WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : PANGLIMA BURONAN
Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap tak berkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri Baginda akhirnya bersuara juga.
“Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu...!”
“Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takut untuk menyampaikannya.”
“Kalau untuk kebenaran mengapa takut? Hanya saja, apakah kau punya bukti-bukti nyata? Saksi-saksi...?”
“Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup,” sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. “Sekian puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?”
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar. “Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau sampaikan saat ini ternyata tidak benar...?” Sang raja bertanya seolah-olah ingin menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.
“Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda,” jawab Jayengrono. “Untuk itu saya bersedia dipancung...”
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata, “Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
“Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!” Tiba-tiba saja Sri Baginda menjawab tegas.
“Itukah keputusan Sri Baginda?” bertanya Jayengrono.
“Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan perlu di hukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu...”
“Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda...”
“Hem... Apa maksudmu Raden Mas?”
“Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan. Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas-ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam...”
“Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak...”
“Saya harapkan begitu,” kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.
Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata, “Ada rombongan datang...”
Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.
“Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita...”
“Menangkap kita?!” kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.
“Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!”
“Tapi apa salah kita?!” tukas sang puteri dengan mata membelalak.
Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab, “Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan seribu satu kesalahan pada diri kita...”
“Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!”
“Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut dan fitnah!”
“Saya akan mengusir manusia gila itu!” kata Raden Ayu Puji Lestari setengah berteriak.
“Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib begini...”
Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depan itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.
“Raden Ajeng...” Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu karena Siti Hinggil lebih cepat memotong.
“Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puteriku siap untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di penjara!”
Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.
Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itu dibatalkan.
Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono. Wajahnya sinis ketika berkata, “Tentunya kau puas sekarang Raden Mas! Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!”
Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari memandang pada ibunya dan bertanya, “Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara itu. Memangnya... apa yang pernah dimintanya padamu?”
Siti Hinggil menggelengkan kepala. “Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui, Puji...”
Tapi sang puteri malah mendesak, “Kau harus menceritakan padaku ibu!”
“Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib kita...”
“Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk,” menyahuti Puji Letari.
Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. “Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini...”
“Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan...”
Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit. “Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan?!”
Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran Matahari beberapa waktu lalu.
Malam yang indah dihiasi bulan purnama empat belas hari itu berubah menjadi kelam pekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada henti, mengeluarkan suara menggidikkan dan menebar hawa dingin mencucuk tulang. Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali enam tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur dan lemari.
Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan yang menyekap dan memenjarakan istri Sri Baginda yang ketiga itu. Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-satunya kursi dalam kamar. Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekali tidak merasa takut disekap seperti ini. Namun yang dikawatirkannya adalah keadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji Lestari ditahan di kamar yang terpisah.
Sebelum Panglima Jayengrono memerintahkan pengawal menutup dan mengunci pintu kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat melontarkan ancaman, “Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku, aku bersumpah akan membunuhmu Jayengrono!” Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama sang panglima di hadapan para pengawal.
Sambil tersenyum Jayengrono menjawab, “Di antara kita, kalau ada yang harus mati mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng! Kecuali jika kau merubah pikiranmu dan memenuhi permintaanku tempo hari...”
“Manusia biadab!” hardik Siti Hinggil.
“Perempuan tolol!” dengus Jayengrono. Lalu pintu yang masih belum ditutupkan itu ditendangnya dengan keras.
Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara tambah dingin. Hujan mulai turun. Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah manjadi sangat lebat. Siti Hinggil masih duduk di atas kursi dengan mata sembab. Tubuhnya sangat letih, seharian itu tak sepotong makanan pun masuk ke dalam perutnya meskipun beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih yang disentuhnya. Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua matanya tak bisa dipicingkan. Ingatannya selalu tertuju pada puterinya.
Dalam keadaan seperti itu mendadak sepasang mata Siti Hinggil terbuka lebar. Membelalak. Menatap ke arah dinding batu ruangan di mana dia disekap. Seperti tidak percaya pada penglihatannya, atau menyangka mungkin dia bermimpi, perempuan ini mengucak-ucak kedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi. Dinding batu tebal itu memang berputar ke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran setengah pintu dan sesosok tubuh muncul dengan tersenyum. Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!
“Aku datang menepati janji, Siti...” kata lelaki itu lalu dengan tangan kirinya mendorong batu yang berputar hingga tertutup rapat kembali.
“Apa maksudmu?!” sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.
“Apa kau tidak ingat pembicaraan kita dua minggu lalu? Waktu aku datang ke tempat kediamanmu? Kau akan kutahan di tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku bisa masuk ke mari melalui pintu tahasia itu. Tak ada yang melihat. Tak seorangpun tahu. Dan kita bisa melakukan seperti masa delapan belas tahun silam Siti. Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu. Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang...”
“Lelaki keparat! Keluar kau dari sini...!”
“Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun aku adalah kekasihmu atau paling tidak kita pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari itu hubungan kita di masa lalu menghasilkan dua orang turunan. Anom dan Puji...”
“Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini kataku! Atau aku akan menjerit!” Siti Hinggil mengancam.
Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu tak ada yang bakal dapat mendengar...” sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke arah meja kecil di mana terletak makanan. “Hemm... Kau tak mau makan rupanya. Jangan menyiksa diri. Nanti kau bisa sakit...”
“Beri aku racun! Aku tidak takut mati!”
Jayengrono tersenyum, lalu duduk di tepi ranjang bertilam bagus. Saat itu dia mengenakan pakaian berbentuk jubah putih. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Siti Hinggil.
“Kau mau bukan, Siti...?” terdengar suara Jayengrono setengah berbisik.
Siti Hinggil tegak bersandar di sudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai menangis. Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati perempuan itu. Mencoba merangkulnya tapi dadanya didorong kuat-kuat hingga dia terjajar ke belakang.
“Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalah hukumanmu tak akan berat. Bahkan aku akan membatalkan sidang pengadilan para sesepuh. Minggu di muka kau boleh meninggalkan tempat ini...”
“Busuk...! Manusia busuk! Apakah kau masih belum mau bertobat? Apakah kau tuli dan hatimu seperti batu hingga tidak mau mendengar ucapan orang? Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu! Keluar dari sini atau bunuh aku saat ini juga!”
Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Tiba-tiba kembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini berhasil. Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah Siti Hinggil. Perempuan ini meronta berusaha membebaskan diri. Namun tubuhnya yang lemah memiliki keterbatasan untuk bertahan dan melepaskan diri. Kemben, angkin dan kainnya terlepas. Tubuhnya didorong ke atas ranjang hingga jatuh terlentang, hampir tak kuasa untuk berdiri lagi.
Saat itu dilihatnya lelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apa-apa lagi! Siti Hinggil menjerit dan nekad. Tangan kanannya menyambar ke bawah ketika Jayengrono berusaha menindihnya. Tangan berkuku panjang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan itu yang ganti menjerit! Tubuhnya sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia bergulingan di lantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah putihnya kembali.
Sebelum meninggalkan kamar itu lewat pintu rahasia di dinding dia masih sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah Siti Hinggil seraya berkata, “Kali ini aku gagal. Tapi jangan kira aku tak bisa mendapatkan apa yang aku ingin! Dan sekali hal itu kesampaian kau akan kusingkirkan! Perempuan tolol! Perempuan gila!”
“Manusia dajal! Terkutuk kau selama- lamanya!” teriak Siti Hinggil.
Lalu perempuan ini melompat. Berusaha menerobos melaui pintu rahasia dinding yang masih terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itu lebih dahulu menutup. Dan kini di hadapannya adalah dinding polos belaka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya pintu di tempat itu. Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosoh ke lantai.
Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya sambil menghatur sembah, Sri Baginda tersenyum lebar. Tapi Kertopati tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi kekalutan pikiran, kegundahan hati dan ketidak tenangan.
“Lebih dari seminggu aku tidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu. Apakah sudah pulih benar...?” menegur Sri Baginda.
Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar, “Terima kasih atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belum pulih benar. Namun dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima kasih Sri Baginda...”
Setelah Raden Kertopati mengambil tempat duduk di hadapannya maka bertanyalah Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap. “Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Kotaraja yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar adanya menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak kita hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah...”
“Aku gembira mendengar laporanmu Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak boleh berlaku lengah. Meskipun pemberontakan orang-orang di utara telah kita padamkan, aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga-jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbang arah utara. Nah, mungkin masih ada urusan atau keperluan lain yang hendak kau sampaikan...?”
“Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini saya harapkan maaf terlebih dahulu karena ini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda...”
“Aku sudah dapat meraba apa yang hendak kau sampaikan,” berkata Sri Baginda. “Soal penahanan istriku Siti Hinggil dan puterinya Puji Lestari. Betul?”
“Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan...”
“Kalau persoalan itu silakan kau menghubungi Panglima Kerajaan Raden Mas Jayengrono...”
“Saya maklum hal itu Sri Baginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih baik bertemu dan bicara langsung dengan Sri Baginda saja...”
Sri Baginda berdiri dari kursinya. “Tubuhku letih sekali Kertopati dan aku tak ingin membicarakan soal penahanan anak istriku. Kau boleh menghadapku lain kali. Tapi ingat, bukan untuk urusan yang satu itu...”
Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja membalikkan tubuh, Kepala Pasukan Kotaraja ini berkata, “Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani membantah. Saya hanya akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan nanti akan menjatuhkan putusan keliru. Menjatuhkan hukuman pada orang-orang yang tidak bersalah.” Habis berkata begitu Kertopati membungkuk hormat lalu melangkah surut mengundurkan diri.
Sesaat Sri Baginda tegak termangu, menatap wajah Kertopati lalu melambaikan tangannya. “Katakan apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan. Rupanya kau mengetahui sesuatu Kertopati?”
Raden Kertopati mengangguk. “Bolehkah kita bicara berdua saja Sri Baginda?”
“Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati. Tapi tak apa. Kukabulkan permintaanmu...”
Sri Baginda memandang kepada dua orang pengawal yang sejak tadi tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura lalu meninggalkan ruangan. Tapi salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pintu dan mendekam di belakang hordeng beludru hitam kebiruan.
“Nah, sekarang hanya kita berdua Kertopati. “Katakan urusanmu!” berkata Sri Baginda.
“Saya mendapat kabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itu betul Sri Baginda?”
“Betul dan disertai saksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiri di sidang pengadilan para sesepuh...”
“Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada kemungkinan Raden Ajeng dan Raden Ayu mempunyai hubungan dengan para pemberontak di utara melalui Pangeran Matahari itu...”
“Itu juga betul!”
“Sri Baginda, sampai saat ini kita belum mampu mengetahui siapa sebenarnya Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu ke istana. Mengapa dia membunuh Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dua orang putera Sri Baginda tercinta...”
“Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang perajurit apakah kau tidak bisa mengerti hal itu?!” Sri Baginda tampak gusar. Nada suaranya keras.
“Mohon maaf mu Sri Baginda. Seperti tadi saya katakan, sebenarnya tidak satu pun di antara kita yang mampu menyingkap apa latar belakang kejahatan yang dilakukan pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang menobatkan diri sebagai seorang pangeran bernama Pangeran Matahari. Mungkin juga dia memiliki dendam kesumat terhadap istana dan orang-orang tertentu di Kerajaan ini”
“Dia bersekutu dengan anak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar belakang perbuatannya!”
“Hanya karena cincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda...?”
“Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!”
“Mengenai cincin itu saya punya cerita sendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia mendengar penuturan saya...”
“Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui Kertopati. Asalkan benar!” sahut Sri Baginda pula.
“Sekitar dua bulan lalu, ketika Raden Ajeng dan Raden Ayu kembali dari luar kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Sumo Gantra...”
“Aku tahu peristiwa itu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu Kertopati.”
“Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang yang dibawa dan lekat di tubuh Raden Ajeng dan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampok-perampok itu hendak menculik istri dan putri Sri Baginda. Mungkin sekali Warok Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahaya itu Raden Ajeng dan Raden Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. Yaitu Pangeran Matahari itu. Warok Sumo Gantra dibunuhnya...”
“Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua Klungkung!” menyambung Sri Baginda.
Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata, “Hal yang satu ini masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu mati dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah ditemukan?”
Sri Baginda terdiam. “Bukan tidak mungkin Ni Luh Tua Klungkung berserikat dengan Pangeran Matahari. Dia memberi kisikan bahwa rombongan istana akan lewat jalan itu...”
“Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk membuktikannya. Dalam rangkaian semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden Ajeng tidak berkomplot dengan Pangeran Matahari. Cincin burung rajawali itu diberikan Raden Ayu pada Pangeran Matahari sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya...”
“Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”
“Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda.”
“Kau tidak berada di tempat kejadian itu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal itu?”
“Karena beberapa pengawal yang masih hidup dan kusir kereta yang menceritakannya pada saya, Sri Baginda...”
“Ini benar-benar satu hal baru bagiku. Sulit dipercaya!” kata sang raja seraya bangkit dari kursi lalu melangkah mundar-mandir.
“Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayai keterangan yang menuduh Raden Ajeng dan Raden Ayu berbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayai keterangan saya...?”
“Semua harus dibuktikan Kertopati!”
“Saya setuju...”
“Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh para sesepuh Kerajaan!”
“Mengapa harus menunggu sidang pengadilan? Kita bisa memanggil kusir kereta dan pengawal-pengawal itu untuk memberi kesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng dan Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk berbuat yang tidak dilakukannya, saya kawatir kesehatan dan pikiran mereka akan terganggu...”
Sang raja jadi terdiam dan termangu.
“Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan sesuatu? Melepaskan dulu istri dan puteri Sri Baginda sampai ada kejelasan bahwa mereka benar-benar bersalah?”
“Aku butuh waktu untuk melakukan penyelidikan tersendiri sebelum menempuh jalan itu...”
“Terserah Sri Baginda, asalkan jangan terlalu lama. Kasihan Raden Ajeng dan Raden Ayu...”
“Ada lagi yang hendak kau sampaikan Kertopati?” bertanya Sri Baginda.
Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak. Apakah akan diceritakannya hubungan gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri Baginda yang ketiga itu? Yang tanpa setahu Sri Baginda telah membuahi dua orang anak tidak syah yaitu Pangeran Anom dan Puji Lestari? Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah dan pesan gurunya di Banten ketika hendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata,
“Muridku Kertopati, sudah banyak ilmu dan wejangan yang kau terima. Masih ada satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi lelaki kotoran di mulut. Karena itu selalulah kau sengaja menjaga mulutmu sebaik-baiknya. Mulut kamu harimau kamu. Jangan sekali-kali menceritakan aib seseorang pada orang lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah mungkin dapat menimbulkan pertumpahan darah sekerajaan...”
Mengingat sampai di situ maka Raden Kertopati lalu menjawab pertanyaan Sri Baginda.
“Tak ada lagi yang akan saya sampaikan. Saya mohon diri dan siap sedia dipanggil setiap saat...”
“Kau boleh pergi.”
Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai di pintu. Dia sama sekali seperti tidak melihat ada seseorang yang mendekam di balik hordeng besar hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini tentu saja tidak mudah ditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat pintu. Tapi dia sengaja berpura-pura tidak tahu!
Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan dalam untuk beristirahat, Raden Kertopati yang melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkan diri dan masuk kembali ke dalam istana. Ketika sampai di ruangan dalam, dua orang pengawal raja baru saja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah seorang dari mereka dan langsung mencekal lehernya. Tentu saja pengawal ini menjadi kaget dan pucat wajahnya.
“Ra... raden...” suaranya tersengal saking kerasnya cekikan Kertopati.
“Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di balik tirai dan mencuri dengan pembicaraanku dengan Sri Baginda?!” bertanya Kertopati sementara pengawal kedua tegak tertegun keheranan menykasikan kejadian itu.
“Saya... saya tidak bersembunyi Raden... Saya...”
“Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan berani dusta! Salah-salah bisa kupotong lidahmu!”
“Saya bersumpah tidak bersembunyi!”
“Keparat! Jangan kira aku buta!”
“Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar tidak sembunyi, apalagi berani mendengarkan pembicaraan Raden dengan raja...”
"Plaakkk...!"
Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir hampir jatuh. Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari bagian bibirnya yang pecah mengucur darah. Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk bersimpuh di lantai. “Saya bersumpah raden... saya bersumpah!” terdengar suaranya di antara rintihan.
“Berdiri!” hardik Raden Kertopati.
Pengawal itu berdiri sambil mengusap-usap pipinya yang masih disengat rasa sakit.
“Kau masih belum mau memberi keterangan?!” Raden Kertopati mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap untuk menampar kedua kalinya.
Dengan ketakutan pengawal itu membuka mulut, “Saya bersumpah tidak bersembunyi dan mencuri dengar pembicaraan Raden dengan Sri Baginda. Saya berada dekat tirai itu demi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja, lalu saya tegak di situ...”
“Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi Sri Baginda sendiri yang menyuruhmu pergi! Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu nyata-nyata mencurigai diriku! Dan aku yakin kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau mungkin sekali memata- matai ku hah?!”
“Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduh sejauh itu. Saya perajurit biasa. Saya kalau bersalah siap dihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuri dengar, tidak bermaksud jahat apalagi berani melanggar perintah Raja dan memata-matai Raden...”
Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. “Kali ini ku ampuni kesalahanmu. Tapi ingat sejak detik ini kau berada di bawah pengawasanku langsung. Mulai besok kau tidak ditempatkan di dalam istana. Tugasmu dipindah sebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar?!”
“Saya... saya dengar Raden...” Jawab si pengawal. Meskipun bertugas dipintu Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di dalam istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari pada tunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.
Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatap wajah pengawal yang datang menghadapnya itu lalu bertanya. “Kenapa tampangmu bengkak begitu. Bibirmu juga kulihat ada lukanya?”
Sang pengawal menunduk sesaat sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Saya... saya ditempiling Raden Mas...” katanya kemudian.
“Yang menimpiling?”
“Kepala Pasukan Kotaraja. Raden Kertopati...” Lalu pengawal bernama Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadi siang tadi di istana.
“Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!”
“Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya memata-matai pembicarannya dengan Sri Baginda. Ternyata dia mengetahui...” menerangkan si pengawal.
“Kepala pasukan itu ringan tangan sekali rupanya!” ujar Jayengrono dengan geram. “Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si Kertopati itu. Yang aku ingin tahu ialah apa yang dibicarakannya dengan Sri Baginda...!”
“Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari. Dia siap mendatangkan saksi-saksi...” Lalu Kontondo menuturkan selengkapnya.
“Begitu...” ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. “Dia sudah terlalu jauh melangkah. Dia bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, bukan keseluruhan Kerajaan. Tapi tidak apa. Kau terus saja memata-matainya...”
“Saat ini tidak mungkin lagi Raden Mas.”
“Hah, kenapa tidak mungkin?”
“Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas di pintu gerbang utara...”
“Hemm... Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh pergi...”
Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan sebungkah kecil perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkan terima kasih berulang kali lalu meninggalkan gedung kediaman Panglima Balatentara Kerajaan itu. Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang lelaki tua memikul rumput menganggukkan kepala dan menegur dengan hormat.
Kuntondo sama sekali tidak membalas teguran dan penghormatan itu. kudanya dibedal sekencang-kencangnya menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.
Gedung kediaman Raden Kertopati teletak di barat Kotaraja, cukup besar dan mentereng, tapi tentu saja kalah mewah dengan gedung kediaman Raden Mas Jayengrono selaku Panglima Balatentara Kerajaan.
Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil jalan berputar dan sampai di hadapan sebuah pintu kecil yang terdapat di tembok halaman belakang gedung. Dia menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali, lalu dua kali lagi. Ketukannya itu dilakukan berurutan dua kali.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Seorang pengawal memberi tanda agar dia cepat masuk, sekaligus membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnya lelaki tua tadi diantar menghadap Raden Kertopati, yang saat itu baru saja selesai sembahyang maghrib.
Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka bertanyalah Kertopati. “Bagaimana hasil penyelidikanmu...?”
“Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas Jayengrono menjelang maghrib tadi...” menjawab lelalki tua itu.
“Kertopati tersenyum. “Memang sudah kuduga!” katanya sambil menepuk bahu lelaki tua itu. “Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidak akan diberi hadiah apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depan dapat bekerja di sini sebagai perajurit pengawal!”
“Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih...” kata lelaki tua itu sambil membungkuk-bungkuk.
Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya Sri Baginda duduk berhadap-hadapan dengan Raden Mas Jayengrono. Kertopati menjura memberi hormat. Meskipun di situ masih ada dua buah kursi kosong, namun karena tidak dipersilahkan maka Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani mengambil tempat duduk.
“Sri Baginda, ada apakah memerintahkan saya menghadap?” bertanya Kertopati. Di dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu yang penting, mungkin tidak beres. Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam, tegang tapi sinis.
“Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono baru saja melaporkan bahwa seorang kusir kereta dan tiga orang perajurit ditemui mayatnya di tepi hutan Kalimukus. Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapi keamanan di sana masih dalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Apakah kau sudah menerima laporan dari anak buahmu?”
Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja membuat Kertopati terkejut. Sekilas dia melirik ke arah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai. “Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum mendapat laporan. Apakah diketahui sebab musabab kematian keempat orang itu?”
Yang menjawab justru adalah Jayengrono. “Justru kau dipanggil kemari untuk segera melakukan penyelidikan dimas Kertopati!”
“Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan.”
“Tunggu dulu,” Sri Baginda cepat berkata. “Turut penjelasanmu beberapa hari lalu bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian bahwa istriku yang ketiga dan puterinya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari...”
“Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda. Saya perlu menyelidik lebih dulu,” jawab Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak membenarkan bahwa keempat orang itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akan diajukannya pada sidang pengadilan para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka sudah mati. “Kalau mereka mati sekaligus di tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil mereka dibunuh!”
“Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti dimas Kertopati? Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian? Apakah kau pernah mendengar tentang seekor harimau yang kelihatan muncul di sekitar Kalimukus beberapa hari belakangan ini?”
“Saya mendengar memang, Raden Mas... Tapi... Entahlah, saya harus menyelidik lebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri Baginda dan padamu... Saya minta diri sekaang!”
Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkan di atas empat usungan bambu. Sewaktu Kertopati sampai di situ dan memeriksa keadaan mayat satu persatu, di tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.
“Mereka seperti dikoyak harimau...” kata Kertopati dalam hati. “Tapi bukan harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh ini dikoyak dengan pisau besar, mungkin celurit atau kelewang. Ada orang yang telah membunuh mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bisa menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Ah... bagaimana sekarang?”
Bersama anak buahnya Kertopati kembali ke istana. Saat dia menghadap raja Jayengrono tak ada lagi di situ.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?” Sri Baginda langsung bertanya.
“Keempat orang yang malang itu memang mati dicabik-cabik harimau Sri Baginda,” jawab Kertopati.
Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya ada seorang juru masak dan seorang pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua yang bekerja setengah terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.
“Aku memasak begini banyak, begini lezat tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil hanya makan sedikit sekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah...”
“Dimakan atau tidak, sudah tugas kita memasak dan menghidangkan,” jawab si pelayan.
Saat itu pintu dapur terbuka. Kedua pelayan tua ini terkejut dan gemetar ketika melihat siapa yang masuk. Satu hal yang tidak pernah terjadi bahwa Panglima Balatentara Kerajaan masuk ke dalam dapur istana.
“Raden... apakah kami berbuat kesalahan...?” juru masak tua keluarkan suara gemetar. Dua perempuan tua itu langsung lega ketika mereka melihat Jayengrono justru tersenyum lebar.
“Semua orang sudah pulang. Kalian berdua masih bekerja di sini. Apakah itu hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya?”
“Betul sekali Raden Mas...”
“Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka masing-masing. Bawa yang untuk Raden Ayu Puji Lestari lebih dulu!”
Pelayan tua cepat mengambil nampan besar, meletakkan dua piring di atas nampan itu, segelas besar air putih lalu membawa semua itu ke ruangan di mana Puji Lestari ditahan.
“Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai. Sebentar lagi pelayan akan mengambil dan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil”
“Saya pergi Raden...” jawab juru masak tua. Terbungkuk bungkuk perempuan ini mundur menuju pintu.
Begitu dia hanya tingaal seorang diri di tempat itu, dari balik sakunya Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubuk ini disiramkannya di atas dua piring makanan yang ada di meja.
Baru saja dia hampir selesai menuangkan seluruh bubuk, tiba-tiba pintu dapur terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget dan membentak.
“Ada apa kau kembali?!”
“Selendang saya Raden... Selendang saya tertinggal...”
“Juru masak! Kau tak akan mati tanpa selendang itu! Keluar sana!”
Ketakutan setengah mati juru masak tua itu keluar dari dapur dengan langkah sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelum berlalu, dia masih sempat melihat pelayan itu bicara dengan dua orang pengawal pintu ruangan tahanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintu dibuka dan si pelayan masuk ke dalam.
Selama beberapa hari disekap dalam kamar tahanan itu Raden Ajeng Siti Hinggil boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta rongga matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih mulus kini pucat seperti tiada berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik dan mulus.
Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayan di atas meja, entah mengapa sekali ini timbul saja hasratnya untuk mencicipi makanan itu. Dua potong besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalu nasi putih dan sepotong semangka merah tanpa biji.
Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan disendokkannya kuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di kursi. Selama beberapa hari tidak makan, maka hidangan yang ada di meja disantapnya dengan lahap meskipun tidak keseluruhannya sanggup dihabiskan.
Selesai makan dan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan tubuhnya segar. Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan keringat membasahi kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti baru disadarinya betapa indah dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu. Cuping hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnya lebih cepat.
Istri Baginda ketiga ini menggeliatkan tubuhnya. Terasa ada kenikmatan aneh dalam geliatan itu. Dia menggeliat lagi. Semakin nikmat. Perempuan ini bangkit dari kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat. Dari sela bibirnya terdengar suara seperti erangan halus. Kedua tangannya menggapai-gapai udara lalu diturunkan ke dada. Di situ kedua tangan itu meremas-remas kencang.
Siti Hinggil merasakan tubuhnya panas. Bukan oleh udara dalam kamar namun oleh hawa aneh yang kini menguasai sekujur tubuhnya, larut dalam aliran darah, melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar entah tidak Siti Hinggil membuka pakaiannya satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak tertutup lagi, tiba-tiba terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlah celah setengah pintu.
Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang masuk. Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat. Malah mengulurkan kedua tangannya. Memeluk orang yang berusan masuk itu seraya tiada hentinya menyebut namanya.
“Jayeng... Jayengrono!”
Sewaktu hawa aneh yang merangsang aliran darah dan membangkitkan nafsunya itu mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya.
“Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi? Apa yang telah kulakukan...?!”
Perempuan ini memandang ke dinding. Tak ada pintu di situ. Dia memandang seputar kamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di pintu sama sekali tidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa hingga kedap suara.
“Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!” teriak Siti Hinggil.
Lalu seperti gila dia menjerit lagi berulang kali sambil memukul-mukul pintu kayu yang snagat tebal dan berat.lapat-lapat suara pukulan ini sempat terdengar oleh dua perajurit yang mengawal pintu di sebelah luar. Keduanya saling pandang sesaat. Setelah berunding, salah seorang segera mengambil kunci dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil seperti itu tentu saja dua perajurit ini terperangah kaget.
“Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya! Mana manusia keparat itu! mana. Berikan tombak itu padaku! Berikan!” teriak Siti hinggil dan menghambur ke luar kamar seraya mencoba merampas tombak yang ada di tangan pengawal sebelah kanan.
“Raden Ajeng! Apa yang terjadi?!” Pengawal kedua bertanya lalu cepat menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itu kembali ke dalam kamar.
Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja pegangan si pengawal terlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu, niscaya Siti Hinggil berhasil lolos dan lari sepanjang gang sambil berteriak-teriak seperti orang gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat dengan susah payah, akhirnya berhasil membawa Siti Hinggil masuk kembali ke dalam kamar lalu cepat-cepat pintu besar dan berat itu ditutup.
“Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?!” tanya pengawal pertama.
“Kita harus melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda!”
“Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada Patih Kerajaan saja. Atau Panglima. Atau mungkin Kepala Pasukan Kotaraja”
“Eh, apa yang akan kau laporkan?” tanya pengawal kedua.
“Akan kukatakan Siti Hinggil kemasukan setan!” jawab pengawal kedua.
Lalu setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang ditujunya adalah gedung kediaman Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi karena kediaman Kertopati cukup jauh sedang gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat, maka pengawal ini langsung menuju kediaman Patih Haryo Unggul. Semula pengawal gedung kepatian menolak untuk membangunkan Patih Haryo Unggul di larut malam begitu.
Namun setelah diberitahu apa yang terjadi maka pengawal gedung segea masuk ke dalam. Semua orang tahu bahwa selain memiliki kepandaian silat dan kesaktian, Patih Haryo Unggul juga mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit, termasuk mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.
Ketika pintu kamar tahanan dibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk di lantai, di salah satu sudut sambil menangis. Keadaan auratnya masih tetap tidak tertutup. Melihat ada orang yang masuk, perempuan ini melompat bangkit. Bukan untuk menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.
“Mana keparat itu! Mana manusia iblis Jayengrono itu! Aku harus membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!”
Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang yang sengaja dibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu kiri Siti Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit.
Sang patih mencoba sekali lagi. Kali ini yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya memperlihatkan wajah meringis kesakitan tetapi tidak berteriak.
“Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tiba saja menjadi gila?” begitu Patih Haryo Unggul membatin.
“Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!” kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya kiri kanan.
“Jayengrono tak ada di sini. Mengapa...?”
“Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia...” Siti Hinggil tidak sanggup meneruskan ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak dipegangi pasti terbating ke lantai.
Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa aneh keluar dari mulut Siti Hinggil. Tapi dia tidak tahu pasti hawa apa itu gerangan. Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil dibaringkan di atas tempat tidur. Pelayan dipanggil untuk memebenahi sisa makanan. Lalu pada beberapa perajurit dan pengawal yang ada di situ dipesankan agar berjaga-jaga.
“Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya kehabisan tenaga. Salah satu dari kalian cepat menghubungi kepala pengasuh istana. Minta paling tidak dua orang inang pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor pada raja...”
Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepala dan menarik nafas dalam. “Aneh sekali tindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan istrinya itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri Baginda sama sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian penahanan ini! Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting lagi di sini hingga tak ada yang mau memberitahu?! Raja memenjarakan istrinya sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!”
Sidang pengadilan para sesepuh dan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya seharusnya dilakukan hari itu. Namun karena sejak dua hari lalu Siti Hinggil dinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur, maka sidang ditunda.
Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat tidur dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara meracau yang tidak jelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk menjaga Raden Ayu Puji Lestari.
Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil diperkenankan dipindahkan dan dipulangkan ke rumah kediamannya. Tetapi dengan sikap keras Puji Lestari menolak.
“Kalau ibundaku harus mati, biar dia mati di kamar tahanan ini! Agar semua orang yang bertanggung jawab atas ketidak adilan ini bisa merasakan kepuasan!” begitu kata-kata yang dikeluarkan Puji Lestari di hadapan Patih Haryo Unggul dan Sri Baginda yang datang menjenguk meskipun hanya sebentar.
Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryo Unggul duduk berhadap-hadapan dengan Sri Baginda.
“Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum diketahui. Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling tidak agar kedua tangan dan kakinya bisa digerakkan kembali. Matanya yang terpejam bisa dibuka lagi...”
“Saya telah melakukan berbagai usaha Sri Baginda. Mohon maaf mu kalau segala kemampuan dan keahlian pengobatan saya kali ini hampir tidak ada manfaatnya. Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden Ajeng. Turut penglihatan dari luar dia seperti kehabisan tenaga hingga tidak mampu menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk memberinya minum, apalagi makan...”
“Bagaimana dengan dugaan bahwa dia kemasukan roh halus atau kesurupan?”
“Seperti saya pernah katakan pada Sri Baginda sebelumnya, Raden Ajeng sama sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan setan atau kesurupan. Dalam kehabisan tenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalam otaknya.”
“Penyakit aneh apa namanya itu?!” ujar Sri Baginda pula.
Seorang ponggawa masuk, memberitahu Raden Kertopati akan datang menghadap. “Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kita bicara bertiga di sini...”
Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga. Raden Kertopati lebih banyak menjadi pendengar dan baru membuka mulut menyatakan pendapatnya ketika Patih Haryo Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau orang sakti yang sanggup menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.
“Sri Baginda, apakah ingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?” Raden Kertopati bertanya.
“Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh dan terkadang lancang. Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kita balaskan sampai saat ini...!”
“Manusia seperti dia memang tak pernah mengharapkan balas jasa, Sri Baginda...”
Baginda menganggukkan kepalanya, “Terakhir kali dia raib dari penjara ketika dia ditahan atas kehendak Jayengrono...”
“Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari orang-orang yang tak mau melihat kenyataan” kata Raden Kertopati.
“Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatan dimas Jayengrono tempo hari karena dialah yang menjebloskan pendekar berambut gondrong itu ke dalam penjara. Tapi itu telah berlalu, yang penting saat ini apakah dimas mempunyai saran tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng...?” Yang berkata dan bertanya adalah Patih Haryo Unggul.
“Justru saya menyebut nama pendekar itu karena ingat akan kemampuannya. Dia yang mengobati saya ketika terluka dan hampir mati keracunan akibat pukulan Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balau di depan istana beberapa waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata dua. Dengan senjata itulah dia menyedot racun yang hampir membunuh saya. Saya menunggu pendapat dan keputusan Sri Baginda.”
“Semua urusan aku serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian anggap paling baik...”
Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu. Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, maka Raden Kertopati bicara perlahan pada Patih Haryo Unggul.
“Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan pada Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari pada saya”
“Siapa yang kau maksudkan dengan orang itu dimas Kertopati?”
“Raden Mas Jayengrono...”
“Hem... Aku dengar hubungan kalian akhir-akhir ini tidak begitu sreg...”
“Saya akui Paman Patih. Semua berpangkal pada tuduhan tak beralasan bahwa Raden Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari yang hendak merampas tahta kerajaan...”
“Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kau sebutkan itu,” kata Patih Haryo Unggul membelokkan pembicaraan.
“Saya dengar bahwa setiap kali berteriak kalap yakni sebelum jatuh sakit seperti ini, Raden Ajeng selalu meneriakkan ingin membunuh Jayengrono. Mengapa? Apa alasannya? Saya tidak tahu. Paman Patih juga tidak tahu. Sri Baginda tidak tahu dan juga tidak acuh. Hanya ada dua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng sendiri dan Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa ditanyai setiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karena hubungan saya dengan dia sedang tidak baik. Tetapi...”
“Ya... ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnya siapa yang bakal menanyai Panglima Kerajaan itu? Kurasa hanya Sri Baginda. Tapi seperti katamu, Sri Baginda tidak acuh!”
“Tidak acuh karena ada yang menggosok!”
“Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan adalah Jayengrono..” kata sang patih pula.
Kertopati tersenyum. “Saya tidak mengatakan itu. Paman Patih yang menyebut namanya!”
Kedua orang itu sama-sama tersenyum.
“Dimas Kerto, jika kau memang yakin sahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang sableng itu bisa menolong, sebaiknya kau segera mencarinya dan membawanya ke mari.”
“Hal itu segera saya lakukan jika paman patih memang memberi dukungan dan restu. Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada. Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?”
“Katakan apa keinginan dimas...”
“Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan dari tahanan itu ke satu tempat yang dirahasiakan...”
“Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena Sri Baginda sendiri memang sudah menyetujui. Tapi karena kau yang meminta maka aku melihat adanya keanehan...”
“Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketika deretan kamar-kamar itu dibangun? Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba rahasia. Siang malam dia menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi seorang Panglima Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa. Jayengrono ahli dalam bidang bangunan dan benda-benda rahasia...”
Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden Kertopati lekat-lekat lalu memegang bahu Kepala Pasukan Kotaraja itu dan berkata, “Dimas Kerto, kurasa kali ini kau, tepatnya kita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepala dua...”
“Mungkin kepalanya lebih dari dua, paman patih!” sahut Kertopati.
“Kalau begitu laksanakan tugasmu secepat-cepatnya!”
“Saya mohon diri sekarang...”
Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba masuk seorang ponggawa membawa segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia membawa surat dari Raden Mas Jayengrono, ditujukan pada Patih Haryo Unggul. Patih mengambil surat itu dan membacanya.
Patih Haryo Unggul
Laporan dari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok sisa-sisa pemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan cepat. Siang ini dengan sejumlah besar pasukan berangkat ke utara. Saya tidak melaporkan pada Sri Baginda karena maklum Sri Baginda cukup banyak beban pikiran saat ini. Tentang keamanan kota mohon bantuan YM untuk menghubungi Raden Kertopati dan meminta agar dia tetap waspada. Saya tidak dapat memastikan kapan akan kembali ke Kotaraja.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Patih Haryo Unggul menyerahkan surat itu pada Raden Kertopati. Selesai Kepala Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih bertanya, “Apa pendapatmu dimas?”
“Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya sudah jauh saat ini. Kalaupun dipanggil dia bisa menolak dengan alasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan. Yang aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah besar pasukan tanpa terlihat gerakan-gerakan pemberangkatan...”
“Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam...” kata Patih Haryo Unggul pula.
“Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang paling penting adalah mengobati Raden Ajeng lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa segala sesuatunya akan menjadi jelas. Jangan lupa mengamankan ibu dan anak itu...”
“Ya, kau pergilah dimas. Lekas kembali. Aku tak ingin kau kembali terlambat dan hanya menemui tanah merah makam Raden Ajeng!”
Celakanya hujan turun rintik-rintik dan tiupan angin mulai terasa kencang dan dingin. Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Pacu kuda kalian lebih cepat!” teriak Kertopati.
Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tiba terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget. Tujuh ekor kuda meringkik keras. Kuda- kuda dan tujuh orang itu langsung amblas masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus bambu runcing! Jerit pekik bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!
Empat orang perajurit langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada bagian dada atau perut. Malah salah satu tepat disate di bagian lehernya. Satu dari dua perajurit muda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing. Empat ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu.
Perwira muda kedua masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Sebagian tubuhnya tergelompang di tepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Raden Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karena jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas potong bambu runcing.
Raden Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas, maksudnya segera melompat dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak.
Raden Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu. ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan topeng kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!
“Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak ada yang meleset! Ha-ha-ha!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. “Semua mereka mati sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai aku minta imbalannya...!”
Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke arah lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian hitam yang berdiri di tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di tepi lubang mengambil sebuah kantong kain di balik pakaiannya dengan tangan kiri. Kantong ini diserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.
“Lima puluh keping emas?” desis Kala Srenggi seraya memegang kantong kain.
“Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!” jawab orang yang mengulurkan kantong kain.
Kantong itu seperti hendak dilepaskannya ke dalam genggaman Kala Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin salju! Detik itu juga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya yang ditembus senjata sakti sampai ke jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya goyah. Kedua matanya mencelet.
“Bangsat penipu... Terkutuk!” hanya sumpah serapah itu yang sempat dilontarkan Kala Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk ke dalam lubang maut, tepat menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa yang terjadi kemudian.
Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana dengan berteriak marah langsung menghunus golok dan menyerbu si pembunuh. Perkelahian pendek terjadi di antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapi agaknya yang memegang senjata yang memancarkan sinar putih memiliki kepandaian silat sangat tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandi darah dan tewas menyusul pimpinan mereka!
Raden Kertopati memanggul tubuh yang terasa sangat panas itu dan berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul tiada hentinya mengerang dan meminta, “Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang memanggang ini tak bisa kutahan lagi...”
“Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau harus sanggup bertahan! Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!”
“Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akan terlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak Raden!”
Raden Kertopati terharu mendengar ucpan bawahannya itu. “Jika kau sembuh, aku bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!” meluncur kata-kata itu dari mulut Raden Kertopati. Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberi kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh perwira muda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali di tengah sawah. Ke situlah Raden Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu tidak kejatuhan hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya.
Di atas dangau di tengah sawah saat itu tampak dua orang pemuda duduk bercakap-cakap. Yang pertama seorang pemuda bertubuh ramping berkulit halus mengenakan pakaian kelabu. Yang kedua berbadan tegap kekar, berambut gondrong sebahu, berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.
“Ada orang datang...” kata pemuda berbaju kelabu.
“Aku sudah tahu,” jawab si gondrong seperti tak acuh. Lalu dia memandang ke jurusan barat, dari arah mana orang yang berlari itu datang. “Hem... Dia memanggul seseorang. Berlari kencang di pematang sawah yang kecil dan licin. Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari yang andal!”
Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan podok seraya berseru gembira, “Pendekar 212 Wiro Sableng! Syukur pada Tuhan akhirnya kutemui juga kau!”
“Hai! Siapa dirimu?!” bertanya si gondrong seraya berdiri.
Ternyata dia adalah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sama sekali tidak mengenali siapa orang yang datang ini karena baik muka maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas Wiro segera saja mengenali dan berseru kaget.
“Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba-tiba muncul di malam buta dalam keadaan bercelemongan darah dan memanggul sesosok mayat!”
“Perwira ini masih belum mati! Luka pada pahanya mengandung racun! Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!” lalu Raden Kertopati menurunkan tubuh perwira muda dari panggulannya. Pemuda berpakaian kelabu membantunya “Bagus, kaupun ternyata ada di sini sahabat...”
“Bagaimana Raden tahu kami ada di sini?” tanya Wiro seraya garuk kepala.
“Aku punya ratusan mata-mata disebar di delapan penjuru angin. Tidak sulit mengetahui di mana kalian berada. Tapi yang penting tolong dulu perwira muda itu..!” kata Raden Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di atas dangau. Tubuhnya terasa luluh lantak dan napasnya menyengal karena lari sejauh itu.
Wiro merobek celana di bagian paha perwira muda itu hingga dia melihat lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging tepi daging paha yang terluka tampak berwarna hijau gelap.
“Racun ular jahat...” Desis pemuda berpakaian kelabu.
Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang masih setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Sinar kapak memutih perak menerangi gubuk di tengah sawah itu. Mata kapak ditempelkannya ke luka yang terdapat di paha. Lalu pendekar ini mulai kerahkan tenaga dalam.
Seperti disedot oleh satu kekuatan hebat, dari luka itu mengucur ke luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan darah yang keluar berubah menjadi merah. Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas dari segala racun jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.
“Dia selamat Raden...”
“Aku tahu kau sanggup menolongnya,” jawab Kertopati. Dia masih menelentang di lantai dangau dengan dada sesak turun naik.
“Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami? Pasti ada yang tak beres lagi di Kotaraja.”
Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul tinggal bersama keluarganya merupakan gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat setelah keraton tempat kediaman raja dan permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah kamar besar yang terdapat di bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah kamar di mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.
Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi seorang perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh Raden Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju istana dan memperlihatkan surat itu pada Sri Baginda.
Teruntuk YM
Patih Haryo Unggul
Di Kotaraja
Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka bisa menerobos dan melewati perbatasan. Melalui surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang tidak terduga. Saya melihat Raden Kertopati bersama Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng di antara pasukan pemberontak. Masih terdapat seorang kawannya yakni pemuda baju abu-abu yang tidak saya ketahui namanya. Saya harap paman patih memberitahu hal ini pada Sri Baginda dan mengambil tindakan terhadap Raden Kertopati. Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigai Kapala Pasukan itu. Saya yakin dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktu ditahan di penjara dulu. Jika orang ini tidak segera diamankan istana dan kerajaan akan terancam malapetaka besar.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu bertanya, “Di mana Kertopati sekarang?”
“Dia memang berada di luar kota. Namun kepergiannya katanya adalah mencari Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng...”
“Itu alasan yang dikatakannya pada kita. Sebenarnya dia ingin menemui kaum pemberontak. Musuh dalam selimut!”
“Saya mohon petunjuk Sri Baginda lebih lanjut...”
“Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu. Awasi gedung kediamannya!”
“Bukan lebih baik kalau kita menyelidik kebenaran isi surat ini terlebih dulu?”
“Eh, mengapa begitu Raden Mas?”
“Saya kawatir tindakan yang terburu-buru malah bisa mengundang kericuhan lebih besar, ingat ketika kita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu... Kita ikut salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar.”
Sri Baginda terdiam sejenak. “Aku serahkan semua kebijaksanaan padamu. Tapi aku tak ingin kita menempuh jalan salah dan terkecoh. Kalau sampai apa yang dilaporkan Raden Mas Jayengrono betul dan kita kebobolan, ingat baik-baik, tanggung jawab ada di pundakmu!”
“Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal lagi yang ingin saya laporkan...”
“Soal apa?”
“Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang sejak beberapa hari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan yang saya dapat kamar itu dulu dibangun secara sangat rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain...”
“Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamar itu dan kamar-kamar lainnya...”
“Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya melakukan penyelidikan. Saya merasakan adanya keanehan pada kamar satu itu, tapi tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang dulu jadi juru batu dan juru kayu pembangunan kamar. Gundil Ablang sudah pikun. Namun dari rangkaian keterangannya yang coba saya sambung satu dengan yang lainnya dapat diduga terdapat sebuah pintu rahasia di dinding kamar itu. Gundil Ablang saya datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil mengingat di mana pintu itu berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya...”
“Kalau begitu....” uajr Sri Baginda dengan muka berubah, “Selama istriku ditahan di kamar itu ada seseorang yang mengunjunginya!”
Patih Haryo Unggul tak berani mengiyakan.
“Mungkin sekali Pangeran Matahari!” Sri Baginda tiba-tiba berkata.
“Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat ketat. Meskipun dia memiliki kepandaian tinggi luar biasa, tak mungkin menyelinap tanpa diketahui. Dugaan saya ialah bahwa orang itu, siapapun dia adanya adalah seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang dalam sendiri.”
“Orang dalam sendiri? Siapa?!”
“Saat ini tak dapat saya menebaknya Sri Baginda...”
“Aku harus tahu siapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beri waktu dua hari!”
Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan raja.
Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat binatang itu pada batang pohon yang tersembunyi dalam kegelapan. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan cepat dia melangkah menuju tembok timur gedung kepatihan. Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika dia dengan mudah melompati tembok tinggi itu lalu melompat lagi ke atas atap bangunan.
Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya ditutup cadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak-gerak. Hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap mulai membongkar genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk ke dalam wuwungan.
Kamar yang hendak disusupinya itu berada tepat di bawah. Dari atas orang itu dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala lampu minyak kecil sekali. Tapi cukup menerangi keadaan di dalamnya. Cukup untuk melihat bahwa di atas ranjang besar yang tertutup kelambu terbaring tidur dua orang perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidur di lantai. Yang di atas ranjang besar pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari. Dua perempuan yang tidur di lantai tentu dua orang inang pengasuh.
Orang di atas loteng menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya putih memancar. Di tangan kanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih. Dengan senjata di tangan orang ini lalu melompat turun ke dalam kamar. Kedua kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya dihujamkan berulang kali ke tubuh dua orang perempuan yang terbaring di atas tempat tidur itu.
“Aman sekarang!” desis si pembunuh. Sekali melesat dia sudah sampai di atas atap.
Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik jerit berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara itu. Dadanya berdebar. Sesaat dia ingin kembali melompat turun dan masuk ke dalam kamar. Tapi saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menuju kamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang gedung, tampak masuk seorang penunggang kuda diiringi tiga pengawal.
Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja kembali dari istana. Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta merta melompat dari kudanya. Ketika dia hendak lari masuk ke dalam didengarnya salah seorang pengiring berteriak.
“Patih! Ada orang melompat dari atap ke arah tembok!”
Haryo Unggul berpaling ke arah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia masih sempat melihat sosok bayangan hitam laksana terbang, melompat dari atap menuju tembok.
“Jangan lari!” teriak sang patih seraya memburu.
Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya. Serangkum angin dahsyat melabrak sang patih. Untung saja patih tua ini masih sempat merasakan datangnya bahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Sambil berlutut dia balas menghantam dengan pukulan tangan kosong kiri kanan sekaligus.
"Braakkk...!"
Tembok gedung hacur berantakan. Tapi orang berpakain serba hitam itu telah lenyap di balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia hanya mendengar suara rentak kaki kuda yang dipacu dan akhirnya lenyap di kegelapan malam.
Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit. Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masuk ke dalam. Saat itu lampu-lampu besar telah dinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk dan merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masuk ke dalam kamar yang penuh sesak oleh perajurit pengawal.
“Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit...”
Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di mana terbaring dua sosok tubuh perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir seluruh tempat tidur.
“Ya Tuhan...” mengucap sang patih. Dia memandang ke lantai di sudut kiri. Hatinya lega ketika di situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak kurang suatu apa meskipun seperti beberapa hari lalu masih saja tidak sadarkan diri karena tubuh kurus itu kini hampir tanpa tenaga lagi. Kedua matanya terpejam.
“Raden Ayu... Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu dan ibunda Siti Hinggil telah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta Raden Ayu dan ibunda untuk tidur dilantai seperti inang pengasuh. Kalau terjadi apa-apa siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan ibunda”
“Kasihan dua inang itu...” bisik Puji Lestari masih menangis walau kini sudah tenang dan berhenti berteriak.
“Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali siapa orang yang masuk dan melakukan kejahatan ini?” bertanya Patih Haryo Unggul.
Puji Lestari menggeleng. “Lampu dalam kamar ini tidak begitu terang. Saya sudah tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat. Saya baru terbangun ketika mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur...”
Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke arah para perajurit dan pengawal. Rahangnya menggembung. “Musuh masuk ke dalam gedung. Tak satupun dari kalian yang mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya pembunuhan! Kalian dipecat semua!”
Raden Kertopati langsung membawa Wiro Sableng dan si pemuda berpakaian kelabu ke gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan Dari Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemuda berpakaian kelabu ini bukan lain adalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagai nenek sakti bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikan diri pada Kerajaan selama empat tahun.
Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur. Meskipun ingin bicara panjang lebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara sang patih membawa ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri Baginda itu ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dua lusin perajurit ditambah dua orang perwira.
Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro Sableng hampir tidak mengenali lagi perempuan itu saking kurus dan pucatnya. Puji Lestari memandang penuh tanda tanya begitu melihat pendekar itu muncul.
“Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro. Lakukan apa yang bisa kau lakukan” Berkata Patih haryo Unggul.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Sesaat dipandanginya sosok tubuh kurus dan wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan dengan jari-jari tangannya dia membuka kelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu berputar sedikit, tapi pinggir kelopak mata tampak membiru, hampir tidak kelihatan kalau tidak diperhatikan dengan teliti.
“Raden Ajeng ini keracunan...” kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan Kertopati.
Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji Lestari menjadi kaget. Pendekar 212 Wiro Sableng lalu keluarkan kapak saktinya. Sinar putih membersit di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata,
“Izinkan saya menggores ibu jari ibunda mu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan.” Puji Letari mengangguk. Wiro memandang pada Patih Haryo Unggul. Sang patih juga mengangguk.
Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketika ibu jari itu dipencetnya, darah yang keluar tampak berwarna hitam. Wiro mengambilnya sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-garuk kepala, membuat baik Kertopati maupun Haryo Unggul jadi tidak sabaran.
“Bagaimana...?” bisik sang patih bertanya.
Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya dulu. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannya pada goresan luka di ibu jari kaki Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulai kerahkan tenaga dalam. Ternyata tanpa mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak, dia berhasil menyedot racun yang ada dalam aliran darah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuri cairan putih.
Setelah memperhatikan cairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati dan Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh Puji Lestari dia berkata “Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena memang bukan racun mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya keadaan tubuhnya sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadi seperti lumpuh, bahkan membuka matapun dia tak sanggup”
“Lalu racun apa yang ada dalam rubuh Raden Ajeng?” bertanya Patih haryo Unggul.
“Racun mesum...” bisik Wiro.
“Maksudmu?” tanya Kertopati.
“Racun yang dapat membuat seseorang naik nafsu dan bergairah untuk melakukan hubungan badan...”
Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati kini menjadi maklum apa sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan? Ketika sang patih saat itu tiba-tiba saja ingat akan pintu rahasia di dinding kamar tahanan, Kertopati segera saja luncurkan ucapan,
“Siapa lagi! Pasti Jayengrono dalam semua ini!”
“Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus mencari bukti. Sebaliknya Jayengrono seperti memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk surat yang akan kuperlihatkan padamu...”
“Apakah Panglima itu telah kembali dari luar kota?”
Patih Haryo Unggul menggeleng. Terdengar suara erangan halus dari arah tempat tidur. Semua orang berpaling. Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanya terbuka sedikit.
“Nah... nah. Raden Ajeng mulai sadar” kata Wiro gembira. Puji Lestari langsung memeluk ibunya.
Patih Haryo Unggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua Klungkung, orang-orang itu tinggalkan kamar tersebut.
“Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!” teriak Kertopati selesai membaca surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden Mas Jayengrono yang isinya mengungkapkan keterlibatan Kertopati dan Wiro Sableng dengan gerakan kaum pemberontak.
“Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya keluar Kotaraja. Mencari Wiro untuk dimintakan pertolongannya. Dan saya kembali kemari untuk membuktikan hal itu...”
“Terus terang sebelumnya ada keraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau benar-benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolong jiwanya maka keraguan itupun buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya”
“Kurasa...” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kalau ada orang yang tak kembali ke Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas Jayengrono. Dia akan jadi Panglima Buronan...”
“Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja menghindar ke luar kota untuk melihat perkembangan apakah kedoknya akan terbuka atau tidak! Kini sebagian sandiwaranya telah tersingkap. Pasti dia yang keluar masuk kamar tahanan Raden Ajeng lewat pintu rahasia di dinding kamar! Pasti dia pula yang memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskan nafsunya. Bukankah Raden Ajeng selalu menolak permintaannya?”
“Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?” bertanya Haryo Unggul.
Raden Kertopati sadar kalau telah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro dan berkata, “Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kita rahasiakan? Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengar ketika mereka bicara di gedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?”
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala. “Kau saja yang menceritakannya pada paman patih, Raden...” sahut si pendekar.
Tapi Kertopati menggeleng. “Meskipun aku tahu kebusukan Jayengrono, namun sebagai atasan aku tetap menghormatinya!”
“Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa kalian memang bukan memfitnah...”
Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang perajurit masuk menghadap. Dia melapor bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur istana pada malam di mana Raden Ajeng diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.
“Suruh kedua perempuan ittu masuk!” perintah Patih Haryo Unggul.
Dua perempuan tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput penuh ketakutan.
“Kalian berdua tak perlu takut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari lalu kalian berdua diketahui melayani dan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng dan puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan?"
“Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Patih,” jawab dua perempuan tua berbarengan.
“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik!” membentak Haryo Unggul.
Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan sekali. Suaranya gemetar ketika berkata, “Saya... saya hanya mencuri sepotong daging ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang. Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkal bahala...”
“Apa maksudmu pangkal bahala?” tanya Kertopati.
“Saya malu menceritakannya Raden...”
“Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kau akan masuk penjara nek!”
Juru masak tua itu jadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia berkata, “Sehabis makan sepotong daging ayam kecil itu, kami merasakan tubuh masing-masing jadi panas. Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami seperti bergejolak. Kami diselimuti nafsu dan... dan... dan kami lalu melakukan hubungan badan sampai pagi. Padahal itu tak pernah dan tak sanggup kami lakukan sejak sepuluh tahun terakhir...”
Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati dan Haryo Unggul tesenyum-senyum sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merah wajahnya. Tiba-tiba terdengar suara si nenek menangis.
“Eh, apa-apa ini. Kenapa kau menangis nek?” tanya Wiro.
“Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan kesalahan dan dosa terhadap Kerajaan, saya bersedia dihukum. Tapi bagaimana suamiku... bagaimana anak cucuku...?”
Patih Haryo Unggul memegang bahu si nenek dan berkata, “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam itu?"
“Ada keanehan lain...” yang menjawab nenek pelayan. Dia yang mengantarkan makan malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalu pulang lebih dulu."
“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujar Kertopati pula.
“Malam itu... setelah makanan siap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk ke dapur...”
“Saya ingat sekarang!” menyambung nenek juru masak. “Raden Mas Jayengrono bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden Mas Jayengrono masih di situ. Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk Raden Ajeng...”
“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?” tanya Kertopati.
“Karena makanan untuk Raden Ayu Puji sudah dibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden Jayeng memang mengatur begitu...”
Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Kertopati mendekati Haryo Unggul dan berkata, “Paman Patih, saya ingat keterangan mu tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin kau kini tahu siapa pelakunya!”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata, “Memang keparat betul si Jayengrono itu. Sudah saatnya aku harus melaporkan semua perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi.... kalian berdua masih belum menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu...”
“Biarlah saya yang menceritakan,” akhirnya Raden Kertopati membuka mulut. “Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak. Pertama Puji Lestari dan kedua Pangeran Anom, yang sampai saat ini masih lenyap dan tak diketahui di mana beradanya...”
Patih Haryo Unggul seperti mendengar suara geledek. “Ini bukan karangan atau fitnah Raden?”
“Terkutuk diriku jika memfitnah!” sahut Raden Kertopati pula.
Sang patih menjadi tegang luar biasa. Kedua tangannya terkepal tanda dia juga sangat geram “Kini aku dapat menduga jelas. Bukan... bukan menduga. Tapi memastikan!” berkata Haryo Unggul dengan mata berkilat-kilat. “Manusia yang menyelinap malam tadi ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua inang di atas ranjang adalah Panglima keparat itu!”
Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala dia berkata, “Aku yang tolol inipun akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat Raden Ajeng karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia membunuh puterinya sendiri karena mengira pasti sang ibu telah memberi tahu siapa adanya ayahnya sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darah dagingnya sendiri!”
Haryo Unggul bangkit dari kursinya. “Aku akan menghadap raja saat ini juga...” Katanya.
Kata-kata Haryo Unggul terputus karena seorang perajurit berlari masuk dengan wajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah. “Ada apa kau seperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapa berani masuk?!”
“Maafkan saya Patih,” jawab si perajurit sambil membungkuk dalam. “Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepala ke dinding batu. Tak seorang pun dapat mencegah. Begitu tiba-tiba dan tak terduga!”
“Gusti Allah!” seru Patih Haryo Unggul. Dan semua orang yang ada di ruangan itu sama menghambur keluar.
“Paman patih...” Raden Kertopati cepat berkata. “Saya harap paman tidak usah menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan menambah kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus menimbulkan rasa bencinya terhadap Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan Raden Ayu mengetahui sebenarnya dirinya, bukan mustahil gadis itupun akan mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!”
Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya dia berkata, “Kalian tak usah kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib Raden Ajeng menjadi rahasia kita bersama...”
Di dalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru saja kembali dari Kotaraja.
“Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk bagi kita semua!” berkata orang kepercayaan itu.
“Aku sudah menduga...” jawab sang Panglima seraya memandang ke luar goa di mana sekitar tiga ratus perajurit yang dibawanya dari perbatasan, duduk bertebaran di bawah kemah-kemah. “Katakan berita buruk apa yang kau bawa!”
Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan kanannya bersitekan pada hulu Keris Kiyai Gajah Putih yang sengaja diselipkannya di pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan adanya sedikit ketenangan.
“Sri Baginda memerintahkan penangkapan Panglima. Siapa yang dapat menangkap Panglima hidup atau mati akan mendapat hadiah seratus tail emas...”
Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudian dia tertawa gelak-gelak. “Kepala Jayengrono tidak semurah itu harganya!” katanya. “Hai, apa lagi yang kau ketahui di Kotaraja?”
“Perintah penangkapan itu telah disebar keseluruh pelosok Kerajaan...”
“Lupakan dulu segala perintah gila itu. Apakah kau melihat Kertopati di Kotaraja?” bertanya Jayengrono.
Orang kepercayaan itu mengangguk. “Bukan dia seorang Panglima. Kawannya pemuda gondrong yang seperti berotak miring itu juga ada di Kotaraja bersama pemuda berpakaian serba abu-abu!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng...” Desis Jayengrono. Suaranya jelas terdengar agak bergetar.
“Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng Siti Hinggil ditemukan mati bunuh diri!”
Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. Namun dia tak mau memperlihatkan perubahan air mukanya. Sambil mengusap janggutnya yang meranggas kasar dia berkata perlahan, “Kematian memang lebih baik bagi perempuan itu. Ada hal lain yang perlu kau sampaikan?”
“Yang satu ini saya tidak pasti Panglima. Saya merasa seperti ada yang menguntit gerak gerik saya waktu kembali ke mari...”
Sepasang mata Jayengrono membeliak, “Berarti kau berbuat tolol! Suruh menghadap Perwira Kesatu sekarang juga!” bentak Jayengrono.
Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul menghadap. Dalam jajaran balatentara Kerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda yang dekat hubungannya dengan Jayengrono. Ketika dia ikut membelot bersama atasannya itu, Jayengrono langsung mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu. Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua dan Perwira Ketiga.
“Siapkan pasukan! Kita harus segera berangkat ke lereng Sigumpil saat ini juga...”
“Ada perkembangan baru agaknya Panglima?”
“Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan kita di sini.”
“Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita bergerak menembus hutan Ronggowereng. Lebih cepat dan sulit dijejak lawan...”
“Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!” memuji Jayengrono. “Satu hal lagi. Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono itu berjanji akan bergabung bersama kita...?”
Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengar angin bersiur dan orang bicara. “Aku sudah hadir di sini Panglima!”
Orang-orang yang ada di situ termasuk Jayengrono jadi terkesiap. Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam, bertelanjang dada dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi berbentuk aneh. Wajahnya angker luar biasa. Sepasang mata besar merah, hidung lebar ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang besar serta taring yang mencuat keluar.
Di pinggangnya dia membawa sebuah penggada hitam terbuat dari batu keras. Inilah senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan kecil. Potongan tubuh serta tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda dia memiliki kepandaian tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak diketahui oleh sekian ratus pasukan, bahkan tidak disadari oleh Jayengrono dan pembantu-pembantunya.
“Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!” Jayengrono menunjuk kegembiraanya sambil menepuk-nepuk bahu Rahwono yang gemuk gempal.
Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang tidak sedap. “Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara. Mereka siap menyambut dan bergabung dengan kita di sebelah timur lereng Sigumpil!”
“Bagus! Kita berangkat sekarang juga!” ujar Jayengrono.
Dengan cepat seluruh pasukan yang berjumlah sekitar tiga ratus orang itu disiapkan, ketika mereka hampir hendak berangkat, dari arah barat tiba-tiba terlihat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini menerpa wajah Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima buronan ini terkesiap, berubah parasnya dan memandang ke arah kejauhan.
Di puncak sebuah bukti kecil yang tandus tanpa pepohonan sejarak tiga ratus tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba putih tegak bertopang pada sepotong tongkat bambu kecil.
Pada tangan kanannya orang ini memegang sebuah benda yakni sebuah kaca bulat. Kaca ini digerak-gerakannya berulang kali ke arah sinar matahari yang kemudian mengeluarkan pantulan menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah Jayengrono. Dan agaknya memang sengaja ditujukan kepadanya.
“Rahwono,” kata Jayengrono, “Kau dan yang lain-lainnya tunggu di sini. Aku akan menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama...”
“Siapakah orang itu Panglima?” tanya Perwira Kesatu sementara Titisan Rahwono hanya menyeringai dan seperti tidak acuh.
Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil. Hatinya sangat tidak enak. Sesaat kemudian Jayengrono sampai di hadapan orang di puncak bukit. Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih. Kepalanya terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak seram, namun diam-diam Jayengrono merasakan ketakutan di hatinya.
Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya menyebut 'Guru'. Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulai dari topi tingginya yang penuh debu, pakaiannya yang bagus tapi kotor, sampai ke kakinya yang mengenakan kasut kulit.
“Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja. Mengapa kau berada di daerah terpencil ini...” Orang tua itu tiba-tiba menegur dengan suara datar.
Jayengrono tak bisa menjawab. “Agaknya Kotaraja tidak bersahabat lagi denganmu, Jayeng?”
Karena Jayengrono hanya menunduk dan tak bisa menjawab maka orang tua itu kembali berkata, “Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai Gajah Putih padaku!”
Kagetlah Panglima buronan itu hingga kepalanya tersentak mendongak. “Guru... apa maksudmu?” tanya Jayengrono.
“Kau tak perlu bertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas. Aku meminta kau mengembalikan keris sakti itu!”
“Tapi, bukankah sudah guru berikan dan wariskan padaku?”
“Betul,” sahut si orang tua. “Tapi dengan perjanjian. Bahwa kau tidak boleh melanggar pantangan yang dulu kusebutkan! Jangan kau mengatakan tidak ingat, atau lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari seribu satu alasan untuk menyatakan dirinya benar!”
Jaengrono terdiam. Tenggorakannya turun naik. “Aku, aku telah melanggar pantangan guru,” berkata Jayengrono dengan suara bergetar. “Aku telah berzina...”
“Kau bukan hanya berzina Jayeng! Tapi bahkan kau memperkosa! Dan orang yang kau perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibat penderitaan dan kehancuran harga diri yang tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata itu?!” Si orang tua ulurkan tangan kirinya.
“Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpah untuk tidak melakukan hal itu lagi...”
Orang tua itu tersenyum tawar. “Janji dan sumpah itu cukup hanya satu kali. Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpah lagi! Waktuku tidak banyak. Aku mendapat firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi medan pertumpahan darah. Serahkan Kiyai Gajah Putih padaku! Atau haruskan aku mengambilnya sendiri...?”
“Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkah aku mengembalikannya nanti, setelah urusanku selesai. Paling lambat dalam waktu tiga puluh hari...”
Orang tua itu gelengkan kepala. “Aku minta sekarang dan harus dapat sekarang. Aku tak ingin segala dosa dan kekejian melumuri senjata itu lebih banyak!”
Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono berkata, “Baiklah guru. Kalau begitu keputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan padamu...”
Lalu degnan sikap setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan senjata itu dengan sikap penuh khidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanan dan kiri membuat gerakan lain dan secepat gerakan kilat!
Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari sarungnya. Sinar putih menyilaukan berkiblat. Ujung senjata itu menghujam ke arah dada orang tua berselempang kain putih. Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kecil yang dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono.
Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuah batu berbentuk empat persegi panjang berwarna hitam. Batu ini menghantam tangan kanan Jayengrono dengan keras hingga Panglima buronan ini terpekik kesakitan, lepaskan keris sakti di tangannya. Senjata itu mental ke udara.
Orang tua bepakaian putih melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu beradu, kedua benda itu saling bertempelan. Ketika bambu jatuh ke bawah dan keris sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang masih berada di tangan Jayengrono.
Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang amgin dahsyat sehingga baik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih sama-sama roboh ke tanah!
Sambil memegang Keris Kiyai Gajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu cepat berdiri tegak sementara Jayengrono bangkit agak sempoyongan.
Memandang berkeliling dua orang yang tegak di puncak bukit tandus itu dapatkan tiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemuda berpakaian serba kelabu.
Wiro Sableng melompat dari kudanya, memungut batu hitam yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannya untuk menghantam tangan Jayengrono.
Ketika Wiro menyelipkan batu hitam itu ke balik pinggangnya orang tua bepakaian putih di samping kirinya terdengar berdehem beberapa kali
“Hemm... Jadi itulah tadi pukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah lama mendengar baru sekali ini melihat dan merasakan...!”
Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kaget sekali ketika melihat kenyataan orang tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda ini hanya bisa menyeringai dan garuk-garuk kepala. Untuk pertanyakan siapa orang tua itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak tepat.
“Raden Mas Jayengrono, kami datang menjalankan perintah Sri Baginda. Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!” Dari atas punggung kudanya Raden Kertopati mengeluarkan suara lantang.
Jayengrono tertawa dingin. “Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hingga jauh-jauh datang turun tangan sendiri, bukan membawa pasukan tapi mengajak gembel-gembel ini!”
Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-gembel itu tentu saja Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi marah sekali dan siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak bertindak.
“Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan kesalahan yang harus kau pertanggung jawabkan di hadapan Sri Baginda!” berkata Raden Kertopati tanpa mengacuhkan ejekan orang. “Coba katakan apa dosa dan kesalahanku itu!” ujar Jayengrono seraya berkacak pinggang.
“Pertama, kau diketahui selama ini terlibat membantu kaum pemberontak. Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Si gumpil dengan maksud merongrong dan menjatuhkan Kerajaan. Kedua kau penyebab kematian Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua orang inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya. Masih banyak lagi sederet dosa dan kesalahanmu yang kurasa tak perlu disebutkan. Tapi ada satu kesalahan yang perlu kuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala Srenggi melakukan penghadangan dengan membuat perangkap lubang maut terhadapku! Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira muda!”
Jayengrono merasa geram mendengar kata-kata yang dilontarkan Kertopati itu. “Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya dengan diriku! Aku berada di sini dalam menjalankan tugas untuk menghancurkan kaum pemberontak! Malah dituduh berhubungan dengan pemberontak! Fitnah! Kau pandai memutar balikkan kenyataan Kertopati! Jika Raden Ajeng memang mau mampus, ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengan diriku?! Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagi fitnah!”
Orang tua berpakaian putih maju dua langkah. Dengan gerakan kilat dia merampas sarung keris Kiyai gajah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini berkata,
“Jayengrono, ada pepatah 'tangan mencencang bahu memikul'. Ada juga ujar-ujar 'siapa menggali lobang, dia bakal masuk ke dalamnya'. Lalu masih ada lagi 'siapa yang berbuat dosa dan kesalahan, dia yang akan menanggung'. Nah, di hadapan orang-orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!” Habis berkata begitu si orang tua putar tubuhnya dan tinggalkan tempat itu.
“Guru! Jangan pergi dulu...!” seru Jayengrono. Dalam keadaan terjepit seperti itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru melangkah terus dengan tegar, menoleh pun tidak! Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas. Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Gurumu sendiri tidak perduli! Nah kepada siapa kau minta tolong sekarang Panglima buronan?!”
“Gembel keparat! Kau juga seorang buronan dari penjara Kerajaan!” hardik Jayengrono.
Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah kanan adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain adalah Perwira Kesatu, Perwira Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.
“Ada apa ribut-ribut di sini? Siapa mereka?!” Titisan Rahwono membentak sambil memandangi orang-orang di hadapannya.
“Hemm... Rupanya cakil satu ini ikut bergabung denganmu Raden Mas... kata Kertopati yang tetap menyebut bekas atasannya itu dengan panggilan gelar kehormatan. “Dia memang sejak lama dicari Kerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua pentolan sesat bisa ditangkap...!”
“Kalian cecunguk-cecunguk hendak menangkap kami? Ladalah!” Titisan Rahwono tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya dengan tangan kiri sedang tangan kanan mengusap kepala gada batu di pinggang. “Kalau bermimpi, bemimpilah yang enak-enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini! Siapa yang menggotong bangkai kalian ke sana...?”
Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara gelaknya ditimpali oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian kerasnya hingga Titisan Rahwono dan yang lain-lainnya meraskan jalan darah mereka seperti tersentak-sentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separuhnya!
“Cakil berperut kembung ini memang lucu tampang dan lucu bicara! Raden Kertopati, jika dia nanti kita tangkap sebaiknya dijadikan badut saja untuk menghibur keluarga istana!”
“Bangsat rendah bermulut haram jadah!” teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada batunya dari lilitan rotan di pinggang.
Jayengrono yang melihat kesempatan segera berkata, “Kalian hadapi antek-antek Kerajaan ini! Aku mau tahu sampai di mana besar mulut mereka!”
Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono pergunakan kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni lereng bukit ke arah pasukan yang menunggu.
Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia menunggang kuda maka sesaat saja Kertopati berhasil mengejar. Dari atas punggung kuda Kertopati melompati bekas atasannya itu hingga keduanya jatuh bergulingan di sepanjang lereng bukit. Perkelahian antara mereka tak dapat dihindari lagi. Dari arah bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbu ke atas.
Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira. Tiga Perwira yang membelot itu sebelumnya sudah mengetahui kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Karenanya mereka biarkan saja Titisan Rahwono menghadapi pendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik mengeroyok pemuda baju kelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan!
Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu mereka bergerak menyerbu, pemuda berpakaian kelabu itu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak tangan dirapatkan, jari disusun dan dinaikkan menyentuh kening. Ketika kedua tangan itu dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga Perwira yang menyerang merasakan seperti ditarik ke kiri dan ke kanan. Ketiganya terbanting ke tanah.
Satu tak bangun lagi, dua tegak dengan sempoyongan. Satu di antaranya merasakan dadanya mendenyut sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad menyerbu kembali. Perkelahian dua lawan satu berlangsung hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga salah satu dari mereka mencelat dimakan tendangan kaki kanan Ni Luh Tua Klungkung. Kawannya segera cabut sebilah golok pendek. Dengan senjata ini dia menyerbu pemuda berbaju kelabu itu.
Setelah menggempur habis-habisan selama tiga jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama jotosan tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!
Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki kegesitan luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat kian kemari. Gada batunya menderu-deru pulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa sebenarnya.
Setelah menggempur lima jurus terus menerus tanpa mampu menyentuh apalagi merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekik aneh. Gerakan ilmu silatnya tiba-tiba berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi. Wiro melihat lawannya itu berubah bentuk. Kepalanya jadi dua dan tangannya jadi empat!
“Gila! Ilmu iblis apa ini!” memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki begitu empat tangan melabrak ke arah tubuhnya. Dua merupakan pukulan gada hitam, dua lagi cengkeraman ganas!
“Edan!” teriak murid Sinto Gendeng dan cepat melompat mundur seraya hantamkan tangan kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh luar biasa! Pukulan sakti yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu seperti menembus dinding angin, sama sekali tidak berbekas dan lewat begitu saja di tubuh lawan!
“Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!” desis Wiro geram. “Aku mau lihat apakah dia mampu menghadapi ini!”
Lalu Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagi lawan merangsak coba menghampirinya, Wiro gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil mulutnya merapal mantera.
"Bussss...!"
Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam. Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat empat kini kembali dua. Sekujur wajah dan tubuhnya tampak hangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru berhenti ketika terganjal oleh semak belukar pendek di lereng bukit.
Pendekar 212 Wiro Sableng balikkan tubuh ketika mendengar suara riuh ratusan perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian menghadapi Jayengrono. Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu saja Jayengrono memiliki kepandaian silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati.
Karenanya setelah bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-pukulan tangan kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak matang biru dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya seperti melesak disambar ujung kaki lawan.
Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak riuh rendah.
“Cincang Kepala Pasukan itu!” teriak Jayengrono.
Maka laksana air bah ratusan perajurit melompat ke depan dengan berbagai senjata. Mulai dari tombak sampai pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya tidak tertolong lagi! Dari atas bukit dua sosok tubuh lari laksana terbang. Yang di sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Tahan! Siapa berani mendekati Kepala Pasukan itu berarti minta mampus!”
Meski mendengar jelas peringatan itu, namun ratusan perajurit yang berpikiran dangkal itu mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu untuk mencincang lumat tubuh Raden Kertopati. Wiro garuk kepalanya.
“Tak ada jalan lain sahabat!” bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat itu tangan kanan Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-perakan dan membersitkan sinar berkilauan penuh angker. “Hantam!”
Maka Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah kelompok perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Jayengrono. “Lekas menghindar!”
Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan disertai hawa panas luar biasa berkiblat seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad akan mencincang Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua belas lainnya tergelimpang pingsan dengan tubuh penuh luka bakar!
Jerit dan erangan bercampur jadi satu dengan debu tanah bukit yang beterbangan ke udara. Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di lereng bukit itu sehening di pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.
“Panglima keparat! Kau mau lari ke mana?!” terdengar teriakan Ni Luh Tua Klungkung.
“Kejar dia! Jangan sampai lolos!” terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.
Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya Jayengrono melarikan diri ke arah rimba belantara di lereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu lari sehebat yang dipunyai Wiro Sableng, tapi karena jarak mereka saat itu terpisah jauh bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan dan menyelinap lenyap ketika Wiro baru sampai di tepi hutan.
“Sialan! Kemanapun kau lari akan kukejar!” kertak Wiro.
Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga. Memang ketajaman pendengaran satu-satunya yang sangat membantu di daerah seperti ini di mana mata sulit tembus memandang. Setelah lari dan memasuki rimba belantara cukup lama dan masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono melarikan diri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohon dan memperhatikan keadaan di bawahnya.
Tak ada gerakan, tak terdengar apa-apa. Tak tampak Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon lainnya sampai akhirnya telinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya. Memandang ke bawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas cabang pohon yang sama, dua cabang di sebelah bawah.
Jayengrono memandang berkeliling. Dia merasa lega karena tak terlihat tanda-tanda pengejarnya berada di sekitar situ. Lalu memutuskan untuk mendekam terus di cabang pohon. Dia sama sekali tidak tahu kalau Wiro sudah ada di atasnya.
“Manusia satu ini pantas dimandikan dulu sebelum kutangkap!” kata Wiro dalam hati.
Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah. Sesaat kemudian mengucurlah cairan putih kekuningan, jatuh ke bawah dan mendarat di atas kepala Jayengrono.
Tentu saja kagetnya Jayengrono bukan kepalang ketika merasa ada air hangat dan agak bau mengucur membasahi kepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, lalu dia mendongak. Justru ini membuat air mancur itu menghantam mukanya! Sebagian menyiram matanya, sebagian lagi ada yang masuk ke dalam mulutnya!
“Setan!” rutuk Jayengrono ketika melihat sosok tubuh yang ada dua cabang di atasnya. Dia menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua cabang di sebelah atas patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali celananya dia balas menghantam ke bawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh. Hutan itu seperti dilanda punting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak tercabut dari akarnya. Ranting dan daun-daun gugur meranggas.
Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan saja karena pukulan yang dilepaskan Wiro tapi karena angin pukulannya tadi ikut terseret dan balik menghantam dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan pada batang pohon. Tapi meleset karena batang pohon itu licin tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya mental ke bawah bersama patahan cabang yang tadi didudukinya.
Dia coba andalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dan jungkir balik di udara agar dapat turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang datang dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannya tidak karuan. Dia sampai di tanah dengan kepala lebih dahulu.
Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepala pecah dan leher patah. Wiro garuk kepala, melompat dan turun ke bawah lewat patahan cabang-cabang pohon. Kembali dia garuk-garuk kepala ketika melihat mayat Jayengrono.
Seseorang menyeruak pohon berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.
“Mampus juga akhirnya!” kata Wiro sambil menunjuk ke arah mayat Jayengrono.
Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat memandang ke mayat Jayengrono, ketika dia berpaling ke arah Wiro, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuh.
“Eh, kenapa kau... sahabat?!” tanya Wiro heran.
“Orang gila!”
“Gila! Siapa yang gila?” Wiro terheran-heran.
“Rapikan dulu celanamu!” teriak sang dara.
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata sehabis mengencingi Jayengrono dari atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat-cepat pemuda ini tarik celana putihnya ke atas sambil menyengir!
Ruangan besar tempat pertemuan dalam istana itu penuh sesak oleh orang banyak yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh Sri Baginda. Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212 Wiro Sableng bersama sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil tempat duduk agak sebelah belakang.
Patih Haryo Unggul baru saja selesai membacakan keputusan raja atas pengangkatan Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu gelarnya pun dirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.
Selesai pembacaan pengumuman pengangkatan Kertopati menjadi Kepala Pasukan Kerajaan yang baru itu maka Kertopati naik ke mimbar untuk membacakan pula keputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.
Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa sesuai dengan jasa-jasanya yang sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro Sableng diangkat menjadi Kepala Pasukan Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang sampai hari ini tidak diketahui pasti siapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap pembantu khusus Kepala Pasukan Kerajaan.
“Untuk itu kami harapkan kedua tokoh Kerajaan yang baru itu naik ke mimbar!” begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.
Semua orang berpaling ke deretan kursi sebelah belakang di mana Wiro Sableng dan sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua orang itu tak lagi di sana. Beberapa orang mengejar ke luar ruangan, sampai ke langkan dan halaman istana. Tapi dua pemuda itu raib tanpa seorangpun tahu ke mana perginya!
SATU
Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap tak berkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri Baginda akhirnya bersuara juga.
“Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu...!”
“Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takut untuk menyampaikannya.”
“Kalau untuk kebenaran mengapa takut? Hanya saja, apakah kau punya bukti-bukti nyata? Saksi-saksi...?”
“Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup,” sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. “Sekian puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?”
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar. “Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau sampaikan saat ini ternyata tidak benar...?” Sang raja bertanya seolah-olah ingin menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.
“Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda,” jawab Jayengrono. “Untuk itu saya bersedia dipancung...”
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata, “Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
“Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!” Tiba-tiba saja Sri Baginda menjawab tegas.
“Itukah keputusan Sri Baginda?” bertanya Jayengrono.
“Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan perlu di hukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu...”
“Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda...”
“Hem... Apa maksudmu Raden Mas?”
“Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan. Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas-ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam...”
“Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak...”
“Saya harapkan begitu,” kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.
********************
Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata, “Ada rombongan datang...”
Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.
“Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita...”
“Menangkap kita?!” kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.
“Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!”
“Tapi apa salah kita?!” tukas sang puteri dengan mata membelalak.
Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab, “Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan seribu satu kesalahan pada diri kita...”
“Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!”
“Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut dan fitnah!”
“Saya akan mengusir manusia gila itu!” kata Raden Ayu Puji Lestari setengah berteriak.
“Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib begini...”
Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depan itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.
“Raden Ajeng...” Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu karena Siti Hinggil lebih cepat memotong.
“Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puteriku siap untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di penjara!”
Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.
Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itu dibatalkan.
Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono. Wajahnya sinis ketika berkata, “Tentunya kau puas sekarang Raden Mas! Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!”
Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari memandang pada ibunya dan bertanya, “Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara itu. Memangnya... apa yang pernah dimintanya padamu?”
Siti Hinggil menggelengkan kepala. “Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui, Puji...”
Tapi sang puteri malah mendesak, “Kau harus menceritakan padaku ibu!”
“Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib kita...”
“Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk,” menyahuti Puji Letari.
Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. “Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini...”
“Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan...”
Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit. “Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan?!”
DUA
Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran Matahari beberapa waktu lalu.
Malam yang indah dihiasi bulan purnama empat belas hari itu berubah menjadi kelam pekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada henti, mengeluarkan suara menggidikkan dan menebar hawa dingin mencucuk tulang. Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali enam tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur dan lemari.
Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan yang menyekap dan memenjarakan istri Sri Baginda yang ketiga itu. Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-satunya kursi dalam kamar. Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekali tidak merasa takut disekap seperti ini. Namun yang dikawatirkannya adalah keadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji Lestari ditahan di kamar yang terpisah.
Sebelum Panglima Jayengrono memerintahkan pengawal menutup dan mengunci pintu kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat melontarkan ancaman, “Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku, aku bersumpah akan membunuhmu Jayengrono!” Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama sang panglima di hadapan para pengawal.
Sambil tersenyum Jayengrono menjawab, “Di antara kita, kalau ada yang harus mati mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng! Kecuali jika kau merubah pikiranmu dan memenuhi permintaanku tempo hari...”
“Manusia biadab!” hardik Siti Hinggil.
“Perempuan tolol!” dengus Jayengrono. Lalu pintu yang masih belum ditutupkan itu ditendangnya dengan keras.
Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara tambah dingin. Hujan mulai turun. Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah manjadi sangat lebat. Siti Hinggil masih duduk di atas kursi dengan mata sembab. Tubuhnya sangat letih, seharian itu tak sepotong makanan pun masuk ke dalam perutnya meskipun beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih yang disentuhnya. Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua matanya tak bisa dipicingkan. Ingatannya selalu tertuju pada puterinya.
Dalam keadaan seperti itu mendadak sepasang mata Siti Hinggil terbuka lebar. Membelalak. Menatap ke arah dinding batu ruangan di mana dia disekap. Seperti tidak percaya pada penglihatannya, atau menyangka mungkin dia bermimpi, perempuan ini mengucak-ucak kedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi. Dinding batu tebal itu memang berputar ke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran setengah pintu dan sesosok tubuh muncul dengan tersenyum. Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!
“Aku datang menepati janji, Siti...” kata lelaki itu lalu dengan tangan kirinya mendorong batu yang berputar hingga tertutup rapat kembali.
“Apa maksudmu?!” sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.
“Apa kau tidak ingat pembicaraan kita dua minggu lalu? Waktu aku datang ke tempat kediamanmu? Kau akan kutahan di tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku bisa masuk ke mari melalui pintu tahasia itu. Tak ada yang melihat. Tak seorangpun tahu. Dan kita bisa melakukan seperti masa delapan belas tahun silam Siti. Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu. Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang...”
“Lelaki keparat! Keluar kau dari sini...!”
“Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun aku adalah kekasihmu atau paling tidak kita pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari itu hubungan kita di masa lalu menghasilkan dua orang turunan. Anom dan Puji...”
“Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini kataku! Atau aku akan menjerit!” Siti Hinggil mengancam.
Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu tak ada yang bakal dapat mendengar...” sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke arah meja kecil di mana terletak makanan. “Hemm... Kau tak mau makan rupanya. Jangan menyiksa diri. Nanti kau bisa sakit...”
“Beri aku racun! Aku tidak takut mati!”
Jayengrono tersenyum, lalu duduk di tepi ranjang bertilam bagus. Saat itu dia mengenakan pakaian berbentuk jubah putih. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Siti Hinggil.
“Kau mau bukan, Siti...?” terdengar suara Jayengrono setengah berbisik.
Siti Hinggil tegak bersandar di sudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai menangis. Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati perempuan itu. Mencoba merangkulnya tapi dadanya didorong kuat-kuat hingga dia terjajar ke belakang.
“Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalah hukumanmu tak akan berat. Bahkan aku akan membatalkan sidang pengadilan para sesepuh. Minggu di muka kau boleh meninggalkan tempat ini...”
“Busuk...! Manusia busuk! Apakah kau masih belum mau bertobat? Apakah kau tuli dan hatimu seperti batu hingga tidak mau mendengar ucapan orang? Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu! Keluar dari sini atau bunuh aku saat ini juga!”
Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Tiba-tiba kembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini berhasil. Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah Siti Hinggil. Perempuan ini meronta berusaha membebaskan diri. Namun tubuhnya yang lemah memiliki keterbatasan untuk bertahan dan melepaskan diri. Kemben, angkin dan kainnya terlepas. Tubuhnya didorong ke atas ranjang hingga jatuh terlentang, hampir tak kuasa untuk berdiri lagi.
Saat itu dilihatnya lelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apa-apa lagi! Siti Hinggil menjerit dan nekad. Tangan kanannya menyambar ke bawah ketika Jayengrono berusaha menindihnya. Tangan berkuku panjang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan itu yang ganti menjerit! Tubuhnya sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia bergulingan di lantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah putihnya kembali.
Sebelum meninggalkan kamar itu lewat pintu rahasia di dinding dia masih sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah Siti Hinggil seraya berkata, “Kali ini aku gagal. Tapi jangan kira aku tak bisa mendapatkan apa yang aku ingin! Dan sekali hal itu kesampaian kau akan kusingkirkan! Perempuan tolol! Perempuan gila!”
“Manusia dajal! Terkutuk kau selama- lamanya!” teriak Siti Hinggil.
Lalu perempuan ini melompat. Berusaha menerobos melaui pintu rahasia dinding yang masih terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itu lebih dahulu menutup. Dan kini di hadapannya adalah dinding polos belaka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya pintu di tempat itu. Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosoh ke lantai.
********************
TIGA
Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya sambil menghatur sembah, Sri Baginda tersenyum lebar. Tapi Kertopati tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi kekalutan pikiran, kegundahan hati dan ketidak tenangan.
“Lebih dari seminggu aku tidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu. Apakah sudah pulih benar...?” menegur Sri Baginda.
Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar, “Terima kasih atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belum pulih benar. Namun dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima kasih Sri Baginda...”
Setelah Raden Kertopati mengambil tempat duduk di hadapannya maka bertanyalah Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap. “Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Kotaraja yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar adanya menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak kita hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah...”
“Aku gembira mendengar laporanmu Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak boleh berlaku lengah. Meskipun pemberontakan orang-orang di utara telah kita padamkan, aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga-jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbang arah utara. Nah, mungkin masih ada urusan atau keperluan lain yang hendak kau sampaikan...?”
“Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini saya harapkan maaf terlebih dahulu karena ini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda...”
“Aku sudah dapat meraba apa yang hendak kau sampaikan,” berkata Sri Baginda. “Soal penahanan istriku Siti Hinggil dan puterinya Puji Lestari. Betul?”
“Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan...”
“Kalau persoalan itu silakan kau menghubungi Panglima Kerajaan Raden Mas Jayengrono...”
“Saya maklum hal itu Sri Baginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih baik bertemu dan bicara langsung dengan Sri Baginda saja...”
Sri Baginda berdiri dari kursinya. “Tubuhku letih sekali Kertopati dan aku tak ingin membicarakan soal penahanan anak istriku. Kau boleh menghadapku lain kali. Tapi ingat, bukan untuk urusan yang satu itu...”
Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja membalikkan tubuh, Kepala Pasukan Kotaraja ini berkata, “Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani membantah. Saya hanya akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan nanti akan menjatuhkan putusan keliru. Menjatuhkan hukuman pada orang-orang yang tidak bersalah.” Habis berkata begitu Kertopati membungkuk hormat lalu melangkah surut mengundurkan diri.
Sesaat Sri Baginda tegak termangu, menatap wajah Kertopati lalu melambaikan tangannya. “Katakan apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan. Rupanya kau mengetahui sesuatu Kertopati?”
Raden Kertopati mengangguk. “Bolehkah kita bicara berdua saja Sri Baginda?”
“Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati. Tapi tak apa. Kukabulkan permintaanmu...”
Sri Baginda memandang kepada dua orang pengawal yang sejak tadi tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura lalu meninggalkan ruangan. Tapi salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pintu dan mendekam di belakang hordeng beludru hitam kebiruan.
“Nah, sekarang hanya kita berdua Kertopati. “Katakan urusanmu!” berkata Sri Baginda.
“Saya mendapat kabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itu betul Sri Baginda?”
“Betul dan disertai saksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiri di sidang pengadilan para sesepuh...”
“Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada kemungkinan Raden Ajeng dan Raden Ayu mempunyai hubungan dengan para pemberontak di utara melalui Pangeran Matahari itu...”
“Itu juga betul!”
“Sri Baginda, sampai saat ini kita belum mampu mengetahui siapa sebenarnya Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu ke istana. Mengapa dia membunuh Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dua orang putera Sri Baginda tercinta...”
“Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang perajurit apakah kau tidak bisa mengerti hal itu?!” Sri Baginda tampak gusar. Nada suaranya keras.
“Mohon maaf mu Sri Baginda. Seperti tadi saya katakan, sebenarnya tidak satu pun di antara kita yang mampu menyingkap apa latar belakang kejahatan yang dilakukan pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang menobatkan diri sebagai seorang pangeran bernama Pangeran Matahari. Mungkin juga dia memiliki dendam kesumat terhadap istana dan orang-orang tertentu di Kerajaan ini”
“Dia bersekutu dengan anak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar belakang perbuatannya!”
“Hanya karena cincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda...?”
“Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!”
“Mengenai cincin itu saya punya cerita sendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia mendengar penuturan saya...”
“Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui Kertopati. Asalkan benar!” sahut Sri Baginda pula.
“Sekitar dua bulan lalu, ketika Raden Ajeng dan Raden Ayu kembali dari luar kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Sumo Gantra...”
“Aku tahu peristiwa itu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu Kertopati.”
“Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang yang dibawa dan lekat di tubuh Raden Ajeng dan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampok-perampok itu hendak menculik istri dan putri Sri Baginda. Mungkin sekali Warok Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahaya itu Raden Ajeng dan Raden Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. Yaitu Pangeran Matahari itu. Warok Sumo Gantra dibunuhnya...”
“Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua Klungkung!” menyambung Sri Baginda.
Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata, “Hal yang satu ini masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu mati dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah ditemukan?”
Sri Baginda terdiam. “Bukan tidak mungkin Ni Luh Tua Klungkung berserikat dengan Pangeran Matahari. Dia memberi kisikan bahwa rombongan istana akan lewat jalan itu...”
“Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk membuktikannya. Dalam rangkaian semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden Ajeng tidak berkomplot dengan Pangeran Matahari. Cincin burung rajawali itu diberikan Raden Ayu pada Pangeran Matahari sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya...”
“Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”
“Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda.”
“Kau tidak berada di tempat kejadian itu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal itu?”
“Karena beberapa pengawal yang masih hidup dan kusir kereta yang menceritakannya pada saya, Sri Baginda...”
“Ini benar-benar satu hal baru bagiku. Sulit dipercaya!” kata sang raja seraya bangkit dari kursi lalu melangkah mundar-mandir.
“Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayai keterangan yang menuduh Raden Ajeng dan Raden Ayu berbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayai keterangan saya...?”
“Semua harus dibuktikan Kertopati!”
“Saya setuju...”
“Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh para sesepuh Kerajaan!”
“Mengapa harus menunggu sidang pengadilan? Kita bisa memanggil kusir kereta dan pengawal-pengawal itu untuk memberi kesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng dan Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk berbuat yang tidak dilakukannya, saya kawatir kesehatan dan pikiran mereka akan terganggu...”
Sang raja jadi terdiam dan termangu.
“Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan sesuatu? Melepaskan dulu istri dan puteri Sri Baginda sampai ada kejelasan bahwa mereka benar-benar bersalah?”
“Aku butuh waktu untuk melakukan penyelidikan tersendiri sebelum menempuh jalan itu...”
“Terserah Sri Baginda, asalkan jangan terlalu lama. Kasihan Raden Ajeng dan Raden Ayu...”
“Ada lagi yang hendak kau sampaikan Kertopati?” bertanya Sri Baginda.
Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak. Apakah akan diceritakannya hubungan gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri Baginda yang ketiga itu? Yang tanpa setahu Sri Baginda telah membuahi dua orang anak tidak syah yaitu Pangeran Anom dan Puji Lestari? Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah dan pesan gurunya di Banten ketika hendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata,
“Muridku Kertopati, sudah banyak ilmu dan wejangan yang kau terima. Masih ada satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi lelaki kotoran di mulut. Karena itu selalulah kau sengaja menjaga mulutmu sebaik-baiknya. Mulut kamu harimau kamu. Jangan sekali-kali menceritakan aib seseorang pada orang lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah mungkin dapat menimbulkan pertumpahan darah sekerajaan...”
Mengingat sampai di situ maka Raden Kertopati lalu menjawab pertanyaan Sri Baginda.
“Tak ada lagi yang akan saya sampaikan. Saya mohon diri dan siap sedia dipanggil setiap saat...”
“Kau boleh pergi.”
Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai di pintu. Dia sama sekali seperti tidak melihat ada seseorang yang mendekam di balik hordeng besar hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini tentu saja tidak mudah ditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat pintu. Tapi dia sengaja berpura-pura tidak tahu!
EMPAT
Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan dalam untuk beristirahat, Raden Kertopati yang melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkan diri dan masuk kembali ke dalam istana. Ketika sampai di ruangan dalam, dua orang pengawal raja baru saja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah seorang dari mereka dan langsung mencekal lehernya. Tentu saja pengawal ini menjadi kaget dan pucat wajahnya.
“Ra... raden...” suaranya tersengal saking kerasnya cekikan Kertopati.
“Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di balik tirai dan mencuri dengan pembicaraanku dengan Sri Baginda?!” bertanya Kertopati sementara pengawal kedua tegak tertegun keheranan menykasikan kejadian itu.
“Saya... saya tidak bersembunyi Raden... Saya...”
“Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan berani dusta! Salah-salah bisa kupotong lidahmu!”
“Saya bersumpah tidak bersembunyi!”
“Keparat! Jangan kira aku buta!”
“Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar tidak sembunyi, apalagi berani mendengarkan pembicaraan Raden dengan raja...”
"Plaakkk...!"
Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir hampir jatuh. Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari bagian bibirnya yang pecah mengucur darah. Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk bersimpuh di lantai. “Saya bersumpah raden... saya bersumpah!” terdengar suaranya di antara rintihan.
“Berdiri!” hardik Raden Kertopati.
Pengawal itu berdiri sambil mengusap-usap pipinya yang masih disengat rasa sakit.
“Kau masih belum mau memberi keterangan?!” Raden Kertopati mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap untuk menampar kedua kalinya.
Dengan ketakutan pengawal itu membuka mulut, “Saya bersumpah tidak bersembunyi dan mencuri dengar pembicaraan Raden dengan Sri Baginda. Saya berada dekat tirai itu demi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja, lalu saya tegak di situ...”
“Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi Sri Baginda sendiri yang menyuruhmu pergi! Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu nyata-nyata mencurigai diriku! Dan aku yakin kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau mungkin sekali memata- matai ku hah?!”
“Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduh sejauh itu. Saya perajurit biasa. Saya kalau bersalah siap dihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuri dengar, tidak bermaksud jahat apalagi berani melanggar perintah Raja dan memata-matai Raden...”
Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. “Kali ini ku ampuni kesalahanmu. Tapi ingat sejak detik ini kau berada di bawah pengawasanku langsung. Mulai besok kau tidak ditempatkan di dalam istana. Tugasmu dipindah sebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar?!”
“Saya... saya dengar Raden...” Jawab si pengawal. Meskipun bertugas dipintu Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di dalam istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari pada tunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.
Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatap wajah pengawal yang datang menghadapnya itu lalu bertanya. “Kenapa tampangmu bengkak begitu. Bibirmu juga kulihat ada lukanya?”
Sang pengawal menunduk sesaat sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Saya... saya ditempiling Raden Mas...” katanya kemudian.
“Yang menimpiling?”
“Kepala Pasukan Kotaraja. Raden Kertopati...” Lalu pengawal bernama Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadi siang tadi di istana.
“Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!”
“Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya memata-matai pembicarannya dengan Sri Baginda. Ternyata dia mengetahui...” menerangkan si pengawal.
“Kepala pasukan itu ringan tangan sekali rupanya!” ujar Jayengrono dengan geram. “Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si Kertopati itu. Yang aku ingin tahu ialah apa yang dibicarakannya dengan Sri Baginda...!”
“Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari. Dia siap mendatangkan saksi-saksi...” Lalu Kontondo menuturkan selengkapnya.
“Begitu...” ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. “Dia sudah terlalu jauh melangkah. Dia bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, bukan keseluruhan Kerajaan. Tapi tidak apa. Kau terus saja memata-matainya...”
“Saat ini tidak mungkin lagi Raden Mas.”
“Hah, kenapa tidak mungkin?”
“Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas di pintu gerbang utara...”
“Hemm... Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh pergi...”
Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan sebungkah kecil perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkan terima kasih berulang kali lalu meninggalkan gedung kediaman Panglima Balatentara Kerajaan itu. Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang lelaki tua memikul rumput menganggukkan kepala dan menegur dengan hormat.
Kuntondo sama sekali tidak membalas teguran dan penghormatan itu. kudanya dibedal sekencang-kencangnya menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.
********************
Gedung kediaman Raden Kertopati teletak di barat Kotaraja, cukup besar dan mentereng, tapi tentu saja kalah mewah dengan gedung kediaman Raden Mas Jayengrono selaku Panglima Balatentara Kerajaan.
Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil jalan berputar dan sampai di hadapan sebuah pintu kecil yang terdapat di tembok halaman belakang gedung. Dia menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali, lalu dua kali lagi. Ketukannya itu dilakukan berurutan dua kali.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Seorang pengawal memberi tanda agar dia cepat masuk, sekaligus membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnya lelaki tua tadi diantar menghadap Raden Kertopati, yang saat itu baru saja selesai sembahyang maghrib.
Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka bertanyalah Kertopati. “Bagaimana hasil penyelidikanmu...?”
“Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas Jayengrono menjelang maghrib tadi...” menjawab lelalki tua itu.
“Kertopati tersenyum. “Memang sudah kuduga!” katanya sambil menepuk bahu lelaki tua itu. “Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidak akan diberi hadiah apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depan dapat bekerja di sini sebagai perajurit pengawal!”
“Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih...” kata lelaki tua itu sambil membungkuk-bungkuk.
********************
LIMA
Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya Sri Baginda duduk berhadap-hadapan dengan Raden Mas Jayengrono. Kertopati menjura memberi hormat. Meskipun di situ masih ada dua buah kursi kosong, namun karena tidak dipersilahkan maka Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani mengambil tempat duduk.
“Sri Baginda, ada apakah memerintahkan saya menghadap?” bertanya Kertopati. Di dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu yang penting, mungkin tidak beres. Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam, tegang tapi sinis.
“Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono baru saja melaporkan bahwa seorang kusir kereta dan tiga orang perajurit ditemui mayatnya di tepi hutan Kalimukus. Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapi keamanan di sana masih dalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Apakah kau sudah menerima laporan dari anak buahmu?”
Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja membuat Kertopati terkejut. Sekilas dia melirik ke arah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai. “Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum mendapat laporan. Apakah diketahui sebab musabab kematian keempat orang itu?”
Yang menjawab justru adalah Jayengrono. “Justru kau dipanggil kemari untuk segera melakukan penyelidikan dimas Kertopati!”
“Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan.”
“Tunggu dulu,” Sri Baginda cepat berkata. “Turut penjelasanmu beberapa hari lalu bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian bahwa istriku yang ketiga dan puterinya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari...”
“Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda. Saya perlu menyelidik lebih dulu,” jawab Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak membenarkan bahwa keempat orang itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akan diajukannya pada sidang pengadilan para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka sudah mati. “Kalau mereka mati sekaligus di tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil mereka dibunuh!”
“Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti dimas Kertopati? Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian? Apakah kau pernah mendengar tentang seekor harimau yang kelihatan muncul di sekitar Kalimukus beberapa hari belakangan ini?”
“Saya mendengar memang, Raden Mas... Tapi... Entahlah, saya harus menyelidik lebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri Baginda dan padamu... Saya minta diri sekaang!”
********************
Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkan di atas empat usungan bambu. Sewaktu Kertopati sampai di situ dan memeriksa keadaan mayat satu persatu, di tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.
“Mereka seperti dikoyak harimau...” kata Kertopati dalam hati. “Tapi bukan harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh ini dikoyak dengan pisau besar, mungkin celurit atau kelewang. Ada orang yang telah membunuh mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bisa menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Ah... bagaimana sekarang?”
Bersama anak buahnya Kertopati kembali ke istana. Saat dia menghadap raja Jayengrono tak ada lagi di situ.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?” Sri Baginda langsung bertanya.
“Keempat orang yang malang itu memang mati dicabik-cabik harimau Sri Baginda,” jawab Kertopati.
********************
Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya ada seorang juru masak dan seorang pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua yang bekerja setengah terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.
“Aku memasak begini banyak, begini lezat tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil hanya makan sedikit sekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah...”
“Dimakan atau tidak, sudah tugas kita memasak dan menghidangkan,” jawab si pelayan.
Saat itu pintu dapur terbuka. Kedua pelayan tua ini terkejut dan gemetar ketika melihat siapa yang masuk. Satu hal yang tidak pernah terjadi bahwa Panglima Balatentara Kerajaan masuk ke dalam dapur istana.
“Raden... apakah kami berbuat kesalahan...?” juru masak tua keluarkan suara gemetar. Dua perempuan tua itu langsung lega ketika mereka melihat Jayengrono justru tersenyum lebar.
“Semua orang sudah pulang. Kalian berdua masih bekerja di sini. Apakah itu hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya?”
“Betul sekali Raden Mas...”
“Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka masing-masing. Bawa yang untuk Raden Ayu Puji Lestari lebih dulu!”
Pelayan tua cepat mengambil nampan besar, meletakkan dua piring di atas nampan itu, segelas besar air putih lalu membawa semua itu ke ruangan di mana Puji Lestari ditahan.
“Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai. Sebentar lagi pelayan akan mengambil dan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil”
“Saya pergi Raden...” jawab juru masak tua. Terbungkuk bungkuk perempuan ini mundur menuju pintu.
Begitu dia hanya tingaal seorang diri di tempat itu, dari balik sakunya Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubuk ini disiramkannya di atas dua piring makanan yang ada di meja.
Baru saja dia hampir selesai menuangkan seluruh bubuk, tiba-tiba pintu dapur terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget dan membentak.
“Ada apa kau kembali?!”
“Selendang saya Raden... Selendang saya tertinggal...”
“Juru masak! Kau tak akan mati tanpa selendang itu! Keluar sana!”
Ketakutan setengah mati juru masak tua itu keluar dari dapur dengan langkah sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelum berlalu, dia masih sempat melihat pelayan itu bicara dengan dua orang pengawal pintu ruangan tahanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintu dibuka dan si pelayan masuk ke dalam.
Selama beberapa hari disekap dalam kamar tahanan itu Raden Ajeng Siti Hinggil boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta rongga matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih mulus kini pucat seperti tiada berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik dan mulus.
Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayan di atas meja, entah mengapa sekali ini timbul saja hasratnya untuk mencicipi makanan itu. Dua potong besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalu nasi putih dan sepotong semangka merah tanpa biji.
Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan disendokkannya kuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di kursi. Selama beberapa hari tidak makan, maka hidangan yang ada di meja disantapnya dengan lahap meskipun tidak keseluruhannya sanggup dihabiskan.
Selesai makan dan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan tubuhnya segar. Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan keringat membasahi kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti baru disadarinya betapa indah dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu. Cuping hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnya lebih cepat.
Istri Baginda ketiga ini menggeliatkan tubuhnya. Terasa ada kenikmatan aneh dalam geliatan itu. Dia menggeliat lagi. Semakin nikmat. Perempuan ini bangkit dari kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat. Dari sela bibirnya terdengar suara seperti erangan halus. Kedua tangannya menggapai-gapai udara lalu diturunkan ke dada. Di situ kedua tangan itu meremas-remas kencang.
Siti Hinggil merasakan tubuhnya panas. Bukan oleh udara dalam kamar namun oleh hawa aneh yang kini menguasai sekujur tubuhnya, larut dalam aliran darah, melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar entah tidak Siti Hinggil membuka pakaiannya satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak tertutup lagi, tiba-tiba terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlah celah setengah pintu.
Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang masuk. Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat. Malah mengulurkan kedua tangannya. Memeluk orang yang berusan masuk itu seraya tiada hentinya menyebut namanya.
“Jayeng... Jayengrono!”
ENAM
Sewaktu hawa aneh yang merangsang aliran darah dan membangkitkan nafsunya itu mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya.
“Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi? Apa yang telah kulakukan...?!”
Perempuan ini memandang ke dinding. Tak ada pintu di situ. Dia memandang seputar kamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di pintu sama sekali tidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa hingga kedap suara.
“Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!” teriak Siti Hinggil.
Lalu seperti gila dia menjerit lagi berulang kali sambil memukul-mukul pintu kayu yang snagat tebal dan berat.lapat-lapat suara pukulan ini sempat terdengar oleh dua perajurit yang mengawal pintu di sebelah luar. Keduanya saling pandang sesaat. Setelah berunding, salah seorang segera mengambil kunci dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil seperti itu tentu saja dua perajurit ini terperangah kaget.
“Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya! Mana manusia keparat itu! mana. Berikan tombak itu padaku! Berikan!” teriak Siti hinggil dan menghambur ke luar kamar seraya mencoba merampas tombak yang ada di tangan pengawal sebelah kanan.
“Raden Ajeng! Apa yang terjadi?!” Pengawal kedua bertanya lalu cepat menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itu kembali ke dalam kamar.
Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja pegangan si pengawal terlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu, niscaya Siti Hinggil berhasil lolos dan lari sepanjang gang sambil berteriak-teriak seperti orang gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat dengan susah payah, akhirnya berhasil membawa Siti Hinggil masuk kembali ke dalam kamar lalu cepat-cepat pintu besar dan berat itu ditutup.
“Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?!” tanya pengawal pertama.
“Kita harus melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda!”
“Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada Patih Kerajaan saja. Atau Panglima. Atau mungkin Kepala Pasukan Kotaraja”
“Eh, apa yang akan kau laporkan?” tanya pengawal kedua.
“Akan kukatakan Siti Hinggil kemasukan setan!” jawab pengawal kedua.
Lalu setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang ditujunya adalah gedung kediaman Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi karena kediaman Kertopati cukup jauh sedang gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat, maka pengawal ini langsung menuju kediaman Patih Haryo Unggul. Semula pengawal gedung kepatian menolak untuk membangunkan Patih Haryo Unggul di larut malam begitu.
Namun setelah diberitahu apa yang terjadi maka pengawal gedung segea masuk ke dalam. Semua orang tahu bahwa selain memiliki kepandaian silat dan kesaktian, Patih Haryo Unggul juga mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit, termasuk mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.
Ketika pintu kamar tahanan dibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk di lantai, di salah satu sudut sambil menangis. Keadaan auratnya masih tetap tidak tertutup. Melihat ada orang yang masuk, perempuan ini melompat bangkit. Bukan untuk menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.
“Mana keparat itu! Mana manusia iblis Jayengrono itu! Aku harus membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!”
Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang yang sengaja dibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu kiri Siti Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit.
Sang patih mencoba sekali lagi. Kali ini yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya memperlihatkan wajah meringis kesakitan tetapi tidak berteriak.
“Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tiba saja menjadi gila?” begitu Patih Haryo Unggul membatin.
“Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!” kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya kiri kanan.
“Jayengrono tak ada di sini. Mengapa...?”
“Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia...” Siti Hinggil tidak sanggup meneruskan ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak dipegangi pasti terbating ke lantai.
Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa aneh keluar dari mulut Siti Hinggil. Tapi dia tidak tahu pasti hawa apa itu gerangan. Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil dibaringkan di atas tempat tidur. Pelayan dipanggil untuk memebenahi sisa makanan. Lalu pada beberapa perajurit dan pengawal yang ada di situ dipesankan agar berjaga-jaga.
“Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya kehabisan tenaga. Salah satu dari kalian cepat menghubungi kepala pengasuh istana. Minta paling tidak dua orang inang pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor pada raja...”
Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepala dan menarik nafas dalam. “Aneh sekali tindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan istrinya itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri Baginda sama sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian penahanan ini! Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting lagi di sini hingga tak ada yang mau memberitahu?! Raja memenjarakan istrinya sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!”
********************
Sidang pengadilan para sesepuh dan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya seharusnya dilakukan hari itu. Namun karena sejak dua hari lalu Siti Hinggil dinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur, maka sidang ditunda.
Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat tidur dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara meracau yang tidak jelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk menjaga Raden Ayu Puji Lestari.
Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil diperkenankan dipindahkan dan dipulangkan ke rumah kediamannya. Tetapi dengan sikap keras Puji Lestari menolak.
“Kalau ibundaku harus mati, biar dia mati di kamar tahanan ini! Agar semua orang yang bertanggung jawab atas ketidak adilan ini bisa merasakan kepuasan!” begitu kata-kata yang dikeluarkan Puji Lestari di hadapan Patih Haryo Unggul dan Sri Baginda yang datang menjenguk meskipun hanya sebentar.
Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryo Unggul duduk berhadap-hadapan dengan Sri Baginda.
“Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum diketahui. Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling tidak agar kedua tangan dan kakinya bisa digerakkan kembali. Matanya yang terpejam bisa dibuka lagi...”
“Saya telah melakukan berbagai usaha Sri Baginda. Mohon maaf mu kalau segala kemampuan dan keahlian pengobatan saya kali ini hampir tidak ada manfaatnya. Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden Ajeng. Turut penglihatan dari luar dia seperti kehabisan tenaga hingga tidak mampu menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk memberinya minum, apalagi makan...”
“Bagaimana dengan dugaan bahwa dia kemasukan roh halus atau kesurupan?”
“Seperti saya pernah katakan pada Sri Baginda sebelumnya, Raden Ajeng sama sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan setan atau kesurupan. Dalam kehabisan tenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalam otaknya.”
“Penyakit aneh apa namanya itu?!” ujar Sri Baginda pula.
Seorang ponggawa masuk, memberitahu Raden Kertopati akan datang menghadap. “Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kita bicara bertiga di sini...”
Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga. Raden Kertopati lebih banyak menjadi pendengar dan baru membuka mulut menyatakan pendapatnya ketika Patih Haryo Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau orang sakti yang sanggup menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.
“Sri Baginda, apakah ingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?” Raden Kertopati bertanya.
“Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh dan terkadang lancang. Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kita balaskan sampai saat ini...!”
“Manusia seperti dia memang tak pernah mengharapkan balas jasa, Sri Baginda...”
Baginda menganggukkan kepalanya, “Terakhir kali dia raib dari penjara ketika dia ditahan atas kehendak Jayengrono...”
“Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari orang-orang yang tak mau melihat kenyataan” kata Raden Kertopati.
“Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatan dimas Jayengrono tempo hari karena dialah yang menjebloskan pendekar berambut gondrong itu ke dalam penjara. Tapi itu telah berlalu, yang penting saat ini apakah dimas mempunyai saran tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng...?” Yang berkata dan bertanya adalah Patih Haryo Unggul.
“Justru saya menyebut nama pendekar itu karena ingat akan kemampuannya. Dia yang mengobati saya ketika terluka dan hampir mati keracunan akibat pukulan Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balau di depan istana beberapa waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata dua. Dengan senjata itulah dia menyedot racun yang hampir membunuh saya. Saya menunggu pendapat dan keputusan Sri Baginda.”
“Semua urusan aku serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian anggap paling baik...”
Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu. Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, maka Raden Kertopati bicara perlahan pada Patih Haryo Unggul.
“Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan pada Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari pada saya”
“Siapa yang kau maksudkan dengan orang itu dimas Kertopati?”
“Raden Mas Jayengrono...”
“Hem... Aku dengar hubungan kalian akhir-akhir ini tidak begitu sreg...”
“Saya akui Paman Patih. Semua berpangkal pada tuduhan tak beralasan bahwa Raden Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari yang hendak merampas tahta kerajaan...”
“Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kau sebutkan itu,” kata Patih Haryo Unggul membelokkan pembicaraan.
“Saya dengar bahwa setiap kali berteriak kalap yakni sebelum jatuh sakit seperti ini, Raden Ajeng selalu meneriakkan ingin membunuh Jayengrono. Mengapa? Apa alasannya? Saya tidak tahu. Paman Patih juga tidak tahu. Sri Baginda tidak tahu dan juga tidak acuh. Hanya ada dua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng sendiri dan Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa ditanyai setiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karena hubungan saya dengan dia sedang tidak baik. Tetapi...”
“Ya... ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnya siapa yang bakal menanyai Panglima Kerajaan itu? Kurasa hanya Sri Baginda. Tapi seperti katamu, Sri Baginda tidak acuh!”
“Tidak acuh karena ada yang menggosok!”
“Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan adalah Jayengrono..” kata sang patih pula.
Kertopati tersenyum. “Saya tidak mengatakan itu. Paman Patih yang menyebut namanya!”
Kedua orang itu sama-sama tersenyum.
“Dimas Kerto, jika kau memang yakin sahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang sableng itu bisa menolong, sebaiknya kau segera mencarinya dan membawanya ke mari.”
“Hal itu segera saya lakukan jika paman patih memang memberi dukungan dan restu. Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada. Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?”
“Katakan apa keinginan dimas...”
“Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan dari tahanan itu ke satu tempat yang dirahasiakan...”
“Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena Sri Baginda sendiri memang sudah menyetujui. Tapi karena kau yang meminta maka aku melihat adanya keanehan...”
“Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketika deretan kamar-kamar itu dibangun? Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba rahasia. Siang malam dia menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi seorang Panglima Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa. Jayengrono ahli dalam bidang bangunan dan benda-benda rahasia...”
Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden Kertopati lekat-lekat lalu memegang bahu Kepala Pasukan Kotaraja itu dan berkata, “Dimas Kerto, kurasa kali ini kau, tepatnya kita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepala dua...”
“Mungkin kepalanya lebih dari dua, paman patih!” sahut Kertopati.
“Kalau begitu laksanakan tugasmu secepat-cepatnya!”
“Saya mohon diri sekarang...”
Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba masuk seorang ponggawa membawa segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia membawa surat dari Raden Mas Jayengrono, ditujukan pada Patih Haryo Unggul. Patih mengambil surat itu dan membacanya.
Patih Haryo Unggul
Laporan dari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok sisa-sisa pemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan cepat. Siang ini dengan sejumlah besar pasukan berangkat ke utara. Saya tidak melaporkan pada Sri Baginda karena maklum Sri Baginda cukup banyak beban pikiran saat ini. Tentang keamanan kota mohon bantuan YM untuk menghubungi Raden Kertopati dan meminta agar dia tetap waspada. Saya tidak dapat memastikan kapan akan kembali ke Kotaraja.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Patih Haryo Unggul menyerahkan surat itu pada Raden Kertopati. Selesai Kepala Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih bertanya, “Apa pendapatmu dimas?”
“Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya sudah jauh saat ini. Kalaupun dipanggil dia bisa menolak dengan alasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan. Yang aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah besar pasukan tanpa terlihat gerakan-gerakan pemberangkatan...”
“Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam...” kata Patih Haryo Unggul pula.
“Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang paling penting adalah mengobati Raden Ajeng lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa segala sesuatunya akan menjadi jelas. Jangan lupa mengamankan ibu dan anak itu...”
“Ya, kau pergilah dimas. Lekas kembali. Aku tak ingin kau kembali terlambat dan hanya menemui tanah merah makam Raden Ajeng!”
********************
TUJUH
Celakanya hujan turun rintik-rintik dan tiupan angin mulai terasa kencang dan dingin. Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Pacu kuda kalian lebih cepat!” teriak Kertopati.
Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tiba terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget. Tujuh ekor kuda meringkik keras. Kuda- kuda dan tujuh orang itu langsung amblas masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus bambu runcing! Jerit pekik bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!
Empat orang perajurit langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada bagian dada atau perut. Malah salah satu tepat disate di bagian lehernya. Satu dari dua perajurit muda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing. Empat ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu.
Perwira muda kedua masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Sebagian tubuhnya tergelompang di tepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Raden Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karena jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas potong bambu runcing.
Raden Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas, maksudnya segera melompat dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak.
Raden Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu. ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan topeng kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!
“Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak ada yang meleset! Ha-ha-ha!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. “Semua mereka mati sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai aku minta imbalannya...!”
Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke arah lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian hitam yang berdiri di tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di tepi lubang mengambil sebuah kantong kain di balik pakaiannya dengan tangan kiri. Kantong ini diserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.
“Lima puluh keping emas?” desis Kala Srenggi seraya memegang kantong kain.
“Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!” jawab orang yang mengulurkan kantong kain.
Kantong itu seperti hendak dilepaskannya ke dalam genggaman Kala Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin salju! Detik itu juga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya yang ditembus senjata sakti sampai ke jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya goyah. Kedua matanya mencelet.
“Bangsat penipu... Terkutuk!” hanya sumpah serapah itu yang sempat dilontarkan Kala Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk ke dalam lubang maut, tepat menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa yang terjadi kemudian.
Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana dengan berteriak marah langsung menghunus golok dan menyerbu si pembunuh. Perkelahian pendek terjadi di antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapi agaknya yang memegang senjata yang memancarkan sinar putih memiliki kepandaian silat sangat tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandi darah dan tewas menyusul pimpinan mereka!
Raden Kertopati memanggul tubuh yang terasa sangat panas itu dan berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul tiada hentinya mengerang dan meminta, “Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang memanggang ini tak bisa kutahan lagi...”
“Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau harus sanggup bertahan! Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!”
“Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akan terlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak Raden!”
Raden Kertopati terharu mendengar ucpan bawahannya itu. “Jika kau sembuh, aku bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!” meluncur kata-kata itu dari mulut Raden Kertopati. Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberi kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh perwira muda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali di tengah sawah. Ke situlah Raden Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu tidak kejatuhan hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya.
Di atas dangau di tengah sawah saat itu tampak dua orang pemuda duduk bercakap-cakap. Yang pertama seorang pemuda bertubuh ramping berkulit halus mengenakan pakaian kelabu. Yang kedua berbadan tegap kekar, berambut gondrong sebahu, berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.
“Ada orang datang...” kata pemuda berbaju kelabu.
“Aku sudah tahu,” jawab si gondrong seperti tak acuh. Lalu dia memandang ke jurusan barat, dari arah mana orang yang berlari itu datang. “Hem... Dia memanggul seseorang. Berlari kencang di pematang sawah yang kecil dan licin. Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari yang andal!”
Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan podok seraya berseru gembira, “Pendekar 212 Wiro Sableng! Syukur pada Tuhan akhirnya kutemui juga kau!”
“Hai! Siapa dirimu?!” bertanya si gondrong seraya berdiri.
Ternyata dia adalah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sama sekali tidak mengenali siapa orang yang datang ini karena baik muka maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas Wiro segera saja mengenali dan berseru kaget.
“Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba-tiba muncul di malam buta dalam keadaan bercelemongan darah dan memanggul sesosok mayat!”
“Perwira ini masih belum mati! Luka pada pahanya mengandung racun! Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!” lalu Raden Kertopati menurunkan tubuh perwira muda dari panggulannya. Pemuda berpakaian kelabu membantunya “Bagus, kaupun ternyata ada di sini sahabat...”
“Bagaimana Raden tahu kami ada di sini?” tanya Wiro seraya garuk kepala.
“Aku punya ratusan mata-mata disebar di delapan penjuru angin. Tidak sulit mengetahui di mana kalian berada. Tapi yang penting tolong dulu perwira muda itu..!” kata Raden Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di atas dangau. Tubuhnya terasa luluh lantak dan napasnya menyengal karena lari sejauh itu.
Wiro merobek celana di bagian paha perwira muda itu hingga dia melihat lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging tepi daging paha yang terluka tampak berwarna hijau gelap.
“Racun ular jahat...” Desis pemuda berpakaian kelabu.
Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang masih setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Sinar kapak memutih perak menerangi gubuk di tengah sawah itu. Mata kapak ditempelkannya ke luka yang terdapat di paha. Lalu pendekar ini mulai kerahkan tenaga dalam.
Seperti disedot oleh satu kekuatan hebat, dari luka itu mengucur ke luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan darah yang keluar berubah menjadi merah. Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas dari segala racun jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.
“Dia selamat Raden...”
“Aku tahu kau sanggup menolongnya,” jawab Kertopati. Dia masih menelentang di lantai dangau dengan dada sesak turun naik.
“Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami? Pasti ada yang tak beres lagi di Kotaraja.”
********************
DELAPAN
Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul tinggal bersama keluarganya merupakan gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat setelah keraton tempat kediaman raja dan permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah kamar besar yang terdapat di bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah kamar di mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.
Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi seorang perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh Raden Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju istana dan memperlihatkan surat itu pada Sri Baginda.
Teruntuk YM
Patih Haryo Unggul
Di Kotaraja
Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka bisa menerobos dan melewati perbatasan. Melalui surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang tidak terduga. Saya melihat Raden Kertopati bersama Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng di antara pasukan pemberontak. Masih terdapat seorang kawannya yakni pemuda baju abu-abu yang tidak saya ketahui namanya. Saya harap paman patih memberitahu hal ini pada Sri Baginda dan mengambil tindakan terhadap Raden Kertopati. Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigai Kapala Pasukan itu. Saya yakin dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktu ditahan di penjara dulu. Jika orang ini tidak segera diamankan istana dan kerajaan akan terancam malapetaka besar.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu bertanya, “Di mana Kertopati sekarang?”
“Dia memang berada di luar kota. Namun kepergiannya katanya adalah mencari Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng...”
“Itu alasan yang dikatakannya pada kita. Sebenarnya dia ingin menemui kaum pemberontak. Musuh dalam selimut!”
“Saya mohon petunjuk Sri Baginda lebih lanjut...”
“Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu. Awasi gedung kediamannya!”
“Bukan lebih baik kalau kita menyelidik kebenaran isi surat ini terlebih dulu?”
“Eh, mengapa begitu Raden Mas?”
“Saya kawatir tindakan yang terburu-buru malah bisa mengundang kericuhan lebih besar, ingat ketika kita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu... Kita ikut salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar.”
Sri Baginda terdiam sejenak. “Aku serahkan semua kebijaksanaan padamu. Tapi aku tak ingin kita menempuh jalan salah dan terkecoh. Kalau sampai apa yang dilaporkan Raden Mas Jayengrono betul dan kita kebobolan, ingat baik-baik, tanggung jawab ada di pundakmu!”
“Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal lagi yang ingin saya laporkan...”
“Soal apa?”
“Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang sejak beberapa hari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan yang saya dapat kamar itu dulu dibangun secara sangat rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain...”
“Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamar itu dan kamar-kamar lainnya...”
“Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya melakukan penyelidikan. Saya merasakan adanya keanehan pada kamar satu itu, tapi tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang dulu jadi juru batu dan juru kayu pembangunan kamar. Gundil Ablang sudah pikun. Namun dari rangkaian keterangannya yang coba saya sambung satu dengan yang lainnya dapat diduga terdapat sebuah pintu rahasia di dinding kamar itu. Gundil Ablang saya datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil mengingat di mana pintu itu berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya...”
“Kalau begitu....” uajr Sri Baginda dengan muka berubah, “Selama istriku ditahan di kamar itu ada seseorang yang mengunjunginya!”
Patih Haryo Unggul tak berani mengiyakan.
“Mungkin sekali Pangeran Matahari!” Sri Baginda tiba-tiba berkata.
“Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat ketat. Meskipun dia memiliki kepandaian tinggi luar biasa, tak mungkin menyelinap tanpa diketahui. Dugaan saya ialah bahwa orang itu, siapapun dia adanya adalah seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang dalam sendiri.”
“Orang dalam sendiri? Siapa?!”
“Saat ini tak dapat saya menebaknya Sri Baginda...”
“Aku harus tahu siapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beri waktu dua hari!”
Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan raja.
********************
Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat binatang itu pada batang pohon yang tersembunyi dalam kegelapan. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan cepat dia melangkah menuju tembok timur gedung kepatihan. Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika dia dengan mudah melompati tembok tinggi itu lalu melompat lagi ke atas atap bangunan.
Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya ditutup cadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak-gerak. Hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap mulai membongkar genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk ke dalam wuwungan.
Kamar yang hendak disusupinya itu berada tepat di bawah. Dari atas orang itu dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala lampu minyak kecil sekali. Tapi cukup menerangi keadaan di dalamnya. Cukup untuk melihat bahwa di atas ranjang besar yang tertutup kelambu terbaring tidur dua orang perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidur di lantai. Yang di atas ranjang besar pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari. Dua perempuan yang tidur di lantai tentu dua orang inang pengasuh.
Orang di atas loteng menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya putih memancar. Di tangan kanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih. Dengan senjata di tangan orang ini lalu melompat turun ke dalam kamar. Kedua kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya dihujamkan berulang kali ke tubuh dua orang perempuan yang terbaring di atas tempat tidur itu.
“Aman sekarang!” desis si pembunuh. Sekali melesat dia sudah sampai di atas atap.
Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik jerit berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara itu. Dadanya berdebar. Sesaat dia ingin kembali melompat turun dan masuk ke dalam kamar. Tapi saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menuju kamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang gedung, tampak masuk seorang penunggang kuda diiringi tiga pengawal.
Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja kembali dari istana. Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta merta melompat dari kudanya. Ketika dia hendak lari masuk ke dalam didengarnya salah seorang pengiring berteriak.
“Patih! Ada orang melompat dari atap ke arah tembok!”
Haryo Unggul berpaling ke arah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia masih sempat melihat sosok bayangan hitam laksana terbang, melompat dari atap menuju tembok.
“Jangan lari!” teriak sang patih seraya memburu.
Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya. Serangkum angin dahsyat melabrak sang patih. Untung saja patih tua ini masih sempat merasakan datangnya bahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Sambil berlutut dia balas menghantam dengan pukulan tangan kosong kiri kanan sekaligus.
"Braakkk...!"
Tembok gedung hacur berantakan. Tapi orang berpakain serba hitam itu telah lenyap di balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia hanya mendengar suara rentak kaki kuda yang dipacu dan akhirnya lenyap di kegelapan malam.
Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit. Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masuk ke dalam. Saat itu lampu-lampu besar telah dinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk dan merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masuk ke dalam kamar yang penuh sesak oleh perajurit pengawal.
“Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit...”
Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di mana terbaring dua sosok tubuh perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir seluruh tempat tidur.
“Ya Tuhan...” mengucap sang patih. Dia memandang ke lantai di sudut kiri. Hatinya lega ketika di situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak kurang suatu apa meskipun seperti beberapa hari lalu masih saja tidak sadarkan diri karena tubuh kurus itu kini hampir tanpa tenaga lagi. Kedua matanya terpejam.
“Raden Ayu... Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu dan ibunda Siti Hinggil telah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta Raden Ayu dan ibunda untuk tidur dilantai seperti inang pengasuh. Kalau terjadi apa-apa siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan ibunda”
“Kasihan dua inang itu...” bisik Puji Lestari masih menangis walau kini sudah tenang dan berhenti berteriak.
“Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali siapa orang yang masuk dan melakukan kejahatan ini?” bertanya Patih Haryo Unggul.
Puji Lestari menggeleng. “Lampu dalam kamar ini tidak begitu terang. Saya sudah tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat. Saya baru terbangun ketika mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur...”
Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke arah para perajurit dan pengawal. Rahangnya menggembung. “Musuh masuk ke dalam gedung. Tak satupun dari kalian yang mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya pembunuhan! Kalian dipecat semua!”
********************
SEMBILAN
Raden Kertopati langsung membawa Wiro Sableng dan si pemuda berpakaian kelabu ke gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan Dari Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemuda berpakaian kelabu ini bukan lain adalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagai nenek sakti bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikan diri pada Kerajaan selama empat tahun.
Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur. Meskipun ingin bicara panjang lebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara sang patih membawa ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri Baginda itu ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dua lusin perajurit ditambah dua orang perwira.
Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro Sableng hampir tidak mengenali lagi perempuan itu saking kurus dan pucatnya. Puji Lestari memandang penuh tanda tanya begitu melihat pendekar itu muncul.
“Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro. Lakukan apa yang bisa kau lakukan” Berkata Patih haryo Unggul.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Sesaat dipandanginya sosok tubuh kurus dan wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan dengan jari-jari tangannya dia membuka kelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu berputar sedikit, tapi pinggir kelopak mata tampak membiru, hampir tidak kelihatan kalau tidak diperhatikan dengan teliti.
“Raden Ajeng ini keracunan...” kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan Kertopati.
Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji Lestari menjadi kaget. Pendekar 212 Wiro Sableng lalu keluarkan kapak saktinya. Sinar putih membersit di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata,
“Izinkan saya menggores ibu jari ibunda mu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan.” Puji Letari mengangguk. Wiro memandang pada Patih Haryo Unggul. Sang patih juga mengangguk.
Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketika ibu jari itu dipencetnya, darah yang keluar tampak berwarna hitam. Wiro mengambilnya sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-garuk kepala, membuat baik Kertopati maupun Haryo Unggul jadi tidak sabaran.
“Bagaimana...?” bisik sang patih bertanya.
Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya dulu. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannya pada goresan luka di ibu jari kaki Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulai kerahkan tenaga dalam. Ternyata tanpa mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak, dia berhasil menyedot racun yang ada dalam aliran darah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuri cairan putih.
Setelah memperhatikan cairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati dan Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh Puji Lestari dia berkata “Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena memang bukan racun mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya keadaan tubuhnya sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadi seperti lumpuh, bahkan membuka matapun dia tak sanggup”
“Lalu racun apa yang ada dalam rubuh Raden Ajeng?” bertanya Patih haryo Unggul.
“Racun mesum...” bisik Wiro.
“Maksudmu?” tanya Kertopati.
“Racun yang dapat membuat seseorang naik nafsu dan bergairah untuk melakukan hubungan badan...”
Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati kini menjadi maklum apa sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan? Ketika sang patih saat itu tiba-tiba saja ingat akan pintu rahasia di dinding kamar tahanan, Kertopati segera saja luncurkan ucapan,
“Siapa lagi! Pasti Jayengrono dalam semua ini!”
“Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus mencari bukti. Sebaliknya Jayengrono seperti memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk surat yang akan kuperlihatkan padamu...”
“Apakah Panglima itu telah kembali dari luar kota?”
Patih Haryo Unggul menggeleng. Terdengar suara erangan halus dari arah tempat tidur. Semua orang berpaling. Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanya terbuka sedikit.
“Nah... nah. Raden Ajeng mulai sadar” kata Wiro gembira. Puji Lestari langsung memeluk ibunya.
Patih Haryo Unggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua Klungkung, orang-orang itu tinggalkan kamar tersebut.
********************
“Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!” teriak Kertopati selesai membaca surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden Mas Jayengrono yang isinya mengungkapkan keterlibatan Kertopati dan Wiro Sableng dengan gerakan kaum pemberontak.
“Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya keluar Kotaraja. Mencari Wiro untuk dimintakan pertolongannya. Dan saya kembali kemari untuk membuktikan hal itu...”
“Terus terang sebelumnya ada keraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau benar-benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolong jiwanya maka keraguan itupun buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya”
“Kurasa...” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kalau ada orang yang tak kembali ke Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas Jayengrono. Dia akan jadi Panglima Buronan...”
“Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja menghindar ke luar kota untuk melihat perkembangan apakah kedoknya akan terbuka atau tidak! Kini sebagian sandiwaranya telah tersingkap. Pasti dia yang keluar masuk kamar tahanan Raden Ajeng lewat pintu rahasia di dinding kamar! Pasti dia pula yang memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskan nafsunya. Bukankah Raden Ajeng selalu menolak permintaannya?”
“Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?” bertanya Haryo Unggul.
Raden Kertopati sadar kalau telah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro dan berkata, “Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kita rahasiakan? Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengar ketika mereka bicara di gedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?”
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala. “Kau saja yang menceritakannya pada paman patih, Raden...” sahut si pendekar.
Tapi Kertopati menggeleng. “Meskipun aku tahu kebusukan Jayengrono, namun sebagai atasan aku tetap menghormatinya!”
“Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa kalian memang bukan memfitnah...”
Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang perajurit masuk menghadap. Dia melapor bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur istana pada malam di mana Raden Ajeng diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.
“Suruh kedua perempuan ittu masuk!” perintah Patih Haryo Unggul.
Dua perempuan tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput penuh ketakutan.
“Kalian berdua tak perlu takut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari lalu kalian berdua diketahui melayani dan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng dan puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan?"
“Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Patih,” jawab dua perempuan tua berbarengan.
“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik!” membentak Haryo Unggul.
Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan sekali. Suaranya gemetar ketika berkata, “Saya... saya hanya mencuri sepotong daging ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang. Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkal bahala...”
“Apa maksudmu pangkal bahala?” tanya Kertopati.
“Saya malu menceritakannya Raden...”
“Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kau akan masuk penjara nek!”
Juru masak tua itu jadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia berkata, “Sehabis makan sepotong daging ayam kecil itu, kami merasakan tubuh masing-masing jadi panas. Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami seperti bergejolak. Kami diselimuti nafsu dan... dan... dan kami lalu melakukan hubungan badan sampai pagi. Padahal itu tak pernah dan tak sanggup kami lakukan sejak sepuluh tahun terakhir...”
Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati dan Haryo Unggul tesenyum-senyum sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merah wajahnya. Tiba-tiba terdengar suara si nenek menangis.
“Eh, apa-apa ini. Kenapa kau menangis nek?” tanya Wiro.
“Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan kesalahan dan dosa terhadap Kerajaan, saya bersedia dihukum. Tapi bagaimana suamiku... bagaimana anak cucuku...?”
Patih Haryo Unggul memegang bahu si nenek dan berkata, “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam itu?"
“Ada keanehan lain...” yang menjawab nenek pelayan. Dia yang mengantarkan makan malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalu pulang lebih dulu."
“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujar Kertopati pula.
“Malam itu... setelah makanan siap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk ke dapur...”
“Saya ingat sekarang!” menyambung nenek juru masak. “Raden Mas Jayengrono bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden Mas Jayengrono masih di situ. Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk Raden Ajeng...”
“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?” tanya Kertopati.
“Karena makanan untuk Raden Ayu Puji sudah dibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden Jayeng memang mengatur begitu...”
Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Kertopati mendekati Haryo Unggul dan berkata, “Paman Patih, saya ingat keterangan mu tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin kau kini tahu siapa pelakunya!”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata, “Memang keparat betul si Jayengrono itu. Sudah saatnya aku harus melaporkan semua perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi.... kalian berdua masih belum menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu...”
“Biarlah saya yang menceritakan,” akhirnya Raden Kertopati membuka mulut. “Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak. Pertama Puji Lestari dan kedua Pangeran Anom, yang sampai saat ini masih lenyap dan tak diketahui di mana beradanya...”
Patih Haryo Unggul seperti mendengar suara geledek. “Ini bukan karangan atau fitnah Raden?”
“Terkutuk diriku jika memfitnah!” sahut Raden Kertopati pula.
Sang patih menjadi tegang luar biasa. Kedua tangannya terkepal tanda dia juga sangat geram “Kini aku dapat menduga jelas. Bukan... bukan menduga. Tapi memastikan!” berkata Haryo Unggul dengan mata berkilat-kilat. “Manusia yang menyelinap malam tadi ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua inang di atas ranjang adalah Panglima keparat itu!”
Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala dia berkata, “Aku yang tolol inipun akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat Raden Ajeng karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia membunuh puterinya sendiri karena mengira pasti sang ibu telah memberi tahu siapa adanya ayahnya sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darah dagingnya sendiri!”
Haryo Unggul bangkit dari kursinya. “Aku akan menghadap raja saat ini juga...” Katanya.
Kata-kata Haryo Unggul terputus karena seorang perajurit berlari masuk dengan wajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah. “Ada apa kau seperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapa berani masuk?!”
“Maafkan saya Patih,” jawab si perajurit sambil membungkuk dalam. “Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepala ke dinding batu. Tak seorang pun dapat mencegah. Begitu tiba-tiba dan tak terduga!”
“Gusti Allah!” seru Patih Haryo Unggul. Dan semua orang yang ada di ruangan itu sama menghambur keluar.
“Paman patih...” Raden Kertopati cepat berkata. “Saya harap paman tidak usah menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan menambah kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus menimbulkan rasa bencinya terhadap Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan Raden Ayu mengetahui sebenarnya dirinya, bukan mustahil gadis itupun akan mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!”
Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya dia berkata, “Kalian tak usah kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib Raden Ajeng menjadi rahasia kita bersama...”
********************
SEPULUH
Di dalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru saja kembali dari Kotaraja.
“Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk bagi kita semua!” berkata orang kepercayaan itu.
“Aku sudah menduga...” jawab sang Panglima seraya memandang ke luar goa di mana sekitar tiga ratus perajurit yang dibawanya dari perbatasan, duduk bertebaran di bawah kemah-kemah. “Katakan berita buruk apa yang kau bawa!”
Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan kanannya bersitekan pada hulu Keris Kiyai Gajah Putih yang sengaja diselipkannya di pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan adanya sedikit ketenangan.
“Sri Baginda memerintahkan penangkapan Panglima. Siapa yang dapat menangkap Panglima hidup atau mati akan mendapat hadiah seratus tail emas...”
Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudian dia tertawa gelak-gelak. “Kepala Jayengrono tidak semurah itu harganya!” katanya. “Hai, apa lagi yang kau ketahui di Kotaraja?”
“Perintah penangkapan itu telah disebar keseluruh pelosok Kerajaan...”
“Lupakan dulu segala perintah gila itu. Apakah kau melihat Kertopati di Kotaraja?” bertanya Jayengrono.
Orang kepercayaan itu mengangguk. “Bukan dia seorang Panglima. Kawannya pemuda gondrong yang seperti berotak miring itu juga ada di Kotaraja bersama pemuda berpakaian serba abu-abu!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng...” Desis Jayengrono. Suaranya jelas terdengar agak bergetar.
“Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng Siti Hinggil ditemukan mati bunuh diri!”
Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. Namun dia tak mau memperlihatkan perubahan air mukanya. Sambil mengusap janggutnya yang meranggas kasar dia berkata perlahan, “Kematian memang lebih baik bagi perempuan itu. Ada hal lain yang perlu kau sampaikan?”
“Yang satu ini saya tidak pasti Panglima. Saya merasa seperti ada yang menguntit gerak gerik saya waktu kembali ke mari...”
Sepasang mata Jayengrono membeliak, “Berarti kau berbuat tolol! Suruh menghadap Perwira Kesatu sekarang juga!” bentak Jayengrono.
Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul menghadap. Dalam jajaran balatentara Kerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda yang dekat hubungannya dengan Jayengrono. Ketika dia ikut membelot bersama atasannya itu, Jayengrono langsung mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu. Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua dan Perwira Ketiga.
“Siapkan pasukan! Kita harus segera berangkat ke lereng Sigumpil saat ini juga...”
“Ada perkembangan baru agaknya Panglima?”
“Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan kita di sini.”
“Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita bergerak menembus hutan Ronggowereng. Lebih cepat dan sulit dijejak lawan...”
“Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!” memuji Jayengrono. “Satu hal lagi. Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono itu berjanji akan bergabung bersama kita...?”
Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengar angin bersiur dan orang bicara. “Aku sudah hadir di sini Panglima!”
Orang-orang yang ada di situ termasuk Jayengrono jadi terkesiap. Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam, bertelanjang dada dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi berbentuk aneh. Wajahnya angker luar biasa. Sepasang mata besar merah, hidung lebar ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang besar serta taring yang mencuat keluar.
Di pinggangnya dia membawa sebuah penggada hitam terbuat dari batu keras. Inilah senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan kecil. Potongan tubuh serta tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda dia memiliki kepandaian tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak diketahui oleh sekian ratus pasukan, bahkan tidak disadari oleh Jayengrono dan pembantu-pembantunya.
“Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!” Jayengrono menunjuk kegembiraanya sambil menepuk-nepuk bahu Rahwono yang gemuk gempal.
Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang tidak sedap. “Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara. Mereka siap menyambut dan bergabung dengan kita di sebelah timur lereng Sigumpil!”
“Bagus! Kita berangkat sekarang juga!” ujar Jayengrono.
Dengan cepat seluruh pasukan yang berjumlah sekitar tiga ratus orang itu disiapkan, ketika mereka hampir hendak berangkat, dari arah barat tiba-tiba terlihat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini menerpa wajah Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima buronan ini terkesiap, berubah parasnya dan memandang ke arah kejauhan.
Di puncak sebuah bukti kecil yang tandus tanpa pepohonan sejarak tiga ratus tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba putih tegak bertopang pada sepotong tongkat bambu kecil.
Pada tangan kanannya orang ini memegang sebuah benda yakni sebuah kaca bulat. Kaca ini digerak-gerakannya berulang kali ke arah sinar matahari yang kemudian mengeluarkan pantulan menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah Jayengrono. Dan agaknya memang sengaja ditujukan kepadanya.
“Rahwono,” kata Jayengrono, “Kau dan yang lain-lainnya tunggu di sini. Aku akan menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama...”
“Siapakah orang itu Panglima?” tanya Perwira Kesatu sementara Titisan Rahwono hanya menyeringai dan seperti tidak acuh.
Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil. Hatinya sangat tidak enak. Sesaat kemudian Jayengrono sampai di hadapan orang di puncak bukit. Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih. Kepalanya terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak seram, namun diam-diam Jayengrono merasakan ketakutan di hatinya.
Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya menyebut 'Guru'. Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulai dari topi tingginya yang penuh debu, pakaiannya yang bagus tapi kotor, sampai ke kakinya yang mengenakan kasut kulit.
“Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja. Mengapa kau berada di daerah terpencil ini...” Orang tua itu tiba-tiba menegur dengan suara datar.
Jayengrono tak bisa menjawab. “Agaknya Kotaraja tidak bersahabat lagi denganmu, Jayeng?”
Karena Jayengrono hanya menunduk dan tak bisa menjawab maka orang tua itu kembali berkata, “Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai Gajah Putih padaku!”
Kagetlah Panglima buronan itu hingga kepalanya tersentak mendongak. “Guru... apa maksudmu?” tanya Jayengrono.
“Kau tak perlu bertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas. Aku meminta kau mengembalikan keris sakti itu!”
“Tapi, bukankah sudah guru berikan dan wariskan padaku?”
“Betul,” sahut si orang tua. “Tapi dengan perjanjian. Bahwa kau tidak boleh melanggar pantangan yang dulu kusebutkan! Jangan kau mengatakan tidak ingat, atau lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari seribu satu alasan untuk menyatakan dirinya benar!”
Jaengrono terdiam. Tenggorakannya turun naik. “Aku, aku telah melanggar pantangan guru,” berkata Jayengrono dengan suara bergetar. “Aku telah berzina...”
“Kau bukan hanya berzina Jayeng! Tapi bahkan kau memperkosa! Dan orang yang kau perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibat penderitaan dan kehancuran harga diri yang tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata itu?!” Si orang tua ulurkan tangan kirinya.
“Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpah untuk tidak melakukan hal itu lagi...”
Orang tua itu tersenyum tawar. “Janji dan sumpah itu cukup hanya satu kali. Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpah lagi! Waktuku tidak banyak. Aku mendapat firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi medan pertumpahan darah. Serahkan Kiyai Gajah Putih padaku! Atau haruskan aku mengambilnya sendiri...?”
“Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkah aku mengembalikannya nanti, setelah urusanku selesai. Paling lambat dalam waktu tiga puluh hari...”
Orang tua itu gelengkan kepala. “Aku minta sekarang dan harus dapat sekarang. Aku tak ingin segala dosa dan kekejian melumuri senjata itu lebih banyak!”
Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono berkata, “Baiklah guru. Kalau begitu keputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan padamu...”
Lalu degnan sikap setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan senjata itu dengan sikap penuh khidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanan dan kiri membuat gerakan lain dan secepat gerakan kilat!
Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari sarungnya. Sinar putih menyilaukan berkiblat. Ujung senjata itu menghujam ke arah dada orang tua berselempang kain putih. Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kecil yang dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono.
Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuah batu berbentuk empat persegi panjang berwarna hitam. Batu ini menghantam tangan kanan Jayengrono dengan keras hingga Panglima buronan ini terpekik kesakitan, lepaskan keris sakti di tangannya. Senjata itu mental ke udara.
Orang tua bepakaian putih melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu beradu, kedua benda itu saling bertempelan. Ketika bambu jatuh ke bawah dan keris sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang masih berada di tangan Jayengrono.
Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang amgin dahsyat sehingga baik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih sama-sama roboh ke tanah!
SEBELAS
Sambil memegang Keris Kiyai Gajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu cepat berdiri tegak sementara Jayengrono bangkit agak sempoyongan.
Memandang berkeliling dua orang yang tegak di puncak bukit tandus itu dapatkan tiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemuda berpakaian serba kelabu.
Wiro Sableng melompat dari kudanya, memungut batu hitam yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannya untuk menghantam tangan Jayengrono.
Ketika Wiro menyelipkan batu hitam itu ke balik pinggangnya orang tua bepakaian putih di samping kirinya terdengar berdehem beberapa kali
“Hemm... Jadi itulah tadi pukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah lama mendengar baru sekali ini melihat dan merasakan...!”
Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kaget sekali ketika melihat kenyataan orang tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda ini hanya bisa menyeringai dan garuk-garuk kepala. Untuk pertanyakan siapa orang tua itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak tepat.
“Raden Mas Jayengrono, kami datang menjalankan perintah Sri Baginda. Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!” Dari atas punggung kudanya Raden Kertopati mengeluarkan suara lantang.
Jayengrono tertawa dingin. “Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hingga jauh-jauh datang turun tangan sendiri, bukan membawa pasukan tapi mengajak gembel-gembel ini!”
Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-gembel itu tentu saja Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi marah sekali dan siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak bertindak.
“Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan kesalahan yang harus kau pertanggung jawabkan di hadapan Sri Baginda!” berkata Raden Kertopati tanpa mengacuhkan ejekan orang. “Coba katakan apa dosa dan kesalahanku itu!” ujar Jayengrono seraya berkacak pinggang.
“Pertama, kau diketahui selama ini terlibat membantu kaum pemberontak. Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Si gumpil dengan maksud merongrong dan menjatuhkan Kerajaan. Kedua kau penyebab kematian Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua orang inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya. Masih banyak lagi sederet dosa dan kesalahanmu yang kurasa tak perlu disebutkan. Tapi ada satu kesalahan yang perlu kuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala Srenggi melakukan penghadangan dengan membuat perangkap lubang maut terhadapku! Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira muda!”
Jayengrono merasa geram mendengar kata-kata yang dilontarkan Kertopati itu. “Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya dengan diriku! Aku berada di sini dalam menjalankan tugas untuk menghancurkan kaum pemberontak! Malah dituduh berhubungan dengan pemberontak! Fitnah! Kau pandai memutar balikkan kenyataan Kertopati! Jika Raden Ajeng memang mau mampus, ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengan diriku?! Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagi fitnah!”
Orang tua berpakaian putih maju dua langkah. Dengan gerakan kilat dia merampas sarung keris Kiyai gajah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini berkata,
“Jayengrono, ada pepatah 'tangan mencencang bahu memikul'. Ada juga ujar-ujar 'siapa menggali lobang, dia bakal masuk ke dalamnya'. Lalu masih ada lagi 'siapa yang berbuat dosa dan kesalahan, dia yang akan menanggung'. Nah, di hadapan orang-orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!” Habis berkata begitu si orang tua putar tubuhnya dan tinggalkan tempat itu.
“Guru! Jangan pergi dulu...!” seru Jayengrono. Dalam keadaan terjepit seperti itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru melangkah terus dengan tegar, menoleh pun tidak! Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas. Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Gurumu sendiri tidak perduli! Nah kepada siapa kau minta tolong sekarang Panglima buronan?!”
“Gembel keparat! Kau juga seorang buronan dari penjara Kerajaan!” hardik Jayengrono.
Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah kanan adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain adalah Perwira Kesatu, Perwira Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.
“Ada apa ribut-ribut di sini? Siapa mereka?!” Titisan Rahwono membentak sambil memandangi orang-orang di hadapannya.
“Hemm... Rupanya cakil satu ini ikut bergabung denganmu Raden Mas... kata Kertopati yang tetap menyebut bekas atasannya itu dengan panggilan gelar kehormatan. “Dia memang sejak lama dicari Kerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua pentolan sesat bisa ditangkap...!”
“Kalian cecunguk-cecunguk hendak menangkap kami? Ladalah!” Titisan Rahwono tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya dengan tangan kiri sedang tangan kanan mengusap kepala gada batu di pinggang. “Kalau bermimpi, bemimpilah yang enak-enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini! Siapa yang menggotong bangkai kalian ke sana...?”
Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara gelaknya ditimpali oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian kerasnya hingga Titisan Rahwono dan yang lain-lainnya meraskan jalan darah mereka seperti tersentak-sentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separuhnya!
“Cakil berperut kembung ini memang lucu tampang dan lucu bicara! Raden Kertopati, jika dia nanti kita tangkap sebaiknya dijadikan badut saja untuk menghibur keluarga istana!”
“Bangsat rendah bermulut haram jadah!” teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada batunya dari lilitan rotan di pinggang.
Jayengrono yang melihat kesempatan segera berkata, “Kalian hadapi antek-antek Kerajaan ini! Aku mau tahu sampai di mana besar mulut mereka!”
Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono pergunakan kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni lereng bukit ke arah pasukan yang menunggu.
Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia menunggang kuda maka sesaat saja Kertopati berhasil mengejar. Dari atas punggung kuda Kertopati melompati bekas atasannya itu hingga keduanya jatuh bergulingan di sepanjang lereng bukit. Perkelahian antara mereka tak dapat dihindari lagi. Dari arah bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbu ke atas.
Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira. Tiga Perwira yang membelot itu sebelumnya sudah mengetahui kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Karenanya mereka biarkan saja Titisan Rahwono menghadapi pendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik mengeroyok pemuda baju kelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan!
Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu mereka bergerak menyerbu, pemuda berpakaian kelabu itu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak tangan dirapatkan, jari disusun dan dinaikkan menyentuh kening. Ketika kedua tangan itu dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga Perwira yang menyerang merasakan seperti ditarik ke kiri dan ke kanan. Ketiganya terbanting ke tanah.
Satu tak bangun lagi, dua tegak dengan sempoyongan. Satu di antaranya merasakan dadanya mendenyut sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad menyerbu kembali. Perkelahian dua lawan satu berlangsung hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga salah satu dari mereka mencelat dimakan tendangan kaki kanan Ni Luh Tua Klungkung. Kawannya segera cabut sebilah golok pendek. Dengan senjata ini dia menyerbu pemuda berbaju kelabu itu.
Setelah menggempur habis-habisan selama tiga jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama jotosan tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!
DUA BELAS
Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki kegesitan luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat kian kemari. Gada batunya menderu-deru pulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa sebenarnya.
Setelah menggempur lima jurus terus menerus tanpa mampu menyentuh apalagi merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekik aneh. Gerakan ilmu silatnya tiba-tiba berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi. Wiro melihat lawannya itu berubah bentuk. Kepalanya jadi dua dan tangannya jadi empat!
“Gila! Ilmu iblis apa ini!” memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki begitu empat tangan melabrak ke arah tubuhnya. Dua merupakan pukulan gada hitam, dua lagi cengkeraman ganas!
“Edan!” teriak murid Sinto Gendeng dan cepat melompat mundur seraya hantamkan tangan kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh luar biasa! Pukulan sakti yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu seperti menembus dinding angin, sama sekali tidak berbekas dan lewat begitu saja di tubuh lawan!
“Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!” desis Wiro geram. “Aku mau lihat apakah dia mampu menghadapi ini!”
Lalu Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagi lawan merangsak coba menghampirinya, Wiro gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil mulutnya merapal mantera.
"Bussss...!"
Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam. Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat empat kini kembali dua. Sekujur wajah dan tubuhnya tampak hangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru berhenti ketika terganjal oleh semak belukar pendek di lereng bukit.
Pendekar 212 Wiro Sableng balikkan tubuh ketika mendengar suara riuh ratusan perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian menghadapi Jayengrono. Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu saja Jayengrono memiliki kepandaian silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati.
Karenanya setelah bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-pukulan tangan kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak matang biru dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya seperti melesak disambar ujung kaki lawan.
Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak riuh rendah.
“Cincang Kepala Pasukan itu!” teriak Jayengrono.
Maka laksana air bah ratusan perajurit melompat ke depan dengan berbagai senjata. Mulai dari tombak sampai pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya tidak tertolong lagi! Dari atas bukit dua sosok tubuh lari laksana terbang. Yang di sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Tahan! Siapa berani mendekati Kepala Pasukan itu berarti minta mampus!”
Meski mendengar jelas peringatan itu, namun ratusan perajurit yang berpikiran dangkal itu mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu untuk mencincang lumat tubuh Raden Kertopati. Wiro garuk kepalanya.
“Tak ada jalan lain sahabat!” bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat itu tangan kanan Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-perakan dan membersitkan sinar berkilauan penuh angker. “Hantam!”
Maka Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah kelompok perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Jayengrono. “Lekas menghindar!”
Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan disertai hawa panas luar biasa berkiblat seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad akan mencincang Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua belas lainnya tergelimpang pingsan dengan tubuh penuh luka bakar!
Jerit dan erangan bercampur jadi satu dengan debu tanah bukit yang beterbangan ke udara. Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di lereng bukit itu sehening di pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.
“Panglima keparat! Kau mau lari ke mana?!” terdengar teriakan Ni Luh Tua Klungkung.
“Kejar dia! Jangan sampai lolos!” terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.
Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya Jayengrono melarikan diri ke arah rimba belantara di lereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu lari sehebat yang dipunyai Wiro Sableng, tapi karena jarak mereka saat itu terpisah jauh bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan dan menyelinap lenyap ketika Wiro baru sampai di tepi hutan.
“Sialan! Kemanapun kau lari akan kukejar!” kertak Wiro.
Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga. Memang ketajaman pendengaran satu-satunya yang sangat membantu di daerah seperti ini di mana mata sulit tembus memandang. Setelah lari dan memasuki rimba belantara cukup lama dan masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono melarikan diri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohon dan memperhatikan keadaan di bawahnya.
Tak ada gerakan, tak terdengar apa-apa. Tak tampak Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon lainnya sampai akhirnya telinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya. Memandang ke bawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas cabang pohon yang sama, dua cabang di sebelah bawah.
Jayengrono memandang berkeliling. Dia merasa lega karena tak terlihat tanda-tanda pengejarnya berada di sekitar situ. Lalu memutuskan untuk mendekam terus di cabang pohon. Dia sama sekali tidak tahu kalau Wiro sudah ada di atasnya.
“Manusia satu ini pantas dimandikan dulu sebelum kutangkap!” kata Wiro dalam hati.
Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah. Sesaat kemudian mengucurlah cairan putih kekuningan, jatuh ke bawah dan mendarat di atas kepala Jayengrono.
Tentu saja kagetnya Jayengrono bukan kepalang ketika merasa ada air hangat dan agak bau mengucur membasahi kepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, lalu dia mendongak. Justru ini membuat air mancur itu menghantam mukanya! Sebagian menyiram matanya, sebagian lagi ada yang masuk ke dalam mulutnya!
“Setan!” rutuk Jayengrono ketika melihat sosok tubuh yang ada dua cabang di atasnya. Dia menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua cabang di sebelah atas patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali celananya dia balas menghantam ke bawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh. Hutan itu seperti dilanda punting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak tercabut dari akarnya. Ranting dan daun-daun gugur meranggas.
Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan saja karena pukulan yang dilepaskan Wiro tapi karena angin pukulannya tadi ikut terseret dan balik menghantam dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan pada batang pohon. Tapi meleset karena batang pohon itu licin tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya mental ke bawah bersama patahan cabang yang tadi didudukinya.
Dia coba andalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dan jungkir balik di udara agar dapat turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang datang dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannya tidak karuan. Dia sampai di tanah dengan kepala lebih dahulu.
Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepala pecah dan leher patah. Wiro garuk kepala, melompat dan turun ke bawah lewat patahan cabang-cabang pohon. Kembali dia garuk-garuk kepala ketika melihat mayat Jayengrono.
Seseorang menyeruak pohon berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.
“Mampus juga akhirnya!” kata Wiro sambil menunjuk ke arah mayat Jayengrono.
Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat memandang ke mayat Jayengrono, ketika dia berpaling ke arah Wiro, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuh.
“Eh, kenapa kau... sahabat?!” tanya Wiro heran.
“Orang gila!”
“Gila! Siapa yang gila?” Wiro terheran-heran.
“Rapikan dulu celanamu!” teriak sang dara.
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata sehabis mengencingi Jayengrono dari atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat-cepat pemuda ini tarik celana putihnya ke atas sambil menyengir!
Ruangan besar tempat pertemuan dalam istana itu penuh sesak oleh orang banyak yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh Sri Baginda. Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212 Wiro Sableng bersama sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil tempat duduk agak sebelah belakang.
Patih Haryo Unggul baru saja selesai membacakan keputusan raja atas pengangkatan Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu gelarnya pun dirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.
Selesai pembacaan pengumuman pengangkatan Kertopati menjadi Kepala Pasukan Kerajaan yang baru itu maka Kertopati naik ke mimbar untuk membacakan pula keputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.
Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa sesuai dengan jasa-jasanya yang sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro Sableng diangkat menjadi Kepala Pasukan Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang sampai hari ini tidak diketahui pasti siapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap pembantu khusus Kepala Pasukan Kerajaan.
“Untuk itu kami harapkan kedua tokoh Kerajaan yang baru itu naik ke mimbar!” begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.
Semua orang berpaling ke deretan kursi sebelah belakang di mana Wiro Sableng dan sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua orang itu tak lagi di sana. Beberapa orang mengejar ke luar ruangan, sampai ke langkan dan halaman istana. Tapi dua pemuda itu raib tanpa seorangpun tahu ke mana perginya!
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar