WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : PANGERAN MATAHARI DARI PUNCAK MERAPI
HARI mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil melecuti punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan lebih cepat. Saat itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap suara bergemuruh seolah-olah ada yang menggelegar tertahan dalam perut bumi. Tanah yang dipijaknya terasa bergoyang seperti dilanda lindu. Enam ekor sapi melenguh tiada henti lalu lari hingar bingar seperti dikejar setan.
“Eh, ada apa ini? Akan kiamatkah bumi ini?” penggembala tua terheran-heran tapi juga cemas.
Baru saja dia bertanya begitu mendadak langit di timur laut memancar cahaya merah. Suara gemuruh makin keras dan goncangan tanah tambah kencang. Memandang ke jurusan timur orang tua itu kembali melihat nyala terang menyambar laksana hendak menembus langit gelap di atasnya. Lalu ada benda-benda bulat mencelat ke udara seperti bola-bola api.
“Gunung meletus! Gusti Allah! Merapi meletus!” penggembala tua berseru tegang dan takut ketika menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kajauhan. Tongkat kayu yang dipegangnya dicampakkannya ke tanah. Enam ekor sapinya yang telah kabur entah ke mana tidak diperdulikannya lagi. Dia lari sekacang-kencangnya menuju kampung. Yang terbayang saat itu adalah anak istri dan cucu-cucunya. Dia harus segera sampai di kampung, menyelamatkan orang-orang itu dan memberi tahu pada penduduk lain bencana yang bakal melanda.
Langit di sebelah timur semakin terang mengerikan. Semburan-semburan batu kini disertai tanah dan pasir. Suara menggemuruh semakin menggila. Bumi tambah keras bergoncang. Dari bibir gunung yang meletus menyembur keluar cairan lumpur panas berwarna merah. Cairan ini kemudian meluncur ke bawah laksana sungai darah. Satu malam suntuk bumi Tuhan laksana kiamat.
Menjelang dini hari suara menggemuruh mulai berhenti. Tak ada letupan atau semburan batu, tanah dan pasir. Lelehan lumpur panaspun tak mengalir lagi. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian kini. Kesunyian yang terselubung malapetaka mengenaskan. Malam itu sembilan buah desa musnah dilanda lumpur dan batu panas. Ratusan jiwa manusia menemui ajal.
Belum terhitung jumlah ternak yang menemui kematian, ribuan hektar sawah dan ladang yang rusak, tak dapat dipanen hasilnya, tak mungkin pula ditanami lagi dalam waktu dekat. Begitulah keadaannya pada setiap bencana alam. Manusia bukan saja kehilangan harta bendanya, tapi juga hilang nyawa sendiri atau sanak keluarganya.
Ketika sang surya akhirnya muncul pada pagi hari keesokannya, di pinggiran desa Sleman yang saat iu keadaannya hampir sama rata dengan tanah akibat landaan letusan merapi, tampak seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Dia muncul entah dari mana tahu-tahu saja sudah tegak di depan reruntuhan sebuah surau kecil, berkacak pinggang dan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang besar tapi sangat cekung.
Wajahnya sangat pucat seperti tidak berdarah. Keseluruhan tampangnya menunjukkan pandangan angker, dingin dan menyembunyikan sesuatu berbau kelicikan bahkan maut! Apalagi rambutnya putih menjela bahu. Pantas kalau dirinya disebut setan muka pucat!
Orang tua ini tampak geleng-gelengkan kepala sambil memandang berkeliling. Matanya yang besar cekung seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dari mulutnya yang perot pencong terdengar suara seperti mengomel.
“Ladalah! Tak seorangpun lagi yang hidup! Tak satu nyawapun yang tinggal! Semua musnah! Semua sudah pada jadi bangkai! Ah, mimpiku tadi malam tak seluruhnya benar! Buktinya di mana anak itu? Di mana bocah yang kulihat dalam mimpi? Percuma jauh-jauh aku datang ke mari!”
Kembali orang tua bungkuk berwajah pucat dingin itu memandang berkeliling. Setelah menunggu sesaat dan merasa pasti anak yang dicarinya tak ada di sekitar situ maka diapun masuk lebih jauh ke dalam desa, berjalan di atas lumpur. Dan inilah satu keluar biasaan!
Meskipun sudah sekian lama berlalu sejak lumpur panas menyembur keluar dari gunung Merapi, namun pagi itu lumpur tersebut masih berada dalam keadaan panas seperti membara. Jangankan kaki manusia, kayu atau besipun akan hangus bila tersentuh. Tapi orang tua berpakaian rombeng tadi melangkah seenaknya di atas lumpur tersebut seolah-olah berjalan di atas padang rumput yang sejuk tertutup embun!
Tepat di pertengahan desa di mana terdapat sebuah pohon beringin besar miring hampir tumbang dan merupakan satu-satunya pohon yang masih berdiri di desa Sleman itu, orang tua tadi hentikan langkah. Memandang ke atas pohon miring yang setengahnya tampak hangus itu kedua bola matanya yang besar tambah mendelik.
“Ladalah! Itu bocah dalam mimpiku! Di sini dia rupanya!”
Orang tua bermulut pencong berseru. Ada rasa jengkel tapi juga ada rasa gembira pada nada suaranya. Lalu dia tersenyum. Namun dia tetap tegak di tempatnya, tak melakukan apa-apa selain terus memandangi anak di atas pohon yang terlilit di antara akar-akar beringin, bergoyang-goyang tergantung di udara.
Sebaliknya anak di atas pohon begitu melihat orang tua bungkuk pakaian rombeng itu segera berteriak. “Pengemis tua! Jangan bengong saja! Lekas kau tolong turunkan aku dari tempat celaka ini!”
Orang tua yang ditegur menyeringai. Dalam hatinya dia membatin. “Bocah itu! Persis seperti dalam mimpiku. Sombong dan congkak! Memerintah seenaknya tanpa peduli berhadapan dengan siapa! Sialan! Aku dianggapnya pengemis! Tapi begitu agaknya suratan takdir. Macam bocah yang begini yang berjodoh denganku!”
“Pengemis bungkuk! Apakah kau tuli hingga tak mendengar orang berteriak minta tolong?!” anak di atas pohon kembali berteriak.
“Kampret cilik! Sabarlah. Aku memang akan menolongmu! Tapi aku mau tanya dulu. Jika kau kutolong imbalan apa yang akan kau berikan padaku?”
“Pengemis tua, tahukah bahwa kau telah berbuat dua kesalahan?’ si anak membentak dengan mata melotot.
Yang dibentak mengekeh. “Budak, katakan apa dua kesalahanku”
“Pertama kau tidak segera menolongku! Kedua kau memanggilku dengan sebutan kampret cilik!”
“Begitu? Nah kalau kau menganggap aku bersalah, apakah kau hendak menghukumku?!” Orang tua tadi bertanya dengan sikap mengejek.
“Rupanya kau belum tahu siapa aku ini, pengemis tua!”
“Hai! Siapa kau sebenarnya bocah centil?”
“Aku adalah Pangeran Anom dari Surokerto!”
Orang tua itu agak terkejut. “Anak congkak ini jangan-jangan berdusta,” katanya dalam hati, tapi dia jadi meragu. Maka diapun menanyakan siapa ayah anak itu. ketika si anak menyebutkan ayahnya, kembali si orang tua bungkuk terkejut. Namun dia masih ajukan pertanyaan. “Jika kau memang Pangeran Anom, mengapa jauh-jauh kesasar di tempat ini?!”
“Malam tadi aku ikut rombongan orang berburu. Ketika Merapi meletus mereka lari cerai berai. Aku tertinggal di belakang. Waktu batu dan lumpur panas mulai menyembur untung aku dapat menyelamatkan diri bergayut di akar pohon beringin ini! Mereka akan menerima hukuman!”
“Mereka siapa?”
“Orang-orang yang meninggalkan aku itu! Jika mereka masih hidup, ayah pasti akan menghukum mereka. Aku akan suruh tebas salah satu dari kaki mereka!”
“Bocah ini selain congkak ternyata berhati kejam,” membatin orang tua itu. “Sekarang setelah kau tahu siapa aku, mengapa tidak cepat-cepat menolong?!” anak di atas pohon menegur.
“Baik-baik, aku akan segera menolongmu. Tapi ada satu perjanjian. Setelah kau kuselamatkan kau akan jadi milikku dan ikut aku!”
Yang namanya Pangeran Anom mendelik. “Enak saja bicaramu! Kau tak punya hak apapun atas diriku. Apalagi hendak membawaku. Eh, memangnya kau mau bawa aku ke mana pengemis bungkuk?”
Orang tua itu menunjuk ke puncak gunung Merapi. Anak di atas pohon tertawa mencemooh.
“Rupanya kau hantu gunung maka mau membawa aku ke puncak Merapi sana! Tubuhmu lemah dan bungkuk! Jangankan membawaku, jalan sendiripun ke puncak gunung itu kau tak bakal sanggup!”
Orang tua itu tersenyum. Dia membungkuk lalu meraup lumpur panas dengan tangan kanannya. “Kampret cilik bernama Pangeran Anom, jangan kelewat merendahkan kemampuanku!” Lumpur yang tadi diraupnya digulung-gulung hingga membentuk sebuah bola kecil. Bola lumpur ini kemudian dilemparkannya ke arah si bocah dan tepat masuk ke dalam saku pakaiannya. Karena lumpur itu masih sangat panas tentu saja anak ini jadi menjerit-jerit kesakitan ketika lumpur yang memancarkan hawa panas itu menembus pakaiannya, terus menyentuh daging perutnya.
“Nah kau tahu sekarang bagaimana rasanya panas hati kalau dihina orang?!” orang tua itu berseru.
“Siapa menghinamu!” anak yang menyebut dirinya Pangeran Anom menyahuti. Dengan kedua tangannya dia berusaha melemparkan bola lumpur dari dalam sakunya dan berhasil. “Aku hanya melihat kenyataan. Tubuhmu jelas bungkuk dan kelihatan lemah. Apa aku menghina mengatakan yang sebenarnya? Orang tua kau bukan saja seorang pencari pamrih, yang hanya mau menolong kalau ada imbalan tapi juga ternyata tolol. Siapa sudi ikut denganmu!”
“Kalau begitu aku tak jadi menolongmu! Biar kau mati tergantung kelaparan di atas pohon itu!”
“Aku tidak takut mati! Kau minggatlah dari sini!” si bocah malah balas menantang, membuat orang tua itu yang tadinya memang hanya berpura-pura hendak pergi jadi terkesiap dan salah tingkah. Sesaat dia tertegun sambil memandang melotot, jengkel dan penasaran pada anak di atas pohon.
“Hai! Disuruh minggat kenapa masih berdiri di sana?! Jangan salahkan kalau nanti aku kencingi tubuhmu!” Pangeran Anom berteriak. Saat itu memang dia ingin kencing sekali dan sudah lama menahan-nahan.
“Bocah kurang ajar! Aku suka padamu!” Orang tua itu tertawa mengekeh. “Kau pantas jadi muridku! Kau sombong, keras hati, mungkin juga licik dan kejam! Ha-ha-ha! Mimpiku ternyata tidak dusta! Mari kau ikut aku!”
Habis berkata begitu orang tua tadi melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak akar-akar pohon beringin yang melilit tubuh Pangeran Anom tersentak lepas. Lalu begitu tubuhnya melayang turun, orang tua ini langsung melarikan anak itu ke arah utara, menuju puncak Merapi. Berlari di atas lumpur panas yang masih mengepulkan asap.
Dua belas tahun telah berlalu sejak malapetaka meletusnya gunung Merapi. Desa Sleman yang dulu musnah sama rata dengan tanah bersama delapan desa lainnya, kini nampak subur. Rumah-rumah penduduk bertebaran di mana-mana. Sawah ladang menghampar memberikan hasil besar pada setiap musim panen.
Boleh dikatakan banyak sudah penduduk yang melupakan peristiwa malang yang terjadi dua belas tahun silam itu mereka telah disibukkan dengan mengurusi sawah ladang serta ternak bahkan membangun rumah atau tempat peribadatan baru. Desa-desa itu kini malah menjadi pusat-pusat penghasil sayur mayur dan daging bagi Kotaraja dan kota-kota di sekitarnya.
Di arah timur, gunung Merapi tampak menjulang tinggi diselimuti awan biru pada puncaknya. Dua belas tahun silam gunung inilah yang telah memberi malapetaka pada penduduk. Tapi kini dia tampak tegak penuh perkasa dan memberikan pemandangan yang indah.
Saat itu pagi hari. Sang surya baru saja muncul menerangi jagat, memberi penerangan dan kesegaran baru di atas bumi Tuhan. Di bibir gunung sebelah selatan tampak sebuah bangunan kayu jati. Bangunan ini hampir merupakan sebuah dangau karena memiliki kolong dan terbuka tanpa kamar atau ruangan. Di atas bangunan kayu jati itu duduk berhadap-hadapan dua orang lelaki.
Satu tua renta berambut putih menjela punggung bermuka pucat dan bermata cekung. Satunya lagi seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas tahun yang memiliki dahi tinggi serta rahang menonjol. Rambutnya hitam sangat lebat, dagunya kukuh. Keseluruhan wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap congkak.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Anom, yang dua belas tahun lalu tergantung di pohon beringin ketika terjadi bencana meletusnya gunung Merapi. Orang tua yang duduk di hadapannya adalah orang tua yang dulu menyelamatkannya dari pohon itu lalu membawanya ke puncak Merapi.
“Muridku Pangeran Anom, hari ini tepat dua belas tahun kau bersamaku. Berarti dua belas tahun kau tinggal di puncak Merapi ini menjadi muridku. Banyak ilmu kepandaian yang hitam dan yang putih telah kau pelajari. Jangan pernah kau lupakan semua ilmu itu kuberikan adalah sesuai dengan perjanjian kita dua belas tahun silam. Yakni untuk menghancurkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kita. Mereka perlu dimusnahkan bahkan dibunuh. Tak perduli apakah mereka dari golongan putih ataupun dari golongan hitam. Dalam tubuhmu sudah tertanam segala kecerdikan, segala akal segala ilmu yang harus menjadi bekal dan pegangan jika kau nanti sudah meninggalkan puncak Merapi ini. Satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Kau tidak boleh kembali ke Kotaraja, kau tidak boleh kembali menemui kedua orang tuamu ataupun saudara-saudaramu. Siapa adanya kau di masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Namamu pun harus kau ganti!”
Setelah berdiam diri mendengarkan kata-kata sang guru, pemuda itu ajukan pertanyaan “Nama apakah yang akan kupakai guru?”
“Nanti akan kuberitahu yaitu enam jam dari sekarang. Satu kejadian besar akan berlangsung enam jam lagi. Saat itulah akan kulekatkan nama yang pantas bagimu. Nama yang pantas untuk seorang pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu dan segala licik serta congkak!”
“Peristiwa apakah yang bakal terjadi enam jam mendatang, guru?” bertanya si pemuda.
“Jangan tanya dulu. Kau akan saksikan sendiri. Peristiwa ini sekali dalam tujuh puluh enam tahun!”
Si pemuda termenung diam. Tapi otaknya coba memecahkan teka teki peristiwa besar yang disebutkan sang guru. Sulit baginya untuk menerka. Berarti harus menunggu sampai enam jam di muka!
“Jika nanti kau meninggalkan puncak Merapi ini harus kau ingat baik-baik beberapa nama tokoh timba persilatan yang pasti akan menjadi penghalang tindak tandukmu dalam dunia persilatan. Yang pertama adalah seorang pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seorang pendekar tanpa tanding, murid seorang nenek sakti dari puncak gunung Gede yang dikenal dengan nama Sinto Gendeng. Dia bukan saja sakti mandraguna tapi memiliki beberapa senjata mustika luar biasa. Satu di antaranya adalah Kapak Maut Naga Geni. Di samping itu dikabarkan dia juga mendapat warisan-warisan ilmu hebat dari beberapa tokoh silat di delapan penjuru angin. Hati-hati jika kau berhadapan dengannya karena sepertimu dia juga memiliki segala ilmu, segala akal. Satu hal yang tidak dimilikinya yakni segala kelicikan. Pada titik kelemahan itulah kau akan dapat mengalahkannya!”
“Kalau aku boleh bertanya, di manakah aku dapat menemui pemuda bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu?” bertanya si pemuda. Jelas ini satu pertanda bahwa dia ingin berhadapan untuk menjajal sampai sejauh mana kehebatan Wiro Sableng.
Orang tua yang ditanya tersenyum. “Pendekar seperti dia tidak berumah tak bertempat tinggal. Dia gentayangan seperti setan di delapan penjuru angin dan bisa muncul secara mendadak di mana-mana…..”
“Menurut guru sehebat-hebatnya ilmu kepandaian seseorang, akan ada selalu kelemahannya. Selain titik kelicikan yang guru katakan tadi, apakah Pendekar 212 Wiro Sableng memiliki kelemahan lainnya?”
“Ha-ha-ha! Itu satu pertanyaan bagus! Dan jawabannyapun mudah. Setiap pendekar selalu mempunyai kelemahan yang sama. Yakni lemah terhadap perempuan! Nah kelemahan itu bisa kau pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tapi ingat mungkin saja hal itu tidak selalu berlaku pada setiap saat dan situasi. Jadi yang penting kau harus berhati-hati jika berhadapan dengan manusia seperti Pendekar 212 Wiro Sableng itu…”
“Hal itu akan saya ingat baik-baik guru. Siapa lagi pendekar lain yang menurut guru perlu diawasi?”
“Sorang pendekar muda, seusia Wiro Sableng. Namanya Mahesa Edan. Dia murid seorang nenek sakti dari puncak Iyang yang kalau aku tak salah bernama Kunti Kendil. Nenek ini selain sakti juga sangat ganas dan punya banyak teman. Pendekar bernama mahesa Edan ini juga memiliki beberapa senjata sakti. Antara lain sebuah senjata kayu hitam berbentuk papan nisan. Lalu sebuah senjata titipan berupa sebilah keris bernama Keris Naga Biru. Orang ketiga yang harus kau perhatikan ialah seorang pendekar yang bernama hampir sama dengan Mahesa Edan. Namanya Mahesa Kelud. Dia berasal dari puncak gunung Kelud di mana gurunya yang bernama Embah Jagatnata menggodoknya. Dia memiliki berbagai ilmu kesaktian. Memiliki beberapa orang guru. Namun kepandaiannya yang luar biasa adalah dalam ilmu pedang. Kudengar dia memiliki sebuah pedang mustika bernama Pedang Dewa. Di samping itu konon dia berhasil mendapatkan sebuah pedang sakti mandraguna bernama Pedang Samber Nyawa. Namun di atas semuanya itu dia juga dikabarkan telah menguasai ilmu pukulan sakti Api Salju yang merupakan ilmu sangat langka dalam dunia persilatan. Selain tiga orang pendekar itu beserta para guru mereka tentunya, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang bakal menghadang dan menghalangi tindak tandukmu. Jumlah mereka tidak sedikit dan sulit untuk disebutkan satu persatu. Tapi percayalah, jika kau bisa menghadapi tiga pendekar tadi, maka yang lain-lainnya akan dapat kau tangani secara mudah. Yang penting jangan lupa menerapkan segala ilmu, segala akal dan segala kelicikan! Sekarang sebelum sampai saat yang ditunggu kau turunlah ke dalam kawah gunung Merapi. Pergi mandi di kawah belerang untuk penghabisan kali, setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan bersemadi dan jangan mengganggu sebelum ada petunjuk lebih lanjut!”
Pemuda itu berdiri. Seorang murid biasanya akan menjura sebelum berlalu dari hadapan gurunya. Tapi berlainan dengan pemuda ini, dia hanya menganggukkan kepala sedikit lalu turun dari bangunan kayu jati itu. Inilah sikap yang sejak kecil telah tertanam dalam dirinya yakni sifat congkak sombong, tak perduli berhadapan dengan siapapun, selalu menganggap rendah orang lain!
Sampai di pinggiran kawah gunung Merapi pemuda itu tegak memandang ke bawah. Jauh di sebelah sana tampak kawah yang tertutup air berwarna biru kekuningan, memancarkan asap dan hawa hangat. Tak ada jalan menuju ke danau yang menutupi kawah itu selain lamping batu yang merupakan lereng terjal dan licin.
Si pemuda keluarkan pekik nyaring. Lalu seperti seekor burung walet tubuhnya tampak melayang ke bawah, melompat dari satu gundukan batu licin ke batu lainnya. Dalam waktu singkat dia sudah sampai di dasar kawah dan 'byuurrr' langsung masuk ke dalam air biru kuning tanpa membuka pakaiannya. Beberapa lama pemuda ini mendekam berenang dalam air hangat itu.
Pada saat kulitnya terasa seperti hendak melepuh maka baru dia keluar dari dalam air. Seperti tadi kembali dia melompat dari batu ke batu hingga akhirnya sampai di bibir atas kawah Merapi. Ketika dia kembali ke pondok kayu didapatinya sang guru masih duduk bersila, bersemadi pejamkan mata. Sambil mengeringkan pakaian, pemuda itu akhirnya duduk di bawah kolong bangunan, menunggu sang guru selesai bersemadi.
Saat itu mulai menjelang tengah hari. Satu keanehan dirasakan oleh si pemuda. Pada saat seperti itu sang surya seharusnya memancarkan sinar panas terik dan terang benderang. Tapi yang dilihatnya justru sebaliknya. Matahari tampak meredup, padahal saat itu sama sekali tak nampak awan atau mendung menutupinya. Diperhatikannya baik-baik.
Pada pinggiran matahari sebelah kanan tampak seperti ada sebuah lingkaran berbentuk cincin berwarna ungu terang. Cincin ini makin lama makin besar dan akhirnya merupakan lingkaran hitam yang sedikit demi sedikit menutupi matahari. Lambat laun sinar terang matahari menjadi tambah redup. Beberapa saat kemudian ketika seluruh warna hitam itu menutupi matahari maka bumipun menjadi gelap seperti di malam buta.
Di kejauhan terdengar suara binatang-binatang hutan seperti panik. Di beberapa desa di kaki gunung Merapi terdengar suara penduduk memukul berbagai tabuhan. Mereka melakukan itu untuk mengusir 'Setan' yang katanya hendak memakan matahari.
“Dunia Kiamat!” seru pemuda di bawah kolong pondok kayu seraya melompat ketakutan. Dia memandang pada gurunya. Orang tua itu masih saja duduk besila bersemadi. “Dunia kiamat!” seru pemuda itu sekali lagi. Kali ini dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar. Dia sengaja berbuat begitu agar sang guru mendengar dan menyudahi semadinya.
Perlahan-lahan memang orang tua itu membuka kedua matanya. Dia dapatkan saat itu keadaan gelap gulita seperti malam. Tapi aneh justru dari mulutnya yang perot tampak tersungging senyum. Dia bangkit dari duduknya, melompat ke bawah dan tegak di samping muridnya sambil mendongak ke langit.
“Dunia tidak kiamat! Bumi belum kiamat!” katanya sambil memegang bahu muridnya. “Justru inilah yang kita tunggu-tunggu. Saat di mana nama baru akan kuberikan padamu! Nama yang tepat dengan keadaan saat ini!”
“Guru, kalau bukan kiamat apa namanya ini? Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tiba-tiba matahari lenyap dan dunia menjadi gelap seperti malam. Lalu mengapa penduduk di bawah sana memukul segala macam tetabuhan? Dan kau sendiri tampak tenang-tenang saja…?”
Yang ditaya tersenyum dan menjawab “Aku tenang-tenang saja karena memang tak ada yang perlu dikawatirkan. Semua ini adalah kekuasaan Tuhan. Penduduk yang tolol di sana mengira matahari dimakan satu mahluk aneh hingga mereka memukul segala macam barang. Mulai dari beduk dan gendang sampai pada tetampah dan segala macam kaleng. Mereka menyangka dengan melakukan hal itu mahluk pemakan matahari akan ketakutan lalu meninggalkan. Padahal jika tiba saatnya matahari akan kembali bersinar. Kau tahu muridku yang terjadi saat ini adalah apa yang disebut gerhana matahari. Saat ini bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus. Bulan di sebelah depan, matahari di punggungnya. Karena itu matahari tertutup oleh bulan. Akibatnya matahari tidak kelihatan dan sinarnya juga terhalang. Nah apakah aneh jika bumi tiba-tiba menjadi gelap seperti malam?”
“Kalau begitu kejadiannya memang tidak aneh. Tuhan Maha Kuasa dan orang-orang itu tolol semua. Tapi bagaimanakah kalau matahari terus-terusan terlindung bulan?”
“Ah, ternyata kau pun tolol. Bukankah matahari, bulan dan bumi itu tidak diam, saling berputar di sumbunya dan saling mengitari? Ketahuilah apa yang terjadi saat ini ada hubungannya dengan pemberian namamu. Ini saat yang tepat. Ini hanya terjadi tujuh puluh enam tahun sekali! Dengan adanya kejadian ini maka mulai saat ini namamu yang lama yaitu Pangeran Anom kuganti menjadi Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Kau dengar itu?! Namamu mulai dari sekarang adalah Pangeran Matahari!”
“Nama luar biasa! Aku suka nama itu!” kata sang murid sambil usap-usap dadanya.
“Itu memang nama yang tepat bagimu. Sesuai dengan sifatmu yang cepat panasan, congkak sombong dan ingin menang sendiri!”
Mendengar kata-kata itu si pemuda tertawa. “Nah, sekarang apakah aku boleh minta diri?”
“Tidak. Kau harus menunggu sampai hari kembali terang dan matahari kembali memancarkan sinarnya. Ini tak akan lama. Hanya sekitar sepeminuman teh. Tegak saja di sini, jangan bergerak, jangan ke mana-mana” Setelah berkata begitu orang tua ini naik kembali ke atas pondok kayunya, duduk bersila dan pejamkan mata.
Sesuai perintah sang guru Pangeran Marahari tetap tegak di tempatnya semula. Kepalanya mendongak ke langit memperhatikan matahari yang sedang gerhana. Perlahan-lahan rembulan yang menutupi sang surya itu mulai bergeser dan bumi sedikit demi sedikit mejadi terang. Ketika matahari tidak terlindung lagi maka puncak gunung Merapi itu menjadi terang benderang sebagaimana siang layaknya.
Pangeran Matahari palingkan kepala ke arah pondok kayu. Astaga! Dia jadi kaget. Sang guru tak ada lagi di tempat di mana tadi dia duduk bersemadi. Dicari kian kemari tetap saja orang tua itu tak berhasil ditemuan. Pangeran Matahari memeriksa ke kawah gunung. Sepi, tak seorangpun kelihatan di sana. Maka dia pun mulai berteriak,
“Guru! Guru…! Kau berada di mana…?!” jawaban yang terdengar hanyalah gaung suaranya.
“Orang tua aneh. Selama dua belas tahun dia tak pernah memberi tahu namanya. Kini dia raib begitu saja!” Pemuda itu merenung sejenak. Sesaat kemudian hatinya yang congkak membatin, “Mengapa aku risaukan tua bangka bungkuk itu. Ilmunya sudah kudapat. Jika dia kemudian raib tanpa memberi tahu, perduli setan! Sebelum malam turun lebih baik aku pergi dari sini!”
Lalu Pangeran Matahari melangkah pergi. Namun baru bergerak dua langkah, gerakannya tertahan. Ketika dia memandang ke pondok kayu jati, dia sama sekali tidak melihat apa-apa. Namun sewaktu sekali lagi dia berpaling ke arah bangunan itu tahu-tahu di situ nampak tergantung baju dan celana hitam, berkibar-kibar ditiup angin gunung.
“Aneh, siapa yang menggantungkan pakaian itu di sana?” pikir Pangeran Matahari seraya melangkah mendekati.
Pada bagian dada baju hitam, terdapat lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru. Puncak gunung dilatar belakangi gambar matahari berwarna merah darah, lalu garis-garis sinar berwarna kuning. Sesaat si pemuda tegak tertegun. Namun kemudian mulutnya menyunggingkan senyum.
“Pakaian ini pasti tua bangka aneh itu yang meletakkan di sini. Dan pasti untukku. Lalu tanpa menunggu lebih lama dia mengambil pakaian hitam tersebut dan mengenakannya. Ternyata pas benar di badannya.
“Bagus! Nama dan pakaian cocok satu sama lain!” Pangeran Matahari memandang berkeliling. “Guru!” serunya. “Aku tahu pakaian ini darimu! Untuk itu aku mengucapkan terima kasih! Hanya sayang bahannya terbuat dari bahan jelek! Tapi tak jadi apa, kurasa cukup kuat!”
Setelah berkata begitu Pangeran Matahari segera tinggalkan puncak Merapi.
Di depan perapian itu duduk berkeliling lima orang lelaki bertampang bengis. Salah satu di antaranya memiliki badan luar biasa besar, memelihara cambang bawuk dan kumis lebat. Mukanya yang bengis tampak lebih buruk karena penuh dengan lobang-lobang bopeng. Di belakang kelima orang ini, terlindung oleh kegelapan malam yang tak tersentuh nyala api unggun duduk mendekam lebih dari dua puluh orang. Semuanya membekal berbagai macam senjata. Mulai dari golok dan pedang pendek sampai pada pentungan besi dan tombak panjang. Ada pula yang membawa clurit besar dan mengalungkannya di lehernya.
Lelaki bercambang bawuk berkumis melintang mengusap mukanya yang bopeng. Dia membenarkan letak ikat pinggang kain merah yang melilit di keningnya. Seorang yang duduk di sebelah kirinya melunjurkan kedua kakinya yang pegal seraya berkata,
“Lama benar datangnya pagi…”
Si muka bopeng menyahuti tak acuh. “Untuk pekerjaan besar yang bakal kita lakukan memang harus bersabar. Jika tak dapat bersabar sebaiknya minggat dari sini!”
Yang ditegur lagsung diam dan meneguk kopi dalam cangkir kaleng. Seorang lainnya dari lima yang duduk di muka perapian bertanya, “Bagaimana kalau jumlah pengawal lebih banyak dari orang-orang kita?”
“Kalian ini semua bicara seperti orang pengecut!” membentak si bopeng. “Bukankah sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa rombongan pengawal itu tak akan lebih dari sepuluh orang? Mungkin ditambah satu atau dua orang perwira muda. Tapi tak akan lebih dari itu. Lalu apa yang kita takutkan? Mereka perajurit-perajurit yang tak pernah berlatih. Yang hanya mampu berpakaian gagah dan menyandang senjata. Tapi bila berhadapan dengan lawan akan ketakutan setengah mati!”
“Menurutmu apakah rombongan istana ini membawa banyak uang dan harta, Warok?” bertanya seorang lagi.
“Aku tidak perduli apakah mereka membawa harta atau uang! Tujuan utamaku adalah menculik puteri yang cantik jelita itu. Gila! Sejak aku melihatnya dua minggu lalu di pasar malam di Kotaraja, aku tak bisa melupakannya. Saat itu kalau saja pengawalan tidak sangat ketat dan jumlah kita cukup banyak, mau aku menculiknya waktu itu juga! Eh, siapa nama lengkapnya gadis putih montok itu?”
“Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati…” seseorang menjawab.
“Betul! Nama bagus sebagus orangnya. Panjang sepanjang rambutnya yang hitam. Ha-ha-ha! Sungguh pantas menjadi istri Warok Sumo Gantra!”
Orang yang menyebut namanya sendiri itu usap-usap dadanya lalu meneguk kopinya sampai habis. Seorang anak buahnya cepat-cepat mengisi cangkir kaleng itu sampai penuh.
“Ada satu hal yang harus kalian ingat dan lakukan!” berkata Warok Sumo Gantra. “Selain Puji Lestari Ambarwati, tak satu orangpun harus dibiarkan hidup. Ini agar kita bisa menghilangkan jejak…”
“Bagaimana kalau ibunda Puji Lestari ikut dalam rombongan. Apakah dia harus dibunuh juga?”
Sang Warok tak segera menjawab. Setelah berpikir sejenak baru membuka mulut. “Turut apa yang aku dengar istri ketiga Sri Baginda itu kabarnya juga berparas jelita dan tubuhnya masih menggairahkan. Jika kenyataannya memang begitu aku akan mempertimbangkan nanti dia tak lebih dari membunuhnya!”
"Dapat anak dapat ibunya! Ha-ha-ha! Tapi bila ternyata seorang nenek tak berguna, kalian tak usah ragu-ragu..."
Baru saja Warok Sumo Gantra berkata begitu tiba-tiba terdengar suara 'kraak'. Semua orang mendongak ke atas. Cabang pohon di bawah mana orang-orang itu duduk mendadak patah dan jatuh ke bawah, hampir menimpa kepala sang warok. Dengan tangan kirinya dikibaskannya cabang itu hingga mencelat mental di kegelapan malam.
“Aneh! Itu bukan cabang kering! Bagaimana bisa patah dan jatuh?!” kata Warok Sumo Gantra seraya berdiri. Beberapa orang anak buahnya ikut berdiri dan memandang berkeliling. Salah seorang dari mereka menimpali.
“Memang aneh. Tak ada hujan tak ada angin, bagaimana cabang pohon yang cukup liat itu bisa patah?!”
“Mungkin ada orang yang sok jagoan dan berani main-main dengan kita!” Lelaki di sebelah kanan menduga dan langsung menghunus goloknya.
“Sarungkan golokmu! Siapa yang berani main-main dengan kita komplotan rampok hutan Merapi!” berkata kawan di sebelahnya.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah kegelapan. “Mengapa tak ada yang berani main-main dengan kawanan rampok buruk seperti kalian?!”
“Keparat! Ada yang berani main-main dan menghina!” teriak Warok Sumo Gantra.
Serta merta terdengar suara berseresetan karena sekian banyak senjata dicabut dari sarungnya. Kali ini sang warok tidak lagi menyuruh anak buahnya menyarungkan senjata mereka, tapi memandang melotot ke arah kegelapan dari mana datangnya suara tadi. Saat itu tampak sesosok tubuh melangkah ke arah rombongan namun tertahan oleh anggota rampok yang tegak berkeliling.
“Beri jalan!” bentak orang yang muncul dari kegelapan. Ternyata dia seorang pemuda bertampang keras dengan rahang-rahang menonjol.
Dibentak demikian tentu saja anggota rampok yang berada paling dekat dengan pemuda itu menjadi marah dan ayunkan senjata masing-masing.
"Braakkk! Braakkk! Bukkk! Bukkk...!"
Empat orang anggota rampok menjerit kesakitan. Senjata masing-masing mencelat mental dan tubuh mereka tergelimpang berjatuhan. Tentu saja hal ini mengejutkan semua anggota rampok hutan Merapi, terutama pimpinan mereka yaitu Warok Sumo Gantra.
“Hemmm… rupanya benar-benar ada yang berani main-main cari penyakit! Apa tidak tahu berhadapan dengan siapa?!” bentak Warok Sumo Gantra.
“Kau pimpinan monyet-monyet di sini? Pasti kau tuli? Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kalian adalah rampok-rampok buruk?! Yang malam ini tengah merencanakan perampokan terhadap rombongan istana, hendak menculik seorang puteri kerajaan!”
“Bangsat ini pasti sudah mencuri dengar pembicaraan kita. Mengintai sejak tadi…”
Ucapan anak buah Suma Gantra ini terputus ketika satu tamparan melabrak mukanya hingga tubuhnya terlempar dan terguling pingsan di hadapan kaki pemimpinnya.
“Aku Pangeran Matahari! Sebagai seorang Pangeran tak ada satu manusiapun yang boleh memakiku!”
“Hai! Apa?! Siapa namamu…?!” Bentak Warok Sumo Gantra karena heran mendengar nama yang disebutkan si pemuda.
“Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi! Mulai malam ini aku mengambil pimpinan di sini!”
“Keparat sombong kurang ajar…”
"Plaakkk...!"
Satu tamparan kembali berkelebat. Dan anggota rampok yang tadi bicara keras langsung jatuh, melejang-lejang sesaat lalu diam tak berkutik lagi. Nyawanya putus. Ketika diperhatikan tampak separuh mukanya hancur! Kini suasana di tempat itu dicengkeram ketegangan. Anak buah rampok diam-diam menjadi kecut tak berani bergerak, menunggu apa yang hendak dilakukan pemimpin mereka.
“Pangeran Matahari, siapapun namamu! Sikap dan bicaramu sombong amat! Kau berani mencelakaiku dengan patahan cabang pohon. Kau berani menghinaku bahkan kau melukai dan membunuh anak buahku! Siapa kau sebenarnya dan apa maksud kemunculanmu di tempat ini? Jika kau sengaja mencari silang sengketa jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini hidup-hidup!"
Pangeran Matahari tertawa mengejek. “Jika aku mau nyawamupun bisa kuambil detik ini juga!” sahutnya seenaknya seraya berkacak pinggang. “Apa kau tidak mendengar? Mulai saat ini aku yang jadi pimpinan di sini. Kalian kuperintahkan untuk menculik Puji Lestari Ambarwati besok pagi dan menyerahkannya padaku! Ada yang berani menantang?!”
Perlakuan dan ucapan pemuda itu sudah dianggap melampaui batas oleh Warok Sumo Gantra. Namun karena maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian maka dia tak mau langsung turun tangan. Dia memberi isyarat pada empat anak buahnya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya.
“Pangeran Matahari! Jika kau memang berniat jadi pimpinan boleh saja! Tapi tundukkan dulu empat pembantuku ini!”
Si pemuda menyeringai. “Jika kau hendak berlindung di belakang anak buahmu, hanya sementara saja Warok! Kasihan kecebong-kecebong ini! Ayo majulah kalian berbarengan!”
“Hantam!”
“Bunuh!”
“Cincang!”
“Mampus!”
Empat batang golok berkelebat ganas. Dua mengarah batok kepala dan leher, satu membabat pinggang dan satunya lagi menusuk ke perut!
“Rasakan olehmu sekarang!” kata Warok Sumo Gantra bergumam seraya rangkapkan tangan di muka dada dan menyeringai puas. Dia sudah membayangkan kejap itu juga pemuda sombong di hadapannya akan mati dengan tubuh terkutung-kutung!
Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan dan membuat kedua matanya membeliak. Dua dari anak buahnya terpental dengan mulut pecah dan mata hancur. Duanya lagi entah bagaimana luka parah terhantam golok sendiri dan tersungkur mandi darah! Pucatlah paras sang warok. Semua anak buahnya mengalami hal yang sama. Tak ada yang berani bergerak atau keluarka suara. Lutut masing-masing terasa goyah sedang tengkuk mendadak sontak menjadi dingin!
“Cukup!” teriak Sumo Gantra. “Sekarang giliranmu untuk mampus!” Kepala rampok itni maju tiga langkah. Sejarak empat langkah dari hadapan si pemuda dia hantamkan tangan kanannya. Angin deras menderu. Di saat itu pula selagi pukulan tangan kosong jarak jauh itu belum melabrak sasarannya, sang warok susul dengan satu lompatan dan kirimkan tendangan keras ke dada si pemuda.
Pangeran Matahari tertawa mengejek. Tubuhnya miring ke samping, tangan kanannya menyambut sakaligus dua serangan lawan. Begitu tangan digerakkan ke depan perlahan saja maka mencelatlah tubuh besar kekar Warok Sumo Gantra! Kepala rampok ini cepat jungkir balik di udara. Meskipun sempoyongan masih untung dia bisa jatuh dengan kedua kaki lebih dahulu.
“Warok Sumo! Tampangmu memang seram. Tapi isi perutmu hanya cacing gelang melulu! Apakah kau masih pantas menyebut diri sebagai Warok, menjadi pimpinan orang-orang ini?!”
“Jangan keliwat menghina! Aku masih belum kalah!” menjawab Warok Sumo Gantra lalu tangan kanannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebilah golok besar sudah tergenggam di tangannya. Senjata ini dibolang balingkan demikian rupa hingga berkilau-kilau terkena cahaya api unggun.
“Jangan cuma tegak main akrobat! Majulah!” mengejek Pangeran Matahari. Waktu keluarkan ucapan dia sengaja memandang ke jurusan lain seperti bersikap tak acuh.
Dengan amarah memuncak Warok Sumo Gantra menyerbu masuk. Golok besarnya berkiblat dalam tiga arah serangan sekaligus yakni leher, perut dan dada! Di saat yang sama tangan kirinya tidak tinggal diam. Dia menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Sesaat Pangeran Matahari terkesiap juga melihat serangan ganas ini. Di samping itu pukulan tangan sang warok menebarkan angin dingin.
Pangeran Matahari berteriak nyaring. Tubuhnya lenyap dari pandangan Warok Sumo Gantra. Kepala rampok ini sesaat terus menyerbu tempat kosong sempai akhirnya di menyadari lawan tak ada lagi di hadapannya.
“Matamu buta atau bagaimana! Aku ada di sini Warok!” mengejek Pangeran Matahari yang tahu-tahu sudah ada di belakang sang warok. Dalam amarah tambah memuncak Warok Sumo Gantra balikkan tubuh dan babatkan goloknya. Terdengar pekikan setinggi langit!
“Rasakan!” teriak Warok Sumo Gantra karena menyangka si pemuda itu berhasil dihantam goloknya. Tapi ketika sosok tubuh itu terjungkal jatuh di hadapannya, dia segera mengenali yang roboh mandi darah bukanlah Pangeran Matahari, melainkan salah seorang anak buahnya sendiri! Sedang sang pemuda masih tegak dua langkah di depannya sambil bertolak pinggang dan sunggingkan tawa mengejek.
“Keparat setan alas!” teriak Warok Sumo Gantra.
Golok di tangan kanannya kembali berkesiur, lenyap dan hanya merupakan sinar putih dalam kegelapan malam dan pantulan api unggun. Tubuhnya mandi keringat. Tapi selama enam jurus dia tak mampu menyentuh tubuh Pangeran Matahari. Sewaktu nafasnya sesak kehabisan tenaga akibat amarah yang tak terkendali, tiba-tiba dia merasakan kaki kirinya seperti dihantam balok besar.
Tak ampun tubuhnya terpelanting dan terbanting jatuh dekat perapian. Pada saat dia hendak bangkit, satu injakan terasa di dadanya. Dia kerahkan tenaga namun tak mampu membuat mental kaki yang menginjak itu.
“Apakah kau masih tak mau menyerahkan pimpinan padaku, atau kau lebih suka menjadi bangkai?!” bertanya Pangeran Matahari sambil mendongak, sengaja tak mau menatap Warok Sumo Gantra.
Karena memang tak berdaya lagi, apa lagi meneruskan perlawanan, pimpinan rampok itu akhirnya menyahut. “Aku mengaku kalah! Terserah padamu mau membunuh atau mengampuni selembar nyawaku!”
“Nyawamu kuampuni! Lekas kau hidangkan secangkir kopi hangat untukku! Ingat, kau sendiri yang harus menyediakannya untukku!”
Pangeran Matahari angkat injakan kakinya pada dada sang warok. Dengan terhuyung-huyung Warok Sumo Gantra bangkit berdiri, lalu melakukan apa yang diperintah sang pangeran. Ini adalah penghinaan yang tak pernah dialami Sumo Gantra seumur hidupnya. Apalagi di hadapan anak buahnya sendiri. Dalam hatinya terpancang dendam kesumat. Satu saat dia harus membunuh pemuda ini!
Matahari belum lagi menyembul dari ufuk timur. Namun keadaan di tempat itu sudah agak terang hingga cukup jelas terlihat jalan kecil berkelok di lamping bukit sebelah timur hutan Merapi. Dua puluh anak buah Sumo Gantra telah berada di tempat-tempat yang diatur sementara Pangeran Matahari duduk di sebuah batu besar dan sang warok tegak di sampingnya. Tak selang berapa lama, ketika serombongan burung nampak melayang di udara, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
“Mereka datang Pangeran…” berkata Warok Sumo Gantra.
Pangeran Matahari mengangguk kecil dan layangkan pandangannya ke timur. Dari balik kelokan jalan yang mendaki tampak kepala lima ekor kuda, disusul lima ekor lagi di sebelah belakang. Lalu sebuah kereta ditarik dua ekor kuda coklat. Setelah itu masih ada lima pengawal berkuda di sebelah belakang.
“Dugaanku tepat! Jumlah pengawal tidak sampai dua puluh. Tapi…” Warok Sumo Gantra hentikan kata-katanya. Suaranya seperti tercekat. Dia memanang tajam ke arah rombongan di bawah sana.
“Apa yang membuatmu tiba-tiba kecut heh?!” bertanya Pangeran Matahari tak acuh.
“Ni Luh Tua Klungkung ada di antara mereka!” sahut kepala rampok yang kini berada di bawah kekuasaan Pangeran Matahari itu.
“Kau begitu ketakutan. Siapa manusia itu?” tanya sang pangeran.
“Seorang nenek sinting sakti. Berasal dari Bali tapi diketahui sejak lama menjadi pendamping utama para tokoh silat Keraton…”
“Sinting tapi sakti! Sungguh aneh, lucu! Aku ingin berkenalan dengan nenek itu…” Pangeran Matahari menyeringai dan usap-usap telapak tangannya satu sama lain, lalu dia mendorong-dorongkan tangan kanan seperti mengambil ancang-ancang memukul. “Yang mana nenek tua yang kau maksudkan itu?” bertanya Pangeran Matahari.
“Orang kedua pada rombongan kedua. Yang di sebelah kanan berpakaian serba biru…”
“Itu…? Hanya seorang nenek berambut putih, bertubuh kecil jelek! Itu yang kau takutkan!”
“Jangan memandang rendah Pangeran. Dia benar-benar seorang berkepandaian tinggi!”
“Sudah! Jangan banyak mulut! Rombongan itu hampir mendekati titik penyerangan! Kau lekas turun dan pimpin anak buahmu melakukan serangan!”
“Jika Pangeran memang ingin menjajal kehebatan perempuan tua itu, sebaiknya Pangeran ikut turun…”
"Plaakk...!
Satu tamparan mendarat di pipi Warok Sumo Gantra membuat orang ini terhuyung-huyung hampir roboh. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah.
“Jangan berani memerintah! Aku yang jadi pimpinan di tempat ini! Dan ingat!” Pangeran Matahari berkata dengan mata mendelik.
“Setiap barang berharga dan uang yang kalian temui adalah milikku. Siapa saja perempuan yang kalian tangkap harus diserahkan padaku... Pergi!”
Masih terhuyung-huyung dan masih menahan sakit Warok Sumo Gantra berlari menuruni lamping bukit. Dalam waktu singkat dia sudah berada di antara anak buahnya yang saat itu juga dalam keadaan tegang takut ketika mengetahui bahwa dalam rombongan yang hendak mereka serbu terdapat Ni Luh Tua Klungkung. Jelas mereka kini melakukan penghadangan dengan setengah hati.
Dari batu tempatnya duduk di atas bukit, Pangeran Matahari mendengar suara suitan nyarin. Dari balik tebing di kiri kanan jalan tampak melompat keluar anak buah Warok Sumo Gantra menyerbu rombongan. Suasana kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar tiada henti. Pertempuran segera berlangsung. Mula-mula tampak para perampok berada di atas angin.
Lawan yang terkejut karena diserang tiba-tiba terdesak hebat. Lima pengawal roboh mandi darah. Namun keganasan para perampok hanya sampai di situ. Ketika penunggang kuda berpakaian biru berambut putih mulai bergerak hanya dengan mengandalkan tangan kosong, maka keadaan jadi berubah!
Dua anggota rampok mencelat mental dengan perut dan dada bobol dimakan tendangan. Seorang lagi terhenyak dengan leher patah terkena tepisan tangan kiri. Dan ketika orang berpakaian biru itu mempergunakan golok rampasan untuk melancarkan serangan balasan, jerit pekik kematian anggota rampok terdengar susul menyusul. Enam orang tumpang tindih menemui ajal, satu lagi megap-megap meregang nyawa sambil pegangi perut yang robek.
Saat itulah Warok Sumo Gantra melompat ke dalam kalangan pertempuran sambil mencekal golok besar. Sekali senjatanya berkelebat, kuda tunggangan nenek berpakaian biru meringkik keras lalu tersungkur. Lehernya hampir putus dibabat golok sang warok. Adapun orang tua yang tadi berada di atas punggung binatang ini, begitu kudanya roboh, tubuhnya tampak mencelat. Melayang ke kiri dan tahu-tahu sudah duduk di atas punggung seekor kuda lainnya, memandang ke arah Warok Sumo gantra dengan mata berkilat-kilat.
“Wah... wah... wah! Jadi ini rupanya gembong biang kerok yang berani menghadang rombongan Istana!” Nenek berpakaian biru buka suara dengan nada mengejek. Lalu dia susul dengan ucapannya, “Warok Sumo Gantra! Nama jahatmu sudah lama kudengar. Tidak disangka hari ini kau berani muncul dan menghadang kami! Primbon mengatakan bahwa hari ini adalah hari kematianmu!”
Mekipun nyalinya kecut menghadapai nenek yang sudah tersohor kehebatannya itu, namun ucapan merendahkan tadi membakar kemarahan Warok Sumo Gantra. Untuk sesaat dia lupakan rasa takutnya.
“Ni Luh Tua Klungkung!” bentaknya. “Jika kau sudah tahu siapa aku kenapa tidak lekas minggat tinggalkan tempat ini?!”
Si nenek tertawa tinggi mendongak langit. Golok di tangan kanannya melesat. Bukan menyerang ke arah Warok Sumo Gantra, tetapi menghantam pada salah seorang anak buahnya yang langsung menjerit roboh ketika golok itu menancap di perutnya!
Tengkuk Warok Sumo gantra menjadi dingin. Betapa tidak. Si nenek melakukan hal itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dan sambil terus perdengarkan suara tertawa tinggi.
“Warok Sumo... Jika kau tidak sanggup melindungi nyawa anak buahmu, bagaimana mungkin kau dapat menyelamatkan nyawamu sendiri dari kematian…?” Si nenek kembali keluarkan ucapan mengejek.
Merah padam wajah Warok Sumo Gantra. Didahului oleh bentakan nyaring tubuhnya yang tinggi besar itu laksana terbang melayang ke arah Ni Luh Tua Klungkung. Golok di tangan kanannya berdesing di udara!
Senjata itu hanya lewat setengah jengkal dari batang leher si nenek baju biru. Begitu lewat si nenek kibaskan ujung lengan bajunya.
"Wutttt...!"
Serangkum angin keras menerpa. Warok Sumo Gantra meraskaan tubuhnya tersentak keras. Dia cepat membuang diri ke samping. Namun tak ayal goloknya telah terlepas mental oleh hantaman angin lengan baju tadi dan di saat yang sama dia merasakan tangan kanannya seperti diremas tangan raksasa hingga dia merintih kerenyitkan tampang.
“Warok Sumo, apakah kau masih belum yakin kalau hari ini hari kematianmu?!” berkata Ni Luh Tua Klungkung.
Warok Sumo menggembor marah. Kaena tangan kanannya masih terasa sakit maka dia pergunakan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga dalam. Tingkat tenaga dalam yang dimiliki kepala rampok hutan Merapi ini memang cukup ampuh. Ketika pukulan dilepaskan, pakaian si nenek tampak berkibar-kibar. Namun untuk membuatnya roboh terjungkal dari punggung kuda ternyata sang warok masih belum mampu.
Sebaliknya ketika si nenek balas menghantam dengan kebutan ujung lengan baju, tak ampun lagi Warok Sumo Gantra terbanting ke tanah dan rasakan dadanya sesak. Nafas seperti mau putus! Dia bangkit dengan susah payah tapi hanya untuk menerima hajaran tendangan kaki ke arah kepalanya, yang tak mungkin dielakkan!
Saat itulah satu bayangan hitam datang berkelebat dari samping. Warok Sumo Gantra terpental jauh, terguling-guling di tanah tapi selamat dari kematian. Sebaliknya si nenek berbaju biru terdengar berseru kaget. Tubuhnya seperti mumbul ke atas, jungkir balik di udara dan lain kejap sudah berpindah duduk ke atas punggung kuda lainnya. Dari atas punggung binatang ini dia memandang tak berkesip pada sosok tubuh pemuda yang mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar gunung dan matahari di dadanya.
“Orang muda! Lagakmu lancang amat! Berani mencampuri urusan orang! Siapa kau? Apa kambratnya rampok-rampok keparat ini?!” begitu si nenek membentak.
“Nenek butut! Lagakmu keren amat!” balas membentak Pangeran Matahari.
“Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Aku pimpinan tertinggi gerombolan rampok. Kawasan hutan Merapi adalah daerah kekuasaanku! Siapa berani lewat di sini berarti berani ambil tanggung jawab!”
Si nenek mendengus. “Caramu bicara dan pakaian yang kau kenakan membuatmu lebih pantas jadi pemain sandiwara. Tapi kulihat tadi kau punya sedikit ilmu! Aku belum tahu apakah ilmu itu bisa kau andalkan untuk menyelamatkan jiwamu! Orang-orang jahat sepertimu layak dikubur hidup-hidup tapi tak layak dikubur kalau sudah mati…!”
“Baru menjadi jongos istana lagakmu seperti tuan besar! Pangeran Matahari ingin melihat sampai di mana kehebatanmu monyet betina tua!”
Meskipun naik darah disebut monyet betina tua tapi si nenek tetap perdengarkan suara tertawa tinggi. Masih duduk di atas punggung kuda Ni Luh tua Klungkung rapatkan telapak dan jari-jari tangannya lalu diangkat ke kening seperti orang menghormat memberi salam. Ketika kedua tangan itu tiba-tiba dihantamkan ke bawah disertai bentakan garang, dua larik angin deras seperti membelah tanah.
Pangeran Matahari merasakan tubuhnya tergoncang. Satu kekuatan membetot dirinya ke kanan, satu lagi menariknya ke kiri. Ketika dia coba melompat keluar dari daya tarik dua kekuatan yang seperti hendak membelah tubuhnya itu si nenek tiba-tiba dorongkan tumitnya. Si pemuda merasakan ada hantaman dahsyat melabrak dadanya.
Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang. Namun dia cepat jatuhkan diri setengah berbaring. Tanan kiri bertekan ke tanah sedang tangan kanan menghantam ke depan.
“Makan pukulanku ini!” teriak Pangeran Matahari.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget ketika ada gelombang angin dahsyat memusnahkan dua pukulannya tadi dan sekaligus kini menghajarnya. Dia coba bertahan dengan silangkan lengan kiri di depan dada. Tapi kuda yang didudukinya tak sanggup berdiri. Binatang ini roboh terjengkang, memaksa si nenek melompat sambil memukul.
Pangeran Matahari tersenyum. Dia tahu kini kalau si nenek ternyata memiliki kekuatan tenaga dalam yang tidak mampu menghadapi tenaga dalam yang dimilikinya. Maka diapun lepaskan hantaman kedua. Kembali Ni Luh Tua Klungkung melengak dan terpaksa lagi-lagi selamatkan diri sambil melompat dan memukul. Begitu pukulannya lepas dia melompat dan kebutkan lengan pakaian birunya.
Angin aneh mengeluarkan suara seperti puting beliung menerpa menggidikkan ke arah Pangeran Matahari, membuat tubuhnya bergoncang keras, padahal dua angin pukulan itu masih sejauh tiga langkah. Ketika serangan lawan tinggal dua langkah lagi, Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dengan telapak terkembang ke arah si nenek. Lalu dia dorongkan kedua tangan itu. perlahan saja. Tapi apa yang tejadi kemudian sungguh luar biasa.
Suara mendesis keluar dari dua telapak tangan disertai sambaran angin hangat yang semakin lama semakin panas. Ketika kedua lengan sudah hampir membentuk garis lurus, hawa panas yang keluar dari telapak tangan semakin keras. Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya seperti terpanggang. Mulutnya komat kamit. Kedua kakinya terbenam ke dalam tanah. Lututnya menekuk dan perempuan tua ini akhirnya terjengkang. Dadanya mendenyut sakit. Sekujur tubuhnya seperti dikobari api. Namun dia tidak mau menyerah begitu saja.
Ilmu pukulan Telapak Merapi yang tadi dilepaskan lawan masih sanggup ditahannya. Dengan seluruh sisa tenaga luar dan kekuatan tenaga dalam yang ada perempuan tua ini pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tubuhnya melesat ke udara. Selagi melayang inilah dia membuat satu gerakan aneh. Tangan kiri mendekap dan menekan perut. Tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke arah Pangeran Matahari.
Kedua pipinya yang keriput menggembung. Ketika kemudian mulutnya meniup, menyemburlah asap tibpis kuning yang menebar bau kayu cendana, yaitu sejenis pohon kayu harum yang banyak tumbuh di Bali. Semburan asap ini menyembur dan melesat sepanjang tangan kanan yang diluruskan dan mengarah pada sasaran.
Pangeran Matahari mendadak merasakan kepalanya pening. Pemandangan berkunang dan perut mendadak mual. Sadar semburan asap kuning itu mengandung racun jahat melumpuhkan, sang pangeran cepat gulingkan diri menjauhi. Namun si nenek ikuti gerakan tubuh lawan dengan mengarahkan tangan kanannya, ke mana pemuda itu bergerak, ke situ pula tangannya diarahkan!
Sang pangeran tak bisa lari lagi! Tubuhnya yang baru saja mencoba bangun tampak limbung. Sadar bahaya besar tengah dihadapinya cepat-cepat dia berlutut dan tutup penciuman. Kedua matanya terpejam dan mulut melafatkan sesuatu. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas, lima jari membentuk tinju. Lengan disentakkan ke bawah lalu secepat kilat dihantamkan kembali ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari tangan membuka dan bentakan keras menggelegar dari tenggorokannya!
Tanah di tempat itu mendadak sontak bergetar. Terdengar suara aneh menggemuruh. Ketika tangan dihantamkan ke atas dan lima jari membuka menghempas, suara gemuruh berubah jadi suara ledakan dahsyat seperti gunung meletus. Belasan kuda meringkik. Beberapa sosok tubuh tampak mencelat lalu jatuh terguling-guling. Dua kuda penarik kereta tersungkur, berusaha lari tapi rubuh lagi. Kedua binatang ini akhirnya melosoh begitu di tanah jalanan. Sementara itu debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara!
Pangeran Matahari telah mengeluarkan ilmu pukulan sakti bernama Merapi Meletus yang didapatnya dari kakek sakti di puncak Merapi. Ni Luh Tua Klungkung merasakan isi dada dan perutnya seperti berhamburan keluar ketika terdengar suara gemuruh yang disusul letusan hebat tadi. Jalan darahnya seperti terhenti. Kepalanya seperti dipukuli palu godam. Sekujur tubuhnya mendadak sontak kehilangan daya hingga dia terkapar di tebing jalan dan darah mengalir di sela bibirnya.
Keadaannya antara sadar dan pingsan. Tubuhnya tak berkutik sedikitpun. Keadaannya yang seperti ini menyelamatkannya karena Pangeran Matahari menyangka perempuan tua itu sudah meregang nyawa.
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangan kanannya. Memandang berkeliling dilihatnya Warok Sumo tengah berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada roda kereta. Beberapa pangawal yang selamat segera jatuhkan diri bersila tanda menyerah sedang anggota rampok yang masih hidup tegak menjauh, tak ada yang berani mendekat. Di dalam kereta terdengar suara isak tangis perempuan.
Pangeran Matahari melangkah mendekati kereta lalu membuka pintu samping kendaraan itu. di dalam kereta tempat duduk berpelukan dua orang perempuan. Yang satu berusia sekitar empat puluhan, berparas rupawan dan mengenakan pakaian bagus lengkap dengan segala perhiasan. Perempuan satunya lagi adalah gadis remaja berkulit kuning dan memiliki wajah hampir sama dengan yang lebih tua tetapi tentu saja jauh lebih cantik. Jelas keduanya adalah ibu dan anak.
“Inikah gadis yang bernama Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati itu…?” membatin Pangeran Matahari. Detik pertama dia melihat ibu dan anak itu darahnya tersirap dan jantungnya berdebar keras. Ingatan dan kenangan kembali pada masa dua belas tahun yang silam. Meski waktu sekian lama berlalu, namun dia tak pernah melupakan raut wajah ibunya. Juga paras kakak perempuannya. Kedua perempuan itu ternyata adalah ibu dan kakaknya sendiri. Hampir terlompat ucapan 'ibu' dari mulutnya kalau saja tidak tiba-tiba mendenging suara di liang telinganya.
“Pangeran Matahari! Dengar kata-kataku! Ingat pada pesanku! Melanggar pesan berarti musnahnya segala ilmu yang kau miliki!”
“Guru! Apa maksudmu!” ujar Pangeran Matahari bicara sendiri.
“Bukankah sudah kupesan bahwa kau tidak boleh kembali ke masa lalumu? Kau tidak boleh kembali pada orang tua dan saudara-saudaramu! Siapa kau pada masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Siapa kau sekarang tak seorang pun boleh tahu…”
Sesaat Pangeran Matahari tertegun. Akhirnya dia berkata, “Pesanmu aku ingat. Tapi aku harus menolong kedua perempuan ini. Bagaimanapun dia adalah ibu dan kakakku…!”
“Aku tidak melarangmu menolong mereka. Tapi ingat, jangan sekali-kali mereka mengetahui siapa kau adanya. Sekali kau melangar pesan dan pantangan, kau akan celaka seumur-umur!” suara mengiang lalu lenyap dan kini berganti suara perempuan separuh baya dalam kereta yang duduk ketakutan sambil mendekap puterinya.
“Kami orang-orang istana. Jangan berani mengganggu. Jangan sakiti anakku. Aku istri Sri Baginda yang ketiga…”
“Aku tahu siapa kalian,” menyahuti Pangeran Matahari. “Aku tiak akan mengganggu. Kalian boleh pergi dengan aman. Hanya aku ada beberapa…”
Ucapan Pangeran Matahari itu tiba-tiba dipotong oleh suara Sumo Gantra yang saat itu berdiri di sampingnya, memandang dengan mata berkilat-kilat pada dua perempuan di dalam kereta.
“Pangeran, apa kau lupa maksud dan rencana kita semula? Merampas harta benda dan menculik kedua perempuan ini…?”
Pangeran Matahari palingkan kepalanya, memandang dengan mata mendelik pada Sumo Gantra, membuat kepala rampok hutan Merapi ini jadi bergeming tapi masih berani berkata, “Jika kau tidak inginkan mereka, serahkan padaku…”
“Warok Sumo Gantra! Kau telah salah menyusun rencana. Kau tidak tahu siapa kedua orang ini! kesalahan berarti kematian…!”
Warok Sumo Gantra melangkah mundur. “Apa maksudmu Pangeran? Tak ada rencana yang salah…”
“Orang yang sudah mau mati tak usah banyak bicara!” Pangeran Matahari membentak.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya menggebrak menghantam batok kepala Warok Sumo Gantra. Demikian dekatnya mereka berada dan demikian cepatnya gerakan sang pangeran ditambah ketidak terdugaan bahwa sang pangeran benar-benar hendak membunuhnya membuat Warok Sumo Gantra tak mampu berkelit selamatkan diri. Dia tergelimpang dekat roda kereta dengan kepala pecah! Ibu dan anak pucat pasi dan menggigil ketakutan menyaksikan.
Pangeran Matahari kembali berpaling pada kedua perempuan itu. “Sebelum kalian pergi aku ada beberapa pertanyaan. Apakah Tumenggung Gali Marto masih bertugas di Keraton?”
“Ya… ya... Tumenggung itu memang masih bertugas. Mengapa kau bertanya…?” Yang menjawab adalah Siti Hinggil ibu Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang juga adalah ibu kandung Pangeran Matahari sendiri.
Karena merasa tak perlu menjawab pertanyaan ibunya, Pangeran Matahari ajukan pertanyaan kedua. “Apakah Sri Baginda memperlakukan kalian dengan baik, termasuk putera-puteri kalian…?”
“Ya… kami memang diperlakukan dengan baik. Dari Sri Baginda saaat ini aku hanya punya satu orang putera. Putera tertua hilang sewaktu terjadi bencana gunung meletus dua belas tahun silam. Kalau dia masih hidup… kira-kira seusia mu dia sekarang…”
“Ayahanda memang baik, tapi para pangeran saudara-saudara kami dari permaisuri dan istri kedua bersikap sangat bermusuhan…”
“Mereka semua akan menerima pembalasan!” kata Pangeran Matahari. “Nah sekarang kalian boleh pergi bersama para pengawal yang masih hidup…”
Anak dan ibu itu tampak lega. Puji Lestari malah memberanikan diri bertanya. “Siapakah saudara sebenarnya? Bukankah... Bukankah kau yang jadi pemimpin rombongan rampok penghadang?”
“Namaku Pangeran Matahari. Aku tak ada angkut paut apa-apa dengan monyet-monyet hutan itu…”
“Kalau begitu kau seorang yang baik. Ambillah ini sebagai tanda terima kasihku…”
Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati lalu meloloskan cincin emas bergambar kepala burung Rajawali yang merupakan cap kerajaan dan menyerahkannya ada Pangeran Matahari.
“Aku tidak butuh cincin itu. Kalian berdua silahkan pergi!”
“Jangan berani menampik pemberian orang istana!” Puji Lestari nampak kecewa.
“Kalau kau bukan kakak kandungku tadi-tadi sudah kutampar kau!” kata Pangeran Matahari dalam hati.
Dengan tangan kirinya diambilnya cincin itu lalu dimasukkannya ke jari kelingking tangan kanannya. Sesaat setelah kereta beserta beberapa pengawal meninggalkan tempat itu Pangeran Mataharipun berlalu pula dari situ. Tujuannya adalah Kotaraja. Namun dia sengaja tidak mau mengambil jalan yang sama dengan rombongan ibunya.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan dadanya masih berdenyut sakit. Disekanya darah yang mulai mengering di sudut bibir lalu dia bangkit dan duduk di pinggir jalan. Memandang berkeliling dilihatnya lebih dari sepuluh mayat bergelimpangan termasuk mayat Sumo Gantra.
Apa yang terjadi dengan kepala rampok hutan Merapi itu? Siapa yang membunuhnya. Di mana kereta berisi istri dan puteri Sri Baginda? Di mana pula pemuda bernama Pangeran Matahari itu? Jangan-jangan dia telah melarikan kereta berikut dua penumpangnya. Sesaat si nenek agak meragu. Kalau dua perempuan itu diculik dan dilarikan, mengapa tak satupun perajurit-perajurit pengawal tertinggal di tempat itu.
“Sesuatu yang aneh telah terjadi…” membatin nenek berbaju biru ini. Tapi yang membuatnya merasa tidak tenang adalah memikirkan kesalamatan istri dan puteri Sri Baginda. Jika sampai terjadi apa-apa dengan kedua perempuan itu, hukuman berat akan diterimanya sebagai pertanggung jawab.
“Empat tahun mengabdi raja, mengapa hari ini nasibku celaka sekali!” si nenek mengomel. Rasa sakit hatinya bukan kepalang. Segala kepandaian berupa ilmu silat dan pukulan sakti yang dimilikinya ternyata tidak berdaya menghadapi seorang pemuda tidak terkenal bernama aneh si Pangeran Matahari itu! Saking kesalnya perempuan tua ini terisak-isak dan pukul-pukul kepalanya sendiri.
“Dari pada malu dan menerima hukuman berat, lebih baik aku bunuh diri saja! Mati lebih pantas dari pada menanggung malu!” Begitu Ni Luh Tua Klungkung menyesali diri. Lalu tangan kanannya yang terkepal dihantamkan ke batok kepalanya sendiri. Nenek nekad ini memang sudah rela untuk mati!
Sekejap lagi batok kepalanya akan hancur tiba-tiba dari belakang ada satu tangan yang memegang lengannya. Dia kerahkan tenaga dan coba berontak. Tapi pegangan itu bukannya lepas malah tambah kencang.
“Kurang ajar! Jangan campuri urusan orang!” si nenek berteriak marah lalu sikut kirinya dihantamkan ke belakang.
Terdengar suara bergedebuk tanda serangannya mengenai sasaran. Tapi orang yang memegang lengannya dari belakang sama sekali tidak keluarkan suara keluhan kesakitan ataupun terdorong dan juga cekalannya masih tetap kencang seperti tadi. Penuh maraha Ni Luh Tua Klungkung palingkan kepalanya.
Seorang pemuda berambut gondrong berikat kepala putih tersenyum padanya dan menegur. “Nenek, di usiamu selanjut ini mengapa masih memikirkan mati dengan cara bunuh diri. Satu dua tahun di muka tanpa dimintapun malaikat maut akan datang menjemputmu!”
Si nenek yang semula terkesiap melihat kegagahan paras pemuda itu, mendengar ucapan itu jadi marah. Dia kembali menyikut tapi luput.
“Lepaskan tanganku! Manusia kurang ajar!”
Si pemuda lepaskan pegangannya. Begitu tangannya bebas Ni Luh Tua Klungkung langsung menyerang. Si pemuda keluarkan siulan nyaring dan berseru. “Nenek, ilmu silatmu boleh juga! Tapi kau sedang terluka di dalam. Jika sampai keluarkan tenaga terlalu besar karena turutkan hawa amarah, kau bisa celaka sendiri!”
Sadar kalau ucapan orang itu memang benar, si nenek bersurut. Sesaat dia tegak dan memandang si pemuda dengan mata marah berkilat-kilat. Tiba-tiba didengarnya pemuda di hadapannya berkata,
“Nek, kulihat kulit mukamu keriput dimakan usia. Tapi mengapa sepasang matamu bagus sekali, masih gadis-gadis remajalah yang seperti itu…..!”
“Kau!” seru Ni Luh Tua Klungkung. Kedua kakinya kembali tersurut. Tubuhnya bergetar. Dia siap mendamprat. Tapi sambil tersenyum pemuda di hadapannya mengulurkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
“Kau terluka di dalam, nek. Cukup parah. Telanlah obat ini!”
“Mana aku tahu itu obat atau racun?!” bentak si nenek. “Ah, kau tidak percaya pertolongan orang!”
“Kenalpun tidak! Tahu-tahu muncul mau menolong! Bukan kustahil kau kawannya Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari! Nama hebat! Siapakah dia? Kekasihmu?!”
“Pemuda kurang ajar! Musuh kau katakan kekasihku!”
Pemuda itu tertawa sambil garuk-garuk kepala. Sekali lagi dia ulurkan tangannya yang memegang benda bulat hijau. “Makanlah agar lukamu sembuh!”
“Tidak!”
“Jika kau tidak percaya lihatlah aku akan kunyah benda ini!”
Lalu si pemuda buka mulutnya lebar-lebar dan tangannya didekatkan ke mulutnya. Mulut itu kemudian tampak komat kamit mengunyah sedang matanya terpejam-pejam. Lalu tenggorakannya tampak seperti menelan.
“Nah, kau lihat sendiri. Aku tidak mati…!”
Si pemuda tertawa gelak-gelak. Memang sikapnya memasukkan obat ke mulut, menguyah dan menelannya hanya pura-pura saja. Ketika dia menuruti membuka tangan kanannya yang tergenggam, benda bulat hijau itu masih ada di sana!
“Matamu tajam dan setua ini ternyata kau masih cerdik nek. Dengar, obat ini hanya tinggal satu-satunya yang kumiliki. Karena hendak menolongmu, mana mungkin aku benar-benar menelannya…!”
“Siapa kau sebenarnya! Terus terang pengalaman mengatakan agar kita berhati-hati terhadap seseorang tak dikenal yang tahu-tahu muncul menunjukkan sikap baik!”
Sepasang mata si nenek menyelidik tampang pemuda ini. Ketika dia memperhatikan pakaian yang tak terkancing, pada dada si pemuda yang terbuka dilihatnya guratan tiga buah angka berwarna biru kehitaman. Dia rasa-rasa pernah mendengar tentang tiga angka itu.
“Namaku Wiro Sableng. Tapi otakku tidak sableng!” si pemuda jelaskan siapa dirinya.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget. “Kau Pendekar 212!” serunya.
Wiro menjura. “Syukur kini kau tahu siapa aku. Kita orang-orang segolongan, kenapa bersikap curiga...”
“Aku… aku hanya…” Si nenek tampak salah tingkah.
“Ini ambillah…” Wiro Sableng ulurkan lagi.
Kali ini si nenek mau mengambil lalu dengan agak malu-malu menelan obat itu.
“Bagus… Bagaimana perasaanmu sekarang nek?”
“Debaran jantungku tidak keras lagi. Aliran darah mulai teratur dan sesak pada dada mulai berkurang. Obatmu ampuh. Aku mengucapkan terima kasih…” Si nenek kembali menunjukkan sikap salah tingkah. “Aku tidak melupakan budi pertolonganmu. Sekarang aku harus pergi…”
“Eh, tunggu dulu!” seru Wiro. “Kau belum menerangkan mengapa tadi kau hampir menempuh jalan sesat bunuh diri. Juga kau belum menerangkan siapa itu manusia bernama Pangeran Matahari. Dan mengapa ada banyak mayat malang melintang di jalan ini. Di antara mereka kulihat perajurit-perajurit kerajaan.”
Setelah meragu sejenak akhirnya Ni Luh Tua Klungkung menceritakan apa yang terjadi. Dalam keadaan pikiran kacau dan takut menerima hukuman berat dari raja sampai nekad hendak bunuh diri.
“Tentang siapa Pangeran Matahari akupun tak tahu banyak. Dia mengaku pimpinan rampok hutan Merapi. Tapi terus terang aku menyangsikan hal itu. Satu hal tak aku lupakan, dia memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Nah, aku sudah jawab semua pertanyaanmu. Aku tak ada waktu lama. Harus cepat-cepat menuju kotaraja guna menyelidik apakah istri Sri Baginda dan puterinya berada di sana atau bagaimana. Sekali lagi terima kasih atas obatmu yang mujarab itu…”
“Satu pertanyaan lagi!” Wiro Sableng cepat buka mulut ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat pergi.
“Apa lagi ini?!” Perempuan tua itu nampak jengkel.
“Dunia ini penuh dengan seribu satu macam keanehan. Terkadang keanehan itu tak pernah terjawab. Salah satu keanehan saat ini terjadi di hadapanku…”
“Apa maksudmu?!” Suara Ni Luh Tua Klungkung bergetar.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersenyum. “Apakah tidak aneh kalau seorang perempuan tua berwajah keriput yang berusia mungkin lebih dari tujuh puluh tahun memiliki sepasang mata yang bagus bercahaya dan sepasang tangan yang berkulit halus…”
Ni Luh Tua Klungkung melompat mundur. Kedua matanya memandang tak berkesip pada si pemuda dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa keluarkan suara apa-apa. Tahu kalau orang sudah tertangkap tangan dalam penyamarannya Wiro lambaikan tangan dan cepat berkata,
“Sudahlah, jangan pikirkan pertanyaan atau ucapanku tadi. Kalau kau melakukan penyamaran kau tentu punya alasan sendiri. Aku tak layak menanyakan alasanmu itu. Jika kau memang bermaksud ke kotaraja, apakah kita bisa jalan bersama…?”
Sebenarnya kalau saja penyamaran dirinya tidak diketahui Wiro, sang nenek tidak akan merasa keberatan untuk sama-sama berangkat ke Surokerto. Dia buru-buru berkata,
“Kalau begitu kita berpisah di sini. Siapa tahu ada umur panjang dan bertemu lagi…” Wiro lalu menjura dan tinggalkan tempat itu. Tinggal kini si nenek tertegak di tengah jalan seorang diri.
“Empat tahun menyamar tak seorangpun mengetahui siapa aku! Tapi pendekar itu sungguh tajam dan cerdik. Sekali bertemu langsung membongkar kedokku! Tolol! Tololnya aku…!” Dia tampar-tampar sendiri keningnya. “Kalau sudah begini, tak ada jalan lain! Aku harus membuat samaran baru!”
Lalu Ni Luh Tua Klungkung tanggalkan pakaian birunya. Di balik pakaian biru itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian ringkas berwarna kelabu. Tangannya digerakkan ke wajahnya. Sehelai kulit tipis yang bersambungan dengan rambutnya yng putih tersingkap. Kini kelihatanlah raut wajah dan rambutnya yang asli. Ternyata si nenek ini aslinya adalah seorang dara berparas jelita dan berambut hitam.
Dari balik balik pakaian kelabunya sang dara keluarkan sebuah topeng kulit tipis, lengkap dengan rambut pendek. Begitu di kenakan ke wajahnya maka berubahlah dia jadi seorang pemuda tampan yang mencerminkan watak keras. Dia pandangi kedua tangannya. Lalu geleng-gelengkan kepala.
“Aku harus melakukan sesuatu dengan tangan ini. kalau tidak penyamaranku pasti akan diketahui orang pula. Apalagi kalau bertemu lagi dengan si Sableng itu!”
Siang itu Tumenggung Gali Marto merasa tidak enak. Yakni sehabisnya seorang utusan istana datang menemuinya. Utusan ini membawa sepucuk surat dari R.A.Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga. Surat itu menjelaskan tentang pertemuan R.A. Siti Hinggil dengan seorang pemuda berkepandaian tinggi, mengaku bernama Pangeran Matahari.
Isi surat memberi peringatan pada sang tumenggung bahwa ada tanda-tanda dari sikap dan air mukanya bertanyakan Tumenggung Gali Marto si pemuda mempunyai satu maksud yang tidak baik. Dalam surat R.A. Siti Hinggil juga menjelaskan peristiwa penghadangan di luar kotaraja.
“Pangeran Matahari…” ujar Tumenggung Gali Marto lalu meletakkan surat di pangkuannya. “Tak pernah kukenal orang dengan nama aneh begitu. Jika dia menunjukkan sikap menolong terhadap R.A. Siti Hinggil dan puterinya bahkan menolong kedua perempuan itu dari Warok Sumo Gantra, mengapa pula dia mengandung maksud yang tidak baik terhadapku? Sulit diterka mengapa dia menanyakan diriku…”
Setelah berpikir lama dan tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya Tumenggung Gali Marto menarik kesimpulan, mungkin sekali pemuda itu menanyakan untuk mencari pekerjaan. Sebagai kepala pengawal atau sebagai perwira muda.
“Tapi…” kata batin sang tumenggung membantah sendiri. “Jika dia memang seorang pangeran, mengapa mempersusah diri dengan mencari pekerjaan…?”
Selesai makan siang itu, Tumenggung Gali Marto pergi duduk di kursi batu di dalam taman di bagian belakang gedung kediamannya. Sambil duduk dan menggelitik telinganya dengan bulu ayam, lelaki berusia hampir setengah abad itu mendengarkan permainan rebab yang digesek oleh seorang tua bermata buta, yang duduk di rumput tak berapa jauh darinya. Suatu saat Tumenggung Gali Marto hentikan mengorek kuping dan berpaling pada orang tua penggesek rebab.
“Akik Tua… Mengapa suara rebabmu tiba-tiba menjadi sumbang?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Yang ditanya tidak menjawab, melainkan beringsut di atas rumput mendekati tumenggung. Setelah dekat diapun berbisik, “Tumenggung, saya mendengar suara orang melangkah mundar-mandir di balik tembok halaman belakang ini…”
Tentu saja Tumenggung Gali Marto terkejut mendengar kata-kata orang tua itu. tapi dia percaya apa yang dikatakan. Sebagai orang cacat buta kedua matanya, Tuhan mengaruniai satu keluar biasaan pada Akik yakni pendengaran yang sangat tajam. Bahkan seorang pesilat tingkat tinggi yang memiliki kesaktianpun kalah hebat pendengarannya dengan si buta ahli penggesek rebab ini. Tumenggung Gali ingat pada surat R.A.Siti Hinggil.
“Apakah orang itu hanya sendiri? Dan apakah dia masih mundar-mandir sepanjang tembok…?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Akik Tua mendongak, memasang telinga sesaat menjawab. “Dia memang sendirian, Tumenggung. Dan masih mundar-madir di sekitar tembok. Seperti menunggu sesuatu…”
Tumenggung Gali Marto campakkan bulu ayam di tangan kanannya lalu berdiri dari kursi batu.
“Hendak ke mana Tumenggung…?”
“Kau tetap di sini Akik. Aku akan menyuruh para pengawal menyelidik. Siapa orang mencurigakan di luar tembok sana…”
Baru saja Tumenggung Gali Marto berkata begitu sesosok tubuh tampak melayang melompati tembok belakang gedung kediaman yang tingginya sekitar tiga tombak. Orang yang barusan melompat ini sebelum menjejakkan kedua kaki di rumput taman membuka mulut menimpali ucapan sang tumenggung tadi.
“Tak perlu susah-susah mencari pengawal. Orang yang kau curigai saat ini telah berada di hadapanmu!”
Tumenggung Gali Marto kaget bukan main. Dia cepat membalik. Empat langkah di hadapannya, tegak di atas undak-undak batu, tampak seorang pemuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada baju yang dikenakannya ada gambar puncak gunung berwarna biru dengan latar belakang matahari merah darah serta sinarnya berupa garis-garis warna kuning. Pemuda tak dikenal bertampang keras angkuh ini tegak bertolak pinggang. Keningnya yang tinggi lebar diikat dengan sehelai kain berwarna merah.
“Kau manusianya yang bernama Gali Marto, berpangkat Tumenggung…?” si pemuda kembali membuka mulut.
Seumur hidupnya tidak pernah Tumenggung Gali Maarto ditegur sekasar itu. behkan Raja sekalipun kalau bicara bersikap sopan dan mempergunakan bahasa yang halus. Kini seorang pemuda tak dikenal bicara begitu kurang ajar terhadapnya. Dengan sendirinya darah naik ke kepala sang tumenggung. Kedua rahangnya menonjol saking geram.
Akik Tua si penggesek rebab yang sudah mencium bakal terjadi hal yang tidak enak bangkit berdiri, terbungkuk-bungkuk berkata pada Tumenggung Gali Marto, “Sebaiknya saya pergi memanggil pengawal…”
“Orang buta!” membentak pemuda berpakaian hitam. “Satu langkah lagi kau berani bergerak, putus nyawamu!”
Baru diancam begitu Akik Tua benar-benar seperti merasa sudah putus nyawanya. “Aku tidak berdosa, tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa ada orang yang ingin membunuhku…?”
“Buta! Ternyata kau terlalu banyak mulut! Aku tidak suka pada manusia banyak omong! Kau berangkat duluan…!”
Pemuda berpakaian hitam pukulkan tangan kirinya. Perlahan saja. Kejap itu terdengar pekik penggesek rebab buta itu. tubuhnya mencelat, terbanting di pilar beranda gedung, jatuh ke tangga dan tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur dari mulutnya.
“Durjana tak berperi kemanusiaan!” teriak Tumenggung Gali Marto marah besar. Dia menyerbu ke depan. Tapi ketika si pemuda itu mengangkat tangan kanannya, serta merta Tumenggung ini merasakan seperti menabrak tembok. Dia tak dapat bergerak mendekati si pemuda.
“Apakah kau berperi-kemanusiaan ketika kau meninggalkan anak lelaki di sekitar Sleman ketika Merapi meletus dua belas tahun lalu?!”
Paras Tumenggung Gali Marto berubah pucat. “Apakah… Jadi, jadi… kau Pangeran Anom yang hilang!” seru sang Tumenggung.
Si pemuda menyeringai “Namaku Pangeran Matahari! Bukan Pangeran Anom…”
“Ah, tidak! Wajahmu jelas mirip Pangeran Anom, putera Sri Baginda yang hilang dalam peristiwa meletusnya gunung Merapi… Betul! Aku ingat sekarang!”
Tumenggung Gali Marto tiba-tiba jatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Pangeran Matahari.
“Pangeran Anom bukannya hilang! Pada saat suasana kacau itu kau bukan melindungi atau menyelamatkannya. Malah meninggalkannya, mencari selamat sendiri! Tentunya pada Sri Baginda kau mengarang cerita bahwa anak itu lenyap waktu berburu, waktu terjadi letusan Merapi. Benar begitu?”
“Saya... saya tidak ingat lagi. Tapi saya yakin kau adalah Pangeran Anom. Saya minta diampuni kalau Pangeran Anom menganggap peristiwa itu sebagai satu kesalahan atau kesengajaan. Saya…”
“Jangan panggil aku Pangeran Anom!” bentak si pemuda. “Namaku Pangeran Matahari!”
“Siapapun kau adanya, saya mohon diampuni…” kata Tumenggung Gali Marto yang tetap yakin pemuda di depannya itu adalah Pangeran Anom yang dua belas tahun lalu terpisah dari rombongan ketika berburu di kaki Merapi.
“Tumenggung Gali Marto! Tahukah kau bahwa dosa kesalahanmu dua belas tahun silam tak bisa diampuni? Dan hanya bisa kau tebus dengan nyawa pengecutmu?!”
“Demi Tuhan saya…”
Kaki kanan Pangeran Matahari bergerak. Tumenggung Gali Marto membuang diri ke samping. Dia selamat dari tendangan maut itu. Namun ketika ada suara mendesis dan Pangeran Matahari dorongkan tangan kirinya perlahan sekali, segulung angin panas menghantam sang tumenggung. Tak ampun lagi orang ini terguling-guling di rumput taman. Tubuhnya tampak hangus. Rumput taman juga kelihatan mengering seperti terpanggang!
Dengan tenang Pangeran Matahari melangkah mendekati mayat Tumenggung Gali Marto. Dari pakaian hitamnya dia mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini dijatuhkannya dan tepat menutupi wajah hitam hangus Tumenggung Gali Marto.
Seorang punggawa masuk dengan napas terengah-engah dan hampir roboh ketika hendak menjura di hadapan Patih Haryo Unggul. Dia membuka mulut akan mengatakan sesuatu namun nafasnya dan dadanya yang sesak membuat tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Akibatnya dia hanya bisa mengulurkan tangan menyerahkan selembar kertas yang nyaris lusuh serta basah oleh keringatnya. Penuh heran Patih Haryo Unggul mengambil kertas itu. Di situ ternyata terdapat sederetan tulisan berbunyi.
Bagi semua manusia tak berbudi. Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri Pangeran Matahari datang membawa mati!
Sebagai seorang Patih Kerajaan, Haryo Unggul memiliki sifat tegas dan teliti tanpa melupakan perasaan sabar dan sikap lembut terhadap siapa saja. Walau dia tidak segera mengerti apa makna tulisan yang tertera di atas kertas itu namun dia menunggu dengan sabar sampai punggawa yang barusan datang menghadap menjadi tenang dari keletihan dan sesak nafasnya.
Dia maklum punggawa ini datang bukan menunggang kuda, tetapi dengan berlari. Lalu dari ciri-ciri pakaiannya sang Patih mengetahui kalau punggawa ini bertugas di tempat kediaman salah seorang Tumenggung Kerajaan. Setelah merasa cukup memberi waktu maka Patih Haryo Unggulpun menyapa.
“Sekarang terangkan apa yang terjadi. Mengapa kau datang berlari ke mari. Lalu dari mana kau mendapatkan kertas bertulis ini...”
Sang punggawa bersimpuh hormat sekali lagi lalu menajwab, “Saya bertugas di gedung kediaman Tumenggung Gali Marto...” selanjutnya punggawa ini lalu menuturkan apa yang terjadi. “Kertas itu ditemukan di atas jenazah Tumenggung. Sengaja ditinggalkan oleh pembunuh...”
“Kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Patih Haryo Unggul kaget.
Si punggawa gelengkan kepala.
“Peristiwa berdarah luar biasa!” ujar Patih Haryo Unggul. Hatinya terguncang tapi sikapnya tetap tenang.
“Istri Tumenggung Gali Marto minta agar Patih menyampaikan berita dukacita ini ke Istana...”
“Aku tidak akan memberitahu Raja sebelum menyelidik dan tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi. Kematian adalah kematian. Tapi jelas ada sesuatu di balik kematian Tumenggung Gali Marto...” Patih Haryo Unggul membaca kembali tulisan di atas kertas lusuh itu. “Pangeran Matahari. Diakah pembunuhnya? Ancamannya bukan gertakan kosong belaka. Dia telah membuktikan. Tumenggung Gali Marto mati di tangannya.”
Patih Haryo Unggul berpaling pada punggawa dan berkata “Kau boleh pergi. Aku dan pembantu-pembantuku segera berangkat ke tempat kediaman almarhum Tumenggung Gali Marto.”
Baru saja punggawa itu meninggalkan halaman gedung Kepatihan, tiba-tiba masuk seorang perajurit menunggang kuda, langsung menghadap Patih Haryo Unggul.
“Berita buruk untukmu Patih. Berita buruk untuk kita semua. Pangeran Jati Mulyo ditemukan tewas terbunuh siang ini dalam taman istana sebelah timur. Patih diminta datang menghadap Sri Baginda.”
Ketika perajurit itu hendak minta diri, Patih Haryo Unggul segera berkata, “Tunggu, Jangan pergi dulu. Apakah sudah diketahui siapa pembunuh Pangeran Jati Mulyo?"
“Tidak seorangpun tahu. Hanya saja ada keanehan...”
“Keanehan bagaimana?” tanya Patih pula.
“Sepucuk surat ditemukan di atas tubuh Pangeran Jati Mulyo,” menerangkan perajurit itu.
“Hemmmm... Apakah surat itu, seperti ini isinya...?”
Ketika melihat kertas yang diangsurkan Patih Haryo Unggul, si perajurit terbelalak. “Betul Patih... ukuran kertas dan bunyi tulisannya sama dengan ini...”
“Pergilah. Aku akan segera menghadap Raja. Harap sampaikan juga pada Raja bahwa siang ini Tumenggung Gali Marto pun ditemui tewas terbunuh...”
Debu jalanan menggebubu ke udara. Bukan saja menutup pemandangan tapi menyumbat jalan pernafasan. Dua orang perajurit tampak terguling di tengah jalan sambil merintih kesakitan. Satu memegangi kepalanya yang benjol, lainnya mengurut-urut tulang kering kaki kirinya yang remuk.
Di tengah debu dan erang kesakitan itu, dua orang perwira muda tampak bertempur melawan seorang pemuda ramping berpakaian kelabu yang memiliki sepasang tangan aneh karena berwarna coklat seperti dilumuri parem. Jelas dua orang perwira kerajaan itu memiliki kepandaian tinggi. Serangan yang mereka lancarkan bertubi-tubi dan sangat berbahaya.
Namun si pemuda tampak menghadapi dua lawan itu dengan tenang. Dia tak banyak membuat gerakan tapi perubahan tangan dan pergeseran kaki menyebabkan dua lawan kehilangan sasaran dan sekaligus mendapat serangan balasan tak terduga.
“Orang muda! Jika kau tidak mau menyerahkan diri dan siap digeledah, jangan salahkan kalau kami terpaksa pergunakan senjata!” salah seorang perwira muda berteriak. Sejak tadi dia sudah menduga kalau pemuda itu bukan orang sembarangan. Dari pada menempur terus-terusan tanpa hasil, maka kalau senjata yang bicara mungkin lawan dapat ditaklukan.
“Perwira sombong! Bertindak seenaknya! Aku tidak membuat kesalahan apapun! Mengapa harus menyerahkan diri dan harus digeledah?!”
“Kami menjalankan perintah!” menjawab perwira satunya. “Kerajaan dalam bahaya! Pangeran Jati Mulyo dan Tumenggung Gali Marto terbunuh...”
“Lalu apa sangkut pautku dengan kematian mereka?!” tukas si pemuda.
“Setiap orang asing harus diperiksa!”
“Aku bukan orang asing! Aku tinggal di selatan Kotaraja!”
“Dusta! Gerak-gerikmu mencurigakan! Jika tidak bersalah kenapa takut diperiksa dan digeledah?!”
“Jangan samakan aku dengan pencuri atau maling!”
“Kalau begitu mungkin kami harus melukaimu baru menurut!” perwira di sebelah kiri memberi isyarat.
Serentak dia dan temannya lalu mencabut golok berkeluk di pinggang masing-masing. Dengan senjata ini keduanya siap menyerbu kembali. Namun sebelum sempat bergerak, pemuda berbaju abu-abu seudah lebih dahulu melompat di antara keduanya. Tangan kiri kanan bergerak. Dari mulutnya terdengar suara bentakan,
“Lepas!”
Dua buah golok berkeluk mental ke udara. Dua orang perwira kerajaan itu menjerit kesakitan. Keduanya serentak mundur ketika didapati telapak tangan masing-masing telah bengkak lebam merah kebiruan!
Serombongan orang berkuda muncul di tempat itu. Lalu terdengar suara menegur. “Apa yang terjadi di sini?”
Dua orang perwira muda yang tegak kesakitan itu berpaling. Keduanya cepat-cepat menjura ketika mengetahui siapa yang datang.
“Patih Haryo Unggul, kami tengah menjalankan tugas. Pemuda asing ini menolak diperiksa dan digeledah. Malah nyata-nyata berani melawan dan mencelakai kami!” menerangkan satu dari dua perwira itu.
Patih Haryo Unggul menatap sejurus pada pemuda berpakaian kelabu. ”Tidak dapat tidak kau adalah seorang dari dunia persilatan, anak muda. Berarti ada jiwa satria dalam tubuhmu. Tetapi mengapa menolak untuk diperiksa?"
“Karena saya tidak merasa bersalah apa-apa Patih,” jawab pemuda itu.
“Tapi sikapnya mencurigakan!” tukas perwira muda di samping kiri.
“Siapa namamu anak muda?” tanya patih Haryo Unggul.
Yang ditanya tak menjawab, malah balikkan diri hendak melangkah pergi. Namun kepala seekor kuda yang menyorong ke arahnya membuatnya terkejut. Dia melangkah mundur dan dapatkan diri berhadap-hadapan dengan seorang bertubuh tinggi kekar, berpakaian bagus gemerlap, duduk di atas seekor kuda hitam berkilat. Orang yang barusan datang ini bersama beberapa pengiringnya membuka mulut.
“Jika kau tidak mau memberitahukan nama, kau bukan saja hanya dicurigai, tapi layak ditangkap!” lalu orang berpakaian gemerlapan ini menggerakkan kudanya mendekati Patih Haryo Unggul.
“Paman Patih, salam untukmu. Apakah kau mendengar tentang seorang bernama Pangeran Matahari...?”
“Panglima Kotaraja, salam berbalas untukmu. Memang aku ada mendengar tentang nama itu. Tapi hanya sedikit sekali. Aku dalam perjalanan ke Istana menemui Raja...”
“Kita bisa sama-sama menghadap. Namun pemuda satu ini perlu diurus lebih dulu. Bukan mustahil dialah Pangeran Matahari. Hanya seorang berkepandaian sangat tinggi bisa merobohkan Tumenggung Gali Marto dan melewati penjagaan ketat untuk membunuh Pangeran Jati Mulyo...”
Patih Haryo Unggul usap-usap dagunya. Lalu menganggukkan kepala seraya berkata. “Baiklah Panglima. Selesaikan urusan kalian dengan pemuda itu. Tapi ingat. Waktu kita sempit sekali...”
“Tak usah kawatir Paman Patih. Aku hanya perlu sekejapan mata saja untuk meringkus pemuda bermuka pucat ini!” kata penunggang kuda hitam yang ternyata adalah Raden Kertopati, Panglima Kotaraja.
Sang panglima yang percaya akan kemampuannya, tanpa turun dari kudanya ulurkan tangan kanan menotok ke arah punggung pemuda berpakaian kelabu. Gerakannya sungguh cepat. Begitu bahu bergerak, dua ujung jari telah sampai di depan punggung. Tapi dia kecele kalau menduga dapat melumpuhkan pemuda itu dalam sekali totok atau sekejapan mata.
Orang yang hendak ditotok justru melangkah maju setindak hingga totokan hanya mengenai tempat kosong. Tanpa membalikkan diri pemuda itu ulurkan kedua tangannya dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Raden Kertopati. Sebelum sempat berbuat sesuatu sang panglima rasakan tangan dan juga tubuhnya tersentak keras hingga terangkat dari punggung kuda hitam dan mental ke udara!
Belasan mulut keluarkan seruan tertahan karena kaget. Patih Haryo Unggul sendiri beliakkan mata. Bagaimanakah tidak! Sebagai Panglima yang bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, Raden Kertopati diketahui semua orang memiliki kepandaian silat yang tinggi di samping tenaga dalam dan kesaktian.
Kini tokoh yang disegani itu seperti barang mainan, dilemparkan begitu saja oleh seorang pemuda ramping tidak dikenal. Bukan saja si pemuda memiliki nyali besar namun semua orang yang ada di tengah jalan itu, termasuk Patih Haryo Unggul memastikan bahwa si pemuda berpakaian kelabu bukan pula orang sembarangan.
Raden Kertopati sendiri hampir tak percaya ketika dapatkan dirinya terbetot keras dan melayang di udara. Dengan membuat gerakan junkir balik Panglima Kotaraja ini berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki menginjak tanah lebih dahulu dan hampir tanpa suara!
Sepasang bola mata sang panglima tampak mendelik membara. Wajahnya mengelam membesi dan pelipisnya bergerak-gerak. Inilah satu pertanda bahwa Raden Kertopati dilanda gelegak amarah ditambah malu besar!
“Aku yakin kau memang sebenarnya Pangeran Matahari yang menimbulkan kekacauan dengan membunuh Tumenggung Gali Marto serta Pangeran Jati Mulyo!” suara Raden Kertopati keras dan bergetar.
“Keyakinanmu tidak beralasan Panglima...”
“Jika kau dapat membuktikan bahwa kau memang bukan Pangeran Matahari, kami akan melepaskanmu. Kau boleh pergi dengan aman...” yang bicara adalah Patih Haryo Unggul. “Mulailah dengan menerangkan siapa namamu. Lalu dari mana kau datang. Dan apa keperluanmu berada di Kotaraja...”
“Saya tidak dapat memenuhi permintaanmu Patih Kerajaan. Sekarang biarkan saya pergi...” Menjawab si pemuda.
“Kalau kau tidak dapat menerangkan diri dan asal-usul serta keperluanmu berada di Kotaraja, lalu tak dapat pula membuktikan bahwa kau memang tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Tumenggung Gali Marto maka kau akan kami tangkap!”
Mendengar ucapan Patih Haryo Unggul itu si pemuda tampak menjadi gusar. Maka diapun menjawab. “Jika kalian orang-orang Kerajaan hendak menjatuhkan tangan sewenang-wenang, ketahuilah kalian tak akan mendapat apa-apa. Kecuali benjat-benjut atau patah tulang!”
“Pemuda sombong bermulut besar! Berani menantang berani menghina! Patih Haryo Unggul, biarkan aku memisahkan tubuh dan kepalanya dengan kedua tanganku!” berkata Raden Kertopati penuh beringas. Amarah dan rasa malunya tadi masih belum lenyap, kini si pemuda malah berani menganggap enteng dan menghina.
Patih Haryo Unggul hendak mengatakan sesuatu namun belum sempat Raden Kertopati sudah melompat dengan dua tangan terpentang ke arah leher pemuda berpakaian kelabu.
“Patah lehermu!” teriak Raden Kertopati. Justru pada saat itulah terdengar seseorang berseru.
“Aku dapat membuktikan pamuda itu bukan Pangeran Matahari! Bukan pembunuh Tumenggung Gali Marto ataupun Pangeran Jati Mulyo!”
Bersamaan dengan seruan itu, satu hantaman angin menderu keras. Panglima Kotaraja merasakan tubuhnya seperti disapu topan. Sesaat dia coba bertahan. Tubuhnya seperti tergantung di udara namun di lain kejap dia terlempar ke belakang sampai empat langkah. Dadanya bergetar sakit dan wajahnya yang garang tampak pucat!
Hemm... ada lagi satu pemuda sinting bernyali besar yang muncul di tempat ini!” menggeram Raden Kertopati seraya pelotokan mata ke arah seorang pemuda berpakaian putih dengan rambut gondrong menjela bahu.
Kalau para perwira muda dan belasan pengiring sang panglima serta pengiring sang patih kini menjadi semakin tertarik menyaksikan apa-apa yang terjadi di tempat itu, sebaliknya diam-diam Patih Haryo Unggul mengeluh dalam hati. Dia ingin lekas-lekas menuju ke Istana, kini mengapa persoalan di tengah jalan ini semakin berpanjang-panjang. Siapa pula si gondrong bertampang cengengesan ini, pikirnya.
“Aku bukan orang sinting. Tapi memang punya nyali untuk melawan tindak-tanduk orang-orang yang kurasa tidak pada tempatnya. Pemuda itu adalah sahabatku! Sejak malam sampai siang tadi aku selalu bersama-samanya. Kami hanya berpisah sebentar saja. Nah bagaimana kalian menuduh dia sebagai pembunuh Tumenggung Gali Marto dan Pangeran Jati Mulyo?”
“Orang muda, kau pandai bicara! Bukan mustahil apa yang kau katakan itu adalah karanganmu belaka!” yang bicara adalah patih haryo Unggul. “Terangkan siapa kau adanya. Juga katakan siapa orang yang kau katakan temanmu ini!”
“Jika yang punya diri tidak mau mengatakan siapa dia, mana mungkin aku berlancang mulut beri keterangan!”
Panglima Kotaraja maju selangkah. “Patih! Dari pada kita bicara tarik urat dengan dua orang gila ini, lebih baik keduanya kita ringkus saja!”
“Tunggu dulu!” seru pemuda gondrong berpakaian putih seraya mendekati pemuda berpakaian kelabu.
“Selagi kalian merepotkan diri dengan kami orang-orang tak bersalah, orang yang kalin cari bebas gentayangan di Kotaraja! Katakan kalian berhasil meringkus kami orang-orang buruk tanpa dosa ini. Tapi bagaimana kalau kesempatan itu digunakan oleh si penyebar maut untuk menimbulkan bencana baru? Membunuh pejabat atau salah seorang putera raja lainnya?”
Mendengar kata-kata itu Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati jadi saling pandang. “Ah! Pemuda pandai bicara ini sengaja hendak menyesatkan kita dengan kata-katanya!” ujar Raden Kertopati.
Patih Haryo Unggul tampak mulai kesal. Dia diam saja seolah-olah menyetujui ketika Raden Kertopati memberi isyarat pada belasan pengiringnya, lalu mendahului menyerbu dua pemuda.
Pemuda berpakaian putih menepuk bahu pemuda berpakaian kelabu seraya berkata, “Sahabat, lebih baik kita pergi saja dari sini. Tak ada guna melayani orang-orang panjang kekuasaan tapi pendek akal!”
Baru saja si gondrong bicara begitu tiba-tiba 'bukk'. Satu jotosan menghantam dadanya. Seorang perajurit terpekik dan terjengkang. Dialah tadi yang memukul. Melihat hal ini Raden Kertopati segera berteriak. “Semua ikut menyerbu! Tangkap dua pemuda itu hidup atau mati!”
Sementara itu Patih Haryo Unggul duduk mengusap dagu penuh masgul di atas punggung kudanya. Dan sang patih bertambah kusut hati dan pikirannya ketika melihat Panglima Kotaraja yang terkenal garang dan tinggi kepandaiannya itu, bahkan dibantu oleh belasan perajurit dan tiga perwira muda ternyata tidak mampu menghadapi gebrakan-gebrakan dua pemuda yang berkelahi saling bertempelan punggung. Ketika belasan senjata mulai dari golok sampai pedang ikut bertabur di udara Patih haryo Unggul tak dapat menahan diri lagi.
“Aku harus melakukan sesuatu. Salah atau benar tindakanku ini biarlah nanti diurus.” Lalu sang patih angkat kedua tangannya ke depan, telapak tangan terkembang. “Panglima dan yang lain-lain, kalian menyingkirlah sebentar!” bersamaan dengan itu Patih Haryo Unggul dorongkan kedua tangannya, perlahan sekali. Tak ada suara angin berkesiuran, tak ada debu atau pasir jalan beterbangan.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Raden Kertopati dan belasan orang yang mengeroyok dua pemuda tampak tergontai-gontai lalu oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan mereka terseret ke samping hingga kini dua pemuda itu berada di tengah kalangan pertempuran, terpisah jauh dari para penyerangnya.
Keluar biasaan itu tidak hanya sampai di situ. Ketika secara perlahan-lahan pula Patih Haryo Unggul menarik kedua tangannya ke belakang, pemuda baju putih dan baju kelabu tersentak kaget ketika dapatkan tubuh masing-masing laksana tersedot. Sadar kalau sang patih berusaha melumpuhkan mereka dengan kesaktiannya, dua pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam.
Pemuda baju kelabu tampak seperti sanggup bertahan dari sedotan yang kuat luar biasa itu. Namun hanya sesaat. Di lain kejap tubuhnya mulai bergetar. Kedua lututnya bergoyang. Sementara itu pemuda gondrong berpakaian putih tampak cucurkan keringat pada wajah dan keningnya ketika pergunakan kemampuan untuk menghadapi kekuatan lawan. Melihat pemuda baju kelabu mulai punah pertahanannya diapun membisiki.
“Kita sama-sama maju ke depan dua langkah. Ikuti arah sedotan. Pada langkah ketiga kita sama-sama menghantam ke arah kuda orang itu. Kerahkan seluruh tenaga dalam. Kau mengerti sahabat?”
Pemuda baju kelabu menjawab dengan anggukan. Begitu si baju putih mulai melangkah, diapun mengikuti. Satu langkah, dua langkah. Pada langkah ketiga kedua pemuda tu sama-sama hantamkan tangan kanan ke arah kuda tunggangan Patih Haryo Unggul.
"Bummm...!"
Tanah di tempat itu laksana digoncang gempa bumi. Langit di sebelah atas seperti hendak runtuh. Tanah dan pasir berhamburan. Daun-daun pepohonan berguguran. Seruan kaget ditingkah ringkik kuda menambah tegangnya suasana. Ketika tanah dan pasir serta debu yang beterbangan jatuh mereda dan keadaan terang kembali, di tanah jalanan tampak dua buah lobang besar. Dan bukan itu saja. Di sebelah kiri pemuda baju kelabu kelihatan terduduk di tanah sambil pegangi dada. Di sampingnya pemuda berpakaian serba putih kelihatan berlutut lalu berdiri dengan tubuh agak sempoyongan. Di bagian lain, seekor kuda tergelimpang dengan tubuh hancur dan darah bergenang di sekitarnya. Inilah kuda tunggangan patih Kerajaan. Dan sang patih sendiri tampak terguling di tengah jalan. Pakaian kebesarannya kotor, lengan kanannya tampak lecet terluka sedang wajahnya pucat seperti kain kafan.
“Mereka lenyap!” terdengar seruan Raden Kertopati.
Semua orang kaget, termasuk Patih Haryo Unggul yang mencoba bangkit sambil tertatih-tatih. Dua pemuda yang sebelumnya berada di tempat itu ternyata memang tak ada lagi di situ!
Patih Haryo Unggul tepuk-tepuk pakaiannya yang kotor oleh debu dan tanah jalanan. Dia geleng-gelengkan kepala, memandang pada Panglima Kotaraja dan berkata “Aku yakin tidak satupun di antara dua pemuda itu adalah Pangeran Matahari! Jika keduanya inginkan jiwaku, mereka dapat membunuhku tadi!
Sayang mereka tak mau memperkenalkan nama. Tapi pukulan yang dilepaskan pemuda berpakaian kelabu itu rasa-rasa pernah kulihat sebelumnya.” Sang patih usap-usap dagunya. “Apa mungkin itu punya hubungan dengan Ni Luh Tua Klungkung...?
Hanya dia yang punya ilmu pukulan seperti itu. Tapi si nenek itu sampai sekarang masih belum ditemukan jenazahnya... Panglima sebaiknya kita segera berangkat ke istana...”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Sesaat dia memandang pada dua lobang besar yang ada di tanah, gelengkan kepala lalu naik ke atas kuda yang dibawakan seorang perajurit. Rombongan itu bergerak cepar menuju istana. Di sebuah tikungan yang menurun, kelihatan seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menyongsong arah rombongan. Ternyata seorang perajurit kepala yang bertugas di istana. Wajahnya pucat, nafasnya mengengah.
“Celaka Patih, celaka Panglima...”
“Apa yang celaka?!” tanya Raden Kertopati tak sabaran.
“Seorang pemuda tak dikenal mengamuk di istana. Dua orang putera Sri Baginda Raja tewas di tangannya. Dia berusaha menerobos ruangan Kancana Wungu yang memisahkan kamar tidur Sri Baginda. Penyerbu tunggal ini semula hendak menerobos untuk membunuh Sri Baginda. Puluhan perajurit dikerahkan untuk melindungi Raja. Mereka dipimpin oleh perwira-perwira tinggi. Namun si penyerbu tunggal kelihatannya tak mungkin dibendung. Sementara Raja berhasil diselamatkan lewat pintu rahasia, belasan perajurit menemui ajal...”
“Celaka Patih...” ujar Panglima Kotaraja.
“Ketika saya meninggalkan istana mendadak muncul dua pemuda. Saya tidak tahu siapa mereka. Tapi tampaknya keduanya mengambil kedudukan di belakang pasukan kita, menanti serangan penyerbu tunggal...”
Sesaat Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati saling pandang. Ketika keduanya menggebrak kuda masing-masing maka rombongan itupun segera menghambur menuju istana.
Ketika Patih Haryo Unggul serta Panglima Kotaraja bersama rombongan sampai di istana ternyata ratusan perajurit telah mengurung istana di sebelah luar. Di sebelah dalam puluhan lainnya bertempur melawan seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan gambar gunung serta matahari di bagian dada. Pangeran Matahari!
Di lantai berkaparan belasan mayat. Rata-rata mati dalam keadaan mengerikan di salah satu pojok tampak terbujur mayat salah seorang putera Sri Baginda yang dilaporkan terbunuh itu. Lalu pada dinding sebelah dalam yang tadinya bersih kini tampak sederetan tulisan yang kelihatannya ditulis dengan darah!
Bagi semua manusia tak berbudi. Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri. Pangeran Matahari datang membawa mati!
“Patih, lihat gambar matahari di pakaian pemuda berikat kepala merah itu?” berbisik Raden Kertopati. “Aku yakin inilah bangsatnya yang mengaku bernama Pangeran Matahari!”
“Akupun sudah menduga begitu,” jawab Patih Haryo Unggul. “Ada satu yang mengherankanku,” berkata Patih ini lebih lanjut. “Wajah manusia satu ini kenapa mirip-mirip wajah putera-putera Sri Baginda lainnya?”
“Astaga!” Panglima Kotaraja terkejut. “Kau benar Patih...”
“Aku tengah mencari-cari dua pemuda tak dikenal yang dikatakan juga muncul di tempat ini. Apakah kau sudah melihatnya Panglima?”
Pertanyaan Patih Haryo Unggul itu membuat Panglima Kotaraja memandang berkeliling mencari-cari. Sang panglima akhirnya melihat dua pemuda yang sebelumnya bentrokan dengan mereka di tengah jalan. Pemuda baju kelabu dan pemuda berpakaian putih itu berada di barisan belakang puluhan perajurit yang bertahan di pintu masuk kamar tidur Sri Baginda, tegak enak-enakan seolah-olah asyik menonton pembantaian yang dilakukan oleh pemuda berpakaian hitam!
“Patih, jangan-jangan manusia yang mengamuk ini adalah Pangeran...”
Belum selesai ucapan Raden Kertopati itu tiba-tiba dari arah depan ruangan besar masuk seorang bertubuh tinggi kekar tapi melangkah dengan dipapah dua orang perwira muda.
“Siapa yang begini kurang ajar membuat keonaran dan pembunuhan dalam istana Surokerto?!” orang yang barusan datang membentak. Suaranya menggelegar. Tapi untuk bicara itu tampaknya dia harus mengeluarkan tenaga besar. Karena sehabis bicaa nafasnya kelihatan sesak.
“Panglima Besar Kerajaan!” berseru Raden Kertopati. “Kau sedang sakit berat. Mengapa berada di tempat ini!”
Orang tinggi besar itu ternyata adalah Panglima Balatentara Kerajaan Raden Mas Jayengrono menjawab tanpa alihkan pandangan matanya dari otang berpakaian hitam yang masih terus mengamuk di tengah ruangan.
“Mengetahui ada pengacau yang membuat keonaran dan melakukan pembunuhan keji di Kotaraja dan istana Sri Baginda, mana aku bisa enak-enakan berada di atas tempat tidur!”
“Urusan ini biar kami yang menyelesaikan Panglima Besar. Kau harap suka kembali ke tempat kediamanmu!” yang berkata adalah Patih Haryo Unggul.
Tapi Jayengrono mana mau mendengar. Masih dalam keadaan dipapah oleh dua orang perajurit di kiri kanan, dia melangkah ke tengah ajang pertempuran lalu membentak garang, “Semua perajurit Kerajaan mundur!”
Serentak semua penyerbu melompat mundur hingga kini pemuda berikat kepala kain merah berbaju hitam dengan gambar matahari dan gunung di dadanya tinggal sendirian.
“Kau dajalnya yang bernama Pangeran Matahari?!”
Bentakan Panglima Balatentara Kerajaan itu tidak membuat pemuda di tengah ruangan menjadi kecut. Malah dengan congkak dia keluarkan suara tawa bergelak. “Aku bukan dajal!” sahutnya. “Tapi Malaikat Maut yang akan mengambil nyawa manusia-manusia tak berbudi di luar dan di dalam istana! Aku adalah Pangeran Matahari!”
“Hemm... Ukuran apakah yang kau jadikan dasar menentukan seseorang tidak berbudi dan pantas dibunuh seenak perutmu?!” bertanya Jayengrono.
Sementara itu Patih Haryo Unggul dan Kertopati melangkah ke depan dan tegak mendampingi Panglima Balatentara Kerajaan itu.
“Mudah saja, kalau kau memang ingin tahu! Manusia tak berbudi adalah mereka yang menyia-nyiakan kehidupan manusia lainnya bahkan darah daging mereka sendiri. Termasuk manusia-manusia yang hidup penuh rasa iri, berhati bengkok dan ingin mencelakai orang lain, senang jika orang lain mengalami bencana. Termasuk juga manusia-manusia pengkhianat!”
“Kalau memang begitu ukuranmu, jelas kau sendiri termasuk manusia yang harus disingkirkan dari muka bumi. Bukankah kau mencelakai orang lain? Menimbulkan bencana pembunuhan? Dan senang melakukan semua keganasan keji itu?!”
Paras Pangeran Matahari tampak membesi dan merah. Namun dengan segala kecongkakan dia kembali umbar suara tawa bergelak.
“Sebelum mati puaskan dulu tawamu manusia biadab!” berkata Jaengrono.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan suara membentak dahsyat. Kedua tangannya kiri kanan diangkat dan jari telunjuk menusuk lurus ke depan. Terdengar jeritan. Dua perajurit yang memapah Panglima Balatentara Kerajaan mencelat dan roboh di depan kaki para perajurit yang tegak berjejer sepanjang dinding ruangan besar itu. Dada masing-masing kelihatan hangus. Bau sangit daging yang terbakar menebar dalam ruangan itu mebuat suasana yang kini mendadak sesunyi di pekuburan bertambah sangat menegangkan!
Karena kini tak ada lagi yang memapah maka kalau tidak segera ditolong oleh Kertopati dan Patih Haryo Unggul, niscaya Panglima Balatentara Kerajaan itu jatuh terbanting ke lantai.
“Biarkan aku duduk di lantai istana! Manusia durjana ini harus mati di tanganku sekalipun nyawaku ikut melayang!” kata Jayengrono. Gerahamnya bergemeletakan tanda amarahnya sudah mencapai puncak.
“Panglima,” bisik Patih Haryo Unggul. “Biarkan kami yang menyelesaikan urusan ini!”
“Kalian menjauhlah!” bentak Jayengrono beringas. Meskipun sangat mengawatirkan keselamatan Panglima Balatentara itu namun tak ada yang bisa dilakukan sang patih maupun Kertopati. Keduanya dengan terpaksa melangkah menjauh.
“Panglima Kerajaan!” terdengar Pangeran Matahari membuka mulut. “Jadi kau memilih mati dengan cara duduk begitu rupa?! Diberi kesempatan mati terhormat di atas tempat tidur, malah memilih mati seperti gembel!”
Wajah Raden Jayengrono yang pucat sesaat tampak menjadi merah oleh ucapan yang sangat menghina dari Pangeran Matahari. “Mulutmu besar! Sikapmu congkak! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu! Sebelum meregang nyawa apakah kau tak ingin memberitahu siapa kau sebenarnya?!” begitu Panglima Balatentara Kerajaan menjawab ucapan orang.
Pangeran Matahari menyeringai penuh sinis. “Namaku kalian sudah tahu tapi masih ingin bertanya. Sungguh manusia tolol! Tapi aku tak keberatan memberitahu sekali lagi. Namaku Pangeran Matahari. Aku datang dari puncak Merapi! Turun dari puncak gunung untuk membasmi manusia-manusia tolol dan tak berbudi macam semua yang ada di sini...!”
“Cukup!” sentak Jayengrono yang duduk bersila di lantai sambil tangkapkan kedua lengan di depan dada. “Sekarang silahkan perlihatkan kehebatanmu. Aku akan melayanimu dengan duduk di lantai. Manusia bejat sepertimu hanya cukup dilayani cara begini!”
Pangeran Matahari menyeringai. Sepasang matanya membersitkan maut. Didahului bentakan menggeledek dia melompat ke depan. Pada jarak tiga langkah dari hadapan Jayengrono dia menghantam dengan tangan kanan. Tapi seolah-olah dilabrak oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan, sebelum hantamannya sampai, tubuh Pangeran Matahari tampak terpental, hampir tersungkur di lantai kalau dia tidak cepat imbangi diri.
Diam-diam Pangeran Matahari merasa kaget bukan main. Ternyata nama Raden Mas Jayengrono bukan satu nama kosong belaka. Penuh rasa penasaran dan hawa amarah yang mulai menggelegak Pangeran Matahari angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas. Jari membentuk tinju. Lengan ditarik perlahan untuk kemudian dihantamkan ke depan dengan deras sementara jari-jari yang membentuk tinju serentak dilepaskan. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut 'Merapi Meletus'.
Ledakan dahsyat disertai guncangan keras dan hanaman angin panas melanda tubuh Jayengrono yang duduk bersila di lantai. Jelas tampak tubuh Panglima Balatentara itu bergoyang-goyang, tapi hanya sesaat. Di sekitarnya belasan orang berpelantingan. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan erang kesakitan terdengar di mana-mana sementara salah satu bagian atap ruangan besar itu tampak ambrol hangus!
Setelah menguasai keadaan dirinya yang terguncang pukulan lawan tadi tiba-tiba Jayengrono memukul dengan tangan kiri. Terdengar seperti suara ratusan seruling ditiup berbarengan. Lalu angin topan prahara menggempur ke arah Pangeran Matahari. Semula pemuda ini menganggap remeh serangan lawan. Tapi ketika tubuhnya mulai dijalari hawa panas dan terseret, maka diapun berteriak keras dan melompat ke udara. Dari atas dia hantamkan tangan kanan ke bawah ke arah Jayengrono.
Semua orang yang ada di situ tersentak tegang dan berusaha menyingkir ketika tiga sinar mengerikan berkiblat disertai hawa seperti memanggang seluruh isi ruangan. Inilah pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar kuning, hitam dan merah!
Maklum lawan menyerangnya dengan pukulan dahsyat yang bisa membawa maut maka Jayengrono angkat kedua tangannya ke depan dan mendorong sambil kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Terjadilah hal yang sangat hebat. Tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu seperti dibungkus dan dipanggang oleh tiga sinar panas.
Meskipun beberapa lamanya tiga sinar itu seperti tidak sanggup menghantam langsung sosok tubuh Jayengrono, namun daya pertahanan orang ini sedikit demi sedikit manjadi goyah. Tubuhnya mulai mengeluarkan asap. Bibirnya bergetar lalu dari sela bibir tampak ada busah ludah, disusul cairan darah merah!
“Panglima!” seru Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati hampir bersamaan. Kalau sang patih memburu ke arah Jayengrono maka Raden Kertopati melompat ke arah Pangeran Matahari dan menghantam batok kepala pemuda itu dengan jotosan tangan kanan.
Patih Haryo Unggul merasakan tubuhnya menggeletar panas ketika memegang tubuh Jayengrono yang saat itu mulai seperti tidak sadarkan diri. Patih ini kerahkan tenaga dalamnya, tapi tenaga dalam itu teeasa seperti tersedot dan akibatnya tubuhnyapun jadi limbung.
Akan Raden Kertopati nasibnya lebih buruk lagi. Serangan yang dilancarkan penuh amarah yakni berupa hantaman tangan kanan ke batok kepala Pangeran Matahari, membuat dia melupakan pertahanan sendiri. Dadanya yang terbuka menjadi sasaran empuk lawan. Meskipun Pangeran Matahari hanya mendorongkan tangan kirinya sedikit saja, namun karena disertai mantera yang memberikan tenaga dahsyat luar biasa maka tak ampun lagi Panglima Kotaraja itu terpental jauh, begitu terhampar di lantai langsung semburkan darah segar.
Masih untung lelaki itu memiliki daya tahan yang cukup tergembleng hingga tidak menemui ajalnya ataupun pingsan. Dalam keadaan megap-megap dia berusaha duduk bersila untuk mengatur jalan darah dan nafas sertak kerahkan tenaga dalam ke bagian yang terluka di sebelah dalam.
Melihat tiga lawan kuat berada dalam keadaan tak berdaya maka Pangeran Matahari kembali lepaskan pukulan Gerahana Matahari. Kini tak ampun lagi tiga tokoh Kerajaan itu pastilah akan menemui ajalnya!
Namun jika Tuhan belum menghendaki, tak seorangpun akan menemui kematian! Di saat yang sangat kritis itu dari sudut ruangan tiba-tiba berkiblat sinar putih menyilaukan seperti seduhan perak. Dari sudut lain menggebubu angin laksana punting beliung.
"Bummm! Bummm...!"
Suara dua kali ledakan disusul dengan robohnya sebagian atap ruangan membuat semua orang menjadi geger. Sosok tubuh Jayengrono tampak bergetar hebat namun selubungan pukulan Gerhana Matahari yang tadi seperti membungkus tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu kini tak kelihatan lagi.
Patih haryo Unggul yang tadi berada di bawah pengaruh hawa panas pukulan sakti Pangeran Matahari terbanting ke lantai, dan dia selamat dari luka dalam yang parah. Sementara itu Panglima Kotaraja dalam keadaan cidera merangkak menjauhi kalangan pertempuran. Seorang bawahannya cepat membantu dan memapahnya ke satu sudut yang aman.
Di tengah kalangan pertempuran Pangeran Matahari nampak duduk bersila. Dadanya turun naik cepat sekali. Dia kerahkan tenaga dalam untuk mengatur jalan nafas dan darah. Meskipun tidak mendapat cidera apa-apa namun adanya dua pukulan sakti yang tadi menyusup dan menghantam pukulan Gerahana Matahari yang dilepaskannya telah membuat tubuhnya terguncang keras, jalan darahnya menjadi kacau, pemandangannya berkunang, kepala pening dan dadanya sesak.
Memandang ke depan dilihatnya dua orang pemuda tak dikenal tegak di tengah ruangan. Yang satu bersikap waspada memasang kuda-kuda, berpakaian kelabu dan bertubuh ramping. Satunya lagi tegak dengan wajah menyeringai sambil menggaruk kepalanya beberapa kali. Sebelum Pangeran Matahari sempat membentak, pemuda berambut gondrong talah membuka mulut, ditujukan pada Patih haryo Unggul.
“Patih Kerajaan, agar salah sangka dan curiga di antara kita dapat dijernihkan, aku mohon izinmu untuk menyingkirkan pembunuh biadab bertopeng iblis yang hebat budi itu!”
“Ah, dua pemuda itu...” desis Patih Haryo Unggul.
Panglima Balatentara Kerajaan buka matanya lebar-lebar dan berbisik pada Haryo Unggul. “Kau kenal dua pemuda asing itu Patih? Siapa mereka?”
“Waktu kita sangat sempit. Nanti saja aku ceritakan. Sebelumnya aku sempat menjajagi ketinggian ilmu keduanya. Dalam keadaan kita semua cidera begini rupa, jika kau setuju aku akan mengabulkan permintaan mereka. Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tak kenal mereka. Tapi aku percaya padamu!”
Mandapat persetujuan itu maka Patih Haryo Unggul mengangkat tangannya, memberi isyarat tanda persetujuan, sementara Raden Kertopati terduduk di sudut ruangan dengan harap-harap cemas.
Mengetahui Patih Kerajaan dan yang lain-lain mengabulkan permintaannya maka dua pemuda di tengah ruangan berpaling menghadapi Pangeran Matahari. Sesaat tiga pemuda itu saling pandang tanpa berkesip. Pangeran Matahari membentak lebih dahulu.
Dua ekor monyet kesasar. Katakan siapa kalian sebelum kukirim ke neraka menghadap raja monyet!”
“Walah!,” menyahuti pemuda gondrong sambil tertawa lebar, membuat semua yang menyaksikan menjadi heran, apakah si gondrong ini masih belum mengerti dengan siapa sebenarnya di berhadapan?! “Raja monyet di neraka justru mengutus kami untuk menjemputmu! Jika kau membunuh kami berdua, siapa yang menjadi penunjuk jalanmu menuju neraka?!”
Dalam keadaan lain ucapan pemuda itu mungkin dianggap lucu dan menimbulkan gelak tawa. Tapi dalam suasana tegang seperti itu, tak satupun yang tertawa atau tersenyum. Semua semakin tegang. Pangeran Matahari sendiri tampaknya merasa seperti ditempelak hingga tampangnya yang congkak kelihatan mengelam dan rahangnya menggembung.
Tapi sesuai dengan segala akal, segala kecerdikan dan segala kelicikan yang ditanamkan gurunya dalam dirinya, dia sudah mencium bahwa menghadapi dua pemuda tak dikenal ini sekaligus sangat berbahaya baginya. Ini telah dibuktikan bagaimana dua pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup meredam bahkan memusnahkan pukulan Gerahana Mataharinya. Dalam hati dia mulai menduga-duga siapa adanya dua pemuda ini.
“Rupanya aku salah sangka. Kukira kalian dua ekor monyet kesasar, ternyata dua ekor babi peliharaan Kerajaan yang hendak mencoba jadi pahlawan!”
“Sahabatku,” berkata pemuda berpakai putih kepada kawannya si baju kelabu. “Menurutku manusia satu ini keberatan nama. Seharusnya dia tidak usah memakai sebutan Pangeran kalau isi perutnya hanya sampah busuk belaka. Tapi kalau kudengar kata-katanya sejak tadi, dia pantas menjadi seorang pemain sendiwara picisan atau penyair butut. Bagaimana pendapatmu?!”
Si baju kelabu tertawa gelak-gelak, membuat Pangeran Matahari seperti panas terbakar. “Pangeran keranjang sampah!” begitu si kelabu membentak. “Kau telah memulai segala kekjian dan kebiadaban! Hari ini kami akan mengubur semua itu bersama bangkaimu!”
“Tentu saja kalau bangkainya masih utuh, sahabatku!” menimpali si gondrong. “Kalau nanti ternyata telah seperti daging cincangan pergedel, jangan salahkan aku yag tak bisa menguburnya!”
“Bangsat bermulut besar!” bentak Pangeran Matahari marah sekali. “Kau gondrong majulah lebih dulu!” Selagi membentak itu Pangean Matahari sudah melompat lebih dahulu seperti tidak memberi kesempatan pada lawan. Tubuhnya tahu-tahu sudah berada dua langkah dari hadapan lawan dan tangan kanan menjotos laksana kilat ke pelipis si baju putih.
“Pecah kepalamu!” teriak Pangeran Matahari.
“Hancur tanganmu!” balas si baju putih. Lalu tangan kanannya menabas ke atas, menyongsong lengan lawan. Bentrokan dua lengan tidak terhidarkan lagi.
"Bukkkk...!"
Si gondrong berpakaian putih terhenyak di lantai. Lengan kanannya tampak bengkak membiru. Dadanya mendenyut sakit dan telinganya berdenging panas. Baju putihnya yang tidak terkacing tersibak lebar. Dada dan perutnya tersingkap. Pada dada kelihatan guratan tiga buah angka 212. Sedang di pinggangnya tampak tersisip sebilah senjata aneh berbentuk kapak bermata dua!
Pangeran Matahari yang saat itu tegak tersandar ke dinding sambil mengatur aliran darahnya yang seperti tak menentu akibat bentrokan tadi terkejut beliakkan mata ketika melihat tiga buah angka dan senjata yang tersisip di pinggang pemuda lawannya.
“Tak bisa tidak pemuda ini adalah yang diceritakan guru padaku. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kalau tidak kusingkirkan keparat ini sekarang-sekarang, pasti bisa merepotkan!” menyadari hal ini Pangeran Matahari lalu alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Tapi betapa terkejutnya pemuda ini ketika dapatkan ada sesuatu yang tak beres dengan tangan kanannya. Ternyata akibat bentrokan lengan dengan Pandekar 212 Wiro Sableng tadi pembuluh darahnya ada yang terjepit hingga jalan darah ke lengan dan tangan menjadi tidak lancar.
“Keparat celaka!” memaki Pangeran Matahari dalam hati. “Sehebat inikah pemuda gondrong ini? Tak salah kalau guru menasihatkan agar aku berhati-hati terhadapnya. Tak ada jalan lain, kelicikan harus kupergunakan!” Maka Pangeran Matahari alihkan aliran tenaga dalamnya ke tangan kiri. Diam-diam dia menyiapkan pukulan Gerahan Matahari. Kalau tadi dikeroyok dua dia memang tidak mampu, sekarang satu lawan satu masakan pemuda itu tak dapat dirobohkan.
“Saudara!” Pangeran Matahari menegur dengan sikap lembut disertai gerakan menjura dan maju dua langkah. “Melihat tiga buah angka di dadamu dan Kapak Maut Naga Geni 212 tersisip di pinggangmu, ternyata kita adalah sahabat segolongan. Gurumu Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede masih saudara dekat guruku. Maafkan kalau hari ini aku telah bertindak yang tidak menyenangkanmu!”
Tentu saja Pandekar 212 Wiro Sableng kaget bukan main mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu. Kalau memang guru pemuda itu tidak punya hubungan dengan dengan gurunya sendiri, bagaimana mungkin dia tahu tentang dirinya dan Eyang Sinto Gendeng. Sesaat Wiro Sableng hanya tegak tertegun.
Pangeran Matahari datang lebih dekat. Sekali lagi dia menjura seraya berkata. “Harap maafkan keteledoranku. Segala dosa akan kutanggung di hadapan guru. Aku harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku ingin sekali menemuimu...”
Habis berkata begitu sekali lagi Pangeran Matahari menjura. Kali ini lebih dalam. Tetapi tiba-tiba dengan sangat cepat tangan kirinya menghantam. Sinar merah, kuning dan hitam untuk kesekian kalinya berkiblat dalam ruangan besar itu disertai suara menggelegar. Orang banyak menyingkir sambil berteriak kaget dan ketakutan.
“Pembokong pengecut!” teriak pemuda berbaju kelabu. Dari samping dia lepaskan pukulan sakti beracun yang mengeluarkan asap kuning berbau harum. Pukulan ini lebih hebat dan ganas daripada kalau dilancarkan dengan jalan meniupkan mulut.
Namun segala kehebatan yang dimiliki pukulan sakti itu tiada gunanya karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari yakni pukulan Gerhana Matahari telah lewat lebih dahulu, menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng di seberang sana!
“Edan!” teriak Wiro Sableng. Dia telah menyaksikan kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Mendapat serangan begitu tak terduga Pendekar dari Gunung Gede ini tak bisa berbuat lain daripada jatuhkan diri hampir sama rata ke lantai, lalu balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga dalam dan sekaligus dua tangan!
Seperti diketahui pukulan sakti Gerhana Matahari bersumber pada hawa panas. Begitu juga pukulan Sinar Matahari. Akibat panas bertemu panas maka terjadilah satu dentuman yang menggelegar disertai cipratan lidah-lidah api yang menyambar ke pelbagai penjuru!
Kobaran api yang disertai asap tebal menutup pemandangan memenuhi tempat itu. orang banyak berpekikan dan selamatkan diri masing-masing, termasuk Raden Kertopati, Raden Mas jayengrono dan Patih haryo Unggul.
Pemuda berpakaian kelabu merasakan ada orang menarik tangannya dalam kegelapan asap tebal yang menutup pemandangan.
“Sahabat, mari kita pergi dari sini!” Mengenali itu adalah suara Pendekar 212 Wiro Sableng, maka pemuda itu mengikut saja. Keduanya berlari ke arah timur. Di sebuah bukit di pinggiran Kotaraja mereka berhenti. Dari tempat itu dapat disaksikan bagaimana api masih terus berkobar dan melalap istana.
“Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajak aku meninggalkan istana! Urusan kita dengan Pangeran Matahari masih belum selesai...” Berkata pemuda baju kelabu.
“Memang belum selesai,” sahut Wiro. “Tapi kalau manusia itu sudah kabur, buat apa berlama-lama berada di istana yang tengah dimakan api itu?”
“Siapa manusia jahat itu sebenarnya?”
“Sukar diduga kalau tidak diselidiki. Tapi satu hal sudah pasti. Dunia persilatan kini dilanda malapetaka baru. Dan Pangeran Matahari jadi biang racunnya!”
Pemuda ramping berpakaian kelabu termangu sesaat. Lalu dia bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau aku adalah juga nenek keriput yang tempo hari kau temui menangis hendak bunuh diri?”
Wiro Sableng tertawa lebar. “Penyamaranmu kali ini cukup bagus, sahabat. Hanya saja kau masih melupakan sesuatu. Aku curiga ketika melihat sepasang tanganmu yang sengaja dilumuri lumpur sampai mengering. Jelas kau menyembunyikan sesuatu. Kalau dulu sewaktu jadi nenek perot itu kau memakai nama Ni Luh Tua Klungkung, siapa nama palsu mu sebagai seorang pemuda bertampang banci saat ini?!”
Pemuda berpakaian kelabu yang sebenarnya adalah seorang gadis itu dan menyembunyikan wajah aslinya di balik sehelai topeng tipis hanya bisa tertawa kecut.
“Apakah kau tidak akan kembali mengabdi pada Sri baginda?” bertanya Wiro.
Yang ditanya menggeleng. “Aku telah membuat kelalaian dan kesalahan besar. Bagaimana mungkin kembali mengabdi. Aku memutuskan untuk mengembara ke timur. Kau sendiri mau ke mana sekarang?”
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Biarlah aku seiring seperjalanan menuju timur. Sampai satu hari kau merasa bosan dan menyuruhku minggat!”
Kedua pemuda itu menuruni bukit, lari ke arah timur. Di atas mereka matahari bersinar terik. Mau tak mau mengingatkan kedua orang ini kembali pada Pangeran Matahari. Bencana apa lagi yang hendak ditebarnya kelak?
SATU
HARI mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil melecuti punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan lebih cepat. Saat itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap suara bergemuruh seolah-olah ada yang menggelegar tertahan dalam perut bumi. Tanah yang dipijaknya terasa bergoyang seperti dilanda lindu. Enam ekor sapi melenguh tiada henti lalu lari hingar bingar seperti dikejar setan.
“Eh, ada apa ini? Akan kiamatkah bumi ini?” penggembala tua terheran-heran tapi juga cemas.
Baru saja dia bertanya begitu mendadak langit di timur laut memancar cahaya merah. Suara gemuruh makin keras dan goncangan tanah tambah kencang. Memandang ke jurusan timur orang tua itu kembali melihat nyala terang menyambar laksana hendak menembus langit gelap di atasnya. Lalu ada benda-benda bulat mencelat ke udara seperti bola-bola api.
“Gunung meletus! Gusti Allah! Merapi meletus!” penggembala tua berseru tegang dan takut ketika menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kajauhan. Tongkat kayu yang dipegangnya dicampakkannya ke tanah. Enam ekor sapinya yang telah kabur entah ke mana tidak diperdulikannya lagi. Dia lari sekacang-kencangnya menuju kampung. Yang terbayang saat itu adalah anak istri dan cucu-cucunya. Dia harus segera sampai di kampung, menyelamatkan orang-orang itu dan memberi tahu pada penduduk lain bencana yang bakal melanda.
Langit di sebelah timur semakin terang mengerikan. Semburan-semburan batu kini disertai tanah dan pasir. Suara menggemuruh semakin menggila. Bumi tambah keras bergoncang. Dari bibir gunung yang meletus menyembur keluar cairan lumpur panas berwarna merah. Cairan ini kemudian meluncur ke bawah laksana sungai darah. Satu malam suntuk bumi Tuhan laksana kiamat.
Menjelang dini hari suara menggemuruh mulai berhenti. Tak ada letupan atau semburan batu, tanah dan pasir. Lelehan lumpur panaspun tak mengalir lagi. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian kini. Kesunyian yang terselubung malapetaka mengenaskan. Malam itu sembilan buah desa musnah dilanda lumpur dan batu panas. Ratusan jiwa manusia menemui ajal.
Belum terhitung jumlah ternak yang menemui kematian, ribuan hektar sawah dan ladang yang rusak, tak dapat dipanen hasilnya, tak mungkin pula ditanami lagi dalam waktu dekat. Begitulah keadaannya pada setiap bencana alam. Manusia bukan saja kehilangan harta bendanya, tapi juga hilang nyawa sendiri atau sanak keluarganya.
Ketika sang surya akhirnya muncul pada pagi hari keesokannya, di pinggiran desa Sleman yang saat iu keadaannya hampir sama rata dengan tanah akibat landaan letusan merapi, tampak seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Dia muncul entah dari mana tahu-tahu saja sudah tegak di depan reruntuhan sebuah surau kecil, berkacak pinggang dan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang besar tapi sangat cekung.
Wajahnya sangat pucat seperti tidak berdarah. Keseluruhan tampangnya menunjukkan pandangan angker, dingin dan menyembunyikan sesuatu berbau kelicikan bahkan maut! Apalagi rambutnya putih menjela bahu. Pantas kalau dirinya disebut setan muka pucat!
Orang tua ini tampak geleng-gelengkan kepala sambil memandang berkeliling. Matanya yang besar cekung seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dari mulutnya yang perot pencong terdengar suara seperti mengomel.
“Ladalah! Tak seorangpun lagi yang hidup! Tak satu nyawapun yang tinggal! Semua musnah! Semua sudah pada jadi bangkai! Ah, mimpiku tadi malam tak seluruhnya benar! Buktinya di mana anak itu? Di mana bocah yang kulihat dalam mimpi? Percuma jauh-jauh aku datang ke mari!”
Kembali orang tua bungkuk berwajah pucat dingin itu memandang berkeliling. Setelah menunggu sesaat dan merasa pasti anak yang dicarinya tak ada di sekitar situ maka diapun masuk lebih jauh ke dalam desa, berjalan di atas lumpur. Dan inilah satu keluar biasaan!
Meskipun sudah sekian lama berlalu sejak lumpur panas menyembur keluar dari gunung Merapi, namun pagi itu lumpur tersebut masih berada dalam keadaan panas seperti membara. Jangankan kaki manusia, kayu atau besipun akan hangus bila tersentuh. Tapi orang tua berpakaian rombeng tadi melangkah seenaknya di atas lumpur tersebut seolah-olah berjalan di atas padang rumput yang sejuk tertutup embun!
Tepat di pertengahan desa di mana terdapat sebuah pohon beringin besar miring hampir tumbang dan merupakan satu-satunya pohon yang masih berdiri di desa Sleman itu, orang tua tadi hentikan langkah. Memandang ke atas pohon miring yang setengahnya tampak hangus itu kedua bola matanya yang besar tambah mendelik.
“Ladalah! Itu bocah dalam mimpiku! Di sini dia rupanya!”
Orang tua bermulut pencong berseru. Ada rasa jengkel tapi juga ada rasa gembira pada nada suaranya. Lalu dia tersenyum. Namun dia tetap tegak di tempatnya, tak melakukan apa-apa selain terus memandangi anak di atas pohon yang terlilit di antara akar-akar beringin, bergoyang-goyang tergantung di udara.
Sebaliknya anak di atas pohon begitu melihat orang tua bungkuk pakaian rombeng itu segera berteriak. “Pengemis tua! Jangan bengong saja! Lekas kau tolong turunkan aku dari tempat celaka ini!”
Orang tua yang ditegur menyeringai. Dalam hatinya dia membatin. “Bocah itu! Persis seperti dalam mimpiku. Sombong dan congkak! Memerintah seenaknya tanpa peduli berhadapan dengan siapa! Sialan! Aku dianggapnya pengemis! Tapi begitu agaknya suratan takdir. Macam bocah yang begini yang berjodoh denganku!”
“Pengemis bungkuk! Apakah kau tuli hingga tak mendengar orang berteriak minta tolong?!” anak di atas pohon kembali berteriak.
“Kampret cilik! Sabarlah. Aku memang akan menolongmu! Tapi aku mau tanya dulu. Jika kau kutolong imbalan apa yang akan kau berikan padaku?”
“Pengemis tua, tahukah bahwa kau telah berbuat dua kesalahan?’ si anak membentak dengan mata melotot.
Yang dibentak mengekeh. “Budak, katakan apa dua kesalahanku”
“Pertama kau tidak segera menolongku! Kedua kau memanggilku dengan sebutan kampret cilik!”
“Begitu? Nah kalau kau menganggap aku bersalah, apakah kau hendak menghukumku?!” Orang tua tadi bertanya dengan sikap mengejek.
“Rupanya kau belum tahu siapa aku ini, pengemis tua!”
“Hai! Siapa kau sebenarnya bocah centil?”
“Aku adalah Pangeran Anom dari Surokerto!”
Orang tua itu agak terkejut. “Anak congkak ini jangan-jangan berdusta,” katanya dalam hati, tapi dia jadi meragu. Maka diapun menanyakan siapa ayah anak itu. ketika si anak menyebutkan ayahnya, kembali si orang tua bungkuk terkejut. Namun dia masih ajukan pertanyaan. “Jika kau memang Pangeran Anom, mengapa jauh-jauh kesasar di tempat ini?!”
“Malam tadi aku ikut rombongan orang berburu. Ketika Merapi meletus mereka lari cerai berai. Aku tertinggal di belakang. Waktu batu dan lumpur panas mulai menyembur untung aku dapat menyelamatkan diri bergayut di akar pohon beringin ini! Mereka akan menerima hukuman!”
“Mereka siapa?”
“Orang-orang yang meninggalkan aku itu! Jika mereka masih hidup, ayah pasti akan menghukum mereka. Aku akan suruh tebas salah satu dari kaki mereka!”
“Bocah ini selain congkak ternyata berhati kejam,” membatin orang tua itu. “Sekarang setelah kau tahu siapa aku, mengapa tidak cepat-cepat menolong?!” anak di atas pohon menegur.
“Baik-baik, aku akan segera menolongmu. Tapi ada satu perjanjian. Setelah kau kuselamatkan kau akan jadi milikku dan ikut aku!”
Yang namanya Pangeran Anom mendelik. “Enak saja bicaramu! Kau tak punya hak apapun atas diriku. Apalagi hendak membawaku. Eh, memangnya kau mau bawa aku ke mana pengemis bungkuk?”
Orang tua itu menunjuk ke puncak gunung Merapi. Anak di atas pohon tertawa mencemooh.
“Rupanya kau hantu gunung maka mau membawa aku ke puncak Merapi sana! Tubuhmu lemah dan bungkuk! Jangankan membawaku, jalan sendiripun ke puncak gunung itu kau tak bakal sanggup!”
Orang tua itu tersenyum. Dia membungkuk lalu meraup lumpur panas dengan tangan kanannya. “Kampret cilik bernama Pangeran Anom, jangan kelewat merendahkan kemampuanku!” Lumpur yang tadi diraupnya digulung-gulung hingga membentuk sebuah bola kecil. Bola lumpur ini kemudian dilemparkannya ke arah si bocah dan tepat masuk ke dalam saku pakaiannya. Karena lumpur itu masih sangat panas tentu saja anak ini jadi menjerit-jerit kesakitan ketika lumpur yang memancarkan hawa panas itu menembus pakaiannya, terus menyentuh daging perutnya.
“Nah kau tahu sekarang bagaimana rasanya panas hati kalau dihina orang?!” orang tua itu berseru.
“Siapa menghinamu!” anak yang menyebut dirinya Pangeran Anom menyahuti. Dengan kedua tangannya dia berusaha melemparkan bola lumpur dari dalam sakunya dan berhasil. “Aku hanya melihat kenyataan. Tubuhmu jelas bungkuk dan kelihatan lemah. Apa aku menghina mengatakan yang sebenarnya? Orang tua kau bukan saja seorang pencari pamrih, yang hanya mau menolong kalau ada imbalan tapi juga ternyata tolol. Siapa sudi ikut denganmu!”
“Kalau begitu aku tak jadi menolongmu! Biar kau mati tergantung kelaparan di atas pohon itu!”
“Aku tidak takut mati! Kau minggatlah dari sini!” si bocah malah balas menantang, membuat orang tua itu yang tadinya memang hanya berpura-pura hendak pergi jadi terkesiap dan salah tingkah. Sesaat dia tertegun sambil memandang melotot, jengkel dan penasaran pada anak di atas pohon.
“Hai! Disuruh minggat kenapa masih berdiri di sana?! Jangan salahkan kalau nanti aku kencingi tubuhmu!” Pangeran Anom berteriak. Saat itu memang dia ingin kencing sekali dan sudah lama menahan-nahan.
“Bocah kurang ajar! Aku suka padamu!” Orang tua itu tertawa mengekeh. “Kau pantas jadi muridku! Kau sombong, keras hati, mungkin juga licik dan kejam! Ha-ha-ha! Mimpiku ternyata tidak dusta! Mari kau ikut aku!”
Habis berkata begitu orang tua tadi melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak akar-akar pohon beringin yang melilit tubuh Pangeran Anom tersentak lepas. Lalu begitu tubuhnya melayang turun, orang tua ini langsung melarikan anak itu ke arah utara, menuju puncak Merapi. Berlari di atas lumpur panas yang masih mengepulkan asap.
********************
DUA
Dua belas tahun telah berlalu sejak malapetaka meletusnya gunung Merapi. Desa Sleman yang dulu musnah sama rata dengan tanah bersama delapan desa lainnya, kini nampak subur. Rumah-rumah penduduk bertebaran di mana-mana. Sawah ladang menghampar memberikan hasil besar pada setiap musim panen.
Boleh dikatakan banyak sudah penduduk yang melupakan peristiwa malang yang terjadi dua belas tahun silam itu mereka telah disibukkan dengan mengurusi sawah ladang serta ternak bahkan membangun rumah atau tempat peribadatan baru. Desa-desa itu kini malah menjadi pusat-pusat penghasil sayur mayur dan daging bagi Kotaraja dan kota-kota di sekitarnya.
Di arah timur, gunung Merapi tampak menjulang tinggi diselimuti awan biru pada puncaknya. Dua belas tahun silam gunung inilah yang telah memberi malapetaka pada penduduk. Tapi kini dia tampak tegak penuh perkasa dan memberikan pemandangan yang indah.
Saat itu pagi hari. Sang surya baru saja muncul menerangi jagat, memberi penerangan dan kesegaran baru di atas bumi Tuhan. Di bibir gunung sebelah selatan tampak sebuah bangunan kayu jati. Bangunan ini hampir merupakan sebuah dangau karena memiliki kolong dan terbuka tanpa kamar atau ruangan. Di atas bangunan kayu jati itu duduk berhadap-hadapan dua orang lelaki.
Satu tua renta berambut putih menjela punggung bermuka pucat dan bermata cekung. Satunya lagi seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas tahun yang memiliki dahi tinggi serta rahang menonjol. Rambutnya hitam sangat lebat, dagunya kukuh. Keseluruhan wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap congkak.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Anom, yang dua belas tahun lalu tergantung di pohon beringin ketika terjadi bencana meletusnya gunung Merapi. Orang tua yang duduk di hadapannya adalah orang tua yang dulu menyelamatkannya dari pohon itu lalu membawanya ke puncak Merapi.
“Muridku Pangeran Anom, hari ini tepat dua belas tahun kau bersamaku. Berarti dua belas tahun kau tinggal di puncak Merapi ini menjadi muridku. Banyak ilmu kepandaian yang hitam dan yang putih telah kau pelajari. Jangan pernah kau lupakan semua ilmu itu kuberikan adalah sesuai dengan perjanjian kita dua belas tahun silam. Yakni untuk menghancurkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kita. Mereka perlu dimusnahkan bahkan dibunuh. Tak perduli apakah mereka dari golongan putih ataupun dari golongan hitam. Dalam tubuhmu sudah tertanam segala kecerdikan, segala akal segala ilmu yang harus menjadi bekal dan pegangan jika kau nanti sudah meninggalkan puncak Merapi ini. Satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Kau tidak boleh kembali ke Kotaraja, kau tidak boleh kembali menemui kedua orang tuamu ataupun saudara-saudaramu. Siapa adanya kau di masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Namamu pun harus kau ganti!”
Setelah berdiam diri mendengarkan kata-kata sang guru, pemuda itu ajukan pertanyaan “Nama apakah yang akan kupakai guru?”
“Nanti akan kuberitahu yaitu enam jam dari sekarang. Satu kejadian besar akan berlangsung enam jam lagi. Saat itulah akan kulekatkan nama yang pantas bagimu. Nama yang pantas untuk seorang pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu dan segala licik serta congkak!”
“Peristiwa apakah yang bakal terjadi enam jam mendatang, guru?” bertanya si pemuda.
“Jangan tanya dulu. Kau akan saksikan sendiri. Peristiwa ini sekali dalam tujuh puluh enam tahun!”
Si pemuda termenung diam. Tapi otaknya coba memecahkan teka teki peristiwa besar yang disebutkan sang guru. Sulit baginya untuk menerka. Berarti harus menunggu sampai enam jam di muka!
“Jika nanti kau meninggalkan puncak Merapi ini harus kau ingat baik-baik beberapa nama tokoh timba persilatan yang pasti akan menjadi penghalang tindak tandukmu dalam dunia persilatan. Yang pertama adalah seorang pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seorang pendekar tanpa tanding, murid seorang nenek sakti dari puncak gunung Gede yang dikenal dengan nama Sinto Gendeng. Dia bukan saja sakti mandraguna tapi memiliki beberapa senjata mustika luar biasa. Satu di antaranya adalah Kapak Maut Naga Geni. Di samping itu dikabarkan dia juga mendapat warisan-warisan ilmu hebat dari beberapa tokoh silat di delapan penjuru angin. Hati-hati jika kau berhadapan dengannya karena sepertimu dia juga memiliki segala ilmu, segala akal. Satu hal yang tidak dimilikinya yakni segala kelicikan. Pada titik kelemahan itulah kau akan dapat mengalahkannya!”
“Kalau aku boleh bertanya, di manakah aku dapat menemui pemuda bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu?” bertanya si pemuda. Jelas ini satu pertanda bahwa dia ingin berhadapan untuk menjajal sampai sejauh mana kehebatan Wiro Sableng.
Orang tua yang ditanya tersenyum. “Pendekar seperti dia tidak berumah tak bertempat tinggal. Dia gentayangan seperti setan di delapan penjuru angin dan bisa muncul secara mendadak di mana-mana…..”
“Menurut guru sehebat-hebatnya ilmu kepandaian seseorang, akan ada selalu kelemahannya. Selain titik kelicikan yang guru katakan tadi, apakah Pendekar 212 Wiro Sableng memiliki kelemahan lainnya?”
“Ha-ha-ha! Itu satu pertanyaan bagus! Dan jawabannyapun mudah. Setiap pendekar selalu mempunyai kelemahan yang sama. Yakni lemah terhadap perempuan! Nah kelemahan itu bisa kau pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tapi ingat mungkin saja hal itu tidak selalu berlaku pada setiap saat dan situasi. Jadi yang penting kau harus berhati-hati jika berhadapan dengan manusia seperti Pendekar 212 Wiro Sableng itu…”
“Hal itu akan saya ingat baik-baik guru. Siapa lagi pendekar lain yang menurut guru perlu diawasi?”
“Sorang pendekar muda, seusia Wiro Sableng. Namanya Mahesa Edan. Dia murid seorang nenek sakti dari puncak Iyang yang kalau aku tak salah bernama Kunti Kendil. Nenek ini selain sakti juga sangat ganas dan punya banyak teman. Pendekar bernama mahesa Edan ini juga memiliki beberapa senjata sakti. Antara lain sebuah senjata kayu hitam berbentuk papan nisan. Lalu sebuah senjata titipan berupa sebilah keris bernama Keris Naga Biru. Orang ketiga yang harus kau perhatikan ialah seorang pendekar yang bernama hampir sama dengan Mahesa Edan. Namanya Mahesa Kelud. Dia berasal dari puncak gunung Kelud di mana gurunya yang bernama Embah Jagatnata menggodoknya. Dia memiliki berbagai ilmu kesaktian. Memiliki beberapa orang guru. Namun kepandaiannya yang luar biasa adalah dalam ilmu pedang. Kudengar dia memiliki sebuah pedang mustika bernama Pedang Dewa. Di samping itu konon dia berhasil mendapatkan sebuah pedang sakti mandraguna bernama Pedang Samber Nyawa. Namun di atas semuanya itu dia juga dikabarkan telah menguasai ilmu pukulan sakti Api Salju yang merupakan ilmu sangat langka dalam dunia persilatan. Selain tiga orang pendekar itu beserta para guru mereka tentunya, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang bakal menghadang dan menghalangi tindak tandukmu. Jumlah mereka tidak sedikit dan sulit untuk disebutkan satu persatu. Tapi percayalah, jika kau bisa menghadapi tiga pendekar tadi, maka yang lain-lainnya akan dapat kau tangani secara mudah. Yang penting jangan lupa menerapkan segala ilmu, segala akal dan segala kelicikan! Sekarang sebelum sampai saat yang ditunggu kau turunlah ke dalam kawah gunung Merapi. Pergi mandi di kawah belerang untuk penghabisan kali, setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan bersemadi dan jangan mengganggu sebelum ada petunjuk lebih lanjut!”
Pemuda itu berdiri. Seorang murid biasanya akan menjura sebelum berlalu dari hadapan gurunya. Tapi berlainan dengan pemuda ini, dia hanya menganggukkan kepala sedikit lalu turun dari bangunan kayu jati itu. Inilah sikap yang sejak kecil telah tertanam dalam dirinya yakni sifat congkak sombong, tak perduli berhadapan dengan siapapun, selalu menganggap rendah orang lain!
Sampai di pinggiran kawah gunung Merapi pemuda itu tegak memandang ke bawah. Jauh di sebelah sana tampak kawah yang tertutup air berwarna biru kekuningan, memancarkan asap dan hawa hangat. Tak ada jalan menuju ke danau yang menutupi kawah itu selain lamping batu yang merupakan lereng terjal dan licin.
Si pemuda keluarkan pekik nyaring. Lalu seperti seekor burung walet tubuhnya tampak melayang ke bawah, melompat dari satu gundukan batu licin ke batu lainnya. Dalam waktu singkat dia sudah sampai di dasar kawah dan 'byuurrr' langsung masuk ke dalam air biru kuning tanpa membuka pakaiannya. Beberapa lama pemuda ini mendekam berenang dalam air hangat itu.
Pada saat kulitnya terasa seperti hendak melepuh maka baru dia keluar dari dalam air. Seperti tadi kembali dia melompat dari batu ke batu hingga akhirnya sampai di bibir atas kawah Merapi. Ketika dia kembali ke pondok kayu didapatinya sang guru masih duduk bersila, bersemadi pejamkan mata. Sambil mengeringkan pakaian, pemuda itu akhirnya duduk di bawah kolong bangunan, menunggu sang guru selesai bersemadi.
Saat itu mulai menjelang tengah hari. Satu keanehan dirasakan oleh si pemuda. Pada saat seperti itu sang surya seharusnya memancarkan sinar panas terik dan terang benderang. Tapi yang dilihatnya justru sebaliknya. Matahari tampak meredup, padahal saat itu sama sekali tak nampak awan atau mendung menutupinya. Diperhatikannya baik-baik.
Pada pinggiran matahari sebelah kanan tampak seperti ada sebuah lingkaran berbentuk cincin berwarna ungu terang. Cincin ini makin lama makin besar dan akhirnya merupakan lingkaran hitam yang sedikit demi sedikit menutupi matahari. Lambat laun sinar terang matahari menjadi tambah redup. Beberapa saat kemudian ketika seluruh warna hitam itu menutupi matahari maka bumipun menjadi gelap seperti di malam buta.
Di kejauhan terdengar suara binatang-binatang hutan seperti panik. Di beberapa desa di kaki gunung Merapi terdengar suara penduduk memukul berbagai tabuhan. Mereka melakukan itu untuk mengusir 'Setan' yang katanya hendak memakan matahari.
“Dunia Kiamat!” seru pemuda di bawah kolong pondok kayu seraya melompat ketakutan. Dia memandang pada gurunya. Orang tua itu masih saja duduk besila bersemadi. “Dunia kiamat!” seru pemuda itu sekali lagi. Kali ini dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar. Dia sengaja berbuat begitu agar sang guru mendengar dan menyudahi semadinya.
Perlahan-lahan memang orang tua itu membuka kedua matanya. Dia dapatkan saat itu keadaan gelap gulita seperti malam. Tapi aneh justru dari mulutnya yang perot tampak tersungging senyum. Dia bangkit dari duduknya, melompat ke bawah dan tegak di samping muridnya sambil mendongak ke langit.
“Dunia tidak kiamat! Bumi belum kiamat!” katanya sambil memegang bahu muridnya. “Justru inilah yang kita tunggu-tunggu. Saat di mana nama baru akan kuberikan padamu! Nama yang tepat dengan keadaan saat ini!”
“Guru, kalau bukan kiamat apa namanya ini? Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tiba-tiba matahari lenyap dan dunia menjadi gelap seperti malam. Lalu mengapa penduduk di bawah sana memukul segala macam tetabuhan? Dan kau sendiri tampak tenang-tenang saja…?”
Yang ditaya tersenyum dan menjawab “Aku tenang-tenang saja karena memang tak ada yang perlu dikawatirkan. Semua ini adalah kekuasaan Tuhan. Penduduk yang tolol di sana mengira matahari dimakan satu mahluk aneh hingga mereka memukul segala macam barang. Mulai dari beduk dan gendang sampai pada tetampah dan segala macam kaleng. Mereka menyangka dengan melakukan hal itu mahluk pemakan matahari akan ketakutan lalu meninggalkan. Padahal jika tiba saatnya matahari akan kembali bersinar. Kau tahu muridku yang terjadi saat ini adalah apa yang disebut gerhana matahari. Saat ini bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus. Bulan di sebelah depan, matahari di punggungnya. Karena itu matahari tertutup oleh bulan. Akibatnya matahari tidak kelihatan dan sinarnya juga terhalang. Nah apakah aneh jika bumi tiba-tiba menjadi gelap seperti malam?”
“Kalau begitu kejadiannya memang tidak aneh. Tuhan Maha Kuasa dan orang-orang itu tolol semua. Tapi bagaimanakah kalau matahari terus-terusan terlindung bulan?”
“Ah, ternyata kau pun tolol. Bukankah matahari, bulan dan bumi itu tidak diam, saling berputar di sumbunya dan saling mengitari? Ketahuilah apa yang terjadi saat ini ada hubungannya dengan pemberian namamu. Ini saat yang tepat. Ini hanya terjadi tujuh puluh enam tahun sekali! Dengan adanya kejadian ini maka mulai saat ini namamu yang lama yaitu Pangeran Anom kuganti menjadi Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Kau dengar itu?! Namamu mulai dari sekarang adalah Pangeran Matahari!”
“Nama luar biasa! Aku suka nama itu!” kata sang murid sambil usap-usap dadanya.
“Itu memang nama yang tepat bagimu. Sesuai dengan sifatmu yang cepat panasan, congkak sombong dan ingin menang sendiri!”
Mendengar kata-kata itu si pemuda tertawa. “Nah, sekarang apakah aku boleh minta diri?”
“Tidak. Kau harus menunggu sampai hari kembali terang dan matahari kembali memancarkan sinarnya. Ini tak akan lama. Hanya sekitar sepeminuman teh. Tegak saja di sini, jangan bergerak, jangan ke mana-mana” Setelah berkata begitu orang tua ini naik kembali ke atas pondok kayunya, duduk bersila dan pejamkan mata.
Sesuai perintah sang guru Pangeran Marahari tetap tegak di tempatnya semula. Kepalanya mendongak ke langit memperhatikan matahari yang sedang gerhana. Perlahan-lahan rembulan yang menutupi sang surya itu mulai bergeser dan bumi sedikit demi sedikit mejadi terang. Ketika matahari tidak terlindung lagi maka puncak gunung Merapi itu menjadi terang benderang sebagaimana siang layaknya.
Pangeran Matahari palingkan kepala ke arah pondok kayu. Astaga! Dia jadi kaget. Sang guru tak ada lagi di tempat di mana tadi dia duduk bersemadi. Dicari kian kemari tetap saja orang tua itu tak berhasil ditemuan. Pangeran Matahari memeriksa ke kawah gunung. Sepi, tak seorangpun kelihatan di sana. Maka dia pun mulai berteriak,
“Guru! Guru…! Kau berada di mana…?!” jawaban yang terdengar hanyalah gaung suaranya.
“Orang tua aneh. Selama dua belas tahun dia tak pernah memberi tahu namanya. Kini dia raib begitu saja!” Pemuda itu merenung sejenak. Sesaat kemudian hatinya yang congkak membatin, “Mengapa aku risaukan tua bangka bungkuk itu. Ilmunya sudah kudapat. Jika dia kemudian raib tanpa memberi tahu, perduli setan! Sebelum malam turun lebih baik aku pergi dari sini!”
Lalu Pangeran Matahari melangkah pergi. Namun baru bergerak dua langkah, gerakannya tertahan. Ketika dia memandang ke pondok kayu jati, dia sama sekali tidak melihat apa-apa. Namun sewaktu sekali lagi dia berpaling ke arah bangunan itu tahu-tahu di situ nampak tergantung baju dan celana hitam, berkibar-kibar ditiup angin gunung.
“Aneh, siapa yang menggantungkan pakaian itu di sana?” pikir Pangeran Matahari seraya melangkah mendekati.
Pada bagian dada baju hitam, terdapat lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru. Puncak gunung dilatar belakangi gambar matahari berwarna merah darah, lalu garis-garis sinar berwarna kuning. Sesaat si pemuda tegak tertegun. Namun kemudian mulutnya menyunggingkan senyum.
“Pakaian ini pasti tua bangka aneh itu yang meletakkan di sini. Dan pasti untukku. Lalu tanpa menunggu lebih lama dia mengambil pakaian hitam tersebut dan mengenakannya. Ternyata pas benar di badannya.
“Bagus! Nama dan pakaian cocok satu sama lain!” Pangeran Matahari memandang berkeliling. “Guru!” serunya. “Aku tahu pakaian ini darimu! Untuk itu aku mengucapkan terima kasih! Hanya sayang bahannya terbuat dari bahan jelek! Tapi tak jadi apa, kurasa cukup kuat!”
Setelah berkata begitu Pangeran Matahari segera tinggalkan puncak Merapi.
********************
TIGA
Di depan perapian itu duduk berkeliling lima orang lelaki bertampang bengis. Salah satu di antaranya memiliki badan luar biasa besar, memelihara cambang bawuk dan kumis lebat. Mukanya yang bengis tampak lebih buruk karena penuh dengan lobang-lobang bopeng. Di belakang kelima orang ini, terlindung oleh kegelapan malam yang tak tersentuh nyala api unggun duduk mendekam lebih dari dua puluh orang. Semuanya membekal berbagai macam senjata. Mulai dari golok dan pedang pendek sampai pada pentungan besi dan tombak panjang. Ada pula yang membawa clurit besar dan mengalungkannya di lehernya.
Lelaki bercambang bawuk berkumis melintang mengusap mukanya yang bopeng. Dia membenarkan letak ikat pinggang kain merah yang melilit di keningnya. Seorang yang duduk di sebelah kirinya melunjurkan kedua kakinya yang pegal seraya berkata,
“Lama benar datangnya pagi…”
Si muka bopeng menyahuti tak acuh. “Untuk pekerjaan besar yang bakal kita lakukan memang harus bersabar. Jika tak dapat bersabar sebaiknya minggat dari sini!”
Yang ditegur lagsung diam dan meneguk kopi dalam cangkir kaleng. Seorang lainnya dari lima yang duduk di muka perapian bertanya, “Bagaimana kalau jumlah pengawal lebih banyak dari orang-orang kita?”
“Kalian ini semua bicara seperti orang pengecut!” membentak si bopeng. “Bukankah sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa rombongan pengawal itu tak akan lebih dari sepuluh orang? Mungkin ditambah satu atau dua orang perwira muda. Tapi tak akan lebih dari itu. Lalu apa yang kita takutkan? Mereka perajurit-perajurit yang tak pernah berlatih. Yang hanya mampu berpakaian gagah dan menyandang senjata. Tapi bila berhadapan dengan lawan akan ketakutan setengah mati!”
“Menurutmu apakah rombongan istana ini membawa banyak uang dan harta, Warok?” bertanya seorang lagi.
“Aku tidak perduli apakah mereka membawa harta atau uang! Tujuan utamaku adalah menculik puteri yang cantik jelita itu. Gila! Sejak aku melihatnya dua minggu lalu di pasar malam di Kotaraja, aku tak bisa melupakannya. Saat itu kalau saja pengawalan tidak sangat ketat dan jumlah kita cukup banyak, mau aku menculiknya waktu itu juga! Eh, siapa nama lengkapnya gadis putih montok itu?”
“Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati…” seseorang menjawab.
“Betul! Nama bagus sebagus orangnya. Panjang sepanjang rambutnya yang hitam. Ha-ha-ha! Sungguh pantas menjadi istri Warok Sumo Gantra!”
Orang yang menyebut namanya sendiri itu usap-usap dadanya lalu meneguk kopinya sampai habis. Seorang anak buahnya cepat-cepat mengisi cangkir kaleng itu sampai penuh.
“Ada satu hal yang harus kalian ingat dan lakukan!” berkata Warok Sumo Gantra. “Selain Puji Lestari Ambarwati, tak satu orangpun harus dibiarkan hidup. Ini agar kita bisa menghilangkan jejak…”
“Bagaimana kalau ibunda Puji Lestari ikut dalam rombongan. Apakah dia harus dibunuh juga?”
Sang Warok tak segera menjawab. Setelah berpikir sejenak baru membuka mulut. “Turut apa yang aku dengar istri ketiga Sri Baginda itu kabarnya juga berparas jelita dan tubuhnya masih menggairahkan. Jika kenyataannya memang begitu aku akan mempertimbangkan nanti dia tak lebih dari membunuhnya!”
"Dapat anak dapat ibunya! Ha-ha-ha! Tapi bila ternyata seorang nenek tak berguna, kalian tak usah ragu-ragu..."
Baru saja Warok Sumo Gantra berkata begitu tiba-tiba terdengar suara 'kraak'. Semua orang mendongak ke atas. Cabang pohon di bawah mana orang-orang itu duduk mendadak patah dan jatuh ke bawah, hampir menimpa kepala sang warok. Dengan tangan kirinya dikibaskannya cabang itu hingga mencelat mental di kegelapan malam.
“Aneh! Itu bukan cabang kering! Bagaimana bisa patah dan jatuh?!” kata Warok Sumo Gantra seraya berdiri. Beberapa orang anak buahnya ikut berdiri dan memandang berkeliling. Salah seorang dari mereka menimpali.
“Memang aneh. Tak ada hujan tak ada angin, bagaimana cabang pohon yang cukup liat itu bisa patah?!”
“Mungkin ada orang yang sok jagoan dan berani main-main dengan kita!” Lelaki di sebelah kanan menduga dan langsung menghunus goloknya.
“Sarungkan golokmu! Siapa yang berani main-main dengan kita komplotan rampok hutan Merapi!” berkata kawan di sebelahnya.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah kegelapan. “Mengapa tak ada yang berani main-main dengan kawanan rampok buruk seperti kalian?!”
“Keparat! Ada yang berani main-main dan menghina!” teriak Warok Sumo Gantra.
Serta merta terdengar suara berseresetan karena sekian banyak senjata dicabut dari sarungnya. Kali ini sang warok tidak lagi menyuruh anak buahnya menyarungkan senjata mereka, tapi memandang melotot ke arah kegelapan dari mana datangnya suara tadi. Saat itu tampak sesosok tubuh melangkah ke arah rombongan namun tertahan oleh anggota rampok yang tegak berkeliling.
“Beri jalan!” bentak orang yang muncul dari kegelapan. Ternyata dia seorang pemuda bertampang keras dengan rahang-rahang menonjol.
Dibentak demikian tentu saja anggota rampok yang berada paling dekat dengan pemuda itu menjadi marah dan ayunkan senjata masing-masing.
"Braakkk! Braakkk! Bukkk! Bukkk...!"
Empat orang anggota rampok menjerit kesakitan. Senjata masing-masing mencelat mental dan tubuh mereka tergelimpang berjatuhan. Tentu saja hal ini mengejutkan semua anggota rampok hutan Merapi, terutama pimpinan mereka yaitu Warok Sumo Gantra.
“Hemmm… rupanya benar-benar ada yang berani main-main cari penyakit! Apa tidak tahu berhadapan dengan siapa?!” bentak Warok Sumo Gantra.
“Kau pimpinan monyet-monyet di sini? Pasti kau tuli? Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kalian adalah rampok-rampok buruk?! Yang malam ini tengah merencanakan perampokan terhadap rombongan istana, hendak menculik seorang puteri kerajaan!”
“Bangsat ini pasti sudah mencuri dengar pembicaraan kita. Mengintai sejak tadi…”
Ucapan anak buah Suma Gantra ini terputus ketika satu tamparan melabrak mukanya hingga tubuhnya terlempar dan terguling pingsan di hadapan kaki pemimpinnya.
“Aku Pangeran Matahari! Sebagai seorang Pangeran tak ada satu manusiapun yang boleh memakiku!”
“Hai! Apa?! Siapa namamu…?!” Bentak Warok Sumo Gantra karena heran mendengar nama yang disebutkan si pemuda.
“Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi! Mulai malam ini aku mengambil pimpinan di sini!”
“Keparat sombong kurang ajar…”
"Plaakkk...!"
Satu tamparan kembali berkelebat. Dan anggota rampok yang tadi bicara keras langsung jatuh, melejang-lejang sesaat lalu diam tak berkutik lagi. Nyawanya putus. Ketika diperhatikan tampak separuh mukanya hancur! Kini suasana di tempat itu dicengkeram ketegangan. Anak buah rampok diam-diam menjadi kecut tak berani bergerak, menunggu apa yang hendak dilakukan pemimpin mereka.
“Pangeran Matahari, siapapun namamu! Sikap dan bicaramu sombong amat! Kau berani mencelakaiku dengan patahan cabang pohon. Kau berani menghinaku bahkan kau melukai dan membunuh anak buahku! Siapa kau sebenarnya dan apa maksud kemunculanmu di tempat ini? Jika kau sengaja mencari silang sengketa jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini hidup-hidup!"
Pangeran Matahari tertawa mengejek. “Jika aku mau nyawamupun bisa kuambil detik ini juga!” sahutnya seenaknya seraya berkacak pinggang. “Apa kau tidak mendengar? Mulai saat ini aku yang jadi pimpinan di sini. Kalian kuperintahkan untuk menculik Puji Lestari Ambarwati besok pagi dan menyerahkannya padaku! Ada yang berani menantang?!”
Perlakuan dan ucapan pemuda itu sudah dianggap melampaui batas oleh Warok Sumo Gantra. Namun karena maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian maka dia tak mau langsung turun tangan. Dia memberi isyarat pada empat anak buahnya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya.
“Pangeran Matahari! Jika kau memang berniat jadi pimpinan boleh saja! Tapi tundukkan dulu empat pembantuku ini!”
Si pemuda menyeringai. “Jika kau hendak berlindung di belakang anak buahmu, hanya sementara saja Warok! Kasihan kecebong-kecebong ini! Ayo majulah kalian berbarengan!”
“Hantam!”
“Bunuh!”
“Cincang!”
“Mampus!”
Empat batang golok berkelebat ganas. Dua mengarah batok kepala dan leher, satu membabat pinggang dan satunya lagi menusuk ke perut!
“Rasakan olehmu sekarang!” kata Warok Sumo Gantra bergumam seraya rangkapkan tangan di muka dada dan menyeringai puas. Dia sudah membayangkan kejap itu juga pemuda sombong di hadapannya akan mati dengan tubuh terkutung-kutung!
Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan dan membuat kedua matanya membeliak. Dua dari anak buahnya terpental dengan mulut pecah dan mata hancur. Duanya lagi entah bagaimana luka parah terhantam golok sendiri dan tersungkur mandi darah! Pucatlah paras sang warok. Semua anak buahnya mengalami hal yang sama. Tak ada yang berani bergerak atau keluarka suara. Lutut masing-masing terasa goyah sedang tengkuk mendadak sontak menjadi dingin!
“Cukup!” teriak Sumo Gantra. “Sekarang giliranmu untuk mampus!” Kepala rampok itni maju tiga langkah. Sejarak empat langkah dari hadapan si pemuda dia hantamkan tangan kanannya. Angin deras menderu. Di saat itu pula selagi pukulan tangan kosong jarak jauh itu belum melabrak sasarannya, sang warok susul dengan satu lompatan dan kirimkan tendangan keras ke dada si pemuda.
Pangeran Matahari tertawa mengejek. Tubuhnya miring ke samping, tangan kanannya menyambut sakaligus dua serangan lawan. Begitu tangan digerakkan ke depan perlahan saja maka mencelatlah tubuh besar kekar Warok Sumo Gantra! Kepala rampok ini cepat jungkir balik di udara. Meskipun sempoyongan masih untung dia bisa jatuh dengan kedua kaki lebih dahulu.
“Warok Sumo! Tampangmu memang seram. Tapi isi perutmu hanya cacing gelang melulu! Apakah kau masih pantas menyebut diri sebagai Warok, menjadi pimpinan orang-orang ini?!”
“Jangan keliwat menghina! Aku masih belum kalah!” menjawab Warok Sumo Gantra lalu tangan kanannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebilah golok besar sudah tergenggam di tangannya. Senjata ini dibolang balingkan demikian rupa hingga berkilau-kilau terkena cahaya api unggun.
“Jangan cuma tegak main akrobat! Majulah!” mengejek Pangeran Matahari. Waktu keluarkan ucapan dia sengaja memandang ke jurusan lain seperti bersikap tak acuh.
Dengan amarah memuncak Warok Sumo Gantra menyerbu masuk. Golok besarnya berkiblat dalam tiga arah serangan sekaligus yakni leher, perut dan dada! Di saat yang sama tangan kirinya tidak tinggal diam. Dia menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Sesaat Pangeran Matahari terkesiap juga melihat serangan ganas ini. Di samping itu pukulan tangan sang warok menebarkan angin dingin.
Pangeran Matahari berteriak nyaring. Tubuhnya lenyap dari pandangan Warok Sumo Gantra. Kepala rampok ini sesaat terus menyerbu tempat kosong sempai akhirnya di menyadari lawan tak ada lagi di hadapannya.
“Matamu buta atau bagaimana! Aku ada di sini Warok!” mengejek Pangeran Matahari yang tahu-tahu sudah ada di belakang sang warok. Dalam amarah tambah memuncak Warok Sumo Gantra balikkan tubuh dan babatkan goloknya. Terdengar pekikan setinggi langit!
“Rasakan!” teriak Warok Sumo Gantra karena menyangka si pemuda itu berhasil dihantam goloknya. Tapi ketika sosok tubuh itu terjungkal jatuh di hadapannya, dia segera mengenali yang roboh mandi darah bukanlah Pangeran Matahari, melainkan salah seorang anak buahnya sendiri! Sedang sang pemuda masih tegak dua langkah di depannya sambil bertolak pinggang dan sunggingkan tawa mengejek.
“Keparat setan alas!” teriak Warok Sumo Gantra.
Golok di tangan kanannya kembali berkesiur, lenyap dan hanya merupakan sinar putih dalam kegelapan malam dan pantulan api unggun. Tubuhnya mandi keringat. Tapi selama enam jurus dia tak mampu menyentuh tubuh Pangeran Matahari. Sewaktu nafasnya sesak kehabisan tenaga akibat amarah yang tak terkendali, tiba-tiba dia merasakan kaki kirinya seperti dihantam balok besar.
Tak ampun tubuhnya terpelanting dan terbanting jatuh dekat perapian. Pada saat dia hendak bangkit, satu injakan terasa di dadanya. Dia kerahkan tenaga namun tak mampu membuat mental kaki yang menginjak itu.
“Apakah kau masih tak mau menyerahkan pimpinan padaku, atau kau lebih suka menjadi bangkai?!” bertanya Pangeran Matahari sambil mendongak, sengaja tak mau menatap Warok Sumo Gantra.
Karena memang tak berdaya lagi, apa lagi meneruskan perlawanan, pimpinan rampok itu akhirnya menyahut. “Aku mengaku kalah! Terserah padamu mau membunuh atau mengampuni selembar nyawaku!”
“Nyawamu kuampuni! Lekas kau hidangkan secangkir kopi hangat untukku! Ingat, kau sendiri yang harus menyediakannya untukku!”
Pangeran Matahari angkat injakan kakinya pada dada sang warok. Dengan terhuyung-huyung Warok Sumo Gantra bangkit berdiri, lalu melakukan apa yang diperintah sang pangeran. Ini adalah penghinaan yang tak pernah dialami Sumo Gantra seumur hidupnya. Apalagi di hadapan anak buahnya sendiri. Dalam hatinya terpancang dendam kesumat. Satu saat dia harus membunuh pemuda ini!
EMPAT
Matahari belum lagi menyembul dari ufuk timur. Namun keadaan di tempat itu sudah agak terang hingga cukup jelas terlihat jalan kecil berkelok di lamping bukit sebelah timur hutan Merapi. Dua puluh anak buah Sumo Gantra telah berada di tempat-tempat yang diatur sementara Pangeran Matahari duduk di sebuah batu besar dan sang warok tegak di sampingnya. Tak selang berapa lama, ketika serombongan burung nampak melayang di udara, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
“Mereka datang Pangeran…” berkata Warok Sumo Gantra.
Pangeran Matahari mengangguk kecil dan layangkan pandangannya ke timur. Dari balik kelokan jalan yang mendaki tampak kepala lima ekor kuda, disusul lima ekor lagi di sebelah belakang. Lalu sebuah kereta ditarik dua ekor kuda coklat. Setelah itu masih ada lima pengawal berkuda di sebelah belakang.
“Dugaanku tepat! Jumlah pengawal tidak sampai dua puluh. Tapi…” Warok Sumo Gantra hentikan kata-katanya. Suaranya seperti tercekat. Dia memanang tajam ke arah rombongan di bawah sana.
“Apa yang membuatmu tiba-tiba kecut heh?!” bertanya Pangeran Matahari tak acuh.
“Ni Luh Tua Klungkung ada di antara mereka!” sahut kepala rampok yang kini berada di bawah kekuasaan Pangeran Matahari itu.
“Kau begitu ketakutan. Siapa manusia itu?” tanya sang pangeran.
“Seorang nenek sinting sakti. Berasal dari Bali tapi diketahui sejak lama menjadi pendamping utama para tokoh silat Keraton…”
“Sinting tapi sakti! Sungguh aneh, lucu! Aku ingin berkenalan dengan nenek itu…” Pangeran Matahari menyeringai dan usap-usap telapak tangannya satu sama lain, lalu dia mendorong-dorongkan tangan kanan seperti mengambil ancang-ancang memukul. “Yang mana nenek tua yang kau maksudkan itu?” bertanya Pangeran Matahari.
“Orang kedua pada rombongan kedua. Yang di sebelah kanan berpakaian serba biru…”
“Itu…? Hanya seorang nenek berambut putih, bertubuh kecil jelek! Itu yang kau takutkan!”
“Jangan memandang rendah Pangeran. Dia benar-benar seorang berkepandaian tinggi!”
“Sudah! Jangan banyak mulut! Rombongan itu hampir mendekati titik penyerangan! Kau lekas turun dan pimpin anak buahmu melakukan serangan!”
“Jika Pangeran memang ingin menjajal kehebatan perempuan tua itu, sebaiknya Pangeran ikut turun…”
"Plaakk...!
Satu tamparan mendarat di pipi Warok Sumo Gantra membuat orang ini terhuyung-huyung hampir roboh. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah.
“Jangan berani memerintah! Aku yang jadi pimpinan di tempat ini! Dan ingat!” Pangeran Matahari berkata dengan mata mendelik.
“Setiap barang berharga dan uang yang kalian temui adalah milikku. Siapa saja perempuan yang kalian tangkap harus diserahkan padaku... Pergi!”
Masih terhuyung-huyung dan masih menahan sakit Warok Sumo Gantra berlari menuruni lamping bukit. Dalam waktu singkat dia sudah berada di antara anak buahnya yang saat itu juga dalam keadaan tegang takut ketika mengetahui bahwa dalam rombongan yang hendak mereka serbu terdapat Ni Luh Tua Klungkung. Jelas mereka kini melakukan penghadangan dengan setengah hati.
Dari batu tempatnya duduk di atas bukit, Pangeran Matahari mendengar suara suitan nyarin. Dari balik tebing di kiri kanan jalan tampak melompat keluar anak buah Warok Sumo Gantra menyerbu rombongan. Suasana kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar tiada henti. Pertempuran segera berlangsung. Mula-mula tampak para perampok berada di atas angin.
Lawan yang terkejut karena diserang tiba-tiba terdesak hebat. Lima pengawal roboh mandi darah. Namun keganasan para perampok hanya sampai di situ. Ketika penunggang kuda berpakaian biru berambut putih mulai bergerak hanya dengan mengandalkan tangan kosong, maka keadaan jadi berubah!
Dua anggota rampok mencelat mental dengan perut dan dada bobol dimakan tendangan. Seorang lagi terhenyak dengan leher patah terkena tepisan tangan kiri. Dan ketika orang berpakaian biru itu mempergunakan golok rampasan untuk melancarkan serangan balasan, jerit pekik kematian anggota rampok terdengar susul menyusul. Enam orang tumpang tindih menemui ajal, satu lagi megap-megap meregang nyawa sambil pegangi perut yang robek.
Saat itulah Warok Sumo Gantra melompat ke dalam kalangan pertempuran sambil mencekal golok besar. Sekali senjatanya berkelebat, kuda tunggangan nenek berpakaian biru meringkik keras lalu tersungkur. Lehernya hampir putus dibabat golok sang warok. Adapun orang tua yang tadi berada di atas punggung binatang ini, begitu kudanya roboh, tubuhnya tampak mencelat. Melayang ke kiri dan tahu-tahu sudah duduk di atas punggung seekor kuda lainnya, memandang ke arah Warok Sumo gantra dengan mata berkilat-kilat.
“Wah... wah... wah! Jadi ini rupanya gembong biang kerok yang berani menghadang rombongan Istana!” Nenek berpakaian biru buka suara dengan nada mengejek. Lalu dia susul dengan ucapannya, “Warok Sumo Gantra! Nama jahatmu sudah lama kudengar. Tidak disangka hari ini kau berani muncul dan menghadang kami! Primbon mengatakan bahwa hari ini adalah hari kematianmu!”
Mekipun nyalinya kecut menghadapai nenek yang sudah tersohor kehebatannya itu, namun ucapan merendahkan tadi membakar kemarahan Warok Sumo Gantra. Untuk sesaat dia lupakan rasa takutnya.
“Ni Luh Tua Klungkung!” bentaknya. “Jika kau sudah tahu siapa aku kenapa tidak lekas minggat tinggalkan tempat ini?!”
Si nenek tertawa tinggi mendongak langit. Golok di tangan kanannya melesat. Bukan menyerang ke arah Warok Sumo Gantra, tetapi menghantam pada salah seorang anak buahnya yang langsung menjerit roboh ketika golok itu menancap di perutnya!
Tengkuk Warok Sumo gantra menjadi dingin. Betapa tidak. Si nenek melakukan hal itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dan sambil terus perdengarkan suara tertawa tinggi.
“Warok Sumo... Jika kau tidak sanggup melindungi nyawa anak buahmu, bagaimana mungkin kau dapat menyelamatkan nyawamu sendiri dari kematian…?” Si nenek kembali keluarkan ucapan mengejek.
Merah padam wajah Warok Sumo Gantra. Didahului oleh bentakan nyaring tubuhnya yang tinggi besar itu laksana terbang melayang ke arah Ni Luh Tua Klungkung. Golok di tangan kanannya berdesing di udara!
Senjata itu hanya lewat setengah jengkal dari batang leher si nenek baju biru. Begitu lewat si nenek kibaskan ujung lengan bajunya.
"Wutttt...!"
Serangkum angin keras menerpa. Warok Sumo Gantra meraskaan tubuhnya tersentak keras. Dia cepat membuang diri ke samping. Namun tak ayal goloknya telah terlepas mental oleh hantaman angin lengan baju tadi dan di saat yang sama dia merasakan tangan kanannya seperti diremas tangan raksasa hingga dia merintih kerenyitkan tampang.
“Warok Sumo, apakah kau masih belum yakin kalau hari ini hari kematianmu?!” berkata Ni Luh Tua Klungkung.
Warok Sumo menggembor marah. Kaena tangan kanannya masih terasa sakit maka dia pergunakan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga dalam. Tingkat tenaga dalam yang dimiliki kepala rampok hutan Merapi ini memang cukup ampuh. Ketika pukulan dilepaskan, pakaian si nenek tampak berkibar-kibar. Namun untuk membuatnya roboh terjungkal dari punggung kuda ternyata sang warok masih belum mampu.
Sebaliknya ketika si nenek balas menghantam dengan kebutan ujung lengan baju, tak ampun lagi Warok Sumo Gantra terbanting ke tanah dan rasakan dadanya sesak. Nafas seperti mau putus! Dia bangkit dengan susah payah tapi hanya untuk menerima hajaran tendangan kaki ke arah kepalanya, yang tak mungkin dielakkan!
Saat itulah satu bayangan hitam datang berkelebat dari samping. Warok Sumo Gantra terpental jauh, terguling-guling di tanah tapi selamat dari kematian. Sebaliknya si nenek berbaju biru terdengar berseru kaget. Tubuhnya seperti mumbul ke atas, jungkir balik di udara dan lain kejap sudah berpindah duduk ke atas punggung kuda lainnya. Dari atas punggung binatang ini dia memandang tak berkesip pada sosok tubuh pemuda yang mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar gunung dan matahari di dadanya.
“Orang muda! Lagakmu lancang amat! Berani mencampuri urusan orang! Siapa kau? Apa kambratnya rampok-rampok keparat ini?!” begitu si nenek membentak.
“Nenek butut! Lagakmu keren amat!” balas membentak Pangeran Matahari.
“Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Aku pimpinan tertinggi gerombolan rampok. Kawasan hutan Merapi adalah daerah kekuasaanku! Siapa berani lewat di sini berarti berani ambil tanggung jawab!”
Si nenek mendengus. “Caramu bicara dan pakaian yang kau kenakan membuatmu lebih pantas jadi pemain sandiwara. Tapi kulihat tadi kau punya sedikit ilmu! Aku belum tahu apakah ilmu itu bisa kau andalkan untuk menyelamatkan jiwamu! Orang-orang jahat sepertimu layak dikubur hidup-hidup tapi tak layak dikubur kalau sudah mati…!”
“Baru menjadi jongos istana lagakmu seperti tuan besar! Pangeran Matahari ingin melihat sampai di mana kehebatanmu monyet betina tua!”
Meskipun naik darah disebut monyet betina tua tapi si nenek tetap perdengarkan suara tertawa tinggi. Masih duduk di atas punggung kuda Ni Luh tua Klungkung rapatkan telapak dan jari-jari tangannya lalu diangkat ke kening seperti orang menghormat memberi salam. Ketika kedua tangan itu tiba-tiba dihantamkan ke bawah disertai bentakan garang, dua larik angin deras seperti membelah tanah.
Pangeran Matahari merasakan tubuhnya tergoncang. Satu kekuatan membetot dirinya ke kanan, satu lagi menariknya ke kiri. Ketika dia coba melompat keluar dari daya tarik dua kekuatan yang seperti hendak membelah tubuhnya itu si nenek tiba-tiba dorongkan tumitnya. Si pemuda merasakan ada hantaman dahsyat melabrak dadanya.
Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang. Namun dia cepat jatuhkan diri setengah berbaring. Tanan kiri bertekan ke tanah sedang tangan kanan menghantam ke depan.
“Makan pukulanku ini!” teriak Pangeran Matahari.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget ketika ada gelombang angin dahsyat memusnahkan dua pukulannya tadi dan sekaligus kini menghajarnya. Dia coba bertahan dengan silangkan lengan kiri di depan dada. Tapi kuda yang didudukinya tak sanggup berdiri. Binatang ini roboh terjengkang, memaksa si nenek melompat sambil memukul.
Pangeran Matahari tersenyum. Dia tahu kini kalau si nenek ternyata memiliki kekuatan tenaga dalam yang tidak mampu menghadapi tenaga dalam yang dimilikinya. Maka diapun lepaskan hantaman kedua. Kembali Ni Luh Tua Klungkung melengak dan terpaksa lagi-lagi selamatkan diri sambil melompat dan memukul. Begitu pukulannya lepas dia melompat dan kebutkan lengan pakaian birunya.
Angin aneh mengeluarkan suara seperti puting beliung menerpa menggidikkan ke arah Pangeran Matahari, membuat tubuhnya bergoncang keras, padahal dua angin pukulan itu masih sejauh tiga langkah. Ketika serangan lawan tinggal dua langkah lagi, Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dengan telapak terkembang ke arah si nenek. Lalu dia dorongkan kedua tangan itu. perlahan saja. Tapi apa yang tejadi kemudian sungguh luar biasa.
LIMA
Suara mendesis keluar dari dua telapak tangan disertai sambaran angin hangat yang semakin lama semakin panas. Ketika kedua lengan sudah hampir membentuk garis lurus, hawa panas yang keluar dari telapak tangan semakin keras. Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya seperti terpanggang. Mulutnya komat kamit. Kedua kakinya terbenam ke dalam tanah. Lututnya menekuk dan perempuan tua ini akhirnya terjengkang. Dadanya mendenyut sakit. Sekujur tubuhnya seperti dikobari api. Namun dia tidak mau menyerah begitu saja.
Ilmu pukulan Telapak Merapi yang tadi dilepaskan lawan masih sanggup ditahannya. Dengan seluruh sisa tenaga luar dan kekuatan tenaga dalam yang ada perempuan tua ini pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tubuhnya melesat ke udara. Selagi melayang inilah dia membuat satu gerakan aneh. Tangan kiri mendekap dan menekan perut. Tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke arah Pangeran Matahari.
Kedua pipinya yang keriput menggembung. Ketika kemudian mulutnya meniup, menyemburlah asap tibpis kuning yang menebar bau kayu cendana, yaitu sejenis pohon kayu harum yang banyak tumbuh di Bali. Semburan asap ini menyembur dan melesat sepanjang tangan kanan yang diluruskan dan mengarah pada sasaran.
Pangeran Matahari mendadak merasakan kepalanya pening. Pemandangan berkunang dan perut mendadak mual. Sadar semburan asap kuning itu mengandung racun jahat melumpuhkan, sang pangeran cepat gulingkan diri menjauhi. Namun si nenek ikuti gerakan tubuh lawan dengan mengarahkan tangan kanannya, ke mana pemuda itu bergerak, ke situ pula tangannya diarahkan!
Sang pangeran tak bisa lari lagi! Tubuhnya yang baru saja mencoba bangun tampak limbung. Sadar bahaya besar tengah dihadapinya cepat-cepat dia berlutut dan tutup penciuman. Kedua matanya terpejam dan mulut melafatkan sesuatu. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas, lima jari membentuk tinju. Lengan disentakkan ke bawah lalu secepat kilat dihantamkan kembali ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari tangan membuka dan bentakan keras menggelegar dari tenggorokannya!
Tanah di tempat itu mendadak sontak bergetar. Terdengar suara aneh menggemuruh. Ketika tangan dihantamkan ke atas dan lima jari membuka menghempas, suara gemuruh berubah jadi suara ledakan dahsyat seperti gunung meletus. Belasan kuda meringkik. Beberapa sosok tubuh tampak mencelat lalu jatuh terguling-guling. Dua kuda penarik kereta tersungkur, berusaha lari tapi rubuh lagi. Kedua binatang ini akhirnya melosoh begitu di tanah jalanan. Sementara itu debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara!
Pangeran Matahari telah mengeluarkan ilmu pukulan sakti bernama Merapi Meletus yang didapatnya dari kakek sakti di puncak Merapi. Ni Luh Tua Klungkung merasakan isi dada dan perutnya seperti berhamburan keluar ketika terdengar suara gemuruh yang disusul letusan hebat tadi. Jalan darahnya seperti terhenti. Kepalanya seperti dipukuli palu godam. Sekujur tubuhnya mendadak sontak kehilangan daya hingga dia terkapar di tebing jalan dan darah mengalir di sela bibirnya.
Keadaannya antara sadar dan pingsan. Tubuhnya tak berkutik sedikitpun. Keadaannya yang seperti ini menyelamatkannya karena Pangeran Matahari menyangka perempuan tua itu sudah meregang nyawa.
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangan kanannya. Memandang berkeliling dilihatnya Warok Sumo tengah berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada roda kereta. Beberapa pangawal yang selamat segera jatuhkan diri bersila tanda menyerah sedang anggota rampok yang masih hidup tegak menjauh, tak ada yang berani mendekat. Di dalam kereta terdengar suara isak tangis perempuan.
Pangeran Matahari melangkah mendekati kereta lalu membuka pintu samping kendaraan itu. di dalam kereta tempat duduk berpelukan dua orang perempuan. Yang satu berusia sekitar empat puluhan, berparas rupawan dan mengenakan pakaian bagus lengkap dengan segala perhiasan. Perempuan satunya lagi adalah gadis remaja berkulit kuning dan memiliki wajah hampir sama dengan yang lebih tua tetapi tentu saja jauh lebih cantik. Jelas keduanya adalah ibu dan anak.
“Inikah gadis yang bernama Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati itu…?” membatin Pangeran Matahari. Detik pertama dia melihat ibu dan anak itu darahnya tersirap dan jantungnya berdebar keras. Ingatan dan kenangan kembali pada masa dua belas tahun yang silam. Meski waktu sekian lama berlalu, namun dia tak pernah melupakan raut wajah ibunya. Juga paras kakak perempuannya. Kedua perempuan itu ternyata adalah ibu dan kakaknya sendiri. Hampir terlompat ucapan 'ibu' dari mulutnya kalau saja tidak tiba-tiba mendenging suara di liang telinganya.
“Pangeran Matahari! Dengar kata-kataku! Ingat pada pesanku! Melanggar pesan berarti musnahnya segala ilmu yang kau miliki!”
“Guru! Apa maksudmu!” ujar Pangeran Matahari bicara sendiri.
“Bukankah sudah kupesan bahwa kau tidak boleh kembali ke masa lalumu? Kau tidak boleh kembali pada orang tua dan saudara-saudaramu! Siapa kau pada masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Siapa kau sekarang tak seorang pun boleh tahu…”
Sesaat Pangeran Matahari tertegun. Akhirnya dia berkata, “Pesanmu aku ingat. Tapi aku harus menolong kedua perempuan ini. Bagaimanapun dia adalah ibu dan kakakku…!”
“Aku tidak melarangmu menolong mereka. Tapi ingat, jangan sekali-kali mereka mengetahui siapa kau adanya. Sekali kau melangar pesan dan pantangan, kau akan celaka seumur-umur!” suara mengiang lalu lenyap dan kini berganti suara perempuan separuh baya dalam kereta yang duduk ketakutan sambil mendekap puterinya.
“Kami orang-orang istana. Jangan berani mengganggu. Jangan sakiti anakku. Aku istri Sri Baginda yang ketiga…”
“Aku tahu siapa kalian,” menyahuti Pangeran Matahari. “Aku tiak akan mengganggu. Kalian boleh pergi dengan aman. Hanya aku ada beberapa…”
Ucapan Pangeran Matahari itu tiba-tiba dipotong oleh suara Sumo Gantra yang saat itu berdiri di sampingnya, memandang dengan mata berkilat-kilat pada dua perempuan di dalam kereta.
“Pangeran, apa kau lupa maksud dan rencana kita semula? Merampas harta benda dan menculik kedua perempuan ini…?”
Pangeran Matahari palingkan kepalanya, memandang dengan mata mendelik pada Sumo Gantra, membuat kepala rampok hutan Merapi ini jadi bergeming tapi masih berani berkata, “Jika kau tidak inginkan mereka, serahkan padaku…”
“Warok Sumo Gantra! Kau telah salah menyusun rencana. Kau tidak tahu siapa kedua orang ini! kesalahan berarti kematian…!”
Warok Sumo Gantra melangkah mundur. “Apa maksudmu Pangeran? Tak ada rencana yang salah…”
“Orang yang sudah mau mati tak usah banyak bicara!” Pangeran Matahari membentak.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya menggebrak menghantam batok kepala Warok Sumo Gantra. Demikian dekatnya mereka berada dan demikian cepatnya gerakan sang pangeran ditambah ketidak terdugaan bahwa sang pangeran benar-benar hendak membunuhnya membuat Warok Sumo Gantra tak mampu berkelit selamatkan diri. Dia tergelimpang dekat roda kereta dengan kepala pecah! Ibu dan anak pucat pasi dan menggigil ketakutan menyaksikan.
Pangeran Matahari kembali berpaling pada kedua perempuan itu. “Sebelum kalian pergi aku ada beberapa pertanyaan. Apakah Tumenggung Gali Marto masih bertugas di Keraton?”
“Ya… ya... Tumenggung itu memang masih bertugas. Mengapa kau bertanya…?” Yang menjawab adalah Siti Hinggil ibu Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang juga adalah ibu kandung Pangeran Matahari sendiri.
Karena merasa tak perlu menjawab pertanyaan ibunya, Pangeran Matahari ajukan pertanyaan kedua. “Apakah Sri Baginda memperlakukan kalian dengan baik, termasuk putera-puteri kalian…?”
“Ya… kami memang diperlakukan dengan baik. Dari Sri Baginda saaat ini aku hanya punya satu orang putera. Putera tertua hilang sewaktu terjadi bencana gunung meletus dua belas tahun silam. Kalau dia masih hidup… kira-kira seusia mu dia sekarang…”
“Ayahanda memang baik, tapi para pangeran saudara-saudara kami dari permaisuri dan istri kedua bersikap sangat bermusuhan…”
“Mereka semua akan menerima pembalasan!” kata Pangeran Matahari. “Nah sekarang kalian boleh pergi bersama para pengawal yang masih hidup…”
Anak dan ibu itu tampak lega. Puji Lestari malah memberanikan diri bertanya. “Siapakah saudara sebenarnya? Bukankah... Bukankah kau yang jadi pemimpin rombongan rampok penghadang?”
“Namaku Pangeran Matahari. Aku tak ada angkut paut apa-apa dengan monyet-monyet hutan itu…”
“Kalau begitu kau seorang yang baik. Ambillah ini sebagai tanda terima kasihku…”
Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati lalu meloloskan cincin emas bergambar kepala burung Rajawali yang merupakan cap kerajaan dan menyerahkannya ada Pangeran Matahari.
“Aku tidak butuh cincin itu. Kalian berdua silahkan pergi!”
“Jangan berani menampik pemberian orang istana!” Puji Lestari nampak kecewa.
“Kalau kau bukan kakak kandungku tadi-tadi sudah kutampar kau!” kata Pangeran Matahari dalam hati.
Dengan tangan kirinya diambilnya cincin itu lalu dimasukkannya ke jari kelingking tangan kanannya. Sesaat setelah kereta beserta beberapa pengawal meninggalkan tempat itu Pangeran Mataharipun berlalu pula dari situ. Tujuannya adalah Kotaraja. Namun dia sengaja tidak mau mengambil jalan yang sama dengan rombongan ibunya.
ENAM
Ni Luh Tua Klungkung merasakan dadanya masih berdenyut sakit. Disekanya darah yang mulai mengering di sudut bibir lalu dia bangkit dan duduk di pinggir jalan. Memandang berkeliling dilihatnya lebih dari sepuluh mayat bergelimpangan termasuk mayat Sumo Gantra.
Apa yang terjadi dengan kepala rampok hutan Merapi itu? Siapa yang membunuhnya. Di mana kereta berisi istri dan puteri Sri Baginda? Di mana pula pemuda bernama Pangeran Matahari itu? Jangan-jangan dia telah melarikan kereta berikut dua penumpangnya. Sesaat si nenek agak meragu. Kalau dua perempuan itu diculik dan dilarikan, mengapa tak satupun perajurit-perajurit pengawal tertinggal di tempat itu.
“Sesuatu yang aneh telah terjadi…” membatin nenek berbaju biru ini. Tapi yang membuatnya merasa tidak tenang adalah memikirkan kesalamatan istri dan puteri Sri Baginda. Jika sampai terjadi apa-apa dengan kedua perempuan itu, hukuman berat akan diterimanya sebagai pertanggung jawab.
“Empat tahun mengabdi raja, mengapa hari ini nasibku celaka sekali!” si nenek mengomel. Rasa sakit hatinya bukan kepalang. Segala kepandaian berupa ilmu silat dan pukulan sakti yang dimilikinya ternyata tidak berdaya menghadapi seorang pemuda tidak terkenal bernama aneh si Pangeran Matahari itu! Saking kesalnya perempuan tua ini terisak-isak dan pukul-pukul kepalanya sendiri.
“Dari pada malu dan menerima hukuman berat, lebih baik aku bunuh diri saja! Mati lebih pantas dari pada menanggung malu!” Begitu Ni Luh Tua Klungkung menyesali diri. Lalu tangan kanannya yang terkepal dihantamkan ke batok kepalanya sendiri. Nenek nekad ini memang sudah rela untuk mati!
Sekejap lagi batok kepalanya akan hancur tiba-tiba dari belakang ada satu tangan yang memegang lengannya. Dia kerahkan tenaga dan coba berontak. Tapi pegangan itu bukannya lepas malah tambah kencang.
“Kurang ajar! Jangan campuri urusan orang!” si nenek berteriak marah lalu sikut kirinya dihantamkan ke belakang.
Terdengar suara bergedebuk tanda serangannya mengenai sasaran. Tapi orang yang memegang lengannya dari belakang sama sekali tidak keluarkan suara keluhan kesakitan ataupun terdorong dan juga cekalannya masih tetap kencang seperti tadi. Penuh maraha Ni Luh Tua Klungkung palingkan kepalanya.
Seorang pemuda berambut gondrong berikat kepala putih tersenyum padanya dan menegur. “Nenek, di usiamu selanjut ini mengapa masih memikirkan mati dengan cara bunuh diri. Satu dua tahun di muka tanpa dimintapun malaikat maut akan datang menjemputmu!”
Si nenek yang semula terkesiap melihat kegagahan paras pemuda itu, mendengar ucapan itu jadi marah. Dia kembali menyikut tapi luput.
“Lepaskan tanganku! Manusia kurang ajar!”
Si pemuda lepaskan pegangannya. Begitu tangannya bebas Ni Luh Tua Klungkung langsung menyerang. Si pemuda keluarkan siulan nyaring dan berseru. “Nenek, ilmu silatmu boleh juga! Tapi kau sedang terluka di dalam. Jika sampai keluarkan tenaga terlalu besar karena turutkan hawa amarah, kau bisa celaka sendiri!”
Sadar kalau ucapan orang itu memang benar, si nenek bersurut. Sesaat dia tegak dan memandang si pemuda dengan mata marah berkilat-kilat. Tiba-tiba didengarnya pemuda di hadapannya berkata,
“Nek, kulihat kulit mukamu keriput dimakan usia. Tapi mengapa sepasang matamu bagus sekali, masih gadis-gadis remajalah yang seperti itu…..!”
“Kau!” seru Ni Luh Tua Klungkung. Kedua kakinya kembali tersurut. Tubuhnya bergetar. Dia siap mendamprat. Tapi sambil tersenyum pemuda di hadapannya mengulurkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
“Kau terluka di dalam, nek. Cukup parah. Telanlah obat ini!”
“Mana aku tahu itu obat atau racun?!” bentak si nenek. “Ah, kau tidak percaya pertolongan orang!”
“Kenalpun tidak! Tahu-tahu muncul mau menolong! Bukan kustahil kau kawannya Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari! Nama hebat! Siapakah dia? Kekasihmu?!”
“Pemuda kurang ajar! Musuh kau katakan kekasihku!”
Pemuda itu tertawa sambil garuk-garuk kepala. Sekali lagi dia ulurkan tangannya yang memegang benda bulat hijau. “Makanlah agar lukamu sembuh!”
“Tidak!”
“Jika kau tidak percaya lihatlah aku akan kunyah benda ini!”
Lalu si pemuda buka mulutnya lebar-lebar dan tangannya didekatkan ke mulutnya. Mulut itu kemudian tampak komat kamit mengunyah sedang matanya terpejam-pejam. Lalu tenggorakannya tampak seperti menelan.
“Nah, kau lihat sendiri. Aku tidak mati…!”
Si pemuda tertawa gelak-gelak. Memang sikapnya memasukkan obat ke mulut, menguyah dan menelannya hanya pura-pura saja. Ketika dia menuruti membuka tangan kanannya yang tergenggam, benda bulat hijau itu masih ada di sana!
“Matamu tajam dan setua ini ternyata kau masih cerdik nek. Dengar, obat ini hanya tinggal satu-satunya yang kumiliki. Karena hendak menolongmu, mana mungkin aku benar-benar menelannya…!”
“Siapa kau sebenarnya! Terus terang pengalaman mengatakan agar kita berhati-hati terhadap seseorang tak dikenal yang tahu-tahu muncul menunjukkan sikap baik!”
Sepasang mata si nenek menyelidik tampang pemuda ini. Ketika dia memperhatikan pakaian yang tak terkancing, pada dada si pemuda yang terbuka dilihatnya guratan tiga buah angka berwarna biru kehitaman. Dia rasa-rasa pernah mendengar tentang tiga angka itu.
“Namaku Wiro Sableng. Tapi otakku tidak sableng!” si pemuda jelaskan siapa dirinya.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget. “Kau Pendekar 212!” serunya.
Wiro menjura. “Syukur kini kau tahu siapa aku. Kita orang-orang segolongan, kenapa bersikap curiga...”
“Aku… aku hanya…” Si nenek tampak salah tingkah.
“Ini ambillah…” Wiro Sableng ulurkan lagi.
Kali ini si nenek mau mengambil lalu dengan agak malu-malu menelan obat itu.
“Bagus… Bagaimana perasaanmu sekarang nek?”
“Debaran jantungku tidak keras lagi. Aliran darah mulai teratur dan sesak pada dada mulai berkurang. Obatmu ampuh. Aku mengucapkan terima kasih…” Si nenek kembali menunjukkan sikap salah tingkah. “Aku tidak melupakan budi pertolonganmu. Sekarang aku harus pergi…”
“Eh, tunggu dulu!” seru Wiro. “Kau belum menerangkan mengapa tadi kau hampir menempuh jalan sesat bunuh diri. Juga kau belum menerangkan siapa itu manusia bernama Pangeran Matahari. Dan mengapa ada banyak mayat malang melintang di jalan ini. Di antara mereka kulihat perajurit-perajurit kerajaan.”
Setelah meragu sejenak akhirnya Ni Luh Tua Klungkung menceritakan apa yang terjadi. Dalam keadaan pikiran kacau dan takut menerima hukuman berat dari raja sampai nekad hendak bunuh diri.
“Tentang siapa Pangeran Matahari akupun tak tahu banyak. Dia mengaku pimpinan rampok hutan Merapi. Tapi terus terang aku menyangsikan hal itu. Satu hal tak aku lupakan, dia memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Nah, aku sudah jawab semua pertanyaanmu. Aku tak ada waktu lama. Harus cepat-cepat menuju kotaraja guna menyelidik apakah istri Sri Baginda dan puterinya berada di sana atau bagaimana. Sekali lagi terima kasih atas obatmu yang mujarab itu…”
“Satu pertanyaan lagi!” Wiro Sableng cepat buka mulut ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat pergi.
“Apa lagi ini?!” Perempuan tua itu nampak jengkel.
“Dunia ini penuh dengan seribu satu macam keanehan. Terkadang keanehan itu tak pernah terjawab. Salah satu keanehan saat ini terjadi di hadapanku…”
“Apa maksudmu?!” Suara Ni Luh Tua Klungkung bergetar.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersenyum. “Apakah tidak aneh kalau seorang perempuan tua berwajah keriput yang berusia mungkin lebih dari tujuh puluh tahun memiliki sepasang mata yang bagus bercahaya dan sepasang tangan yang berkulit halus…”
Ni Luh Tua Klungkung melompat mundur. Kedua matanya memandang tak berkesip pada si pemuda dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa keluarkan suara apa-apa. Tahu kalau orang sudah tertangkap tangan dalam penyamarannya Wiro lambaikan tangan dan cepat berkata,
“Sudahlah, jangan pikirkan pertanyaan atau ucapanku tadi. Kalau kau melakukan penyamaran kau tentu punya alasan sendiri. Aku tak layak menanyakan alasanmu itu. Jika kau memang bermaksud ke kotaraja, apakah kita bisa jalan bersama…?”
Sebenarnya kalau saja penyamaran dirinya tidak diketahui Wiro, sang nenek tidak akan merasa keberatan untuk sama-sama berangkat ke Surokerto. Dia buru-buru berkata,
“Kalau begitu kita berpisah di sini. Siapa tahu ada umur panjang dan bertemu lagi…” Wiro lalu menjura dan tinggalkan tempat itu. Tinggal kini si nenek tertegak di tengah jalan seorang diri.
“Empat tahun menyamar tak seorangpun mengetahui siapa aku! Tapi pendekar itu sungguh tajam dan cerdik. Sekali bertemu langsung membongkar kedokku! Tolol! Tololnya aku…!” Dia tampar-tampar sendiri keningnya. “Kalau sudah begini, tak ada jalan lain! Aku harus membuat samaran baru!”
Lalu Ni Luh Tua Klungkung tanggalkan pakaian birunya. Di balik pakaian biru itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian ringkas berwarna kelabu. Tangannya digerakkan ke wajahnya. Sehelai kulit tipis yang bersambungan dengan rambutnya yng putih tersingkap. Kini kelihatanlah raut wajah dan rambutnya yang asli. Ternyata si nenek ini aslinya adalah seorang dara berparas jelita dan berambut hitam.
Dari balik balik pakaian kelabunya sang dara keluarkan sebuah topeng kulit tipis, lengkap dengan rambut pendek. Begitu di kenakan ke wajahnya maka berubahlah dia jadi seorang pemuda tampan yang mencerminkan watak keras. Dia pandangi kedua tangannya. Lalu geleng-gelengkan kepala.
“Aku harus melakukan sesuatu dengan tangan ini. kalau tidak penyamaranku pasti akan diketahui orang pula. Apalagi kalau bertemu lagi dengan si Sableng itu!”
TUJUH
Siang itu Tumenggung Gali Marto merasa tidak enak. Yakni sehabisnya seorang utusan istana datang menemuinya. Utusan ini membawa sepucuk surat dari R.A.Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga. Surat itu menjelaskan tentang pertemuan R.A. Siti Hinggil dengan seorang pemuda berkepandaian tinggi, mengaku bernama Pangeran Matahari.
Isi surat memberi peringatan pada sang tumenggung bahwa ada tanda-tanda dari sikap dan air mukanya bertanyakan Tumenggung Gali Marto si pemuda mempunyai satu maksud yang tidak baik. Dalam surat R.A. Siti Hinggil juga menjelaskan peristiwa penghadangan di luar kotaraja.
“Pangeran Matahari…” ujar Tumenggung Gali Marto lalu meletakkan surat di pangkuannya. “Tak pernah kukenal orang dengan nama aneh begitu. Jika dia menunjukkan sikap menolong terhadap R.A. Siti Hinggil dan puterinya bahkan menolong kedua perempuan itu dari Warok Sumo Gantra, mengapa pula dia mengandung maksud yang tidak baik terhadapku? Sulit diterka mengapa dia menanyakan diriku…”
Setelah berpikir lama dan tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya Tumenggung Gali Marto menarik kesimpulan, mungkin sekali pemuda itu menanyakan untuk mencari pekerjaan. Sebagai kepala pengawal atau sebagai perwira muda.
“Tapi…” kata batin sang tumenggung membantah sendiri. “Jika dia memang seorang pangeran, mengapa mempersusah diri dengan mencari pekerjaan…?”
Selesai makan siang itu, Tumenggung Gali Marto pergi duduk di kursi batu di dalam taman di bagian belakang gedung kediamannya. Sambil duduk dan menggelitik telinganya dengan bulu ayam, lelaki berusia hampir setengah abad itu mendengarkan permainan rebab yang digesek oleh seorang tua bermata buta, yang duduk di rumput tak berapa jauh darinya. Suatu saat Tumenggung Gali Marto hentikan mengorek kuping dan berpaling pada orang tua penggesek rebab.
“Akik Tua… Mengapa suara rebabmu tiba-tiba menjadi sumbang?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Yang ditanya tidak menjawab, melainkan beringsut di atas rumput mendekati tumenggung. Setelah dekat diapun berbisik, “Tumenggung, saya mendengar suara orang melangkah mundar-mandir di balik tembok halaman belakang ini…”
Tentu saja Tumenggung Gali Marto terkejut mendengar kata-kata orang tua itu. tapi dia percaya apa yang dikatakan. Sebagai orang cacat buta kedua matanya, Tuhan mengaruniai satu keluar biasaan pada Akik yakni pendengaran yang sangat tajam. Bahkan seorang pesilat tingkat tinggi yang memiliki kesaktianpun kalah hebat pendengarannya dengan si buta ahli penggesek rebab ini. Tumenggung Gali ingat pada surat R.A.Siti Hinggil.
“Apakah orang itu hanya sendiri? Dan apakah dia masih mundar-mandir sepanjang tembok…?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Akik Tua mendongak, memasang telinga sesaat menjawab. “Dia memang sendirian, Tumenggung. Dan masih mundar-madir di sekitar tembok. Seperti menunggu sesuatu…”
Tumenggung Gali Marto campakkan bulu ayam di tangan kanannya lalu berdiri dari kursi batu.
“Hendak ke mana Tumenggung…?”
“Kau tetap di sini Akik. Aku akan menyuruh para pengawal menyelidik. Siapa orang mencurigakan di luar tembok sana…”
Baru saja Tumenggung Gali Marto berkata begitu sesosok tubuh tampak melayang melompati tembok belakang gedung kediaman yang tingginya sekitar tiga tombak. Orang yang barusan melompat ini sebelum menjejakkan kedua kaki di rumput taman membuka mulut menimpali ucapan sang tumenggung tadi.
“Tak perlu susah-susah mencari pengawal. Orang yang kau curigai saat ini telah berada di hadapanmu!”
Tumenggung Gali Marto kaget bukan main. Dia cepat membalik. Empat langkah di hadapannya, tegak di atas undak-undak batu, tampak seorang pemuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada baju yang dikenakannya ada gambar puncak gunung berwarna biru dengan latar belakang matahari merah darah serta sinarnya berupa garis-garis warna kuning. Pemuda tak dikenal bertampang keras angkuh ini tegak bertolak pinggang. Keningnya yang tinggi lebar diikat dengan sehelai kain berwarna merah.
“Kau manusianya yang bernama Gali Marto, berpangkat Tumenggung…?” si pemuda kembali membuka mulut.
Seumur hidupnya tidak pernah Tumenggung Gali Maarto ditegur sekasar itu. behkan Raja sekalipun kalau bicara bersikap sopan dan mempergunakan bahasa yang halus. Kini seorang pemuda tak dikenal bicara begitu kurang ajar terhadapnya. Dengan sendirinya darah naik ke kepala sang tumenggung. Kedua rahangnya menonjol saking geram.
Akik Tua si penggesek rebab yang sudah mencium bakal terjadi hal yang tidak enak bangkit berdiri, terbungkuk-bungkuk berkata pada Tumenggung Gali Marto, “Sebaiknya saya pergi memanggil pengawal…”
“Orang buta!” membentak pemuda berpakaian hitam. “Satu langkah lagi kau berani bergerak, putus nyawamu!”
Baru diancam begitu Akik Tua benar-benar seperti merasa sudah putus nyawanya. “Aku tidak berdosa, tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa ada orang yang ingin membunuhku…?”
“Buta! Ternyata kau terlalu banyak mulut! Aku tidak suka pada manusia banyak omong! Kau berangkat duluan…!”
Pemuda berpakaian hitam pukulkan tangan kirinya. Perlahan saja. Kejap itu terdengar pekik penggesek rebab buta itu. tubuhnya mencelat, terbanting di pilar beranda gedung, jatuh ke tangga dan tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur dari mulutnya.
“Durjana tak berperi kemanusiaan!” teriak Tumenggung Gali Marto marah besar. Dia menyerbu ke depan. Tapi ketika si pemuda itu mengangkat tangan kanannya, serta merta Tumenggung ini merasakan seperti menabrak tembok. Dia tak dapat bergerak mendekati si pemuda.
“Apakah kau berperi-kemanusiaan ketika kau meninggalkan anak lelaki di sekitar Sleman ketika Merapi meletus dua belas tahun lalu?!”
Paras Tumenggung Gali Marto berubah pucat. “Apakah… Jadi, jadi… kau Pangeran Anom yang hilang!” seru sang Tumenggung.
Si pemuda menyeringai “Namaku Pangeran Matahari! Bukan Pangeran Anom…”
“Ah, tidak! Wajahmu jelas mirip Pangeran Anom, putera Sri Baginda yang hilang dalam peristiwa meletusnya gunung Merapi… Betul! Aku ingat sekarang!”
Tumenggung Gali Marto tiba-tiba jatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Pangeran Matahari.
“Pangeran Anom bukannya hilang! Pada saat suasana kacau itu kau bukan melindungi atau menyelamatkannya. Malah meninggalkannya, mencari selamat sendiri! Tentunya pada Sri Baginda kau mengarang cerita bahwa anak itu lenyap waktu berburu, waktu terjadi letusan Merapi. Benar begitu?”
“Saya... saya tidak ingat lagi. Tapi saya yakin kau adalah Pangeran Anom. Saya minta diampuni kalau Pangeran Anom menganggap peristiwa itu sebagai satu kesalahan atau kesengajaan. Saya…”
“Jangan panggil aku Pangeran Anom!” bentak si pemuda. “Namaku Pangeran Matahari!”
“Siapapun kau adanya, saya mohon diampuni…” kata Tumenggung Gali Marto yang tetap yakin pemuda di depannya itu adalah Pangeran Anom yang dua belas tahun lalu terpisah dari rombongan ketika berburu di kaki Merapi.
“Tumenggung Gali Marto! Tahukah kau bahwa dosa kesalahanmu dua belas tahun silam tak bisa diampuni? Dan hanya bisa kau tebus dengan nyawa pengecutmu?!”
“Demi Tuhan saya…”
Kaki kanan Pangeran Matahari bergerak. Tumenggung Gali Marto membuang diri ke samping. Dia selamat dari tendangan maut itu. Namun ketika ada suara mendesis dan Pangeran Matahari dorongkan tangan kirinya perlahan sekali, segulung angin panas menghantam sang tumenggung. Tak ampun lagi orang ini terguling-guling di rumput taman. Tubuhnya tampak hangus. Rumput taman juga kelihatan mengering seperti terpanggang!
Dengan tenang Pangeran Matahari melangkah mendekati mayat Tumenggung Gali Marto. Dari pakaian hitamnya dia mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini dijatuhkannya dan tepat menutupi wajah hitam hangus Tumenggung Gali Marto.
DELAPAN
Seorang punggawa masuk dengan napas terengah-engah dan hampir roboh ketika hendak menjura di hadapan Patih Haryo Unggul. Dia membuka mulut akan mengatakan sesuatu namun nafasnya dan dadanya yang sesak membuat tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Akibatnya dia hanya bisa mengulurkan tangan menyerahkan selembar kertas yang nyaris lusuh serta basah oleh keringatnya. Penuh heran Patih Haryo Unggul mengambil kertas itu. Di situ ternyata terdapat sederetan tulisan berbunyi.
Bagi semua manusia tak berbudi. Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri Pangeran Matahari datang membawa mati!
Sebagai seorang Patih Kerajaan, Haryo Unggul memiliki sifat tegas dan teliti tanpa melupakan perasaan sabar dan sikap lembut terhadap siapa saja. Walau dia tidak segera mengerti apa makna tulisan yang tertera di atas kertas itu namun dia menunggu dengan sabar sampai punggawa yang barusan datang menghadap menjadi tenang dari keletihan dan sesak nafasnya.
Dia maklum punggawa ini datang bukan menunggang kuda, tetapi dengan berlari. Lalu dari ciri-ciri pakaiannya sang Patih mengetahui kalau punggawa ini bertugas di tempat kediaman salah seorang Tumenggung Kerajaan. Setelah merasa cukup memberi waktu maka Patih Haryo Unggulpun menyapa.
“Sekarang terangkan apa yang terjadi. Mengapa kau datang berlari ke mari. Lalu dari mana kau mendapatkan kertas bertulis ini...”
Sang punggawa bersimpuh hormat sekali lagi lalu menajwab, “Saya bertugas di gedung kediaman Tumenggung Gali Marto...” selanjutnya punggawa ini lalu menuturkan apa yang terjadi. “Kertas itu ditemukan di atas jenazah Tumenggung. Sengaja ditinggalkan oleh pembunuh...”
“Kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Patih Haryo Unggul kaget.
Si punggawa gelengkan kepala.
“Peristiwa berdarah luar biasa!” ujar Patih Haryo Unggul. Hatinya terguncang tapi sikapnya tetap tenang.
“Istri Tumenggung Gali Marto minta agar Patih menyampaikan berita dukacita ini ke Istana...”
“Aku tidak akan memberitahu Raja sebelum menyelidik dan tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi. Kematian adalah kematian. Tapi jelas ada sesuatu di balik kematian Tumenggung Gali Marto...” Patih Haryo Unggul membaca kembali tulisan di atas kertas lusuh itu. “Pangeran Matahari. Diakah pembunuhnya? Ancamannya bukan gertakan kosong belaka. Dia telah membuktikan. Tumenggung Gali Marto mati di tangannya.”
Patih Haryo Unggul berpaling pada punggawa dan berkata “Kau boleh pergi. Aku dan pembantu-pembantuku segera berangkat ke tempat kediaman almarhum Tumenggung Gali Marto.”
Baru saja punggawa itu meninggalkan halaman gedung Kepatihan, tiba-tiba masuk seorang perajurit menunggang kuda, langsung menghadap Patih Haryo Unggul.
“Berita buruk untukmu Patih. Berita buruk untuk kita semua. Pangeran Jati Mulyo ditemukan tewas terbunuh siang ini dalam taman istana sebelah timur. Patih diminta datang menghadap Sri Baginda.”
Ketika perajurit itu hendak minta diri, Patih Haryo Unggul segera berkata, “Tunggu, Jangan pergi dulu. Apakah sudah diketahui siapa pembunuh Pangeran Jati Mulyo?"
“Tidak seorangpun tahu. Hanya saja ada keanehan...”
“Keanehan bagaimana?” tanya Patih pula.
“Sepucuk surat ditemukan di atas tubuh Pangeran Jati Mulyo,” menerangkan perajurit itu.
“Hemmmm... Apakah surat itu, seperti ini isinya...?”
Ketika melihat kertas yang diangsurkan Patih Haryo Unggul, si perajurit terbelalak. “Betul Patih... ukuran kertas dan bunyi tulisannya sama dengan ini...”
“Pergilah. Aku akan segera menghadap Raja. Harap sampaikan juga pada Raja bahwa siang ini Tumenggung Gali Marto pun ditemui tewas terbunuh...”
********************
Debu jalanan menggebubu ke udara. Bukan saja menutup pemandangan tapi menyumbat jalan pernafasan. Dua orang perajurit tampak terguling di tengah jalan sambil merintih kesakitan. Satu memegangi kepalanya yang benjol, lainnya mengurut-urut tulang kering kaki kirinya yang remuk.
Di tengah debu dan erang kesakitan itu, dua orang perwira muda tampak bertempur melawan seorang pemuda ramping berpakaian kelabu yang memiliki sepasang tangan aneh karena berwarna coklat seperti dilumuri parem. Jelas dua orang perwira kerajaan itu memiliki kepandaian tinggi. Serangan yang mereka lancarkan bertubi-tubi dan sangat berbahaya.
Namun si pemuda tampak menghadapi dua lawan itu dengan tenang. Dia tak banyak membuat gerakan tapi perubahan tangan dan pergeseran kaki menyebabkan dua lawan kehilangan sasaran dan sekaligus mendapat serangan balasan tak terduga.
“Orang muda! Jika kau tidak mau menyerahkan diri dan siap digeledah, jangan salahkan kalau kami terpaksa pergunakan senjata!” salah seorang perwira muda berteriak. Sejak tadi dia sudah menduga kalau pemuda itu bukan orang sembarangan. Dari pada menempur terus-terusan tanpa hasil, maka kalau senjata yang bicara mungkin lawan dapat ditaklukan.
“Perwira sombong! Bertindak seenaknya! Aku tidak membuat kesalahan apapun! Mengapa harus menyerahkan diri dan harus digeledah?!”
“Kami menjalankan perintah!” menjawab perwira satunya. “Kerajaan dalam bahaya! Pangeran Jati Mulyo dan Tumenggung Gali Marto terbunuh...”
“Lalu apa sangkut pautku dengan kematian mereka?!” tukas si pemuda.
“Setiap orang asing harus diperiksa!”
“Aku bukan orang asing! Aku tinggal di selatan Kotaraja!”
“Dusta! Gerak-gerikmu mencurigakan! Jika tidak bersalah kenapa takut diperiksa dan digeledah?!”
“Jangan samakan aku dengan pencuri atau maling!”
“Kalau begitu mungkin kami harus melukaimu baru menurut!” perwira di sebelah kiri memberi isyarat.
Serentak dia dan temannya lalu mencabut golok berkeluk di pinggang masing-masing. Dengan senjata ini keduanya siap menyerbu kembali. Namun sebelum sempat bergerak, pemuda berbaju abu-abu seudah lebih dahulu melompat di antara keduanya. Tangan kiri kanan bergerak. Dari mulutnya terdengar suara bentakan,
“Lepas!”
Dua buah golok berkeluk mental ke udara. Dua orang perwira kerajaan itu menjerit kesakitan. Keduanya serentak mundur ketika didapati telapak tangan masing-masing telah bengkak lebam merah kebiruan!
Serombongan orang berkuda muncul di tempat itu. Lalu terdengar suara menegur. “Apa yang terjadi di sini?”
Dua orang perwira muda yang tegak kesakitan itu berpaling. Keduanya cepat-cepat menjura ketika mengetahui siapa yang datang.
“Patih Haryo Unggul, kami tengah menjalankan tugas. Pemuda asing ini menolak diperiksa dan digeledah. Malah nyata-nyata berani melawan dan mencelakai kami!” menerangkan satu dari dua perwira itu.
Patih Haryo Unggul menatap sejurus pada pemuda berpakaian kelabu. ”Tidak dapat tidak kau adalah seorang dari dunia persilatan, anak muda. Berarti ada jiwa satria dalam tubuhmu. Tetapi mengapa menolak untuk diperiksa?"
“Karena saya tidak merasa bersalah apa-apa Patih,” jawab pemuda itu.
“Tapi sikapnya mencurigakan!” tukas perwira muda di samping kiri.
“Siapa namamu anak muda?” tanya patih Haryo Unggul.
Yang ditanya tak menjawab, malah balikkan diri hendak melangkah pergi. Namun kepala seekor kuda yang menyorong ke arahnya membuatnya terkejut. Dia melangkah mundur dan dapatkan diri berhadap-hadapan dengan seorang bertubuh tinggi kekar, berpakaian bagus gemerlap, duduk di atas seekor kuda hitam berkilat. Orang yang barusan datang ini bersama beberapa pengiringnya membuka mulut.
“Jika kau tidak mau memberitahukan nama, kau bukan saja hanya dicurigai, tapi layak ditangkap!” lalu orang berpakaian gemerlapan ini menggerakkan kudanya mendekati Patih Haryo Unggul.
“Paman Patih, salam untukmu. Apakah kau mendengar tentang seorang bernama Pangeran Matahari...?”
“Panglima Kotaraja, salam berbalas untukmu. Memang aku ada mendengar tentang nama itu. Tapi hanya sedikit sekali. Aku dalam perjalanan ke Istana menemui Raja...”
“Kita bisa sama-sama menghadap. Namun pemuda satu ini perlu diurus lebih dulu. Bukan mustahil dialah Pangeran Matahari. Hanya seorang berkepandaian sangat tinggi bisa merobohkan Tumenggung Gali Marto dan melewati penjagaan ketat untuk membunuh Pangeran Jati Mulyo...”
Patih Haryo Unggul usap-usap dagunya. Lalu menganggukkan kepala seraya berkata. “Baiklah Panglima. Selesaikan urusan kalian dengan pemuda itu. Tapi ingat. Waktu kita sempit sekali...”
“Tak usah kawatir Paman Patih. Aku hanya perlu sekejapan mata saja untuk meringkus pemuda bermuka pucat ini!” kata penunggang kuda hitam yang ternyata adalah Raden Kertopati, Panglima Kotaraja.
Sang panglima yang percaya akan kemampuannya, tanpa turun dari kudanya ulurkan tangan kanan menotok ke arah punggung pemuda berpakaian kelabu. Gerakannya sungguh cepat. Begitu bahu bergerak, dua ujung jari telah sampai di depan punggung. Tapi dia kecele kalau menduga dapat melumpuhkan pemuda itu dalam sekali totok atau sekejapan mata.
Orang yang hendak ditotok justru melangkah maju setindak hingga totokan hanya mengenai tempat kosong. Tanpa membalikkan diri pemuda itu ulurkan kedua tangannya dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Raden Kertopati. Sebelum sempat berbuat sesuatu sang panglima rasakan tangan dan juga tubuhnya tersentak keras hingga terangkat dari punggung kuda hitam dan mental ke udara!
Belasan mulut keluarkan seruan tertahan karena kaget. Patih Haryo Unggul sendiri beliakkan mata. Bagaimanakah tidak! Sebagai Panglima yang bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, Raden Kertopati diketahui semua orang memiliki kepandaian silat yang tinggi di samping tenaga dalam dan kesaktian.
Kini tokoh yang disegani itu seperti barang mainan, dilemparkan begitu saja oleh seorang pemuda ramping tidak dikenal. Bukan saja si pemuda memiliki nyali besar namun semua orang yang ada di tengah jalan itu, termasuk Patih Haryo Unggul memastikan bahwa si pemuda berpakaian kelabu bukan pula orang sembarangan.
Raden Kertopati sendiri hampir tak percaya ketika dapatkan dirinya terbetot keras dan melayang di udara. Dengan membuat gerakan junkir balik Panglima Kotaraja ini berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki menginjak tanah lebih dahulu dan hampir tanpa suara!
Sepasang bola mata sang panglima tampak mendelik membara. Wajahnya mengelam membesi dan pelipisnya bergerak-gerak. Inilah satu pertanda bahwa Raden Kertopati dilanda gelegak amarah ditambah malu besar!
“Aku yakin kau memang sebenarnya Pangeran Matahari yang menimbulkan kekacauan dengan membunuh Tumenggung Gali Marto serta Pangeran Jati Mulyo!” suara Raden Kertopati keras dan bergetar.
“Keyakinanmu tidak beralasan Panglima...”
“Jika kau dapat membuktikan bahwa kau memang bukan Pangeran Matahari, kami akan melepaskanmu. Kau boleh pergi dengan aman...” yang bicara adalah Patih Haryo Unggul. “Mulailah dengan menerangkan siapa namamu. Lalu dari mana kau datang. Dan apa keperluanmu berada di Kotaraja...”
“Saya tidak dapat memenuhi permintaanmu Patih Kerajaan. Sekarang biarkan saya pergi...” Menjawab si pemuda.
“Kalau kau tidak dapat menerangkan diri dan asal-usul serta keperluanmu berada di Kotaraja, lalu tak dapat pula membuktikan bahwa kau memang tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Tumenggung Gali Marto maka kau akan kami tangkap!”
Mendengar ucapan Patih Haryo Unggul itu si pemuda tampak menjadi gusar. Maka diapun menjawab. “Jika kalian orang-orang Kerajaan hendak menjatuhkan tangan sewenang-wenang, ketahuilah kalian tak akan mendapat apa-apa. Kecuali benjat-benjut atau patah tulang!”
“Pemuda sombong bermulut besar! Berani menantang berani menghina! Patih Haryo Unggul, biarkan aku memisahkan tubuh dan kepalanya dengan kedua tanganku!” berkata Raden Kertopati penuh beringas. Amarah dan rasa malunya tadi masih belum lenyap, kini si pemuda malah berani menganggap enteng dan menghina.
Patih Haryo Unggul hendak mengatakan sesuatu namun belum sempat Raden Kertopati sudah melompat dengan dua tangan terpentang ke arah leher pemuda berpakaian kelabu.
“Patah lehermu!” teriak Raden Kertopati. Justru pada saat itulah terdengar seseorang berseru.
“Aku dapat membuktikan pamuda itu bukan Pangeran Matahari! Bukan pembunuh Tumenggung Gali Marto ataupun Pangeran Jati Mulyo!”
Bersamaan dengan seruan itu, satu hantaman angin menderu keras. Panglima Kotaraja merasakan tubuhnya seperti disapu topan. Sesaat dia coba bertahan. Tubuhnya seperti tergantung di udara namun di lain kejap dia terlempar ke belakang sampai empat langkah. Dadanya bergetar sakit dan wajahnya yang garang tampak pucat!
SEMBILAN
Hemm... ada lagi satu pemuda sinting bernyali besar yang muncul di tempat ini!” menggeram Raden Kertopati seraya pelotokan mata ke arah seorang pemuda berpakaian putih dengan rambut gondrong menjela bahu.
Kalau para perwira muda dan belasan pengiring sang panglima serta pengiring sang patih kini menjadi semakin tertarik menyaksikan apa-apa yang terjadi di tempat itu, sebaliknya diam-diam Patih Haryo Unggul mengeluh dalam hati. Dia ingin lekas-lekas menuju ke Istana, kini mengapa persoalan di tengah jalan ini semakin berpanjang-panjang. Siapa pula si gondrong bertampang cengengesan ini, pikirnya.
“Aku bukan orang sinting. Tapi memang punya nyali untuk melawan tindak-tanduk orang-orang yang kurasa tidak pada tempatnya. Pemuda itu adalah sahabatku! Sejak malam sampai siang tadi aku selalu bersama-samanya. Kami hanya berpisah sebentar saja. Nah bagaimana kalian menuduh dia sebagai pembunuh Tumenggung Gali Marto dan Pangeran Jati Mulyo?”
“Orang muda, kau pandai bicara! Bukan mustahil apa yang kau katakan itu adalah karanganmu belaka!” yang bicara adalah patih haryo Unggul. “Terangkan siapa kau adanya. Juga katakan siapa orang yang kau katakan temanmu ini!”
“Jika yang punya diri tidak mau mengatakan siapa dia, mana mungkin aku berlancang mulut beri keterangan!”
Panglima Kotaraja maju selangkah. “Patih! Dari pada kita bicara tarik urat dengan dua orang gila ini, lebih baik keduanya kita ringkus saja!”
“Tunggu dulu!” seru pemuda gondrong berpakaian putih seraya mendekati pemuda berpakaian kelabu.
“Selagi kalian merepotkan diri dengan kami orang-orang tak bersalah, orang yang kalin cari bebas gentayangan di Kotaraja! Katakan kalian berhasil meringkus kami orang-orang buruk tanpa dosa ini. Tapi bagaimana kalau kesempatan itu digunakan oleh si penyebar maut untuk menimbulkan bencana baru? Membunuh pejabat atau salah seorang putera raja lainnya?”
Mendengar kata-kata itu Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati jadi saling pandang. “Ah! Pemuda pandai bicara ini sengaja hendak menyesatkan kita dengan kata-katanya!” ujar Raden Kertopati.
Patih Haryo Unggul tampak mulai kesal. Dia diam saja seolah-olah menyetujui ketika Raden Kertopati memberi isyarat pada belasan pengiringnya, lalu mendahului menyerbu dua pemuda.
Pemuda berpakaian putih menepuk bahu pemuda berpakaian kelabu seraya berkata, “Sahabat, lebih baik kita pergi saja dari sini. Tak ada guna melayani orang-orang panjang kekuasaan tapi pendek akal!”
Baru saja si gondrong bicara begitu tiba-tiba 'bukk'. Satu jotosan menghantam dadanya. Seorang perajurit terpekik dan terjengkang. Dialah tadi yang memukul. Melihat hal ini Raden Kertopati segera berteriak. “Semua ikut menyerbu! Tangkap dua pemuda itu hidup atau mati!”
Sementara itu Patih Haryo Unggul duduk mengusap dagu penuh masgul di atas punggung kudanya. Dan sang patih bertambah kusut hati dan pikirannya ketika melihat Panglima Kotaraja yang terkenal garang dan tinggi kepandaiannya itu, bahkan dibantu oleh belasan perajurit dan tiga perwira muda ternyata tidak mampu menghadapi gebrakan-gebrakan dua pemuda yang berkelahi saling bertempelan punggung. Ketika belasan senjata mulai dari golok sampai pedang ikut bertabur di udara Patih haryo Unggul tak dapat menahan diri lagi.
“Aku harus melakukan sesuatu. Salah atau benar tindakanku ini biarlah nanti diurus.” Lalu sang patih angkat kedua tangannya ke depan, telapak tangan terkembang. “Panglima dan yang lain-lain, kalian menyingkirlah sebentar!” bersamaan dengan itu Patih Haryo Unggul dorongkan kedua tangannya, perlahan sekali. Tak ada suara angin berkesiuran, tak ada debu atau pasir jalan beterbangan.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Raden Kertopati dan belasan orang yang mengeroyok dua pemuda tampak tergontai-gontai lalu oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan mereka terseret ke samping hingga kini dua pemuda itu berada di tengah kalangan pertempuran, terpisah jauh dari para penyerangnya.
Keluar biasaan itu tidak hanya sampai di situ. Ketika secara perlahan-lahan pula Patih Haryo Unggul menarik kedua tangannya ke belakang, pemuda baju putih dan baju kelabu tersentak kaget ketika dapatkan tubuh masing-masing laksana tersedot. Sadar kalau sang patih berusaha melumpuhkan mereka dengan kesaktiannya, dua pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam.
Pemuda baju kelabu tampak seperti sanggup bertahan dari sedotan yang kuat luar biasa itu. Namun hanya sesaat. Di lain kejap tubuhnya mulai bergetar. Kedua lututnya bergoyang. Sementara itu pemuda gondrong berpakaian putih tampak cucurkan keringat pada wajah dan keningnya ketika pergunakan kemampuan untuk menghadapi kekuatan lawan. Melihat pemuda baju kelabu mulai punah pertahanannya diapun membisiki.
“Kita sama-sama maju ke depan dua langkah. Ikuti arah sedotan. Pada langkah ketiga kita sama-sama menghantam ke arah kuda orang itu. Kerahkan seluruh tenaga dalam. Kau mengerti sahabat?”
Pemuda baju kelabu menjawab dengan anggukan. Begitu si baju putih mulai melangkah, diapun mengikuti. Satu langkah, dua langkah. Pada langkah ketiga kedua pemuda tu sama-sama hantamkan tangan kanan ke arah kuda tunggangan Patih Haryo Unggul.
"Bummm...!"
Tanah di tempat itu laksana digoncang gempa bumi. Langit di sebelah atas seperti hendak runtuh. Tanah dan pasir berhamburan. Daun-daun pepohonan berguguran. Seruan kaget ditingkah ringkik kuda menambah tegangnya suasana. Ketika tanah dan pasir serta debu yang beterbangan jatuh mereda dan keadaan terang kembali, di tanah jalanan tampak dua buah lobang besar. Dan bukan itu saja. Di sebelah kiri pemuda baju kelabu kelihatan terduduk di tanah sambil pegangi dada. Di sampingnya pemuda berpakaian serba putih kelihatan berlutut lalu berdiri dengan tubuh agak sempoyongan. Di bagian lain, seekor kuda tergelimpang dengan tubuh hancur dan darah bergenang di sekitarnya. Inilah kuda tunggangan patih Kerajaan. Dan sang patih sendiri tampak terguling di tengah jalan. Pakaian kebesarannya kotor, lengan kanannya tampak lecet terluka sedang wajahnya pucat seperti kain kafan.
“Mereka lenyap!” terdengar seruan Raden Kertopati.
Semua orang kaget, termasuk Patih Haryo Unggul yang mencoba bangkit sambil tertatih-tatih. Dua pemuda yang sebelumnya berada di tempat itu ternyata memang tak ada lagi di situ!
Patih Haryo Unggul tepuk-tepuk pakaiannya yang kotor oleh debu dan tanah jalanan. Dia geleng-gelengkan kepala, memandang pada Panglima Kotaraja dan berkata “Aku yakin tidak satupun di antara dua pemuda itu adalah Pangeran Matahari! Jika keduanya inginkan jiwaku, mereka dapat membunuhku tadi!
Sayang mereka tak mau memperkenalkan nama. Tapi pukulan yang dilepaskan pemuda berpakaian kelabu itu rasa-rasa pernah kulihat sebelumnya.” Sang patih usap-usap dagunya. “Apa mungkin itu punya hubungan dengan Ni Luh Tua Klungkung...?
Hanya dia yang punya ilmu pukulan seperti itu. Tapi si nenek itu sampai sekarang masih belum ditemukan jenazahnya... Panglima sebaiknya kita segera berangkat ke istana...”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Sesaat dia memandang pada dua lobang besar yang ada di tanah, gelengkan kepala lalu naik ke atas kuda yang dibawakan seorang perajurit. Rombongan itu bergerak cepar menuju istana. Di sebuah tikungan yang menurun, kelihatan seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menyongsong arah rombongan. Ternyata seorang perajurit kepala yang bertugas di istana. Wajahnya pucat, nafasnya mengengah.
“Celaka Patih, celaka Panglima...”
“Apa yang celaka?!” tanya Raden Kertopati tak sabaran.
“Seorang pemuda tak dikenal mengamuk di istana. Dua orang putera Sri Baginda Raja tewas di tangannya. Dia berusaha menerobos ruangan Kancana Wungu yang memisahkan kamar tidur Sri Baginda. Penyerbu tunggal ini semula hendak menerobos untuk membunuh Sri Baginda. Puluhan perajurit dikerahkan untuk melindungi Raja. Mereka dipimpin oleh perwira-perwira tinggi. Namun si penyerbu tunggal kelihatannya tak mungkin dibendung. Sementara Raja berhasil diselamatkan lewat pintu rahasia, belasan perajurit menemui ajal...”
“Celaka Patih...” ujar Panglima Kotaraja.
“Ketika saya meninggalkan istana mendadak muncul dua pemuda. Saya tidak tahu siapa mereka. Tapi tampaknya keduanya mengambil kedudukan di belakang pasukan kita, menanti serangan penyerbu tunggal...”
Sesaat Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati saling pandang. Ketika keduanya menggebrak kuda masing-masing maka rombongan itupun segera menghambur menuju istana.
SEPULUH
Ketika Patih Haryo Unggul serta Panglima Kotaraja bersama rombongan sampai di istana ternyata ratusan perajurit telah mengurung istana di sebelah luar. Di sebelah dalam puluhan lainnya bertempur melawan seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan gambar gunung serta matahari di bagian dada. Pangeran Matahari!
Di lantai berkaparan belasan mayat. Rata-rata mati dalam keadaan mengerikan di salah satu pojok tampak terbujur mayat salah seorang putera Sri Baginda yang dilaporkan terbunuh itu. Lalu pada dinding sebelah dalam yang tadinya bersih kini tampak sederetan tulisan yang kelihatannya ditulis dengan darah!
Bagi semua manusia tak berbudi. Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri. Pangeran Matahari datang membawa mati!
“Patih, lihat gambar matahari di pakaian pemuda berikat kepala merah itu?” berbisik Raden Kertopati. “Aku yakin inilah bangsatnya yang mengaku bernama Pangeran Matahari!”
“Akupun sudah menduga begitu,” jawab Patih Haryo Unggul. “Ada satu yang mengherankanku,” berkata Patih ini lebih lanjut. “Wajah manusia satu ini kenapa mirip-mirip wajah putera-putera Sri Baginda lainnya?”
“Astaga!” Panglima Kotaraja terkejut. “Kau benar Patih...”
“Aku tengah mencari-cari dua pemuda tak dikenal yang dikatakan juga muncul di tempat ini. Apakah kau sudah melihatnya Panglima?”
Pertanyaan Patih Haryo Unggul itu membuat Panglima Kotaraja memandang berkeliling mencari-cari. Sang panglima akhirnya melihat dua pemuda yang sebelumnya bentrokan dengan mereka di tengah jalan. Pemuda baju kelabu dan pemuda berpakaian putih itu berada di barisan belakang puluhan perajurit yang bertahan di pintu masuk kamar tidur Sri Baginda, tegak enak-enakan seolah-olah asyik menonton pembantaian yang dilakukan oleh pemuda berpakaian hitam!
“Patih, jangan-jangan manusia yang mengamuk ini adalah Pangeran...”
Belum selesai ucapan Raden Kertopati itu tiba-tiba dari arah depan ruangan besar masuk seorang bertubuh tinggi kekar tapi melangkah dengan dipapah dua orang perwira muda.
“Siapa yang begini kurang ajar membuat keonaran dan pembunuhan dalam istana Surokerto?!” orang yang barusan datang membentak. Suaranya menggelegar. Tapi untuk bicara itu tampaknya dia harus mengeluarkan tenaga besar. Karena sehabis bicaa nafasnya kelihatan sesak.
“Panglima Besar Kerajaan!” berseru Raden Kertopati. “Kau sedang sakit berat. Mengapa berada di tempat ini!”
Orang tinggi besar itu ternyata adalah Panglima Balatentara Kerajaan Raden Mas Jayengrono menjawab tanpa alihkan pandangan matanya dari otang berpakaian hitam yang masih terus mengamuk di tengah ruangan.
“Mengetahui ada pengacau yang membuat keonaran dan melakukan pembunuhan keji di Kotaraja dan istana Sri Baginda, mana aku bisa enak-enakan berada di atas tempat tidur!”
“Urusan ini biar kami yang menyelesaikan Panglima Besar. Kau harap suka kembali ke tempat kediamanmu!” yang berkata adalah Patih Haryo Unggul.
Tapi Jayengrono mana mau mendengar. Masih dalam keadaan dipapah oleh dua orang perajurit di kiri kanan, dia melangkah ke tengah ajang pertempuran lalu membentak garang, “Semua perajurit Kerajaan mundur!”
Serentak semua penyerbu melompat mundur hingga kini pemuda berikat kepala kain merah berbaju hitam dengan gambar matahari dan gunung di dadanya tinggal sendirian.
“Kau dajalnya yang bernama Pangeran Matahari?!”
Bentakan Panglima Balatentara Kerajaan itu tidak membuat pemuda di tengah ruangan menjadi kecut. Malah dengan congkak dia keluarkan suara tawa bergelak. “Aku bukan dajal!” sahutnya. “Tapi Malaikat Maut yang akan mengambil nyawa manusia-manusia tak berbudi di luar dan di dalam istana! Aku adalah Pangeran Matahari!”
“Hemm... Ukuran apakah yang kau jadikan dasar menentukan seseorang tidak berbudi dan pantas dibunuh seenak perutmu?!” bertanya Jayengrono.
Sementara itu Patih Haryo Unggul dan Kertopati melangkah ke depan dan tegak mendampingi Panglima Balatentara Kerajaan itu.
“Mudah saja, kalau kau memang ingin tahu! Manusia tak berbudi adalah mereka yang menyia-nyiakan kehidupan manusia lainnya bahkan darah daging mereka sendiri. Termasuk manusia-manusia yang hidup penuh rasa iri, berhati bengkok dan ingin mencelakai orang lain, senang jika orang lain mengalami bencana. Termasuk juga manusia-manusia pengkhianat!”
“Kalau memang begitu ukuranmu, jelas kau sendiri termasuk manusia yang harus disingkirkan dari muka bumi. Bukankah kau mencelakai orang lain? Menimbulkan bencana pembunuhan? Dan senang melakukan semua keganasan keji itu?!”
Paras Pangeran Matahari tampak membesi dan merah. Namun dengan segala kecongkakan dia kembali umbar suara tawa bergelak.
“Sebelum mati puaskan dulu tawamu manusia biadab!” berkata Jaengrono.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan suara membentak dahsyat. Kedua tangannya kiri kanan diangkat dan jari telunjuk menusuk lurus ke depan. Terdengar jeritan. Dua perajurit yang memapah Panglima Balatentara Kerajaan mencelat dan roboh di depan kaki para perajurit yang tegak berjejer sepanjang dinding ruangan besar itu. Dada masing-masing kelihatan hangus. Bau sangit daging yang terbakar menebar dalam ruangan itu mebuat suasana yang kini mendadak sesunyi di pekuburan bertambah sangat menegangkan!
Karena kini tak ada lagi yang memapah maka kalau tidak segera ditolong oleh Kertopati dan Patih Haryo Unggul, niscaya Panglima Balatentara Kerajaan itu jatuh terbanting ke lantai.
“Biarkan aku duduk di lantai istana! Manusia durjana ini harus mati di tanganku sekalipun nyawaku ikut melayang!” kata Jayengrono. Gerahamnya bergemeletakan tanda amarahnya sudah mencapai puncak.
“Panglima,” bisik Patih Haryo Unggul. “Biarkan kami yang menyelesaikan urusan ini!”
“Kalian menjauhlah!” bentak Jayengrono beringas. Meskipun sangat mengawatirkan keselamatan Panglima Balatentara itu namun tak ada yang bisa dilakukan sang patih maupun Kertopati. Keduanya dengan terpaksa melangkah menjauh.
“Panglima Kerajaan!” terdengar Pangeran Matahari membuka mulut. “Jadi kau memilih mati dengan cara duduk begitu rupa?! Diberi kesempatan mati terhormat di atas tempat tidur, malah memilih mati seperti gembel!”
Wajah Raden Jayengrono yang pucat sesaat tampak menjadi merah oleh ucapan yang sangat menghina dari Pangeran Matahari. “Mulutmu besar! Sikapmu congkak! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu! Sebelum meregang nyawa apakah kau tak ingin memberitahu siapa kau sebenarnya?!” begitu Panglima Balatentara Kerajaan menjawab ucapan orang.
Pangeran Matahari menyeringai penuh sinis. “Namaku kalian sudah tahu tapi masih ingin bertanya. Sungguh manusia tolol! Tapi aku tak keberatan memberitahu sekali lagi. Namaku Pangeran Matahari. Aku datang dari puncak Merapi! Turun dari puncak gunung untuk membasmi manusia-manusia tolol dan tak berbudi macam semua yang ada di sini...!”
“Cukup!” sentak Jayengrono yang duduk bersila di lantai sambil tangkapkan kedua lengan di depan dada. “Sekarang silahkan perlihatkan kehebatanmu. Aku akan melayanimu dengan duduk di lantai. Manusia bejat sepertimu hanya cukup dilayani cara begini!”
Pangeran Matahari menyeringai. Sepasang matanya membersitkan maut. Didahului bentakan menggeledek dia melompat ke depan. Pada jarak tiga langkah dari hadapan Jayengrono dia menghantam dengan tangan kanan. Tapi seolah-olah dilabrak oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan, sebelum hantamannya sampai, tubuh Pangeran Matahari tampak terpental, hampir tersungkur di lantai kalau dia tidak cepat imbangi diri.
Diam-diam Pangeran Matahari merasa kaget bukan main. Ternyata nama Raden Mas Jayengrono bukan satu nama kosong belaka. Penuh rasa penasaran dan hawa amarah yang mulai menggelegak Pangeran Matahari angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas. Jari membentuk tinju. Lengan ditarik perlahan untuk kemudian dihantamkan ke depan dengan deras sementara jari-jari yang membentuk tinju serentak dilepaskan. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut 'Merapi Meletus'.
Ledakan dahsyat disertai guncangan keras dan hanaman angin panas melanda tubuh Jayengrono yang duduk bersila di lantai. Jelas tampak tubuh Panglima Balatentara itu bergoyang-goyang, tapi hanya sesaat. Di sekitarnya belasan orang berpelantingan. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan erang kesakitan terdengar di mana-mana sementara salah satu bagian atap ruangan besar itu tampak ambrol hangus!
Setelah menguasai keadaan dirinya yang terguncang pukulan lawan tadi tiba-tiba Jayengrono memukul dengan tangan kiri. Terdengar seperti suara ratusan seruling ditiup berbarengan. Lalu angin topan prahara menggempur ke arah Pangeran Matahari. Semula pemuda ini menganggap remeh serangan lawan. Tapi ketika tubuhnya mulai dijalari hawa panas dan terseret, maka diapun berteriak keras dan melompat ke udara. Dari atas dia hantamkan tangan kanan ke bawah ke arah Jayengrono.
Semua orang yang ada di situ tersentak tegang dan berusaha menyingkir ketika tiga sinar mengerikan berkiblat disertai hawa seperti memanggang seluruh isi ruangan. Inilah pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar kuning, hitam dan merah!
Maklum lawan menyerangnya dengan pukulan dahsyat yang bisa membawa maut maka Jayengrono angkat kedua tangannya ke depan dan mendorong sambil kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Terjadilah hal yang sangat hebat. Tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu seperti dibungkus dan dipanggang oleh tiga sinar panas.
Meskipun beberapa lamanya tiga sinar itu seperti tidak sanggup menghantam langsung sosok tubuh Jayengrono, namun daya pertahanan orang ini sedikit demi sedikit manjadi goyah. Tubuhnya mulai mengeluarkan asap. Bibirnya bergetar lalu dari sela bibir tampak ada busah ludah, disusul cairan darah merah!
“Panglima!” seru Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati hampir bersamaan. Kalau sang patih memburu ke arah Jayengrono maka Raden Kertopati melompat ke arah Pangeran Matahari dan menghantam batok kepala pemuda itu dengan jotosan tangan kanan.
Patih Haryo Unggul merasakan tubuhnya menggeletar panas ketika memegang tubuh Jayengrono yang saat itu mulai seperti tidak sadarkan diri. Patih ini kerahkan tenaga dalamnya, tapi tenaga dalam itu teeasa seperti tersedot dan akibatnya tubuhnyapun jadi limbung.
Akan Raden Kertopati nasibnya lebih buruk lagi. Serangan yang dilancarkan penuh amarah yakni berupa hantaman tangan kanan ke batok kepala Pangeran Matahari, membuat dia melupakan pertahanan sendiri. Dadanya yang terbuka menjadi sasaran empuk lawan. Meskipun Pangeran Matahari hanya mendorongkan tangan kirinya sedikit saja, namun karena disertai mantera yang memberikan tenaga dahsyat luar biasa maka tak ampun lagi Panglima Kotaraja itu terpental jauh, begitu terhampar di lantai langsung semburkan darah segar.
Masih untung lelaki itu memiliki daya tahan yang cukup tergembleng hingga tidak menemui ajalnya ataupun pingsan. Dalam keadaan megap-megap dia berusaha duduk bersila untuk mengatur jalan darah dan nafas sertak kerahkan tenaga dalam ke bagian yang terluka di sebelah dalam.
Melihat tiga lawan kuat berada dalam keadaan tak berdaya maka Pangeran Matahari kembali lepaskan pukulan Gerahana Matahari. Kini tak ampun lagi tiga tokoh Kerajaan itu pastilah akan menemui ajalnya!
Namun jika Tuhan belum menghendaki, tak seorangpun akan menemui kematian! Di saat yang sangat kritis itu dari sudut ruangan tiba-tiba berkiblat sinar putih menyilaukan seperti seduhan perak. Dari sudut lain menggebubu angin laksana punting beliung.
"Bummm! Bummm...!"
Suara dua kali ledakan disusul dengan robohnya sebagian atap ruangan membuat semua orang menjadi geger. Sosok tubuh Jayengrono tampak bergetar hebat namun selubungan pukulan Gerhana Matahari yang tadi seperti membungkus tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu kini tak kelihatan lagi.
Patih haryo Unggul yang tadi berada di bawah pengaruh hawa panas pukulan sakti Pangeran Matahari terbanting ke lantai, dan dia selamat dari luka dalam yang parah. Sementara itu Panglima Kotaraja dalam keadaan cidera merangkak menjauhi kalangan pertempuran. Seorang bawahannya cepat membantu dan memapahnya ke satu sudut yang aman.
Di tengah kalangan pertempuran Pangeran Matahari nampak duduk bersila. Dadanya turun naik cepat sekali. Dia kerahkan tenaga dalam untuk mengatur jalan nafas dan darah. Meskipun tidak mendapat cidera apa-apa namun adanya dua pukulan sakti yang tadi menyusup dan menghantam pukulan Gerahana Matahari yang dilepaskannya telah membuat tubuhnya terguncang keras, jalan darahnya menjadi kacau, pemandangannya berkunang, kepala pening dan dadanya sesak.
Memandang ke depan dilihatnya dua orang pemuda tak dikenal tegak di tengah ruangan. Yang satu bersikap waspada memasang kuda-kuda, berpakaian kelabu dan bertubuh ramping. Satunya lagi tegak dengan wajah menyeringai sambil menggaruk kepalanya beberapa kali. Sebelum Pangeran Matahari sempat membentak, pemuda berambut gondrong talah membuka mulut, ditujukan pada Patih haryo Unggul.
“Patih Kerajaan, agar salah sangka dan curiga di antara kita dapat dijernihkan, aku mohon izinmu untuk menyingkirkan pembunuh biadab bertopeng iblis yang hebat budi itu!”
“Ah, dua pemuda itu...” desis Patih Haryo Unggul.
Panglima Balatentara Kerajaan buka matanya lebar-lebar dan berbisik pada Haryo Unggul. “Kau kenal dua pemuda asing itu Patih? Siapa mereka?”
“Waktu kita sangat sempit. Nanti saja aku ceritakan. Sebelumnya aku sempat menjajagi ketinggian ilmu keduanya. Dalam keadaan kita semua cidera begini rupa, jika kau setuju aku akan mengabulkan permintaan mereka. Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tak kenal mereka. Tapi aku percaya padamu!”
Mandapat persetujuan itu maka Patih Haryo Unggul mengangkat tangannya, memberi isyarat tanda persetujuan, sementara Raden Kertopati terduduk di sudut ruangan dengan harap-harap cemas.
SEBELAS
Mengetahui Patih Kerajaan dan yang lain-lain mengabulkan permintaannya maka dua pemuda di tengah ruangan berpaling menghadapi Pangeran Matahari. Sesaat tiga pemuda itu saling pandang tanpa berkesip. Pangeran Matahari membentak lebih dahulu.
Dua ekor monyet kesasar. Katakan siapa kalian sebelum kukirim ke neraka menghadap raja monyet!”
“Walah!,” menyahuti pemuda gondrong sambil tertawa lebar, membuat semua yang menyaksikan menjadi heran, apakah si gondrong ini masih belum mengerti dengan siapa sebenarnya di berhadapan?! “Raja monyet di neraka justru mengutus kami untuk menjemputmu! Jika kau membunuh kami berdua, siapa yang menjadi penunjuk jalanmu menuju neraka?!”
Dalam keadaan lain ucapan pemuda itu mungkin dianggap lucu dan menimbulkan gelak tawa. Tapi dalam suasana tegang seperti itu, tak satupun yang tertawa atau tersenyum. Semua semakin tegang. Pangeran Matahari sendiri tampaknya merasa seperti ditempelak hingga tampangnya yang congkak kelihatan mengelam dan rahangnya menggembung.
Tapi sesuai dengan segala akal, segala kecerdikan dan segala kelicikan yang ditanamkan gurunya dalam dirinya, dia sudah mencium bahwa menghadapi dua pemuda tak dikenal ini sekaligus sangat berbahaya baginya. Ini telah dibuktikan bagaimana dua pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup meredam bahkan memusnahkan pukulan Gerahana Mataharinya. Dalam hati dia mulai menduga-duga siapa adanya dua pemuda ini.
“Rupanya aku salah sangka. Kukira kalian dua ekor monyet kesasar, ternyata dua ekor babi peliharaan Kerajaan yang hendak mencoba jadi pahlawan!”
“Sahabatku,” berkata pemuda berpakai putih kepada kawannya si baju kelabu. “Menurutku manusia satu ini keberatan nama. Seharusnya dia tidak usah memakai sebutan Pangeran kalau isi perutnya hanya sampah busuk belaka. Tapi kalau kudengar kata-katanya sejak tadi, dia pantas menjadi seorang pemain sendiwara picisan atau penyair butut. Bagaimana pendapatmu?!”
Si baju kelabu tertawa gelak-gelak, membuat Pangeran Matahari seperti panas terbakar. “Pangeran keranjang sampah!” begitu si kelabu membentak. “Kau telah memulai segala kekjian dan kebiadaban! Hari ini kami akan mengubur semua itu bersama bangkaimu!”
“Tentu saja kalau bangkainya masih utuh, sahabatku!” menimpali si gondrong. “Kalau nanti ternyata telah seperti daging cincangan pergedel, jangan salahkan aku yag tak bisa menguburnya!”
“Bangsat bermulut besar!” bentak Pangeran Matahari marah sekali. “Kau gondrong majulah lebih dulu!” Selagi membentak itu Pangean Matahari sudah melompat lebih dahulu seperti tidak memberi kesempatan pada lawan. Tubuhnya tahu-tahu sudah berada dua langkah dari hadapan lawan dan tangan kanan menjotos laksana kilat ke pelipis si baju putih.
“Pecah kepalamu!” teriak Pangeran Matahari.
“Hancur tanganmu!” balas si baju putih. Lalu tangan kanannya menabas ke atas, menyongsong lengan lawan. Bentrokan dua lengan tidak terhidarkan lagi.
"Bukkkk...!"
Si gondrong berpakaian putih terhenyak di lantai. Lengan kanannya tampak bengkak membiru. Dadanya mendenyut sakit dan telinganya berdenging panas. Baju putihnya yang tidak terkacing tersibak lebar. Dada dan perutnya tersingkap. Pada dada kelihatan guratan tiga buah angka 212. Sedang di pinggangnya tampak tersisip sebilah senjata aneh berbentuk kapak bermata dua!
Pangeran Matahari yang saat itu tegak tersandar ke dinding sambil mengatur aliran darahnya yang seperti tak menentu akibat bentrokan tadi terkejut beliakkan mata ketika melihat tiga buah angka dan senjata yang tersisip di pinggang pemuda lawannya.
“Tak bisa tidak pemuda ini adalah yang diceritakan guru padaku. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kalau tidak kusingkirkan keparat ini sekarang-sekarang, pasti bisa merepotkan!” menyadari hal ini Pangeran Matahari lalu alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Tapi betapa terkejutnya pemuda ini ketika dapatkan ada sesuatu yang tak beres dengan tangan kanannya. Ternyata akibat bentrokan lengan dengan Pandekar 212 Wiro Sableng tadi pembuluh darahnya ada yang terjepit hingga jalan darah ke lengan dan tangan menjadi tidak lancar.
“Keparat celaka!” memaki Pangeran Matahari dalam hati. “Sehebat inikah pemuda gondrong ini? Tak salah kalau guru menasihatkan agar aku berhati-hati terhadapnya. Tak ada jalan lain, kelicikan harus kupergunakan!” Maka Pangeran Matahari alihkan aliran tenaga dalamnya ke tangan kiri. Diam-diam dia menyiapkan pukulan Gerahan Matahari. Kalau tadi dikeroyok dua dia memang tidak mampu, sekarang satu lawan satu masakan pemuda itu tak dapat dirobohkan.
“Saudara!” Pangeran Matahari menegur dengan sikap lembut disertai gerakan menjura dan maju dua langkah. “Melihat tiga buah angka di dadamu dan Kapak Maut Naga Geni 212 tersisip di pinggangmu, ternyata kita adalah sahabat segolongan. Gurumu Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede masih saudara dekat guruku. Maafkan kalau hari ini aku telah bertindak yang tidak menyenangkanmu!”
Tentu saja Pandekar 212 Wiro Sableng kaget bukan main mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu. Kalau memang guru pemuda itu tidak punya hubungan dengan dengan gurunya sendiri, bagaimana mungkin dia tahu tentang dirinya dan Eyang Sinto Gendeng. Sesaat Wiro Sableng hanya tegak tertegun.
Pangeran Matahari datang lebih dekat. Sekali lagi dia menjura seraya berkata. “Harap maafkan keteledoranku. Segala dosa akan kutanggung di hadapan guru. Aku harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku ingin sekali menemuimu...”
Habis berkata begitu sekali lagi Pangeran Matahari menjura. Kali ini lebih dalam. Tetapi tiba-tiba dengan sangat cepat tangan kirinya menghantam. Sinar merah, kuning dan hitam untuk kesekian kalinya berkiblat dalam ruangan besar itu disertai suara menggelegar. Orang banyak menyingkir sambil berteriak kaget dan ketakutan.
“Pembokong pengecut!” teriak pemuda berbaju kelabu. Dari samping dia lepaskan pukulan sakti beracun yang mengeluarkan asap kuning berbau harum. Pukulan ini lebih hebat dan ganas daripada kalau dilancarkan dengan jalan meniupkan mulut.
Namun segala kehebatan yang dimiliki pukulan sakti itu tiada gunanya karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari yakni pukulan Gerhana Matahari telah lewat lebih dahulu, menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng di seberang sana!
“Edan!” teriak Wiro Sableng. Dia telah menyaksikan kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Mendapat serangan begitu tak terduga Pendekar dari Gunung Gede ini tak bisa berbuat lain daripada jatuhkan diri hampir sama rata ke lantai, lalu balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga dalam dan sekaligus dua tangan!
Seperti diketahui pukulan sakti Gerhana Matahari bersumber pada hawa panas. Begitu juga pukulan Sinar Matahari. Akibat panas bertemu panas maka terjadilah satu dentuman yang menggelegar disertai cipratan lidah-lidah api yang menyambar ke pelbagai penjuru!
Kobaran api yang disertai asap tebal menutup pemandangan memenuhi tempat itu. orang banyak berpekikan dan selamatkan diri masing-masing, termasuk Raden Kertopati, Raden Mas jayengrono dan Patih haryo Unggul.
Pemuda berpakaian kelabu merasakan ada orang menarik tangannya dalam kegelapan asap tebal yang menutup pemandangan.
“Sahabat, mari kita pergi dari sini!” Mengenali itu adalah suara Pendekar 212 Wiro Sableng, maka pemuda itu mengikut saja. Keduanya berlari ke arah timur. Di sebuah bukit di pinggiran Kotaraja mereka berhenti. Dari tempat itu dapat disaksikan bagaimana api masih terus berkobar dan melalap istana.
“Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajak aku meninggalkan istana! Urusan kita dengan Pangeran Matahari masih belum selesai...” Berkata pemuda baju kelabu.
“Memang belum selesai,” sahut Wiro. “Tapi kalau manusia itu sudah kabur, buat apa berlama-lama berada di istana yang tengah dimakan api itu?”
“Siapa manusia jahat itu sebenarnya?”
“Sukar diduga kalau tidak diselidiki. Tapi satu hal sudah pasti. Dunia persilatan kini dilanda malapetaka baru. Dan Pangeran Matahari jadi biang racunnya!”
Pemuda ramping berpakaian kelabu termangu sesaat. Lalu dia bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau aku adalah juga nenek keriput yang tempo hari kau temui menangis hendak bunuh diri?”
Wiro Sableng tertawa lebar. “Penyamaranmu kali ini cukup bagus, sahabat. Hanya saja kau masih melupakan sesuatu. Aku curiga ketika melihat sepasang tanganmu yang sengaja dilumuri lumpur sampai mengering. Jelas kau menyembunyikan sesuatu. Kalau dulu sewaktu jadi nenek perot itu kau memakai nama Ni Luh Tua Klungkung, siapa nama palsu mu sebagai seorang pemuda bertampang banci saat ini?!”
Pemuda berpakaian kelabu yang sebenarnya adalah seorang gadis itu dan menyembunyikan wajah aslinya di balik sehelai topeng tipis hanya bisa tertawa kecut.
“Apakah kau tidak akan kembali mengabdi pada Sri baginda?” bertanya Wiro.
Yang ditanya menggeleng. “Aku telah membuat kelalaian dan kesalahan besar. Bagaimana mungkin kembali mengabdi. Aku memutuskan untuk mengembara ke timur. Kau sendiri mau ke mana sekarang?”
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Biarlah aku seiring seperjalanan menuju timur. Sampai satu hari kau merasa bosan dan menyuruhku minggat!”
Kedua pemuda itu menuruni bukit, lari ke arah timur. Di atas mereka matahari bersinar terik. Mau tak mau mengingatkan kedua orang ini kembali pada Pangeran Matahari. Bencana apa lagi yang hendak ditebarnya kelak?
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar