WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : MEMBURU SI PENJAGAL MAYAT
PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi.
Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk sekitar tempat itu yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunung pun kabarnya belum pernah didaki orang atau penduduk setempat.
Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan sebuah perguruan silat yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak pernah dibuktikan orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung terdengar dikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa saja yang mendengarnya.
Aneh karena suara siulan itu keras sekali seperti bukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda di bawah pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun pisau besar. Di tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk menguak semak belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya.
Ketika angin bertiup lagi dan baju di bagian dada si pemuda tersingkap terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah pada dadanya. Angka 212. Tak pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang menonjol di pinggang pakaiannya itu sudah dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit dicari tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba menarik nafas dalam tak ampun perutnya seperti terbalik dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti mau muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan ke hidung. Dia memandang berkeliling. Dari mulutnya lalu terdengar suara mengumpat.
“Bau busuk celaka apa yang menyambar hidungku di tempat ini?!” Dia memandang lagi berkeliling tapi tetap saja tidak melihat benda lain selain pohon-pohon dan semak belukar.
“Gila! Belum pernah aku mencium bau sebusuk ini!” kata Wiro dalam hati. Sesaat dia mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberi tahu kepadanya bahwa bau busuk itu datang dari jurusan kanan.
“Hanya bau busuk sialan! Apakah aku harus menyelidiki?!” si pemuda berpikir sambil garuk-garuk kepala.
Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangan kanan yang memegang potongan ranting dan tangan kiri dia menyibak semak belukar lebat, dia melangkah menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu.
Kali ini tak ada lagi suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan penciuman agar bau busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakin jauh dia melangkah ke jurusan kanan itu, semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya saat itu juga dia membalikkan tubuh.
Mata sang pendekar yang tajam melihat ada beberapa bagian semak belukar di kiri kanan dan di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkin juga binatang yang melewati tempat itu. Agar lebih mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas bagian-bagian rerantingan atau semak belukar yang telah menguak.
Bekas yang telah dirambas orang ini akhirnya membawanya sampai pada suatu tempat yang penuh ditumbuhi keladi hutan. Di antara pohon-pohon keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihat sebuah buntalan besar kain kuning yang penuh dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu seolah-olah hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang ada dalam buntalan kain penuh noda merah itu. Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya terus menatap buntalan kain yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan. Kain kuning bernoda bercak merah. Dan warna merah itu.
“Bercak merah itu...” desis Wiro. “Itu hampir pasti adalah bercak darah! Dan buntalan itu. Itulah sumber bau busuk yang kucium!”
Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja sang pendekar merasakan kuduknya menjadi dingin dan bulu tengkuknya mendadak ikut merinding. Sepasang kakinya terasa berat ketika dilangkahkan mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan yang besar-besar itu.
Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua matanya tak bisa lepas dari buntalan kain kuning. Kira-kira hanya tinggal enam langkah lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba buntalan kain kuning merosot jatuh ke bawah. Satu sosok kaki putih tapi penuh lumuran darah mencuat dari balik buntalan.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke tanah sedang sepasang matanya membeliak.
“Kaki manusia...” desis Wiro tercekik dan tubuh bergetar. Jari-jari tangan kanannya pulang balik mengusap mulut dan tengkuk berulang kali. “Jangan-jangan daerah ini sarangnya para dedemit...”
Tengkuk sang pendekar tambah dingin. “Tapi apa iya dedemit itu betul-betul ada...?” Wiro malah balik bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro akhirnya mampu menguasai rasa takut yang mempengaruhi dirinya lalu kembali melangkah mendekati buntalan kain kuning bernoda darah. Tapi baru saja dia bergerak satu langkah, tiba-tiba semak belukar di samping kanan bergemerisik dan terkuak. Wiro berpaling. Tiga orang berpakaian seragam biru gelap dua pemuda, seorang pemudi muncul, langsung mengurung sang pendekar.
Di puncak Gunung Merbabu setelah selesai mengimami tiga orang muridnya bersembayang subuh di ruang terbuka di bagian depan rumah kayu, orang tua yang berpakaian selempang kain putih itu memimpin pembacaan doa dan ditutup dengan membaca tasbih.
Kalau biasanya selesai sembahyang subuh si orang tua selalu menyuruh ketiga muridnya untuk melakukan latihan silat serta tenaga dalam maka sekali ini dia memberi isyarat agar murid-muridnya tetap duduk di tempat mereka bersila.
“Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah baik-baik. Aku akan menceritakan sesuatu pada kalian...”
“Mengenai orang-orang gagah di jaman Nabi dan para sahabatnya, Kiyai...?” tanya salah seorang murid yang bernama Djarot.
Orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kiyai menggeleng. “Kali ini tidak, Djarot. Yang akan kuceritakan padamu dan dua saudara seperguruanmu adalah mengenai mimpiku tadi malam...”
“Ah Kiyai bermimpi rupanya!” yang bicara adalah satu-satunya murid perempuan yakni Sulindari. “Apakah Kiyai bertemu dengan seorang Dewi atau seorang Peri...?”
Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga ketiga muridnya tak berani lagi mencoba bergurau.
“Malam tadi dalam tidur aku bermimpi. Seorang gadis yang tidak kukenal datang menunggang kuda. Gadis ini mengenakan pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa sebuah bendera putih di tangan kanannya. Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah. Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.... Tapi justru saat itu aku terbangun...”
Tiga murid terdiam tundukkan kepala. Lalu yang sejak tadi diam yakni murid termuda bernama Rokonuwu berkata: “Kiyai, kalau mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai terganggu, bukankah dulu Kiyai pernah mengatakan bahwa mimpi itu hanyalah bunga tidur yang tak layak dipercaya?”
“Benar sekali katamu itu Roko,” sahut sang Kiyai sambil tersenyum. Sesaat kemudian senyumnya itu pupus. "Tapi mimpiku sekali ini datang sampai dua kali. Ketika aku tidur lagi, mimpi itu muncul kembali. Aku melihat kembali gadis berpakaian kuning aneh dan menunggang kuda itu. Seperti tadi, ditangannya dia membawa sebuah bendera putih kecil yang berlumuran darah. Kali ini dia sempat membuka mulut, berkata padaku. Kiyai... tolong saya... Setelah berkata begitu diapun lenyap. Dan ceritaku tidak hanya sampai disana. Ketika aku bangun untuk kedua kalinya lalu keluar dari kamar dan melangkah ke bagian depan rumah dalam kegelapan menjelang subuh aku melihat ada sesuatu yang bergerak di arah sana...” Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung kanan halaman rumah.
"Di antara semak belukar itu aku melihat bayangan seekor kuda. Lalu di atasnya ada penunggangnya. Dan si penunggang ternyata gadis berpakaian kuning memegang bendera putih berdarah itu. Dia memandang dengan paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi. Ketika aku turun dari langkah ini untuk menghampirinya, kuda dan penunggangnya itu lenyap laksana kabut...”
Mendengar penuturan guru mereka, tiga murid itu mau tak mau sama berpaling ke arah semak belukar yang tadi ditunjuk si orang tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat sementara Sulindari merasakan seperti ada hawa dingin yang merayapi kuduknya.
“Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis penunggang kuda itu. Atau mungkin pernah melihatnya sebelumnya...?” bertanya Djarot.
“Aku, memang aku rasa-rasa pernah melihatnya. Tapi entah kapan dan dimana...” sahut sang Kiyai.
“Apa yang harus kami perbuat kalau begitu Kiyai?” bertanya Sulindari.
“Ada satu keanehan lain yang terjadi di gunung kediaman kita ini, murid-muridku,” jawab orang tua itu. “Sejak beberapa saat lalu telingaku serasa menangkap suara siulan aneh di lereng gunung sebelah selatan. Kalau kukatakan itu siulan manusia mengapa demikian santarnya hingga terdengar olehku lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan pelayangan, aku tak pernah percaya ada setan di gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang pandai bersiul!”
Tiga orang murid itu mengulum senyum mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya memang tidak pernah mendengar suara siulan itu, namun mereka percaya, kesaktian yang dimiliki sang guru demikian luar biasanya hingga mampu menangkap suara yang begitu jauhnya.
Rokonuwu si murid termuda diam-diam merasa ada yang tersirat di balik penjelasan terakhir sang guru Maka diapun berkata, “Jika Kiyai memberi izin, kami bertiga siap untuk menuruni puncak Merbabu, menyelidiki ke sekitar lereng sebelah selatan.”
“Memang itu yang aku ingini murid-muridku. Pergilah menyelidik. Jangan-jangan siulan yang kudengar itu ada sangkut pautnya dengan mimpiku...”
Mendengar kata sang guru ketiga murid yang sama mengenakan pakaian biru gelap itu segera berdiri.
“Kami siap pergi Kiyai...” kata Djarot.
Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari masing-masing, melesat menuju ke lereng gunung sebelah selatan. Dua pemuda dan satu gadis inilah yang kemudian menemui Pendekar 212 Wiro Sableng di lereng selatan gunung Merbabu yang pada saat itu tengah melangkah mendekati bungkusan kain kuning berbecak darah dimana mencuat satu kaki manusia.
Untuk beberapa saat Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga orang muda di hadapannya itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik Sulindari ketika gadis ini kaget melihat kaki berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain kuning. Dia kemudian mendekati kakak seperguruannya Djarot lalu berbisik,
“Kak Djarot, ingat mimpi guru mengenai dara berbaju kuning aneh yang memegang bendera putih berlumuran darah...?”
“Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku ingin menyelidiki siapa adanya pemuda berambut gondrong di hadapan kita ini. Dan apa hubungannya dengan bungkusan kain warna kuning itu!” Habis balas berbisik begitu Djarot maju satu langkah mendekati Wiro, lalu menegur secara sopan.
“Ki sanak, siapa kau dan ada keperluan apa berada di tempat ini?”
Wiro tak segera menjawab melainkan memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia tampak terpesona melihat kecantikan sang dara. Melihat saudara seperguruan mereka dipandangi secara seenaknya seperti itu, baik Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel. Yang punya diri malah sudah menegur dengan keras,
“Orang bertanya tak kau jawab! Apakah telingamu tuli?!”
“Eh!” Wiro baru sadar. Sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar dia berkata: “Harap dimaafkan, tentu saja aku tidak tuli. Tapi harap kau suka mengulang pertanyaanmu tadi, sobat...”
Meski jadi tambah jengkel kini tapi Djarot mengulangi pertanyaannya tadi. “Terangkan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini?”
“Aku pengelana kesasar. Dan apa yang kukerjakan disini hampir tidak beda dengan kalian bertiga. Sama-sama heran melihat bungkusan kain kuning berlumur darah itu. Lalu sama-sama tercekat melihat ada kaki yang menyembul dari bungkusan itu.”
“Ki sanak, kau sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakakku!” menukas Rokonuwu. Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke tempat ini?”
“Hemm...” Wiro bergumam dan lagi-lagi menggaruk kepalanya yang berambut gondrong. “Melihat caramu bertanya agaknya kau dan saudara-saudara seperguruanmu ini tentunya bermukim di gunung Merbabu ini. Siapa guru kalian?”
“Ditanya malah balik menanya!” Sulindari jadi penasaran...
“Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk saja. Wiro Sableng. Aku berada disini hanya kebetulan saja. Seperti kataku tadi, pengelana kesasar...”
Karena selama menjadi murid-murid Kiyai sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi itu tidak pernah turun gunung maka mereka tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya si gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu.
“Lalu, mengapa kau membuang bungkusan kuning itu disana?” tanya Djarot pula.
“Bungkusan kain kuning itu? Aku sama sekali tidak membuangnya. Justru aku sampai kemari karena bau busuk yang ditebarnya! Bungkusan itu sudah ada disana ketika aku sampai di tempat ini”. Tiba-tiba Wiro sadar dan bertanya. “Ah, kalian bertiga apakah tidak mencium bau busuk yang keluar dari bungkusan kuning itu?!”
“Kami memang menciumnya. Tapi kami punya obat untuk penangkalnya,” Jawab Sulindari pula.
“Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian tinggi. Boleh aku tahu siapa nama beliau? Lalu kalian sendiri masing-masing bernama siapa?”
“Kami anak-anak murid Kiyai Djoko Bening. Aku Djarot, ini Sulindari dan itu Rokonuwu...” menerangkan Djarot.
“Astaga, kiranya kalian murid-murid orang tua sakti terkenal itu. Nama besarnya pernah kudengar dari mulut orang-orang rimba persilatan walau guru kalian jarang turun gunung. Bukankah Kyai itu yang memiliki pukulan sakti bernama Selangit Tembus Sebumi Putus?!”
Tiga anak murid Kiyai Djoko Bening sama-sama kaget dan saling pandang ketika mendengar Wiro menyebut nama pukulan sakti yang memang dimiliki guru mereka dan yang saat itu tengah mereka rampungkan mempelajarinya.
“Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku ingin menyelidiki isi buntalan kain kuning itu! Kalian mau ikut atau lebih suka jadi penonton?” ujar Wiro.
“Kami ditugasi oleh guru, jadi kami harus turun tangan sendiri!” menjawab Rokonuwu.
“Kalau begitu silahkan kau berjalan lebih dulu sobat,” kata Wiro seraya memegang bahu
Rokonuwu. Tapi sobat Rokonuwu tentu diam-diam merasa jerih. Dia balas mendorong punggung Wiro seraya berkata, “Kau saja yang memeriksa bungkusan itu, sobat. Aku akan membantu!”
Melihat adik seperguruannya tampak ragu-ragu kalau tidak mau dikatakan ngeri, Djarot tanpa banyak menunggu segera melangkah mendahului, diikuti Wiro lalu Sulindari di samping kiri bersama Rokonuwu.
Berada di depan bungkusan kain kuning yang basah oleh dara dan menyembulkan kaki putih mulus, sesaat keempat orang muda itu tertegun memandangi.
“Aku hampir pasti ini kaki perempuan...” bisik Sulindari pada Rokonuwu.
“Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka buntalan kain itu...” berkata Wiro.
Entah mengapa mendadak saja Djarot merasa tubuhnya bergetar dan keluarlah keringat dingin. Dia memberi jalan pada Wiro lalu berkata perlahan, “Sobat, kau saja yang membuka bungkusan itu...”
Wiro garuk-garuk kepala namun akhirnya melangkah juga dan ulurkan kedua tangan, membuka bungkusan kain kuning berdarah. Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang menjadi isinya sungguh mengerikan untuk dipandang. Wiro, Djarot dan dua adik seperguruannya sama-sama tersurut mundur dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.
Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perutnya seperti terbalik-balik dan dari mulutnya terdengar suara mau muntah berulang kali. Gadis ini kemudian tersandar ke sebuah pohon dengan wajah pucat pasi seolah-olah habis melihat setan.
“Gusti Allah...” hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Djarot.
Di atas kain kuning itu bertumpukan potongan-potongan tubuh manusia bergelimang darah mengerikan. Potongan kaki kanan sebatas lutut ke bawah saling tumpang tindih dengan potongan kaki kiri yang dipotong hanya tinggal bagian lutut sampai ke pangkal paha. Lalu ada bagian perut sebatas pinggang. Lalu potongan sepasang tangan serta bagian dada. Terakhir sekali potongan kepala berambut panjang.
Potongan kepala inilah yang paling mengerikan karena jelas tampak bekas dicincang hingga hancur-dan sulit dikenali. Kedua telinganyapun putus. Pada pergelangan tangan kiri tampak melingkar sebuah gelang perak berbentuk ukiran ular yang sebagian tertutup oleh dara yang telah Keseluruhan potongan-potongan tubuh itu berjumlah sebelas potong.
Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh seorang perempuan berkulit putih. Tidak sepotong kainpun menutupi aurat yang teraniaya itu. Karena telah membusuk dapat dipastikan mayat terpotong-potong itu telah sengaja dicampakkan di tempat itu lebih dari satu hari lalu.
Wiro merasakan tenggorokannya kering dan lidahnya kelu. “Perempuan malang! Siapa yang memperlakukannya sekejam ini...” desis murid Sinto Gendeng dengan suara bergetar. Dia berpaling pada ketiga murid Kiyai Djoko Bening.
Sulindari masih tersandar ke pohon. Djarot dan Rokonuwu masih tertegun membeliak seperti orang kena totok. Wiro cepat-cepat membungkus potongan-potongan mayat itu dengan kain kuning kembali. Saat itulah dia melihat sebuah benda berbentuk bulat berwarna keputihan tersepit di bawah salah satu potongan paha. Ketika dipungut benda itu ternyata adalah sebuah giwang terbuat dari perak. Tanpa terlihat oleh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening, Wiro memasukkan anting-anting itu ke dalam saku pakaiannya.
“Ini peristiwa pembunuhan yang harus di usut!” kata murid Sinto Gendeng. “Tapi kita berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-cepat. Bagaimana ini...?” Wiro garuk-garuk kepala.
“Tunggu!” terdengar suara Djarot. “Kejadian ini harus dilaporkan dulu pada guru karena beliau yang menugaskan kami melakukan penyelidikan.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro.
“Potongan mayat harus di bawah ke puncak Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai. Setelah melihat terserah apa yang akan diperintahkannya.”
Wiro geleng-geleng kepala. “Mayat ini bukan kadangku bukan sanakku. Apa yang hendak kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah ini adalah wilayah kediaman kalian. Tapi bagaimana caramu membawanya dalam keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkan dan mengerikan!”
Djarot tak menjawab. Dia melangkah mendekati sebuah pohon berbatang kecil sekitar pergelangan tangan. Sekali pemuda Ini menggerakkan tangannya bagian bawah batang pohon itu patah. Begitu pohon tumbang, sekali lagi Djarot menghantam batang pohon di sebelah atas. Kini dia mendapatkan sebuah potongan kayu. Ujung kayu itu disusupkannya pada buntalan kain kuning berisi potongan mayat, lalu dia memberi isyarat pada Rokomuwu. Dua murid Kiyai Djoko Bening itu kemudian memanggul mayat dalam bungkusan kain kuning. Sebelum meninggalkan tempat itu Djarot berkata pada Wiro.
“Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau mau ikut ke tempat kami silahkan saja...”
Wiro mengangguk. Dia menunggu sampai Sulindari melangkah dan berjalan di sebelah depannya, lalu baru mengikuti dari belakang.
Kyai Djoko Bening yang sejak malam tadi memang sudah punya firasat tidak enak karena itu dia sengaja duduk menunggu di langkah depan tempat kediamannya di puncak gunung Merbabu. Ketika melihat murid-muridnya muncul orang tua ini sipitkan kedua matanya, tidak menyangka mereka akan kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot dan Rokonuwu menggotong sebuah bungkusan besar kain kuning bercak merah yang menghampar bau busuk bukan kepalang. Lalu dia melihat pula seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong berpakaian serba putih yang tidak dikenalnya.
“Apa yang kalian temukan dan siapa pemuda ini?” bertanya sang Kiyai.
Pendekar 212 Wiro Sableng karena orang tidak langsung bertanya maka tidak mejawab dan hanya menjura saja memberi penghormatan pada orang tua itu. Djarot dan Rokonuwu menurunkan buntalan yang mereka gotong tepat di tangga rumah.
“Sesuatu yang mengerikan Kiyai...” ujar Djarot seraya mulai membuka buntalan kain kuning.
“Mengerikan dan biadab sekali!” menyambung Sulindari.
Dan ketika bungkusan kain kuning telah dibuka lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening tampak terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan kepalanya ditengadahkan ke langit.
“Tuhan, apa arti semua ini. Kami mohon petunjukmu ya Allah.” Terdengar suara sang Kiyai setengah berbisik.
Lalu perlahan-lahan kepalanya diturunkan, kedua mata dibuka dan memandang pada murid-muridnya. Djarot si murid tertua segera memberi penjelasan bagaimana mereka mula-mula menemui mayat terpotong sebelas itu. Lalu pemuda ini menggamit tangan gurunya, mengajak orang tua itu ke ujung rumah hingga terpisah cukup jauh dari lain-lainnya. Disini Djarot berbisik pada gurunya.
“Ketika kami bertiga sampai di tempat buntalan ditemukan, pemuda berpakaian putih itu telah berada di sana. Saya curiga Kiyai. Jangan-jangan dialah yang telah membuang buntalan itu!”
Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro Sableng lalu menggelengkan kepala. “Aku tidak sependapat denganmu Djarot. Jika memang dia yang membuang bungkusan berisi mayat terpotong-potong itu pakaiannya pasti akan terkena noda-noda darah. Bukti-bukti itu tak kulihat. Pakaian putihnya bersih. Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa bungkusan mayat seberat itu ke atas gunung. Paling tidak harus dua orang menggotongnya atau bisa juga seorang diri, tetapi dengan kuda. Kau kenal siapa adanya pemuda itu dan mengapa dia mengikuti ke tempat kita ini?”
“Dia mengaku bernama Wiro Sableng dan...”
Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya. “Apa katamu Djarot? Katakan sekali lagi nama pemuda itu!”
“Wiro Sableng, Kiyai...”
“Astaga...” Kiyai Djoko Bening memberi isyarat pada Djarot agar mengikutinya. Lalu dia melangkah menghampiri Wiro seraya berkata, “Apakah benar saat ini aku berhadapan dengan murid sahabatku Sinto Gendeng, pendekar besar bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
Wiro yang tidak menduga sang Kiyai mengenalinya hanya bisa menjura sekali lagi dan tertawa lebar. “Saya hanya murid seorang nenek buruk dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Kiyai keliwat memuji. Saya jadi rikuh menerima penghormatan dan pujianmu, Kiyai Djoko Bening...”
Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu ulurkan tangan kanan dan tepuk-tepuk bahu kiri Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagi tepukan yang dilakukan bukanlah sembarangan karena disertai aliran tenaga dalam sehingga tepukan itu mempunyai daya berat puluhan kati. Jangankan bahu manusia, sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu akan amblas.
Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya Wiro merasakan adanya hawa dingin menyambar ke arahnya. Maklumlah pendekar ini kalau uluran tangan itu disertai aliran tenaga dalam yang tinggi. Dan ketika sang Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu kekuatan dahsyat menekan tubuhnya. Kini murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau orang sengaja hendak menjajal dirinya. Maka diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya ke bahu kiri.
Sewaktu Kiyai Djoko Bening hampir menyentuh bahu Wiro dia jadi terkejut karena dari bahu yang hendak ditekannya itu ada hawa aneh keluar dan membuat tangan kanannya tergetar sampai ke siku Karena sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan tepukannya. Dia sempat menepuk bahu pemuda di hadapannya itu empat kali, namun tangannya mendadak terasa seperti ditimbun oleh gundukan es sehingga terasa dingin luar biasa, hampir kaku. Cepat-cepat Kiyai Djoko Bening salurkan tenaga dalam berhawa panas hingga hawa dingin perlahan-lahan sirna.
Di luar orang tua itu tampak tersenyum. Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat memiliki tingkat tenaga dalam yang sanggup menahan tepukannya seperti yang dilakukan Wiro tadi, murid-muridnya paling tidak harus belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun lagi. Itupun belum tentu sempurna. Maka mau tak mau orang tua ini menjadi kagum pada pendekar satu ini.
“Pendekar 212... Dulu ketika kau masih berusia sepuluh tahun, aku pernah menyambangi gurumu di puncak Gunung Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon jambu dan terlibat dalam perang mulut. Kami bertengkar besar mempertahankan keyakinan masing-masing, tak ada yang mau mengalah. Kami bertengkar mulai dari tengah hari sampai menjelang sore. Dan kau ingat apa yang kau lakukan saat itu...?”
Wiro berpikir mengingat-ingat. “Kejadiannya sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak ingat...” katanya menjawab.
Kiyai Djoko Bening tersenyum. “Saat itu diam-diam kau naik ke atas pohon jambu, memetik dua buah jambu muda. Satu persatu dua buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami yang sedang bertengkar dan tepat masuk ke dalam mulut gurumu dan mulutku yang sedang berkoar-koar. Kontan kami berdua menjadi bungkam membisu malah hampir tercekik!”
Habis menceritakan hal itu Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak Tiga.muridnya ikut tertawa pula sementara Wiro hanya garuk-garuk kepala lalu berkata, “Ah, sungguh kurang ajar sekali perbuatan saya saat itu Kiyai...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk. “Waktu kecil kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi apa yang kau lakukan terhadap kami saat itu mendatangkan kesadaran bahkan hikmah...”
“Ah mengapa bisa begitu Kiyai?” tanya Wiro tak mengerti.
“Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa sebagai tua bangka sudah bukan tempatnya lagi kami mengikuti hawa amarah dan berlaku tolol bertengkar seperti anak kecil. Kedua hal Itu membuktikan bahwa siapa saja yang tidak dapat mengontrol kemarahannya akan menjadi lengah hingga musuh bisa mencelakakan diri kita dengan mudah. Buktinya seorang anak seusia sepuluh tahun sepertimu sanggup menyumpal mulut dua tokoh silat dengan jambu mentah!” Kembali Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak.
Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya, “Kiyai, bagaimana dengan potongan-potongan mayat ini...?
Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. “Ini satu perkara besar yang tengah kita hadapi. Dari gelang perak di lengan mayat aku bisa memastikan mayat ini bukan dari kalangan rakyat biasa. Gelang perak berukir kepala ular seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang ada hubungannya dengan kalangan Keraton, atau istana. Paling tidak dengan Kadipaten. Dan melihat keadaan potongan mayat kurasa manusia malang ini adalah seorang gadis. Dari bentuk payudara dan perutnya aku yakin dia berada dalam keadaan hamil paling tidak empat sampai lima bulan...”
“Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?” tanya Rukunowo.
“Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya pasti tersiksa jika tubuh kasarnya berada dalam keadaan seperti ini,” kata Sulindari pula.
“Memang betul, menurut adat dan ketentuan agama jenazah seseorang harus cepat-cepat dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar biasa murid-muridku. Satu perkara pembunuhan yang besar. Mungkin melibatkan orang-orang besar pula. Jenazah ini harus kita awetkan untuk beberapa lama sampai diketahui siapa dia adanya, lalu menyerahkannya pada keluarganya. Sulindari, kau pergilah ambil bubuk cendana putih...”
Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam rumah sedang Kiyai Djoko Bening menanggalkan gelang perak berukir ular dari potongan lengan kiri dan menyerahkannya pada Rokonuwu seraya berkata, “Cuci gelang ini sampai bersih lalu serahkan padaku kembali.”
Sulindari keluar membawa sebuah kotak kecil dari kayu berisi sejenis bubuk yang terbuat dari kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening kemudian menebarkan bubuk putih itu di atas potongan-potongan mayat. Bau harum menebar. Bubuk putih itu bukan saja mematikan bau busuk tapi sekaligus juga mampu mengawetkan potongan-potongan jenazah sampai lima-enam minggu di muka.
Selesai menebar bubuk dan menyerahkan kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai Djoko Bening berkata, “Murid-muridku, mayat dipotong sebelas itu ditemukan di gunung Merbabu, tempat kediaman kita. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut kejadian ini. Pertama kita harus mengetahui siapa adanya gadis yang menjadi korban. Kedua siapa pelaku pembunuhannya. Dengan demikian kemungkinan orang menjatuhkan tuduhan terhadap kita dapat kita hindari...”
“Bagaimana caranya kami bisa melakukan semua itu Kiyai?” tanya Djarot.
“Pertama tentu saja kalian bertiga harus turun gunung. Ini satu kesempatan baik bagi kalian karena setelah bertahun-tahun berada disini baru kali ini kalian mendapat kesempatan untuk meninggalkan Merbabu. Berarti tugas dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan menyirap kabar siapa keluarga yang kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian temui bawa mereka kemari untuk menyaksikan mayat agar bisa dikenali.”
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, “Bagaimana dengan kau Pendekar 212. Apakah akan melakukan penyelidikan pula...?”
Wiro mengangguk. Lalu berkata, “Saya punya dugaan bahwa korban seorang dari dunia persilatan, paling tidak pernah belajar ilmu silat.”
“Hemm, matamu tajam sekali Wiro. Dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” bertanya Kiyai Djoko Bening.
“Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti dia sering berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang. Kedua telapak tangan kanan. Lebih kasar dari telapak tangan kiri. Pertanda dia lebih sering mempergunakannya untuk latihan memukul. Dan yang terakhir, kedua telapak kakinya tampak tebal karena lebih sering tidak memakai kasut...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk-angguk. Dia berpaling pada ketiga muridnya. “Kalian boleh berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku undang kau untuk menginap disini agar kita bisa bercerita banyak dan bertukar pengalaman.”
Sebenarnya selain berbasa basi orang tua itu ingin menahan Wiro agar dapat melakukan latihan dengan murid-muridnya. Namun dia agak kecewa ketika mendapatkan jawaban.
“Terima kasih Kiyai. Saya harus minta diri saat ini juga. Di lain waktu jika umur sama panjang saya akan menyambangimu lagi disini.” Lalu Wiro menjura dalam-dalam pada orang tua itu. Dia juga menjura pada ketiga murid sang Kiyai.
Sesaat setelah Wiro berlalu, Rokonuwu bertanya, “Kiyai, apa benar pemuda tadi seorang pendekar tokoh persilatan. Harap dimaafkan kalau di mata saya dia kelihatan seperti seorang pemuda konyol. Gerak geriknya aneh. Sering menyeringai dan menggaruk kepala seperti orang linglung...”
Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada dia berkata, “Pertanyaanmu itu membuat aku mengungkapkan lagi satu rahasia hidup pada kalian, murid-muridku. Apa yang kita lihat baik dan bagus di mata, belum tentu sebenarnya begitu. Sebaliknya apa yang kita saksikan buruk mungkin sebenarnya bagus. Begitu juga dengan wajah, sifat dan sikap seseorang. Dan satu hal lagi murid-muridku, dunia ini memang penuh dengan keanehan. Tinggal terserah pada kita, apakah kita bisa mempergunakan kemampuan otak dan pengalaman untuk mencerna keanehan itu. Kalian semua telah memiliki kepandaian tinggi. Silat luar dan silat dalam. Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak menempa diri. Itulah sebabnya tadi kukatakan bahwa peristiwa ditemukannya mayat terpotong sebelas itu membuat aku mengambil keputusan agar kalian turun gunung.”
Setelah berkata begitu Kiyai Djoko Bening keluarkan gelang perak ular yang tadi telah dicuci oleh Rokonuwu lalu diserahkannya pada Djarot. “Bawa gelang perak ini. Benda ini dapat dipergunakan untuk bukti bagi keluarga korban, jika kelak kau dan saudara-saudaramu berhasil menemukan mereka.”
Djarot mengambil gelang perak itu lalu memasukkannya ke dalam saku pakaian birunya.
Orang bercadar hitam dan menunggangi kuda besar itu berhenti tepat di bawah pohon nangka hutan. Sesuai perjanjian dia akan bertemu dengan kedua orang itu di tempat tersebut. Tapi dua orang itu sama sekali tidak kelihatan pangkal hidungnya. Sementara langit sore tampak lebih cepat gelapnya karena mendung. Sebentar lagi tentu turun hujan lebat.
“Sialan! Mana mereka itu?!” orang di atas kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran diapun berteriak, “Randu! Tikil! Dimana kalian?!”
Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam rimba belantara semak belukar di ujung kanan tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian gombrang muncul. “Kami datang!” salah seorang dari keduanya cepat menjawab.
“Ingat!” orang di atas kuda membentak. “Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut nama dan gelarku! Pohon dan batu di rimba belantara ini bukan mustahil punya telinga untuk mendengar dan punya mulut untuk mengadu!”
“Kami mengerti...” jawab orang yang bernama Randu. Dalam hati dia berkata, “Itu sebabnya dia mengenakan cadar. Tidak seperti pertemuan sebelumnya. Agaknya perbuatan busuk ini sudah mulai tercium orang luar...”
Orang di atas kuda melemparkan sebuah kantong berisi uang yang segera ditanggapi oleh Randu.
“Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah ini kalian berdua harus tinggalkan daerah sekitar sini dan jangan berani kembali! Sekarang katakan, ada apa kalian meminta untuk bertemu?!”
Yang menjawab adalah si kurus bernama Tikil. “Sejak satu minggu lalu ada dua orang pemuda dan seorang gadis muncul di beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah ada gadis hilang atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah gelang perak berukir kepala ular...”
“Astaga! Gelang itu!” kata si penunggang kuda hampir berteriak. “Jadi gelang itu tidak sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!”
“Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauh itu. Lagi pula saat itu ada orang datang hendak menemui dukun beranak itu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi...”
“Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus segera menemui Warok Kuto Item. Minta dia untuk mencari ketiga pemuda itu dan membereskannya!”
“Kami rasa Warok Kuto Item sekalipun kami bantu tidak akan mampu menghadapi tiga pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-anak murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu!”
“Celaka! Ini lebih celaka lagi! Tapi... aku tak pernah mendengar Kiyai itu punya murid! Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan! Aku tidak mengerti mengapa mereka yang justru kasak-kusuk melakukan penyelidikan?”
"Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di lereng gunung Merbabu pasti telah mereka temukan!” Jawab Tikil.
“Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat golongan hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga kalian bertiga harus berangkat ke tempat kediaman sang Datuk di pantai Selatan!” Dari balik pakaiannya orang di atas kuda mengambil sebuah kantong uang lagi dan melemparkannya pada Randu. “Berikan uang itu pada Datuk Kepala Besi. Dan ingat, setelah kalian bertemu dengan sang Datuk, kalian harus melenyapkan diri! Aku tidak ingin bertemu lagi dengan kalian. Apapun alasannya! Kalian mengerti?!”
“Kami mengerti. Namun mohon uang bekal kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi dari sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan dengan cepat. Lalu bagaimana kami memberi makan anak isteri kami...”
“Sialan, kalian hendak memerasku?!” hardik si penunggang kuda bercadar. “Ternyata kalian tidak bisa kupercaya!”
“Kami berdua mana berani memerasmu.” yang menjawab adalah Randu. “Soal kepercayaan dan kesetian kami tidak perlu diragukan. Yang kami khawatirkan justru si dukun beranak itu!”
Orang di atas kuda jadi terkesiap mendengar kata-kata Randu. “Ucapannya mungkin ada benarnya,” katanya dalam hati. Lalu dia mengeluarkan sebuah kantong lagi dan melemparkannya pada Randu. “Ambil dan pergi! Jangan kembali-kembali lagi!”
“Terima kasihi” ucap Randu sambil menyambut kantong yang dilemparkan lalu dia memberi isyarat pada Tikil.
Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas hutan langit semakin mendung. Gelegar guntur terdengar dikejauhan disambut oleh kerlapan kilat. Si penunggang kuda segera putar binatang tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan rimba belantara itu.
“Istriku...” kata Tumenggung Brojo Menggolo pada istrinya yang duduk terbatuk-batuk di kursi besar di ruang tengah gedung kediaman mereka yang terletak di bagian selatan Kotaraja. “Sudah hampir seminggu puterimu Sintomurni belum juga kembali dari tempat kediaman guru silatnya. Apakah aku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?”
Surti Retnoningsih sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang dahaknya ke sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai obat telah diminumnya. Berbagai orang pandai mulai dari dukun sampai ahli pengobatan dari istana coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu gemuk montok itu berangsur-angsur menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya pucat.
Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Tumenggung Brojo Menggolo kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tiga tahun dan mempunyai seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu.
Di usia sang Tumenggung yang hampir enam puluh maka anak tirinya yaitu Sintomurni telah menjadi seorang gadis yang mewarisi kecantikan dan kebagusan tubuh ibunya di masa muda. Dan tentang gadis itulah kini yang tengah dibicarakan kedua suami istri itu.
“Jika anak itu memang tengah digembleng untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi, sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang. Tapi terus terang sejak satu mingguan ini aku terus teringat padanya, bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku khawatir, jangan-jangan umurku ini hanya tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau memanggilnya segera pulang, suamiku...”
“Kalau begitu segera akan kukirim orang menjemputnya,” kata Tumenggung Brojo Menggolo pula. “Kuharap kau jangan menyebut-nyebut soal mati itu Retno. Sakitmu memang sulit disembuhkan. Tapi percayalah satu ketika kau akan sehat kembali.”
Sang Tumenggung lalu berdiri. Dia melangkah ke samping gedung besar, sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya menuju ke belakang untuk memanggil pengawal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang lelaki bertubuh langsing berkulit coklat pekat datang dengan diantar oleh seorang pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat Sintomurni, seorang yang ikut menjadi tokoh silat istana karena kepandaiannya yang tinggi dan dekatnya hubungannya dengan Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru langsung diantar ke ruangan dimana Tumenggung berada bersama istrinya.
Setelah menjura memberi hormat pada kedua suami istri itu dan dipersilakan mengambil tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera membuka mulut.
"Tumenggung, terus terang saya heran ada utusan yang hendak menjemput puteri Tumenggung Sintomurni. Padahal puteri Tumenggung itu telah mohon diri dari tempat saya tiga hari yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia belum sampai kemari...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada bayangan rasa khawatir pada wajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
“Saya takut sesuatu terjadi dengannya...” kata Retnoningsih dan air mata langsung saja meluncur ke pipinya yang cekung. “Jangan-jangan ada orang jahat yang melakukan sesuatu terhadapnya. Menculiknya... Menyekapnya di satu tempat...”
“Sulit hal itu bisa terjadi Den Ayu Retno,” sahut Sangkolo Pratolo. “Dengan tingkat kepandaian yang dimilikinya sekarang tidak sembarang orang mampu berbuat yang bukan-bukan terhadapnya...”
“Selama Sintomurni berada di tempat kediamanmu, apakah sampean melihat ada kelainan-kelainan pada diri anak kami itu...?” bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.
“Maksud Tumenggung...?” balik bertanya Sangkolo Pratolo.
“Maksudku mungkin sebagai gurunya, Sintomurni lebih terbuka terhadapmu dari pada kami. Mungkin ada sesuatu yang menjadi unek-unekannya atau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu dia berselisih atau sedang marahan dengan pemuda kekasihnya yang bernama Damar Bintoro itu...” sahut Tumenggung pula.
“Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Tumenggung. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu ganjalan pada saya.”
“Kalau begitu kemana perginya anak Itu?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo seraya memandang pada istrinya yang tengah mengusut air mata. “Kita harus mencari tahu dimana dia berada, suamiku...” berkata Retnonlngsih.
“Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan para bawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan turun tangan. Dan Sangkolo Pratolo, aku minta kau juga melakukan pencarian...”
“Itu memang tugas saya, Tumenggung,” sahut guru silat itu.
Djarot memperhatikan sejenak danau kecil dihadapannya lalu memandang berkeliling. Akhirnya murid tertua Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu ini berkata, “Walaupun mengeluarkan biaya tapi bermalam di penginapan lebih baik dari berkemah ditempat ini. Terutama bagimu Sulindari.”
“Aku tidak takut berkemah di alam terbuka di tepi danau ini. Apa yang kau kawatirkan kakak Djarot?” bertanya Sulindari sambil mempermainkan gelang perak berukir kepala ular yang dikenakannya di lengan kirinya.
Seperti diketahui gelang itu adalah gelang yang ditemukan pada lengan kiri mayat terpotong sebelas. Karena tak mau dianggap pengecut akhirnya Djarot menyetujui usul kedua adik seperguruannya untuk bermalam dan berkemah di tempat itu.
“Kalian mengusulkan maka kalian yang harus mencari kayu untuk perapian,” kata Djarot pula.
Dalam waktu singkat Sulandari dan Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang diperlukan. Begitu malam turun api unggun segera dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan sembahyang dengan Djarot sebagai imam.
Pada saat menjelang akhir sembahyang Djarot mendengar suara mencurigakan di balik semak belukar tak jauh dari perkemahan. Suara itu juga terdengar oleh kedua orang adik seperguruannya yang membuat ketiganya jadi kurang khusuk melakukan sembahyang. Begitu memberi salam Djarot segera berpaling pada kedua adiknya dan berbisik,
“Kalian mendengar suara mencurigakan itu...?”
Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama mengangguk.
“Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah diintai seseorang,” kata Djarot.
Dia memandang berkeliling. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika karena tiba-tiba sekali kemudian terdengar suara orang menegur lantang merobek kesunyian malam.
“Dua pemuda satu pemudi di perkemahan, apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu?”
Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi danau berdiri. Mereka sama palingkan kepala ke arah kegelapan di jurusan mana tadi datangnya suara menegur.
“Siapakah yang bertanya?!” menyahuti Djarot. “Keluarlah dari kegelapan agar kami bisa mengenalimu!”
Terdengar suara mendengus. Lalu semak belukar di samping kanan tersibak dan seorang lelaki muncul melangkah mendekati api unggun. Tiga murid Kiyai Djoko Bening berpaling. Sungguh aneh bagi mereka. Jelas-jelas orang yang tadi menegur lantang suaranya datang dari sebelah kiri. Bagaimana kini tahu-tahu muncul dari sebelah kanan?
“Orang ini memiliki ilmu seperti yang dikatakan guru. Ilmu memindahkan suara. Dia berada di sebelah kanan tapi suaranya muncul di sebelah kiri...” begitu Djarot membatin.
Dan bersama adiknya dia memandangi sosok tubuh yang kini tegak dekat api unggun itu. Orang ini memiliki kepala botak plontos tampak berkilat-kilat terkena cahaya api unggun. Dia mengenakan sehelai celana hitam sebatas lutut. Di sebelah atas dia bertelanjang dada. Sehelai kain hitam menyerupai selendang dililitkan di lehernya. Berada dalam kegelapan dan sebagian tubuh serta wajah orang ini tampak angker.
“Aku sudah keluar dari tempat gelap. Sekarang apakah kalian mengenaliku?!” tanya si botak seraya bertolak pinggang.
“Kami tidak mengenali siapa dirimu ki sanak!” sahut Djarot dengan polos.
Si botak tertawa. “Kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal siapa kalian! Bukankah itu hebat?!”
Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk mengambil sebatang kayu sebesar lengan yang jadi penyala api unggun. Kayu besar itu tiba-tiba dihantamkannya kuat-kuat ke kepalanya yang botak.
"Krakkk...!"
Bukan kepalanya yang pecah atau remuk tapi kayu api itu yang patah berkeping-keping. Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet sedikitpun tidak.
Tiga murid Kiyai Djoko Bening yang baru saja turun gunung tentu saja tercengang kagum melihat hai itu. Malah Rokonuwu sempat berseru, “Hebat luar biasa!”
Si botak tertawa mengekeh. “Baru itu saja kalian sudah terlongong-longong! Padahal itu belum seberapa!” katanya. “Lihat ini!” Si botak berseru lalu dia berlari dengan kepala ditekuk ke arah sebatang pohon besar di tepi danau. Kepala dan batang pohon beradu keras.
Seperti tadi terdengar suara kraak keras sekali. Batang pohon hancur dan pohon itu kemudian tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh.
Djarot, Sulindari dan Rokonuwu sama ternganga dan saling pandang, namun Djarot diam-diam bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya tujuan si botak tak dikenal itu memperagakan kehebatan kepalanya yang sanggup menghancurkan batang kayu malah menumbangkan pohon.
“Ki sanak yang memiliki ilmu hebat, kami benar-benar mengagumi kehebatanmu. Kalau kami boleh bertanya siapakah ki sanak ini?” bertanya Djarot.
Si botak tertawa panjang sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. “Dunia persilatan mengenal aku dengan gelar Datuk Kepala Besi. Puluhan tahun aku menjadi raja diraja daerah selatan!”
Baik Djarot maupun dua saudara seperguruannya memang belum pernah mendengar gelar itu. Gurunya pun tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi untuk menyenangkan hati si botak Djarot berkata lagi,
“Ah, ternyata gelarmupun hebat sekali ki sanak. Kami senang dapat mengenal orang berkepandaian tinggi sepertimu...”
“Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan dan sikapmu baik terhadapku. Itu mengurangi hukuman yang bakal aku jatuhkan terhadap kalian bertiga!”
“Hukuman...?” ujar Djarot dan Rokonuwu hampir bersamaan. “Hukuman apa maksudmu ki sanak?”
“Kalian bertiga telah melakukan satu dosa besar. Membunuh seorang gadis, memotong-motong mayatnya lalu membuangnya di lereng Merbabu!”
“Astaga!” seru Djarot. “Justru guru kami Kiyai Djoko Bening memerintahkan kami turun gunung untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan yang keji itu.”
“Kau pandai bersilat lidah dan berani berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan hanya asal gembreng! Aku punya bukti! ayo katakan dari mana gadis satu ini mendapatkan gelang perak berkepala ular itu!”
Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi gelang di lengan kirinya. Lalu dia cepat cepat membuka mulut, “Gelang ini memang milik korban pembunuhan itu. Guruku sengaja mengambilnya dan diberikan pada kami untuk bahan mencari bukti siapa adanya gadis itu dan siapa pembunuhnya!”
“Siapa bisa percaya pada ucapan dan keterangan kalian!” sahut Datuk Kepala Besi. “Seperti aku bilang tadi hukuman untuk kalian bertiga akan kuperingan sedikit. Kalian dua pemuda tetap akan kubunuh sedang gadis ini kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut aku ke tempat kediamanku di pantai selatan!”
Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga murid Kiyai Djoko Bening serta merta tegak berpencar.
“Kami tidak melakukan pembunuhan! Tuduhanmu tidak berdasar!” teriak Rokonuwu. “Manusia botak ini hanya mencari-cari dalih. Tujuan sebenarnya adalah hendak berbust jahat terhadapku!” berkata Sulindari
Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia sudah bertekad untuk membunuh tiga murid Kiyai Djoko Bening itu. Namun dia sama sekali tidak menduga kalau murid yang perempuan ternyata adalah seorang yang cantik jelita. Begitu melihat hatinya langsung terpikat dan nafsu bejatnya menggelegak.
“Gadis cantik, mana ada niat dihatiku hendak berbuat jahat terhadap dirimu. Justru aku membawamu ke pantai selatan untuk kujadikan permaisuriku. Ha ha ha!”
“Manusia tidak tahu diri!” bentak Sulandari. “Kehebatan ilmumu memang membuat aku kagum. Tapi tampangmu yang buruk hanya cukup pantas jadi ganjalan roda pedati!”
“Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau yang menghinaku seperti itu pasti sudah kurobek mulutnya!” Sepasang mata Datuk Kepala Besi berkilat-kilat. Dia berpaling pada Djarot dan Rokonuwu. “Apakah kalian sudah siap menerima kematian?!”
“Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahat kami terpaksa membela diri” sahut Djarot.
“Kakak Djarot!” tiba-tiba Sulindari berseru. “Jangan-jangan si botak ini yang telah membunuh dan mencincang gadis yang mayatnya ditemukan di lereng Merbabu itu!”
“Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu siapa pemilik gelang di lengan kirimu itu!” menyahut Djarot.
Mendengar kata-kata Sulindari dan Djarot itu Datuk Kepala Besi menggereng. Mukanya mengelam dan rahangnya menggembung. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke arah Djarot, langsung melancarkan satu serangan berupa jotosan deras ke arah dada si pemuda.
Djarot mainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnya berkelebat dalam satu gerakan mengelak yang gesit. Lalu dia berusaha membalas. Karena merasa tidak ada silang sengketa dengan si botak itu, sebagai seorang pemuda yang berhati polos Djarot tak mau membalas dengan sepenuh hati. Dia hanya berusaha menggaet kaki lawan agar lawan jatuh tergelimpang.
Tapi serangan itu terlalu empuk bagi tokoh silat golongan hitam dari pantai selatan itu. Dengan satu gerakan berputar yang aneh, Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu sudah berada di atas Djarot. Tangan kananya mengemplang ke arah kepala pemuda itu. Sekali hantaman itu mengenai sasarannya kepala si pemuda pasti akan pecah, paling tidak rengkah.
Djarot memiliki ketenangan yang mengagumkan. Sambil merunduk dia miringkan kepala. Begitu pukulan lawan lewat di samping pelipisnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil menangkap lengan Datuk Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu membetotnya keras-keras hingga tubuh si botak itu terlontar ke bawah siap menghunjam tanah.
Datuk Kepala Besi kaget dan marah ketika dapatkan dirinya sempat ditarik lawan seperti itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan lengan Djarot, tapi begitu jaraknya berada lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk ke arah tulang-tulang iga si pemuda.
"Krakkk...!"
Terdengar suara patahnya dua tulang iga kanan disertai pekik kesakitan keluar dari mulut Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sambil pegangi tubuhnya yang cidera murid Kiyai Djoko Bening ini berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh. Saat itulah Datuk Kepala Besi datang dari depan, berlari kencang dengan kepala merunduk. Laksana banteng menanduk.
Djarot yang sudah melihat sendiri kehebatan serta keganasan kepala manusia itu dalam keadaan menahan sakit segera salurkan tenaga dalamnya penuh ke tangan kanan. Begitu kepala sang datuk tinggal satu langkah dari hadapannya maka tinjunya dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala lawan.
"Bukkk...!"
Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh Datuk Kepala Botak terjajar dua langkah. Tapi sang datuk sendiri tampak tertawa lebar seolah-olah jotosan yang keras itu hanyalah satu usapan belaka. Kepalanya sama sekali tidak cidera. Sebaliknya Djarot terlempar empat langkah, jatuh di tepi danau. Kepalan tangan kanannya lecet dan tangan itu menjadi kaku sakit sampai sebatas bahu.
Selagi Djarot mencoba bangkit dalam keadaan kesakitan seperti itu, Datuk Kepala Besi mendatangi dengan melompat. Kaki kanannya dihunjamkan ke bagian bawah perut si pemuda. Djarot berusaha menggulingkan tubuh menghindari injakan yang dapat membuatnya cacat seumur hidup itu bahkan menemui ajal. Namun dua tulang iga yang patah dan tangan kanan yang cidera berat membuat gerakannya menjadi lamban hingga tak sanggup selamatkan tubuhnya dari injakan kaki lawan.
Di saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua bayangan disusul dengan menderunya dua rangkum sinar kelabu yang dahsyat. Datuk Kepala Besi berseru kaget ketika merasakan tubuhnya seperti ditabrak dua batu besar, lalu ada dua gelungan asap kelabu menjirat tubuhnya. Yang satu menarik ke atas dan satu lagi membetot ke bawah siap membuat badannya tersobek-sobek dan terkutung putus.
“Pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus!” seru Datuk Kepala Besi. Dia memang pernah mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai Djoko Bening itu namun tidak menduga sedemikian dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan tenaga dalamnya lalu menghantam dengan kedua tangan, satu ke atas satu ke bawah. Setelah itu dia buru-buru jatuhkan diri dan bergulingan di tanah beberapa kali, lalu bangkit dengan cepat dan menghantam ke depan. Memang inilah salah satu cara untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari pukulan sakti tadi.
Rokonuwu dan Sulindari terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan sakti yang selama bertahun-tahun mereka pelajari di puncak gunung Merbabu ternyata tidak sanggup merobohkan lawan. Hanya ada satu dari dua kemungkinan. Lawan memang sangat tangguh atau tenaga dalam dan ilmu pukulan yang mereka kuasai belum mencapai tingkat yang dapat diandalkan. Namun keduanya masih bisa merasa lega karena pukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup menyelamatkan kakak seperguruan mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.
Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak komat-kamit, lalu menyeringai sambil usap-usap kepalanya yang botak. “Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan padamu agar menjauh dari kalangan pertempuran! Jika sabarku hilang aku tidak segan-segan membunuhmu sekaligus!” Sang datuk mengancam.
Sulindari tidak merasa jerih. Malah dia menyahuti, “Kepala botakmu itu sudah saatnya ditanggalkan dari leher!” sang dara lalu berbisik pada adik seperguruannya. “Roko, kita harus menyerang dan bertahan dengan pukulan sakti tadi! Itu pukulan paling tinggi yang kita miliki! Jangan beri kesempatan dia menyerudukkan kepalanya! Begitu dia maju kau menghantam ke arah kepalanya, aku ke arah badan lalu cepat-cepat menghindar. Sebelum dia bergerak kita harus kembali menghantam!”
“Aku menurut katamu saja, Sulin... Awas! Bangsat itu hendak menyerang kembali!” Rokonuwu berseru ketika dilihatnya Datuk Kepala Besi menyerbu ke arahnya dengan kepala botaknya menyeruduk lebih dahulu.
Untuk menghadapi serangan ganas itu kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu lepaskan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi sekali ini keduanya tertipu. Karena begitu mereka menghantam kedepan, lawan yang diserang tiba-tiba lenyap. Lalu dari samping ada suara menderu. Sulindari berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk Kepala Besi tahu-tahu sudah berada dekat sekali di belakang Rokonuwu dan siap menubrukkan kepala besinya ke punggung adik seperguruannya itu.
“Roko! Awas punggungmu!” teriak Sulindari.
Sadar bahaya mengancamnya dari belakang Rokonuwu cepat melompat ke depan sambil lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Tapi celaka tangan yang siap memukul itu sempat tercekal tangan kanan Datuk Kepala Besi sementara kepala botaknya tetap terus menderu menyeruduk ke punggung Rokonuwu.
Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk menyelamatkan adik seperguruannya itu gadis ini langsung melompati tubuh Datuk Kepala Besi. Kedua tangannya mendorong bagian bahu dan pinggang sang datuk. Sulindari memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu namun kini dia yang masuk ke dalam perangkap lawan. Begitu tubuhnya terdorong keras ke samping, Datuk Kepala Besi cepat menangkap salah satu tangan gadis itu.
Keduanya jatuh saling tumpang tindah dan terguling beberapa kali. Ketika gulingan itu berhenti dan Sulindari berusaha bangun dengan cepat sambil memukul dada Datuk Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah kaku, tangannya tak bisa bergerak. Ternyata sewaktu terguling-guling tadi Datuk Kepala Besi sempat menotok tubuhnya.
“Ha ha ha! Diatas tanah saja kau sudah menunjukkan kehebatanmu berguling-guling! Di atas ranjang kau pasti lebih hebat dan binal!” Datuk Kepala Besi tertawa bekakakan.
“Manusia bejat! Lepaskan totokanku! Jika kau laki-laki mari bertempur sampai seribu jurus!” teriak Sulindari.
Datuk Kepala Besi kembali tertawa mengekeh. “Kau sanggup melayaniku sampai seribu jurus?! Ha ha ha! Gadis hebat! Tunggulah, kita nanti akan bertempur di atas ranjang! Ha ha ha!”
“Manusia keji! Mulutmu pantas dirobek!” satu suara membentak. Itulah suara Rokonuwu yang saat itu langsung menyerbu dengan satu cakaran kilat ke arah mulut Datuk Kepala Besi.
Sang datuk anggap remeh serangan ini. Dia julurkan kepalanya. Cakaran Rokonuwu menyambar tepat pada bagian atas kepala. Tapi dia seperti mencakar benda licin dan ketika tubuhnya terpuntir akibat dorongan bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak sanggup mengelakkan jotosan yang dilepaskan lawan ke arah lambungnya.
Rokonuwu mengeluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak, jatuh terkapar di tepi danau. Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai kepala malah masuk ke dalam air membuatnya megap-megap dan sulit bernafas. Dengan susah payah pemuda ini berusaha menyeret tubuhnya sendiri keluar dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi untuk berdiri ataupun duduk tak sanggup dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos lawan seperti pecah mendenyut sakit bukan kepalang.
Di bagian lain Djarot tampak terbujur mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang cidera berat membuatnya tak sanggup berdiri.
Datuk Kepala Besi berdiri bertolak pinggang. “Kini membunuh kalian berdua semudah membalikkan telapak tanganku!” katanya seraya memandang pada Rokonuwu lalu pada Djarot. “Tapi... sebelum kalian menghadap malaikat maut, aku ingin menyuguhkan satu hiburan luar biasa bagi kalian berdua!”
“Apa yang hendak kau lakukan manusia jahat?!” teriak Sulindari.
“Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi satu dengan hatiku! Ha ha ha...! Kau tenang-tenang sajalah. Sebentar lagi kau akan kubawa ke sorga!”
“Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani menyentuh adik seperguruanku!” berteriak Djarot dari tempatnya terbujur.
Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat Djarot terkapar, lalu membungkuk dan bertanya; “Anak muda, pernahkah kau melihat tubuh gadis itu tanpa pakaian...?”
“Bangsat! Kau benar-benar terkutuk! Kau dajal!” teriak Djarot.
Datuk Kepala Besi tepuk-tepuk muka Djarot lalu tinggalkan pemuda itu. Dia pergi mendapatkan Rokonuwu dan disini mengajukan pertanyaan yang sama.
“Iblis! Kau Iblis bukan manusia!” desis Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia melangkah mendekati Sulindari. Lalu duduk di samping si gadis dan mulai mengusap-usap wajah Sulindari.
“Jahanam terkutuk!” teriak Sulindari. Dia berusaha menggigit tangan lelaki itu tapi tak berhasil.
Djarot dan Rokonuwu sama-sama berusaha untuk dapat berdiri guna menolong saudara seperguruan mereka itu. Tapi keduanya tidak mampu bergerak, apalagi berdiri.
“Gadisku cantik... jangan terlalu memaki. Saat ini kau anggap aku jahanam. Sebentar lagi kau tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau akan lengket kemana aku pergi! Ha ha ha!” Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata, “Gadisku cantik, aku akan membuka celanaku! Setelah itu aku akan membuka pakaianmu! Nah kau suka bukan...?” Habis berkata begitu si kepala botak ini benar-benar membuka celana hitamnya.
Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk Kepala Besi tanpa pakaian sama sekali kini membungkuk meneduhi tubuhnya dengan nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak ketika sang datuk merenggut robek baju birunya dengan kasar.
Tiba-tiba nafas sang datuk yang memburu seperti tertahan. Beberapa langkah di hadapannya, dekat semak belukar dia melihat satu benda hitam bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai celana hitam. Dia berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana itu ternyata tak ada lagi disitu.
“Itu pasti celanaku...” desis sang datuk. “Kenapa bisa menyangkut di semak belukar sana? Aneh!”
Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang dalam kegelapan malam.
“Kurang ajar! Apa ada setan yang berani mempermainkanku?!” Datuk Kepala Besi memandang lagi berkeliling. Djarot dan Rokonuwu dilihatnya masih terbujur di tempat semula. “Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!” berkata Datuk Kepala Besi sambil mengusap dada Sulindari. “Ada mahluk yang berani mempermainkanku!”
Datuk Kepala Besi berdiri lalu melangkah mendekati semak belukar. Hanya tinggal beberapa langkah saja lagi dari celananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba celana itu berkelebat lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya celana hitam itu, tiba-tiba sesuatu menyambarnya. Ternyata celananya sendiri.
“Keparat!” Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekor ular tiba-tiba celana itu melesat ke bawah. Salah satu ujung kaki celana mematuk ke bawah perutnya. Dan terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi bagian bawah tubuhnya.
Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa, “Gundul jelek! Apakah burung kakak tua mu dipatuk kodok?! Ha ha ha!"
“Bangsat minta mati! Siapa yang berani mempermainkanku!” bentak Datuk Kepala Besi marah sekail.
“Aku si pemilik kodok!” terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak. Suara tawa itu datang dari bawah pohon di tepi danau.
Ketika sang datuk berpaling ke arah situ dilihatnya tegak bertolak pinggang seorang pemuda berpakaian putih, memegangi celana hitamnya yang rupanya telah diikat dengan sehelai akar gantung. Saking marahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat ke arah pemuda itu.
“Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpa pakaian! Ini! Pakai dulu celanamu yang bau busuk ini!” Pemuda di bawah pohon lalu lemparkan celana hitam yang dipegangnya.
Lemparan celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut sekali ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung lehernya seperti hendak mencekik. Sambil memaki si botak ini angkat kedua tangannya ke atas lalu...
"Brettt...!"
Celana itu robek panjang di bagian tengahnya. Sang datuk campakkan celana hitamnya ke tanah. Lalu sambil mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia mau berpikir, jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi benar-benar diselimuti kemarahan hingga otaknya mana mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi langsung menghantam dengan tangan kanan. Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda. Tapi dengan membuat gerakan sedikit saja, orang yang dipukul berhasil mengelakkan serangan sang datuk hingga dia menjadi tambah marah. Dia kembali menyerbu dengan serangan beruntun yaitu dua pukulan dan satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi juga mengeluarkan deru angin yang deras tanda berisi tenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan semua serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan, Datuk Kepala Besi keluarkan kepandaiannya berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah berada di samping kiri, melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda.
Yang diserang menangkis dengan melintangkan lengan kiri di samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir terpekik kesakitan. Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan sakit, begitu tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya ke bawah. Pinggiran tangan kanan sang datuk membabat laksana tebasan pentungan besi.
"Bukkk...!"
Hantaman tangan itu mendarat dibahu kiri pemuda berpakaian putih. Tak ampun lagi pemuda ini langsung melosoh dan tersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh dalam hati. Disaat ketiganya tak berdaya seperti itu, munculnya pemuda itu sungguh sangat mereka harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botak itu. Sampai saat itu karena berada di tempat yang gelap dan jauh dari nyala api perkemahan baik Djarot maupun Rokonuwu serta Sulindari tidak dapat melihat wajah si pemuda jadi tidak bisa mengetahui siapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan penuh nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan ke arah kepala pemuda baju putih.
“Mampus!” teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.
"Wuttt...!"
Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-tiba sang datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru disadarinya kalau saat itu pergelangan kakinya telah berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari cengkeraman lawan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke udara. Dalam gelapnya malam tubuh itu kemudian jatuh mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-megap. Untung dia bisa berenang lalu berusaha mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana terbakar. Orang yang mengaku raja diraja rimba persilatan pantai selatan ini baru sekali itu diperlakukan orang seperti itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitu naik ke darat, langsung dia menekuk leher lalu menyerbu ke arah pemuda berpakaian putih.
Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat celaka oleh serangan kepala yang sudah diketahuinya kedahsyatannya itu segera berteriak memberi ingat.
“Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala Besi...!”
“Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku mau coba sampai dimana kerasnya kepala botak monyet telanjang ini!” terdengar pemuda berpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi terkejut ketika mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba saja ketiganya ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara orang itu.
Sulindari yang ingat lebih dulu dan langsung saja gadis ini berteriak, “Wiro! Kaukah itu!”
“Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!” menjawab si gondrong berpakaian putih.
“Hati-hati Wiro! Kepala manusia itu berbahaya luar biasa!” berseru Rokonuwu.
“Justru aku hendak mencoba!” Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu Datuk Kepala Besi telah berada di depannya dengan kepala botaknya siap dihantamkan ke pertengahan dada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini jika dilancarkan dalam bentuk dorongan telapak tangan merupakan benteng pertahanan yang ampuh karena sanggup mengeluarkan angin deras menyongsong serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka jangankan kepala manusia, tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan dengan pukulan sakti inilah Wiro hendak menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekali kepalanya akan menjebol hancur dada si pemuda. Sebaliknya murid Sinto Gendeng yakin pula kalau pukulan saktinya akan menghantam pecah kepala botak lawan. Dalam sama-sama yakin begitu tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras di pertengahan kepala Datuk Kepala Besi.
"Bukkk...!"
Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanya terdongak dan tubuhnya mencelat dua tombak, jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan kanannya seperti menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan kanannya sampai sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dan kemerahan.
“Gila betul!” seru Wiro sambil garuk-garukkan tangan kirinya ke kepala penuh tidak percaya tapi diam-diam juga merasa kagum. Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini sanggup menjatuhkan berbagai tokoh silat kawakan, kini sama sekali tidak mempan hanya menghadapi sebuah kepala manusia. Kepala botak buruk pula.
Dihadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri sambil mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro diapun merasa heran. Seumur hidupnya tak satu pukulan lawanpun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itu dia hampir tak percaya ketika melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. “Tangan Itu seharusnya hancur!” desis Datuk Kepala Besi.
“Orang muda! Jelaskan siapa dirimu!” tiba-tiba sang datuk membentak.
“Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting ialah jawab pertanyaanku! Apa alasanmu menuduh tiga sahabatku ini sebagai orang-orang yang telah mencincang mayat di lereng Merbabu!”
“Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian menerima kematian!” Berkata sang datuk sambil bertolak pinggang.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!” ujar Wiro pula. “Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid Kiyai Djoko Bening ini?!”
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung. “Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyai ku!”
“Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaan ku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang ketiga! Apa sangkut pautmu dengan korban yang dipotong sebelas itu?!
“Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!” teriak Datuk Kepala Besi lalu dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak siap melabrak tubuh lawannya. Kali ini di bagian perut.
Sesaat Wiro berpikir apakah akan menghantam saja si botak ini dengan pukulan Sinar Matahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya. Sambil menyeringai pendekar ini melompat tinggi ke atas. Tangan kanannya menyambar seutas akar gantung sebuah pohon yang panjangnya lebih dari dua tombak. Selagi masih melayang di udara dia membuhul salah satu ujung akar gantung itu dan begitu turun dia telah memegang seutas tali penjerat.
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk Kepala Besi menyerang dengan kepalanya. Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika di depan sana dilihatnya lawannya terpeleset dan jatuh tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir panjang lagi sang datuk melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang kemudian terjadi benar-benar tidak disangkanya.
Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini dilakukannya lain tidak agar dia bisa berada lebih rendah dari lawan dan memiliki keleluasaan untuk membidikkan tali penjeratnya.
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tiba dia sempat melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di lain kejap dia merasakan sesuatu menjerat kepala anggota rahasianya. Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriak kesakitan setinggi langit ketika Wiro sambil tertawa gelak-gelak menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
“Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Datuk Kepala Besi.
“Berani kau berteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakak tua mu” hardik Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu.
Kembali sang datuk menjerit setinggi langit. Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itu dibetot putus, itu yang terjadi dengan dirinya hingga mau tak mau dia terpaksa berhenti memaki dan tak berani bergerak.
Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak berdaya dan ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-senyum.
“Benar-benar sableng murid nenek gendeng ini!” kata Djarot dalam hati.
“Datuk Kepala Botak...!” ujar Wiro.
“Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!” Datuk itu menjerit karena kembali Wiro menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
“Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih! Kehilangan burungmu atau memberi keterangan!”
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya, “Keterangan apa yang kau inginkan?!”
“Apa hubunganmu dengan mayat dipotong-potong itu?!”
“Aku tidak punya hubungan apa-apa!” sahut Datuk Kepala Besi.
“Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening?!” Wiro mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
“Aku dibayar orang!”
“Siapa orang yang membayarmu?!” yang bertanya dengan membentak itu adalah Djarot.
“Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal dari desa Klingkit mendatangiku! Menyerahkan sejumlah uang dengan tugas membunuh dua orang pemuda dan seorang dara berpakaian serba biru yang diketahui adalah murid-murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwa ketiga orang Itu telah melakukan pembunuhan atas diri seorang gadis lalu mencincang mayatnya dan mencampakkannya di lereng gunung Merbabu...”
“Apa kau tidak menanyakan siapa nama-nama mereka?!”
“Tidak, karena aku tidak perduli...” sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya setiap saat mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat bergerak Wiro yang sudah tahu gelagat cepat membentak dan mengedut akar gantung.
“Lama-lama bisa putus milikku ini!” membatin sang datuk sambil menahan sakit.
“Dua orang desa Klingkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di gunung Merbabu itu?!” yang mengajukan pertanyaan adalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng. “Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu! Aku sudah memberi keterangan! Sekarang lepaskan jeratan tali celaka ini! Lepaskan!” berteriak Datuk Kepala Besi.
“Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendak kau lakukan terhadap kedua murid Kiyai Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak kehormatan gadis itu lebih keji dan lebih terkutuk! Aku tidak bisa memberi ampunmu untuk yang satu itu. Dari pada di kemudian hari kau masih gentayangan dengan nafsu bejatmu, lebih baik sekarang-sekarang ini dilakukan pencegahan!”
“Apa maksudmu...?” tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.
“Sesuai permintaanmu, tali penjerat ini akan kulepaskan!” Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng tarik akar gantung itu kuat-kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus langit di kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan kepalanya dengan bulu tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.
“Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!” terdengar suara Wiro.
“Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah pembalasan ku! Aku bersumpah membunuhmu dan turunanmu!”
“Tua bangka pikun!” menyahut Wiro. “Kawinpun aku belum, bagaimana aku punya turunan! Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!”
“Jahanam! Keparat...!” teriak Datuk Kepala Besi lalu bangkit dan lari terbungkuk-bungkuk.
Karena keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda perjalanan dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa ke tempat kediaman Kiyai Djoko Bening di puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko Bening memberi tahu bahwa satu minggu setelah mereka meninggalkan gunung Merbabu ada beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipaten terdekat mendatangi tempat kediamannya untuk menyaksikan mayat potong sebelas itu.
Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan kehilangan anak gadis masing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang datang itu walau wajah mayat tak lagi bisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu sama memastikan bahwa korban bukan anak gadis mereka.
“Rupanya kabar ditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah tersebar ke pelbagai penjuru...,” ujar Wiro.
“Apa yang harus saya lakukan sekarang Kiyai?” bertanya Sulindari.
“Betul, sayapun perlu petunjukmu,” menyambung Wiro Sableng.
“Memang, kini hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan untuk meneruskan penyelidikan, mencari tahu siapa adanya korban dan paling penting mencari siapa pelaku pembunuhan yang keji ini!” menjawab Kiyai Djoko Bening. “Namun hari ini kalian berdua tetap disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotaraja untuk melihat korban. Tiga hari lalu seorang utusan orang penting itu datang untuk melakukan peninjauan. Paling lambat besok menjelang tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap disini dulu sampai mereka datang. Disamping itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot dan Rokonuwu, Sulindari...”
“Kalau begitu kata Kiyai, saya menurut...” jawab Sulindari.
“Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro meninggalkan Sleman sepuluh hari lalu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!” kata Tumenggung Brojo Menggolo sambil melangkah mundar mandir dalam kamar tidurnya yang besar sementara istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
“Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?” bertanya Retnoningsih.
“Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Damar Bintoro! Sudah sejak dulu aku tidak suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon suami yang paling cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Hanya kebetulan saja ayahnya jadi penasihat Patih Kerajaan...”
“Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu...”
“Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kawin lari. Karena dia tahu aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!”
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu berkata, “Sulit bagiku mempercayai bahwa Damar Bintoro mau melakukan apa yang kau katakan itu...”
“Lalu kemana dia menghilang? Dan kemana lenyapnya anak gadis kita?!” tukas Tumenggung Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak lalu berkata, “Kangmas, kalau ada orang yang harus dicurigai, menurut hematku orang itu adalah Sangkolo Pratolo, guru silat Sintomurni...”
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar kata-kata istrinya itu. “Eh, mengapa kau punya pikiran seperti itu, istriku...?
“Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo dulunya? Seorang kepala penjahat yang merampok dan membunuh, menculik dan merusak kehormatan anak gadis atau istri orang. Kemudian setelah dijebloskan dalam penjara Kerajaan selama sembilan tahun, dia bertobat memulai hidup baru yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakah dia tidak pantas dicurigai...?!”
“Aku sudah memanggilnya. Kita sudah bicara padanya. Jika dia memang menculik anak kita, pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah dia salah seorang yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni...“
“Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat seorang perempuan di lereng gunung Merbabu beberapa waktu lalu...” Bertanya Surti Retnoningsih.
“Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan mayat itu...”
“Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana untuk menyelidik dan mencari tahu? Apakah prajurit itu sudah kembali...?”
“Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu ternyata telah mengawetkan jenazah Itu...”
“Kalau begitu perajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!” ujar Retnoningsih.
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng. “Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu...” Sang Tumenggung tidak meneruskan kata-katanya.
“Lalu apa kangmas...?”
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. “Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu mengerikan...”
“Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku kangmas!”
“Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-potong menjadi sebelas bagian...”
“Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?” desis istri sang Tumenggung. Dia terdiam beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya. “Kangmas Menggolo, kita harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan-jangan...” Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua pipinya.
“Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke puncak Merbabu? Jangan mencari penyakit baru Retno!” ujar Tumenggung Brojo Menggolo.
“Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunung pun akan kudaki demi mencari kejelasan mengenai diri anak kita...”
“Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu itu, biar aku dan Sangkolo Pratolo saja yang pergi kesana...“
“Tidak kangmas. Aku harus ikut... Aku harus ikut...”
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas dalam akhirnya berkata, “Jika itu maumu baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal. Mungkin Sangkolo Pratolo akan kuajak serta...” Lalu Tumenggung Itu keluar dari kamar.
Kyai Djoko Bening, Wiro dan Sulindari sama-sama berdiri ketika rombongan dari Kotaraja sampai di depan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan itu terdiri dari sang Tumenggung sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakan baju ringkas dan celana panjang, lengkap dengan setengah lusin pengawal serta guru silat Sangkolo Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling menghormat Kiyai Djoko Bening langsung berkata, “Beberapa hari lalu utusan Tumenggung telah datang kemari untuk menyelidiki mayat yang ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu Tumenggung telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul begitu...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya mendahului bicara.
“Kami ingin melihat mayat itu...”
“Saya tidak berani menolak. Tapi apakah jeng ayu mempunyai keberanian melihatnya? Lain dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?”
“Apakah jenazah itu ada di dalam rumah?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
“Saya akan membawanya keluar,” kata Kiyai Djoko Bening. "Tapi sebelumnya Tumenggung dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari Kotaraja sejauh itu tentu meletihkan dan dahaga...”
“Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus segera kembali ke Kotaraja...” Kata Surti Retnoningsih yang sudah tidak sabaran.
“Jika begitu keinginan Jeng Ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanya ke langkan sini. Harap Tumenggung dan istri sudi menunggu.”
Habis berkata begitu Kiyai Djoko Bening masuk ke dalam. Diam-diam Wiro memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah Tumenggung Brojo Menggolo tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin, menunggu dengan segala ketabahan.
Sulindari merupakan satu-satunya orang yang paling tenang. Kedua tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di ujung kiri langkan sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid Pendekar 212 yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang melinting rokok itu gemetaran.
Ketika Kiyai Djoko Bening melangkah keluar membawa sebuah peti kayu yang cukup besar, suasana di tempat itu nyaris sehening di pekuburan. Dengan hati-hati Kiyai Djoko Bening meletakkan peti kayu di pertengahan langkan. Lalu dia berpaling pada Tumenggung dan berkata,
“Tumenggung dan istri, silahkan naik ke langkan untuk menyaksikan sendiri...”
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu dengan segala ketegaran tapi dada berdebar keras perempuan ini melangkah menaiki tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya mengikuti.
Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya lalu ikut naik ke atas langkan. Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran langkan, tak ada yang berani naik. Sulindari dan Wiro tetap berdiri di halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya serta guru silat Sangkolo Pratolo berdiri mengelilingi peti kayu yang terletak di pertengahan langkan dalam keadaan terduduk. Setelah memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Kiyai Djoko Bening kemudian membungkuk. Perlahan-lahan penutup peti kayu itu dibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari beberapa mulut. Tumenggung Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua langkah. Sangkolo Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa berkesip sanggup membunuh orang, menyaksikan isi peti itu tetap saja dia mengernyitkan kening dan dingin kuduknya.
Akan halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan. Suaminya buru-buru menolong, menyandarkannya ke dinding.
“Kau tak apa-apa Bune...?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Masih sambil memegangi istrinya Tumenggung Menggolo kembali memandang ke arah peti lalu tiba-tiba saja dia berkata setengah berteriak, “Itu bukan Sintomurni! Bukan puteriku!”
“Kau pasti betul Tumenggung...?” tanya Kiyai Djoko Bening.
“Pasti sekali! Pasti sekali...”
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadi kelihatan seperti mau pingsan bangkit berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-bagian tubuh lainnya.
“Anakku...anakku...!” jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. “Itu anakku! Itu Sintomurni...!” Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
“Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!”
“Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak kita mas! Anak kita...!”
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. “Bune...! Setan apa yang masuk dalam dirimu hingga mayat itu kau katakan anak kita...?”
Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling pada Sangkolo Pratolo, “Siapkan kuda! Kita kembali ke kota saat ini juga!” memerintahkan Tumenggung itu.
Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menarik lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro mengeluarkan sebuah benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya,
“Gusti Ayu, apakah kau mengenali anting-anting ini...?”
Surti Retnoningsih turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting perak di tangan Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata, “Itu... itu anting-anting Sinto….”
“Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?” bertanya Sulindari yang tegak disebelah Wiro seraya memperlihatkan gelang perak berukiran kepala ular yang melingkar di lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik, “Gelang itu! Gelang perak kepala ular! Itu juga milik puteriku! Aku yang menyuruh buatnya pada pandai perak di Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana kalian mendapatkan perhiasan itu?!”
“Anting ini saya temukan dalam kain kuning pembungkus mayat ketika ditemukan di lereng gunung,” menerangkan Wiro.
“Dan gelang perak ini sengaja kami ambil dari lengan jenazah setelah sampai disini,” berkata Sulindari.
“Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu Tumenggung Brojo Menggolo!” kata Kiyai Djoko Bening.
"Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!” teriak Tumenggung Menggolo. Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar ke tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo Pratolo. Lalu berkata, “Sebaiknya segera dipersiapkan untuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu menguburkannya!” Lalu pada Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. “Tumenggung, kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti ini...”
Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. “Walau Sintomurni hanya anak tiriku,” katanya, “Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke Kotaraja dan diurus pemakamannya...”
“Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung,” kata Kiyai Djoko Bening perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Retnoningsih. “Puterimu itu meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan...”
“A... apa... Puteriku hamil...?!” Sepasang mata Tumenggung Brojo Menggolo membeliak. Dia berpaling pada istrinya.
Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat mendengar keterangan Kiyai Djoko Bening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini dia benar-benar pingsan.
“Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!” teriak Tumenggung Brojo Menggolo tiba-tiba seraya mengepalkan tinju kanannya.
“Pasti Damar Bintoro yang melakukannya! Dia menghamili Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi Damar Bintoro! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!”
Malam sangat gelap, pekat menghitam membungkus tempat dimana dua penunggang kuda itu mengadakan pertemuan hingga wajah keduanya sulit dikenali.
“Ada hal mendesak hingga kau meminta pertemuan ini?” Penunggang kuda di sebelah kanan bertanya.
“Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranak itu tidak ada di tempat kediamannya. Menurut pemilik rumah dia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya. Berarti saat lenyapnya hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro...”
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin membasahi wajahnya. “Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana kalau kuminta kau mencari keduanya lalu membereskannya...”
“Saya mulai berpikir-pikir...”
“Kau mulai berpikir-pikir katamu? Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat hal itu. Jika kau masih menginginkan jabatan itu perintahku harus kau lakukan. Kalau tidak nasibmu pun akan masuk dalam daftar hitamku! Jangan lupa kau ikut terlibat banyak dalam urusan ini!”
“Saya mengerti. Kalau begitu izinkan saya pergi sekarang...”
“Jika kau ingin bicara, kau bisa datang ke rumah. Tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti ini. Justru jika ada yang melihat bisa tambah tidak beres urusan ini. Kau mengerti...?”
“Saya mengerti...”
“Kau boleh pergi sekarang!”
Penunggang kuda disebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu. Yang di sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda. Satu pikiran buruk mampir di benaknya.
“Aku khawatir manusia satu ini apakah benar-benar bisa dipercaya terus...” berpikir sampai disitu maka diapun berseru. “Tunggu dulu!”
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu orang yang datang menyamparinya. “Ada apa lagi...?”
“Tidak apa-apa. Aku pikir dalam menjalankan pekerjaan mu pasti kau membutuhkan sejumlah uang. Terima ini...”
Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuah kantong berisi uang. ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan kanan yang tadi menyelinap ke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksana kilat dalam kegelapan malam. Sebilah keris luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang tadi. Tubuhnya langsung terhuyung, lalu jatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada yang tembus sampai ke jantungnya.
“Manusia jahanam. Manusia busuk terku...” Makian itu hanya sampai disitu karena nyawanya keburu putus.
Dibalik semak belukar yang sangat rapat, terdengar suara perempuan memaki halus, “Kenapa kau larang aku mencegah keparat itu membunuh saksi penting yang kita perlukan itu...?”
Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. “Jangan bicara terlalu keras. Kau tak usah khawatir...”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!” berbisik lagi suara perempuan tadi. Kali ini menunjukkan rasa gemas.
“Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita masih punya beberapa saksi yang bisa mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu biar mampus duluan. Mungkin itu hukaman yang setimpal baginya!”
“Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari tahu dimana beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranak itu...”
“Tunggu, jangan terburu-buru Sulin,” bisik Wiro seraya memegang pinggang murid Kiyai Djoko Bening Itu. “Masih ada satu kejadian baru lagi di tempat ini.”
“Aku mendengar ada orang berkuda mendatangi. Masih jauh memang. Tapi sebentar lagi kita akan melihatnya...”
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang kuda yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain muncul dua ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki berkepala botak, mengenakan celana hitam tanpa baju. Sehelai kain hitam menyerupai selendang melingkar dilehernya. Di atas punggung kuda kedua tampak terbujur melintang dua sosok tubuh yang tidak bergerak-gerak, entah mati entah pingsan.
“Siapa kau yang berani menghadangku?!” teriak lelaki yang baru saja melakukan pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang merasa pernah melihat atau kenal dengan orang ini sebelumnya. Lalu dia ingat dan setengah berseru, “Kau! Bukankah kau Datuk Kepala Besi?!”
Si botak lepas tertawa panjang. “Bagus kalau kau masih mengenaliku...”
“Apa maksudmu menghadangku di tempat ini. Jelas kau telah mengikuti sejak beberapa waktu lalu...!”
“Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua orang di atas kuda sana...?” si botak balik bertanya.
Orang yang ditanya membuka matanya lebar-lebar, memandang tajam-tajam dalam kegelapan. “Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil…!” Lelaki itu berkata dengan suara bergetar. Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.
“Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu. Ingat, kau juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid Kiyai Djoko Bening... ingat?! Ayo jawab!”
“Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudah jadi mayat...?”
“Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat. Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk berjaga-jaga kalau kau mungkir...”
“Maksudmu...?”
“Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas yang kujalankan...”
“Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid Kiyai Djoko Bening itu tidak sanggup kau bunuh! Tugasmu tidak terselesaikan! Sekarang minta tambahan uang! Gila! Kerugian apa maksudmu Datuk Kepala Besi?!”
Sebagai jawaban lelaki botak itu melompat turun dari kudanya. Dia melangkah dekat-dekat ke hadapan orang di depannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan ke bawah.
“Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggota tubuhku paling berharga putus!” teriak Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkan anggota rahasianya yang buntung karena dibetot lepas oleh Wiro beberapa waktu lalu.
Orang di atas kuda tampak mengernyit penuh tegang. Dan jadi marah ketika terdengar Datuk Kepala Besi berkata, “Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagai ganti kerugian!”
“Gila! Kau gila!” teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. “Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan menjadi saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku membawa mereka menghadap patih di Kotaraja, habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!”
Orang diatas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris luk tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala Besi tenang saja malah tertawa mengejek.
“Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku tahu kalau kau pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-coba berani melawanku Tumenggung!”
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itu disadari sepenuhnya oleh Tumenggung Menggolo. Tapi dari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta. Dari balik pakaiannya Tumenggung mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak diserahkannya pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya pada Datuk Kepala Besi.
“Ini ambillah. Ada sepuluh uang perak di dalamnya. Aku tak punya uang lagi!”
Si botak tertawa pendek lalu mendengus dan kepretkan kantong yang dilemparkan ke arahnya hingga jatuh ke tanah. “Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa akupun akan memutus barang di bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!” Lalu si botak ini melangkah mendekati Tumenggung yang duduk di atas kuda itu dengan kedua tangan terpentang.
“Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya. Aku akan berikan lagi lima ringgit emas begitu sampai di rumah. Hanya itu yang bisa kuberikan! Sekalipun kau bunuh aku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, kau bisa menggantikannya dengan benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu misalnya... “
“Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi kau harus melakukan apa yang kukatakan!”
“Serahkan dulu uang itu Tumenggung!” ujar si botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si botak menyambuti lalu berkata, “Nah sekarang katakan apa yang harus kulakukan!”
“Bunuh dua bekas pembantuku itu!” sahut Tumenggung Menggolo pula.
“Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya mampu memberikan sepuluh ringgit emas, siapa sudi!”
“Dengar, aku akan berikan jabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kurasa itu lebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, jabatan apa itu?” tanya Datuk Kepala Besi.
“Kedudukan penting di jajaran tokoh-tokoh silat Istana!”
Si botak berpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawa dia berkata, “Baik, kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong sebagaimana kau melakukannya terhadap anak tirimu itu!”
“Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak perlu kau bicara seperti itu! Aku harus pergi sekarang! Jangan lupa membereskan dua bekas pembantuku itu!”
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam keadaan tak bisa bergerak karena ditotok.
“Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi untuk mengurangi penderitaan, biar kalian tetap dalam keadaan tertotok!”
Datuk Kepala Besi angkat tangan kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belum sempat pukulan mematikan itu mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan menangkis dan memukul lengan Datuk Kepala Besi. Si botak ini terjajar setengah langkah. Tikil lolos dari maut. Di sebelahnya terdengar suara mengeluh pendek. Namun di saat itu pula ada yang menyerangnya. Sambil menghindar Datuk Kepala Besi berusaha melihat siapa adanya si penyerang.
“Gadis jelita! Kau rupanya!” seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang menghalangi pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko Bening yang tempo hari hampir sempat digagahinya kalau tidak muncul Pendekar Wiro Sableng.
“Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau berserikat dengan Tumenggung keparat itu dan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidak berdosa serta berada dalam keadaan tidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!”
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab, “Sabar anak cantik! Kalau kau yang memerintahkan aku untuk tidak membunuh dua pembantu itu, pasti aku patuh menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong. Kegairahan ada tapi kemampuan tidak ada! Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda gondrong itu!” Habis berkata begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah.
Justru saat itu pula Sulindari menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu. Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya dibungkukkan menyambut serangan sang dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan tendangannya. Tangan kanannya kini yang dihantamkan ke leher lawan melancarkan pukulan yang mengandung aji kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus.
Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini masih kalah cepat. Kedua tangan lawan telah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan secara kurang ajar sang datuk susupkan mukanya ke bagian bawah perut Sulindari. Keduanya lalu jatuh bergulingan. Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala Besi untuk menghimpit tubuh sang dara, menciumi wajah dan menggerayangi dadanya dengan penuh nafsu.
“Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!” Satu suara mendamprat lalu satu tendangan menghantam rusuk Datuk Kepala Besi.
Tak ampun lagi datuk ini terpental sampai dua tombak. Empat tulang rusuknya remuk hancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk bagian-bagian tubuh di sebelah dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala Besi masih sempat bangkit berdiri dengan mata berkilat-kilat dalam kegelapan.
Ketika dia melihat siapa adanya pemuda gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera balikkan diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu, Sulindari sudah menunggu dengan sepotong cabang kayu sebesar betis. Begitu kayu dihantamkannya ke rahang sang datuk terdengar suara berderak patah.
Datuk Kepala Besi berteriak keras lalu roboh dengan sebagian wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan segala macam pukulan sedang bagian wajahnya tidak mempunyai kekebalan apa-apa.
Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. “Bangsat itu menjijikkan sekali!” kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi hingga hidung dan sebagian tulang pipi orang ini melesak ke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas pembantu Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih sanggup dan sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah diselamatkan oleh dua orang muda-mudi itu keduanya lantas menyembah-nyembah berulang kali seraya mengucapkan terima kasih.
Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri. Dari kedua orang ini mereka kemudian mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
“Sebagai pembantu di tempat kediaman Tumenggung Menggolo kami diam-diam mengetahui adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika gadis itu hamil Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan...”
“Tunggu dulu!” memotong Sulindari. “Adalah tidak masuk akal kalau Sintomurni mau melayani ayah tirinya itu!”
“Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu dengan semacam obat. Guna-guna!” menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. “Dengan iming-iming sejumlah uang dan kedudukan di Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau menolong Tumenggung yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun beranak Jamilah. Dukun itu dipaksa agar menggugurkan kandungan den ayu. Tapi gagal karena kandungan sudah besar dan janinnya sudah kuat. Den ayu meninggal dunia waktu kandungannya itu digugurkan... Ketika hal itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya Tumenggung datang sendiri ke rumah dukun beranak itu pada tengah malam. Kami diperintahkan ikut. Disitu... di rumah dukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudian dipotong-potong....”
“Siapa yang melakukannya?!” tanya Wiro.
“Sangkolo Pratolo, juga Tumenggung Menggolo...” sahut Randu.
“Manusia-manusia biadab!” desis Sulindari.
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?”
“Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntal dalam sebuah kain kuning. Terlebih dahulu Tumenggung mencacah wajah mayat hingga tak mungkin lagi dikenali. Kami berdua kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru silat Sangkolo Pratolo mayat itu kemudian kami bawa dan buang di lereng gunung Merbabu sebelah selatan...”
“Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi pemuda itu lenyap hampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di Gunung Merbabu. Juga dukun beranak Jamilah itu lenyap dari rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro tidak mengetahui kalau kekasihnya hamil...?”
“Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang pemuda polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi keselamatannya. Orang-orang suruhan Tumenggung berkali-kali hendak membunuhnya secara gelap. Dia lalu bersembunyi disatu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut sembunyi bersamanya karena memang den Damar yang menjemputnya malam-malam. Mereka merencanakan untuk melapor pada Patih Kerajaan, tapi tidak berani keluar dari tempat persembunyian karena orang-orang Tumenggung ada dimana-mana...”
“Kalian tahu dimana tempat persembunyian Damar Bintoro dan dukun beranak bernama Jamilah itu?” tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
“Kalau begitu malam ini juga kalian antarkan kami ke sana,” ujar Sulindari.
“Raden dan Rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkan kami berdua pasti akan melakukannya,” sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan Datuk Kepala Besi ke balik celana hitamnya. Dia juga memungut kantong berisi uang perak.
“Semua uang ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung itu sendiri tak bakal lama umurnya.”
Malam sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari sampai di tempat persembunyian Damar Bintoro serta Dukun beranak Jamilah. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak dalam rimba belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau menginap pada malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba Kayu Ireng ayah Damar Bintoro
“Tampaknya kita kedahuluan orang lain...” bisik Wiro pada Sulindari dari balik semak belukar sambil menunjuk pada dua ekor kuda besar yang tertambat di bawah pohon. Di bagian lain, di sebelah belakang rumah papan kelihatan pula dua ekor kuda.
Randu tiba-tiba berbisik, “Salah seekor kuda yang tertambat disana milik Tumenggung Menggolo...”
“Bagus! Kalau bangsat itu ada disini berarti semua urusan bisa dibikin tuntas!” ujar Sulindari.
Di dalam rumah papan tiba-tiba terdengar suara pekikan perempuan.
“Itu teriakan dukun beranak Jamilah...” memberi tahu Tikil yang mengenali suara perempuan itu.
Lalu menyusul suara bentakan. “Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka kau hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang kau rusak kehormatannya itu? Manusia Iblis! Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan perempuan tua itu!”
“Itu suara den Damar...” Tikil yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo. “Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak muda! Aku memang tak pernah suka padamu! Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul beberapa saat lagi!”
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Wiro dan Sulindari langsung melompat keluar dari balik semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur berantakan lalu bersama Sulindari dia masuk ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu minyak itu.
Dilantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan. Di depannya Tumenggung Brojo Menggolo tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut, seorang pemuda dalam keadaan tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak. Dialah Damar Bintoro, kekasih Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua berjanggut putih yang mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangan kanannya.
“Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruanku menderita celaka! Kau menyebar maut dimana-mana! Kini perempuan tua tak berdaya itu hendak kau bunuh pula! Biar kucopot kepalamu!” Yang berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung menyerbu Tumenggung Brojo Menggolo. Kedua tangannya berkelebat ke arah leher sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan pada saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang tadi hendak ditusukkannya ke leher Jamilah, kini dibabatkannya ke arah kedua tangan Sulindari. Sebagai seorang yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni Ilmu silat tangan kosong dan ilmu golok.
Namun jelas sekali dia hanya memiliki tenaga luar. Kepandaiannya Itu sama sekali tidak ditopang oleh kekuatan tenaga dalam. Ketika Sulindari mengelak dan menghantam dengan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus langsung Tumenggung Menggolo terpental dan terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya sebelah kanan tampak terkoyak robek dan kulit dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan.
Dia tersandar di dinding dan sulit bernafas. Dia berusaha menusukkan goloknya kearah perut Sulindari ketika si gadis kembali menyerangnya tapi dengan mudah murid Kiyai Djoko Bening itu memukul lengan Tumenggung dan merampas goloknya. Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari pada pemiliknya sebagai senjata makan tuan, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Jangan bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang gantungan agar semua orang tahu kebiadabannya!”
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba Kayu Ireng, ayah Damar Bintoro. Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu. Raden Somba melangkah mendekati Tumenggung Menggolo.
Pada saat itulah orang tua berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan bacokan dari samping. Cepat dan ganas ayunan goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa orang tua ini memiliki tenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanya lewat seujung kuku dari kepalanya. Ketika dia hendak balas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lebih dahulu berkelebat. Dorongan tangan kanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke belakang dan sempat terkejut.
“Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket Plumbung bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang Amerto dari gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaum pemberontak. Padahal tujuanmu adalah untuk menutup pengkhianatanmu sendiri. Kaulah yang mengirimkan sejumlah senjata untuk kaum pemberontak di selatan!”
“Ha ha ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!” berkata Raden Somba. “Sudah sejak lama aku mencurigai gerak gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos lagi!” Raden Somba berpaling pada Wiro. “Pendekar gagah, teruskan perkelahianmu dengan pengkhianat ini! Tapi ingat seperti kawannya yang satu itu dia harus ditangkap hidup-hidup!”
Raden Somba kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo Menggolo. Saat itu selain menderita cidera dan kesakitan akibat pukulan Sulindari, Tumenggung Menggolo memang sudah pasrah karena sadar tak bisa berkelit lagi.
“Aku pasrah menerima segala hukuman, Raden Samba!” katanya dengan suara serak. Terbayang dipelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya itu. Tumenggung Menggolo tekap wajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis sesenggukan.
Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket Plumbung alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari Kerajaan maka dia menjadi kalap. Si jubah kuning ini kirimkan serangan berantai yang ganas berupa dua bacokan dan satu tusukan sekaligus.
Wiro yang mendendam besar akibat kematian para sahabatnya di gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini juga tak kalah kalapnya. Kalau saja dia tidak ingat pesan Raden Somba agar dia tidak membunuh orang itu saat itu rasanya maulah dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuh tua bangka itu sampai lumat.
Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu Wiro mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila. Memang ilmu silat ini sangat cocok dimainkan di tempat yang sempit seperti dalam rumah papan itu. Gerakan kaki tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan yang meliuk-liuk macam orang sempoyongan mabuk tuak.
"Wuttt...!"
Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderu di depan perut Pendekar 212. Begitu sambaran senjata lawan lewat, Wiro membungkuk ke depan seperti terhuyung hendak jatuh, tapi tiba-tiba kaki kanannya sudah mencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak disusul jerit Dewa Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya sudah lebih dulu jatuh di lantai. Tubuhnya tersandar miring ke dinding papan.
Wiro melepaskan totokan di tubuh Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri. Tubuh perempuan tua ini masih gemetaran dan wajahnya masih pucat pasi ketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat ini delapan orang segera masuk lalu menggiring Tumenggung Menggolo dan Sangket Plumbung keluar.
Begitu totokannya lepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro Sableng dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi ayahnya dan berlutut di hadapan orang tuanya itu.
“Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus segera kembali ke Kotaraja!” berkata Raden Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. “Muda mudi gagah. Kami berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan karena berhasil membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama Patih dan Sri Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian akan menyaksikan bagaimana hukum dan keadilan dijalankan disana!”
Wiro memandang pada Sulindari. Karena gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun menjawab, “Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan, masih ada urusan lain yang perlu kami selesaikan. Kami minta diri saja sekarang...”
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia melirik pada Sulindari dan diam-diam merasa cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan tempatnya berpikir sampai disitu. Karena tahu bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka dia pun menganggukkan kepala dan berkata,
“Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas dari segala urusan kalian. Selamat jalan kalau begitu!”
Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi penghormatan hingga Wiro dan Sulindari menjadi kikuk membalasnya. Kedua muda-mudi ini lalu tinggalkan tempat itu. Di atas punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan Sangkolo Pratolo dua muda mudi itu bergerak tanpa ada yang bicara.
“Kemana tujuan kita sekarang?” Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.
“Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!” jawab Wiro. Sang dara diam saja.
“Eh, kau tak suka aku antarkan...?” bertanya Wiro.
“Kau sungguhan mau mengantar?” balik bertanya Sulindari.
“Mengapa tidak? Memangnya ada apa...?”
“Hemm... Bertahun-tahun aku berada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat tiap hari tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarang ada kesempatan turun gunung. Mengapa tidak melihat-lihat dunia luar barang dua tiga minggu...?”
“Ah, itu satu rencana yang baik! Apalagi kalau kita jalan sama-sama. Maksudmu begitu?” Sulindari mengangguk.
“Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantik mu mau berkelana bersamaku. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua tiga tahun pun aku bersedia! Ha ha ha...!”
“Tapi ada saratnya Wiro!” ujar Sulindari.
“Eh, apa itu?”
“Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, Aku tak mau jadi mayat terpotong potong!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Jika kau kembali pulang ke tempat guru mu nanti percayalah tubuhmu akan tetap utuh. Bahkan tidak selembar rambutmu pun akan kurang!”
“Kalau begitu, nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku, apakah ada yang kurang atau tidak!”
“Seluruh rambut di tubuhmu...? tanya Wiro pula.
“Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!” Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan Wiro dan bagaimana dia bisa terjebak menjawab seperti itu. “Pemuda kurang ajar!” teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung Pendekar.
Tapi Wiro sudah membedal kudanya lebih dahulu seraya tertawa gelak-gelak dan berkata, “Ha ha ha! Aku akan menghitung rambut di tubuhmu! Seluruh rambut! Asyik... Asyiiikkkkk...!”
SATU
PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi.
Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk sekitar tempat itu yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunung pun kabarnya belum pernah didaki orang atau penduduk setempat.
Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan sebuah perguruan silat yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak pernah dibuktikan orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung terdengar dikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa saja yang mendengarnya.
Aneh karena suara siulan itu keras sekali seperti bukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda di bawah pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun pisau besar. Di tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk menguak semak belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya.
Ketika angin bertiup lagi dan baju di bagian dada si pemuda tersingkap terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah pada dadanya. Angka 212. Tak pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang menonjol di pinggang pakaiannya itu sudah dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit dicari tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba menarik nafas dalam tak ampun perutnya seperti terbalik dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti mau muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan ke hidung. Dia memandang berkeliling. Dari mulutnya lalu terdengar suara mengumpat.
“Bau busuk celaka apa yang menyambar hidungku di tempat ini?!” Dia memandang lagi berkeliling tapi tetap saja tidak melihat benda lain selain pohon-pohon dan semak belukar.
“Gila! Belum pernah aku mencium bau sebusuk ini!” kata Wiro dalam hati. Sesaat dia mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberi tahu kepadanya bahwa bau busuk itu datang dari jurusan kanan.
“Hanya bau busuk sialan! Apakah aku harus menyelidiki?!” si pemuda berpikir sambil garuk-garuk kepala.
Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangan kanan yang memegang potongan ranting dan tangan kiri dia menyibak semak belukar lebat, dia melangkah menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu.
Kali ini tak ada lagi suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan penciuman agar bau busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakin jauh dia melangkah ke jurusan kanan itu, semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya saat itu juga dia membalikkan tubuh.
Mata sang pendekar yang tajam melihat ada beberapa bagian semak belukar di kiri kanan dan di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkin juga binatang yang melewati tempat itu. Agar lebih mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas bagian-bagian rerantingan atau semak belukar yang telah menguak.
Bekas yang telah dirambas orang ini akhirnya membawanya sampai pada suatu tempat yang penuh ditumbuhi keladi hutan. Di antara pohon-pohon keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihat sebuah buntalan besar kain kuning yang penuh dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu seolah-olah hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang ada dalam buntalan kain penuh noda merah itu. Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya terus menatap buntalan kain yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan. Kain kuning bernoda bercak merah. Dan warna merah itu.
“Bercak merah itu...” desis Wiro. “Itu hampir pasti adalah bercak darah! Dan buntalan itu. Itulah sumber bau busuk yang kucium!”
Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja sang pendekar merasakan kuduknya menjadi dingin dan bulu tengkuknya mendadak ikut merinding. Sepasang kakinya terasa berat ketika dilangkahkan mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan yang besar-besar itu.
Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua matanya tak bisa lepas dari buntalan kain kuning. Kira-kira hanya tinggal enam langkah lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba buntalan kain kuning merosot jatuh ke bawah. Satu sosok kaki putih tapi penuh lumuran darah mencuat dari balik buntalan.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke tanah sedang sepasang matanya membeliak.
“Kaki manusia...” desis Wiro tercekik dan tubuh bergetar. Jari-jari tangan kanannya pulang balik mengusap mulut dan tengkuk berulang kali. “Jangan-jangan daerah ini sarangnya para dedemit...”
Tengkuk sang pendekar tambah dingin. “Tapi apa iya dedemit itu betul-betul ada...?” Wiro malah balik bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro akhirnya mampu menguasai rasa takut yang mempengaruhi dirinya lalu kembali melangkah mendekati buntalan kain kuning bernoda darah. Tapi baru saja dia bergerak satu langkah, tiba-tiba semak belukar di samping kanan bergemerisik dan terkuak. Wiro berpaling. Tiga orang berpakaian seragam biru gelap dua pemuda, seorang pemudi muncul, langsung mengurung sang pendekar.
********************
DUA
Di puncak Gunung Merbabu setelah selesai mengimami tiga orang muridnya bersembayang subuh di ruang terbuka di bagian depan rumah kayu, orang tua yang berpakaian selempang kain putih itu memimpin pembacaan doa dan ditutup dengan membaca tasbih.
Kalau biasanya selesai sembahyang subuh si orang tua selalu menyuruh ketiga muridnya untuk melakukan latihan silat serta tenaga dalam maka sekali ini dia memberi isyarat agar murid-muridnya tetap duduk di tempat mereka bersila.
“Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah baik-baik. Aku akan menceritakan sesuatu pada kalian...”
“Mengenai orang-orang gagah di jaman Nabi dan para sahabatnya, Kiyai...?” tanya salah seorang murid yang bernama Djarot.
Orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kiyai menggeleng. “Kali ini tidak, Djarot. Yang akan kuceritakan padamu dan dua saudara seperguruanmu adalah mengenai mimpiku tadi malam...”
“Ah Kiyai bermimpi rupanya!” yang bicara adalah satu-satunya murid perempuan yakni Sulindari. “Apakah Kiyai bertemu dengan seorang Dewi atau seorang Peri...?”
Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga ketiga muridnya tak berani lagi mencoba bergurau.
“Malam tadi dalam tidur aku bermimpi. Seorang gadis yang tidak kukenal datang menunggang kuda. Gadis ini mengenakan pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa sebuah bendera putih di tangan kanannya. Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah. Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.... Tapi justru saat itu aku terbangun...”
Tiga murid terdiam tundukkan kepala. Lalu yang sejak tadi diam yakni murid termuda bernama Rokonuwu berkata: “Kiyai, kalau mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai terganggu, bukankah dulu Kiyai pernah mengatakan bahwa mimpi itu hanyalah bunga tidur yang tak layak dipercaya?”
“Benar sekali katamu itu Roko,” sahut sang Kiyai sambil tersenyum. Sesaat kemudian senyumnya itu pupus. "Tapi mimpiku sekali ini datang sampai dua kali. Ketika aku tidur lagi, mimpi itu muncul kembali. Aku melihat kembali gadis berpakaian kuning aneh dan menunggang kuda itu. Seperti tadi, ditangannya dia membawa sebuah bendera putih kecil yang berlumuran darah. Kali ini dia sempat membuka mulut, berkata padaku. Kiyai... tolong saya... Setelah berkata begitu diapun lenyap. Dan ceritaku tidak hanya sampai disana. Ketika aku bangun untuk kedua kalinya lalu keluar dari kamar dan melangkah ke bagian depan rumah dalam kegelapan menjelang subuh aku melihat ada sesuatu yang bergerak di arah sana...” Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung kanan halaman rumah.
"Di antara semak belukar itu aku melihat bayangan seekor kuda. Lalu di atasnya ada penunggangnya. Dan si penunggang ternyata gadis berpakaian kuning memegang bendera putih berdarah itu. Dia memandang dengan paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi. Ketika aku turun dari langkah ini untuk menghampirinya, kuda dan penunggangnya itu lenyap laksana kabut...”
Mendengar penuturan guru mereka, tiga murid itu mau tak mau sama berpaling ke arah semak belukar yang tadi ditunjuk si orang tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat sementara Sulindari merasakan seperti ada hawa dingin yang merayapi kuduknya.
“Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis penunggang kuda itu. Atau mungkin pernah melihatnya sebelumnya...?” bertanya Djarot.
“Aku, memang aku rasa-rasa pernah melihatnya. Tapi entah kapan dan dimana...” sahut sang Kiyai.
“Apa yang harus kami perbuat kalau begitu Kiyai?” bertanya Sulindari.
“Ada satu keanehan lain yang terjadi di gunung kediaman kita ini, murid-muridku,” jawab orang tua itu. “Sejak beberapa saat lalu telingaku serasa menangkap suara siulan aneh di lereng gunung sebelah selatan. Kalau kukatakan itu siulan manusia mengapa demikian santarnya hingga terdengar olehku lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan pelayangan, aku tak pernah percaya ada setan di gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang pandai bersiul!”
Tiga orang murid itu mengulum senyum mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya memang tidak pernah mendengar suara siulan itu, namun mereka percaya, kesaktian yang dimiliki sang guru demikian luar biasanya hingga mampu menangkap suara yang begitu jauhnya.
Rokonuwu si murid termuda diam-diam merasa ada yang tersirat di balik penjelasan terakhir sang guru Maka diapun berkata, “Jika Kiyai memberi izin, kami bertiga siap untuk menuruni puncak Merbabu, menyelidiki ke sekitar lereng sebelah selatan.”
“Memang itu yang aku ingini murid-muridku. Pergilah menyelidik. Jangan-jangan siulan yang kudengar itu ada sangkut pautnya dengan mimpiku...”
Mendengar kata sang guru ketiga murid yang sama mengenakan pakaian biru gelap itu segera berdiri.
“Kami siap pergi Kiyai...” kata Djarot.
Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari masing-masing, melesat menuju ke lereng gunung sebelah selatan. Dua pemuda dan satu gadis inilah yang kemudian menemui Pendekar 212 Wiro Sableng di lereng selatan gunung Merbabu yang pada saat itu tengah melangkah mendekati bungkusan kain kuning berbecak darah dimana mencuat satu kaki manusia.
TIGA
Untuk beberapa saat Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga orang muda di hadapannya itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik Sulindari ketika gadis ini kaget melihat kaki berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain kuning. Dia kemudian mendekati kakak seperguruannya Djarot lalu berbisik,
“Kak Djarot, ingat mimpi guru mengenai dara berbaju kuning aneh yang memegang bendera putih berlumuran darah...?”
“Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku ingin menyelidiki siapa adanya pemuda berambut gondrong di hadapan kita ini. Dan apa hubungannya dengan bungkusan kain warna kuning itu!” Habis balas berbisik begitu Djarot maju satu langkah mendekati Wiro, lalu menegur secara sopan.
“Ki sanak, siapa kau dan ada keperluan apa berada di tempat ini?”
Wiro tak segera menjawab melainkan memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia tampak terpesona melihat kecantikan sang dara. Melihat saudara seperguruan mereka dipandangi secara seenaknya seperti itu, baik Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel. Yang punya diri malah sudah menegur dengan keras,
“Orang bertanya tak kau jawab! Apakah telingamu tuli?!”
“Eh!” Wiro baru sadar. Sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar dia berkata: “Harap dimaafkan, tentu saja aku tidak tuli. Tapi harap kau suka mengulang pertanyaanmu tadi, sobat...”
Meski jadi tambah jengkel kini tapi Djarot mengulangi pertanyaannya tadi. “Terangkan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini?”
“Aku pengelana kesasar. Dan apa yang kukerjakan disini hampir tidak beda dengan kalian bertiga. Sama-sama heran melihat bungkusan kain kuning berlumur darah itu. Lalu sama-sama tercekat melihat ada kaki yang menyembul dari bungkusan itu.”
“Ki sanak, kau sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakakku!” menukas Rokonuwu. Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke tempat ini?”
“Hemm...” Wiro bergumam dan lagi-lagi menggaruk kepalanya yang berambut gondrong. “Melihat caramu bertanya agaknya kau dan saudara-saudara seperguruanmu ini tentunya bermukim di gunung Merbabu ini. Siapa guru kalian?”
“Ditanya malah balik menanya!” Sulindari jadi penasaran...
“Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk saja. Wiro Sableng. Aku berada disini hanya kebetulan saja. Seperti kataku tadi, pengelana kesasar...”
Karena selama menjadi murid-murid Kiyai sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi itu tidak pernah turun gunung maka mereka tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya si gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu.
“Lalu, mengapa kau membuang bungkusan kuning itu disana?” tanya Djarot pula.
“Bungkusan kain kuning itu? Aku sama sekali tidak membuangnya. Justru aku sampai kemari karena bau busuk yang ditebarnya! Bungkusan itu sudah ada disana ketika aku sampai di tempat ini”. Tiba-tiba Wiro sadar dan bertanya. “Ah, kalian bertiga apakah tidak mencium bau busuk yang keluar dari bungkusan kuning itu?!”
“Kami memang menciumnya. Tapi kami punya obat untuk penangkalnya,” Jawab Sulindari pula.
“Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian tinggi. Boleh aku tahu siapa nama beliau? Lalu kalian sendiri masing-masing bernama siapa?”
“Kami anak-anak murid Kiyai Djoko Bening. Aku Djarot, ini Sulindari dan itu Rokonuwu...” menerangkan Djarot.
“Astaga, kiranya kalian murid-murid orang tua sakti terkenal itu. Nama besarnya pernah kudengar dari mulut orang-orang rimba persilatan walau guru kalian jarang turun gunung. Bukankah Kyai itu yang memiliki pukulan sakti bernama Selangit Tembus Sebumi Putus?!”
Tiga anak murid Kiyai Djoko Bening sama-sama kaget dan saling pandang ketika mendengar Wiro menyebut nama pukulan sakti yang memang dimiliki guru mereka dan yang saat itu tengah mereka rampungkan mempelajarinya.
“Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku ingin menyelidiki isi buntalan kain kuning itu! Kalian mau ikut atau lebih suka jadi penonton?” ujar Wiro.
“Kami ditugasi oleh guru, jadi kami harus turun tangan sendiri!” menjawab Rokonuwu.
“Kalau begitu silahkan kau berjalan lebih dulu sobat,” kata Wiro seraya memegang bahu
Rokonuwu. Tapi sobat Rokonuwu tentu diam-diam merasa jerih. Dia balas mendorong punggung Wiro seraya berkata, “Kau saja yang memeriksa bungkusan itu, sobat. Aku akan membantu!”
Melihat adik seperguruannya tampak ragu-ragu kalau tidak mau dikatakan ngeri, Djarot tanpa banyak menunggu segera melangkah mendahului, diikuti Wiro lalu Sulindari di samping kiri bersama Rokonuwu.
Berada di depan bungkusan kain kuning yang basah oleh dara dan menyembulkan kaki putih mulus, sesaat keempat orang muda itu tertegun memandangi.
“Aku hampir pasti ini kaki perempuan...” bisik Sulindari pada Rokonuwu.
“Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka buntalan kain itu...” berkata Wiro.
Entah mengapa mendadak saja Djarot merasa tubuhnya bergetar dan keluarlah keringat dingin. Dia memberi jalan pada Wiro lalu berkata perlahan, “Sobat, kau saja yang membuka bungkusan itu...”
Wiro garuk-garuk kepala namun akhirnya melangkah juga dan ulurkan kedua tangan, membuka bungkusan kain kuning berdarah. Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang menjadi isinya sungguh mengerikan untuk dipandang. Wiro, Djarot dan dua adik seperguruannya sama-sama tersurut mundur dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.
Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perutnya seperti terbalik-balik dan dari mulutnya terdengar suara mau muntah berulang kali. Gadis ini kemudian tersandar ke sebuah pohon dengan wajah pucat pasi seolah-olah habis melihat setan.
“Gusti Allah...” hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Djarot.
Di atas kain kuning itu bertumpukan potongan-potongan tubuh manusia bergelimang darah mengerikan. Potongan kaki kanan sebatas lutut ke bawah saling tumpang tindih dengan potongan kaki kiri yang dipotong hanya tinggal bagian lutut sampai ke pangkal paha. Lalu ada bagian perut sebatas pinggang. Lalu potongan sepasang tangan serta bagian dada. Terakhir sekali potongan kepala berambut panjang.
Potongan kepala inilah yang paling mengerikan karena jelas tampak bekas dicincang hingga hancur-dan sulit dikenali. Kedua telinganyapun putus. Pada pergelangan tangan kiri tampak melingkar sebuah gelang perak berbentuk ukiran ular yang sebagian tertutup oleh dara yang telah Keseluruhan potongan-potongan tubuh itu berjumlah sebelas potong.
Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh seorang perempuan berkulit putih. Tidak sepotong kainpun menutupi aurat yang teraniaya itu. Karena telah membusuk dapat dipastikan mayat terpotong-potong itu telah sengaja dicampakkan di tempat itu lebih dari satu hari lalu.
Wiro merasakan tenggorokannya kering dan lidahnya kelu. “Perempuan malang! Siapa yang memperlakukannya sekejam ini...” desis murid Sinto Gendeng dengan suara bergetar. Dia berpaling pada ketiga murid Kiyai Djoko Bening.
Sulindari masih tersandar ke pohon. Djarot dan Rokonuwu masih tertegun membeliak seperti orang kena totok. Wiro cepat-cepat membungkus potongan-potongan mayat itu dengan kain kuning kembali. Saat itulah dia melihat sebuah benda berbentuk bulat berwarna keputihan tersepit di bawah salah satu potongan paha. Ketika dipungut benda itu ternyata adalah sebuah giwang terbuat dari perak. Tanpa terlihat oleh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening, Wiro memasukkan anting-anting itu ke dalam saku pakaiannya.
“Ini peristiwa pembunuhan yang harus di usut!” kata murid Sinto Gendeng. “Tapi kita berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-cepat. Bagaimana ini...?” Wiro garuk-garuk kepala.
“Tunggu!” terdengar suara Djarot. “Kejadian ini harus dilaporkan dulu pada guru karena beliau yang menugaskan kami melakukan penyelidikan.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro.
“Potongan mayat harus di bawah ke puncak Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai. Setelah melihat terserah apa yang akan diperintahkannya.”
Wiro geleng-geleng kepala. “Mayat ini bukan kadangku bukan sanakku. Apa yang hendak kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah ini adalah wilayah kediaman kalian. Tapi bagaimana caramu membawanya dalam keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkan dan mengerikan!”
Djarot tak menjawab. Dia melangkah mendekati sebuah pohon berbatang kecil sekitar pergelangan tangan. Sekali pemuda Ini menggerakkan tangannya bagian bawah batang pohon itu patah. Begitu pohon tumbang, sekali lagi Djarot menghantam batang pohon di sebelah atas. Kini dia mendapatkan sebuah potongan kayu. Ujung kayu itu disusupkannya pada buntalan kain kuning berisi potongan mayat, lalu dia memberi isyarat pada Rokomuwu. Dua murid Kiyai Djoko Bening itu kemudian memanggul mayat dalam bungkusan kain kuning. Sebelum meninggalkan tempat itu Djarot berkata pada Wiro.
“Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau mau ikut ke tempat kami silahkan saja...”
Wiro mengangguk. Dia menunggu sampai Sulindari melangkah dan berjalan di sebelah depannya, lalu baru mengikuti dari belakang.
EMPAT
Kyai Djoko Bening yang sejak malam tadi memang sudah punya firasat tidak enak karena itu dia sengaja duduk menunggu di langkah depan tempat kediamannya di puncak gunung Merbabu. Ketika melihat murid-muridnya muncul orang tua ini sipitkan kedua matanya, tidak menyangka mereka akan kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot dan Rokonuwu menggotong sebuah bungkusan besar kain kuning bercak merah yang menghampar bau busuk bukan kepalang. Lalu dia melihat pula seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong berpakaian serba putih yang tidak dikenalnya.
“Apa yang kalian temukan dan siapa pemuda ini?” bertanya sang Kiyai.
Pendekar 212 Wiro Sableng karena orang tidak langsung bertanya maka tidak mejawab dan hanya menjura saja memberi penghormatan pada orang tua itu. Djarot dan Rokonuwu menurunkan buntalan yang mereka gotong tepat di tangga rumah.
“Sesuatu yang mengerikan Kiyai...” ujar Djarot seraya mulai membuka buntalan kain kuning.
“Mengerikan dan biadab sekali!” menyambung Sulindari.
Dan ketika bungkusan kain kuning telah dibuka lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening tampak terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan kepalanya ditengadahkan ke langit.
“Tuhan, apa arti semua ini. Kami mohon petunjukmu ya Allah.” Terdengar suara sang Kiyai setengah berbisik.
Lalu perlahan-lahan kepalanya diturunkan, kedua mata dibuka dan memandang pada murid-muridnya. Djarot si murid tertua segera memberi penjelasan bagaimana mereka mula-mula menemui mayat terpotong sebelas itu. Lalu pemuda ini menggamit tangan gurunya, mengajak orang tua itu ke ujung rumah hingga terpisah cukup jauh dari lain-lainnya. Disini Djarot berbisik pada gurunya.
“Ketika kami bertiga sampai di tempat buntalan ditemukan, pemuda berpakaian putih itu telah berada di sana. Saya curiga Kiyai. Jangan-jangan dialah yang telah membuang buntalan itu!”
Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro Sableng lalu menggelengkan kepala. “Aku tidak sependapat denganmu Djarot. Jika memang dia yang membuang bungkusan berisi mayat terpotong-potong itu pakaiannya pasti akan terkena noda-noda darah. Bukti-bukti itu tak kulihat. Pakaian putihnya bersih. Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa bungkusan mayat seberat itu ke atas gunung. Paling tidak harus dua orang menggotongnya atau bisa juga seorang diri, tetapi dengan kuda. Kau kenal siapa adanya pemuda itu dan mengapa dia mengikuti ke tempat kita ini?”
“Dia mengaku bernama Wiro Sableng dan...”
Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya. “Apa katamu Djarot? Katakan sekali lagi nama pemuda itu!”
“Wiro Sableng, Kiyai...”
“Astaga...” Kiyai Djoko Bening memberi isyarat pada Djarot agar mengikutinya. Lalu dia melangkah menghampiri Wiro seraya berkata, “Apakah benar saat ini aku berhadapan dengan murid sahabatku Sinto Gendeng, pendekar besar bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
Wiro yang tidak menduga sang Kiyai mengenalinya hanya bisa menjura sekali lagi dan tertawa lebar. “Saya hanya murid seorang nenek buruk dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Kiyai keliwat memuji. Saya jadi rikuh menerima penghormatan dan pujianmu, Kiyai Djoko Bening...”
Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu ulurkan tangan kanan dan tepuk-tepuk bahu kiri Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagi tepukan yang dilakukan bukanlah sembarangan karena disertai aliran tenaga dalam sehingga tepukan itu mempunyai daya berat puluhan kati. Jangankan bahu manusia, sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu akan amblas.
Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya Wiro merasakan adanya hawa dingin menyambar ke arahnya. Maklumlah pendekar ini kalau uluran tangan itu disertai aliran tenaga dalam yang tinggi. Dan ketika sang Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu kekuatan dahsyat menekan tubuhnya. Kini murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau orang sengaja hendak menjajal dirinya. Maka diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya ke bahu kiri.
Sewaktu Kiyai Djoko Bening hampir menyentuh bahu Wiro dia jadi terkejut karena dari bahu yang hendak ditekannya itu ada hawa aneh keluar dan membuat tangan kanannya tergetar sampai ke siku Karena sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan tepukannya. Dia sempat menepuk bahu pemuda di hadapannya itu empat kali, namun tangannya mendadak terasa seperti ditimbun oleh gundukan es sehingga terasa dingin luar biasa, hampir kaku. Cepat-cepat Kiyai Djoko Bening salurkan tenaga dalam berhawa panas hingga hawa dingin perlahan-lahan sirna.
Di luar orang tua itu tampak tersenyum. Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat memiliki tingkat tenaga dalam yang sanggup menahan tepukannya seperti yang dilakukan Wiro tadi, murid-muridnya paling tidak harus belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun lagi. Itupun belum tentu sempurna. Maka mau tak mau orang tua ini menjadi kagum pada pendekar satu ini.
“Pendekar 212... Dulu ketika kau masih berusia sepuluh tahun, aku pernah menyambangi gurumu di puncak Gunung Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon jambu dan terlibat dalam perang mulut. Kami bertengkar besar mempertahankan keyakinan masing-masing, tak ada yang mau mengalah. Kami bertengkar mulai dari tengah hari sampai menjelang sore. Dan kau ingat apa yang kau lakukan saat itu...?”
Wiro berpikir mengingat-ingat. “Kejadiannya sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak ingat...” katanya menjawab.
Kiyai Djoko Bening tersenyum. “Saat itu diam-diam kau naik ke atas pohon jambu, memetik dua buah jambu muda. Satu persatu dua buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami yang sedang bertengkar dan tepat masuk ke dalam mulut gurumu dan mulutku yang sedang berkoar-koar. Kontan kami berdua menjadi bungkam membisu malah hampir tercekik!”
Habis menceritakan hal itu Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak Tiga.muridnya ikut tertawa pula sementara Wiro hanya garuk-garuk kepala lalu berkata, “Ah, sungguh kurang ajar sekali perbuatan saya saat itu Kiyai...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk. “Waktu kecil kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi apa yang kau lakukan terhadap kami saat itu mendatangkan kesadaran bahkan hikmah...”
“Ah mengapa bisa begitu Kiyai?” tanya Wiro tak mengerti.
“Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa sebagai tua bangka sudah bukan tempatnya lagi kami mengikuti hawa amarah dan berlaku tolol bertengkar seperti anak kecil. Kedua hal Itu membuktikan bahwa siapa saja yang tidak dapat mengontrol kemarahannya akan menjadi lengah hingga musuh bisa mencelakakan diri kita dengan mudah. Buktinya seorang anak seusia sepuluh tahun sepertimu sanggup menyumpal mulut dua tokoh silat dengan jambu mentah!” Kembali Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak.
Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya, “Kiyai, bagaimana dengan potongan-potongan mayat ini...?
Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. “Ini satu perkara besar yang tengah kita hadapi. Dari gelang perak di lengan mayat aku bisa memastikan mayat ini bukan dari kalangan rakyat biasa. Gelang perak berukir kepala ular seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang ada hubungannya dengan kalangan Keraton, atau istana. Paling tidak dengan Kadipaten. Dan melihat keadaan potongan mayat kurasa manusia malang ini adalah seorang gadis. Dari bentuk payudara dan perutnya aku yakin dia berada dalam keadaan hamil paling tidak empat sampai lima bulan...”
“Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?” tanya Rukunowo.
“Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya pasti tersiksa jika tubuh kasarnya berada dalam keadaan seperti ini,” kata Sulindari pula.
“Memang betul, menurut adat dan ketentuan agama jenazah seseorang harus cepat-cepat dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar biasa murid-muridku. Satu perkara pembunuhan yang besar. Mungkin melibatkan orang-orang besar pula. Jenazah ini harus kita awetkan untuk beberapa lama sampai diketahui siapa dia adanya, lalu menyerahkannya pada keluarganya. Sulindari, kau pergilah ambil bubuk cendana putih...”
Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam rumah sedang Kiyai Djoko Bening menanggalkan gelang perak berukir ular dari potongan lengan kiri dan menyerahkannya pada Rokonuwu seraya berkata, “Cuci gelang ini sampai bersih lalu serahkan padaku kembali.”
Sulindari keluar membawa sebuah kotak kecil dari kayu berisi sejenis bubuk yang terbuat dari kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening kemudian menebarkan bubuk putih itu di atas potongan-potongan mayat. Bau harum menebar. Bubuk putih itu bukan saja mematikan bau busuk tapi sekaligus juga mampu mengawetkan potongan-potongan jenazah sampai lima-enam minggu di muka.
Selesai menebar bubuk dan menyerahkan kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai Djoko Bening berkata, “Murid-muridku, mayat dipotong sebelas itu ditemukan di gunung Merbabu, tempat kediaman kita. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut kejadian ini. Pertama kita harus mengetahui siapa adanya gadis yang menjadi korban. Kedua siapa pelaku pembunuhannya. Dengan demikian kemungkinan orang menjatuhkan tuduhan terhadap kita dapat kita hindari...”
“Bagaimana caranya kami bisa melakukan semua itu Kiyai?” tanya Djarot.
“Pertama tentu saja kalian bertiga harus turun gunung. Ini satu kesempatan baik bagi kalian karena setelah bertahun-tahun berada disini baru kali ini kalian mendapat kesempatan untuk meninggalkan Merbabu. Berarti tugas dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan menyirap kabar siapa keluarga yang kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian temui bawa mereka kemari untuk menyaksikan mayat agar bisa dikenali.”
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, “Bagaimana dengan kau Pendekar 212. Apakah akan melakukan penyelidikan pula...?”
Wiro mengangguk. Lalu berkata, “Saya punya dugaan bahwa korban seorang dari dunia persilatan, paling tidak pernah belajar ilmu silat.”
“Hemm, matamu tajam sekali Wiro. Dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” bertanya Kiyai Djoko Bening.
“Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti dia sering berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang. Kedua telapak tangan kanan. Lebih kasar dari telapak tangan kiri. Pertanda dia lebih sering mempergunakannya untuk latihan memukul. Dan yang terakhir, kedua telapak kakinya tampak tebal karena lebih sering tidak memakai kasut...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk-angguk. Dia berpaling pada ketiga muridnya. “Kalian boleh berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku undang kau untuk menginap disini agar kita bisa bercerita banyak dan bertukar pengalaman.”
Sebenarnya selain berbasa basi orang tua itu ingin menahan Wiro agar dapat melakukan latihan dengan murid-muridnya. Namun dia agak kecewa ketika mendapatkan jawaban.
“Terima kasih Kiyai. Saya harus minta diri saat ini juga. Di lain waktu jika umur sama panjang saya akan menyambangimu lagi disini.” Lalu Wiro menjura dalam-dalam pada orang tua itu. Dia juga menjura pada ketiga murid sang Kiyai.
Sesaat setelah Wiro berlalu, Rokonuwu bertanya, “Kiyai, apa benar pemuda tadi seorang pendekar tokoh persilatan. Harap dimaafkan kalau di mata saya dia kelihatan seperti seorang pemuda konyol. Gerak geriknya aneh. Sering menyeringai dan menggaruk kepala seperti orang linglung...”
Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada dia berkata, “Pertanyaanmu itu membuat aku mengungkapkan lagi satu rahasia hidup pada kalian, murid-muridku. Apa yang kita lihat baik dan bagus di mata, belum tentu sebenarnya begitu. Sebaliknya apa yang kita saksikan buruk mungkin sebenarnya bagus. Begitu juga dengan wajah, sifat dan sikap seseorang. Dan satu hal lagi murid-muridku, dunia ini memang penuh dengan keanehan. Tinggal terserah pada kita, apakah kita bisa mempergunakan kemampuan otak dan pengalaman untuk mencerna keanehan itu. Kalian semua telah memiliki kepandaian tinggi. Silat luar dan silat dalam. Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak menempa diri. Itulah sebabnya tadi kukatakan bahwa peristiwa ditemukannya mayat terpotong sebelas itu membuat aku mengambil keputusan agar kalian turun gunung.”
Setelah berkata begitu Kiyai Djoko Bening keluarkan gelang perak ular yang tadi telah dicuci oleh Rokonuwu lalu diserahkannya pada Djarot. “Bawa gelang perak ini. Benda ini dapat dipergunakan untuk bukti bagi keluarga korban, jika kelak kau dan saudara-saudaramu berhasil menemukan mereka.”
Djarot mengambil gelang perak itu lalu memasukkannya ke dalam saku pakaian birunya.
********************
LIMA
Orang bercadar hitam dan menunggangi kuda besar itu berhenti tepat di bawah pohon nangka hutan. Sesuai perjanjian dia akan bertemu dengan kedua orang itu di tempat tersebut. Tapi dua orang itu sama sekali tidak kelihatan pangkal hidungnya. Sementara langit sore tampak lebih cepat gelapnya karena mendung. Sebentar lagi tentu turun hujan lebat.
“Sialan! Mana mereka itu?!” orang di atas kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran diapun berteriak, “Randu! Tikil! Dimana kalian?!”
Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam rimba belantara semak belukar di ujung kanan tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian gombrang muncul. “Kami datang!” salah seorang dari keduanya cepat menjawab.
“Ingat!” orang di atas kuda membentak. “Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut nama dan gelarku! Pohon dan batu di rimba belantara ini bukan mustahil punya telinga untuk mendengar dan punya mulut untuk mengadu!”
“Kami mengerti...” jawab orang yang bernama Randu. Dalam hati dia berkata, “Itu sebabnya dia mengenakan cadar. Tidak seperti pertemuan sebelumnya. Agaknya perbuatan busuk ini sudah mulai tercium orang luar...”
Orang di atas kuda melemparkan sebuah kantong berisi uang yang segera ditanggapi oleh Randu.
“Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah ini kalian berdua harus tinggalkan daerah sekitar sini dan jangan berani kembali! Sekarang katakan, ada apa kalian meminta untuk bertemu?!”
Yang menjawab adalah si kurus bernama Tikil. “Sejak satu minggu lalu ada dua orang pemuda dan seorang gadis muncul di beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah ada gadis hilang atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah gelang perak berukir kepala ular...”
“Astaga! Gelang itu!” kata si penunggang kuda hampir berteriak. “Jadi gelang itu tidak sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!”
“Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauh itu. Lagi pula saat itu ada orang datang hendak menemui dukun beranak itu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi...”
“Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus segera menemui Warok Kuto Item. Minta dia untuk mencari ketiga pemuda itu dan membereskannya!”
“Kami rasa Warok Kuto Item sekalipun kami bantu tidak akan mampu menghadapi tiga pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-anak murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu!”
“Celaka! Ini lebih celaka lagi! Tapi... aku tak pernah mendengar Kiyai itu punya murid! Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan! Aku tidak mengerti mengapa mereka yang justru kasak-kusuk melakukan penyelidikan?”
"Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di lereng gunung Merbabu pasti telah mereka temukan!” Jawab Tikil.
“Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat golongan hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga kalian bertiga harus berangkat ke tempat kediaman sang Datuk di pantai Selatan!” Dari balik pakaiannya orang di atas kuda mengambil sebuah kantong uang lagi dan melemparkannya pada Randu. “Berikan uang itu pada Datuk Kepala Besi. Dan ingat, setelah kalian bertemu dengan sang Datuk, kalian harus melenyapkan diri! Aku tidak ingin bertemu lagi dengan kalian. Apapun alasannya! Kalian mengerti?!”
“Kami mengerti. Namun mohon uang bekal kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi dari sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan dengan cepat. Lalu bagaimana kami memberi makan anak isteri kami...”
“Sialan, kalian hendak memerasku?!” hardik si penunggang kuda bercadar. “Ternyata kalian tidak bisa kupercaya!”
“Kami berdua mana berani memerasmu.” yang menjawab adalah Randu. “Soal kepercayaan dan kesetian kami tidak perlu diragukan. Yang kami khawatirkan justru si dukun beranak itu!”
Orang di atas kuda jadi terkesiap mendengar kata-kata Randu. “Ucapannya mungkin ada benarnya,” katanya dalam hati. Lalu dia mengeluarkan sebuah kantong lagi dan melemparkannya pada Randu. “Ambil dan pergi! Jangan kembali-kembali lagi!”
“Terima kasihi” ucap Randu sambil menyambut kantong yang dilemparkan lalu dia memberi isyarat pada Tikil.
Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas hutan langit semakin mendung. Gelegar guntur terdengar dikejauhan disambut oleh kerlapan kilat. Si penunggang kuda segera putar binatang tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan rimba belantara itu.
********************
ENAM
“Istriku...” kata Tumenggung Brojo Menggolo pada istrinya yang duduk terbatuk-batuk di kursi besar di ruang tengah gedung kediaman mereka yang terletak di bagian selatan Kotaraja. “Sudah hampir seminggu puterimu Sintomurni belum juga kembali dari tempat kediaman guru silatnya. Apakah aku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?”
Surti Retnoningsih sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang dahaknya ke sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai obat telah diminumnya. Berbagai orang pandai mulai dari dukun sampai ahli pengobatan dari istana coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu gemuk montok itu berangsur-angsur menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya pucat.
Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Tumenggung Brojo Menggolo kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tiga tahun dan mempunyai seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu.
Di usia sang Tumenggung yang hampir enam puluh maka anak tirinya yaitu Sintomurni telah menjadi seorang gadis yang mewarisi kecantikan dan kebagusan tubuh ibunya di masa muda. Dan tentang gadis itulah kini yang tengah dibicarakan kedua suami istri itu.
“Jika anak itu memang tengah digembleng untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi, sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang. Tapi terus terang sejak satu mingguan ini aku terus teringat padanya, bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku khawatir, jangan-jangan umurku ini hanya tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau memanggilnya segera pulang, suamiku...”
“Kalau begitu segera akan kukirim orang menjemputnya,” kata Tumenggung Brojo Menggolo pula. “Kuharap kau jangan menyebut-nyebut soal mati itu Retno. Sakitmu memang sulit disembuhkan. Tapi percayalah satu ketika kau akan sehat kembali.”
Sang Tumenggung lalu berdiri. Dia melangkah ke samping gedung besar, sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya menuju ke belakang untuk memanggil pengawal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang lelaki bertubuh langsing berkulit coklat pekat datang dengan diantar oleh seorang pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat Sintomurni, seorang yang ikut menjadi tokoh silat istana karena kepandaiannya yang tinggi dan dekatnya hubungannya dengan Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru langsung diantar ke ruangan dimana Tumenggung berada bersama istrinya.
Setelah menjura memberi hormat pada kedua suami istri itu dan dipersilakan mengambil tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera membuka mulut.
"Tumenggung, terus terang saya heran ada utusan yang hendak menjemput puteri Tumenggung Sintomurni. Padahal puteri Tumenggung itu telah mohon diri dari tempat saya tiga hari yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia belum sampai kemari...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada bayangan rasa khawatir pada wajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
“Saya takut sesuatu terjadi dengannya...” kata Retnoningsih dan air mata langsung saja meluncur ke pipinya yang cekung. “Jangan-jangan ada orang jahat yang melakukan sesuatu terhadapnya. Menculiknya... Menyekapnya di satu tempat...”
“Sulit hal itu bisa terjadi Den Ayu Retno,” sahut Sangkolo Pratolo. “Dengan tingkat kepandaian yang dimilikinya sekarang tidak sembarang orang mampu berbuat yang bukan-bukan terhadapnya...”
“Selama Sintomurni berada di tempat kediamanmu, apakah sampean melihat ada kelainan-kelainan pada diri anak kami itu...?” bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.
“Maksud Tumenggung...?” balik bertanya Sangkolo Pratolo.
“Maksudku mungkin sebagai gurunya, Sintomurni lebih terbuka terhadapmu dari pada kami. Mungkin ada sesuatu yang menjadi unek-unekannya atau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu dia berselisih atau sedang marahan dengan pemuda kekasihnya yang bernama Damar Bintoro itu...” sahut Tumenggung pula.
“Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Tumenggung. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu ganjalan pada saya.”
“Kalau begitu kemana perginya anak Itu?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo seraya memandang pada istrinya yang tengah mengusut air mata. “Kita harus mencari tahu dimana dia berada, suamiku...” berkata Retnonlngsih.
“Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan para bawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan turun tangan. Dan Sangkolo Pratolo, aku minta kau juga melakukan pencarian...”
“Itu memang tugas saya, Tumenggung,” sahut guru silat itu.
********************
TUJUH
Djarot memperhatikan sejenak danau kecil dihadapannya lalu memandang berkeliling. Akhirnya murid tertua Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu ini berkata, “Walaupun mengeluarkan biaya tapi bermalam di penginapan lebih baik dari berkemah ditempat ini. Terutama bagimu Sulindari.”
“Aku tidak takut berkemah di alam terbuka di tepi danau ini. Apa yang kau kawatirkan kakak Djarot?” bertanya Sulindari sambil mempermainkan gelang perak berukir kepala ular yang dikenakannya di lengan kirinya.
Seperti diketahui gelang itu adalah gelang yang ditemukan pada lengan kiri mayat terpotong sebelas. Karena tak mau dianggap pengecut akhirnya Djarot menyetujui usul kedua adik seperguruannya untuk bermalam dan berkemah di tempat itu.
“Kalian mengusulkan maka kalian yang harus mencari kayu untuk perapian,” kata Djarot pula.
Dalam waktu singkat Sulandari dan Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang diperlukan. Begitu malam turun api unggun segera dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan sembahyang dengan Djarot sebagai imam.
Pada saat menjelang akhir sembahyang Djarot mendengar suara mencurigakan di balik semak belukar tak jauh dari perkemahan. Suara itu juga terdengar oleh kedua orang adik seperguruannya yang membuat ketiganya jadi kurang khusuk melakukan sembahyang. Begitu memberi salam Djarot segera berpaling pada kedua adiknya dan berbisik,
“Kalian mendengar suara mencurigakan itu...?”
Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama mengangguk.
“Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah diintai seseorang,” kata Djarot.
Dia memandang berkeliling. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika karena tiba-tiba sekali kemudian terdengar suara orang menegur lantang merobek kesunyian malam.
“Dua pemuda satu pemudi di perkemahan, apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu?”
Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi danau berdiri. Mereka sama palingkan kepala ke arah kegelapan di jurusan mana tadi datangnya suara menegur.
“Siapakah yang bertanya?!” menyahuti Djarot. “Keluarlah dari kegelapan agar kami bisa mengenalimu!”
Terdengar suara mendengus. Lalu semak belukar di samping kanan tersibak dan seorang lelaki muncul melangkah mendekati api unggun. Tiga murid Kiyai Djoko Bening berpaling. Sungguh aneh bagi mereka. Jelas-jelas orang yang tadi menegur lantang suaranya datang dari sebelah kiri. Bagaimana kini tahu-tahu muncul dari sebelah kanan?
“Orang ini memiliki ilmu seperti yang dikatakan guru. Ilmu memindahkan suara. Dia berada di sebelah kanan tapi suaranya muncul di sebelah kiri...” begitu Djarot membatin.
Dan bersama adiknya dia memandangi sosok tubuh yang kini tegak dekat api unggun itu. Orang ini memiliki kepala botak plontos tampak berkilat-kilat terkena cahaya api unggun. Dia mengenakan sehelai celana hitam sebatas lutut. Di sebelah atas dia bertelanjang dada. Sehelai kain hitam menyerupai selendang dililitkan di lehernya. Berada dalam kegelapan dan sebagian tubuh serta wajah orang ini tampak angker.
“Aku sudah keluar dari tempat gelap. Sekarang apakah kalian mengenaliku?!” tanya si botak seraya bertolak pinggang.
“Kami tidak mengenali siapa dirimu ki sanak!” sahut Djarot dengan polos.
Si botak tertawa. “Kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal siapa kalian! Bukankah itu hebat?!”
Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk mengambil sebatang kayu sebesar lengan yang jadi penyala api unggun. Kayu besar itu tiba-tiba dihantamkannya kuat-kuat ke kepalanya yang botak.
"Krakkk...!"
Bukan kepalanya yang pecah atau remuk tapi kayu api itu yang patah berkeping-keping. Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet sedikitpun tidak.
Tiga murid Kiyai Djoko Bening yang baru saja turun gunung tentu saja tercengang kagum melihat hai itu. Malah Rokonuwu sempat berseru, “Hebat luar biasa!”
Si botak tertawa mengekeh. “Baru itu saja kalian sudah terlongong-longong! Padahal itu belum seberapa!” katanya. “Lihat ini!” Si botak berseru lalu dia berlari dengan kepala ditekuk ke arah sebatang pohon besar di tepi danau. Kepala dan batang pohon beradu keras.
Seperti tadi terdengar suara kraak keras sekali. Batang pohon hancur dan pohon itu kemudian tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh.
Djarot, Sulindari dan Rokonuwu sama ternganga dan saling pandang, namun Djarot diam-diam bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya tujuan si botak tak dikenal itu memperagakan kehebatan kepalanya yang sanggup menghancurkan batang kayu malah menumbangkan pohon.
“Ki sanak yang memiliki ilmu hebat, kami benar-benar mengagumi kehebatanmu. Kalau kami boleh bertanya siapakah ki sanak ini?” bertanya Djarot.
Si botak tertawa panjang sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. “Dunia persilatan mengenal aku dengan gelar Datuk Kepala Besi. Puluhan tahun aku menjadi raja diraja daerah selatan!”
Baik Djarot maupun dua saudara seperguruannya memang belum pernah mendengar gelar itu. Gurunya pun tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi untuk menyenangkan hati si botak Djarot berkata lagi,
“Ah, ternyata gelarmupun hebat sekali ki sanak. Kami senang dapat mengenal orang berkepandaian tinggi sepertimu...”
“Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan dan sikapmu baik terhadapku. Itu mengurangi hukuman yang bakal aku jatuhkan terhadap kalian bertiga!”
“Hukuman...?” ujar Djarot dan Rokonuwu hampir bersamaan. “Hukuman apa maksudmu ki sanak?”
“Kalian bertiga telah melakukan satu dosa besar. Membunuh seorang gadis, memotong-motong mayatnya lalu membuangnya di lereng Merbabu!”
“Astaga!” seru Djarot. “Justru guru kami Kiyai Djoko Bening memerintahkan kami turun gunung untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan yang keji itu.”
“Kau pandai bersilat lidah dan berani berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan hanya asal gembreng! Aku punya bukti! ayo katakan dari mana gadis satu ini mendapatkan gelang perak berkepala ular itu!”
Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi gelang di lengan kirinya. Lalu dia cepat cepat membuka mulut, “Gelang ini memang milik korban pembunuhan itu. Guruku sengaja mengambilnya dan diberikan pada kami untuk bahan mencari bukti siapa adanya gadis itu dan siapa pembunuhnya!”
“Siapa bisa percaya pada ucapan dan keterangan kalian!” sahut Datuk Kepala Besi. “Seperti aku bilang tadi hukuman untuk kalian bertiga akan kuperingan sedikit. Kalian dua pemuda tetap akan kubunuh sedang gadis ini kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut aku ke tempat kediamanku di pantai selatan!”
Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga murid Kiyai Djoko Bening serta merta tegak berpencar.
“Kami tidak melakukan pembunuhan! Tuduhanmu tidak berdasar!” teriak Rokonuwu. “Manusia botak ini hanya mencari-cari dalih. Tujuan sebenarnya adalah hendak berbust jahat terhadapku!” berkata Sulindari
Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia sudah bertekad untuk membunuh tiga murid Kiyai Djoko Bening itu. Namun dia sama sekali tidak menduga kalau murid yang perempuan ternyata adalah seorang yang cantik jelita. Begitu melihat hatinya langsung terpikat dan nafsu bejatnya menggelegak.
“Gadis cantik, mana ada niat dihatiku hendak berbuat jahat terhadap dirimu. Justru aku membawamu ke pantai selatan untuk kujadikan permaisuriku. Ha ha ha!”
“Manusia tidak tahu diri!” bentak Sulandari. “Kehebatan ilmumu memang membuat aku kagum. Tapi tampangmu yang buruk hanya cukup pantas jadi ganjalan roda pedati!”
“Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau yang menghinaku seperti itu pasti sudah kurobek mulutnya!” Sepasang mata Datuk Kepala Besi berkilat-kilat. Dia berpaling pada Djarot dan Rokonuwu. “Apakah kalian sudah siap menerima kematian?!”
“Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahat kami terpaksa membela diri” sahut Djarot.
“Kakak Djarot!” tiba-tiba Sulindari berseru. “Jangan-jangan si botak ini yang telah membunuh dan mencincang gadis yang mayatnya ditemukan di lereng Merbabu itu!”
“Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu siapa pemilik gelang di lengan kirimu itu!” menyahut Djarot.
Mendengar kata-kata Sulindari dan Djarot itu Datuk Kepala Besi menggereng. Mukanya mengelam dan rahangnya menggembung. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke arah Djarot, langsung melancarkan satu serangan berupa jotosan deras ke arah dada si pemuda.
Djarot mainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnya berkelebat dalam satu gerakan mengelak yang gesit. Lalu dia berusaha membalas. Karena merasa tidak ada silang sengketa dengan si botak itu, sebagai seorang pemuda yang berhati polos Djarot tak mau membalas dengan sepenuh hati. Dia hanya berusaha menggaet kaki lawan agar lawan jatuh tergelimpang.
Tapi serangan itu terlalu empuk bagi tokoh silat golongan hitam dari pantai selatan itu. Dengan satu gerakan berputar yang aneh, Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu sudah berada di atas Djarot. Tangan kananya mengemplang ke arah kepala pemuda itu. Sekali hantaman itu mengenai sasarannya kepala si pemuda pasti akan pecah, paling tidak rengkah.
Djarot memiliki ketenangan yang mengagumkan. Sambil merunduk dia miringkan kepala. Begitu pukulan lawan lewat di samping pelipisnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil menangkap lengan Datuk Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu membetotnya keras-keras hingga tubuh si botak itu terlontar ke bawah siap menghunjam tanah.
Datuk Kepala Besi kaget dan marah ketika dapatkan dirinya sempat ditarik lawan seperti itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan lengan Djarot, tapi begitu jaraknya berada lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk ke arah tulang-tulang iga si pemuda.
"Krakkk...!"
Terdengar suara patahnya dua tulang iga kanan disertai pekik kesakitan keluar dari mulut Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sambil pegangi tubuhnya yang cidera murid Kiyai Djoko Bening ini berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh. Saat itulah Datuk Kepala Besi datang dari depan, berlari kencang dengan kepala merunduk. Laksana banteng menanduk.
Djarot yang sudah melihat sendiri kehebatan serta keganasan kepala manusia itu dalam keadaan menahan sakit segera salurkan tenaga dalamnya penuh ke tangan kanan. Begitu kepala sang datuk tinggal satu langkah dari hadapannya maka tinjunya dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala lawan.
"Bukkk...!"
Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh Datuk Kepala Botak terjajar dua langkah. Tapi sang datuk sendiri tampak tertawa lebar seolah-olah jotosan yang keras itu hanyalah satu usapan belaka. Kepalanya sama sekali tidak cidera. Sebaliknya Djarot terlempar empat langkah, jatuh di tepi danau. Kepalan tangan kanannya lecet dan tangan itu menjadi kaku sakit sampai sebatas bahu.
Selagi Djarot mencoba bangkit dalam keadaan kesakitan seperti itu, Datuk Kepala Besi mendatangi dengan melompat. Kaki kanannya dihunjamkan ke bagian bawah perut si pemuda. Djarot berusaha menggulingkan tubuh menghindari injakan yang dapat membuatnya cacat seumur hidup itu bahkan menemui ajal. Namun dua tulang iga yang patah dan tangan kanan yang cidera berat membuat gerakannya menjadi lamban hingga tak sanggup selamatkan tubuhnya dari injakan kaki lawan.
Di saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua bayangan disusul dengan menderunya dua rangkum sinar kelabu yang dahsyat. Datuk Kepala Besi berseru kaget ketika merasakan tubuhnya seperti ditabrak dua batu besar, lalu ada dua gelungan asap kelabu menjirat tubuhnya. Yang satu menarik ke atas dan satu lagi membetot ke bawah siap membuat badannya tersobek-sobek dan terkutung putus.
“Pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus!” seru Datuk Kepala Besi. Dia memang pernah mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai Djoko Bening itu namun tidak menduga sedemikian dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan tenaga dalamnya lalu menghantam dengan kedua tangan, satu ke atas satu ke bawah. Setelah itu dia buru-buru jatuhkan diri dan bergulingan di tanah beberapa kali, lalu bangkit dengan cepat dan menghantam ke depan. Memang inilah salah satu cara untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari pukulan sakti tadi.
Rokonuwu dan Sulindari terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan sakti yang selama bertahun-tahun mereka pelajari di puncak gunung Merbabu ternyata tidak sanggup merobohkan lawan. Hanya ada satu dari dua kemungkinan. Lawan memang sangat tangguh atau tenaga dalam dan ilmu pukulan yang mereka kuasai belum mencapai tingkat yang dapat diandalkan. Namun keduanya masih bisa merasa lega karena pukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup menyelamatkan kakak seperguruan mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.
Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak komat-kamit, lalu menyeringai sambil usap-usap kepalanya yang botak. “Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan padamu agar menjauh dari kalangan pertempuran! Jika sabarku hilang aku tidak segan-segan membunuhmu sekaligus!” Sang datuk mengancam.
Sulindari tidak merasa jerih. Malah dia menyahuti, “Kepala botakmu itu sudah saatnya ditanggalkan dari leher!” sang dara lalu berbisik pada adik seperguruannya. “Roko, kita harus menyerang dan bertahan dengan pukulan sakti tadi! Itu pukulan paling tinggi yang kita miliki! Jangan beri kesempatan dia menyerudukkan kepalanya! Begitu dia maju kau menghantam ke arah kepalanya, aku ke arah badan lalu cepat-cepat menghindar. Sebelum dia bergerak kita harus kembali menghantam!”
“Aku menurut katamu saja, Sulin... Awas! Bangsat itu hendak menyerang kembali!” Rokonuwu berseru ketika dilihatnya Datuk Kepala Besi menyerbu ke arahnya dengan kepala botaknya menyeruduk lebih dahulu.
Untuk menghadapi serangan ganas itu kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu lepaskan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi sekali ini keduanya tertipu. Karena begitu mereka menghantam kedepan, lawan yang diserang tiba-tiba lenyap. Lalu dari samping ada suara menderu. Sulindari berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk Kepala Besi tahu-tahu sudah berada dekat sekali di belakang Rokonuwu dan siap menubrukkan kepala besinya ke punggung adik seperguruannya itu.
“Roko! Awas punggungmu!” teriak Sulindari.
Sadar bahaya mengancamnya dari belakang Rokonuwu cepat melompat ke depan sambil lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Tapi celaka tangan yang siap memukul itu sempat tercekal tangan kanan Datuk Kepala Besi sementara kepala botaknya tetap terus menderu menyeruduk ke punggung Rokonuwu.
Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk menyelamatkan adik seperguruannya itu gadis ini langsung melompati tubuh Datuk Kepala Besi. Kedua tangannya mendorong bagian bahu dan pinggang sang datuk. Sulindari memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu namun kini dia yang masuk ke dalam perangkap lawan. Begitu tubuhnya terdorong keras ke samping, Datuk Kepala Besi cepat menangkap salah satu tangan gadis itu.
Keduanya jatuh saling tumpang tindah dan terguling beberapa kali. Ketika gulingan itu berhenti dan Sulindari berusaha bangun dengan cepat sambil memukul dada Datuk Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah kaku, tangannya tak bisa bergerak. Ternyata sewaktu terguling-guling tadi Datuk Kepala Besi sempat menotok tubuhnya.
“Ha ha ha! Diatas tanah saja kau sudah menunjukkan kehebatanmu berguling-guling! Di atas ranjang kau pasti lebih hebat dan binal!” Datuk Kepala Besi tertawa bekakakan.
“Manusia bejat! Lepaskan totokanku! Jika kau laki-laki mari bertempur sampai seribu jurus!” teriak Sulindari.
Datuk Kepala Besi kembali tertawa mengekeh. “Kau sanggup melayaniku sampai seribu jurus?! Ha ha ha! Gadis hebat! Tunggulah, kita nanti akan bertempur di atas ranjang! Ha ha ha!”
“Manusia keji! Mulutmu pantas dirobek!” satu suara membentak. Itulah suara Rokonuwu yang saat itu langsung menyerbu dengan satu cakaran kilat ke arah mulut Datuk Kepala Besi.
Sang datuk anggap remeh serangan ini. Dia julurkan kepalanya. Cakaran Rokonuwu menyambar tepat pada bagian atas kepala. Tapi dia seperti mencakar benda licin dan ketika tubuhnya terpuntir akibat dorongan bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak sanggup mengelakkan jotosan yang dilepaskan lawan ke arah lambungnya.
Rokonuwu mengeluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak, jatuh terkapar di tepi danau. Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai kepala malah masuk ke dalam air membuatnya megap-megap dan sulit bernafas. Dengan susah payah pemuda ini berusaha menyeret tubuhnya sendiri keluar dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi untuk berdiri ataupun duduk tak sanggup dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos lawan seperti pecah mendenyut sakit bukan kepalang.
Di bagian lain Djarot tampak terbujur mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang cidera berat membuatnya tak sanggup berdiri.
Datuk Kepala Besi berdiri bertolak pinggang. “Kini membunuh kalian berdua semudah membalikkan telapak tanganku!” katanya seraya memandang pada Rokonuwu lalu pada Djarot. “Tapi... sebelum kalian menghadap malaikat maut, aku ingin menyuguhkan satu hiburan luar biasa bagi kalian berdua!”
“Apa yang hendak kau lakukan manusia jahat?!” teriak Sulindari.
“Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi satu dengan hatiku! Ha ha ha...! Kau tenang-tenang sajalah. Sebentar lagi kau akan kubawa ke sorga!”
“Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani menyentuh adik seperguruanku!” berteriak Djarot dari tempatnya terbujur.
Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat Djarot terkapar, lalu membungkuk dan bertanya; “Anak muda, pernahkah kau melihat tubuh gadis itu tanpa pakaian...?”
“Bangsat! Kau benar-benar terkutuk! Kau dajal!” teriak Djarot.
Datuk Kepala Besi tepuk-tepuk muka Djarot lalu tinggalkan pemuda itu. Dia pergi mendapatkan Rokonuwu dan disini mengajukan pertanyaan yang sama.
“Iblis! Kau Iblis bukan manusia!” desis Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia melangkah mendekati Sulindari. Lalu duduk di samping si gadis dan mulai mengusap-usap wajah Sulindari.
“Jahanam terkutuk!” teriak Sulindari. Dia berusaha menggigit tangan lelaki itu tapi tak berhasil.
Djarot dan Rokonuwu sama-sama berusaha untuk dapat berdiri guna menolong saudara seperguruan mereka itu. Tapi keduanya tidak mampu bergerak, apalagi berdiri.
“Gadisku cantik... jangan terlalu memaki. Saat ini kau anggap aku jahanam. Sebentar lagi kau tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau akan lengket kemana aku pergi! Ha ha ha!” Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata, “Gadisku cantik, aku akan membuka celanaku! Setelah itu aku akan membuka pakaianmu! Nah kau suka bukan...?” Habis berkata begitu si kepala botak ini benar-benar membuka celana hitamnya.
Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk Kepala Besi tanpa pakaian sama sekali kini membungkuk meneduhi tubuhnya dengan nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak ketika sang datuk merenggut robek baju birunya dengan kasar.
Tiba-tiba nafas sang datuk yang memburu seperti tertahan. Beberapa langkah di hadapannya, dekat semak belukar dia melihat satu benda hitam bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai celana hitam. Dia berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana itu ternyata tak ada lagi disitu.
“Itu pasti celanaku...” desis sang datuk. “Kenapa bisa menyangkut di semak belukar sana? Aneh!”
Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang dalam kegelapan malam.
“Kurang ajar! Apa ada setan yang berani mempermainkanku?!” Datuk Kepala Besi memandang lagi berkeliling. Djarot dan Rokonuwu dilihatnya masih terbujur di tempat semula. “Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!” berkata Datuk Kepala Besi sambil mengusap dada Sulindari. “Ada mahluk yang berani mempermainkanku!”
Datuk Kepala Besi berdiri lalu melangkah mendekati semak belukar. Hanya tinggal beberapa langkah saja lagi dari celananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba celana itu berkelebat lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya celana hitam itu, tiba-tiba sesuatu menyambarnya. Ternyata celananya sendiri.
“Keparat!” Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekor ular tiba-tiba celana itu melesat ke bawah. Salah satu ujung kaki celana mematuk ke bawah perutnya. Dan terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi bagian bawah tubuhnya.
Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa, “Gundul jelek! Apakah burung kakak tua mu dipatuk kodok?! Ha ha ha!"
“Bangsat minta mati! Siapa yang berani mempermainkanku!” bentak Datuk Kepala Besi marah sekail.
“Aku si pemilik kodok!” terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak. Suara tawa itu datang dari bawah pohon di tepi danau.
Ketika sang datuk berpaling ke arah situ dilihatnya tegak bertolak pinggang seorang pemuda berpakaian putih, memegangi celana hitamnya yang rupanya telah diikat dengan sehelai akar gantung. Saking marahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat ke arah pemuda itu.
“Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpa pakaian! Ini! Pakai dulu celanamu yang bau busuk ini!” Pemuda di bawah pohon lalu lemparkan celana hitam yang dipegangnya.
DELAPAN
Lemparan celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut sekali ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung lehernya seperti hendak mencekik. Sambil memaki si botak ini angkat kedua tangannya ke atas lalu...
"Brettt...!"
Celana itu robek panjang di bagian tengahnya. Sang datuk campakkan celana hitamnya ke tanah. Lalu sambil mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia mau berpikir, jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi benar-benar diselimuti kemarahan hingga otaknya mana mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi langsung menghantam dengan tangan kanan. Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda. Tapi dengan membuat gerakan sedikit saja, orang yang dipukul berhasil mengelakkan serangan sang datuk hingga dia menjadi tambah marah. Dia kembali menyerbu dengan serangan beruntun yaitu dua pukulan dan satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi juga mengeluarkan deru angin yang deras tanda berisi tenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan semua serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan, Datuk Kepala Besi keluarkan kepandaiannya berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah berada di samping kiri, melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda.
Yang diserang menangkis dengan melintangkan lengan kiri di samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir terpekik kesakitan. Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan sakit, begitu tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya ke bawah. Pinggiran tangan kanan sang datuk membabat laksana tebasan pentungan besi.
"Bukkk...!"
Hantaman tangan itu mendarat dibahu kiri pemuda berpakaian putih. Tak ampun lagi pemuda ini langsung melosoh dan tersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh dalam hati. Disaat ketiganya tak berdaya seperti itu, munculnya pemuda itu sungguh sangat mereka harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botak itu. Sampai saat itu karena berada di tempat yang gelap dan jauh dari nyala api perkemahan baik Djarot maupun Rokonuwu serta Sulindari tidak dapat melihat wajah si pemuda jadi tidak bisa mengetahui siapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan penuh nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan ke arah kepala pemuda baju putih.
“Mampus!” teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.
"Wuttt...!"
Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-tiba sang datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru disadarinya kalau saat itu pergelangan kakinya telah berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari cengkeraman lawan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke udara. Dalam gelapnya malam tubuh itu kemudian jatuh mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-megap. Untung dia bisa berenang lalu berusaha mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana terbakar. Orang yang mengaku raja diraja rimba persilatan pantai selatan ini baru sekali itu diperlakukan orang seperti itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitu naik ke darat, langsung dia menekuk leher lalu menyerbu ke arah pemuda berpakaian putih.
Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat celaka oleh serangan kepala yang sudah diketahuinya kedahsyatannya itu segera berteriak memberi ingat.
“Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala Besi...!”
“Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku mau coba sampai dimana kerasnya kepala botak monyet telanjang ini!” terdengar pemuda berpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi terkejut ketika mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba saja ketiganya ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara orang itu.
Sulindari yang ingat lebih dulu dan langsung saja gadis ini berteriak, “Wiro! Kaukah itu!”
“Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!” menjawab si gondrong berpakaian putih.
“Hati-hati Wiro! Kepala manusia itu berbahaya luar biasa!” berseru Rokonuwu.
“Justru aku hendak mencoba!” Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu Datuk Kepala Besi telah berada di depannya dengan kepala botaknya siap dihantamkan ke pertengahan dada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini jika dilancarkan dalam bentuk dorongan telapak tangan merupakan benteng pertahanan yang ampuh karena sanggup mengeluarkan angin deras menyongsong serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka jangankan kepala manusia, tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan dengan pukulan sakti inilah Wiro hendak menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekali kepalanya akan menjebol hancur dada si pemuda. Sebaliknya murid Sinto Gendeng yakin pula kalau pukulan saktinya akan menghantam pecah kepala botak lawan. Dalam sama-sama yakin begitu tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras di pertengahan kepala Datuk Kepala Besi.
"Bukkk...!"
Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanya terdongak dan tubuhnya mencelat dua tombak, jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan kanannya seperti menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan kanannya sampai sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dan kemerahan.
“Gila betul!” seru Wiro sambil garuk-garukkan tangan kirinya ke kepala penuh tidak percaya tapi diam-diam juga merasa kagum. Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini sanggup menjatuhkan berbagai tokoh silat kawakan, kini sama sekali tidak mempan hanya menghadapi sebuah kepala manusia. Kepala botak buruk pula.
Dihadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri sambil mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro diapun merasa heran. Seumur hidupnya tak satu pukulan lawanpun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itu dia hampir tak percaya ketika melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. “Tangan Itu seharusnya hancur!” desis Datuk Kepala Besi.
“Orang muda! Jelaskan siapa dirimu!” tiba-tiba sang datuk membentak.
“Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting ialah jawab pertanyaanku! Apa alasanmu menuduh tiga sahabatku ini sebagai orang-orang yang telah mencincang mayat di lereng Merbabu!”
“Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian menerima kematian!” Berkata sang datuk sambil bertolak pinggang.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!” ujar Wiro pula. “Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid Kiyai Djoko Bening ini?!”
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung. “Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyai ku!”
“Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaan ku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang ketiga! Apa sangkut pautmu dengan korban yang dipotong sebelas itu?!
“Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!” teriak Datuk Kepala Besi lalu dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak siap melabrak tubuh lawannya. Kali ini di bagian perut.
Sesaat Wiro berpikir apakah akan menghantam saja si botak ini dengan pukulan Sinar Matahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya. Sambil menyeringai pendekar ini melompat tinggi ke atas. Tangan kanannya menyambar seutas akar gantung sebuah pohon yang panjangnya lebih dari dua tombak. Selagi masih melayang di udara dia membuhul salah satu ujung akar gantung itu dan begitu turun dia telah memegang seutas tali penjerat.
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk Kepala Besi menyerang dengan kepalanya. Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika di depan sana dilihatnya lawannya terpeleset dan jatuh tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir panjang lagi sang datuk melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang kemudian terjadi benar-benar tidak disangkanya.
Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini dilakukannya lain tidak agar dia bisa berada lebih rendah dari lawan dan memiliki keleluasaan untuk membidikkan tali penjeratnya.
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tiba dia sempat melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di lain kejap dia merasakan sesuatu menjerat kepala anggota rahasianya. Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriak kesakitan setinggi langit ketika Wiro sambil tertawa gelak-gelak menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
“Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Datuk Kepala Besi.
“Berani kau berteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakak tua mu” hardik Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu.
Kembali sang datuk menjerit setinggi langit. Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itu dibetot putus, itu yang terjadi dengan dirinya hingga mau tak mau dia terpaksa berhenti memaki dan tak berani bergerak.
Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak berdaya dan ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-senyum.
“Benar-benar sableng murid nenek gendeng ini!” kata Djarot dalam hati.
“Datuk Kepala Botak...!” ujar Wiro.
“Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!” Datuk itu menjerit karena kembali Wiro menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
“Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih! Kehilangan burungmu atau memberi keterangan!”
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya, “Keterangan apa yang kau inginkan?!”
“Apa hubunganmu dengan mayat dipotong-potong itu?!”
“Aku tidak punya hubungan apa-apa!” sahut Datuk Kepala Besi.
“Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening?!” Wiro mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
“Aku dibayar orang!”
“Siapa orang yang membayarmu?!” yang bertanya dengan membentak itu adalah Djarot.
“Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal dari desa Klingkit mendatangiku! Menyerahkan sejumlah uang dengan tugas membunuh dua orang pemuda dan seorang dara berpakaian serba biru yang diketahui adalah murid-murid Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwa ketiga orang Itu telah melakukan pembunuhan atas diri seorang gadis lalu mencincang mayatnya dan mencampakkannya di lereng gunung Merbabu...”
“Apa kau tidak menanyakan siapa nama-nama mereka?!”
“Tidak, karena aku tidak perduli...” sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya setiap saat mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat bergerak Wiro yang sudah tahu gelagat cepat membentak dan mengedut akar gantung.
“Lama-lama bisa putus milikku ini!” membatin sang datuk sambil menahan sakit.
“Dua orang desa Klingkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di gunung Merbabu itu?!” yang mengajukan pertanyaan adalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng. “Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu! Aku sudah memberi keterangan! Sekarang lepaskan jeratan tali celaka ini! Lepaskan!” berteriak Datuk Kepala Besi.
“Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendak kau lakukan terhadap kedua murid Kiyai Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak kehormatan gadis itu lebih keji dan lebih terkutuk! Aku tidak bisa memberi ampunmu untuk yang satu itu. Dari pada di kemudian hari kau masih gentayangan dengan nafsu bejatmu, lebih baik sekarang-sekarang ini dilakukan pencegahan!”
“Apa maksudmu...?” tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.
“Sesuai permintaanmu, tali penjerat ini akan kulepaskan!” Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng tarik akar gantung itu kuat-kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus langit di kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan kepalanya dengan bulu tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.
“Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!” terdengar suara Wiro.
“Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah pembalasan ku! Aku bersumpah membunuhmu dan turunanmu!”
“Tua bangka pikun!” menyahut Wiro. “Kawinpun aku belum, bagaimana aku punya turunan! Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!”
“Jahanam! Keparat...!” teriak Datuk Kepala Besi lalu bangkit dan lari terbungkuk-bungkuk.
SEMBILAN
Karena keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda perjalanan dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa ke tempat kediaman Kiyai Djoko Bening di puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko Bening memberi tahu bahwa satu minggu setelah mereka meninggalkan gunung Merbabu ada beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipaten terdekat mendatangi tempat kediamannya untuk menyaksikan mayat potong sebelas itu.
Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan kehilangan anak gadis masing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang datang itu walau wajah mayat tak lagi bisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu sama memastikan bahwa korban bukan anak gadis mereka.
“Rupanya kabar ditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah tersebar ke pelbagai penjuru...,” ujar Wiro.
“Apa yang harus saya lakukan sekarang Kiyai?” bertanya Sulindari.
“Betul, sayapun perlu petunjukmu,” menyambung Wiro Sableng.
“Memang, kini hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan untuk meneruskan penyelidikan, mencari tahu siapa adanya korban dan paling penting mencari siapa pelaku pembunuhan yang keji ini!” menjawab Kiyai Djoko Bening. “Namun hari ini kalian berdua tetap disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotaraja untuk melihat korban. Tiga hari lalu seorang utusan orang penting itu datang untuk melakukan peninjauan. Paling lambat besok menjelang tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap disini dulu sampai mereka datang. Disamping itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot dan Rokonuwu, Sulindari...”
“Kalau begitu kata Kiyai, saya menurut...” jawab Sulindari.
********************
“Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro meninggalkan Sleman sepuluh hari lalu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!” kata Tumenggung Brojo Menggolo sambil melangkah mundar mandir dalam kamar tidurnya yang besar sementara istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
“Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?” bertanya Retnoningsih.
“Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Damar Bintoro! Sudah sejak dulu aku tidak suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon suami yang paling cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Hanya kebetulan saja ayahnya jadi penasihat Patih Kerajaan...”
“Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu...”
“Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kawin lari. Karena dia tahu aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!”
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu berkata, “Sulit bagiku mempercayai bahwa Damar Bintoro mau melakukan apa yang kau katakan itu...”
“Lalu kemana dia menghilang? Dan kemana lenyapnya anak gadis kita?!” tukas Tumenggung Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak lalu berkata, “Kangmas, kalau ada orang yang harus dicurigai, menurut hematku orang itu adalah Sangkolo Pratolo, guru silat Sintomurni...”
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar kata-kata istrinya itu. “Eh, mengapa kau punya pikiran seperti itu, istriku...?
“Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo dulunya? Seorang kepala penjahat yang merampok dan membunuh, menculik dan merusak kehormatan anak gadis atau istri orang. Kemudian setelah dijebloskan dalam penjara Kerajaan selama sembilan tahun, dia bertobat memulai hidup baru yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakah dia tidak pantas dicurigai...?!”
“Aku sudah memanggilnya. Kita sudah bicara padanya. Jika dia memang menculik anak kita, pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah dia salah seorang yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni...“
“Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat seorang perempuan di lereng gunung Merbabu beberapa waktu lalu...” Bertanya Surti Retnoningsih.
“Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan mayat itu...”
“Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana untuk menyelidik dan mencari tahu? Apakah prajurit itu sudah kembali...?”
“Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu ternyata telah mengawetkan jenazah Itu...”
“Kalau begitu perajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!” ujar Retnoningsih.
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng. “Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu...” Sang Tumenggung tidak meneruskan kata-katanya.
“Lalu apa kangmas...?”
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. “Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu mengerikan...”
“Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku kangmas!”
“Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-potong menjadi sebelas bagian...”
“Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?” desis istri sang Tumenggung. Dia terdiam beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya. “Kangmas Menggolo, kita harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan-jangan...” Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua pipinya.
“Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke puncak Merbabu? Jangan mencari penyakit baru Retno!” ujar Tumenggung Brojo Menggolo.
“Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunung pun akan kudaki demi mencari kejelasan mengenai diri anak kita...”
“Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu itu, biar aku dan Sangkolo Pratolo saja yang pergi kesana...“
“Tidak kangmas. Aku harus ikut... Aku harus ikut...”
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas dalam akhirnya berkata, “Jika itu maumu baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal. Mungkin Sangkolo Pratolo akan kuajak serta...” Lalu Tumenggung Itu keluar dari kamar.
********************
SEPULUH
Kyai Djoko Bening, Wiro dan Sulindari sama-sama berdiri ketika rombongan dari Kotaraja sampai di depan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan itu terdiri dari sang Tumenggung sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakan baju ringkas dan celana panjang, lengkap dengan setengah lusin pengawal serta guru silat Sangkolo Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling menghormat Kiyai Djoko Bening langsung berkata, “Beberapa hari lalu utusan Tumenggung telah datang kemari untuk menyelidiki mayat yang ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu Tumenggung telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul begitu...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya mendahului bicara.
“Kami ingin melihat mayat itu...”
“Saya tidak berani menolak. Tapi apakah jeng ayu mempunyai keberanian melihatnya? Lain dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?”
“Apakah jenazah itu ada di dalam rumah?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
“Saya akan membawanya keluar,” kata Kiyai Djoko Bening. "Tapi sebelumnya Tumenggung dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari Kotaraja sejauh itu tentu meletihkan dan dahaga...”
“Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus segera kembali ke Kotaraja...” Kata Surti Retnoningsih yang sudah tidak sabaran.
“Jika begitu keinginan Jeng Ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanya ke langkan sini. Harap Tumenggung dan istri sudi menunggu.”
Habis berkata begitu Kiyai Djoko Bening masuk ke dalam. Diam-diam Wiro memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah Tumenggung Brojo Menggolo tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin, menunggu dengan segala ketabahan.
Sulindari merupakan satu-satunya orang yang paling tenang. Kedua tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di ujung kiri langkan sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid Pendekar 212 yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang melinting rokok itu gemetaran.
Ketika Kiyai Djoko Bening melangkah keluar membawa sebuah peti kayu yang cukup besar, suasana di tempat itu nyaris sehening di pekuburan. Dengan hati-hati Kiyai Djoko Bening meletakkan peti kayu di pertengahan langkan. Lalu dia berpaling pada Tumenggung dan berkata,
“Tumenggung dan istri, silahkan naik ke langkan untuk menyaksikan sendiri...”
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu dengan segala ketegaran tapi dada berdebar keras perempuan ini melangkah menaiki tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya mengikuti.
Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya lalu ikut naik ke atas langkan. Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran langkan, tak ada yang berani naik. Sulindari dan Wiro tetap berdiri di halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya serta guru silat Sangkolo Pratolo berdiri mengelilingi peti kayu yang terletak di pertengahan langkan dalam keadaan terduduk. Setelah memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Kiyai Djoko Bening kemudian membungkuk. Perlahan-lahan penutup peti kayu itu dibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari beberapa mulut. Tumenggung Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua langkah. Sangkolo Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa berkesip sanggup membunuh orang, menyaksikan isi peti itu tetap saja dia mengernyitkan kening dan dingin kuduknya.
Akan halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan. Suaminya buru-buru menolong, menyandarkannya ke dinding.
“Kau tak apa-apa Bune...?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Masih sambil memegangi istrinya Tumenggung Menggolo kembali memandang ke arah peti lalu tiba-tiba saja dia berkata setengah berteriak, “Itu bukan Sintomurni! Bukan puteriku!”
“Kau pasti betul Tumenggung...?” tanya Kiyai Djoko Bening.
“Pasti sekali! Pasti sekali...”
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadi kelihatan seperti mau pingsan bangkit berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-bagian tubuh lainnya.
“Anakku...anakku...!” jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. “Itu anakku! Itu Sintomurni...!” Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
“Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!”
“Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak kita mas! Anak kita...!”
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. “Bune...! Setan apa yang masuk dalam dirimu hingga mayat itu kau katakan anak kita...?”
Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling pada Sangkolo Pratolo, “Siapkan kuda! Kita kembali ke kota saat ini juga!” memerintahkan Tumenggung itu.
Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menarik lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro mengeluarkan sebuah benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya,
“Gusti Ayu, apakah kau mengenali anting-anting ini...?”
Surti Retnoningsih turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting perak di tangan Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata, “Itu... itu anting-anting Sinto….”
“Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?” bertanya Sulindari yang tegak disebelah Wiro seraya memperlihatkan gelang perak berukiran kepala ular yang melingkar di lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik, “Gelang itu! Gelang perak kepala ular! Itu juga milik puteriku! Aku yang menyuruh buatnya pada pandai perak di Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana kalian mendapatkan perhiasan itu?!”
“Anting ini saya temukan dalam kain kuning pembungkus mayat ketika ditemukan di lereng gunung,” menerangkan Wiro.
“Dan gelang perak ini sengaja kami ambil dari lengan jenazah setelah sampai disini,” berkata Sulindari.
“Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu Tumenggung Brojo Menggolo!” kata Kiyai Djoko Bening.
"Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!” teriak Tumenggung Menggolo. Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar ke tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo Pratolo. Lalu berkata, “Sebaiknya segera dipersiapkan untuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu menguburkannya!” Lalu pada Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. “Tumenggung, kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti ini...”
Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. “Walau Sintomurni hanya anak tiriku,” katanya, “Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke Kotaraja dan diurus pemakamannya...”
“Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung,” kata Kiyai Djoko Bening perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Retnoningsih. “Puterimu itu meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan...”
“A... apa... Puteriku hamil...?!” Sepasang mata Tumenggung Brojo Menggolo membeliak. Dia berpaling pada istrinya.
Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat mendengar keterangan Kiyai Djoko Bening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini dia benar-benar pingsan.
“Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!” teriak Tumenggung Brojo Menggolo tiba-tiba seraya mengepalkan tinju kanannya.
“Pasti Damar Bintoro yang melakukannya! Dia menghamili Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi Damar Bintoro! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!”
********************
SEBELAS
Malam sangat gelap, pekat menghitam membungkus tempat dimana dua penunggang kuda itu mengadakan pertemuan hingga wajah keduanya sulit dikenali.
“Ada hal mendesak hingga kau meminta pertemuan ini?” Penunggang kuda di sebelah kanan bertanya.
“Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranak itu tidak ada di tempat kediamannya. Menurut pemilik rumah dia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya. Berarti saat lenyapnya hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro...”
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin membasahi wajahnya. “Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana kalau kuminta kau mencari keduanya lalu membereskannya...”
“Saya mulai berpikir-pikir...”
“Kau mulai berpikir-pikir katamu? Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat hal itu. Jika kau masih menginginkan jabatan itu perintahku harus kau lakukan. Kalau tidak nasibmu pun akan masuk dalam daftar hitamku! Jangan lupa kau ikut terlibat banyak dalam urusan ini!”
“Saya mengerti. Kalau begitu izinkan saya pergi sekarang...”
“Jika kau ingin bicara, kau bisa datang ke rumah. Tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti ini. Justru jika ada yang melihat bisa tambah tidak beres urusan ini. Kau mengerti...?”
“Saya mengerti...”
“Kau boleh pergi sekarang!”
Penunggang kuda disebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu. Yang di sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda. Satu pikiran buruk mampir di benaknya.
“Aku khawatir manusia satu ini apakah benar-benar bisa dipercaya terus...” berpikir sampai disitu maka diapun berseru. “Tunggu dulu!”
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu orang yang datang menyamparinya. “Ada apa lagi...?”
“Tidak apa-apa. Aku pikir dalam menjalankan pekerjaan mu pasti kau membutuhkan sejumlah uang. Terima ini...”
Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuah kantong berisi uang. ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan kanan yang tadi menyelinap ke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksana kilat dalam kegelapan malam. Sebilah keris luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang tadi. Tubuhnya langsung terhuyung, lalu jatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada yang tembus sampai ke jantungnya.
“Manusia jahanam. Manusia busuk terku...” Makian itu hanya sampai disitu karena nyawanya keburu putus.
Dibalik semak belukar yang sangat rapat, terdengar suara perempuan memaki halus, “Kenapa kau larang aku mencegah keparat itu membunuh saksi penting yang kita perlukan itu...?”
Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. “Jangan bicara terlalu keras. Kau tak usah khawatir...”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!” berbisik lagi suara perempuan tadi. Kali ini menunjukkan rasa gemas.
“Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita masih punya beberapa saksi yang bisa mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu biar mampus duluan. Mungkin itu hukaman yang setimpal baginya!”
“Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari tahu dimana beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranak itu...”
“Tunggu, jangan terburu-buru Sulin,” bisik Wiro seraya memegang pinggang murid Kiyai Djoko Bening Itu. “Masih ada satu kejadian baru lagi di tempat ini.”
“Aku mendengar ada orang berkuda mendatangi. Masih jauh memang. Tapi sebentar lagi kita akan melihatnya...”
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang kuda yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain muncul dua ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki berkepala botak, mengenakan celana hitam tanpa baju. Sehelai kain hitam menyerupai selendang melingkar dilehernya. Di atas punggung kuda kedua tampak terbujur melintang dua sosok tubuh yang tidak bergerak-gerak, entah mati entah pingsan.
“Siapa kau yang berani menghadangku?!” teriak lelaki yang baru saja melakukan pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang merasa pernah melihat atau kenal dengan orang ini sebelumnya. Lalu dia ingat dan setengah berseru, “Kau! Bukankah kau Datuk Kepala Besi?!”
Si botak lepas tertawa panjang. “Bagus kalau kau masih mengenaliku...”
“Apa maksudmu menghadangku di tempat ini. Jelas kau telah mengikuti sejak beberapa waktu lalu...!”
“Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua orang di atas kuda sana...?” si botak balik bertanya.
Orang yang ditanya membuka matanya lebar-lebar, memandang tajam-tajam dalam kegelapan. “Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil…!” Lelaki itu berkata dengan suara bergetar. Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.
“Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu. Ingat, kau juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid Kiyai Djoko Bening... ingat?! Ayo jawab!”
“Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudah jadi mayat...?”
“Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat. Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk berjaga-jaga kalau kau mungkir...”
“Maksudmu...?”
“Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas yang kujalankan...”
“Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid Kiyai Djoko Bening itu tidak sanggup kau bunuh! Tugasmu tidak terselesaikan! Sekarang minta tambahan uang! Gila! Kerugian apa maksudmu Datuk Kepala Besi?!”
Sebagai jawaban lelaki botak itu melompat turun dari kudanya. Dia melangkah dekat-dekat ke hadapan orang di depannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan ke bawah.
“Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggota tubuhku paling berharga putus!” teriak Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkan anggota rahasianya yang buntung karena dibetot lepas oleh Wiro beberapa waktu lalu.
Orang di atas kuda tampak mengernyit penuh tegang. Dan jadi marah ketika terdengar Datuk Kepala Besi berkata, “Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagai ganti kerugian!”
“Gila! Kau gila!” teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. “Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan menjadi saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku membawa mereka menghadap patih di Kotaraja, habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!”
Orang diatas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris luk tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala Besi tenang saja malah tertawa mengejek.
“Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku tahu kalau kau pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-coba berani melawanku Tumenggung!”
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itu disadari sepenuhnya oleh Tumenggung Menggolo. Tapi dari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta. Dari balik pakaiannya Tumenggung mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak diserahkannya pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya pada Datuk Kepala Besi.
“Ini ambillah. Ada sepuluh uang perak di dalamnya. Aku tak punya uang lagi!”
Si botak tertawa pendek lalu mendengus dan kepretkan kantong yang dilemparkan ke arahnya hingga jatuh ke tanah. “Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa akupun akan memutus barang di bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!” Lalu si botak ini melangkah mendekati Tumenggung yang duduk di atas kuda itu dengan kedua tangan terpentang.
“Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya. Aku akan berikan lagi lima ringgit emas begitu sampai di rumah. Hanya itu yang bisa kuberikan! Sekalipun kau bunuh aku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, kau bisa menggantikannya dengan benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu misalnya... “
“Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi kau harus melakukan apa yang kukatakan!”
“Serahkan dulu uang itu Tumenggung!” ujar si botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si botak menyambuti lalu berkata, “Nah sekarang katakan apa yang harus kulakukan!”
“Bunuh dua bekas pembantuku itu!” sahut Tumenggung Menggolo pula.
“Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya mampu memberikan sepuluh ringgit emas, siapa sudi!”
“Dengar, aku akan berikan jabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kurasa itu lebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, jabatan apa itu?” tanya Datuk Kepala Besi.
“Kedudukan penting di jajaran tokoh-tokoh silat Istana!”
Si botak berpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawa dia berkata, “Baik, kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong sebagaimana kau melakukannya terhadap anak tirimu itu!”
“Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak perlu kau bicara seperti itu! Aku harus pergi sekarang! Jangan lupa membereskan dua bekas pembantuku itu!”
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam keadaan tak bisa bergerak karena ditotok.
“Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi untuk mengurangi penderitaan, biar kalian tetap dalam keadaan tertotok!”
Datuk Kepala Besi angkat tangan kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belum sempat pukulan mematikan itu mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan menangkis dan memukul lengan Datuk Kepala Besi. Si botak ini terjajar setengah langkah. Tikil lolos dari maut. Di sebelahnya terdengar suara mengeluh pendek. Namun di saat itu pula ada yang menyerangnya. Sambil menghindar Datuk Kepala Besi berusaha melihat siapa adanya si penyerang.
“Gadis jelita! Kau rupanya!” seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang menghalangi pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko Bening yang tempo hari hampir sempat digagahinya kalau tidak muncul Pendekar Wiro Sableng.
“Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau berserikat dengan Tumenggung keparat itu dan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidak berdosa serta berada dalam keadaan tidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!”
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab, “Sabar anak cantik! Kalau kau yang memerintahkan aku untuk tidak membunuh dua pembantu itu, pasti aku patuh menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong. Kegairahan ada tapi kemampuan tidak ada! Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda gondrong itu!” Habis berkata begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah.
Justru saat itu pula Sulindari menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu. Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya dibungkukkan menyambut serangan sang dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan tendangannya. Tangan kanannya kini yang dihantamkan ke leher lawan melancarkan pukulan yang mengandung aji kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus.
Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini masih kalah cepat. Kedua tangan lawan telah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan secara kurang ajar sang datuk susupkan mukanya ke bagian bawah perut Sulindari. Keduanya lalu jatuh bergulingan. Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala Besi untuk menghimpit tubuh sang dara, menciumi wajah dan menggerayangi dadanya dengan penuh nafsu.
“Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!” Satu suara mendamprat lalu satu tendangan menghantam rusuk Datuk Kepala Besi.
Tak ampun lagi datuk ini terpental sampai dua tombak. Empat tulang rusuknya remuk hancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk bagian-bagian tubuh di sebelah dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala Besi masih sempat bangkit berdiri dengan mata berkilat-kilat dalam kegelapan.
Ketika dia melihat siapa adanya pemuda gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera balikkan diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu, Sulindari sudah menunggu dengan sepotong cabang kayu sebesar betis. Begitu kayu dihantamkannya ke rahang sang datuk terdengar suara berderak patah.
Datuk Kepala Besi berteriak keras lalu roboh dengan sebagian wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan segala macam pukulan sedang bagian wajahnya tidak mempunyai kekebalan apa-apa.
Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. “Bangsat itu menjijikkan sekali!” kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi hingga hidung dan sebagian tulang pipi orang ini melesak ke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas pembantu Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih sanggup dan sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah diselamatkan oleh dua orang muda-mudi itu keduanya lantas menyembah-nyembah berulang kali seraya mengucapkan terima kasih.
Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri. Dari kedua orang ini mereka kemudian mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
“Sebagai pembantu di tempat kediaman Tumenggung Menggolo kami diam-diam mengetahui adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika gadis itu hamil Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan...”
“Tunggu dulu!” memotong Sulindari. “Adalah tidak masuk akal kalau Sintomurni mau melayani ayah tirinya itu!”
“Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu dengan semacam obat. Guna-guna!” menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. “Dengan iming-iming sejumlah uang dan kedudukan di Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau menolong Tumenggung yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun beranak Jamilah. Dukun itu dipaksa agar menggugurkan kandungan den ayu. Tapi gagal karena kandungan sudah besar dan janinnya sudah kuat. Den ayu meninggal dunia waktu kandungannya itu digugurkan... Ketika hal itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya Tumenggung datang sendiri ke rumah dukun beranak itu pada tengah malam. Kami diperintahkan ikut. Disitu... di rumah dukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudian dipotong-potong....”
“Siapa yang melakukannya?!” tanya Wiro.
“Sangkolo Pratolo, juga Tumenggung Menggolo...” sahut Randu.
“Manusia-manusia biadab!” desis Sulindari.
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?”
“Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntal dalam sebuah kain kuning. Terlebih dahulu Tumenggung mencacah wajah mayat hingga tak mungkin lagi dikenali. Kami berdua kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru silat Sangkolo Pratolo mayat itu kemudian kami bawa dan buang di lereng gunung Merbabu sebelah selatan...”
“Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi pemuda itu lenyap hampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di Gunung Merbabu. Juga dukun beranak Jamilah itu lenyap dari rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro tidak mengetahui kalau kekasihnya hamil...?”
“Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang pemuda polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi keselamatannya. Orang-orang suruhan Tumenggung berkali-kali hendak membunuhnya secara gelap. Dia lalu bersembunyi disatu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut sembunyi bersamanya karena memang den Damar yang menjemputnya malam-malam. Mereka merencanakan untuk melapor pada Patih Kerajaan, tapi tidak berani keluar dari tempat persembunyian karena orang-orang Tumenggung ada dimana-mana...”
“Kalian tahu dimana tempat persembunyian Damar Bintoro dan dukun beranak bernama Jamilah itu?” tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
“Kalau begitu malam ini juga kalian antarkan kami ke sana,” ujar Sulindari.
“Raden dan Rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkan kami berdua pasti akan melakukannya,” sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan Datuk Kepala Besi ke balik celana hitamnya. Dia juga memungut kantong berisi uang perak.
“Semua uang ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung itu sendiri tak bakal lama umurnya.”
DUA BELAS
Malam sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari sampai di tempat persembunyian Damar Bintoro serta Dukun beranak Jamilah. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak dalam rimba belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau menginap pada malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba Kayu Ireng ayah Damar Bintoro
“Tampaknya kita kedahuluan orang lain...” bisik Wiro pada Sulindari dari balik semak belukar sambil menunjuk pada dua ekor kuda besar yang tertambat di bawah pohon. Di bagian lain, di sebelah belakang rumah papan kelihatan pula dua ekor kuda.
Randu tiba-tiba berbisik, “Salah seekor kuda yang tertambat disana milik Tumenggung Menggolo...”
“Bagus! Kalau bangsat itu ada disini berarti semua urusan bisa dibikin tuntas!” ujar Sulindari.
Di dalam rumah papan tiba-tiba terdengar suara pekikan perempuan.
“Itu teriakan dukun beranak Jamilah...” memberi tahu Tikil yang mengenali suara perempuan itu.
Lalu menyusul suara bentakan. “Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka kau hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang kau rusak kehormatannya itu? Manusia Iblis! Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan perempuan tua itu!”
“Itu suara den Damar...” Tikil yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo. “Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak muda! Aku memang tak pernah suka padamu! Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul beberapa saat lagi!”
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Wiro dan Sulindari langsung melompat keluar dari balik semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur berantakan lalu bersama Sulindari dia masuk ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu minyak itu.
Dilantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan. Di depannya Tumenggung Brojo Menggolo tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut, seorang pemuda dalam keadaan tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak. Dialah Damar Bintoro, kekasih Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua berjanggut putih yang mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangan kanannya.
“Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruanku menderita celaka! Kau menyebar maut dimana-mana! Kini perempuan tua tak berdaya itu hendak kau bunuh pula! Biar kucopot kepalamu!” Yang berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung menyerbu Tumenggung Brojo Menggolo. Kedua tangannya berkelebat ke arah leher sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan pada saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang tadi hendak ditusukkannya ke leher Jamilah, kini dibabatkannya ke arah kedua tangan Sulindari. Sebagai seorang yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni Ilmu silat tangan kosong dan ilmu golok.
Namun jelas sekali dia hanya memiliki tenaga luar. Kepandaiannya Itu sama sekali tidak ditopang oleh kekuatan tenaga dalam. Ketika Sulindari mengelak dan menghantam dengan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus langsung Tumenggung Menggolo terpental dan terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya sebelah kanan tampak terkoyak robek dan kulit dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan.
Dia tersandar di dinding dan sulit bernafas. Dia berusaha menusukkan goloknya kearah perut Sulindari ketika si gadis kembali menyerangnya tapi dengan mudah murid Kiyai Djoko Bening itu memukul lengan Tumenggung dan merampas goloknya. Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari pada pemiliknya sebagai senjata makan tuan, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Jangan bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang gantungan agar semua orang tahu kebiadabannya!”
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba Kayu Ireng, ayah Damar Bintoro. Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu. Raden Somba melangkah mendekati Tumenggung Menggolo.
Pada saat itulah orang tua berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan bacokan dari samping. Cepat dan ganas ayunan goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa orang tua ini memiliki tenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanya lewat seujung kuku dari kepalanya. Ketika dia hendak balas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lebih dahulu berkelebat. Dorongan tangan kanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke belakang dan sempat terkejut.
“Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket Plumbung bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang Amerto dari gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaum pemberontak. Padahal tujuanmu adalah untuk menutup pengkhianatanmu sendiri. Kaulah yang mengirimkan sejumlah senjata untuk kaum pemberontak di selatan!”
“Ha ha ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!” berkata Raden Somba. “Sudah sejak lama aku mencurigai gerak gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos lagi!” Raden Somba berpaling pada Wiro. “Pendekar gagah, teruskan perkelahianmu dengan pengkhianat ini! Tapi ingat seperti kawannya yang satu itu dia harus ditangkap hidup-hidup!”
Raden Somba kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo Menggolo. Saat itu selain menderita cidera dan kesakitan akibat pukulan Sulindari, Tumenggung Menggolo memang sudah pasrah karena sadar tak bisa berkelit lagi.
“Aku pasrah menerima segala hukuman, Raden Samba!” katanya dengan suara serak. Terbayang dipelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya itu. Tumenggung Menggolo tekap wajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis sesenggukan.
Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket Plumbung alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari Kerajaan maka dia menjadi kalap. Si jubah kuning ini kirimkan serangan berantai yang ganas berupa dua bacokan dan satu tusukan sekaligus.
Wiro yang mendendam besar akibat kematian para sahabatnya di gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini juga tak kalah kalapnya. Kalau saja dia tidak ingat pesan Raden Somba agar dia tidak membunuh orang itu saat itu rasanya maulah dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuh tua bangka itu sampai lumat.
Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu Wiro mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila. Memang ilmu silat ini sangat cocok dimainkan di tempat yang sempit seperti dalam rumah papan itu. Gerakan kaki tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan yang meliuk-liuk macam orang sempoyongan mabuk tuak.
"Wuttt...!"
Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderu di depan perut Pendekar 212. Begitu sambaran senjata lawan lewat, Wiro membungkuk ke depan seperti terhuyung hendak jatuh, tapi tiba-tiba kaki kanannya sudah mencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak disusul jerit Dewa Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya sudah lebih dulu jatuh di lantai. Tubuhnya tersandar miring ke dinding papan.
Wiro melepaskan totokan di tubuh Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri. Tubuh perempuan tua ini masih gemetaran dan wajahnya masih pucat pasi ketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat ini delapan orang segera masuk lalu menggiring Tumenggung Menggolo dan Sangket Plumbung keluar.
Begitu totokannya lepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro Sableng dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi ayahnya dan berlutut di hadapan orang tuanya itu.
“Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus segera kembali ke Kotaraja!” berkata Raden Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. “Muda mudi gagah. Kami berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan karena berhasil membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama Patih dan Sri Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian akan menyaksikan bagaimana hukum dan keadilan dijalankan disana!”
Wiro memandang pada Sulindari. Karena gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun menjawab, “Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan, masih ada urusan lain yang perlu kami selesaikan. Kami minta diri saja sekarang...”
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia melirik pada Sulindari dan diam-diam merasa cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan tempatnya berpikir sampai disitu. Karena tahu bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka dia pun menganggukkan kepala dan berkata,
“Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas dari segala urusan kalian. Selamat jalan kalau begitu!”
Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi penghormatan hingga Wiro dan Sulindari menjadi kikuk membalasnya. Kedua muda-mudi ini lalu tinggalkan tempat itu. Di atas punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan Sangkolo Pratolo dua muda mudi itu bergerak tanpa ada yang bicara.
“Kemana tujuan kita sekarang?” Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.
“Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!” jawab Wiro. Sang dara diam saja.
“Eh, kau tak suka aku antarkan...?” bertanya Wiro.
“Kau sungguhan mau mengantar?” balik bertanya Sulindari.
“Mengapa tidak? Memangnya ada apa...?”
“Hemm... Bertahun-tahun aku berada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat tiap hari tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarang ada kesempatan turun gunung. Mengapa tidak melihat-lihat dunia luar barang dua tiga minggu...?”
“Ah, itu satu rencana yang baik! Apalagi kalau kita jalan sama-sama. Maksudmu begitu?” Sulindari mengangguk.
“Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantik mu mau berkelana bersamaku. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua tiga tahun pun aku bersedia! Ha ha ha...!”
“Tapi ada saratnya Wiro!” ujar Sulindari.
“Eh, apa itu?”
“Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, Aku tak mau jadi mayat terpotong potong!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Jika kau kembali pulang ke tempat guru mu nanti percayalah tubuhmu akan tetap utuh. Bahkan tidak selembar rambutmu pun akan kurang!”
“Kalau begitu, nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku, apakah ada yang kurang atau tidak!”
“Seluruh rambut di tubuhmu...? tanya Wiro pula.
“Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!” Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan Wiro dan bagaimana dia bisa terjebak menjawab seperti itu. “Pemuda kurang ajar!” teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung Pendekar.
Tapi Wiro sudah membedal kudanya lebih dahulu seraya tertawa gelak-gelak dan berkata, “Ha ha ha! Aku akan menghitung rambut di tubuhmu! Seluruh rambut! Asyik... Asyiiikkkkk...!”
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar