Wiro.
"Hai! Urusan apa ini?!" seru Mahesa Kelud.
Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi Dewa Tuak cepat memegang lengannya.
"Soal jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa salahnya kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku"
"Maaf kek, aku masih ada keperluan lain..." kata Mahesa Kelud coba menampik tapi matanya melirik memperhatikan Anggini sejenak.
Dewa Tuak tertawa panjang. Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan kiri memegang lengan Anggini.
"Kek, tunggu... Aku harus mencari kuda putihku..." ujar Mahesa pula.
"Binatang itu, mengapa harus dikhawatirkan!" kata Dewa Tuak.
Lalu kakek ini keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda putih. Ternyata binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah dirampas Tambal Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah pergi, binatang ini mengikuti dari belakang. Sementara itu hari semakin terang tanda pagi segera menjelang.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar