WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : MAWAR MERAH MENUNTUT BALAS
ANAK perempuan berumur delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya menyanyi. Di tangan kanannya tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga yang baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu matahari pagi telah naik tinggi. Si anak mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau orang tuanya mengetahui bahwa dia telah pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut seperti kemarin.
Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan menuju keperkampungan, anak perempuan ini dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung di balik sebatang pohon. Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat.
Si anak tak tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat banyak dan semua berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis melintang serta cambang bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis. Dan masing-masing membawa sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan penunggang kuda itu telah berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan menutupi pemandangan.
Setelah debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik pohon dan berlari sepanjang jalan menuju ke kampungnya. Kampung itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri sungai kecil berair jernih. Sekeliling perkampungan terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi tengah menguning hingga kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi... Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya terdengar suara hiruk pikuk.
Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan kuda, suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan anak-anak, lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara ringkik kuda yang membuat kecutnya hati anak perempuan itu. Ada apakah di kampung? Begitu si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya terhenti-henti. Satu perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi ke kampung, jangan pulang.
Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak meskipun dalam langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan segala barang-barang rongsokan. Justru di sini anak tersebut menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya yang tadi kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena ketakutan.
Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah.
Namun pada saat itu muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar bertampang ganas. Salah seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah perkelahian dua lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan ayahnya.
Senjata di tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di perut serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu membakar rumah orang tuanya.
Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah ibu dan kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk. Si anak hendak berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia segera ikut menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda, Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu.
Gadis itu menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun tubuhnya sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata adalah laki-laki ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung ini menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling, seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata! Sudah lebih dari selusin perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!" gertak laki-laki yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot garang.
Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung! Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak.
Kawannya yang bernama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah. "Kalau tidak dia biar yang ini saja untuk ku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk pada perempuan berumur sekitar tiga puluh lima tahun yang tengah didekap oleh kawannya yang bernama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!" kata Bayunata.
Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan kampung telah diambilnya. Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah tertawa.
"Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan. Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!" Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam dekapannya yang saat itu masih menjerit dan meronta. "Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup senang! Mari..!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata.
Tapi si gadis terus meronta dan memaki. "Kau ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya?! Baik!"
Tangan kanan Bayunata bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu. Dilumatnya dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar ucapan,
"Dada bagus... dada bagus... uh... uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal...!"
Bayunata tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda. Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu... kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena satu telapak tangan berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh! Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-setan yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma punya satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan lobang hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya sedang hidungnya melesak penyet!
"Jangan takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang menekap mulut si gadis cilik. "Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang sepertimu ini yang kucari-cari!"
"Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana, anak?!"
"Ibu... ibu... aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah... akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!" Manusia bermuka hitam seram yang ternyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa mengekeh. "Sekecil ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku harus bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya. "Bangsat! Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
Di hadapan si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang kakek-kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai, melambai-lambai ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku! Lekas menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan kanannya ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan, namun hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si nenek yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung lalu menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak! Sekaligus si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik. Sesudah dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu jurus pun aku bersedia mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak. "Kau mengancam aku, Munding?"
"Ya?!"
"Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut pautmu?!" tukas si nenek.
"Sudahlah. Kataku serahkan anak itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan ketus.
Munding Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala. "Otak tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-hatilah kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah seorang dari kita. Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia yakin si anak pasti tidak akan memilihnya. "Dalam urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!"
Munding Wirya mengusut lagi janggutnya. "Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau apa?!" tantang Camperenik.
"Kau akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah kedua kaki Camperenik.
Si nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak. Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti menyerang dengan satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan.
Namun lagi-lagi dia harus membatalkan serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu memapaki tangannya! Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah siasat. Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima langkah.
Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh lawan!
Pertempuran antara si kakek dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya sama-sama hebat, lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia masih terus mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar.
Dalam penasarannya dia berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang demikian asing dan hebat? Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan serangan Munding Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik pinggang. Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan menjadi tongkat dan bisa menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah keras kaku itu bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan Camperenik, karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan pernafasannya. Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata ularnya, Camperenik tiba-tiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun kuning dari mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku tongkat yang amat seru. Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat simpanan. Serangan di balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!" Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang keneraka pun aku tetap bilang tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Tranggg...!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah peraduan yang keenam puluh dua kalinya! Masing-masing pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di muka Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah. "Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat. Paras Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan. Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana, Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan mati konyol dilabrak pukulan 'Buana Biru' ini?!"
Mulut Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!" Habis berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di depan tubuhnya!
Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak mungkin baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik bakal menemui kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding Wirya geram.
"Ayo Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah geram. "Kalau kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak kaget. Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh berpakaian putih sementara itu dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari samping satu sinar biru menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding Wirya ternyata telah melepaskan pukulan 'Buana Biru' begitu si nenek bersikap lengah. Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang. Nyawanya selamat tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat nenek-nenek ini roboh dan terguling pingsan!
Munding Wirya tak menunggu lebih lama, segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan tadi dari tangan Camperenik! Di tepi lembah Munding Wirya masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak sampai tiga puluh langkah.
Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan anak yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling ke belakang seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat sudah berapa lama dia mengejar orang itu sementara matahari sudah condong ke barat dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu dia masih belum mampu mengejar orang yang melarikan anak perempuan itu.
Si penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari pemandangan kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang tua. Siapakah gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?! Tepat pada saat matahari tenggelam di ufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding Wirya lenyap dari pemandangan! Kakek-kakek itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar edan...!" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum jodohku anak itu. Tapi betul-betul aneh dan hebat. Siapakah orang yang telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat tersebut. Namun satu langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian putih tengah memangku anak perempuan yang hendak diambilnya jadi murid! Dengan serta merta Munding Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di lain kejap dia sudah berada di atas cabang pohon besar di mana orang yang melarikan anak perempuan itu duduk.
Terkejutlah Munding Wirya ketika dia melihat bahwa orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut putih jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas... pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!"
Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam. Perempuan tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu telah tertidur nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya. "Kalau aku boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan puncak gunung Gede? Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari dunia yang penuh kotor ini."
"Betul... itu betul sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya perempuan tua itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya sebagai murid pula, tetapi si kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia kawatir perempuan tua itu akan tersinggung. Siapakah sebenarnya perempuan tua itu?
Dia bukan lain Eyang Sinto Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang pernah merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun! Sambil mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan hitam. Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata, "Jika kau ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede."
Sinto Gendeng tertawa, "Aku memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya satu murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan menggemblengnya menjadi gadis pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit hati atas apa yang telah menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?"
Sinto Gendeng mengangguk perlahan. "Kekotoran-kekotoran macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal menuntut balas!"
Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali lagi lalu menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-tahu telah berkelebat lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik nafas panjang.
"Tak dapat ku ukur betapa tingginya ilmu kepandaian manusia itu!"
Setelah memandang berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang pohon dan lenyap dalam kegelapan malam.
Hutan Bludak merupakan hutan yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat. Penduduk yang diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut menganggapnya sebuah hutan angker yang jarang di datangi manusia. Menurut penduduk disitu, selain penuh dengan bindtang buas juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus. Di samping itu hutan Bludak juga merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang angker lebat itulah gerombolan rampok Bayunata mendirikan markas mereka. Rumah-rumah mereka atau lebih tepat dikatakan pondok-pondok didirikan di atas pohonpohon raksasa dalam hutan yang keseluruhannya berjumlah hampir dua puluh buah. Bayunata sengaja mendirikan pondok di atas-atas pepohonan agar jangan diganggu oleh binatang-binatang buas.
Disamping itu juga untuk menjaya jika sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran. Selama bertualang malang melintang memimpin gerombolan rampok bersama Singgil Murka dan Sawer Tunjung, telah dua kali Bayunata diserang oleh orang-orang kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan yang terakhir dari Banten. Meski anak buahnya banyak yang jatuh menjadi korban, namun Bayunata dan kawan-kawannya berhasil menghalau prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di dalam sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu sedan tangis dua orang perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan kakak perempuan anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam pondok itu juga terdapat lima orang perempuan yang rata-rata berparas cantik. Namun dibalik paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap dengki dan bengis.
Salah seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan membentak, "Kalian ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus berterima kasih tidak dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air matanya dan memandang tepat-tepat pada perempuan yang membentak itu, lalu berkata dengan suara pelahan tapi menusuk tajam. "Aku dan anakku menangis karena kami bukanlah manusia-manusia macam kau dan lain-lainnya! Kalian bersyukur jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu urusan kalian. Jangan coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-ho! Kau ibu dan anak mau mengandalkan apakah hendak menolak kehendak Bayunata? Lebih baik menurut saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma tertawa sinis. Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih. "Perempuan macammu ini biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada jadi peliharaan seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau memang mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya membentak. "Perempuan bangsat! Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan itu menjerit. Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya berdiri Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata membeliak. "Warinah! Sudah sejak lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah bahkan main gila dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat kertas. "'Bawa sini botol itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan Warinah dan membuka tutupnya. "Sekarang kau sendiri yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun... ampun Bayunata. Aku, aku tidak bermaksud..."
"Minum cepat!" teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya kawan-kawan Warinah berdiri di satu sudut dengan ketakutan. Warinah mundur beberapa langkah.
"Minum kataku!" teriak Bayunata lagi lalu melompat dan, menjambak rambut Warinah. Racun dalam botol dituangkannya ke mulut Warinah tetapi perempuan itu lebih cepat menutup bibirnya rapat-rapat!
"Oo... kau tak mau mampus cara begini hah?! Baik! Aku memang sudah bosan padamu, sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang Warinah lalu melemparkan tubuh perempuan itu keluar pintu pondok! Pondok itu terletak di atas pohon raksasa yang hampir dua puluh tombak tingginya. Di luar terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya telah menemui kematian di bawah sana! Di dalam pondok Bayunata memandang pada empat perempuan kawan Warinah lalu membentak mereka agar meninggalkan pondok itu!
Keempatnya berebutan cepat keluar dan lari sepanjang jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang menyambungkan pondok itu dengan pondok lainnya. Kepala rampok Bayunata memutar tubuh dan memandang ganti berganti pada Galuh Asih dan Ratih.
"Walau bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling tolol!"
"Kami memang tak ingin bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!" menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau telah memiliki perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu belum cukup? Masih kurang? Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang menyebut Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu?! Memang aku punya lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua! Kau musti tahu setiap perempuan berbeda! Punya keistimewaan sendiri-sendiri!"
Dan habis berkata begitu Bayunata tertawa gelak-gelak. Dia melangkah ke pintu dan berteriak. Seorang anak buahnya datang dengan cepat. "Bawa gadis itu ke pondokku! Usir perempuan-perempuan yang ada di sana dan jaga dia baik-baik! Awas kalau kau berani berbuat kurang ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika hendak dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang. "Lepaskah dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu kemudian sekaligus dirangkulnya.
Galuh Asih memekik dan menangis keras sewaktu anak gadisnya lenyap diluar pintu. Bayunata menutup pintu pondok dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda. Bila perempuan itu tampak agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan keselamatan diri anakmu..."
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh, begitu? Apakah kau mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur tubuhmu sekaligus?!"
"Bangsat! Demi Tuhan matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan mudah kepala rampok hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih dan dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam dalam rangkulannya. Ciumannya bertubi-tubi. Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja malah lambat laun tenaganya semakin mengendur dan dia tak berdaya apa-apa sewaktu Bayunata membaringkannya di atas kasur jerami kering.
Kekuatan perempuan ini timbul kembali sewaktu Bayunata mulai menanggalkan pakaiannya dengan kasar. Keduanya bergumul berguling-guling dan pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata, tak bisa menolak sewaktu Bayunata meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras ketika dirasakannya bulu-bulu dada kepala rampok itu menggeremangi buah dadanya. Dia menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan di bawah tindihan tubuh laki-laki terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat. Bayunata dengan tubuh keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu. Dibukanya pintu itu. Untuk beberapa lamanya dia berdiri memandangi kegelapan. Disekanya peluh yang berciciran dikeningnya. Dia berpaling kebelakang. Galuh Asih terbujur diatas kasur jerami dalam keadaan tak berpakaian. Sepasang matanya terpejam. Dada dan perutnya jelas kelihatan turun naik. Betapa bagusnya tubuh telanjang itu dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh anaknya yang masih perawan jauh lebih bagus dari itu, pikir Bayunata.
Kepala rampok hutan Bludak ini memalingkan kepalanya, kembali memandang keluar pondok. Dia kemudian berteriak memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini membesar sewaktu mereka memandang ke dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih yang terbaring telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat pemandangan di dalam sana?!" ujar Bayunata sambil menyeringai dan menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku temahak perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya! Tapi... jangan main serobotan. Dia masih letih...!"
Habis berkata begitu Bayunata tertawa mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu, meniti jembatan tali yang menuju kepondok lainnya. Sawer Tunjung cepat-cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya dipegang oleh Singgil Murka.
"Mau kemana Sawer? Aku tokh lebih tua darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan suara menggerutu. "Lagi-lagi soal umur kau gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu! Sekali-sekali aku tokh boleh saja lebih dulu dari kau?! Aku tak ingin selalu jadi tukang cuci mangkok!"
Singgil Murka menyeringai memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor tak pernah digosok. "Yang sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa melepaskan bahu kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata keras, "Justru karena yang sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara kedua kawanan rampok itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih membuka kedua matanya. Dia sadar apa yang telah terjadi atas dirinya. Mendengar pertengkaran Singgil Murka dan Sawer Tunjung dia sadar pula apa yang bakal menimpa dirinya. Noda kotor baru saja menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran itu akan jatuh. Galuh Asih seolah-olah mendapat kekuatan gaib. Tidak saja perempuan ini bangkit dan berdiri tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia menjerit keras lalu secepat kilat lari ke ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka dan Sawer Tunjung berseru hampir bersamaan. Keduanya melompat ke pintu tapi terlambat.
Tubuh Galuh Asih melayang dalam kegelapan malam. Jeritannya mengumandang mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta merta berhenti sewaktu tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah! Kepalanya rengkah, lehernya patah!
Bayunata tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada saat itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana.
Lamat-lamat terdengar suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok seberang sana Singgil Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke bawah. Bayunata berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang barusan terjadi.
"Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami... kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan lari sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!" bentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang sebelumnya telah dilemparkan oleh Bayunata. Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan meniti jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang mengawal dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata. Kepala rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang tersiram anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa lama sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk pertama kalinya dia tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya Ratih dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur dalam seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!"
Bayunata tertawa perlahan. "Setiap perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh diri!"
Dan Bayunata hendak menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu kemudian dibatalkan. "Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah."
Bayunata berkata bilamana Ratih masih dilihatnya menangis. Sebagai jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kanannya. Dengan tangan kirinya Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di atas sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya dengan ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai tubuhnya tertahan oleh pondok. "Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis...?"
Ratih memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke kepala Bayunata. Melihat sikap Ratih yang keras demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan lembut, kini naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar itu hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak Bayunata beringas. Ratih kaget bukan main.
"A... apa?! Ibuku bunuh diri...?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan ditindihnya sekaligus.
Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata. Kepala rampok itu mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang kepalanya dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama. Mungkin sudah menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa. Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas diwajahnya. Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain ditubuhnya.
Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas dadanya. Ratih menangis keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah merapatkan kedua kakinya sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang! Pintu pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah dibantingkan ke lantai pondok!
Bayunata adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya terbanting keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat seraya melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya melihat sosok bayangan putih yang barusan masuk.
Yang diserang nyatanya bukan seorang yang berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat Bayunata berhasil dielakkannya dengan miringkan tubuh ke samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau?!" bentak Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak dikancing hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu, Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan yang dinamakan 'Sepasang Lengan Baja Meminta Jiwa'. Selain cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya. Pemuda ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari lawan dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya.
Namun tak terduga begitu dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba membabat ke kepala dan pinggang. Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai sedang kaki kanan berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan Bayunata. Ini adalah satu gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah gerakan itu adalah gerakan main-main!
Ini membuat Bayunata penasaran setengah mati. Dia bertekad untuk membunuh pemuda tak dikenal itu saat itu juga. Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata yang beratnya hampir dua puluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih yang berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok yang demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin deras, sekali berkiblat senjata ini telah menebar tiga tebasan dan empat tusukan ke arah tujuh bagian tubuh si pemuda! Dalam tempo yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya celaka.
Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata yang tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk menghadapi lawan. Bayunata merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah miliknya sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia harus berhati-hati karena meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu berobah menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda berambut gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-putar, menyusup di bawah golok lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu telah terlibat! Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari tangannya!
Bayunata berteriak marah. Dia menerjang ke muka dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak tangan kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut gondrong pada Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi,
"Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng. "Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!" Si pemuda mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari ikut aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher gadis itu. Dalam keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih baik dia angkat kaki. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di lain detik terdengar kepalanya diadu dengan dinding pintu pondok yang keras. Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat kemudian telah lenyap dari tempat itu.
Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung ke atas, juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit tersebut kemudian dinamakan bukit Gong. Pada tanah yang muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut marilah kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda berambut gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok Bayunata. Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai berair jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya di sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!"
Si pemuda tertawa perlahan. "Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212 berdiri. "Aku akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih.
"Jika kau hendak melarikan diri, silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon pohon bambu. Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek memesannya untuk menyelamatkan dirinya.
Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya si kakek? Dan ke mana dia hendak dibawa? Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke dalam sungai. Dia menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa?
Dengan mengomel dalam hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada menunggu kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa. Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti yang dicurigainya. Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya terseruak. Di lain saat dari seruakan semak belukar itu muncullah seorang pemuda.
Pemuda ini bertampang cakap. Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat. Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!" katanya sambil mengusap-usap mukanya, "Inilah gadis yang kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin! Asyiik...!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak. "Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi! Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi aku bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia, sama dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak sehat, aku gila. Nah, kau mengerti...?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang. "Bagus! Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii...!!"
"Pemuda! Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu! Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura marah.
"Soal muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal lagi. Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu... dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi nama waktu, bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu tak mungkin punya mata. Apalagi kalau matanya buta. Pagi buta... lucu sekali! Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi marah. "Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah maju.
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila...!"
"Orang gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan... "
"Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal kalau..."
"Kalau... kalau... kalau apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda berotak miring itu.
"Plakkk...!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian kerasnya hingga salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat ini Ratih merasa menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan aku akan minta agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi mas kawiiiiinnnn...!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu. "Nah, sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku! Berarti kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku...! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu... kau lucu! Tapi sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!" Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis itu dibahu kirinya.
Ratih hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan halus pada punggungnya membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Si pemuda ternyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang teramat lihay! Karena tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku..."
Ratih menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh kali lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal menimpa dirinya kelak? Diam-diam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan.
Ketika Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si pemuda masih terus berlari dengan cepat di sela-sela pohon-pohon yang tumbuh rapat bahkan kadang-kadang dia melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa kali pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda berkata. Ratih membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah! Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang tertutup langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah menimang-nimang seuntai tasbih jadi terkejut. "Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata.
Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di hadapan ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang bukan lain hanya sehelai kain seperei. Dia berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata.
Lalu dia tertawa gelak-gelak dan menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang kau culik ini?!"
"Amboi! Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku! Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak menjawab. "Astaga, aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata.
Lalu dijentikkannya satu jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan yang membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya. "Dia yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti dia angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak? Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi nyatanya laki-laki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini membuat Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang mandi sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada keren. "Tapi ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya terbungkus alas tempat tidur! Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawinkan aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan. "Anak orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinkan mu dengan dia! Otakmu memang miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan! Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara baik-baik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau adanya! Jangan bikin malu orang tua mu yang sudah hampir masuk ke liang kubur ini..."
Butiran-butiran air mata meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca.
"Jika kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau menerima diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu..."
Air mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih. Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya? Ratih memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan air matapun jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat akan kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat ini tak tahu entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala perbuatan anakku..."
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!" desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu..." Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah! Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi... amboi!"
Dengan air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya. "Senjata mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih memandang pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan menundukkan kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya sedikit.
"Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah..."
Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di tempatnya. "Bapak!" Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi entah di mana sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa nasib. Aku hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk sementara di sini guna merawatmu sebisanya..."
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras, berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang baru datang berkata. Semua orang berpaling.
"Wiro!" seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa dia?!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah ku ceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan sama-sama menyadari bahwa orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini...?"
"Aku yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab.
Wiro mengawasi pemuda ini sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. "Kau memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka dan kasihan pada ayahku dan bersedia tinggal di sini. Bukan aneh. Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda sinting itu. "Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata Wiro sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai. Tahu-tahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada apa-apanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata terus-terusan membantah bahwa itu tidak aneh. "Mungkin aneh, mungkin juga tidak, orang muda..."
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di sini. Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri..."
"Dan jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itu. Dia calon istriku! Amboiiii! Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong...?" ujar Ranata pula menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil garuk-garuk kepala dia memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya, dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya..."
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah, nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu.
Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya. "Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu...? Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak pinggang.
Wiro ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau..."
"Bah...?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut? Memangnya mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah...! Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam hati. "Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu? Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta peradatan. Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu dikawinkan dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap tersungging seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!" Ranata mundur. Dari mulutnya keluar ucapan-ucapan gusar
"Sekarang begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian. Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau musti berlalu dari gubukku. Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak. "Nyata sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya. "Jika kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu. "Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa. "Kenapa musti di luar? Ruangan ini cukup besar. Dan amboi... biarlah calon istriku menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyar ilmu silatku! Di samping itu ayahku akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan kecurangan! Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!" sahut Ranata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh. "Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan 'Pecut Sakti Nenabas Tugu'.
"Ha-ha-ha... Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup mengelakkannya!" teriak Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng.
Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu serangan lain namun lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan 'Membuka Jendela Memanah Rembulan'. Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur deras ke arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu!
Sebelum kakinya menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan 'Kipas Sakti Terbuka'. Di hadapannya Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah.
Wiro sadar meskipun serangannya bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari Ranata tak mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan 'Gunung Meletus Batu Melesat Ke Luar'.
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata.
Tubuhnya merunduk. Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu saja ini sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya itu pasti akan mengenai sasaran! Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro. Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan 'Orang Gila Melenggang Ke Awan' untuk melepaskan diri. Tapi terlambat. "Brett!" Pakaiannya robek. "Bukk!" Satu tempelak menghantam bahunya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit. Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus 'Menepuk Gunung Memukul Bukit'.
Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi tahu bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian. Mau tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa menghentikan gerakannya.
"Amboi...! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah... aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu. Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan. Kenyataan pahit yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian..." kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan angkat kaki..."
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas dapat cucu!"
Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang Ranata tertawa gelak-gelak.
"Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuu...!"
Siapakah sesungguhnya orang tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang berotak sinting seperti Ranata itu? Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara sekian banyak para menteri istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata.
Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik, penuh tanggung jawab serta jujur. Di samping itu dia juga memiliki kepandaian silat yang tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan untuk mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan keluarganya.
Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi incaran seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa Citrakarsa hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu rencana busuk. Suatu hari diundangnya Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan.
Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu telah berubah ingatannya.
Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa dan anak istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah telanjang. Apa yang terjadi atas diri menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib pandai di datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian, penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena dia mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah menjalankan semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum sedikit akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya saja kini yang kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti sediakala tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri yang telah mencelakakannya. Di samping itu putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih belum berhasil disembuhkan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya tidak sehat namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam tempo hanya tiga tahun.
Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya untuk memperdalam ilmu bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh. Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah yang membuat hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212 Wiro Sableng sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju ke utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata. Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya. Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah yang dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya menerima kekalahan-kekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan gerakan 'Pecut Sakti Menabas Tugu'. Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan satu jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan 'Pecut Sakti Menabas Tugu'.
Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya mengingat gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat gerakan mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru membuat gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan menentukan serangan yang dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda itu membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu tendangannya meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu membuat gerakan 'Kipas Sakti Terbuka'.
Pada waktu itu Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-benar satu keadaan yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada sampai ke kaki tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro.
Digaruknya kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan ilmu silat manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya dilakukan secara terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
Bukit Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga berbentuk bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan bukit Gong. Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah tempat kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa gadis cilik adik kandung Ratih.
Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke barat. Dia langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya. Di samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek lalu bertanya. "Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya. Munding Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya.
Wiro menerangkan. "Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab, "Dulu dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas, berbudi luhur, bijaksana serta jujur..." Lalu Munding Wirya menceritakan asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan tinggal di dalam hutan.
Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang menyedihkan itu. "Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk tinggal di situ..." kata Wiro.
"Kurasa demikian..." menyahut Munding Wirya.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak. Munding Wirya mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan membelai kepala gadis kecil di sampingnya.
"Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusia-manusia terkutuk di hutan Bludak itu..." desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu dengan guruku...?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng. "Jika begitu perkenankan aku minta diri sekarang.
Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Dengan terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu mat ari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini sampai juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air laut terdapat sebuah delta subur berbentuk pulau kecil.
Di sini berdirilah sebuah bangunan bambu yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera hitam bergambar kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam keadaan basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut. Jauh-jauh dia sudah berteriak,
"Soka! Soka... ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset! Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku! Apa-apaan kau ini Camperenik?!" Teguran itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian nama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah Camperenik duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik dan dia berbisik.
"Hentikan tangismu, Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa..."
Camperenik hentikan tangisnya. "Sebelas tahun aku mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah berada di tanganku, tahu-tahu datanglah Munding Wirya hendak merebutnya..."
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap mukanya.
Baik muka maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam, alisnya tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipis. Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar Soka mendekam di muara sungai. Siapa saja yang keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan, diwajibkannya membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan mereka-mereka yang tak mau mematuhi hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh namun tak seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat iblis. Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran Hantu Kuning.
"Tidak, bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi ketika aku dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah menyambar calon muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding Wirya keparat itu melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet pinggulku hingga lariku jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya..." berjanji Damar Soka seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu..."
"Kita akan cari sampai dapat..."
"Dan pinggulku yang sakit ini?" merajuk Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu..." kata laki-laki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain yang melekat di tubuhnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset... tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya menarik tangannya dan menjiwir telinga Damar Soka.
Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan tangan kanannya dibelainya pinggul Camperenik yang agak kebiru-biruan. Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya hangat. Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan Damar Soka.
"Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa lamanya.
"Agak mendingan... Usaplah terus, Soka. Usaplah terus..." bisik si nenek bermata satu penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik melihat tingkah laku kedua manusia tua bangka ini. Dan Damar Soka terus juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian bergerak mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si nenek. Camperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas dan jatuh ke lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah telanjang begitu dia lari ke dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam bersinar-sinar.
Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke dalam. Camperehik berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka... soka..." bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu kau... Sudah terlalu lama Soka... Terlalu lama..."
"Ya, terlalu lama..." berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani membuat Carnperenik blingsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur.
Dari balik pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu topeng itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang amat cantik. Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng kain. Begitu dipakai maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi wajah seorang pemuda tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik.
Kedua kakinya bergerak dan sesaat kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa bahwa mereka sudah tua bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi. Camperenik tertawa kecil sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka... enam bulan..." bisik Camperenik.
"Enam bulan! Buset...!" balas Damar Soka.
Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya tubuh perempuan tua itu! Dalam dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan nama-nama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia kotor yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti suami istri tanpa kawin syah.
Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih terus juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana kegilaan mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua begitu mereka sengaja mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras mereka menjadi muda kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di dalam diri masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun. Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal lengannya. Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon muridmu yang dilarikan itu?"
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Busyet! Masih pagi katamu. Coba kau lihat matahari telah hampir keubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka masing-masing. "Bagiku masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan matahari. Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh pasti akan kita temukan..."
Camperenik menarik lengan Damar Soka dan memeluk tubuh laki-laki itu kembali. Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka... enam bulan..."
"Tapi buset! Kau mau bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
Pendekar 212 Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah lembah. Jauh disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar berdaun rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya lebih segar. Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba mendengar suara dua orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro.
Dia bermaksud untuk membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu pasangan yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa gelak-gelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh. Bukan suara tertawa sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar dan memandang ke depan. Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila... betul-betul gila!" kata Wiro dan cepat-cepat dipalingkannya kepalanya. Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah memperkuda laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil menyeringai-nyeringai!
"Geblek, biar kulempar mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati.
Lalu dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah kedua insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan mustahil kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta tidak sopan sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka.
Akhirnya dengan memandang ke jurusan lain Wiro menunggu. Tak berapa lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka..." terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan..." sahut si kakek dan si nenek tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka..."
"Sudah, sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh apa?!"
Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek membuka suara kembali. "Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu mendengar nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia..."
"Betul, lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan sambil bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi seperti tadi! Sewaktu matahari telah jauh condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain Damar Soka dan Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya lalu laksana terbang lari kejurusan timur.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap Munding Wirya. Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang megap-megap.
"Sau... sauda... ra... tol... tolonglah..."
Wiro berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah. Pada bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau... saudara..." Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok urat besar di leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu berdiri dengan cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang golok menyeringai. "Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas! Tak ada seorang bangsat pun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si Bayunata hah? Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya. Anak buah Bayunata menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat kosong. Secepat kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya.
Sebelum dia sempat mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah. Perampok itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya telah terlepas entah ke mana.
"Srettt...!"
Suara golok dicabut terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu melihat kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata masing-masing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng. Empat golok besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro. Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan tubuh terkutung-kutung.
Namun serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan pernah berhasil. Di dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara. Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menabur serangan. Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang disamping kanan terbanting ke tanah dengan kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar tubuh untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu sama lain. Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke dalam telaga. Celakanya masing-masing mereka tidak bisa berenang.
"Tolong!" jerit mereka sambil menggelepar-gelepar dalam air.
Keduanya laksana gila, berteriak dan menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Semakin keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka amblas ke dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air telaga.
Wiro memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka parah. Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku pakaiannya.
Darah yang mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk obat itu ditaburkannya di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu kemudian menelankan sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua matanya.
"Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan... te... terima kasih, Sau... dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan Wiro. Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jalan. Ketika aku menolak untuk memberikan uang emas yang kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha melawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Sewaktu salah seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi. Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai di tempat ini dan bertemu dengan kau..."
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar lalu menarik nafas panjang dan berkata lagi. "Aku berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit dipunggungnya.
Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya. "Menolong sesama manusia adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu, menolong merupakan satu kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa. Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan..."
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan malam akan tiba." Keduanya berdiri. "Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk. Ketika malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi menerangkan nama dan tempat tinggalmu..."
Laki-laki itu berpaling dan astaga. Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik. Dengan mengandalkan ilmu lari masing-masing, menjelang tengah malam mereka berhasil mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding Wirya.
Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah dicobanya untuk menutup panca inderanya namun sia-sia belaka. Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran sedang entah karena apa hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan menjadi muridnya.
Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya coba untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan pikirannya. Selagi dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak menentu, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!" Munding Wirya bertanya. Baru saja pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok tubuh masuk ke dalam.
"Selamat berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan cocok sekali dengan pepatah itu heh?!"
Munding Wirya mengusap janggutnya yang panjang putih. "Aku tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada saat itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang laki-laki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem... Kau rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang kalian berdua keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian menginjak tempat ini!"
"Buset... buset... buset!" Damar Soka goleng-golengkan kepala. "Haram atau halal itu urusan kemudian. Yang jelas kau harus berterima kasih lantaran aku ikut kemari bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan kening. "Sangkut paut apa aku musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik hendak minta kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku di sini pembalasannya yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh diri!"
Berubahlah paras Munding Wirya. "Keluar dari sini atau aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai tuan rumah kau terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu dikeluarkannya senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah untuk mampus!"
Camperenik menerjang ke muka. Senjatanya berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun Munding Wirya siang-siang sudah berpindah tempat hingga serangan Camperenik hanya mengenai tempat kosong. Dengan sebat nenek-nenek bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada saat itu satu gulungan berwarna kuning datang di hadapannya dengan amat cepat.
Camperenik tidak menduga sama sekali kalau dikejapan itu Munding Wirya akan melancarkan serangan balasan dengan tongkatnya. Dia bersurut mundur namun serangan tongkat bambu kuning Munding Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya kemudian dengan sebat menderu ke kepalanya. Munding Wirya sengaja mengeluarkan jurus serangan yang amat hebatnya bernama 'Naga Sakti Menggulung Bumi Mematuk Bulan'.
Camperenik berseru tertahan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun menangkis! Sekejap lagi tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat otak Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung. Selarik angin panas menyambar dari samping, satu pukulan kemudian melanda lengannya, hampir saja membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajar. Kau mau main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning menyeringai buruk. "Tidak seorang manusia pun tega melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya pula seraya mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan kepada kedua lawannya.
Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah. Seperti telah diketahui, bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi Munding Wirya untuk mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek muka hitam dibantu pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang kepandaiannya tiga tingkat lebih tinggi dari Camperenik!
Sementara itu gadis cilik delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun dan dengan terkejut serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut pondok. Jurus demi jurus pertempuran semakin hebat. Mereka yang berkelahi hanya merupakan bayang bayang saja kini. Taburan serangan yang dilancarkan Munding Wirya laksana curahan hujan datangnya. Namun cuma sampai lima jurus orang tua itu sanggup menunjukkan kehebatannya.
Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat tekanan-tekanan untuk kemudian dia musti bertahan mati-matian. Dalam satu gebrakan hebat dijurus ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan tongkatnya kena dirampas oleh Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman tongkat ular Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati, bangsat tua ini hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar Soka berteriak memberi ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan tangan kanannya yang saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma saja. Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun terlambat. Sebagian sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas pinggang Camperenik. Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat bersama-sama dengan dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar di tanah, berkutik melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi.
Di saat yang sama terdengar pula pekik Munding Wirya. Meskipun Munding Wirya berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun dia sama sekali tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka yang membabat dari samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas pergelangan remuk hancur. Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua ini melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Munding Wirya menyadari sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat itu, adalah mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka. Karenanya cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok dan berteriak.
"Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!"
Gadis cilik berumur delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si anak segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha dang di pintu menutup jalan. Dengan penasaran Munding Wirya menerjang dan melancarkan satu tendangan ke bawah perut Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan satu gerakan cepat yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada Munding Wirya.
Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang di lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia bisa mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah darah dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan sakit bukan main. Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati Munding Wirya. "Bangsat tua bangka! Hari ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu Kuning menggerakkan kaki kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan laki-laki ini sampai dikepala Munding Wirya, dari arah pintu menderu lima buah benda berwarna putih perak menyilaukan. Hantu kuning terpaksa membatalkan tendangannya kecuali kalau dia inginkan kakinya dilabrak senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia menancap di dinding pondok. Benda-benda ini berbentuk bintang yang bertuliskan angka-angka 212 di tengah-tengahnya!
Begitu terkejut melihat barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka memutar tubuh ke pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi rasa heran. Sekitar dua puluh tahun yang silam angka 212 itu telah menggetarkan dunia persilatan. Setiap muncul angka 212 berarti munculnya seorang nenek-nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini yang dilihat Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-putih dan berambut gondrong, Pemuda ini menyengir seenaknya kepadanya!
"Busyet kau budak. Lekas terangkan siapa kau!"
Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan ibu jarinya ke belakang. "Lekas keluar dari sini!"
"Hah?!" Damar Soka beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini keluar dari sini?!"
Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya tawanya itu. Dia memandang lekat-lekat ke wajah pemuda di hadapannya dan berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut pautmu dengan Sinto Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar, bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si pemuda.
Marahlah Damar Soka. Kedua tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut diayunkan, dua larik sinar kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu siulan. Si rambut gondrong lenyap dari pemandangan. Dikejap yang sama serangkum sinar putih berkiblat dari samping, menyapu ke arah tubuh Damar Soka.
"Pukulan sinar matahari!" seru Damar Soka kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke lantai pondok.
Terdengar suara hiruk pikuk yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan hancur berkeping-keping dan hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya manusia yang memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si pemuda telah melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si Sinto Gendeng! Dengan bola mata berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua tangannya yang berwarna kuning saling digosok-gosokkan sedang mulutnya berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu selama bertahun-tahun telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat golonganku. Jika aku dan kawan-kawan masa itu tak dapat menghancurkan batok kepala Sinto Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke liang kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan. Munding Wirya yang sejak tadi menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu dalam keadaan megap-megap hampir kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berseru memberi peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa. "Terima kasih atas peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu kehebatan pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya yang bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata pada gadis cilik di sudut ruangan.
"Anak, kau lekas tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas... "
Mawar si gadis cilik delapan tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu Damar Soka mengembangkan kedua tangannya ke samping laksana burung besar hendak terbang. Kedua tangan itu memancarkan sinar kuning yang menyilaukan dan menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan dahsyat laksana seratus serigala melolong di malam butal Dan serentak dengan itu kedua tangannya didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu. Dua larik gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke arah Pendekar 212. Di lain pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan serangan segera pula memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan melancarkan ilmu pukulan 'Dewa Topan Menggusur Gunung' yang dipelajarinya dari Tua Gila sedang tangan kiri melancarkan pukulan 'Sinar Matahari' yang diwarisinya dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat. Pondok di mana pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur berantakan laksana diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya yang terhampar di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh tak bernafas dari Camperenik. Di dalam kepekatan malam di atas reruntuhan pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali saling berhadapan.
Pendekar 212 saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-denyut, aliran darahnya tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu Kuning mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri dengan betul. Lututnya bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin.
"Tak mungkin aku sanggup menghadapi budak ini lebih lama... Dia kelihatan masih segar bugar." kata Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini melompat ke samping dan menyambar tubuh Camperenik terus hendak melarikan diri! Wiro bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke muka. Damar Soka kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda telah menghadang larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam begitu rupa adalah berbahaya untuk melancarkan serangan yang mengandalkan tenaga dalam namun di landa hawa amarah yang amat sangat maka Damar Soka memukulkan tangan kanannya.
Selarik angin hitam berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di kegelapan malam dia melompat setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia melepaskan pukulan 'Sinar Matahari' yang terkenal ampuh itu. Sehabis melancarkan serangan tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang. Nafasnya menyesak dan lidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik kemudian buku-buku darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar Soka tersungkur.
Tangan kirinya masih merangkul pinggang Camperenik. Sebelum tubuh Damar Soka mencium tanah, pada saat itulah pukulan 'Sinar Matahari" yang dilepaskan Wiro Sableng datang menyapu! Damar Soka terbanting ke tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah sedalam beberapa senti. Tubuhnya dan juga tubuh Camperenik hangus hitam. Nyawanya lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang berkeliling. Dilihatnya Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok, di sampingnya bersimpuh gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua. Dalam keadaan megap-megap begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat sekali... Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku... puas. Sebelum menutup mata aku... masih sem... sempat menyaksikan kematian dua man... manusia cabul itu..."
Wiro Sableng meraba dada Munding Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya pakaian si orang tua kelihatanlah kulit dadanya kuning pekat sedang tulang dada melesak ke dalam. Beberapa iga jelas kelihatan patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada Munding Wirya.
"Tak usah Wiro... jangan" kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di bibir. "Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini..."
"Telanlah obat ini", kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua itu menggeleng. Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur. "Kehendak Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu permintaanku padamu, bawalah Mawar pada Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya jadi murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa yang melanjutkan. Aku... Wiro kurasa... kurasa..." Ucapan Munding Wirya cuma sampai di situ. Nafasnya meninggalkan jazad.
Orang tua ini menghembuskan nafas penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis kecil di sampingnya menangis terisak-isak. Pendekar 212 Wiro Sableng menghela nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia melihat manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam cara mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut akan mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
"Dulu hidup ini sunyi dan sepi, Kini indah berseri. Dulu hidup ini penuh duka derita, Kini semarak bercahaya. Betapa tak akan indah, Betapa tak akan berseri. Apa yang dicita muncul di mata, Telah datang seorang calon istri. Dulu hidup ini..."
Ranata mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat. Sepasang telinganya telah menangkap suara orang berlari dikejauhan. Semak-semak di depannya tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi, rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!" Ranata berseru.
"Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu Wiro bersama Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku segala?!"
Wiro menahan kegusarannya. Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk mendadak terdengar seruan perempuan.
"Mawar! Adikku... !"
Seorang gadis yang bukan lain adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar dari dukungan Wiro, memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata berdiri bingung.
"Amboi... amboi! Mengapa calon istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi? Adikmu...? Ah... wajahnya... wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku... ipar... ya ipar ku kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar, masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari dalam gubuk.
"Amboi! Semua masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat masuk, menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua orang duduk dan memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai menuturkan malapetaka apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah, orang tua..." kata Wiro menutup keterangannya. "Sebelum menutup mata Munding Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik Ratih ke sini, meminta agar kau mengambilnya menjadi murid karena dialah kelak yang bakal menuntut balas terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban. "Apa yang dipesankan Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu menyuruh Ranata untuk mengobrak-abrik bangsat-bangsat di hutan Bludak itu."
Sunyi beberapa ketika. Tiba-tiba Ranata mendongak ke atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa di luar?!"
Dan Pendekar 212 dalam kejap itu telah melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya sesosok bayangan hitam tinggi langsing di atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar namun orang itu lenyap dari pemandangan. Betapapun dia menyelidik dengan teliti di sekitar tempat itu tetap tak berhasil mencari jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam tadi!
Dengan menduga-duga siapa adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam gubuk. Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas putih, bersama Ranata dia membaca serentetan tulisan yang ada di atas kertas itu. Ketika Wiro menghambur keluar gubuk tadi, dari atas atap rumbia melesat segulung kertas yang saat itu tengah dipegang oleh Citrakarsa.
Kertas apakah yang di tangan orang tua itu, demikian Wiro berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya semula. Citrakarsa mengangkat kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari berputar-putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku akan sembuh dan... amboi! Ratih... Ratih! Dengarlah! Aku akan sembuh dan nanti suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting, bukan orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan Citrakarsa berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata orang tua ini. Wiro menerima kertas yang diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang tertera di atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat yang ditujukan kepadanya dan berbunyi,
Wiro muridku, Percuma kau menguasai 1001 macam ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk mengobati Ranata. Sinto Gendeng.
Wiro Sableng tertegun melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat seperti itu. Pantas saja dia tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang berkelebat di atas atap gubuk karena ternyata orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi sedikit keterangan akan bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa sementara saat itu Ranata masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pernah membaca dan mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu pengobatan beberapa waktu yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan..."
"Kiai Bangkalan!" kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia persilatan memang dialah satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay" Dan harapan besar jelas terbayang di wajah si orang tua. "Jika betul kau sudah mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata akan bisa disembuhkan!"
Wiro mengangguk pelahan. "Menurut keterangan yang kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu meninggal, anakmu telah delapan tahun menderita sakit. Ini berarti membutuhkan waktu yang cukup lama pula untuk menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya setengah dari masa sakitnya"
"Aku tak perduli berapa tahun pun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku sembuh! Sembuh dan... kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali Ranata.
Wiro menarik nafas dalam, lalu pejamkan mata dan menepekur. Hampir sepeminuman teh baru dia mengangkat kepalanya kembali dan memandang pada Citrakarsa lalu berkata,
"Pertama sekali harus disediakan satu guci anggur merah. Lalu disiapkan tujuh puluh lembar daun sirih, tujuh puluh serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih. Semuanya dimasukkan ke dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus diminum oleh anakmu sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa mengangguk-anggukkan kepala. "Daun sirih dan akar cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah binatang-binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada katak putih!" kata Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis Kiai Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh tempat dimana terdapat katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau Jawa ini. Di dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk menangkap binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam hari sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya semua itu akan kulaksanakan." kata Citrakarsa pula.
Lalu orang tua ini berulang kali mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan dan petunjuk Wiro. Tak lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara Ranata saat itu kembali menari-nari kegirangan.
Sewindu telah berlalu. Banyak hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat silih berganti dalam dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi hari yang cerah, di depan sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang jarang di datangi manusia kelihatanlah seorang kakek-kakek berambut putih tengah menempur seorang gadis jelita berbaju merah.
Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan kanannya berkelebat kian ke mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke jalan darah di tubuh lawannya.
Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula gerakannya. Tubuhnya laksana bayang-bayang. Dia juga memegang sebuah ranting kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis serangan si kakek bahkan kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih ilmu silat. Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri Ratih mendukung seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Di sampingnya tegak Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang silam.
Dan sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih dengan kerelaan dan kasih sayang yang dimilikinya telah bersedia diambil istri oleh pemuda tersebut. Dua tahun berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mungil dan lucu. Betapapun Citrakarsa mengeluarkan segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya untuk dapat mengalahkan Mawar.
Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting kayu di tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung ranting kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan main. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama untuk menggembleng Mawar menjadi seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan kalau dibandingkan dengan Ranata, ilmu yang dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah! Sudah... sudah!" Citrakarsa berseru seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Hatiku puas, puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa tertawa. "Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Cobalah kau hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal dikalahkannya di bawah sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya ranting kayu yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia menghadapi adik iparnya. Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah baku hantam tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul pundak Ranata.
"Aku kalah!" seru Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak sengaja mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas terhadap manusia-manusia jahat yang telah membunuh orang tua dan kakakmu," berkata Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri dari tiga manusia biadab yang memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak. Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung. Ketiganya bertanggung jawab atas kematian ayah bundamu. Bertanggung jawab atas semua nyawa penduduk kampung kelahiranmu. Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta semua yang ada di sini, dalam pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang telah menemui kematian di tangan tiga bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan agar kau dapat membalaskan segala sakit hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau akan berhasil melaksanakannya. Kau boleh pergi setiap saat bersama doa restu ku!"
"Jika diizinkan, murid ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata, "Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak boleh pergi seorang diri?"
"Bukan tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti dunia kita di dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam bahaya, penuh dengan seribu satu macam tipu daya serta seribu satu macam manusia berhati culas. Dengan pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis tentu banyak manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu di tengah jalan hingga kau akan mendapat banyak kesukaran sebelum berhasil melaksanakan pembalasan terhadap musuh besarmu. Karena itu pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk bersalin pakaian.
Hutan Bludak. Disarangnya Bayunata saat itu tengah diadakan pesta besar. Mereka baru saja berhasil menyikat serombongan pedagang yang tengah menuju Kotaraja. Delapan orang pedagang berikut selusin pengawal dibunuh, seluruh barang dagangan dirampok. Singkat cerita, dalam suasana pesta pora itulah Mawar dan Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar mengangguk. Keduanya mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian di salah satu pondok rampok yang terletak agak terpisah dari lain-lainnya kelihatanlah api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah Bayunata yang ada di situ dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak. Tiga orang perempuan dalam keadaan setengah telanjang ikut berlarian menyelamatkan diri.
Beberapa kawan merekan segera datang memberi pertolongan. Untuk memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada itu sebuah pondok lagi di ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-rampok yang ada di dalamnya yang tengah pesta minuman dan pesta perempuan berlarian keluar. Pondok ketiga, keempat dan kelima kemudian menyusul di kobari api.
Suasana di sarang gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini, lebih sewaktu api mulai pula menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung dari tali yang menghubungkan satu pondok dengan pondok lainnya. Dari dalam sebuah pondok Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan celana dalam.
Di tangan kanannya ada sebuah buli-buli anggur sedang tangan kirinya menggelung pinggang seorang perempuan muda yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Matanya sembab karena menangis. Perempuan ini diculik oleh gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di sebuah desa.
"Lima pondok di makan api dalam waktu yang hampir bersamaan..." desis Bayunata. "Pasti ini disengaja. Pasti ada yang berbuat...!"
Pemimpin rampok hutan Bludak ini mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat kemudian muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang ini pun hanya mengenakan celana dalam karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke dalam pondok dan merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan di sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu buli-buli itu diletakkannya di lantai.
"Persetan dengan keributan di luar sana. Persetan...!" kata pemimpin rampok ini.
Tangan kanannya bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya. Ciumannya bertubi-tubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian tenggelam dalam gelimang kekotoran. Beberapa buah pondok lagi sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak yang turun ke tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk menyelamatkan diri.
Namun tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita berpakaian merah menyambut ke datangan mereka dan menghadiahkan hadiahkan tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut. Hampir selusin anak buah Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur kepalanya, ringsek dadanya atau bobol perutnya. Seorang anggota rampok lagi kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat.
Sesampainya di bawah dia terkejut melihat apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Dan lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu adalah seorang gadis cantik berpakaian merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang datang menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan kau akan selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar mendengus. "Kau inginkan diriku? Ini terima dulu hadiahku!" kertak si gadis.
Secepat kilat tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya sebelumnya. Dia sempat mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah berada di tangan!
"Aku akan tebas batang lehermu kalau tidak mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau tidak kau akan menyesal sampai di liang kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus dan sekali lagi pula dia menerjang. Golok di tangan lawan berkelebat. Terdengar satu keluhan. Golok itu terlepas dari tangan anak buah Bayunata, dirampas oleh Mawar dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu tabasan telah memutus batang lehernya!
"Bangsat betina kurang ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar berpaling. Lima orang anggota rampok ternyata telah mengurungnya. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya melancarkan satu serangan golok. Mawar miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat di sampingnya, kaki kanannya menderu dan si penyerang mencelat sejauh dua tombak, jatuh tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol dihantam tendangan!
Empat kawan mereka melengak kaget. Tanpa banyak cerita lagi mereka segera menyerbu. Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak dibunuh, hanya dilukai salah satu bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana! Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar Merah datang untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di sini!"
Dengan ketakutan rampok itu menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan. Di salah satu cabang jembatan dia berpapasan dengan Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang ajar! Siapa gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia berpaling pada Sawer Tunjung dan berkata, "Lekas beri tahu Bayunata. Aku akan menghajar iblis betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan laporan segera menuju ke tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu dia manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon. Singgil Murka beliakkan matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya iblis betina itu nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan cengar-cengir Singgil Murka melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di hadapan Mawar Merah dan geleng-gelengkan kepala.
"Apakah kau bangsatnya yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya menyorot meneliti laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya itu.
"Ha-ha-ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi pimpinan rampok-rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada apakah kau mencari Bayunata? Dan kenapa pula kau menabur maut begini rupa?!"
"Hem... jadi kau bergundalnya yang bernama Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru, membunuh semua orang yang ada di sana, termasuk ayah dan kakak laki-laki ku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban kalian! Hari ini aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa gelak-gelak. "Gadis, kau yang begini cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku tidak ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali Bayunata melihatmu pasti kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku akan sembunyikan kau disatu tempat yang aman, mengambil seluruh harta kekayaan yang aku miliki lalu meninggalkan hutan Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak dengan kehidupan begini macam!"
Mawar Merah sunggingkan seringai tajam. "Maksudmu memang cukup bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini, melainkan neraka!"
Habis berkata begitu Mawar Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap kemudian bertaburlah selarik sinar merah! Singgil Murka kaget bukan main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka bertempur hanya setengah hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang lawan, manusia ini tak mau main-main lagi.
Dia merangsak ke depan berusaha memukul lepas pedang si gadis! Tapi sebaliknya si gadis berkelit gesit dan melancarkan serangan-serangan yang amat aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga terdengar seruan laki-laki ini sewaktu golok di tangan kanannya dihantam pedang lawan hingga mental!"
"Celaka!" keluh Singgil Murka.
Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa pikir panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu. Namun dia cuma sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena laksana terbang, Mawar Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang merahnya berkelebat, dan...
"Crasss...!" Menggelindinglah kepala Singgil Murka!
Satu dari tiga musuh besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua lainnya?! Mawar Merah memandang berkeliling. Setitik air mata mengambang di sudut-sudut matanya yang bening. Dia tak melihat anggota rampok yang tadi datang bersama Singgil Murka, mungkin sudah kabur. Tiba-tiba pada salah satu jalur jembatan tali dilihatnya dua orang laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan celana dalam berlari cepat kejurusannya.
Sawer Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan yang tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer Tunjung!"
"Tunggu sebentar!" jawab Bayunata.
Di luar pondok Sawer Tunjung tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu rupa Bayunata masih menghabiskan waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di atas tempat tidur Bayunata merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari mulutnya keluar suara erangan geram dan dari hidungnya menghembus nafas membara. Di gigitnya leher perempuan di bawahnya hingga perempuan itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya yang mandi keringat kemudian terbadai di pembaringan.
"Bayunata! Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin rampok itu berdiri terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli, dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok lalu dikenakannya celananya. Golok besar yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu dia keluar.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan pondok musnah dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya telah melakukan hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di jurusan barat ada satu gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak buah kita menemui kematian di tangannya. Kepada anak buah yang masih hidup dia menyuruh menyampaikan pada kita bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah yang melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya berlari-sepanjang jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung bukan isapan jempol. Dua puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah jadi mayat, mati di gantung dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di atas jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di belakangnya terdengar suara robohnya sebuah pondok yang musnah di makan api. Tak berapa jauh dari situ segerombolan perempuan-perempuan dalam tubuh yang hampir tak tertutup pakaian berlarian berebutan menuruni tangga tali.
Dalam waktu yang singkat Bayunata dan Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar Merah berada. Saking geramnya pemimpin rampok ini turun ke tanah tanpa melalui tangga tali melainkan langsung melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang tanpa menimbulkan suara itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Amarah yang meluapi sekujur tubuh Bayunata serta merta jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita yang mengaku bernama Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat perempuan yang secantik ini!
"Sawer, inikah manusianya yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya Singgil Murka.
Namun yang dilihatnya adalah seorang laki-laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini adalah kawan dara berbaju merah yang telah menggantungi anggota-anggota rampok di sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada Bayunata. Kening laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya tertera angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212 Wiro Sableng, kata Mawar dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari kakaknya bahwa sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus, kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar. Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata, "Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa lebar-lebar. "Bayu, biar aku yang beri pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju merah ini. Aku sendiri akan main-main sejurus dua dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum nyawamu minggat ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu, Bayunata keparat!" kata Mawar Merah.
Dan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikannya di belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala melesat ke arah pemimpin rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak. Benda itu jatuh dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata, demikian juga Sawer Tunjung. Benda yang dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah kepala Singgil Murka!
"Betina keparat haram jadah!" bentak Bayunata marah sengaja mencabut golok besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu, "lekas serahkan diri atau kucincang detik ini juga seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah Merah menyeringai. "Justru hari ini aku harus serahkan jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak dan seluruh penduduk kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab delapan tahun yang lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan pertama.
Melihat ini nafsu untuk memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya ditebaskan ke depan untuk menangkis senjata lawan. Namun dibikin terkejut karena sesaat senjata mereka saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis menyusup turun dan dalam gerakan yang aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata mulai keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis aneh dan tidak dimengertinya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh pemimpin rampok ini senantiasa menghantam tempat kosong. Sebaliknya dengan mati-matian dia harus mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang laksana curahan hujan.
"Setan, ilmu silat apakah yang dimainkan betina jalang ini?!" gertak Bayunata dalam hati.
Cepat dirobahnya permainan goloknya. Jurus-jurus terhebat yang selama ini disimpannya sebagai andalan saat itu segera dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru menebar serangan ganas luar biasa. Lima jurus lamanya Mawar Merah harus bertindak hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat liku-liku kelemahan ilmu golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan semuda ini memiliki ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?! Tiba-tiba Bayunata berseru keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali. Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin yang luar biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan pedangnya ke depan. Dengan serta merta serangan golok serta pukulan sakti yang dilepaskan Bayunata musnah.
"Kalau begini naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar Merah.
"Kau tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata.
Di antara tiga pimpinan rampok hutan Bludak, Sawer Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah bertempur tiga jurus, Ranata berhasil merampas pedang laki-laki itu dan menotok urat besar di pangkal lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar Merah semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan gerakannyalah yang masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai jurus ke empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan terlepas mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang keras!
Bayunata melompat mundur. Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di keningnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar Merah. "Gadis, ampunilah selembar jiwaku yang tak berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta kekayaan yang aku miliki kupasrahkan padamu! Ampuni jiwaku...!"
"Kau minta ampunan, Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di neraka!" Pedang merah di tangan Mawar Merah memapas turun.
"Crassss...!"
Bayunata menjerit. Tangan kanannya putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini karena dilanda sakit yang amat sangat menjadi kalap. Dia melompat ke muka mengambil patahan goloknya lalu menyerang Mawar Merah dengan membabi buta.
Pedang di tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua kalinya pemimpin rampok itu menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku, ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang merah itu diayunkan lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan Bayu-nata. Tubuhnya yang terkutung-kutung itu berkolojotan kian kemari. Darah membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah membacokkan senjatanya ke kening Bayunata hingga kepala manusia bejat ini hampir terbelah dua! Sawer Tunjung tak berani menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri untuk disaksikan.
"Lepaskan totokannya kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu totokannya dilepaskan begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya tidak berbeda dengan nasib yang dialami Bayunata. Tubuhnya menemui kematian dalam keadaan terkutung-kutung! Tiba-tiba Mawar Merah membuang pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak... Hari ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga kalian bisa tenteram di alam baka...!"
"Sudahlah Mawar," kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus kembali."
Perlahan-lahan Mawar Merah berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya. Keduanya bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari depan berkelebatan seorang berpakaian putih. Rambut dan wajahnya tertutup kerudung hitam. Hanya sepasang matanya yang kelihatan, memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat! Kalian berdua harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang telah dibunuh! Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sretttt...!"
Mawar Merah mencabut pedangnya. "Jika begitu kau harus mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus pedangnya.
"Aku tahu kaulah yang membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku mempunyai pantangan untuk bertempur dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu pada kau punya kawan!"
"Persetan dengan pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis itu. "Kali ini biar aku yang turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk selama-lamanya jika tak berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian macam mana kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya manusia bercadar hitam. Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju duluan!" tantang si cadar hitam.
Ranata membuka serangan. Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus delapanpuluh derajat dari ilmu silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada lawan, si cadar hitam berkelebat, membuat gerakan yang sama dengan gerakan Ranata dan tahu-tahu tinju kanannya hampir saja mendarat di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget. Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis gerakan ilmu silat yang diajarkan kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran Ranata membuka jurus kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat kuda-kuda aneh.
Ranata terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan ilmu silat yang dimilikinya. Dia tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar hitam membuat gerakan aneh lagi, cepat dan tak terduga.
"Bukkkk...!"
Ranata terhuyung-huyung. Bahu kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit sama sekali. Ini membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa dia cuma melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa gelak-gelak. Sementara itu Mawar Merah menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya. Cepat dia maju hendak menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan tangan menarik cadar yang menutupi wajahnya.
"Wiro!" seru Ranata dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak tertutup itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan aku berhasil! Apa yang kulakukan barusan hanyalah sekedar membalas penghormatanmu itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu berkelebat lenyap meninggalkan kedua orang tersebut.
Ranata geleng-gelengkan kepala, berpaling pada Mawar Merah. Lalu keduanya pun meninggalkan tempat itu. Kelak bersama Ratih dan anak serta ayahnya, Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana dia dan ayahnya dulu berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
SATU
ANAK perempuan berumur delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya menyanyi. Di tangan kanannya tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga yang baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu matahari pagi telah naik tinggi. Si anak mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau orang tuanya mengetahui bahwa dia telah pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut seperti kemarin.
Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan menuju keperkampungan, anak perempuan ini dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung di balik sebatang pohon. Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat.
Si anak tak tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat banyak dan semua berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis melintang serta cambang bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis. Dan masing-masing membawa sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan penunggang kuda itu telah berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan menutupi pemandangan.
Setelah debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik pohon dan berlari sepanjang jalan menuju ke kampungnya. Kampung itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri sungai kecil berair jernih. Sekeliling perkampungan terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi tengah menguning hingga kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi... Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya terdengar suara hiruk pikuk.
Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan kuda, suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan anak-anak, lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara ringkik kuda yang membuat kecutnya hati anak perempuan itu. Ada apakah di kampung? Begitu si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya terhenti-henti. Satu perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi ke kampung, jangan pulang.
Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak meskipun dalam langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan segala barang-barang rongsokan. Justru di sini anak tersebut menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya yang tadi kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena ketakutan.
Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah.
Namun pada saat itu muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar bertampang ganas. Salah seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah perkelahian dua lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan ayahnya.
Senjata di tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di perut serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu membakar rumah orang tuanya.
Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah ibu dan kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk. Si anak hendak berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia segera ikut menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda, Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu.
Gadis itu menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun tubuhnya sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata adalah laki-laki ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung ini menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling, seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata! Sudah lebih dari selusin perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!" gertak laki-laki yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot garang.
Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung! Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak.
Kawannya yang bernama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah. "Kalau tidak dia biar yang ini saja untuk ku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk pada perempuan berumur sekitar tiga puluh lima tahun yang tengah didekap oleh kawannya yang bernama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!" kata Bayunata.
Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan kampung telah diambilnya. Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah tertawa.
"Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan. Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!" Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam dekapannya yang saat itu masih menjerit dan meronta. "Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup senang! Mari..!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata.
Tapi si gadis terus meronta dan memaki. "Kau ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya?! Baik!"
Tangan kanan Bayunata bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu. Dilumatnya dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar ucapan,
"Dada bagus... dada bagus... uh... uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal...!"
Bayunata tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda. Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu... kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena satu telapak tangan berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh! Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-setan yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma punya satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan lobang hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya sedang hidungnya melesak penyet!
"Jangan takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang menekap mulut si gadis cilik. "Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang sepertimu ini yang kucari-cari!"
"Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana, anak?!"
"Ibu... ibu... aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah... akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!" Manusia bermuka hitam seram yang ternyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa mengekeh. "Sekecil ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku harus bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya. "Bangsat! Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
DUA
Di hadapan si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang kakek-kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai, melambai-lambai ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku! Lekas menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan kanannya ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan, namun hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si nenek yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung lalu menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak! Sekaligus si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik. Sesudah dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu jurus pun aku bersedia mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak. "Kau mengancam aku, Munding?"
"Ya?!"
"Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut pautmu?!" tukas si nenek.
"Sudahlah. Kataku serahkan anak itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan ketus.
Munding Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala. "Otak tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-hatilah kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah seorang dari kita. Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia yakin si anak pasti tidak akan memilihnya. "Dalam urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!"
Munding Wirya mengusut lagi janggutnya. "Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau apa?!" tantang Camperenik.
"Kau akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah kedua kaki Camperenik.
Si nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak. Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti menyerang dengan satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan.
Namun lagi-lagi dia harus membatalkan serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu memapaki tangannya! Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah siasat. Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima langkah.
Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh lawan!
Pertempuran antara si kakek dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya sama-sama hebat, lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia masih terus mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar.
Dalam penasarannya dia berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang demikian asing dan hebat? Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan serangan Munding Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik pinggang. Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan menjadi tongkat dan bisa menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah keras kaku itu bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan Camperenik, karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan pernafasannya. Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata ularnya, Camperenik tiba-tiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun kuning dari mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku tongkat yang amat seru. Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat simpanan. Serangan di balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!" Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang keneraka pun aku tetap bilang tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Tranggg...!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah peraduan yang keenam puluh dua kalinya! Masing-masing pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di muka Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah. "Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat. Paras Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan. Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana, Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan mati konyol dilabrak pukulan 'Buana Biru' ini?!"
Mulut Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!" Habis berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di depan tubuhnya!
Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak mungkin baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik bakal menemui kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding Wirya geram.
"Ayo Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah geram. "Kalau kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak kaget. Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh berpakaian putih sementara itu dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari samping satu sinar biru menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding Wirya ternyata telah melepaskan pukulan 'Buana Biru' begitu si nenek bersikap lengah. Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang. Nyawanya selamat tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat nenek-nenek ini roboh dan terguling pingsan!
Munding Wirya tak menunggu lebih lama, segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan tadi dari tangan Camperenik! Di tepi lembah Munding Wirya masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak sampai tiga puluh langkah.
Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan anak yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling ke belakang seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat sudah berapa lama dia mengejar orang itu sementara matahari sudah condong ke barat dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu dia masih belum mampu mengejar orang yang melarikan anak perempuan itu.
Si penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari pemandangan kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang tua. Siapakah gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?! Tepat pada saat matahari tenggelam di ufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding Wirya lenyap dari pemandangan! Kakek-kakek itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar edan...!" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum jodohku anak itu. Tapi betul-betul aneh dan hebat. Siapakah orang yang telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat tersebut. Namun satu langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian putih tengah memangku anak perempuan yang hendak diambilnya jadi murid! Dengan serta merta Munding Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di lain kejap dia sudah berada di atas cabang pohon besar di mana orang yang melarikan anak perempuan itu duduk.
Terkejutlah Munding Wirya ketika dia melihat bahwa orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut putih jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas... pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!"
Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam. Perempuan tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu telah tertidur nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya. "Kalau aku boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan puncak gunung Gede? Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari dunia yang penuh kotor ini."
"Betul... itu betul sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya perempuan tua itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya sebagai murid pula, tetapi si kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia kawatir perempuan tua itu akan tersinggung. Siapakah sebenarnya perempuan tua itu?
Dia bukan lain Eyang Sinto Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang pernah merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun! Sambil mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan hitam. Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata, "Jika kau ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede."
Sinto Gendeng tertawa, "Aku memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya satu murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan menggemblengnya menjadi gadis pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit hati atas apa yang telah menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?"
Sinto Gendeng mengangguk perlahan. "Kekotoran-kekotoran macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal menuntut balas!"
Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali lagi lalu menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-tahu telah berkelebat lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik nafas panjang.
"Tak dapat ku ukur betapa tingginya ilmu kepandaian manusia itu!"
Setelah memandang berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang pohon dan lenyap dalam kegelapan malam.
********************
TIGA
Hutan Bludak merupakan hutan yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat. Penduduk yang diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut menganggapnya sebuah hutan angker yang jarang di datangi manusia. Menurut penduduk disitu, selain penuh dengan bindtang buas juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus. Di samping itu hutan Bludak juga merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang angker lebat itulah gerombolan rampok Bayunata mendirikan markas mereka. Rumah-rumah mereka atau lebih tepat dikatakan pondok-pondok didirikan di atas pohonpohon raksasa dalam hutan yang keseluruhannya berjumlah hampir dua puluh buah. Bayunata sengaja mendirikan pondok di atas-atas pepohonan agar jangan diganggu oleh binatang-binatang buas.
Disamping itu juga untuk menjaya jika sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran. Selama bertualang malang melintang memimpin gerombolan rampok bersama Singgil Murka dan Sawer Tunjung, telah dua kali Bayunata diserang oleh orang-orang kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan yang terakhir dari Banten. Meski anak buahnya banyak yang jatuh menjadi korban, namun Bayunata dan kawan-kawannya berhasil menghalau prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di dalam sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu sedan tangis dua orang perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan kakak perempuan anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam pondok itu juga terdapat lima orang perempuan yang rata-rata berparas cantik. Namun dibalik paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap dengki dan bengis.
Salah seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan membentak, "Kalian ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus berterima kasih tidak dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air matanya dan memandang tepat-tepat pada perempuan yang membentak itu, lalu berkata dengan suara pelahan tapi menusuk tajam. "Aku dan anakku menangis karena kami bukanlah manusia-manusia macam kau dan lain-lainnya! Kalian bersyukur jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu urusan kalian. Jangan coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-ho! Kau ibu dan anak mau mengandalkan apakah hendak menolak kehendak Bayunata? Lebih baik menurut saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma tertawa sinis. Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih. "Perempuan macammu ini biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada jadi peliharaan seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau memang mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya membentak. "Perempuan bangsat! Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan itu menjerit. Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya berdiri Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata membeliak. "Warinah! Sudah sejak lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah bahkan main gila dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat kertas. "'Bawa sini botol itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan Warinah dan membuka tutupnya. "Sekarang kau sendiri yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun... ampun Bayunata. Aku, aku tidak bermaksud..."
"Minum cepat!" teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya kawan-kawan Warinah berdiri di satu sudut dengan ketakutan. Warinah mundur beberapa langkah.
"Minum kataku!" teriak Bayunata lagi lalu melompat dan, menjambak rambut Warinah. Racun dalam botol dituangkannya ke mulut Warinah tetapi perempuan itu lebih cepat menutup bibirnya rapat-rapat!
"Oo... kau tak mau mampus cara begini hah?! Baik! Aku memang sudah bosan padamu, sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang Warinah lalu melemparkan tubuh perempuan itu keluar pintu pondok! Pondok itu terletak di atas pohon raksasa yang hampir dua puluh tombak tingginya. Di luar terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya telah menemui kematian di bawah sana! Di dalam pondok Bayunata memandang pada empat perempuan kawan Warinah lalu membentak mereka agar meninggalkan pondok itu!
Keempatnya berebutan cepat keluar dan lari sepanjang jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang menyambungkan pondok itu dengan pondok lainnya. Kepala rampok Bayunata memutar tubuh dan memandang ganti berganti pada Galuh Asih dan Ratih.
"Walau bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling tolol!"
"Kami memang tak ingin bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!" menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau telah memiliki perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu belum cukup? Masih kurang? Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang menyebut Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu?! Memang aku punya lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua! Kau musti tahu setiap perempuan berbeda! Punya keistimewaan sendiri-sendiri!"
Dan habis berkata begitu Bayunata tertawa gelak-gelak. Dia melangkah ke pintu dan berteriak. Seorang anak buahnya datang dengan cepat. "Bawa gadis itu ke pondokku! Usir perempuan-perempuan yang ada di sana dan jaga dia baik-baik! Awas kalau kau berani berbuat kurang ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika hendak dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang. "Lepaskah dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu kemudian sekaligus dirangkulnya.
Galuh Asih memekik dan menangis keras sewaktu anak gadisnya lenyap diluar pintu. Bayunata menutup pintu pondok dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda. Bila perempuan itu tampak agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan keselamatan diri anakmu..."
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh, begitu? Apakah kau mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur tubuhmu sekaligus?!"
"Bangsat! Demi Tuhan matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan mudah kepala rampok hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih dan dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam dalam rangkulannya. Ciumannya bertubi-tubi. Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja malah lambat laun tenaganya semakin mengendur dan dia tak berdaya apa-apa sewaktu Bayunata membaringkannya di atas kasur jerami kering.
Kekuatan perempuan ini timbul kembali sewaktu Bayunata mulai menanggalkan pakaiannya dengan kasar. Keduanya bergumul berguling-guling dan pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata, tak bisa menolak sewaktu Bayunata meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras ketika dirasakannya bulu-bulu dada kepala rampok itu menggeremangi buah dadanya. Dia menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan di bawah tindihan tubuh laki-laki terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat. Bayunata dengan tubuh keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu. Dibukanya pintu itu. Untuk beberapa lamanya dia berdiri memandangi kegelapan. Disekanya peluh yang berciciran dikeningnya. Dia berpaling kebelakang. Galuh Asih terbujur diatas kasur jerami dalam keadaan tak berpakaian. Sepasang matanya terpejam. Dada dan perutnya jelas kelihatan turun naik. Betapa bagusnya tubuh telanjang itu dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh anaknya yang masih perawan jauh lebih bagus dari itu, pikir Bayunata.
Kepala rampok hutan Bludak ini memalingkan kepalanya, kembali memandang keluar pondok. Dia kemudian berteriak memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini membesar sewaktu mereka memandang ke dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih yang terbaring telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat pemandangan di dalam sana?!" ujar Bayunata sambil menyeringai dan menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku temahak perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya! Tapi... jangan main serobotan. Dia masih letih...!"
Habis berkata begitu Bayunata tertawa mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu, meniti jembatan tali yang menuju kepondok lainnya. Sawer Tunjung cepat-cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya dipegang oleh Singgil Murka.
"Mau kemana Sawer? Aku tokh lebih tua darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan suara menggerutu. "Lagi-lagi soal umur kau gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu! Sekali-sekali aku tokh boleh saja lebih dulu dari kau?! Aku tak ingin selalu jadi tukang cuci mangkok!"
Singgil Murka menyeringai memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor tak pernah digosok. "Yang sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa melepaskan bahu kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata keras, "Justru karena yang sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara kedua kawanan rampok itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih membuka kedua matanya. Dia sadar apa yang telah terjadi atas dirinya. Mendengar pertengkaran Singgil Murka dan Sawer Tunjung dia sadar pula apa yang bakal menimpa dirinya. Noda kotor baru saja menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran itu akan jatuh. Galuh Asih seolah-olah mendapat kekuatan gaib. Tidak saja perempuan ini bangkit dan berdiri tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia menjerit keras lalu secepat kilat lari ke ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka dan Sawer Tunjung berseru hampir bersamaan. Keduanya melompat ke pintu tapi terlambat.
Tubuh Galuh Asih melayang dalam kegelapan malam. Jeritannya mengumandang mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta merta berhenti sewaktu tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah! Kepalanya rengkah, lehernya patah!
EMPAT
Bayunata tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada saat itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana.
Lamat-lamat terdengar suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok seberang sana Singgil Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke bawah. Bayunata berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang barusan terjadi.
"Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami... kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan lari sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!" bentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang sebelumnya telah dilemparkan oleh Bayunata. Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan meniti jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang mengawal dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata. Kepala rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang tersiram anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa lama sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk pertama kalinya dia tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya Ratih dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur dalam seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!"
Bayunata tertawa perlahan. "Setiap perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh diri!"
Dan Bayunata hendak menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu kemudian dibatalkan. "Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah."
Bayunata berkata bilamana Ratih masih dilihatnya menangis. Sebagai jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kanannya. Dengan tangan kirinya Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di atas sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya dengan ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai tubuhnya tertahan oleh pondok. "Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis...?"
Ratih memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke kepala Bayunata. Melihat sikap Ratih yang keras demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan lembut, kini naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar itu hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak Bayunata beringas. Ratih kaget bukan main.
"A... apa?! Ibuku bunuh diri...?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan ditindihnya sekaligus.
Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata. Kepala rampok itu mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang kepalanya dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama. Mungkin sudah menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa. Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas diwajahnya. Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain ditubuhnya.
Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas dadanya. Ratih menangis keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah merapatkan kedua kakinya sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang! Pintu pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah dibantingkan ke lantai pondok!
LIMA
Bayunata adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya terbanting keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat seraya melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya melihat sosok bayangan putih yang barusan masuk.
Yang diserang nyatanya bukan seorang yang berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat Bayunata berhasil dielakkannya dengan miringkan tubuh ke samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau?!" bentak Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak dikancing hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu, Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan yang dinamakan 'Sepasang Lengan Baja Meminta Jiwa'. Selain cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya. Pemuda ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari lawan dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya.
Namun tak terduga begitu dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba membabat ke kepala dan pinggang. Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai sedang kaki kanan berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan Bayunata. Ini adalah satu gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah gerakan itu adalah gerakan main-main!
Ini membuat Bayunata penasaran setengah mati. Dia bertekad untuk membunuh pemuda tak dikenal itu saat itu juga. Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata yang beratnya hampir dua puluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih yang berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok yang demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin deras, sekali berkiblat senjata ini telah menebar tiga tebasan dan empat tusukan ke arah tujuh bagian tubuh si pemuda! Dalam tempo yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya celaka.
Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata yang tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk menghadapi lawan. Bayunata merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah miliknya sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia harus berhati-hati karena meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu berobah menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda berambut gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-putar, menyusup di bawah golok lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu telah terlibat! Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari tangannya!
Bayunata berteriak marah. Dia menerjang ke muka dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak tangan kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut gondrong pada Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi,
"Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng. "Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!" Si pemuda mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari ikut aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher gadis itu. Dalam keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih baik dia angkat kaki. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di lain detik terdengar kepalanya diadu dengan dinding pintu pondok yang keras. Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat kemudian telah lenyap dari tempat itu.
********************
Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung ke atas, juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit tersebut kemudian dinamakan bukit Gong. Pada tanah yang muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut marilah kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda berambut gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok Bayunata. Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai berair jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya di sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!"
Si pemuda tertawa perlahan. "Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212 berdiri. "Aku akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih.
"Jika kau hendak melarikan diri, silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon pohon bambu. Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek memesannya untuk menyelamatkan dirinya.
Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya si kakek? Dan ke mana dia hendak dibawa? Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke dalam sungai. Dia menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa?
Dengan mengomel dalam hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada menunggu kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa. Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti yang dicurigainya. Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya terseruak. Di lain saat dari seruakan semak belukar itu muncullah seorang pemuda.
Pemuda ini bertampang cakap. Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat. Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!" katanya sambil mengusap-usap mukanya, "Inilah gadis yang kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin! Asyiik...!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak. "Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi! Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi aku bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia, sama dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak sehat, aku gila. Nah, kau mengerti...?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang. "Bagus! Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii...!!"
"Pemuda! Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu! Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura marah.
"Soal muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal lagi. Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu... dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi nama waktu, bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu tak mungkin punya mata. Apalagi kalau matanya buta. Pagi buta... lucu sekali! Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi marah. "Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah maju.
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila...!"
"Orang gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan... "
"Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal kalau..."
"Kalau... kalau... kalau apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda berotak miring itu.
"Plakkk...!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian kerasnya hingga salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat ini Ratih merasa menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan aku akan minta agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi mas kawiiiiinnnn...!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu. "Nah, sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku! Berarti kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku...! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu... kau lucu! Tapi sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!" Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis itu dibahu kirinya.
Ratih hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan halus pada punggungnya membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Si pemuda ternyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang teramat lihay! Karena tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku..."
Ratih menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh kali lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal menimpa dirinya kelak? Diam-diam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan.
ENAM
Ketika Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si pemuda masih terus berlari dengan cepat di sela-sela pohon-pohon yang tumbuh rapat bahkan kadang-kadang dia melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa kali pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda berkata. Ratih membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah! Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang tertutup langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah menimang-nimang seuntai tasbih jadi terkejut. "Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata.
Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di hadapan ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang bukan lain hanya sehelai kain seperei. Dia berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata.
Lalu dia tertawa gelak-gelak dan menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang kau culik ini?!"
"Amboi! Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku! Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak menjawab. "Astaga, aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata.
Lalu dijentikkannya satu jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan yang membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya. "Dia yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti dia angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak? Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi nyatanya laki-laki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini membuat Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang mandi sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada keren. "Tapi ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya terbungkus alas tempat tidur! Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawinkan aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan. "Anak orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinkan mu dengan dia! Otakmu memang miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan! Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara baik-baik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau adanya! Jangan bikin malu orang tua mu yang sudah hampir masuk ke liang kubur ini..."
Butiran-butiran air mata meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca.
"Jika kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau menerima diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu..."
Air mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih. Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya? Ratih memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan air matapun jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat akan kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat ini tak tahu entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala perbuatan anakku..."
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!" desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu..." Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah! Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi... amboi!"
Dengan air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya. "Senjata mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih memandang pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan menundukkan kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya sedikit.
"Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah..."
Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di tempatnya. "Bapak!" Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi entah di mana sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa nasib. Aku hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk sementara di sini guna merawatmu sebisanya..."
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras, berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang baru datang berkata. Semua orang berpaling.
TUJUH
"Wiro!" seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa dia?!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah ku ceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan sama-sama menyadari bahwa orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini...?"
"Aku yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab.
Wiro mengawasi pemuda ini sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. "Kau memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka dan kasihan pada ayahku dan bersedia tinggal di sini. Bukan aneh. Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda sinting itu. "Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata Wiro sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai. Tahu-tahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada apa-apanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata terus-terusan membantah bahwa itu tidak aneh. "Mungkin aneh, mungkin juga tidak, orang muda..."
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di sini. Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri..."
"Dan jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itu. Dia calon istriku! Amboiiii! Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong...?" ujar Ranata pula menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil garuk-garuk kepala dia memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya, dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya..."
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah, nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu.
Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya. "Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu...? Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak pinggang.
Wiro ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau..."
"Bah...?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut? Memangnya mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah...! Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam hati. "Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu? Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta peradatan. Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu dikawinkan dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap tersungging seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!" Ranata mundur. Dari mulutnya keluar ucapan-ucapan gusar
"Sekarang begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian. Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau musti berlalu dari gubukku. Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak. "Nyata sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya. "Jika kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu. "Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa. "Kenapa musti di luar? Ruangan ini cukup besar. Dan amboi... biarlah calon istriku menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyar ilmu silatku! Di samping itu ayahku akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan kecurangan! Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!" sahut Ranata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh. "Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan 'Pecut Sakti Nenabas Tugu'.
"Ha-ha-ha... Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup mengelakkannya!" teriak Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng.
Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu serangan lain namun lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan 'Membuka Jendela Memanah Rembulan'. Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur deras ke arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu!
Sebelum kakinya menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan 'Kipas Sakti Terbuka'. Di hadapannya Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah.
Wiro sadar meskipun serangannya bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari Ranata tak mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan 'Gunung Meletus Batu Melesat Ke Luar'.
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata.
Tubuhnya merunduk. Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu saja ini sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya itu pasti akan mengenai sasaran! Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro. Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan 'Orang Gila Melenggang Ke Awan' untuk melepaskan diri. Tapi terlambat. "Brett!" Pakaiannya robek. "Bukk!" Satu tempelak menghantam bahunya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit. Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus 'Menepuk Gunung Memukul Bukit'.
Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi tahu bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian. Mau tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa menghentikan gerakannya.
"Amboi...! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah... aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu. Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan. Kenyataan pahit yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian..." kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan angkat kaki..."
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas dapat cucu!"
Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang Ranata tertawa gelak-gelak.
"Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuu...!"
Siapakah sesungguhnya orang tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang berotak sinting seperti Ranata itu? Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara sekian banyak para menteri istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata.
Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik, penuh tanggung jawab serta jujur. Di samping itu dia juga memiliki kepandaian silat yang tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan untuk mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan keluarganya.
Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi incaran seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa Citrakarsa hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu rencana busuk. Suatu hari diundangnya Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan.
Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu telah berubah ingatannya.
Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa dan anak istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah telanjang. Apa yang terjadi atas diri menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib pandai di datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian, penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena dia mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah menjalankan semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum sedikit akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya saja kini yang kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti sediakala tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri yang telah mencelakakannya. Di samping itu putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih belum berhasil disembuhkan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya tidak sehat namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam tempo hanya tiga tahun.
Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya untuk memperdalam ilmu bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh. Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah yang membuat hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212 Wiro Sableng sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
********************
Matahari bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju ke utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata. Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya. Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah yang dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya menerima kekalahan-kekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan gerakan 'Pecut Sakti Menabas Tugu'. Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan satu jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan 'Pecut Sakti Menabas Tugu'.
Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya mengingat gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat gerakan mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru membuat gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan menentukan serangan yang dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda itu membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu tendangannya meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu membuat gerakan 'Kipas Sakti Terbuka'.
Pada waktu itu Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-benar satu keadaan yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada sampai ke kaki tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro.
Digaruknya kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan ilmu silat manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya dilakukan secara terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
********************
Bukit Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga berbentuk bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan bukit Gong. Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah tempat kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa gadis cilik adik kandung Ratih.
Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke barat. Dia langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya. Di samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek lalu bertanya. "Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya. Munding Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya.
Wiro menerangkan. "Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab, "Dulu dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas, berbudi luhur, bijaksana serta jujur..." Lalu Munding Wirya menceritakan asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan tinggal di dalam hutan.
Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang menyedihkan itu. "Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk tinggal di situ..." kata Wiro.
"Kurasa demikian..." menyahut Munding Wirya.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak. Munding Wirya mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan membelai kepala gadis kecil di sampingnya.
"Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusia-manusia terkutuk di hutan Bludak itu..." desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu dengan guruku...?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng. "Jika begitu perkenankan aku minta diri sekarang.
Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
DELAPAN
Dengan terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu mat ari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini sampai juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air laut terdapat sebuah delta subur berbentuk pulau kecil.
Di sini berdirilah sebuah bangunan bambu yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera hitam bergambar kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam keadaan basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut. Jauh-jauh dia sudah berteriak,
"Soka! Soka... ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset! Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku! Apa-apaan kau ini Camperenik?!" Teguran itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian nama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah Camperenik duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik dan dia berbisik.
"Hentikan tangismu, Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa..."
Camperenik hentikan tangisnya. "Sebelas tahun aku mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah berada di tanganku, tahu-tahu datanglah Munding Wirya hendak merebutnya..."
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap mukanya.
Baik muka maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam, alisnya tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipis. Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar Soka mendekam di muara sungai. Siapa saja yang keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan, diwajibkannya membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan mereka-mereka yang tak mau mematuhi hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh namun tak seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat iblis. Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran Hantu Kuning.
"Tidak, bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi ketika aku dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah menyambar calon muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding Wirya keparat itu melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet pinggulku hingga lariku jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya..." berjanji Damar Soka seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu..."
"Kita akan cari sampai dapat..."
"Dan pinggulku yang sakit ini?" merajuk Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu..." kata laki-laki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain yang melekat di tubuhnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset... tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya menarik tangannya dan menjiwir telinga Damar Soka.
Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan tangan kanannya dibelainya pinggul Camperenik yang agak kebiru-biruan. Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya hangat. Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan Damar Soka.
"Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa lamanya.
"Agak mendingan... Usaplah terus, Soka. Usaplah terus..." bisik si nenek bermata satu penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik melihat tingkah laku kedua manusia tua bangka ini. Dan Damar Soka terus juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian bergerak mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si nenek. Camperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas dan jatuh ke lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah telanjang begitu dia lari ke dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam bersinar-sinar.
Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke dalam. Camperehik berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka... soka..." bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu kau... Sudah terlalu lama Soka... Terlalu lama..."
"Ya, terlalu lama..." berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani membuat Carnperenik blingsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur.
Dari balik pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu topeng itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang amat cantik. Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng kain. Begitu dipakai maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi wajah seorang pemuda tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik.
Kedua kakinya bergerak dan sesaat kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa bahwa mereka sudah tua bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi. Camperenik tertawa kecil sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka... enam bulan..." bisik Camperenik.
"Enam bulan! Buset...!" balas Damar Soka.
Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya tubuh perempuan tua itu! Dalam dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan nama-nama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia kotor yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti suami istri tanpa kawin syah.
Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih terus juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana kegilaan mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua begitu mereka sengaja mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras mereka menjadi muda kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di dalam diri masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun. Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal lengannya. Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon muridmu yang dilarikan itu?"
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Busyet! Masih pagi katamu. Coba kau lihat matahari telah hampir keubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka masing-masing. "Bagiku masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan matahari. Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh pasti akan kita temukan..."
Camperenik menarik lengan Damar Soka dan memeluk tubuh laki-laki itu kembali. Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka... enam bulan..."
"Tapi buset! Kau mau bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
********************
SEMBILAN
Pendekar 212 Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah lembah. Jauh disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar berdaun rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya lebih segar. Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba mendengar suara dua orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro.
Dia bermaksud untuk membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu pasangan yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa gelak-gelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh. Bukan suara tertawa sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar dan memandang ke depan. Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila... betul-betul gila!" kata Wiro dan cepat-cepat dipalingkannya kepalanya. Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah memperkuda laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil menyeringai-nyeringai!
"Geblek, biar kulempar mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati.
Lalu dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah kedua insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan mustahil kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta tidak sopan sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka.
Akhirnya dengan memandang ke jurusan lain Wiro menunggu. Tak berapa lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka..." terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan..." sahut si kakek dan si nenek tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka..."
"Sudah, sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh apa?!"
Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek membuka suara kembali. "Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu mendengar nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia..."
"Betul, lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan sambil bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi seperti tadi! Sewaktu matahari telah jauh condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain Damar Soka dan Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya lalu laksana terbang lari kejurusan timur.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap Munding Wirya. Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang megap-megap.
"Sau... sauda... ra... tol... tolonglah..."
Wiro berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah. Pada bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau... saudara..." Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok urat besar di leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu berdiri dengan cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang golok menyeringai. "Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas! Tak ada seorang bangsat pun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
SEPULUH
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si Bayunata hah? Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya. Anak buah Bayunata menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat kosong. Secepat kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya.
Sebelum dia sempat mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah. Perampok itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya telah terlepas entah ke mana.
"Srettt...!"
Suara golok dicabut terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu melihat kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata masing-masing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng. Empat golok besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro. Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan tubuh terkutung-kutung.
Namun serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan pernah berhasil. Di dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara. Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menabur serangan. Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang disamping kanan terbanting ke tanah dengan kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar tubuh untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu sama lain. Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke dalam telaga. Celakanya masing-masing mereka tidak bisa berenang.
"Tolong!" jerit mereka sambil menggelepar-gelepar dalam air.
Keduanya laksana gila, berteriak dan menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Semakin keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka amblas ke dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air telaga.
Wiro memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka parah. Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku pakaiannya.
Darah yang mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk obat itu ditaburkannya di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu kemudian menelankan sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua matanya.
"Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan... te... terima kasih, Sau... dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan Wiro. Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jalan. Ketika aku menolak untuk memberikan uang emas yang kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha melawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Sewaktu salah seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi. Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai di tempat ini dan bertemu dengan kau..."
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar lalu menarik nafas panjang dan berkata lagi. "Aku berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit dipunggungnya.
Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya. "Menolong sesama manusia adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu, menolong merupakan satu kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa. Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan..."
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan malam akan tiba." Keduanya berdiri. "Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk. Ketika malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi menerangkan nama dan tempat tinggalmu..."
Laki-laki itu berpaling dan astaga. Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
********************
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik. Dengan mengandalkan ilmu lari masing-masing, menjelang tengah malam mereka berhasil mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding Wirya.
Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah dicobanya untuk menutup panca inderanya namun sia-sia belaka. Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran sedang entah karena apa hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan menjadi muridnya.
Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya coba untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan pikirannya. Selagi dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak menentu, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!" Munding Wirya bertanya. Baru saja pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok tubuh masuk ke dalam.
"Selamat berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan cocok sekali dengan pepatah itu heh?!"
Munding Wirya mengusap janggutnya yang panjang putih. "Aku tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada saat itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang laki-laki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem... Kau rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang kalian berdua keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian menginjak tempat ini!"
"Buset... buset... buset!" Damar Soka goleng-golengkan kepala. "Haram atau halal itu urusan kemudian. Yang jelas kau harus berterima kasih lantaran aku ikut kemari bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan kening. "Sangkut paut apa aku musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik hendak minta kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku di sini pembalasannya yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh diri!"
Berubahlah paras Munding Wirya. "Keluar dari sini atau aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai tuan rumah kau terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu dikeluarkannya senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah untuk mampus!"
Camperenik menerjang ke muka. Senjatanya berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun Munding Wirya siang-siang sudah berpindah tempat hingga serangan Camperenik hanya mengenai tempat kosong. Dengan sebat nenek-nenek bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada saat itu satu gulungan berwarna kuning datang di hadapannya dengan amat cepat.
Camperenik tidak menduga sama sekali kalau dikejapan itu Munding Wirya akan melancarkan serangan balasan dengan tongkatnya. Dia bersurut mundur namun serangan tongkat bambu kuning Munding Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya kemudian dengan sebat menderu ke kepalanya. Munding Wirya sengaja mengeluarkan jurus serangan yang amat hebatnya bernama 'Naga Sakti Menggulung Bumi Mematuk Bulan'.
Camperenik berseru tertahan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun menangkis! Sekejap lagi tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat otak Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung. Selarik angin panas menyambar dari samping, satu pukulan kemudian melanda lengannya, hampir saja membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajar. Kau mau main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning menyeringai buruk. "Tidak seorang manusia pun tega melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya pula seraya mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan kepada kedua lawannya.
Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah. Seperti telah diketahui, bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi Munding Wirya untuk mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek muka hitam dibantu pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang kepandaiannya tiga tingkat lebih tinggi dari Camperenik!
Sementara itu gadis cilik delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun dan dengan terkejut serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut pondok. Jurus demi jurus pertempuran semakin hebat. Mereka yang berkelahi hanya merupakan bayang bayang saja kini. Taburan serangan yang dilancarkan Munding Wirya laksana curahan hujan datangnya. Namun cuma sampai lima jurus orang tua itu sanggup menunjukkan kehebatannya.
Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat tekanan-tekanan untuk kemudian dia musti bertahan mati-matian. Dalam satu gebrakan hebat dijurus ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan tongkatnya kena dirampas oleh Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman tongkat ular Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati, bangsat tua ini hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar Soka berteriak memberi ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan tangan kanannya yang saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma saja. Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun terlambat. Sebagian sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas pinggang Camperenik. Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat bersama-sama dengan dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar di tanah, berkutik melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi.
Di saat yang sama terdengar pula pekik Munding Wirya. Meskipun Munding Wirya berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun dia sama sekali tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka yang membabat dari samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas pergelangan remuk hancur. Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua ini melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Munding Wirya menyadari sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat itu, adalah mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka. Karenanya cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok dan berteriak.
"Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!"
Gadis cilik berumur delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si anak segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha dang di pintu menutup jalan. Dengan penasaran Munding Wirya menerjang dan melancarkan satu tendangan ke bawah perut Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan satu gerakan cepat yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada Munding Wirya.
Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang di lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia bisa mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah darah dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan sakit bukan main. Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati Munding Wirya. "Bangsat tua bangka! Hari ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu Kuning menggerakkan kaki kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan laki-laki ini sampai dikepala Munding Wirya, dari arah pintu menderu lima buah benda berwarna putih perak menyilaukan. Hantu kuning terpaksa membatalkan tendangannya kecuali kalau dia inginkan kakinya dilabrak senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia menancap di dinding pondok. Benda-benda ini berbentuk bintang yang bertuliskan angka-angka 212 di tengah-tengahnya!
SEBELAS
Begitu terkejut melihat barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka memutar tubuh ke pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi rasa heran. Sekitar dua puluh tahun yang silam angka 212 itu telah menggetarkan dunia persilatan. Setiap muncul angka 212 berarti munculnya seorang nenek-nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini yang dilihat Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-putih dan berambut gondrong, Pemuda ini menyengir seenaknya kepadanya!
"Busyet kau budak. Lekas terangkan siapa kau!"
Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan ibu jarinya ke belakang. "Lekas keluar dari sini!"
"Hah?!" Damar Soka beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini keluar dari sini?!"
Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya tawanya itu. Dia memandang lekat-lekat ke wajah pemuda di hadapannya dan berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut pautmu dengan Sinto Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar, bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si pemuda.
Marahlah Damar Soka. Kedua tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut diayunkan, dua larik sinar kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu siulan. Si rambut gondrong lenyap dari pemandangan. Dikejap yang sama serangkum sinar putih berkiblat dari samping, menyapu ke arah tubuh Damar Soka.
"Pukulan sinar matahari!" seru Damar Soka kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke lantai pondok.
Terdengar suara hiruk pikuk yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan hancur berkeping-keping dan hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya manusia yang memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si pemuda telah melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si Sinto Gendeng! Dengan bola mata berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua tangannya yang berwarna kuning saling digosok-gosokkan sedang mulutnya berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu selama bertahun-tahun telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat golonganku. Jika aku dan kawan-kawan masa itu tak dapat menghancurkan batok kepala Sinto Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke liang kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan. Munding Wirya yang sejak tadi menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu dalam keadaan megap-megap hampir kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berseru memberi peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa. "Terima kasih atas peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu kehebatan pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya yang bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata pada gadis cilik di sudut ruangan.
"Anak, kau lekas tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas... "
Mawar si gadis cilik delapan tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu Damar Soka mengembangkan kedua tangannya ke samping laksana burung besar hendak terbang. Kedua tangan itu memancarkan sinar kuning yang menyilaukan dan menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan dahsyat laksana seratus serigala melolong di malam butal Dan serentak dengan itu kedua tangannya didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu. Dua larik gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke arah Pendekar 212. Di lain pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan serangan segera pula memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan melancarkan ilmu pukulan 'Dewa Topan Menggusur Gunung' yang dipelajarinya dari Tua Gila sedang tangan kiri melancarkan pukulan 'Sinar Matahari' yang diwarisinya dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat. Pondok di mana pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur berantakan laksana diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya yang terhampar di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh tak bernafas dari Camperenik. Di dalam kepekatan malam di atas reruntuhan pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali saling berhadapan.
Pendekar 212 saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-denyut, aliran darahnya tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu Kuning mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri dengan betul. Lututnya bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin.
"Tak mungkin aku sanggup menghadapi budak ini lebih lama... Dia kelihatan masih segar bugar." kata Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini melompat ke samping dan menyambar tubuh Camperenik terus hendak melarikan diri! Wiro bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke muka. Damar Soka kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda telah menghadang larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam begitu rupa adalah berbahaya untuk melancarkan serangan yang mengandalkan tenaga dalam namun di landa hawa amarah yang amat sangat maka Damar Soka memukulkan tangan kanannya.
Selarik angin hitam berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di kegelapan malam dia melompat setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia melepaskan pukulan 'Sinar Matahari' yang terkenal ampuh itu. Sehabis melancarkan serangan tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang. Nafasnya menyesak dan lidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik kemudian buku-buku darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar Soka tersungkur.
Tangan kirinya masih merangkul pinggang Camperenik. Sebelum tubuh Damar Soka mencium tanah, pada saat itulah pukulan 'Sinar Matahari" yang dilepaskan Wiro Sableng datang menyapu! Damar Soka terbanting ke tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah sedalam beberapa senti. Tubuhnya dan juga tubuh Camperenik hangus hitam. Nyawanya lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang berkeliling. Dilihatnya Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok, di sampingnya bersimpuh gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua. Dalam keadaan megap-megap begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat sekali... Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku... puas. Sebelum menutup mata aku... masih sem... sempat menyaksikan kematian dua man... manusia cabul itu..."
Wiro Sableng meraba dada Munding Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya pakaian si orang tua kelihatanlah kulit dadanya kuning pekat sedang tulang dada melesak ke dalam. Beberapa iga jelas kelihatan patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada Munding Wirya.
"Tak usah Wiro... jangan" kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di bibir. "Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini..."
"Telanlah obat ini", kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua itu menggeleng. Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur. "Kehendak Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu permintaanku padamu, bawalah Mawar pada Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya jadi murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa yang melanjutkan. Aku... Wiro kurasa... kurasa..." Ucapan Munding Wirya cuma sampai di situ. Nafasnya meninggalkan jazad.
Orang tua ini menghembuskan nafas penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis kecil di sampingnya menangis terisak-isak. Pendekar 212 Wiro Sableng menghela nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia melihat manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam cara mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut akan mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
********************
"Dulu hidup ini sunyi dan sepi, Kini indah berseri. Dulu hidup ini penuh duka derita, Kini semarak bercahaya. Betapa tak akan indah, Betapa tak akan berseri. Apa yang dicita muncul di mata, Telah datang seorang calon istri. Dulu hidup ini..."
Ranata mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat. Sepasang telinganya telah menangkap suara orang berlari dikejauhan. Semak-semak di depannya tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi, rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!" Ranata berseru.
"Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu Wiro bersama Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku segala?!"
Wiro menahan kegusarannya. Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk mendadak terdengar seruan perempuan.
"Mawar! Adikku... !"
Seorang gadis yang bukan lain adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar dari dukungan Wiro, memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata berdiri bingung.
"Amboi... amboi! Mengapa calon istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi? Adikmu...? Ah... wajahnya... wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku... ipar... ya ipar ku kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar, masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari dalam gubuk.
"Amboi! Semua masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat masuk, menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua orang duduk dan memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai menuturkan malapetaka apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah, orang tua..." kata Wiro menutup keterangannya. "Sebelum menutup mata Munding Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik Ratih ke sini, meminta agar kau mengambilnya menjadi murid karena dialah kelak yang bakal menuntut balas terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban. "Apa yang dipesankan Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu menyuruh Ranata untuk mengobrak-abrik bangsat-bangsat di hutan Bludak itu."
Sunyi beberapa ketika. Tiba-tiba Ranata mendongak ke atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa di luar?!"
Dan Pendekar 212 dalam kejap itu telah melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya sesosok bayangan hitam tinggi langsing di atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar namun orang itu lenyap dari pemandangan. Betapapun dia menyelidik dengan teliti di sekitar tempat itu tetap tak berhasil mencari jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam tadi!
Dengan menduga-duga siapa adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam gubuk. Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas putih, bersama Ranata dia membaca serentetan tulisan yang ada di atas kertas itu. Ketika Wiro menghambur keluar gubuk tadi, dari atas atap rumbia melesat segulung kertas yang saat itu tengah dipegang oleh Citrakarsa.
Kertas apakah yang di tangan orang tua itu, demikian Wiro berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya semula. Citrakarsa mengangkat kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari berputar-putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku akan sembuh dan... amboi! Ratih... Ratih! Dengarlah! Aku akan sembuh dan nanti suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting, bukan orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan Citrakarsa berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata orang tua ini. Wiro menerima kertas yang diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang tertera di atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat yang ditujukan kepadanya dan berbunyi,
Wiro muridku, Percuma kau menguasai 1001 macam ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk mengobati Ranata. Sinto Gendeng.
Wiro Sableng tertegun melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat seperti itu. Pantas saja dia tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang berkelebat di atas atap gubuk karena ternyata orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi sedikit keterangan akan bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa sementara saat itu Ranata masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pernah membaca dan mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu pengobatan beberapa waktu yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan..."
"Kiai Bangkalan!" kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia persilatan memang dialah satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay" Dan harapan besar jelas terbayang di wajah si orang tua. "Jika betul kau sudah mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata akan bisa disembuhkan!"
Wiro mengangguk pelahan. "Menurut keterangan yang kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu meninggal, anakmu telah delapan tahun menderita sakit. Ini berarti membutuhkan waktu yang cukup lama pula untuk menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya setengah dari masa sakitnya"
"Aku tak perduli berapa tahun pun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku sembuh! Sembuh dan... kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali Ranata.
Wiro menarik nafas dalam, lalu pejamkan mata dan menepekur. Hampir sepeminuman teh baru dia mengangkat kepalanya kembali dan memandang pada Citrakarsa lalu berkata,
"Pertama sekali harus disediakan satu guci anggur merah. Lalu disiapkan tujuh puluh lembar daun sirih, tujuh puluh serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih. Semuanya dimasukkan ke dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus diminum oleh anakmu sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa mengangguk-anggukkan kepala. "Daun sirih dan akar cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah binatang-binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada katak putih!" kata Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis Kiai Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh tempat dimana terdapat katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau Jawa ini. Di dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk menangkap binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam hari sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya semua itu akan kulaksanakan." kata Citrakarsa pula.
Lalu orang tua ini berulang kali mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan dan petunjuk Wiro. Tak lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara Ranata saat itu kembali menari-nari kegirangan.
********************
DUA BELAS
Sewindu telah berlalu. Banyak hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat silih berganti dalam dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi hari yang cerah, di depan sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang jarang di datangi manusia kelihatanlah seorang kakek-kakek berambut putih tengah menempur seorang gadis jelita berbaju merah.
Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan kanannya berkelebat kian ke mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke jalan darah di tubuh lawannya.
Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula gerakannya. Tubuhnya laksana bayang-bayang. Dia juga memegang sebuah ranting kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis serangan si kakek bahkan kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih ilmu silat. Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri Ratih mendukung seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Di sampingnya tegak Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang silam.
Dan sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih dengan kerelaan dan kasih sayang yang dimilikinya telah bersedia diambil istri oleh pemuda tersebut. Dua tahun berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mungil dan lucu. Betapapun Citrakarsa mengeluarkan segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya untuk dapat mengalahkan Mawar.
Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting kayu di tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung ranting kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan main. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama untuk menggembleng Mawar menjadi seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan kalau dibandingkan dengan Ranata, ilmu yang dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah! Sudah... sudah!" Citrakarsa berseru seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Hatiku puas, puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa tertawa. "Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Cobalah kau hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal dikalahkannya di bawah sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya ranting kayu yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia menghadapi adik iparnya. Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah baku hantam tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul pundak Ranata.
"Aku kalah!" seru Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak sengaja mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas terhadap manusia-manusia jahat yang telah membunuh orang tua dan kakakmu," berkata Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri dari tiga manusia biadab yang memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak. Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung. Ketiganya bertanggung jawab atas kematian ayah bundamu. Bertanggung jawab atas semua nyawa penduduk kampung kelahiranmu. Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta semua yang ada di sini, dalam pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang telah menemui kematian di tangan tiga bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan agar kau dapat membalaskan segala sakit hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau akan berhasil melaksanakannya. Kau boleh pergi setiap saat bersama doa restu ku!"
"Jika diizinkan, murid ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata, "Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak boleh pergi seorang diri?"
"Bukan tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti dunia kita di dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam bahaya, penuh dengan seribu satu macam tipu daya serta seribu satu macam manusia berhati culas. Dengan pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis tentu banyak manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu di tengah jalan hingga kau akan mendapat banyak kesukaran sebelum berhasil melaksanakan pembalasan terhadap musuh besarmu. Karena itu pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk bersalin pakaian.
********************
Hutan Bludak. Disarangnya Bayunata saat itu tengah diadakan pesta besar. Mereka baru saja berhasil menyikat serombongan pedagang yang tengah menuju Kotaraja. Delapan orang pedagang berikut selusin pengawal dibunuh, seluruh barang dagangan dirampok. Singkat cerita, dalam suasana pesta pora itulah Mawar dan Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar mengangguk. Keduanya mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian di salah satu pondok rampok yang terletak agak terpisah dari lain-lainnya kelihatanlah api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah Bayunata yang ada di situ dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak. Tiga orang perempuan dalam keadaan setengah telanjang ikut berlarian menyelamatkan diri.
Beberapa kawan merekan segera datang memberi pertolongan. Untuk memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada itu sebuah pondok lagi di ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-rampok yang ada di dalamnya yang tengah pesta minuman dan pesta perempuan berlarian keluar. Pondok ketiga, keempat dan kelima kemudian menyusul di kobari api.
Suasana di sarang gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini, lebih sewaktu api mulai pula menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung dari tali yang menghubungkan satu pondok dengan pondok lainnya. Dari dalam sebuah pondok Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan celana dalam.
Di tangan kanannya ada sebuah buli-buli anggur sedang tangan kirinya menggelung pinggang seorang perempuan muda yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Matanya sembab karena menangis. Perempuan ini diculik oleh gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di sebuah desa.
"Lima pondok di makan api dalam waktu yang hampir bersamaan..." desis Bayunata. "Pasti ini disengaja. Pasti ada yang berbuat...!"
Pemimpin rampok hutan Bludak ini mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat kemudian muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang ini pun hanya mengenakan celana dalam karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke dalam pondok dan merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan di sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu buli-buli itu diletakkannya di lantai.
"Persetan dengan keributan di luar sana. Persetan...!" kata pemimpin rampok ini.
Tangan kanannya bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya. Ciumannya bertubi-tubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian tenggelam dalam gelimang kekotoran. Beberapa buah pondok lagi sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak yang turun ke tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk menyelamatkan diri.
Namun tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita berpakaian merah menyambut ke datangan mereka dan menghadiahkan hadiahkan tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut. Hampir selusin anak buah Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur kepalanya, ringsek dadanya atau bobol perutnya. Seorang anggota rampok lagi kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat.
Sesampainya di bawah dia terkejut melihat apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Dan lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu adalah seorang gadis cantik berpakaian merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang datang menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan kau akan selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar mendengus. "Kau inginkan diriku? Ini terima dulu hadiahku!" kertak si gadis.
Secepat kilat tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya sebelumnya. Dia sempat mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah berada di tangan!
"Aku akan tebas batang lehermu kalau tidak mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau tidak kau akan menyesal sampai di liang kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus dan sekali lagi pula dia menerjang. Golok di tangan lawan berkelebat. Terdengar satu keluhan. Golok itu terlepas dari tangan anak buah Bayunata, dirampas oleh Mawar dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu tabasan telah memutus batang lehernya!
"Bangsat betina kurang ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar berpaling. Lima orang anggota rampok ternyata telah mengurungnya. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya melancarkan satu serangan golok. Mawar miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat di sampingnya, kaki kanannya menderu dan si penyerang mencelat sejauh dua tombak, jatuh tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol dihantam tendangan!
Empat kawan mereka melengak kaget. Tanpa banyak cerita lagi mereka segera menyerbu. Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak dibunuh, hanya dilukai salah satu bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana! Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar Merah datang untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di sini!"
Dengan ketakutan rampok itu menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan. Di salah satu cabang jembatan dia berpapasan dengan Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang ajar! Siapa gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia berpaling pada Sawer Tunjung dan berkata, "Lekas beri tahu Bayunata. Aku akan menghajar iblis betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan laporan segera menuju ke tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu dia manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon. Singgil Murka beliakkan matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya iblis betina itu nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan cengar-cengir Singgil Murka melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di hadapan Mawar Merah dan geleng-gelengkan kepala.
"Apakah kau bangsatnya yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya menyorot meneliti laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya itu.
"Ha-ha-ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi pimpinan rampok-rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada apakah kau mencari Bayunata? Dan kenapa pula kau menabur maut begini rupa?!"
"Hem... jadi kau bergundalnya yang bernama Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru, membunuh semua orang yang ada di sana, termasuk ayah dan kakak laki-laki ku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban kalian! Hari ini aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa gelak-gelak. "Gadis, kau yang begini cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku tidak ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali Bayunata melihatmu pasti kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku akan sembunyikan kau disatu tempat yang aman, mengambil seluruh harta kekayaan yang aku miliki lalu meninggalkan hutan Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak dengan kehidupan begini macam!"
Mawar Merah sunggingkan seringai tajam. "Maksudmu memang cukup bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini, melainkan neraka!"
Habis berkata begitu Mawar Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap kemudian bertaburlah selarik sinar merah! Singgil Murka kaget bukan main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka bertempur hanya setengah hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang lawan, manusia ini tak mau main-main lagi.
Dia merangsak ke depan berusaha memukul lepas pedang si gadis! Tapi sebaliknya si gadis berkelit gesit dan melancarkan serangan-serangan yang amat aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga terdengar seruan laki-laki ini sewaktu golok di tangan kanannya dihantam pedang lawan hingga mental!"
"Celaka!" keluh Singgil Murka.
Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa pikir panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu. Namun dia cuma sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena laksana terbang, Mawar Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang merahnya berkelebat, dan...
"Crasss...!" Menggelindinglah kepala Singgil Murka!
Satu dari tiga musuh besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua lainnya?! Mawar Merah memandang berkeliling. Setitik air mata mengambang di sudut-sudut matanya yang bening. Dia tak melihat anggota rampok yang tadi datang bersama Singgil Murka, mungkin sudah kabur. Tiba-tiba pada salah satu jalur jembatan tali dilihatnya dua orang laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan celana dalam berlari cepat kejurusannya.
TIGA BELAS
Sawer Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan yang tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer Tunjung!"
"Tunggu sebentar!" jawab Bayunata.
Di luar pondok Sawer Tunjung tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu rupa Bayunata masih menghabiskan waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di atas tempat tidur Bayunata merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari mulutnya keluar suara erangan geram dan dari hidungnya menghembus nafas membara. Di gigitnya leher perempuan di bawahnya hingga perempuan itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya yang mandi keringat kemudian terbadai di pembaringan.
"Bayunata! Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin rampok itu berdiri terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli, dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok lalu dikenakannya celananya. Golok besar yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu dia keluar.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan pondok musnah dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya telah melakukan hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di jurusan barat ada satu gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak buah kita menemui kematian di tangannya. Kepada anak buah yang masih hidup dia menyuruh menyampaikan pada kita bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah yang melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya berlari-sepanjang jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung bukan isapan jempol. Dua puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah jadi mayat, mati di gantung dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di atas jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di belakangnya terdengar suara robohnya sebuah pondok yang musnah di makan api. Tak berapa jauh dari situ segerombolan perempuan-perempuan dalam tubuh yang hampir tak tertutup pakaian berlarian berebutan menuruni tangga tali.
Dalam waktu yang singkat Bayunata dan Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar Merah berada. Saking geramnya pemimpin rampok ini turun ke tanah tanpa melalui tangga tali melainkan langsung melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang tanpa menimbulkan suara itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Amarah yang meluapi sekujur tubuh Bayunata serta merta jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita yang mengaku bernama Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat perempuan yang secantik ini!
"Sawer, inikah manusianya yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya Singgil Murka.
Namun yang dilihatnya adalah seorang laki-laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini adalah kawan dara berbaju merah yang telah menggantungi anggota-anggota rampok di sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada Bayunata. Kening laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya tertera angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212 Wiro Sableng, kata Mawar dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari kakaknya bahwa sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus, kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar. Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata, "Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa lebar-lebar. "Bayu, biar aku yang beri pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju merah ini. Aku sendiri akan main-main sejurus dua dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum nyawamu minggat ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu, Bayunata keparat!" kata Mawar Merah.
Dan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikannya di belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala melesat ke arah pemimpin rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak. Benda itu jatuh dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata, demikian juga Sawer Tunjung. Benda yang dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah kepala Singgil Murka!
"Betina keparat haram jadah!" bentak Bayunata marah sengaja mencabut golok besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu, "lekas serahkan diri atau kucincang detik ini juga seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah Merah menyeringai. "Justru hari ini aku harus serahkan jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak dan seluruh penduduk kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab delapan tahun yang lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan pertama.
Melihat ini nafsu untuk memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya ditebaskan ke depan untuk menangkis senjata lawan. Namun dibikin terkejut karena sesaat senjata mereka saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis menyusup turun dan dalam gerakan yang aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata mulai keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis aneh dan tidak dimengertinya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh pemimpin rampok ini senantiasa menghantam tempat kosong. Sebaliknya dengan mati-matian dia harus mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang laksana curahan hujan.
"Setan, ilmu silat apakah yang dimainkan betina jalang ini?!" gertak Bayunata dalam hati.
Cepat dirobahnya permainan goloknya. Jurus-jurus terhebat yang selama ini disimpannya sebagai andalan saat itu segera dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru menebar serangan ganas luar biasa. Lima jurus lamanya Mawar Merah harus bertindak hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat liku-liku kelemahan ilmu golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan semuda ini memiliki ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?! Tiba-tiba Bayunata berseru keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali. Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin yang luar biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan pedangnya ke depan. Dengan serta merta serangan golok serta pukulan sakti yang dilepaskan Bayunata musnah.
"Kalau begini naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar Merah.
"Kau tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata.
Di antara tiga pimpinan rampok hutan Bludak, Sawer Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah bertempur tiga jurus, Ranata berhasil merampas pedang laki-laki itu dan menotok urat besar di pangkal lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar Merah semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan gerakannyalah yang masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai jurus ke empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan terlepas mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang keras!
Bayunata melompat mundur. Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di keningnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar Merah. "Gadis, ampunilah selembar jiwaku yang tak berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta kekayaan yang aku miliki kupasrahkan padamu! Ampuni jiwaku...!"
"Kau minta ampunan, Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di neraka!" Pedang merah di tangan Mawar Merah memapas turun.
"Crassss...!"
Bayunata menjerit. Tangan kanannya putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini karena dilanda sakit yang amat sangat menjadi kalap. Dia melompat ke muka mengambil patahan goloknya lalu menyerang Mawar Merah dengan membabi buta.
Pedang di tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua kalinya pemimpin rampok itu menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku, ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang merah itu diayunkan lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan Bayu-nata. Tubuhnya yang terkutung-kutung itu berkolojotan kian kemari. Darah membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah membacokkan senjatanya ke kening Bayunata hingga kepala manusia bejat ini hampir terbelah dua! Sawer Tunjung tak berani menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri untuk disaksikan.
"Lepaskan totokannya kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu totokannya dilepaskan begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya tidak berbeda dengan nasib yang dialami Bayunata. Tubuhnya menemui kematian dalam keadaan terkutung-kutung! Tiba-tiba Mawar Merah membuang pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak... Hari ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga kalian bisa tenteram di alam baka...!"
"Sudahlah Mawar," kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus kembali."
Perlahan-lahan Mawar Merah berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya. Keduanya bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari depan berkelebatan seorang berpakaian putih. Rambut dan wajahnya tertutup kerudung hitam. Hanya sepasang matanya yang kelihatan, memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat! Kalian berdua harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang telah dibunuh! Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sretttt...!"
Mawar Merah mencabut pedangnya. "Jika begitu kau harus mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus pedangnya.
"Aku tahu kaulah yang membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku mempunyai pantangan untuk bertempur dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu pada kau punya kawan!"
"Persetan dengan pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis itu. "Kali ini biar aku yang turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk selama-lamanya jika tak berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian macam mana kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya manusia bercadar hitam. Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju duluan!" tantang si cadar hitam.
Ranata membuka serangan. Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus delapanpuluh derajat dari ilmu silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada lawan, si cadar hitam berkelebat, membuat gerakan yang sama dengan gerakan Ranata dan tahu-tahu tinju kanannya hampir saja mendarat di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget. Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis gerakan ilmu silat yang diajarkan kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran Ranata membuka jurus kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat kuda-kuda aneh.
Ranata terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan ilmu silat yang dimilikinya. Dia tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar hitam membuat gerakan aneh lagi, cepat dan tak terduga.
"Bukkkk...!"
Ranata terhuyung-huyung. Bahu kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit sama sekali. Ini membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa dia cuma melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa gelak-gelak. Sementara itu Mawar Merah menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya. Cepat dia maju hendak menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan tangan menarik cadar yang menutupi wajahnya.
"Wiro!" seru Ranata dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak tertutup itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan aku berhasil! Apa yang kulakukan barusan hanyalah sekedar membalas penghormatanmu itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu berkelebat lenyap meninggalkan kedua orang tersebut.
Ranata geleng-gelengkan kepala, berpaling pada Mawar Merah. Lalu keduanya pun meninggalkan tempat itu. Kelak bersama Ratih dan anak serta ayahnya, Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana dia dan ayahnya dulu berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar