WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : PENCULIK MAYAT HUTAN ROBAN
KETIKA perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang terjadi. Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut mengucurkan air mata.
Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di antara mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
“Sudah bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang dialam baka…”
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi, Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar.
Sumo Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
“Witri…. Witri… Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia semuda ini…”
“Dimas Sumo….” Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang lelaki pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu menerima musibah, kematian puterinya, anak tunggalnya yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun.
“Gusti Allah mengambil Witri tentu karena Dia sayang. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya kelak akan berkumpul lagi di akhirat…”
“Kasihan Witri… Kasihan anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumabi-rumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata beberapa kali merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda, pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang meninggal itu.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk berkumis tadi, kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek, mengharap aga kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon agar almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar -besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh. Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk menjelepok dekat pintu dan menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak seorangpun mengacuhkan pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang minta-minta itu.
Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar.
“Hai…siapakah yang meninggal?” pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari, mungkin juga dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
“Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yang bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
“Bertanya saja tidak boleh…” sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga menjawab.
“Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…”
“Ah kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya.
Yang menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang dibelakang pengantar yang memberi keterangan tadi. “Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin dikatakan gadis!”
“Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu….”
Pengemis itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah disiapkan untuk jenazah, dengan langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi. Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan empat orang ke tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang lahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
“Hai! Apa-apaan ini!” teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke dalam liang lahat.
“Pengemis itu! Gila dia rupanya!”
“Usir pengemis itu!” Terdengar teriakan-teriakan.
Orang yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok pengemis tersebut.
Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul jenazah Suwitri di bagian pinggang lalu menaikkan ke bahu kirinya.
“Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan.
Sementara kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga patah dan pacul terlepas mental dari pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas. Di lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
“Pneculik jenazah”
“Penculik mayat!”
“Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!”
Orang ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu dengan sikap menanang. Sambil menyeringai dia berkata, “Kalian inginkan mayat ini? Ambillah kalau bisa!”
Jalatunda, pemuda yang tadinya adalah calon suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia sampai pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat pemuda ini langsung melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa penemis tua itu tangkap tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu diputar kuat-kuat. Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan tangannya lepas.
“Anak muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat! Tapi tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu dengan tampang galak.
“Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!” Si pengemis tertawa.
“Kalau kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke hutan Roban sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!”
“Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalu melompati pengemis itu.
Entah dai mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di tangan kirinya sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang pengemis. Tapi dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda tusukkan ujung parang ke dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan tangan kirinya, memukul badan parang dari samping. Senjata itu patah dua dan terlepas mental dari tangan Jalatunda. Si Pengemis tertawa panjang.
Ketika orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap. Hanya suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan berkelompok di ujung timur hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya, yang mendengar kejadian dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut pula mendatangi tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti orang yang sedang mengungsi. Banyak yang mendirikan gubuk atau kemah sementara sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Seperti kata penculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah itu memang diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh datang ke ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo Kabelan ayah si gadis lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri dilarikan dan setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat yang dikatakan.
Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan apa yang bakal terjadi. Bersama beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke dalam hutan sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban sejak lama terkenal keangkerannya.
Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap rimba belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai dedemit, mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di dalam hutan itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas termasuk ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni satu hari dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu.Orang ramai mulai gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa cemas. Jelatunda melangkah mundar mandir. Sebentar- sebentar tangannya meraba hulu golok besar yang diikatkannya ke pinggang.
Dia sudah bertekad bulat. Jika pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya sampai mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepas-lepas memandang kea rah hutan yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sang surya tidak lagi memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak henti-hentinya menguik.
“Burung-burung nazar itu….” kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
“Pertanda yang tidak baik….” Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi mengkirik ketakutan.
“Orang-orang Ambarwangi!” ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar suara orang berseru.
“Aku tahu kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis ini…!”
Sebuah benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana ratusan orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi ke dalam hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini ditambatkan pada cabang sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang terayun-ayun itu, ternyata adalah sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
“Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!” teriak seseorang.
“Darah!” seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam hutan. Dengan tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya ayunan pocong membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia mencabut golok dan menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh cepat disambutnya dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar hutan. Orang ramai segera menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda, dibaringkan hati-hati di tanah.
“Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalu lelaki ini membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian tengah jenazah dibukanya. Bau busuk menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri tampak utuh meski pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan sebelah bawah dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya terperangah mundur. Bagian dada serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah membeku di mana-mana.
“Jantung dan hatinya lenyap!” teriak kakak Sumo Kabelan.
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan. Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan. “Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!”
Jalatunda duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang mengerikan serta menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga menggelegak. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak keras. Melompat tegak. Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut kembali golok yang tadi disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari. Dari mulutnya keluar suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di sela bibir. Orang banyak serta merta mundur menjauh.
“Jalatunda kemasukan setan!” seseorang berteriak. “Awas! Mungkin dia mau mengamuk!”
“Menjauh!” teriak seorang yang lainnya.
“Jala, tenang… Kuatkan hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil membujuk.
“Jala! Sarungkan golokmu kembali!” kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
“Keparat! Bangsat!” teriak Jalatunda tiba-tiba.
“Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!” Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
“Jala! Kembali!” teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru memanggil. Namun pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan berteriak-teriak. Sesaat kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan.
Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai saat ini masih saja menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur.
“Rukmi tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata darah itu tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!”
Tejarukmi, gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik dan menutupi wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
“Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah, kami ayah dan ibumu ingin melihat kau bahagia…”
Tejarukmi campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata dengan muka balut “Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya harus kawin dengan lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!”
Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti nak…”
“Saya cukup mengerti ibu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan adalah kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!”
“Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan merasakan kebahagiaan itu…”
“Siapa orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak empat pula!” Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur.
“Dengar Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi tahun depan. Di bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!”
“Saya tidak akan kawin dengan tua bangka itu!”
“Raden Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, keponakan Pangeran Dirjo Samekto…”
“Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!”
“Ibu tahu mengapa kau menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari nada suaranya. Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas.
“Kalau ibu sudah tahu saya menolak, mengapa masih memaksa?!”
“Orang tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan seorang anak petani miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu. Orang tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan kau hendak mengotori darah bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul itu…?”
“Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapia apa bedanya dia dengan kita? Sama-sama manusia…?”
Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu. “Kau sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia cinta itu adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku kawin dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami rasakan jauh lebih bahagia dari cinta…”
“Kalau masa muda ibu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata begitu!”
Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu. “Tak ada gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu. Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!”
“Dipukul sampai matipun saya tidak takut.” Jawab Tejarukmi.
“Anak durhaka!” kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika seisi gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa potong pakaiannya berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari ikut lenyap.
“Anak itu pasti meinggat!” kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil menggebrak meja. Dia lalu berteriak memanggil pembantunya. Kepada para pembantu itu diminta agar menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan sejmulah pasukan untuk mencari anaknya yang lenyap.
“Periksa ke rumah pemuda petani itu!” kata Mangun Sarabean. “Aku yakin Tejarukmi kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna kalau perlu dibikin mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!”
Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis menggerung-gerung. Para pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot, lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan permintaan Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya yaitu pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan sejumlah pasukan untuk mencari Tejarukmi.
Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari kelompok yang berpengalaman dan merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak mengherankan Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua di dalam lembah Gilimanuk yang terletak sekitar setengah hari perjalanan dari desa Ambarwangi. Ketika ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha melarikan diri dari kepungan.
Namun sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata lengkap sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka parah, atas perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di hadapan mata kepala Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh pingsan.
Selama beberapa hari Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, minum pun hanya sekedar membasahi bibir. Lambat laun tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya semakin pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang pembantu membuka pintu kamar gadis itu dengan paksa sambil membawa makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi warangan yang masih tersisa. Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Gadis ini mati bunuh diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh didatangi penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat dimandikan di tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya muncul dengan menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan mata sekian banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya lalu berkata,
“Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah dirumah besar ini hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap di dalam sana...”
“Pengemis berkuda,” seseorang menjawab. “Bukan saatnya kau datang meminta-minta. Orang sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini...”
“Musibah... ah-ah-ah. Sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya diisi dengan suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah yang datang menimpa penghuni gedung ini….?"
Meskipun kesal melihat pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu kembali menjawab, “Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal dunia."
“Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal secepat itu…”
Seorang tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman Mangun Sarabean memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang.
“Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!”
Pembantu itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis tadi tertarik ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan kaku tak bisa digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika pengems itu melangkah menaiki tangga depan gedung. Maka empat orang segera menghadang si pengemis.
“Kalian mengapa berlaku kasar padaku!” kata si pengemis. “Aku datang bukan untuk membuat keributan ataupun mengganggu!”
“Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk. Jika kau inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami terpaksa menggebukmu!” salah seorang dari empat lelaki yang menghadang berkata.
“Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi apakah dia benar- benar sudah mati? Tak bernafas lagi? Jika aku diperbolehkan melihat, siapa tahu aku bisa menolong!”
“Menolong menghidupkannya?!” ejek lelaki tadi.
“Kau tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia dan mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya”
“Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di tempat berkabung ini!” Satu suara membentak. Keras dan garang.
Si pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang bertubuh tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam. Si pengemis manggut-manggut, lalu menjawab,
“Aku mengerti, aku mengerti…”katanya. “Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat calon suami Den Ayu Tejarukmi yang gagal…?”
Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia kenalnya tahu siapa dirinya adanya? “Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot pula.
“Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!”
“Aku dan siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot.
“Kalau begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup kembali. Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya agar gadis itu bisa kau jadikan istrimu...!
Merah paras Raden Jarot mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia ingin melihat Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis yang sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu.
Selesai memberi isyarat maka diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya terdengar suara 'bak-buk-bak-buk' disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh kembali, empat lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang memegang perut, dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan. Semuanya masih meringis dan mengeluh kesakitan.
“Kurang ajar! Kau berani memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu. Sebagai orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya diketahui adalah pemberian seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri Baginda.
Melihat pukulan yan dihantamkan Raden Jarot, semua orang yang hadir di tempat itu sama menduga si pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk, paling tidak bengkak berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan acuh tak acuh pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan.
"Bukkk...!"
Tinju Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi muka dari pukulan. Lelaki ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu pastilah dia akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet.
Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis tua itu, dia adalah seorang yang memliki kepandaian tinggi. Dan dengan memperlakukannya seperti itu jelas dia membawa maksud yang tidak baik. Sambil menghunus kerisnya Raden Jarot berteriak.
“Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini! Dia datang dengan maksud jahat!”
Lebih dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya adalah anggota pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi minggat bersama Wiguno. Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan tertawa aneh.
“Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak Raden Jarot.
Seseorang kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi ditunggangi di pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang di kejauhan.
“Aku hanya memberi nasehat pada kalian!” katanya kemudian pada orang-orang yang mengurungnya. “Menyingkirlah jika ingin selamat!”
“Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot.
Pada saat itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar ruangan dalam. Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung demikian rupa maka diapun menegur.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Raden Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat memperhatikan tangan kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis aneh itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata,
“Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia pergi...!”
Habis berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali. Tapi kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling.
“Tuan rumah, sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh tambalan. Tubuhku kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta belas kasihan... Apalagi minta pakaian, uang dan beras...!”
“Lalu apa maumu...?” Tanya Mangun Sarabean.
Ucapan si pengemis yang memanggilnya dengan sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat Mangun Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian puterinya.
“Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si pengemis.
“He, dia bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingin melihat?” tanya Mangun Sarabean.
Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah mendahului. “Pengemis edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di sini berlaku aturan yang dibuat tuan rumah! Tubuhmu yang babak belur akan kami lempatkan ke jalan sana!”
“Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!” Tubuh pengemis kurus itu berkelebat.
Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit mengetahui dengan apa dan bagian mana dari tubuhnya yang menjadi sasaran serangan. Untuk melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan. Demikian derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu.
Tidak dapat tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat kemudian terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan menancap di langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan main. Dia tahu betul calon menantunya itu memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu dapat menghantamnya dalam satu kali gebrakan.
Sambil menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden Jarot mencoba berdiri lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya, “Tunggu apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau itu!”
Kini lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang tidak dapat lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat pinggang besar yang terbuat dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang memiliki ilmu silat atau kesaktian.
Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun Sarabean dari seorang empu di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si pengemis sama sekali tidak memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan nyatanya demikian.
Dalam beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke kiri dank e kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada yang terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua.
Yang lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa. Bukan saja karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak jadi merasa takut.
Pengemis itu tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap, berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam terdengar pekik orang-orang perempuan.
“Tolong! Penculik!”
“Jenazah den ayu diculik!”
“Jenazah anakku dilarikan! Tolong!”
Apakah yang terjadi? Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah. Mayat Tejarukmi yang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain batik dari sutera, disambar oleh pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia memandang berkeliling sambil menyeringai memperhatikan orang-orang perempuan yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil melompat. “Penculik busuk! Kembalikan anakku!” perempuan ini lalu mendorong si pengemis dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang pinggang jenazah puterinya.
Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu berkelebat pergi bersama mayat Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan bertindak sebagai pemandi dan pengurus jenazh berusaha menghalangi mencakar kedua tangannya ke tubuh penculik.
"Brettt...!"
Pakaian kotor bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal ini membuat di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya perempuan tua itu hingga terjengkang pingsan!
“Jangan coba-coba menghalangiku!” si pengemis berteriak memberi peringatan. “Jika kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore di hutan Roban sebelah tenggara!”
Habis berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya melesat ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis itu.
Rumah besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang coba mengejar. Ada yang manunggang kuda dan membawa senjata. Namun mau dikejar ke mana? Pengemis itu lenyap laksana ditelan bumi!
“Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!” kata Mangun Sarabean di atas punggung kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk perlahan tanda maklum. “Pengemis itu!” katanya. “Siapa dia sebenarnya!”
“Dan mengapa dia menculik mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup mungkin kita bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah mati...”
Sesaat Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda sementara rombongan pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu berada dibelakang menunggu perintah selanjutnya.
“Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai terbunuh...?” Ujar Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot berubah. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian.
“Saya memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat itu menyebut tempat tersebut sebelum kabur!” kata Raden Jarot.
“Jangan terlalu berkhayal!” kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu bukan saja angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!”
“Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari paman Dirjo Samekto…”
“Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat kediaman pamanmu itu…”
Raden Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia meninggalkan tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di Ambarwangi.
Lepas lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah hampir tiga puluh orang, bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka menunggang kuda Raden Jarot didampingi seorang perwira muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang tampuk pimpinan dan memiliki kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di mana-mana.
Di samping itu pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya seluruh anggota pasukan termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai. Dia tahu betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum perampok bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau lemparan tombak. Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara. Mereka masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat perkemahan. Di sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan selanjutnya.
Pertama sekali harus diingat, mereka memasuki rimba belantara itu untuk mencari jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup atau membunuh pengemis yang telah menculiknya. Berarti sepanjang yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan dengan para perampok. Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan lain mereka harus menumpas penjahat itu.
Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru penyelidikan diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sekitar sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka tak menemukan apa-apa. Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak berhasil mereka dapatkan.
Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara hutan Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga kelompok penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai di perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat kepala serba hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di atas-atas pohon sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama.
“Geromblan rampok...” Bisik Raden Jarot.
Rangga Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaan kemah dengan cepat. Tak ada tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari kudanya perwira itu berseru.
“Tamu dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami?!”
Seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih muda, tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal.
“Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban ini!”
“Aku perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku ini adalah Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalian. AKu ingin bicara dengannya!”
Rangga Pangestu sengaja menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk membuat para perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan perampok hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu mendengar ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena kemudian dengan suara lantang dia berkata,
“Katakan apa maksud kalian berada di sini!”
“Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu. Dia sudah dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
“Aku ada di sini perwira muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon besar di samping kanan.
Rangga Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah cabang besar duduk seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil menyedot sebuah pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya tertutup kumis dan cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan, ditambah dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring pada kedua sudut depan, maka tampangnya hampir menyerupai seorang raksasa.
“Sekarang apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan kekuasaanku?” Warok Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke udara.
Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan Roban yang membentang dri barat sampai ke timur itu terdapat beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok berada di bawah pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu ini memiliki jumlah anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian tinggi setingkat perwira madya.
Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung dengan sikap kepala rampok yang bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa seenaknya. Tapi mereka juga menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana mengenal segala macam peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi keterangan.
“Kami tengah mengejar seorang penculik!”
Kunto Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu berkata. “Mengejar seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua mana yang berani masuk ke hutan Roban?!”
“Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!” Yang bicara Raden Jarot.
“Apalagi seorang pengemis!” ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit bagiku mempercayai keteranganmu, perwira muda!”
“Kami tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri bangsawan Mangun Sarabean dari Ambarwangi…” Lalu Rangga Pangestu memberikan keterangan singkat aas apa yang telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya. Dia ingat kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi pembantu juru masak. Ketika hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya diculik seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban sebelah timur tanpa jantung dan hati.
Apakah penculik jenazah puteri Mangun Sarabean itu pengemis yang sama? Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui sesuatu Warok...!”
“Jika daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan membunuh orang itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak akan keluar hidup-hidup dari hutan ini!”
“Maksud terselubung apa?” tanya Rangga Pangestu.
“Sebelumnya aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil kajadian itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbuan terhadap kami orang-orang Roban!”
“Jangan berprasangka terlalu jauh. Jika maksud kami hendak membasmi kalian, sudah tadi-tadi hal itu kami lakukan!” ujar perwira muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa sember. “Malah kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot berkata.
“Bantuan maccam mana?” Tanya si kepala rampok acuh tak acuh.
“Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri Mangun Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso tertawa. “Selama ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan Roban dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak membasmi kami. Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika hampir lima puluh perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami tewas. Aku tetap menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan sesuatu terhadap kami!”
“Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!” ujar Rangga Pangestu.
“Warok!” kata Raden Jarot. “Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau boleh ambil cincinku ini!” lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut besar dari jari manis tangan kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala rampok.
“Cincin bagus…!” Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin itu dalam kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari manis tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. “Kua baik hati Raden Jarot. Terima kasih atas pemberianmu…”
Dari mulutnya kemudian terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu puluhan anggota rampok yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan lenyap masuk ke dalam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang turun.
“Kejar kepala rampok itu!” teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh kesalahannya sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. “Semua tetap di tempat!”
“Cincinku!” ujar Raden Jarot.
Rangga Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan kepala rampok itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orang-orangnya melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka memasuki hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan dengan para perampok. Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik pengemis misterius!
Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa Raden Jarot telah pergi.
“Pergi? Pergi ke mana?!” tanya Rangga Pangestu.
“Masuk kedalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota pasukan. Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin jambrutnya!”
“Celaka! Manusia tolol!” ujar Rangga Pangestu.
“Dia lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula! Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!”
Sisa pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah dibongkar lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang dihadapi bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati tanpa memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya keadaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit untuk bertahan.
Jika saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu memilih lebih baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat tambahan pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden Jarot. Rombongan terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan mereka istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggot pasukan membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat mereka untuk buang hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk pasukan, langsung menemui Rangga Pangestu.
“Ada apa… Kalian seperti dikejar setan?!” tanya Rangga Pangestu. Diam-diam dia sudah maklum kalau sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota pasukan itu.
“Raden Jarot,” kata salah seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru menyambung, “Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana. Bersama anggota pasukan yang dibawanya!”
Rangga Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari mendahului dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul. Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah menelungkup. Ada luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan kanannya hampir putus. Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas berbatu jambrut besar yang malam tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso.
Rupanya kelompok pasukan yang dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali. Sebelas diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam keadaan luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa di dekat situ.
Rangga Pangestu memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat Raden Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu. Selesai penguburan jenazah, Raden Jarot segera diusung menuju Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat membayangkan apa yang akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui keponakannya menemui ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang kembali dengan membawa mayat Raden Jarot itu sampai di bagian tenggara hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah. Rangga Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Aku mencium bau tidak enak…” Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia turun dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah mengapa dadanya berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil kembali? Dan bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si penculik?
Semakin dekat ke semak-semak semakin santar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu menyibakkan ranting-ranting berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu semak belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya sosok tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan perutnya nampak robek besar. Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah yang menebar bau busuk!
“Gusti Allah!” seru Rangga Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang tega melakukan hal ini!”
Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada bagian dada dan perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi diobol oleh tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang tajam dan hatinya lenyap!
“Cari kain!” kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah itu!”
Seorang kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena memang hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat. Dengan demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian Raden Jarot menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
“Tak ada jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi, dimusnahkan. Kalau perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal tantangannya!”
Begitu kata-kata sang pangeran di hadapan para pembantunya. Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia berangkat dulu ke kotapraja guna mendapat persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu disetujui raja. Maka lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga kelompok besar di bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira tingi, beberapa hari kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan rampok dihancur leburkan. Seratus anggota rampok yang mengadakan perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan diri. Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas kelompok Warok Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi setelah kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu mereka sudah meninggalakan perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak diketahui.
Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah timur maupun di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara dicekam oleh kegegeran yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan berada dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan mustahil dia akan menjadi korban penculikan manusia jahat yang sering muncul sebagai pengemis.
Kegelisahan rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah peristiwa penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana telah menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal dunia mati tenggelam di kali yang sedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke kubur. Dua hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah barat dalam keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan tanpa hati! Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang menunggu?!
Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara kerajaan menyerbu. Pagi itu Warok Kunto Rekso memanggil pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia memerintahkan agar pagi itu juga mereka segera meninggalkan perkampungan. Dia tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi cekcok yang membuat kepala rampok naik darah.
Jalatunda, pemuda yang dianggap kurang waras karena peristiwa penculikan Suwitri menolak untuk meninggalkan perkampungan. Jalatunda coba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu mengeluarkan sepotong suarapun. Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
“Jala…” kembali terdengar suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu denganku teruskan perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai akhirnya kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah berbatu-batu. Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau akan malihatku di situ Jala…” Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda terbangun dari tidurnya. “Witri….”desis pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa yang barusan dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang letih dan lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru.
Sesuai dengan petunjuk mimpi, di malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke barat. Dalam perjalanan memang dia menemukan tiga buah pohon beringin besar seperti yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di ujung pohon beringin yan gterakhir, sekitar seratur tombak di depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam kegelapan.
Batu-batu besar yang membentuk bukit itu tertutup lumut tebal. Licinnya luar biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di puncak bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu.
Memandang ke bawah si pemuda melihat sebuah telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak seberapa besar. Di bagian tengah terdapat sebuah batu rata hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini duduklah sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya seperti tengah berlangir, tengah mandi.
“Gila, Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda. Meskipun orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda dia seorang perempuan atau seorang lelaki.
Pada masa itu banyak kaum lelaki yan memelihara rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Orang yang duduk di atas batu rata menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang digosok dengan gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang tersebut memalingkan mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah. Selesai menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu.
“Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri…” Kata Jalatunda dalam hati.
“Tapi dia mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu apakah dia akan berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang sedang mandi melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang ketinggian.
“Bangsat keparat! Berani mengintai orang mandi!” rutuknya marah sekali.
Dia terjun ke dalam telaga. Ketika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kearah Jalatunda, tepat mengenai kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya tidak akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam batu. Dia megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lagi! Mati!
Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak perahu dari pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di samping itu sarana perhubungan berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat, timur dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan. Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung Karangwelang. Tersiar kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa perahu besar itu adalah milik seorang saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ membawa salah seorang puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat langsung dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta. Beberapa orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta tersebut.
Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu. Karena jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke rumah sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang.
Tabib Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar tanah Jawa akan keahliannya mengobati berbagai macam penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah hampir enam bulan mengobati penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk membawa puteri mereka Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan yang sebaik-baiknya. Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke dalam kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie, ayah si sakit segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan lalu. Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan bantuannya. Namun sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga keluarga Wong itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka mereka memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu.
Setelah menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, para ahli pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap sakit apa…?”
Wong Tam Pie gelengkan kepala. “Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang anakku ini penyakitnya aneh…”
“Ada yang menduga dia diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara.
Tabib Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu berkata “Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita kelainan jantung. Hanya saja…”
“Hanya saja bagaimana?” tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak meneruskan ucapannya.
“Hanya saja kalian datang terlambat… Mohon dimaafkan saudara Wong”
“Apa maksudmu saudara tabib…?”
“Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu.”
Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya berusaha berlaku tenang. “Kau… Kau belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah meninggal?”
“Bibirnya kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas biarlah kuperiksa.”
Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan. Dia mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan. Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya. Sementara Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi wajah anak gadisnya.
“Apa yang kami lakukan sekarang?” tanya anak lelaki Wong.
“Kalian beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar jenazah tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat, makin cepat kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik.”
“Eh, kenapa begitu?” tanya Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik nafas panjang. “Kalian mungkin tak percaya… Tapi inilah ceritanya” Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas jenazah enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu.
Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu. Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
“Kami mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan perahu layar besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung rahasia. Kalau sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita…”
Tabib Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya kita menyimpan dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan. Peti mati yang besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat. Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, kalau penculik muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti mati besar…”
Wong Pie segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
Udara di pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup gersang. Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan. Sederetan kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu. Kebanyakan dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol ngalor ngidul.
Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak banyak berbeda di setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik saudagar berlian dari Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui kalau perahu milik saudagar Wong itu membawa anak gadis yang sedang saki untuk diobati oleh tabib Chou.
Dalam salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak menyantap nasi rawonnya dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik pada seorang perempuan yang juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja perempuan ini tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik terus menerus.
Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan orang, namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan perempuan itu Wiro maklum kalau si jelita berkulit kuning langsat ini adalah seorang dari kalangan persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin berkenalan.
Apalagi wajah perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Mengenai Anggini, baca serial Wiro Sableng episode Maut Bernyanyi di Pajajaran) Namun sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai terdengar ada kehebohan. Banyak orang berbondong-bondong menuju dermaga.
“Apa yang terjadi…?” tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu menjawab “Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu meninggal. Tabib Chou tak keburu menolongnya!”
“Ah kasihan….!” Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti tamu lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan pembawa jenazah. Wiro pun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju dermaga di mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain ditumpangi keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk, mengucurkan air mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang sepanjang jalan menangis keras tiada henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah kusir kereta dengan kepala tegak tapi mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh tertinggal dari rombongan induk menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur. Orang banyak ikut mengiringi rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping perempuan cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang baik untuk menegur perempuan ini.
Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya, tersenyum. Ah pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil.
“Sahabat, kau tentu mau menolongku.”
“Tentu saja. Eh, apa ini?”
Si baju biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata “Aku ada keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai pembayar makanan yang tadi kusantap!”
Senyum lebar penuh harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap ketika dia mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat atau mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang banyak. Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai tempat dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah dermaga terdengar suara keributan.
Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat mental dan terhempas di jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang pakaiannya tampak seperti pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda lalu menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang tampak berusaha menghalangi.
Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya. Masing-masing membawa sebatang tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi pengemis di atas keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk menghantam oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat di tangan puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan hingga luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di tempat itu si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kejar!” teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas hantaman cambuk.
“Tidak usah!” Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta kawan-kawannya keheranan.
“Orang itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!” kata si pengawal.
“Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan gerobak sayur itu…!”
Wong Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu besar. Para awak perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur ke dalam perahu. Tak lama kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang meninggalkan dermaga.
Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega. “Untung tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena diculik penjahat!”
“Heran…” kata puteranya sang saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi. Tampaknya seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?”
“Akupun tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan keanehan bisa saja terjadi” kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng. Pertama orang berpakaian pengemis itu melarikan peti mati berisi jenazah puteri saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang saudagar sendiri mencegah para pengawalnya mengejar si pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu besar.
Karena tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya memutuskan untuk mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang ini ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia meneliti ke dalam peti ternyata peti itu kosong!
“Jenazah puteri saudagar itu dilarikan…” Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah itu dibawa kabur. Berarti rasa ingin tahunya menemui jalan buntu hanya sampai di situ.
Sementara itu selagi Wiro berusaha menyelidiki kejadian itu, di pelabuhan telah terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih berkumpul di sepanjang dermaga. Mereka membicarakan apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu besar semakin menjauh ke tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
“Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia menendang pemilik perahu pukat!”
Semua orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka menyaksikan seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan terjatuh ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi diketahui melarikan kereta pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju ke tangah laut, kearah perahu besar milik saudagar Wong.
Yang luar biasanya ialah dia menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung. Perahu pukat itu seperti melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air menuju perahu besar. Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan mata meeka sendiri!
“Tak ada manusia yang mampu mendayung perahu dengan tangan seperti itu!” kata seseorang.
“Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang lainnya.
Lalu ada seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya, “Eh, bukankah tadi dia melarikan peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak mengejar perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya?!”
Orang banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama setelah itu tampak asap hitam mengepul di atas perahu besar.
“Perahu besar itu terbakar!” teriak orang banyak berbarengan.
Pada saat itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan perahu besar dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak kelihatan lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu tampak seperti menyeruak di antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur dan akhirya lenyap di titik batas pemadangan.
“Apakah kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa melakukan sesutau untuk menolong?!” Satu suara terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang bicara ternyata adalah seorang kakek mengenakan kain dan selempang putih. Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jauh ke tengah lautan, kea rah perahu besar yang diamuk api.
“Ah, empu Tembikar tupanya…” Kata seseorang. Orang ini seperti sadar segera berteriak. “Yang memiliki perahu besar itu!”
Lalu dia mendahului lebih dari selusin perahu kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang terbakar. Namun nyala api besar sekali. Sebelum orang-orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir musnah. Di antara isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan diri, terjun ke laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan.
Keduanya segera ditolong dan dibawa ke darat. Sampai didarat mereka segera dihujani pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang dari awak perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api.
Ketika kebakaran itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan. Persediaan air di perahu itu ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh di Tanjung Karangwelang belum sempat mengisi air.
Di dalam suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat kemunculan tiba-tiba pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu tanpa seorangpun awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya dapat mencegah.
Karena saat itu masing-masing berusaha memadamkan api bahkan lebih banyak ingin menyelamatkan diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian menemukan sebuha peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur dalam gerobak. Dia langsung membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri Saudagar Wong. Begitu dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera meninggalkan perahu besar, melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi perahu besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak perahu itu. Sejak beberapa bulan lalu dia memang pernah mendengar peristiwa-peristiwa menggemparkan tentang dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau perempuan muda yang belum kawin. Apakah artinya semua ini. Apa perlunya seseorang menculik mayat? Dan kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis, seperti manusia yang tadi disaksikannya melairkan kereta mayat!
Di tengah laut perahu besar itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yan gkelihatan. Baian lainnya sudah musnah dimakan api dan enggelam ceraiberai ke dalam air laut. Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut memandang kea rah kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok tubuh yang tahu-tahu sudah tegak tepat di depannya.
Ternyata yang berdiri di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih yang tadi didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar. Orang tua ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang matanya yang kelabu.
“Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!” Orang tua ini berkata.
Suaranya tandas seperti menghukum. Wiro berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah meninggalkannya. Penasaran maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh sekali dia berjalan mengikuti hingga akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya dan bertanya,
“Mengapa kau mengikutiku?!”
“Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid Sinto Gendeng.
“Oh, jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka bicara dengan orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya sendiri!”
“Kebodohan apa yang telah kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel.
“Aku tahu kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu. Tapi mengapa kau tidak melakukan sesuatu…?”
Wiro garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab, “Mampu belum tentu bisa. Perahu besar itu terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir musnah. Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut untuk menolong. Nyatanya mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang pandai atau dewa yang mempu malakukan pertolongan ajaib…!”
Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa. “Kau pandai bicara mencari alasan. Ketika kereta pembawa peti mati dilarikan orang, kaupun bertindak lalai…”
“Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro.
“Itu karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan bahwa soal waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa manusia…?”
“Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?”
Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya. “Orang tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh, pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau lakukan selama kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara…?”
Paras orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum. “Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda seperti kau adalah para pelaksana…”
“Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan orang muda…!”
“Terserah kalau kau berpendapat seperti itu…”
Wiro tak mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata, “Kalau katamu orang tua tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa yang dapat kau berikan saat ini?!”
“Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang dialami jenazah para gadis di kawasan ini?”
“Tidak,” jawab Wiro sengaja berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?”
“Kejahatan itu harus dihentikan!” jawab Empu Tembikar.
“Kenapa kau tidak menghentikan?”
“Karena ada seorang lain yang harus menghentikannya?”
“Siapa?” tanya Wiro.
“Kau…!”
Wiro melengak kaget. “Mengapa musti aku?”
“Aku tidak tahu!”
“Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu? Penculik itu?”
“Aku tidak tahu” jawab Empu Tembikar.
“Kau mungkin tahu dimana kediamannya?” tanya Wiro lagi.
“Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya di arah timur, tenggara atau timur lautan hutan Roban.”
“Kalau dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya dia melakukan itu?”
“Untuk mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!”
Wiro merasa tengkuknya jadi dingin. “Apa guna jantung dan hati itu? Untuk disantap? Ih!”
Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain putihnya. “Seseorang memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah isinya. Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut…” Habis berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Wiro Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada pematang tambak ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan angin yang sepoi-sepoi membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan keras yang tadi diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang, ditulis dengan huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai membaca.
INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN
Sejak dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan. Mereka takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan menjadi…
Belum sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia merasa ada angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat menghantam dengan tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong. Bersamaan dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut matanya menangkap gerakan sosok tubuh di samping kanan.
Secepat kilat murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia menghantam tempat kosong. Malah saat itu satu dorongan yang luar biasa hebatnya membuat terhuyung-huyung ke kiri.
“Setan alas keparat!” maki Wiro. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan kirinya tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat dan berusaha menelikung dengan tangan kanan sambil memukul dengan tangan kiri.
"Pesss…!!!
Terdengar suara mendesis. Wiro Sableng masih belum sempat melihat siapa adanya orang yang menyerang dan merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap hitam berbau harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup pemandangannya namun juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung dia cepat sadar.
Sambil tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212. Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang kebal racun kini samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari senjata mustika itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih. Asap hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali.
Tapi orang yang tadi belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang pendek. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau tidak punya kesempatan melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu merampas kertas yang sedang dibacanya.
Wiro diam-diam menyadari. Dan ini membuat tengkuknya dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau mencelakainya atau membunuhnya, pasti hal itu dapat dilakukannya. Wiro memandang jauh ke depan, kearah tambak ikan asin yang luas sementara matahari sore semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala.
“Guru sendiri tidak sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia yang dapat bergerak demikian cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia…? Bukan setan maghrib yang kesasar? Dan bau harum aneh itu…?”
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu dengan perasaan tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu.
Warok Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh orang anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan sejak pasukan kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok gerombolan rampok yang ada di situ.
Jika saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok yang dipimpinnya juga akan mengalami bencana yang sama. Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban, berputar-putar di pedalaman yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya siang itu mereka sampai di tempat itu.
Kunto Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai memanjat bukit batu untuk menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk. Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera mengetahui bau busuk itu adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, lalu bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar.
Kunto Rekso tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya. Terkapar melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala rampok ini ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda, pemuda pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut bersamanya.
“Buang mayat ini jauh-jauh dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya. “Aku akan menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku memilih kita mendirikan perkampungan baru di sini.”
Lalu kepala rampok ini meneruskan maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya merasakan di atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak bukit batu, di sebelah bawah seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau membiru. Di tengah telaga tampak sebuah batu licin rata hampir berbentuk sebuah meja. Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar sekali.
“Ini tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala rampok ini mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera naik ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pembangunan perkampungan. Beberapa pohon besar ditebang untuk diambil kayunya. Menjelang malam tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan di antara rombongan perampok pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika seorang anak buahnya membangunkan.
“Keparat jadah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku?!”
“Warok, ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata anggota rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena takut dihantam jotosan pemimpinnya.
“Apa katamu?!” Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang amti…?!”
“Mereka dibunuh!” kata seorang anggota lainnya.
Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki bukit batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya yang telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang betul. Lima anggota rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak terkulai tanda patah!
“Keparta! Edan! Siapa yang melakukan…?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto Rekso berpaling di batang pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu membacanya dengan pelipis bergerak-gerak.
Lima mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir. Daerah ini adalah daerah kekuasaanku. Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini. Apalagi hendak membangun perkampungan. Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera tinggalkan tempat!
“Setan alas!” kutuk Kunto Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut! Tak berani memberitahu nama!” Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat. Berkali-kali dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di pinggangnya. Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
“Pemimpin, apa yang harus kita lakukan…?” Seorang anak buahnya bertanya.
“Apa yang harus kita lakukan? Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan perkampungan! Di sini! Di tempat ini!”
“Tapi surat itu.”
“Keparat! Apa kau harus takut pada selembar kertas?!” Kunto Rekso bantingkan kertas yang tadi diremasnya ke tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku akan mengawasi. Aku mau lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak buahku! Jika dia muncul kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!”
Begitulah sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok yang terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke bawah dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang berganti malam tak terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau menghalangi.
Meskipun hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was. Mengingat kematian lima anak buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang sama. Tapi orang itu sendiri siapa?
Begitu malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin anak buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya malam hari itupun akan berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum lagi sinar matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan pepohonan di kaki bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota rampok yang melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara yang sama seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah!
“Keparat anjing kurap!” teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok besarnya. Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya menjauh ketakutan.
“Ini sudah keterlaluan! Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari persembunyianmu! Jangan hanya berani membunuh secara membokong!”
Sesaat setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara tertawa melengking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau perempuan, ataukah suara jin pelayangan!
“Lihat!” seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari mana datangnya saat itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja kertas itu sudah di tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa baris tulisan.
Peringatan telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan.
Sebelah mata sudah berkecukupan.
Jika masih membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut membaca surat tersebut, tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan pada siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata memandang berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan geraham bergemeletukan, Warok Kunto Rekso tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya suara tertawa aneh itu. Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah, menembus kerapatan daun pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
“Bangsat! Keparat!” maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya tidak mengenai sasaran apa-apa.
Di saat itu justru kembali terdengar suara tawa melengking. Lalu tiba-tiba saja meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah sebuah senjata rahasia.
Ketika melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah tapi mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas seperti itu siapa takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini secepat kilat menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke depan untuk menghantam senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya.
"Tringgg...!"
Golok dan senjata rahasia bentrokan di udara keluarkan suara nyaring. Warok Kunto merasakan tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam kembali dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat patahan golok yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan itu.
Namun baru saja golok melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda putih berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak mungkin baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu menderu dan menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang telinga!
Sang Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya. Dia lari kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang berada di dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi segera menotok pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus mengucur namun rasa sakit berkurang sedikit.
“Setan! Tempat ini dikuasai setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia merobek bajunya dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang bocor.
“Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!” perintahnya.
“Kami siap Warok. Tapi kita menuju kemana?” bertanya seorang anggota rampok.
“Jalan saja dulu!” sahut Kunto Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!”
Maka rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu segera tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di daerah pantai mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari Warok Kunto Rekso merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan, menjadi perampok lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata Satu.
Sementara mereka berlalu, di kejauhan terdengar tawa melengking, panjang dan membuat bulu kuduk para penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing mempercepat langkah. Bukan mustahil bencana yang lebih celaka akan menimpa mereka.
Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur. Hasil sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman. Dari hasil ladang maupun sawah dan peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal hidup berkecukpan.
Di samping itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal jauh sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit putih, senang memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut tubuh yang elok mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain sering datang ke situ atau orang tua sengaja pergi ke sana untuk meninjau menjajagi kemungkinan bagi mereka atau putera mereka untuk mendapatka jodoh yang diidamkan. Umumnya para pemuda dan orang tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka datang dan selalu kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang dapat dipersunting beberapa bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan adanya pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang kulit atau ketoprak.
Dari sekian banyak bunga harum jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum yang memiliki kelebihan dari pada dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona, bunga tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun tebu, berusia menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas. Bahkan terkadang di usia lima atau empat belas.
Karenanya usia dara yang satu ini, yang menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk kawin. Namun demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian. Malah semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita parasnya dan semakin matang sikap lakunya.
Semua ini membuat semakin banyak pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera mereka dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara kabarnya masih belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang orang tua belum mendapatkan calon menantu yang cocok.
Akibatnya lambat laun penduduk desa menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami yang gagah serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah terkenal.
Memang Wilani memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal lainnya. Parasnya bulat telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam panjang sepinggang, selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum. Sepasang matanya bening seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya kecil mancung.
Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya bukan main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat.
Raut tubuhnya ramping di pinggang besar di dada dan pinggul..Kalau berjalan lenggoknya membuat para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri pandang pada sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik kain panjang yang dikenakannya.
Segala kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja menjadi redup. Desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu berselang dikabarkan Wilani telah jatuh sakit. Telah berbagai macam obat diberikan namun sakitnya tidak berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun minuman sulit melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus itu kini menjadi kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung.
Beberapa orang pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah pula dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum dapat dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit. Namun menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejenis penyakit menular. Hingga semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam kamar di mana gadis itu terbaring.
Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia sebelum sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu. Demikian orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya.
Suatu malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang menemui kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi mereka namun sebegitu jauh tidak mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si sakit. Diapun tidak memaksa karena kalau memang Wilani menderita penyakit menular, siapa mau kebagian penyakit berbahaya itu.
“Mas Prayit…” Kata Ronocula pada ayah Wilani. “Aku dan orang sedesa selalu mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah dan dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya…”
“Terima kasih dimas Ronocula,” jawab Prayit. Ucapan seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala desa.
“Kami tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, kalau puterimu diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Kau kita semua harus berjaga-jaga…”
“Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas Ronocula?”
Lalu kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang selalu muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya telah lenyap dan jenazahnya rusak mengerikan.
“Aku memang ada juga mendengar hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua itu hanya cerita kosong belaka… Apa perlunya orang menculik mayat…”
“Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh. Berbagai kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada harganya. Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah mencoba kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain secara semena-mena demi untuk kepentingan ilmunya…?”
Prayit terdiam sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata “Kalau cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami nasib seperti itu…”
“Itu yang kita harapkan mas. Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah kejadian maka jangan sampai ada penyesalan seumur hidup…”
“Lalu bagaimana menurutmu? Apa yang baik yang harus kita lakukan…?"
“Kita harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan mengepalainya. Barisan ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan guru silat Bagus Menak dari dukuh Jatiwangi…”
“Terima kasih kalau kau mau melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai kepala desa Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, memiliki jimat yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi kalau guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku akan merasa aman…” Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik adalah kalau puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah payah…”
“Itulah yang selalu kami doa dan harapkan,” sahut Ronocula.
Tapi doa dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari setelah kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya muncul, seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia.
Hampir seluruh penduduk desa datang melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis yang malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah telah dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan menebar.
Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula duduk berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih. Sehelai kain sarung tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara ini adalah guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan muridnya. Kesembilan murid silat ini bersama-sama lima pembantu kepala desa senantiasa berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah kotor dan berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai pakaian.
Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian kusir gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersbut bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seoranpun ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi rombongan pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah tampak mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat.
Pada saat jenazah dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di balik pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau!
“Pengemis penculik!” teriak Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki tanah pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru silat Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan anak buahnya. Maka enam belas orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir gerobak itu. Sang kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak,
“Ringkus manusia itu!”
Para pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan senjata. Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa perlunya pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh kena tendangan kaki serta hantaman pengemis itu barulah mereka sadar.
Ronocula segera cabut kerisnya, Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian dalam diisi dengan potongan besi lentur. Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia mendahului menyerang. Bagus Menak sambut dengan hantaman kain sarung, Ronocula datang dari samping dengan tusukan keris. Enam orang lainnya menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang atau golok.
Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit memperhatikan semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara kebanyakan para pengantar berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang selanjutnya terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris Ronocula membuat angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang tubuhnya.Tapi apa yang kemudian terjadi justru kebalikannya.
Bagus Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan dan dia tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan melesat kearah perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis di atas gerobak lepaskan betotan pada kain sarung.
Akibatnya Bagus Menak terhuyung ke belakang oleh daya tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng ke samping menghantam dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan. Kepala dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis. Hanya saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu berhasil dirampasnya.
Ronocula keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat senjata orang-orang yang ada di pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan tangan kosong. Pengemis di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental sambil menjerit kesakitan.
“Makan kerismu ini!” pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris kepala desa kepada pemiliknya sendiri.
Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan bahwa Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap di dada, tepat di bawah tenggorokannya. Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat berteriak,
“Lindungi jenazah! Lindungi jenazah!”
Tapi percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi jenazah Wilani, manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat merampas jenazah lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus Menak cepat menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi kali ini nasibnya jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalu tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
“He-he-he!” Pengemis penculik tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang masih merasa memerlukan mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah timur besok malam!”
Habis berkata begitu penculik ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak murid Bagus Menak yang menjadi kalap melihat kematian guru mereka, meskipun sadar bahwa penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan menyerbu dengan senjata di tangan.
“Manusia-manusia tolol!” maki pengemis penculik. “Mencari mati dengan percuma!” Tangan kanannya menghantam. Kakinya sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah kanan terpelanting muntah darah. “Ada lagi yang minta mampus?!” Si pengemis menantang sambil menyeringai.
Tak ada yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah Wilani terduduk setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah pohon. Si penculik keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya bersama jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan.
Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri ke jurusan selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa berhenti, tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya. Semakin ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus kelebatan daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara ini.
Di satu bagian hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik membelok tajam ke kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di sini barulah dia menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh tersungging di mulutnya. Dari tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya berteriak.
“Penguasa hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!”
Habis berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang mudah mendaki bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si pengemis. Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya. Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di puncak bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit batu dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh Warok Kunto Rekso.
Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali terdengar suara siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga akhirnya sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk meja.
Jenazah Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas tampak dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya.
“Bersabarlah... bersabarlah...” katanya. “Aku akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan dan berhias...”
Lalu pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke tepi telaga sebelah timur di mana tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecil-kecil. Di sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.
Dengan tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh, batu itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan batu yang berwarna kelabu.
Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada sebuah pembaringan yang terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal hampir menyerupai permadani. Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu. Di sudut lain terdapat ruangan cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu. Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru. Ternyata ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur!
Ada asap tipis keluar di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi melangkah masuk. Dari dalam lemari batu di turunkannya sehelai jubah panjang berwarna biru. Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki. Pada bagian kepala jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobang-lobang ini dibuat demikian rupa agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar. Tanpa menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni lalu dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu berisi minyak yang sangat harum.
Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi. Berlangir mungkin. Sampai matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore siap memasuki malam si pengemis masih belum keluar dari air telaga.
Tak lama kemudian terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus sehingga sulit ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu adalah suara perempuan.
Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air. Tubuhnya masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan batu, tapi dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua lusin potongan bambu yang ternyata adalah obor.
Ketika obor itu dinyalakannya dan dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi deperti dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani. Kemudian agak tergegas dia melangkah menuju pintu batu.
Membukanya, masuk ke dalam ruangan batu dan menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara nyanyian itu terdengar tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada pertengahan suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu batu tampak bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri sesosok tubuh.
Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan pakaian biru yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah seorang dara berparas sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yang dikenakannya hingga nyala obor disekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi tembus pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi telaga. Ada sebuah benda di tangan kanannya yan gberkilauan tertimpa api obor. Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing ujungnya.
Waktu sampai di tepi telaga sang dara hentikan langkah. Dia mendongak ke atas dan pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah melafatkan sesuatu. Mantera?
Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan perlahan-lahan. Sepasang mata dibuka kembali dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah jenazah di atas batu hitam. Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu melesat ke tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar.
“Penguasa hari tua!” sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan malam dingin ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba saatnya untuk melakukan hajat!”
Dara jelita angkat tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai senjata ini dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, membacok ataupun menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran disertai kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat kemudian gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahan-lahan pisau besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat pejamkan mata, kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari tangannya bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai mambuka tali kain putih pengikat jenazah di bagian perut.
Nafasnya memburu dan panas. Dadanya turun naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat. Selesai membuka tali pengikat di bagian perut, kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap untuk membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah tersingkap lebar, dua manusia sama-sama tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir jatuh ke dalam telaga!
“Keparat! Siapa kau?!”
“Setan alas! Kau sendiri siapa?!”
Dua bentakan menggeledek di malam buta! Sosok jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak.
Brettt! Brettt! Brettt...!" Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai dari ujung kaki sampai kepala. Mengerikan!
Apakah jasad Wilani yang sudah jadi mayat itu kini hidup kembali?! Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di atas batu besar itu bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong. Dia mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap hingga dadanya yang telanjang kelihatan tegap penuh otot.
Di dada kanan ada guratan biru kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor! Pemuda di atas batu adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 menyeringai tapi penuh waspada.
“Jadi kau rupanya!” desisnya. “Tidak disangka gadis secantikmu ternyata penculik hutan Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di Tanjung Karangwelang?!”
Gadis berbaju biru tipis tak menjawab. Sepasang matanya tampak seperti dikobari api, memandang tak berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang membersitkan hawa ganas itu justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar kita! Diam-diam dia ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu yang lalu. Bau yang sama kini berada di sekelilingnya, bersumber oada tubuh yang bagus mulus itu.
“Kau juga orangnya yang merampas surat yang kuterima dari Empu Tembikar! Pasti!” kata Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Kalau tidak turun tangan dan melihat dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang begini cantik ternyata seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi korban! Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi.. Ha-ha-ha!” Wiro tertawa bergelak. “Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini! Ha-ha-ha! Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!”
Entah mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih terkesiap oleh rasa tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat itu.
“Pemuda keparat! Penipu!” tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
“Menipu jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng. “Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa menjebakmu seperti ini!"
“Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!” desis gadis berbaju biru. “Sebelum mampus katakan siapa namamu!”
Wiro tersenyum. “Namaku jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja orang-orang tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng dari gunung Gede itu!”
“Hemm… Kau tahu juga asal usul guruku!” ujar Wiro meski diam-diam merasa heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu dengan selembar jiwamu?!”
Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan tegakah dia membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya ini? Di samping itu dia merasa perlu untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan ini.
“Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan itu…?”
“Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!”
Begitu bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya menerpa Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika terjadi perampasan surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu jelas bahwa si perampas memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit dilihat dengan jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay tersebut. Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu angin datang menerpa Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik lalu balas menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'. Gumpalan angin dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung.
"Byarrr...!"
Pukulan murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat belasan tombak ke atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat dan satu sodokan siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak urung siku lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah.
Selagi dia menahan sakit satu jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas jauh dari atas batu besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur hidup baru sekali itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam gebrakan pertama saja dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin diimbangi kecepatan gerakannya maka dari dalam telaga Wiro lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan dengan pukulan 'Topan Melanda Samudra'. Suara seperti angin punting beliung menderu mengeirkan. Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti mendidih dan muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti hendak digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan kedua tangan. Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro, membuat pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan sakti yang sanggup memusnahkan serangannya tadi!
“Celaka! Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku harus mampus di tangannya? Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka kini dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya. Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghadapi lawan.
Sesaat sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro Sableng pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul. Gadis baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja. Karena sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik sinar pukulannya, menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat, tapi suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan berada. Maka pukulan sakti bernama 'Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih' yang tadi telah dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke atas ke arah lawan.
Dengan cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak larikan diri Wiro berseru “Pengecut! Jangan kabur!”
“Keparat! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas meninggalkan tubuh!” teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke arah mata, tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat keluar dari air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya. Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air. Sekujur tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru terpental satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas batu besar. Dari gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera yang tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi baru saja bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke arahnya!
“Senjata rahasia! Pengecut!” teriak Wiro.
Sang dara keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya mengeluarkan tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh. Dan tak pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata rahasia berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam lawan barang satupun?
Namun hari itu sang dara menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah sana hancur lebur.
Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke kiri. Kecepatan gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu pakaian birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut terluka. Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel besi panas!
Selagi lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki kanannya mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss...! Asap hitam mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal yang sama. Dia tak mau tertipu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri dengan menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang pohon.
Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana. Dan saat itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta merta Wiro melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara!
Kagetnya si gadis bukan kepalang. Marah, penasaran tapi diam-diam juga kagim melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
“Curang!” maki Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam keadaan luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia menyerbu lagi. Tetapi sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya. Dingin menggidikkan.
Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya. Salah satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai mengiris bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan.
“Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” kata gadis itu.
Wiro Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis seperti gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan. Tetapi entah mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian Wiro melihat sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha menahan tangis. Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air mata menetes membasahi kedua pipinya.
“Bunuhlah... Lekas bunuh!” terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali dari mulutnya. Namun kini tidak sekeras tadi, semakin perlahan semakin memilukan.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi leher. Di lain kejap, bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke depan, menotok tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis ini melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka tidak putus. Sepasang matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
“Kenapa tidak kau bunuh? Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat membunuhku...?” Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya. “Dosamu memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas bagimu. Namun aku perlu beberapa keterangan...”
“Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu tetakkan ke kepalaku!”
Wiro gelengkan kepala. “Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis. Mengorek jantung dan hatinya...!”
“Itu bukan urusanmu!”
“Kau betul, itu bukan urusanku,” ujar Wiro.
“Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!”
“Kau juga merampas surat yang kudapat dari Empu Tembikar... Mengapa... Itu bukan suratmu atau surat kekasihmu...?”
“Jangan coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku akan membunuhmu...!”
Wiro tertawa. “Katakan, siapa yang kau sebut penguasa usia itu?”
Paras sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia bungkam seribu bahasa.
“Ketika sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama itu. Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis itu?!”
“Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan sumpahku sendiri! Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati! Bunuh aku!”
“Dalam usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut mati?”
“Aku bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!”
“Jangan bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak takut pada kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan selama ini hanya berarti kesia-siaan belaka?!”
“Aku telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!”
“Kalau begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!”
“Bangsat ini pandai bicara mengorek keterangan!” maki si gadis dalam hati. ”Lebih baik aku mengunci mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot. “Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” sentaknya.
“Dengar, aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti keadaanmu ini. Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk melepaskanmu”
Si gadis tertawa. “Aku tahu jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu. Begitu dapat... Cis!”
Wiro tetawa panjang, lalu berkata, “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari sini...”
“Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!”
“Aku memang akan kembali,” jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang buas dan berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular dan laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih...”
Lalu tanpa mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara. Kedua mata sang gadis kembali tampak melotot. Kemudian terdengar suaranya meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar gadis itu berseru,
“Jangan pergi! Kembalilah... Aku akan terangkan apa yang kau minta...”
Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali. “Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau melakukan kejahatan ganas luar biasa!”
Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi keterangan.
“Semua berasal dari keinginan gila... Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajar-wajar saja. Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia...”
“Hemm... Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia...”
“Aku sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan untuk menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung Karangwelang. Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu begitu berat. Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia menderita sakit sekian lama...” Kini aku tahu, kau yang mengatur semua itu bukan?”
Wiro mengangguk. “Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan rasa takutmu dimakan usia...?"
“Seseorang mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh tiga tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus melakukan sesuatu. Sesuatu itu adalah...”
“Menculik anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu memakannya!” potong Wiro.
“Aku memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku tidak memakannya!” sahut sang dara.
“Lalu?”
“Hati dan jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan pada muka dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat seseorang perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya...”
“Kau percaya pada kekuatan gila itu?!”
Si gadis tak menjawab. “Siapa yang menanamkan kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro.
“Empu Tembikar!”
“Edan! Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka rahasia dirimu itu! Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran di atas perahu Cina itu...?”
“Mungkin... mungkin dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku. Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak mungkin dapat menahan ketuaan”
“Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?”
“Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap aku mendapat jenazah baru...”
Wiro menarik nafas dalam. “Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu terselubung tangan iblis untuk menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap paras si gadis. “Katamu kau mendapatkan ilmu awet muda itu dari Empu Tembikar. Apakah dia juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu...?”
“Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang kuperbuat!”
“Kau murid yang baik,” kata Wiro.
Si gadis tundukkan pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua riwayatku...”
“Belum semua.”
“Maksudmu?”
“Aku belum tahu siapa namamu...?”
“Lebih baik kau tak perlu tahu namaku”
“Begitu? Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu kita bertemu lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu...”
“Ucapanmu seperti kau memang benar-benar tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu lagi...”
Wiro angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan gerakan perlahan dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya kini terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau melompat menjauh. Sepasang matanya kembali tampak berkaca-kaca.
“Kau bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu menculik anak perawan orang... Ha-ha-ha!. Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!”
Sang dara tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
“Aku tak akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang dara sambil tundukkan kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya.”
Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian telaga dimana terletak pintu yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam diambilnya dua buah obor dan diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk disalah satu kursi batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang pintu.
“Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini. Malam ini juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang...”
“Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu.”
Sang dara kelihatan merah parasnya. “Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?” tanya Wiro kemudian.
“Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu”
“Tak ada gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal kita si pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat...”
“Tapi walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung jawab!”
“Terserah padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat dari kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada orang-orang dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok malam...?”
Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum. “Aku ingin pergi ke puncak sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan Tuahn masih mau mengampuniku...” kata Mantini sesaat kemudian.
“Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih suka tidur di tepi telaga...”
“Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini...”
Wiro menggeleng. “Kau takut aku membokongmu secara pengecut?” tanya Mantini.
“Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di Tanjung Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang...
SATU
KETIKA perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang terjadi. Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut mengucurkan air mata.
Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di antara mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
“Sudah bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang dialam baka…”
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi, Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar.
Sumo Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
“Witri…. Witri… Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia semuda ini…”
“Dimas Sumo….” Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang lelaki pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu menerima musibah, kematian puterinya, anak tunggalnya yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun.
“Gusti Allah mengambil Witri tentu karena Dia sayang. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya kelak akan berkumpul lagi di akhirat…”
“Kasihan Witri… Kasihan anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumabi-rumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata beberapa kali merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda, pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang meninggal itu.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk berkumis tadi, kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek, mengharap aga kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon agar almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar -besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh. Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk menjelepok dekat pintu dan menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak seorangpun mengacuhkan pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang minta-minta itu.
Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar.
“Hai…siapakah yang meninggal?” pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari, mungkin juga dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
“Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yang bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
“Bertanya saja tidak boleh…” sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga menjawab.
“Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…”
“Ah kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya.
Yang menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang dibelakang pengantar yang memberi keterangan tadi. “Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin dikatakan gadis!”
“Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu….”
Pengemis itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah disiapkan untuk jenazah, dengan langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi. Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan empat orang ke tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang lahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
“Hai! Apa-apaan ini!” teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke dalam liang lahat.
“Pengemis itu! Gila dia rupanya!”
“Usir pengemis itu!” Terdengar teriakan-teriakan.
Orang yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok pengemis tersebut.
Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul jenazah Suwitri di bagian pinggang lalu menaikkan ke bahu kirinya.
“Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan.
Sementara kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga patah dan pacul terlepas mental dari pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas. Di lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
“Pneculik jenazah”
“Penculik mayat!”
“Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!”
Orang ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu dengan sikap menanang. Sambil menyeringai dia berkata, “Kalian inginkan mayat ini? Ambillah kalau bisa!”
Jalatunda, pemuda yang tadinya adalah calon suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia sampai pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat pemuda ini langsung melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa penemis tua itu tangkap tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu diputar kuat-kuat. Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan tangannya lepas.
“Anak muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat! Tapi tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu dengan tampang galak.
“Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!” Si pengemis tertawa.
“Kalau kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke hutan Roban sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!”
“Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalu melompati pengemis itu.
Entah dai mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di tangan kirinya sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang pengemis. Tapi dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda tusukkan ujung parang ke dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan tangan kirinya, memukul badan parang dari samping. Senjata itu patah dua dan terlepas mental dari tangan Jalatunda. Si Pengemis tertawa panjang.
Ketika orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap. Hanya suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
DUA
Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan berkelompok di ujung timur hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya, yang mendengar kejadian dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut pula mendatangi tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti orang yang sedang mengungsi. Banyak yang mendirikan gubuk atau kemah sementara sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Seperti kata penculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah itu memang diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh datang ke ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo Kabelan ayah si gadis lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri dilarikan dan setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat yang dikatakan.
Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan apa yang bakal terjadi. Bersama beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke dalam hutan sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban sejak lama terkenal keangkerannya.
Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap rimba belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai dedemit, mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di dalam hutan itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas termasuk ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni satu hari dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu.Orang ramai mulai gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa cemas. Jelatunda melangkah mundar mandir. Sebentar- sebentar tangannya meraba hulu golok besar yang diikatkannya ke pinggang.
Dia sudah bertekad bulat. Jika pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya sampai mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepas-lepas memandang kea rah hutan yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sang surya tidak lagi memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak henti-hentinya menguik.
“Burung-burung nazar itu….” kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
“Pertanda yang tidak baik….” Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi mengkirik ketakutan.
“Orang-orang Ambarwangi!” ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar suara orang berseru.
“Aku tahu kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis ini…!”
Sebuah benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana ratusan orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi ke dalam hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini ditambatkan pada cabang sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang terayun-ayun itu, ternyata adalah sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
“Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!” teriak seseorang.
“Darah!” seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam hutan. Dengan tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya ayunan pocong membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia mencabut golok dan menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh cepat disambutnya dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar hutan. Orang ramai segera menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda, dibaringkan hati-hati di tanah.
“Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalu lelaki ini membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian tengah jenazah dibukanya. Bau busuk menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri tampak utuh meski pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan sebelah bawah dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya terperangah mundur. Bagian dada serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah membeku di mana-mana.
“Jantung dan hatinya lenyap!” teriak kakak Sumo Kabelan.
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan. Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan. “Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!”
Jalatunda duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang mengerikan serta menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga menggelegak. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak keras. Melompat tegak. Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut kembali golok yang tadi disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari. Dari mulutnya keluar suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di sela bibir. Orang banyak serta merta mundur menjauh.
“Jalatunda kemasukan setan!” seseorang berteriak. “Awas! Mungkin dia mau mengamuk!”
“Menjauh!” teriak seorang yang lainnya.
“Jala, tenang… Kuatkan hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil membujuk.
“Jala! Sarungkan golokmu kembali!” kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
“Keparat! Bangsat!” teriak Jalatunda tiba-tiba.
“Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!” Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
“Jala! Kembali!” teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru memanggil. Namun pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan berteriak-teriak. Sesaat kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan.
TIGA
Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai saat ini masih saja menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur.
“Rukmi tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata darah itu tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!”
Tejarukmi, gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik dan menutupi wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
“Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah, kami ayah dan ibumu ingin melihat kau bahagia…”
Tejarukmi campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata dengan muka balut “Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya harus kawin dengan lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!”
Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti nak…”
“Saya cukup mengerti ibu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan adalah kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!”
“Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan merasakan kebahagiaan itu…”
“Siapa orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak empat pula!” Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur.
“Dengar Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi tahun depan. Di bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!”
“Saya tidak akan kawin dengan tua bangka itu!”
“Raden Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, keponakan Pangeran Dirjo Samekto…”
“Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!”
“Ibu tahu mengapa kau menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari nada suaranya. Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas.
“Kalau ibu sudah tahu saya menolak, mengapa masih memaksa?!”
“Orang tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan seorang anak petani miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu. Orang tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan kau hendak mengotori darah bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul itu…?”
“Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapia apa bedanya dia dengan kita? Sama-sama manusia…?”
Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu. “Kau sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia cinta itu adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku kawin dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami rasakan jauh lebih bahagia dari cinta…”
“Kalau masa muda ibu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata begitu!”
Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu. “Tak ada gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu. Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!”
“Dipukul sampai matipun saya tidak takut.” Jawab Tejarukmi.
“Anak durhaka!” kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika seisi gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa potong pakaiannya berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari ikut lenyap.
“Anak itu pasti meinggat!” kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil menggebrak meja. Dia lalu berteriak memanggil pembantunya. Kepada para pembantu itu diminta agar menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan sejmulah pasukan untuk mencari anaknya yang lenyap.
“Periksa ke rumah pemuda petani itu!” kata Mangun Sarabean. “Aku yakin Tejarukmi kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna kalau perlu dibikin mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!”
Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis menggerung-gerung. Para pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot, lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan permintaan Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya yaitu pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan sejumlah pasukan untuk mencari Tejarukmi.
Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari kelompok yang berpengalaman dan merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak mengherankan Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua di dalam lembah Gilimanuk yang terletak sekitar setengah hari perjalanan dari desa Ambarwangi. Ketika ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha melarikan diri dari kepungan.
Namun sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata lengkap sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka parah, atas perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di hadapan mata kepala Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh pingsan.
Selama beberapa hari Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, minum pun hanya sekedar membasahi bibir. Lambat laun tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya semakin pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang pembantu membuka pintu kamar gadis itu dengan paksa sambil membawa makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi warangan yang masih tersisa. Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Gadis ini mati bunuh diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh didatangi penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat dimandikan di tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya muncul dengan menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan mata sekian banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya lalu berkata,
“Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah dirumah besar ini hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap di dalam sana...”
“Pengemis berkuda,” seseorang menjawab. “Bukan saatnya kau datang meminta-minta. Orang sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini...”
“Musibah... ah-ah-ah. Sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya diisi dengan suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah yang datang menimpa penghuni gedung ini….?"
Meskipun kesal melihat pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu kembali menjawab, “Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal dunia."
“Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal secepat itu…”
Seorang tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman Mangun Sarabean memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang.
“Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!”
Pembantu itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis tadi tertarik ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan kaku tak bisa digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika pengems itu melangkah menaiki tangga depan gedung. Maka empat orang segera menghadang si pengemis.
“Kalian mengapa berlaku kasar padaku!” kata si pengemis. “Aku datang bukan untuk membuat keributan ataupun mengganggu!”
“Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk. Jika kau inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami terpaksa menggebukmu!” salah seorang dari empat lelaki yang menghadang berkata.
“Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi apakah dia benar- benar sudah mati? Tak bernafas lagi? Jika aku diperbolehkan melihat, siapa tahu aku bisa menolong!”
“Menolong menghidupkannya?!” ejek lelaki tadi.
“Kau tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia dan mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya”
“Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di tempat berkabung ini!” Satu suara membentak. Keras dan garang.
Si pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang bertubuh tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam. Si pengemis manggut-manggut, lalu menjawab,
“Aku mengerti, aku mengerti…”katanya. “Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat calon suami Den Ayu Tejarukmi yang gagal…?”
Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia kenalnya tahu siapa dirinya adanya? “Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot pula.
“Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!”
“Aku dan siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot.
“Kalau begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup kembali. Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya agar gadis itu bisa kau jadikan istrimu...!
Merah paras Raden Jarot mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia ingin melihat Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis yang sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu.
Selesai memberi isyarat maka diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya terdengar suara 'bak-buk-bak-buk' disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh kembali, empat lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang memegang perut, dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan. Semuanya masih meringis dan mengeluh kesakitan.
“Kurang ajar! Kau berani memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu. Sebagai orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya diketahui adalah pemberian seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri Baginda.
Melihat pukulan yan dihantamkan Raden Jarot, semua orang yang hadir di tempat itu sama menduga si pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk, paling tidak bengkak berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan acuh tak acuh pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan.
"Bukkk...!"
Tinju Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi muka dari pukulan. Lelaki ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu pastilah dia akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet.
Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis tua itu, dia adalah seorang yang memliki kepandaian tinggi. Dan dengan memperlakukannya seperti itu jelas dia membawa maksud yang tidak baik. Sambil menghunus kerisnya Raden Jarot berteriak.
“Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini! Dia datang dengan maksud jahat!”
Lebih dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya adalah anggota pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi minggat bersama Wiguno. Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan tertawa aneh.
“Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak Raden Jarot.
Seseorang kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi ditunggangi di pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang di kejauhan.
“Aku hanya memberi nasehat pada kalian!” katanya kemudian pada orang-orang yang mengurungnya. “Menyingkirlah jika ingin selamat!”
“Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot.
Pada saat itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar ruangan dalam. Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung demikian rupa maka diapun menegur.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Raden Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat memperhatikan tangan kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis aneh itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata,
“Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia pergi...!”
Habis berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali. Tapi kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling.
“Tuan rumah, sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh tambalan. Tubuhku kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta belas kasihan... Apalagi minta pakaian, uang dan beras...!”
“Lalu apa maumu...?” Tanya Mangun Sarabean.
Ucapan si pengemis yang memanggilnya dengan sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat Mangun Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian puterinya.
“Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si pengemis.
“He, dia bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingin melihat?” tanya Mangun Sarabean.
Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah mendahului. “Pengemis edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di sini berlaku aturan yang dibuat tuan rumah! Tubuhmu yang babak belur akan kami lempatkan ke jalan sana!”
“Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!” Tubuh pengemis kurus itu berkelebat.
EMPAT
Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit mengetahui dengan apa dan bagian mana dari tubuhnya yang menjadi sasaran serangan. Untuk melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan. Demikian derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu.
Tidak dapat tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat kemudian terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan menancap di langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan main. Dia tahu betul calon menantunya itu memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu dapat menghantamnya dalam satu kali gebrakan.
Sambil menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden Jarot mencoba berdiri lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya, “Tunggu apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau itu!”
Kini lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang tidak dapat lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat pinggang besar yang terbuat dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang memiliki ilmu silat atau kesaktian.
Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun Sarabean dari seorang empu di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si pengemis sama sekali tidak memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan nyatanya demikian.
Dalam beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke kiri dank e kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada yang terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua.
Yang lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa. Bukan saja karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak jadi merasa takut.
Pengemis itu tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap, berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam terdengar pekik orang-orang perempuan.
“Tolong! Penculik!”
“Jenazah den ayu diculik!”
“Jenazah anakku dilarikan! Tolong!”
Apakah yang terjadi? Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah. Mayat Tejarukmi yang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain batik dari sutera, disambar oleh pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia memandang berkeliling sambil menyeringai memperhatikan orang-orang perempuan yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil melompat. “Penculik busuk! Kembalikan anakku!” perempuan ini lalu mendorong si pengemis dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang pinggang jenazah puterinya.
Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu berkelebat pergi bersama mayat Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan bertindak sebagai pemandi dan pengurus jenazh berusaha menghalangi mencakar kedua tangannya ke tubuh penculik.
"Brettt...!"
Pakaian kotor bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal ini membuat di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya perempuan tua itu hingga terjengkang pingsan!
“Jangan coba-coba menghalangiku!” si pengemis berteriak memberi peringatan. “Jika kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore di hutan Roban sebelah tenggara!”
Habis berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya melesat ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis itu.
Rumah besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang coba mengejar. Ada yang manunggang kuda dan membawa senjata. Namun mau dikejar ke mana? Pengemis itu lenyap laksana ditelan bumi!
“Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!” kata Mangun Sarabean di atas punggung kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk perlahan tanda maklum. “Pengemis itu!” katanya. “Siapa dia sebenarnya!”
“Dan mengapa dia menculik mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup mungkin kita bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah mati...”
Sesaat Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda sementara rombongan pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu berada dibelakang menunggu perintah selanjutnya.
“Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai terbunuh...?” Ujar Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot berubah. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian.
“Saya memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat itu menyebut tempat tersebut sebelum kabur!” kata Raden Jarot.
“Jangan terlalu berkhayal!” kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu bukan saja angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!”
“Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari paman Dirjo Samekto…”
“Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat kediaman pamanmu itu…”
Raden Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia meninggalkan tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di Ambarwangi.
Lepas lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah hampir tiga puluh orang, bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka menunggang kuda Raden Jarot didampingi seorang perwira muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang tampuk pimpinan dan memiliki kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di mana-mana.
Di samping itu pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya seluruh anggota pasukan termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai. Dia tahu betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum perampok bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau lemparan tombak. Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara. Mereka masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat perkemahan. Di sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan selanjutnya.
Pertama sekali harus diingat, mereka memasuki rimba belantara itu untuk mencari jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup atau membunuh pengemis yang telah menculiknya. Berarti sepanjang yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan dengan para perampok. Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan lain mereka harus menumpas penjahat itu.
Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru penyelidikan diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sekitar sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka tak menemukan apa-apa. Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak berhasil mereka dapatkan.
Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara hutan Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga kelompok penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai di perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat kepala serba hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di atas-atas pohon sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama.
“Geromblan rampok...” Bisik Raden Jarot.
Rangga Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaan kemah dengan cepat. Tak ada tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari kudanya perwira itu berseru.
“Tamu dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami?!”
Seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih muda, tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal.
“Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban ini!”
“Aku perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku ini adalah Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalian. AKu ingin bicara dengannya!”
Rangga Pangestu sengaja menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk membuat para perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan perampok hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu mendengar ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena kemudian dengan suara lantang dia berkata,
“Katakan apa maksud kalian berada di sini!”
“Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu. Dia sudah dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
“Aku ada di sini perwira muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon besar di samping kanan.
Rangga Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah cabang besar duduk seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil menyedot sebuah pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya tertutup kumis dan cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan, ditambah dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring pada kedua sudut depan, maka tampangnya hampir menyerupai seorang raksasa.
“Sekarang apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan kekuasaanku?” Warok Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke udara.
Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan Roban yang membentang dri barat sampai ke timur itu terdapat beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok berada di bawah pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu ini memiliki jumlah anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian tinggi setingkat perwira madya.
Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung dengan sikap kepala rampok yang bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa seenaknya. Tapi mereka juga menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana mengenal segala macam peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi keterangan.
“Kami tengah mengejar seorang penculik!”
Kunto Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu berkata. “Mengejar seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua mana yang berani masuk ke hutan Roban?!”
“Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!” Yang bicara Raden Jarot.
“Apalagi seorang pengemis!” ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit bagiku mempercayai keteranganmu, perwira muda!”
“Kami tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri bangsawan Mangun Sarabean dari Ambarwangi…” Lalu Rangga Pangestu memberikan keterangan singkat aas apa yang telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya. Dia ingat kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi pembantu juru masak. Ketika hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya diculik seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban sebelah timur tanpa jantung dan hati.
Apakah penculik jenazah puteri Mangun Sarabean itu pengemis yang sama? Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui sesuatu Warok...!”
“Jika daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan membunuh orang itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak akan keluar hidup-hidup dari hutan ini!”
“Maksud terselubung apa?” tanya Rangga Pangestu.
“Sebelumnya aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil kajadian itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbuan terhadap kami orang-orang Roban!”
“Jangan berprasangka terlalu jauh. Jika maksud kami hendak membasmi kalian, sudah tadi-tadi hal itu kami lakukan!” ujar perwira muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa sember. “Malah kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot berkata.
“Bantuan maccam mana?” Tanya si kepala rampok acuh tak acuh.
“Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri Mangun Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso tertawa. “Selama ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan Roban dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak membasmi kami. Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika hampir lima puluh perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami tewas. Aku tetap menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan sesuatu terhadap kami!”
“Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!” ujar Rangga Pangestu.
“Warok!” kata Raden Jarot. “Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau boleh ambil cincinku ini!” lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut besar dari jari manis tangan kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala rampok.
“Cincin bagus…!” Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin itu dalam kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari manis tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. “Kua baik hati Raden Jarot. Terima kasih atas pemberianmu…”
Dari mulutnya kemudian terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu puluhan anggota rampok yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan lenyap masuk ke dalam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang turun.
“Kejar kepala rampok itu!” teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh kesalahannya sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. “Semua tetap di tempat!”
“Cincinku!” ujar Raden Jarot.
Rangga Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan kepala rampok itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orang-orangnya melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka memasuki hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan dengan para perampok. Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik pengemis misterius!
LIMA
Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa Raden Jarot telah pergi.
“Pergi? Pergi ke mana?!” tanya Rangga Pangestu.
“Masuk kedalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota pasukan. Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin jambrutnya!”
“Celaka! Manusia tolol!” ujar Rangga Pangestu.
“Dia lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula! Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!”
Sisa pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah dibongkar lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang dihadapi bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati tanpa memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya keadaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit untuk bertahan.
Jika saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu memilih lebih baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat tambahan pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden Jarot. Rombongan terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan mereka istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggot pasukan membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat mereka untuk buang hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk pasukan, langsung menemui Rangga Pangestu.
“Ada apa… Kalian seperti dikejar setan?!” tanya Rangga Pangestu. Diam-diam dia sudah maklum kalau sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota pasukan itu.
“Raden Jarot,” kata salah seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru menyambung, “Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana. Bersama anggota pasukan yang dibawanya!”
Rangga Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari mendahului dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul. Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah menelungkup. Ada luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan kanannya hampir putus. Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas berbatu jambrut besar yang malam tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso.
Rupanya kelompok pasukan yang dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali. Sebelas diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam keadaan luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa di dekat situ.
Rangga Pangestu memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat Raden Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu. Selesai penguburan jenazah, Raden Jarot segera diusung menuju Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat membayangkan apa yang akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui keponakannya menemui ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang kembali dengan membawa mayat Raden Jarot itu sampai di bagian tenggara hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah. Rangga Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Aku mencium bau tidak enak…” Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia turun dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah mengapa dadanya berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil kembali? Dan bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si penculik?
Semakin dekat ke semak-semak semakin santar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu menyibakkan ranting-ranting berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu semak belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya sosok tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan perutnya nampak robek besar. Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah yang menebar bau busuk!
“Gusti Allah!” seru Rangga Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang tega melakukan hal ini!”
Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada bagian dada dan perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi diobol oleh tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang tajam dan hatinya lenyap!
“Cari kain!” kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah itu!”
Seorang kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena memang hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat. Dengan demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian Raden Jarot menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
“Tak ada jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi, dimusnahkan. Kalau perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal tantangannya!”
Begitu kata-kata sang pangeran di hadapan para pembantunya. Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia berangkat dulu ke kotapraja guna mendapat persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu disetujui raja. Maka lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga kelompok besar di bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira tingi, beberapa hari kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan rampok dihancur leburkan. Seratus anggota rampok yang mengadakan perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan diri. Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas kelompok Warok Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi setelah kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu mereka sudah meninggalakan perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak diketahui.
ENAM
Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah timur maupun di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara dicekam oleh kegegeran yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan berada dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan mustahil dia akan menjadi korban penculikan manusia jahat yang sering muncul sebagai pengemis.
Kegelisahan rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah peristiwa penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana telah menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal dunia mati tenggelam di kali yang sedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke kubur. Dua hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah barat dalam keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan tanpa hati! Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang menunggu?!
Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara kerajaan menyerbu. Pagi itu Warok Kunto Rekso memanggil pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia memerintahkan agar pagi itu juga mereka segera meninggalkan perkampungan. Dia tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi cekcok yang membuat kepala rampok naik darah.
Jalatunda, pemuda yang dianggap kurang waras karena peristiwa penculikan Suwitri menolak untuk meninggalkan perkampungan. Jalatunda coba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu mengeluarkan sepotong suarapun. Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
“Jala…” kembali terdengar suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu denganku teruskan perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai akhirnya kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah berbatu-batu. Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau akan malihatku di situ Jala…” Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda terbangun dari tidurnya. “Witri….”desis pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa yang barusan dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang letih dan lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru.
Sesuai dengan petunjuk mimpi, di malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke barat. Dalam perjalanan memang dia menemukan tiga buah pohon beringin besar seperti yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di ujung pohon beringin yan gterakhir, sekitar seratur tombak di depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam kegelapan.
Batu-batu besar yang membentuk bukit itu tertutup lumut tebal. Licinnya luar biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di puncak bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu.
Memandang ke bawah si pemuda melihat sebuah telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak seberapa besar. Di bagian tengah terdapat sebuah batu rata hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini duduklah sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya seperti tengah berlangir, tengah mandi.
“Gila, Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda. Meskipun orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda dia seorang perempuan atau seorang lelaki.
Pada masa itu banyak kaum lelaki yan memelihara rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Orang yang duduk di atas batu rata menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang digosok dengan gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang tersebut memalingkan mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah. Selesai menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu.
“Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri…” Kata Jalatunda dalam hati.
“Tapi dia mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu apakah dia akan berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang sedang mandi melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang ketinggian.
“Bangsat keparat! Berani mengintai orang mandi!” rutuknya marah sekali.
Dia terjun ke dalam telaga. Ketika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kearah Jalatunda, tepat mengenai kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya tidak akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam batu. Dia megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lagi! Mati!
********************
TUJUH
Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak perahu dari pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di samping itu sarana perhubungan berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat, timur dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan. Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung Karangwelang. Tersiar kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa perahu besar itu adalah milik seorang saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ membawa salah seorang puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat langsung dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta. Beberapa orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta tersebut.
Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu. Karena jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke rumah sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang.
Tabib Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar tanah Jawa akan keahliannya mengobati berbagai macam penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah hampir enam bulan mengobati penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk membawa puteri mereka Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan yang sebaik-baiknya. Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke dalam kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie, ayah si sakit segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan lalu. Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan bantuannya. Namun sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga keluarga Wong itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka mereka memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu.
Setelah menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, para ahli pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap sakit apa…?”
Wong Tam Pie gelengkan kepala. “Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang anakku ini penyakitnya aneh…”
“Ada yang menduga dia diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara.
Tabib Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu berkata “Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita kelainan jantung. Hanya saja…”
“Hanya saja bagaimana?” tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak meneruskan ucapannya.
“Hanya saja kalian datang terlambat… Mohon dimaafkan saudara Wong”
“Apa maksudmu saudara tabib…?”
“Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu.”
Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya berusaha berlaku tenang. “Kau… Kau belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah meninggal?”
“Bibirnya kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas biarlah kuperiksa.”
Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan. Dia mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan. Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya. Sementara Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi wajah anak gadisnya.
“Apa yang kami lakukan sekarang?” tanya anak lelaki Wong.
“Kalian beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar jenazah tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat, makin cepat kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik.”
“Eh, kenapa begitu?” tanya Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik nafas panjang. “Kalian mungkin tak percaya… Tapi inilah ceritanya” Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas jenazah enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu.
Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu. Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
“Kami mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan perahu layar besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung rahasia. Kalau sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita…”
Tabib Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya kita menyimpan dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan. Peti mati yang besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat. Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, kalau penculik muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti mati besar…”
Wong Pie segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
********************
Udara di pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup gersang. Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan. Sederetan kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu. Kebanyakan dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol ngalor ngidul.
Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak banyak berbeda di setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik saudagar berlian dari Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui kalau perahu milik saudagar Wong itu membawa anak gadis yang sedang saki untuk diobati oleh tabib Chou.
Dalam salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak menyantap nasi rawonnya dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik pada seorang perempuan yang juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja perempuan ini tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik terus menerus.
Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan orang, namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan perempuan itu Wiro maklum kalau si jelita berkulit kuning langsat ini adalah seorang dari kalangan persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin berkenalan.
Apalagi wajah perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Mengenai Anggini, baca serial Wiro Sableng episode Maut Bernyanyi di Pajajaran) Namun sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai terdengar ada kehebohan. Banyak orang berbondong-bondong menuju dermaga.
“Apa yang terjadi…?” tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu menjawab “Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu meninggal. Tabib Chou tak keburu menolongnya!”
“Ah kasihan….!” Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti tamu lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan pembawa jenazah. Wiro pun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju dermaga di mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain ditumpangi keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk, mengucurkan air mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang sepanjang jalan menangis keras tiada henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah kusir kereta dengan kepala tegak tapi mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh tertinggal dari rombongan induk menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur. Orang banyak ikut mengiringi rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping perempuan cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang baik untuk menegur perempuan ini.
Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya, tersenyum. Ah pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil.
“Sahabat, kau tentu mau menolongku.”
“Tentu saja. Eh, apa ini?”
Si baju biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata “Aku ada keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai pembayar makanan yang tadi kusantap!”
Senyum lebar penuh harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap ketika dia mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat atau mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang banyak. Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai tempat dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah dermaga terdengar suara keributan.
DELAPAN
Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat mental dan terhempas di jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang pakaiannya tampak seperti pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda lalu menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang tampak berusaha menghalangi.
Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya. Masing-masing membawa sebatang tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi pengemis di atas keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk menghantam oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat di tangan puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan hingga luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di tempat itu si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kejar!” teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas hantaman cambuk.
“Tidak usah!” Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta kawan-kawannya keheranan.
“Orang itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!” kata si pengawal.
“Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan gerobak sayur itu…!”
Wong Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu besar. Para awak perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur ke dalam perahu. Tak lama kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang meninggalkan dermaga.
Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega. “Untung tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena diculik penjahat!”
“Heran…” kata puteranya sang saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi. Tampaknya seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?”
“Akupun tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan keanehan bisa saja terjadi” kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng. Pertama orang berpakaian pengemis itu melarikan peti mati berisi jenazah puteri saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang saudagar sendiri mencegah para pengawalnya mengejar si pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu besar.
Karena tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya memutuskan untuk mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang ini ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia meneliti ke dalam peti ternyata peti itu kosong!
“Jenazah puteri saudagar itu dilarikan…” Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah itu dibawa kabur. Berarti rasa ingin tahunya menemui jalan buntu hanya sampai di situ.
Sementara itu selagi Wiro berusaha menyelidiki kejadian itu, di pelabuhan telah terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih berkumpul di sepanjang dermaga. Mereka membicarakan apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu besar semakin menjauh ke tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
“Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia menendang pemilik perahu pukat!”
Semua orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka menyaksikan seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan terjatuh ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi diketahui melarikan kereta pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju ke tangah laut, kearah perahu besar milik saudagar Wong.
Yang luar biasanya ialah dia menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung. Perahu pukat itu seperti melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air menuju perahu besar. Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan mata meeka sendiri!
“Tak ada manusia yang mampu mendayung perahu dengan tangan seperti itu!” kata seseorang.
“Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang lainnya.
Lalu ada seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya, “Eh, bukankah tadi dia melarikan peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak mengejar perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya?!”
Orang banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama setelah itu tampak asap hitam mengepul di atas perahu besar.
“Perahu besar itu terbakar!” teriak orang banyak berbarengan.
Pada saat itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan perahu besar dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak kelihatan lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu tampak seperti menyeruak di antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur dan akhirya lenyap di titik batas pemadangan.
“Apakah kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa melakukan sesutau untuk menolong?!” Satu suara terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang bicara ternyata adalah seorang kakek mengenakan kain dan selempang putih. Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jauh ke tengah lautan, kea rah perahu besar yang diamuk api.
“Ah, empu Tembikar tupanya…” Kata seseorang. Orang ini seperti sadar segera berteriak. “Yang memiliki perahu besar itu!”
Lalu dia mendahului lebih dari selusin perahu kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang terbakar. Namun nyala api besar sekali. Sebelum orang-orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir musnah. Di antara isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan diri, terjun ke laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan.
Keduanya segera ditolong dan dibawa ke darat. Sampai didarat mereka segera dihujani pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang dari awak perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api.
Ketika kebakaran itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan. Persediaan air di perahu itu ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh di Tanjung Karangwelang belum sempat mengisi air.
Di dalam suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat kemunculan tiba-tiba pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu tanpa seorangpun awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya dapat mencegah.
Karena saat itu masing-masing berusaha memadamkan api bahkan lebih banyak ingin menyelamatkan diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian menemukan sebuha peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur dalam gerobak. Dia langsung membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri Saudagar Wong. Begitu dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera meninggalkan perahu besar, melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi perahu besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak perahu itu. Sejak beberapa bulan lalu dia memang pernah mendengar peristiwa-peristiwa menggemparkan tentang dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau perempuan muda yang belum kawin. Apakah artinya semua ini. Apa perlunya seseorang menculik mayat? Dan kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis, seperti manusia yang tadi disaksikannya melairkan kereta mayat!
Di tengah laut perahu besar itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yan gkelihatan. Baian lainnya sudah musnah dimakan api dan enggelam ceraiberai ke dalam air laut. Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut memandang kea rah kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok tubuh yang tahu-tahu sudah tegak tepat di depannya.
Ternyata yang berdiri di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih yang tadi didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar. Orang tua ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang matanya yang kelabu.
“Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!” Orang tua ini berkata.
Suaranya tandas seperti menghukum. Wiro berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah meninggalkannya. Penasaran maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh sekali dia berjalan mengikuti hingga akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya dan bertanya,
“Mengapa kau mengikutiku?!”
“Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid Sinto Gendeng.
“Oh, jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka bicara dengan orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya sendiri!”
“Kebodohan apa yang telah kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel.
“Aku tahu kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu. Tapi mengapa kau tidak melakukan sesuatu…?”
Wiro garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab, “Mampu belum tentu bisa. Perahu besar itu terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir musnah. Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut untuk menolong. Nyatanya mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang pandai atau dewa yang mempu malakukan pertolongan ajaib…!”
Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa. “Kau pandai bicara mencari alasan. Ketika kereta pembawa peti mati dilarikan orang, kaupun bertindak lalai…”
“Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro.
“Itu karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan bahwa soal waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa manusia…?”
“Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?”
Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya. “Orang tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh, pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau lakukan selama kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara…?”
Paras orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum. “Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda seperti kau adalah para pelaksana…”
“Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan orang muda…!”
“Terserah kalau kau berpendapat seperti itu…”
Wiro tak mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata, “Kalau katamu orang tua tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa yang dapat kau berikan saat ini?!”
“Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang dialami jenazah para gadis di kawasan ini?”
“Tidak,” jawab Wiro sengaja berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?”
“Kejahatan itu harus dihentikan!” jawab Empu Tembikar.
“Kenapa kau tidak menghentikan?”
“Karena ada seorang lain yang harus menghentikannya?”
“Siapa?” tanya Wiro.
“Kau…!”
Wiro melengak kaget. “Mengapa musti aku?”
“Aku tidak tahu!”
“Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu? Penculik itu?”
“Aku tidak tahu” jawab Empu Tembikar.
“Kau mungkin tahu dimana kediamannya?” tanya Wiro lagi.
“Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya di arah timur, tenggara atau timur lautan hutan Roban.”
“Kalau dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya dia melakukan itu?”
“Untuk mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!”
Wiro merasa tengkuknya jadi dingin. “Apa guna jantung dan hati itu? Untuk disantap? Ih!”
Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain putihnya. “Seseorang memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah isinya. Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut…” Habis berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
SEMBILAN
Wiro Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada pematang tambak ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan angin yang sepoi-sepoi membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan keras yang tadi diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang, ditulis dengan huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai membaca.
INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN
Sejak dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan. Mereka takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan menjadi…
Belum sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia merasa ada angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat menghantam dengan tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong. Bersamaan dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut matanya menangkap gerakan sosok tubuh di samping kanan.
Secepat kilat murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia menghantam tempat kosong. Malah saat itu satu dorongan yang luar biasa hebatnya membuat terhuyung-huyung ke kiri.
“Setan alas keparat!” maki Wiro. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan kirinya tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat dan berusaha menelikung dengan tangan kanan sambil memukul dengan tangan kiri.
"Pesss…!!!
Terdengar suara mendesis. Wiro Sableng masih belum sempat melihat siapa adanya orang yang menyerang dan merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap hitam berbau harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup pemandangannya namun juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung dia cepat sadar.
Sambil tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212. Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang kebal racun kini samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari senjata mustika itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih. Asap hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali.
Tapi orang yang tadi belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang pendek. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau tidak punya kesempatan melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu merampas kertas yang sedang dibacanya.
Wiro diam-diam menyadari. Dan ini membuat tengkuknya dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau mencelakainya atau membunuhnya, pasti hal itu dapat dilakukannya. Wiro memandang jauh ke depan, kearah tambak ikan asin yang luas sementara matahari sore semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala.
“Guru sendiri tidak sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia yang dapat bergerak demikian cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia…? Bukan setan maghrib yang kesasar? Dan bau harum aneh itu…?”
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu dengan perasaan tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu.
********************
Warok Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh orang anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan sejak pasukan kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok gerombolan rampok yang ada di situ.
Jika saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok yang dipimpinnya juga akan mengalami bencana yang sama. Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban, berputar-putar di pedalaman yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya siang itu mereka sampai di tempat itu.
Kunto Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai memanjat bukit batu untuk menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk. Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera mengetahui bau busuk itu adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, lalu bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar.
Kunto Rekso tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya. Terkapar melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala rampok ini ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda, pemuda pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut bersamanya.
“Buang mayat ini jauh-jauh dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya. “Aku akan menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku memilih kita mendirikan perkampungan baru di sini.”
Lalu kepala rampok ini meneruskan maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya merasakan di atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak bukit batu, di sebelah bawah seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau membiru. Di tengah telaga tampak sebuah batu licin rata hampir berbentuk sebuah meja. Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar sekali.
“Ini tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala rampok ini mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera naik ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pembangunan perkampungan. Beberapa pohon besar ditebang untuk diambil kayunya. Menjelang malam tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan di antara rombongan perampok pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika seorang anak buahnya membangunkan.
“Keparat jadah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku?!”
“Warok, ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata anggota rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena takut dihantam jotosan pemimpinnya.
“Apa katamu?!” Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang amti…?!”
“Mereka dibunuh!” kata seorang anggota lainnya.
Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki bukit batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya yang telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang betul. Lima anggota rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak terkulai tanda patah!
“Keparta! Edan! Siapa yang melakukan…?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto Rekso berpaling di batang pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu membacanya dengan pelipis bergerak-gerak.
Lima mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir. Daerah ini adalah daerah kekuasaanku. Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini. Apalagi hendak membangun perkampungan. Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera tinggalkan tempat!
“Setan alas!” kutuk Kunto Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut! Tak berani memberitahu nama!” Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat. Berkali-kali dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di pinggangnya. Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
“Pemimpin, apa yang harus kita lakukan…?” Seorang anak buahnya bertanya.
“Apa yang harus kita lakukan? Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan perkampungan! Di sini! Di tempat ini!”
“Tapi surat itu.”
“Keparat! Apa kau harus takut pada selembar kertas?!” Kunto Rekso bantingkan kertas yang tadi diremasnya ke tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku akan mengawasi. Aku mau lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak buahku! Jika dia muncul kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!”
Begitulah sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok yang terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke bawah dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang berganti malam tak terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau menghalangi.
Meskipun hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was. Mengingat kematian lima anak buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang sama. Tapi orang itu sendiri siapa?
Begitu malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin anak buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya malam hari itupun akan berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum lagi sinar matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan pepohonan di kaki bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota rampok yang melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara yang sama seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah!
“Keparat anjing kurap!” teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok besarnya. Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya menjauh ketakutan.
“Ini sudah keterlaluan! Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari persembunyianmu! Jangan hanya berani membunuh secara membokong!”
Sesaat setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara tertawa melengking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau perempuan, ataukah suara jin pelayangan!
“Lihat!” seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari mana datangnya saat itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja kertas itu sudah di tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa baris tulisan.
Peringatan telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan.
Sebelah mata sudah berkecukupan.
Jika masih membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut membaca surat tersebut, tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan pada siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata memandang berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan geraham bergemeletukan, Warok Kunto Rekso tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya suara tertawa aneh itu. Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah, menembus kerapatan daun pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
“Bangsat! Keparat!” maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya tidak mengenai sasaran apa-apa.
Di saat itu justru kembali terdengar suara tawa melengking. Lalu tiba-tiba saja meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah sebuah senjata rahasia.
Ketika melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah tapi mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas seperti itu siapa takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini secepat kilat menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke depan untuk menghantam senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya.
"Tringgg...!"
Golok dan senjata rahasia bentrokan di udara keluarkan suara nyaring. Warok Kunto merasakan tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam kembali dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat patahan golok yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan itu.
Namun baru saja golok melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda putih berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak mungkin baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu menderu dan menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang telinga!
Sang Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya. Dia lari kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang berada di dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi segera menotok pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus mengucur namun rasa sakit berkurang sedikit.
“Setan! Tempat ini dikuasai setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia merobek bajunya dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang bocor.
“Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!” perintahnya.
“Kami siap Warok. Tapi kita menuju kemana?” bertanya seorang anggota rampok.
“Jalan saja dulu!” sahut Kunto Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!”
Maka rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu segera tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di daerah pantai mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari Warok Kunto Rekso merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan, menjadi perampok lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata Satu.
Sementara mereka berlalu, di kejauhan terdengar tawa melengking, panjang dan membuat bulu kuduk para penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing mempercepat langkah. Bukan mustahil bencana yang lebih celaka akan menimpa mereka.
********************
SEPULUH
Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur. Hasil sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman. Dari hasil ladang maupun sawah dan peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal hidup berkecukpan.
Di samping itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal jauh sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit putih, senang memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut tubuh yang elok mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain sering datang ke situ atau orang tua sengaja pergi ke sana untuk meninjau menjajagi kemungkinan bagi mereka atau putera mereka untuk mendapatka jodoh yang diidamkan. Umumnya para pemuda dan orang tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka datang dan selalu kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang dapat dipersunting beberapa bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan adanya pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang kulit atau ketoprak.
Dari sekian banyak bunga harum jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum yang memiliki kelebihan dari pada dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona, bunga tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun tebu, berusia menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas. Bahkan terkadang di usia lima atau empat belas.
Karenanya usia dara yang satu ini, yang menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk kawin. Namun demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian. Malah semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita parasnya dan semakin matang sikap lakunya.
Semua ini membuat semakin banyak pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera mereka dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara kabarnya masih belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang orang tua belum mendapatkan calon menantu yang cocok.
Akibatnya lambat laun penduduk desa menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami yang gagah serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah terkenal.
Memang Wilani memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal lainnya. Parasnya bulat telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam panjang sepinggang, selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum. Sepasang matanya bening seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya kecil mancung.
Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya bukan main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat.
Raut tubuhnya ramping di pinggang besar di dada dan pinggul..Kalau berjalan lenggoknya membuat para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri pandang pada sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik kain panjang yang dikenakannya.
Segala kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja menjadi redup. Desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu berselang dikabarkan Wilani telah jatuh sakit. Telah berbagai macam obat diberikan namun sakitnya tidak berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun minuman sulit melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus itu kini menjadi kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung.
Beberapa orang pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah pula dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum dapat dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit. Namun menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejenis penyakit menular. Hingga semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam kamar di mana gadis itu terbaring.
Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia sebelum sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu. Demikian orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya.
Suatu malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang menemui kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi mereka namun sebegitu jauh tidak mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si sakit. Diapun tidak memaksa karena kalau memang Wilani menderita penyakit menular, siapa mau kebagian penyakit berbahaya itu.
“Mas Prayit…” Kata Ronocula pada ayah Wilani. “Aku dan orang sedesa selalu mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah dan dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya…”
“Terima kasih dimas Ronocula,” jawab Prayit. Ucapan seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala desa.
“Kami tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, kalau puterimu diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Kau kita semua harus berjaga-jaga…”
“Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas Ronocula?”
Lalu kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang selalu muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya telah lenyap dan jenazahnya rusak mengerikan.
“Aku memang ada juga mendengar hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua itu hanya cerita kosong belaka… Apa perlunya orang menculik mayat…”
“Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh. Berbagai kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada harganya. Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah mencoba kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain secara semena-mena demi untuk kepentingan ilmunya…?”
Prayit terdiam sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata “Kalau cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami nasib seperti itu…”
“Itu yang kita harapkan mas. Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah kejadian maka jangan sampai ada penyesalan seumur hidup…”
“Lalu bagaimana menurutmu? Apa yang baik yang harus kita lakukan…?"
“Kita harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan mengepalainya. Barisan ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan guru silat Bagus Menak dari dukuh Jatiwangi…”
“Terima kasih kalau kau mau melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai kepala desa Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, memiliki jimat yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi kalau guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku akan merasa aman…” Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik adalah kalau puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah payah…”
“Itulah yang selalu kami doa dan harapkan,” sahut Ronocula.
Tapi doa dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari setelah kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya muncul, seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia.
Hampir seluruh penduduk desa datang melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis yang malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah telah dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan menebar.
Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula duduk berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih. Sehelai kain sarung tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara ini adalah guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan muridnya. Kesembilan murid silat ini bersama-sama lima pembantu kepala desa senantiasa berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah kotor dan berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai pakaian.
Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian kusir gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersbut bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seoranpun ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi rombongan pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah tampak mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat.
Pada saat jenazah dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di balik pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau!
“Pengemis penculik!” teriak Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki tanah pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru silat Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan anak buahnya. Maka enam belas orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir gerobak itu. Sang kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak,
“Ringkus manusia itu!”
Para pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan senjata. Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa perlunya pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh kena tendangan kaki serta hantaman pengemis itu barulah mereka sadar.
Ronocula segera cabut kerisnya, Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian dalam diisi dengan potongan besi lentur. Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia mendahului menyerang. Bagus Menak sambut dengan hantaman kain sarung, Ronocula datang dari samping dengan tusukan keris. Enam orang lainnya menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang atau golok.
Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit memperhatikan semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara kebanyakan para pengantar berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang selanjutnya terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris Ronocula membuat angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang tubuhnya.Tapi apa yang kemudian terjadi justru kebalikannya.
Bagus Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan dan dia tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan melesat kearah perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis di atas gerobak lepaskan betotan pada kain sarung.
Akibatnya Bagus Menak terhuyung ke belakang oleh daya tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng ke samping menghantam dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan. Kepala dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis. Hanya saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu berhasil dirampasnya.
Ronocula keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat senjata orang-orang yang ada di pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan tangan kosong. Pengemis di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental sambil menjerit kesakitan.
“Makan kerismu ini!” pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris kepala desa kepada pemiliknya sendiri.
Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan bahwa Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap di dada, tepat di bawah tenggorokannya. Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat berteriak,
“Lindungi jenazah! Lindungi jenazah!”
Tapi percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi jenazah Wilani, manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat merampas jenazah lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus Menak cepat menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi kali ini nasibnya jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalu tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
“He-he-he!” Pengemis penculik tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang masih merasa memerlukan mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah timur besok malam!”
Habis berkata begitu penculik ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak murid Bagus Menak yang menjadi kalap melihat kematian guru mereka, meskipun sadar bahwa penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan menyerbu dengan senjata di tangan.
“Manusia-manusia tolol!” maki pengemis penculik. “Mencari mati dengan percuma!” Tangan kanannya menghantam. Kakinya sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah kanan terpelanting muntah darah. “Ada lagi yang minta mampus?!” Si pengemis menantang sambil menyeringai.
Tak ada yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah Wilani terduduk setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah pohon. Si penculik keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya bersama jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan.
SEBELAS
Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri ke jurusan selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa berhenti, tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya. Semakin ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus kelebatan daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara ini.
Di satu bagian hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik membelok tajam ke kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di sini barulah dia menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh tersungging di mulutnya. Dari tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya berteriak.
“Penguasa hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!”
Habis berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang mudah mendaki bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si pengemis. Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya. Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di puncak bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit batu dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh Warok Kunto Rekso.
Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali terdengar suara siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga akhirnya sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk meja.
Jenazah Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas tampak dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya.
“Bersabarlah... bersabarlah...” katanya. “Aku akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan dan berhias...”
Lalu pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke tepi telaga sebelah timur di mana tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecil-kecil. Di sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.
Dengan tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh, batu itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan batu yang berwarna kelabu.
Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada sebuah pembaringan yang terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal hampir menyerupai permadani. Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu. Di sudut lain terdapat ruangan cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu. Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru. Ternyata ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur!
Ada asap tipis keluar di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi melangkah masuk. Dari dalam lemari batu di turunkannya sehelai jubah panjang berwarna biru. Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki. Pada bagian kepala jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobang-lobang ini dibuat demikian rupa agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar. Tanpa menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni lalu dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu berisi minyak yang sangat harum.
Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi. Berlangir mungkin. Sampai matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore siap memasuki malam si pengemis masih belum keluar dari air telaga.
Tak lama kemudian terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus sehingga sulit ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu adalah suara perempuan.
Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air. Tubuhnya masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan batu, tapi dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua lusin potongan bambu yang ternyata adalah obor.
Ketika obor itu dinyalakannya dan dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi deperti dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani. Kemudian agak tergegas dia melangkah menuju pintu batu.
Membukanya, masuk ke dalam ruangan batu dan menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara nyanyian itu terdengar tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada pertengahan suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu batu tampak bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri sesosok tubuh.
Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan pakaian biru yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah seorang dara berparas sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yang dikenakannya hingga nyala obor disekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi tembus pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi telaga. Ada sebuah benda di tangan kanannya yan gberkilauan tertimpa api obor. Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing ujungnya.
Waktu sampai di tepi telaga sang dara hentikan langkah. Dia mendongak ke atas dan pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah melafatkan sesuatu. Mantera?
Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan perlahan-lahan. Sepasang mata dibuka kembali dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah jenazah di atas batu hitam. Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu melesat ke tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar.
“Penguasa hari tua!” sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan malam dingin ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba saatnya untuk melakukan hajat!”
Dara jelita angkat tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai senjata ini dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, membacok ataupun menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran disertai kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat kemudian gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahan-lahan pisau besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat pejamkan mata, kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari tangannya bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai mambuka tali kain putih pengikat jenazah di bagian perut.
Nafasnya memburu dan panas. Dadanya turun naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat. Selesai membuka tali pengikat di bagian perut, kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap untuk membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah tersingkap lebar, dua manusia sama-sama tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir jatuh ke dalam telaga!
“Keparat! Siapa kau?!”
“Setan alas! Kau sendiri siapa?!”
Dua bentakan menggeledek di malam buta! Sosok jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak.
Brettt! Brettt! Brettt...!" Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai dari ujung kaki sampai kepala. Mengerikan!
DUA BELAS
Apakah jasad Wilani yang sudah jadi mayat itu kini hidup kembali?! Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di atas batu besar itu bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong. Dia mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap hingga dadanya yang telanjang kelihatan tegap penuh otot.
Di dada kanan ada guratan biru kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor! Pemuda di atas batu adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 menyeringai tapi penuh waspada.
“Jadi kau rupanya!” desisnya. “Tidak disangka gadis secantikmu ternyata penculik hutan Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di Tanjung Karangwelang?!”
Gadis berbaju biru tipis tak menjawab. Sepasang matanya tampak seperti dikobari api, memandang tak berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang membersitkan hawa ganas itu justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar kita! Diam-diam dia ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu yang lalu. Bau yang sama kini berada di sekelilingnya, bersumber oada tubuh yang bagus mulus itu.
“Kau juga orangnya yang merampas surat yang kuterima dari Empu Tembikar! Pasti!” kata Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Kalau tidak turun tangan dan melihat dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang begini cantik ternyata seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi korban! Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi.. Ha-ha-ha!” Wiro tertawa bergelak. “Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini! Ha-ha-ha! Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!”
Entah mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih terkesiap oleh rasa tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat itu.
“Pemuda keparat! Penipu!” tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
“Menipu jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng. “Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa menjebakmu seperti ini!"
“Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!” desis gadis berbaju biru. “Sebelum mampus katakan siapa namamu!”
Wiro tersenyum. “Namaku jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja orang-orang tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng dari gunung Gede itu!”
“Hemm… Kau tahu juga asal usul guruku!” ujar Wiro meski diam-diam merasa heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu dengan selembar jiwamu?!”
Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan tegakah dia membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya ini? Di samping itu dia merasa perlu untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan ini.
“Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan itu…?”
“Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!”
Begitu bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya menerpa Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika terjadi perampasan surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu jelas bahwa si perampas memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit dilihat dengan jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay tersebut. Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu angin datang menerpa Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik lalu balas menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'. Gumpalan angin dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung.
"Byarrr...!"
Pukulan murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat belasan tombak ke atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat dan satu sodokan siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak urung siku lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah.
Selagi dia menahan sakit satu jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas jauh dari atas batu besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur hidup baru sekali itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam gebrakan pertama saja dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin diimbangi kecepatan gerakannya maka dari dalam telaga Wiro lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan dengan pukulan 'Topan Melanda Samudra'. Suara seperti angin punting beliung menderu mengeirkan. Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti mendidih dan muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti hendak digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan kedua tangan. Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro, membuat pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan sakti yang sanggup memusnahkan serangannya tadi!
“Celaka! Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku harus mampus di tangannya? Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka kini dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya. Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghadapi lawan.
Sesaat sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro Sableng pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul. Gadis baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja. Karena sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik sinar pukulannya, menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat, tapi suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan berada. Maka pukulan sakti bernama 'Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih' yang tadi telah dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke atas ke arah lawan.
Dengan cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak larikan diri Wiro berseru “Pengecut! Jangan kabur!”
“Keparat! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas meninggalkan tubuh!” teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke arah mata, tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat keluar dari air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya. Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air. Sekujur tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru terpental satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas batu besar. Dari gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera yang tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi baru saja bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke arahnya!
“Senjata rahasia! Pengecut!” teriak Wiro.
Sang dara keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya mengeluarkan tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh. Dan tak pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata rahasia berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam lawan barang satupun?
Namun hari itu sang dara menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah sana hancur lebur.
Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke kiri. Kecepatan gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu pakaian birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut terluka. Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel besi panas!
Selagi lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki kanannya mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss...! Asap hitam mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal yang sama. Dia tak mau tertipu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri dengan menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang pohon.
Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana. Dan saat itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta merta Wiro melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara!
Kagetnya si gadis bukan kepalang. Marah, penasaran tapi diam-diam juga kagim melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
“Curang!” maki Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam keadaan luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia menyerbu lagi. Tetapi sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya. Dingin menggidikkan.
Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya. Salah satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai mengiris bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan.
“Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” kata gadis itu.
Wiro Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis seperti gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan. Tetapi entah mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian Wiro melihat sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha menahan tangis. Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air mata menetes membasahi kedua pipinya.
“Bunuhlah... Lekas bunuh!” terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali dari mulutnya. Namun kini tidak sekeras tadi, semakin perlahan semakin memilukan.
Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi leher. Di lain kejap, bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke depan, menotok tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis ini melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka tidak putus. Sepasang matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
“Kenapa tidak kau bunuh? Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat membunuhku...?” Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya. “Dosamu memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas bagimu. Namun aku perlu beberapa keterangan...”
“Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu tetakkan ke kepalaku!”
Wiro gelengkan kepala. “Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis. Mengorek jantung dan hatinya...!”
“Itu bukan urusanmu!”
“Kau betul, itu bukan urusanku,” ujar Wiro.
“Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!”
“Kau juga merampas surat yang kudapat dari Empu Tembikar... Mengapa... Itu bukan suratmu atau surat kekasihmu...?”
“Jangan coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku akan membunuhmu...!”
Wiro tertawa. “Katakan, siapa yang kau sebut penguasa usia itu?”
Paras sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia bungkam seribu bahasa.
“Ketika sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama itu. Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis itu?!”
“Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan sumpahku sendiri! Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati! Bunuh aku!”
“Dalam usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut mati?”
“Aku bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!”
“Jangan bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak takut pada kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan selama ini hanya berarti kesia-siaan belaka?!”
“Aku telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!”
“Kalau begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!”
“Bangsat ini pandai bicara mengorek keterangan!” maki si gadis dalam hati. ”Lebih baik aku mengunci mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot. “Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” sentaknya.
“Dengar, aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti keadaanmu ini. Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk melepaskanmu”
Si gadis tertawa. “Aku tahu jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu. Begitu dapat... Cis!”
Wiro tetawa panjang, lalu berkata, “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari sini...”
“Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!”
“Aku memang akan kembali,” jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang buas dan berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular dan laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih...”
Lalu tanpa mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara. Kedua mata sang gadis kembali tampak melotot. Kemudian terdengar suaranya meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar gadis itu berseru,
“Jangan pergi! Kembalilah... Aku akan terangkan apa yang kau minta...”
Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali. “Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau melakukan kejahatan ganas luar biasa!”
Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi keterangan.
“Semua berasal dari keinginan gila... Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajar-wajar saja. Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia...”
“Hemm... Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia...”
“Aku sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan untuk menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung Karangwelang. Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu begitu berat. Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia menderita sakit sekian lama...” Kini aku tahu, kau yang mengatur semua itu bukan?”
Wiro mengangguk. “Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan rasa takutmu dimakan usia...?"
“Seseorang mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh tiga tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus melakukan sesuatu. Sesuatu itu adalah...”
“Menculik anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu memakannya!” potong Wiro.
“Aku memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku tidak memakannya!” sahut sang dara.
“Lalu?”
“Hati dan jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan pada muka dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat seseorang perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya...”
“Kau percaya pada kekuatan gila itu?!”
Si gadis tak menjawab. “Siapa yang menanamkan kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro.
“Empu Tembikar!”
“Edan! Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka rahasia dirimu itu! Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran di atas perahu Cina itu...?”
“Mungkin... mungkin dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku. Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak mungkin dapat menahan ketuaan”
“Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?”
“Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap aku mendapat jenazah baru...”
Wiro menarik nafas dalam. “Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu terselubung tangan iblis untuk menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap paras si gadis. “Katamu kau mendapatkan ilmu awet muda itu dari Empu Tembikar. Apakah dia juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu...?”
“Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang kuperbuat!”
“Kau murid yang baik,” kata Wiro.
Si gadis tundukkan pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua riwayatku...”
“Belum semua.”
“Maksudmu?”
“Aku belum tahu siapa namamu...?”
“Lebih baik kau tak perlu tahu namaku”
“Begitu? Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu kita bertemu lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu...”
“Ucapanmu seperti kau memang benar-benar tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu lagi...”
Wiro angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan gerakan perlahan dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya kini terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau melompat menjauh. Sepasang matanya kembali tampak berkaca-kaca.
“Kau bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu menculik anak perawan orang... Ha-ha-ha!. Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!”
Sang dara tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
“Aku tak akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang dara sambil tundukkan kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya.”
Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian telaga dimana terletak pintu yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam diambilnya dua buah obor dan diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk disalah satu kursi batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang pintu.
“Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini. Malam ini juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang...”
“Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu.”
Sang dara kelihatan merah parasnya. “Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?” tanya Wiro kemudian.
“Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu”
“Tak ada gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal kita si pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat...”
“Tapi walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung jawab!”
“Terserah padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat dari kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada orang-orang dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok malam...?”
Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum. “Aku ingin pergi ke puncak sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan Tuahn masih mau mengampuniku...” kata Mantini sesaat kemudian.
“Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih suka tidur di tepi telaga...”
“Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini...”
Wiro menggeleng. “Kau takut aku membokongmu secara pengecut?” tanya Mantini.
“Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di Tanjung Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang...
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar