WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : DEWI DALAM PASUNGAN
MATAHARI baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan dipekuburan Jati anom nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di u jung kanan tanah pekuburan, dibawah sepokok batang Kemboja kecil tampak seungguk tanah makam yang masih merah ditaburi oieh bunga-bunga aneka warna.
Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan udara semakin geiap. Pada saat itulah tiga sosok berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah pekuburan.Ketiganya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak seorangpun kelihatan di tempat itu, ketiganya melangkah bergegas menuju kuburan baru. Dua dari tiga orang ini memanggul pacul. Satunya membawa linggis.
"Ini kuburannya! Kita harus bekerja cepat!" terdengar orang yang membawa linggis berucap.
"Tak usah kawatir. Kuburan baru tanahnya masih lembek. Sebentar saja kita pasti menemukan peti itu!" menjawab pemanggul pacul di sebelah kanan.
Lalu bersama temannya dia mulai memacul dan menggali tanah kuburan. Keduanya bekerja keras dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sampai akhirnya salah satu mata pacul terasa dari terdengar menghantam benda keras.
"Peti jenazah!" seru orang yang memacul di sebelah kanan. Dengan tangannya dia menggeser tumpukan tanah, kawannya ikut membantu. Dalam gelapnya malam kemudian terlihat kayu tutup peti jenazah.
"Berikan linggis!" orang di dalam lobang berteriak.
Lelaki yang memegang linggis menyahuti, "Biar aku yang membuka tutup peti!" Lalu dia melompat turun ke dalam liang kubur yang barusan dibongkar itu. Dengan ujung linggis dia mulai mengungkit tepi penutup peti. Terdengar suara berkereketan ketika kayu penutup peti jenazah mulai terkuak.
"Ganjal dengan paculmu! Aku akan mengungkit ujung sebelah sana!" si tukang linggis berkata. Kawannya lalu mengganjalkan paculnya dibawah penutup peti yang terkuak. Ketika ujung yang lain berhasil diungkit pula maka penutup peti itupun dengan mudah bisa ditarik lepas.
"Hai!" Orang yang membuka penutup peti berseru kaget tapi juga keheranan. Dua kawannya sama-sama besarkan mata, terperangah. Salah seorang dari mereka malah berjongkok dan memasukkan kedua tangan ke dalam peti, meraba-raba.
"Kosong...!" desisnya sambil menengadah ke arah kedua temannya. "Petinya kosong! Kalian lihat sendiri!"
"Kami sudah melihat! Ini adalah aneh! Mana jenazah puteri hartawan itu...?!"
"Edan! Kita kemari bukan untuk mencari mayat! Tapi mencuri harta yang kabarnya ikut dikuburkan bersama jenazah Yuniarti putri bungsu hartawan Tampakjati!"
Untuk beberapa lamanya ketiga orang itu tertegun saling pandang. "Ada suatu rahasia dibalik semua ini! Rahasia yang kita tidak mengerti!"
"Kau betul! Putri hartawan itu diketahui mati. Lalu dikubur di tempat ini! Tapi ketika dibuka petinya ternyata kosong! Tak ada jenazah, apa lagi harta!"
"Mungkinkah jenazah itu gaib...?"
"Atau seseorang telah mendahului kita. Tapi gila! Mustahil! Tidak mungkin!"
"Lalu...? Jangan-jangan..." Yang berkata adalah lelaki yang tadi memcongkel penutup peti jenazah dengan linggis.
Belum lagi ucapannya berakhir tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Bagus! Jadi ini kerja kalian! Membongkar makam mencari harta! Kalian tahu makam siapa yang kalian bongkar?! Benar-benar mencari mampus!"
Tiga lelaki berpakaian serba hitam di dalam lobang sama mendongak ke atas. Di tepi kuburan mereka melihat seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah garang dan membekal sebatang golok di pinggangnya tegak bertolak pinggang. Mereka segera mengenali siapa adanya orang ini. Salah seorang dari ketiganya segera menjawab.
"Lancang Item! Kau tidak lebih baik dari kami. Mengapa mencampuri pekerjaan kawan segolongan...?!"
Orang yang tegak ditepi kuburan mendengus. "Aku berhak melakukan apa saja disini karena aku ditugasi mengawasi makam ini!"
"Siapa yang menugasimu?"
"Bangsat! Kau tak layak bertanya!" hardik Lancang Item "Kalian telah melakukan satu kesalahan besar! Membongkar kuburan dan punya niat jahat untuk mencuri!"
"Kau linat sendiri! Peti ini kosong! Tak ada mayat apa lagi harta!"
"Sudahlah! Mengapa harus ribut-ribut di tempat ini. Mari kita pergi saja..." Kata lelaki yang memegang linggis.
"Tidak! Kalian akan tetap di lobang itu!" Lancang Item maju satu langkah.
"Apa maksudmu?!" orang dalam kubur bertanya.
"Srettt...!"
Lancang item hunus goloknya. Dalam gelapnya malam benda itu masih tampak seperti berkilau tanda selalu diasah. Melihat gelagat tidak baik ini tiga orang didalam kubur segera memanjat keatas. Saat itulah golok di tangan Lancang Item berkelebat. Terdengar dua pekikan berturut-turut. Dua orang di samping kanan yang tengah berusaha memanjat dan keluar dari dalam kubur kembali jatuh dengan punggung luka besar dan satu lagi hampir putus pangkal lehernya. Lelaki ketiga lindungi dirinya dengan linggis besi sewaktu golok di tangan Lancang Item kembali membabat.
"Trangg...!"
Bunga api memercik ketika golok tajam dan besi linggis beradu. Yang memegang linggis mera-sakan tangannya bergetar keras. Saat itu kembali dilihatnya golok datang menyambar! Untuk kedua kalinya dia angsurkan linggis ke atas. Tapi sekali ini Lancang Item tidak mau melakukan bentrokan lagi. Golok ditangannya diputar. Senjata ini berubah dari membabat menjadi membacok. Terdengar pekik ketiga. Lelaki yang memegang linggis rubuh ke dalam kubur dengan kepala hampir terbelah!
"Maling-maling picisan mau berlagak melawanku!" ujar Lancang item. Lalu dia masukkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ke dalam mulut. Terdengar suitan nyaring. Sesaat kemudian dua orang bergegas muncul dari arah barat.
"Lekas kalian timbun makam ini!" berkata Lancang Item begitu dua orang tadi sampai dihadapannya. Keduanya mengangguk. "Kalian bisa pergunakan dua pacul yang ada di dalam sana!"
Kembali dua orang itu mengangguk. Tapi ketika hendak mengambil pacul mereka melihat tiga sosok tubuh yang saling timpang tindih di dalam lobang. Dua mungkin sudah mati, satu masih terdengar mengerang. Lancang item segera maklum keraguan mereka. Maka diapun menghardik.
"Kalau aku perintahkan kalian menimbun kuburan berarti apapun yang ada didalamnya harus kalian timbun! Lakukan cepat!" Lancang Item memandang berkeliling. Dia kawatir kalau-kalau ada orang lain berada disekitar situ dan sempat menyaksikan apa yang terjadi.
Mendengar bentakan Lancang Item dua orang tadi segera mengambil dua pacul di dalam kubur lalu dengan cepat kembali menimbun dan menguruk kuburan yang tadi sempat digali oleh tiga orang pencuri harta.
"Pekerjaan kami telah selesai Lancang," seorang penimbun memberi tahu.
Lancang Item mengangguk. Lalu keluarkan sebuah kantong dari balik pakaiannya. Kantong itu dilemparkannya pada orang yang tegak disebelah kanan.
"Bagi dua uang itu. Dan mulai saat ini kalian harus meninggalkan daerah ini! Tidak boleh kembali dengan alasan apapun! Bila rahasia ini tersebar diluaran berarti kalian yang membuka dan menyebarkannya! Aku akan mencari dan membunuh kalian! Mengerti?!"
"Kami mengerti Lancang..."
"Nah pergilah! Bawa pacul-pacul itu, buang di tempat jauh!"
Untuk beberapa lamanya Lancang Item masih tegak di tempat itu memperhatikan kepergian dua orang yang membawa pacul. Setelah keduanya lenyap dikegelapan malam baru dia beranjak meninggalkan tempat itu.
Tiga orang putera Raden Tambakjati Kalidiningrat duduk mengelilingi ayah mereka sementara ibunda ketiganya berada di kamar tidur dalam suasana duka. Ketiga putera yang datang dari jauh ini sama menyesalkan mengapa adik mereka begitu cepat dimakamkan tanpa menunggu kedatangan mereka hingga tak dapat melihat si adik untuk penghabisan kali.
"Adik kalian meninggal karena penyakit sampar," Raden Tambakjati berkata dengan menundukkan kepala. "Jika tidak segera dimakamkan bisa-bisa banyak orang yang akan ketularan, termasuk seisi rumah besar ini... Kalian putera-puteraku yang kucintai... Aku dapat merasakan apa yang ada dilubuk hati kalian. Besok, pagi-pagi sekali kalian bertiga bisa menyambangi makamnya di pekuburan Jatianom...."
"Dua tahun lalu..." yang bicara adalah Tubagus Kalidiningrat, putera tertua yang datang dari Solotigo, "ketika adik Yuni mencapai usia empat belas tahun, saya mendengar kabar dirinya menderita semacam penyakit aneh. Penyakit seperti kurang ingatan"
Raden Tambakjati angkat kepalanya dan menatap paras putera sulungnya itu. "Dari mana kau mendengar kabar itu? Siapa yang mengatakan begitu padamu...?"
"Saya tidak ingat dengan pasti ayah. Hanya saja... apakah kabar itu betul?"
"Kabar fitnah! Fitnah busuk yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka pada kita! Jangan kau percayai hal yang memalukan itu Tubagus.
"Saya memang tidak pernah mempercayainya ayah," jawab Tubagus Kalidiningrat.
"Kalian bertiga datang dari jauh, tentu, sangat letih. Pergilah beristirahat dulu. Sehabis ba'dal Isya akan diadakan pengajian. Kuharap kalian bertiga turut hadir..."
Ketiga putera Tambakjati sama mengiyakan lalu meninggalkan tempat itu, tepat pada saat Lancang Item datang menghadap. Hartawan Tambakjati menunggu sampai ke tiga puteranya meninggalkan tempat itu lalu berdiri dan memberi isyarat agar mengikutinya.
"Katakan cepat apa yang menyebabkanmu baru saat ini sampai kemari?" bertanya Tambakati. Lancang Item lalu menuturkan apa yang terjadi dipekuburan Jatianom
"Apa yang kau lakukan sudah cukup baik. Hanya saja masih ada yang kurasa mengganjal..."
"Hal apakah itu Raden?" tanya Lancang Item. "Dua orang tukang timbun itu seharusnya kau bereskan juga hingga semua rahasia tidak bisa bocor!"
"Saya sudah memberinya uang, menyuruhnya pergi dari. daerah ini dan mengancamnya! Mereka tak mungkin akan membocorkan rahasia itu Raden. Lagi pula saya sudah kenal lama keduanya. Mereka bisa dipercaya..."
Raden Tambakjati tatap merasa tidak enak didalam hatinya. Lalu dia berkata : "Mulai hari ini, paling tidak satu kali seminggu kau menjenguk tempat itu Lancang..."
"Itu menjadi tugas saya Raden. Apakah saya juga harus membawa obat-obatan dari perempuan tua bernama embah Gromboh itu?"
"Tidak perlu. Sejak lama aku dan istriku sudah menduga perempuan itu tidak mampu mengobati. Hanya saja selama ini kita memakainya karena mengharapkan ada kebaikan. Kenyataannya me-mang tidak.. Tempat yang kau pilih itu benar-benar baik dan aman Lancang?"
Lancang Item mengangguk. "Tempatnya sangat kelindungan. Tak ada manusia yang pernah mendekati tempat itu. Sama sekali tidak dijejak binatang buas. Sumber air terdekat tidak jauh dari situ. Sewaktu-waktu saya akan mengantarkan Raden," ujar Lancang.
"Kau boleh pergi. Jangan lupa menyirap-nyirap segala cerita dan desas desus diluaran..."
"Akan saya lakukan Raden. "Lancang Item membungkuk hormat lalu tinggalkan hartawan Tambakjati Kalidiningrat.
Bukit Jatipadang hanya merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki penduduk yang tinggal sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak ada binatang buas, tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai bukit yang ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena mengejar rusa buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang. Namun binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk sekitarnya.
Di puncak bukit, tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, secara tidak terduga tampak berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hutan, beratap rumbia dan sama sekali tidak berdinding. Mendapatkan adanya bangunan ini saja ditempat itu sudah merupakan suatu keanehan. Ditambah dengan apa yang terdapat dibawah atap gubuk itu maka tampaklah satu keluar biasaan.
Dibawah atas rumbia, diatas lembaran-lembaran papan jati kasar tampak duduk seorang dara berusia sekitar enam belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu, mengenakan pakaian berbentuk jubah panjang terbuat dari kain kasar tegai dan berlapis dua. Kelihatannya dara ini duduk termenung, tetapi sepasang bola matanya sesekali tampak berputar aneh.
Lalu mulutnya menyunggingkan senyum. Dari mulut itu acap kali terdengar suara seperti mendesah kedinginan. Ada kalanya dara ini tertawa melengking-lengking. Kadang-kadang tanpa diketahui sebabnya dijambaknya rambutnya yang hitam.
Di lantai di hadapannya, sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai buah-buahan. Sebagian telah banyak yang busuk. Lalu ada sebuah kendi tanah berisi air yang tergoleh dan tumpah sebagian isinya. Dara di dalam gubuk ini hanya mampu menggeser tubuhnya sedikit saja karena kedua kakinya dijepit pada dua buah lobang diantara dua balok jati. Kedua balok ini diikat erat dengan dua untai besi yang ujung-ujungnya dikunci dengan kura-kura besi!
Jelas dara ini diasingkan dan dipasung di bukit terpencil itu. Wajahnya yang pucat jelas menunjukkan dia kurang makan atau tidak perduli dengan makanan. Tubuhnya kuyu lemas tanda kurang minum. Kulitnya yang kuning langsat tertutup debu dan daki yang mulai menebal. Semua itu menunjukkan bahwa paling tidak sang dara telah dipasung di tempat itu lebih dari lima hari lalu.
Siapakah dara yang malang ini, Lalu siapa pula yang begitu sampai hati membawanya ke puncak bukit Jatipadang dan memasung kedua kakinya dalam balok jati? Dara berwajah panjang yang tersembunyi kecantikannya dibawah keadaan dan pen-deritaan itu adalah Yuniarti Kalidiningrat, putri tunggal atau anak bungsu hartawan Tambakjati.
Lima hari lalu dia diberitakan meninggal dunia karena menderita penyakit sampar. Jenazahnya dikuburkan dengan terburu-buru sampai-sampai tiga orang kakaknya tidak sempat melihatnya untuk penghabisan kali. Namun apa yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa dara itu tidak pernah meninggal dunia. Acara kematian dan penguburan semua adalah sandiwara belaka, diatur oleh sang ayah ibu dan orang kepercayaan hartawan Tambakjati yaitu Lancang Item.
Sejak dua tahun sebelumnya Yuniarti yang waktu itu berusia empat belas tahun ditimpa malapetaka mengenaskan. Dara yang beranjak remaja putri ini tiba-tiba saja menunjukkan kelainan pada sikap dan gerak geriknya. Sikap dan keadaan Yuniarti adalah sikap seorang yang kurang waras, kurang ingatan alias gila!
Berbagai usaha telah dilakukan secara diam-diam oleh kedua orang tuannya untuk mengobati putri tunggal mereka itu. Namun sia-sia belaka. Sang dara tidak dapat disembuhkan. Sebagai turunan istana, tentu saja Tambakjati Kalidiningrat dan istrinya akan mendapat malu besar kalau gilanya putri mereka sampai diketahui orang luar.
Karena merasa mereka tidak dapat lagi menjaga dan mengasuh anaknya, ditambah entah setan dari mana yang datang merasuk, dibantu oleh Lancang Item maka disusunlah satu rencana diluar batas kemanusiaan. Yuniarti harus keluar dari rumah besar, disembunyikan disatu tempat dan ditempat itu dia harus dipasung hingga tidak mungkin melarikan diri.
Lancang Item ditugaskan paling tidak satu kali seminggu mengurus keperluan gadis itu, mengantarkan makanan dan sebagainya. Agar lengkapnya sang dara tidak menimbulkan kecurigaan, maka di-susun lah sandiwara kematian dan pemakaman Yuniarti.
Padahal peti mati tidak berisi apa-apa alias kosong. Tiga orang pencuri bernasib malang ketika mereka ketahuan membongkar kuburan dan mendapatkan peti mati dalam keadaan kosong. Agar rahasia peti kosong itu tidak sampai diketahui orang Lancang Item yang memang ditugaskan untuk menjaga segala kemungkinan langsung membunuh ke tiga pencuri itu!
Pada hari ke enam, tak ada lagi buah-buahan atau makanan lain yang bisa dimakan. Air dalam kendi tanah sudah lama kering. Tetapi sang dara yang tidak waras pikirannya itu sama sekali tidak acuh. Sepanjang hari dia tertawa atau mengeluarkan suara seperti menangis hingga suaranya menjadi parau. Pakaian dan tubuhnya semakin kotor. Rambutnya berlapis debu pada siang hari dan berlapis embun pada malam hari.
Berkali-kali dia menyentak-nyentakkan kedua kakinya seperti berusaha melepaskan jepitan balok kayu jati tetapi sia-sia saja. Kedua pergelangan kakinya tampak luka dan lecet. Lantai papan kotor dan menghampar bau amis dan bau kotoran. Dan karena si dara membaringkan tubuhnya di lantai yang sama jika mengantuk maka pakaiannya pun ikut menjadi kotor dan bau.
Sungguh mengenaskan penderitaan gadis enam belas tahun ini. Tetapi justru dia sendiri tidak menyadari apa sebenarnya yang tengah dialaminya. Pada pagi hari ke tujuh, belum lama matahari muncul menerangi bumi, disaat Yuniarti duduk sambil mengeluarkan suara mencaci maki tiada henti dan tangan kiri kanan menjambaki rambutnya sendiri, dari rerumpunan semak belukar dekat mata air tiba-tiba terdengar suara mendesis panjang disusul dengan muncul dan meluncurnya dua ekor ular hijau berkepala besar pipih.
Seperti tertarik oleh bau busuk yang datang dari gubuk, kedua binatang ini, satu jantan satunya betina, meluncur cepat ke arah Yuniarti. Di depan gubuk tanpa dinding kedua binatang itu berhenti. Sebagian tubuhnya sebelah bawah terus menempel ke tanah, sebagian yang sebelah atas berdiri tegak, lidah terjulur keluar masuk, mulut membuka memperlihatkan gigi dan taring-taring runcing sedang sepasang mata merah pekat tidak berkedip.
Dua ular ini adalah dua kobra hutan yang ganas dan sangat berbisa. Sekali seseorang atau binatang sempat digigit atau dipatuknya pastilah akan menemui kematian dalam waktu beberapa kejapan mata! Tetapi anehnya di hadapan gubuk dua ekor ular kobra hutan itu sama sekali tidak menyerang, apalagi mematuk Yuniarti. Binatang ini tegak lama sekali, tidak bergerak.
Sang dara sendiri dalam ke tidak warasannya sama sekali tidak menyadari bahaya apa sebenarnya yang dihadapinya saat itu. Malah sambil tertawa cekikikan dia menjentik-jentikan jari-jari tangan kiri dan kanannya ke arah dua ekor ular kobra hutan. Binatang-binatang ini menarik kepalanya masing-masing ke belakang, sikapnya seperti hendak mematuk. Tapi tidak.
Setiap jentikan yang dibuat Yuniarti diikuti kedua ular itu dengan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri atau ke kanan, semakin cepat sang dara menjentik, semakin cepat pula goyangan kepala ular, jika lambat jentikan maka lambat pula gerakan kepala kedua binatang itu. Yuniarti tertawa pula gerakan selain menjentik-jentik mengeluarkan suara tlik... tlik... tlik di ujung-ujung jarinya, dara itu juga mengerak-gerakkan tangannya.
Dan terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya. Kedua ekor ular kobra menggerak gerakkan tubuh mereka sebatas pinggang ke atas kian kemari seperti menari! Entah berapa lama hal itu berlangsung, sampai akhirnya Yuniarti merasa letih dan berhenti menjentik-jentik. Dara ini letakkan kedua tangannya diatas paha tangannya kemudian dipukul-pukulkan ke paha. Mulutnya berucap,
"Kawan-kawanku... anak anak manis berkepala besar yang lucu, bermata merah yang bagus mari mendekat. Mari kita lanjutkan permainan. Aku banyak permainan dan aku akan ajarkan pada kalian. Mari mendekat, letakkan kepala kalian di telapak tangan ku!"
Aneh sungguh aneh! Seolah-olah mengerti apa yang diucapkan sang dara. Kedua binatang berbisa dan mematikan itu meluncur mendekat, naik ke atas lantai papan jati lalu menjulur dan mendekatkan kepalanya di telapak tangan sang dara. Satu ditelapak kiri, lainnya di telapak tangan kanan!
"Ah... wajah-wajah kalian ternyata tidak cakap! Tapi lucu! Aku suka pada kalian! Aku mau berteman dengan kalian!" kata Yuniarti pula.
Lalu tangannya kiri kanan mengusap-usap kepala kedua ular kobra hutan itu. Binatang binatang ini kedip kedipkan kedua mata masing-masing seperti senang dan keenakan. Ketika Yuniarti berhenti mengusap, kini dua ekor ular kobra itu yang ganti mengusap tangan sang dara yakni menjilati telapak tangan yang terkembang. Kedua telapak tangan yang tadinya kotor berdebu dan penuh daki itu, sebentar saja menjadi putih bersih!
"Hai... Hik-hik-hik! Kalian mencuci tanganku yang kotor! Hik-hik-hik! Terima kasih. Kalian sahabat yang baik..."
Dua ekor ular kobra mengibas-ngibaskan ekor masing-masing seolah-olah senang mendengar kata-kata Yuniarti . Kedua binatang ini lalu menjilati bagian tubuh sang dara yang lain. Lengannya kedua kaki, lalu leher dan wajahnya. Sesekali terdengar suara tawa cekikian Yuniarti karena kegelian.
Selagi dua ekor ular itu menyisiri rambut sang dara dengan ujung-ujung ekor mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah mendatangi. Semak belukar tersibak dan tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi muncul membawa sebuah buntalan kain. Orang ini bukan lain adalah Lancang Item yang datang membawa makanan dan buah-buahan aru untuk Yuniarti.
Lancang Item hentikan langkahnya begitu kedua matanya melihat dua ekor ular kobra berada di dekat sang dara. Yuniarti tak bergerak dalam duduknya. Matanya memandang tajam ke arah Lancang Item. Dua ekor ular kobra juga tampak tegak dengan kepala terpentang menghadap Lancang Item kedua kobra ini berubah memperlihatkan sikap ganas dan siap menyerang.
Perlahan lahan Lancang Item turunkan bun talan yang dipanggulnya. Matanya tidak lepas dari memperhatikan dua eKor ular yang kini terdengar mulai mendesis desis. Begitu buntalan diturunkan, tangan kanan Lancang Item cepat menempel ke hulu golok di pinggang.
"Ra... raden Ayu..." suara Lancang Item bergetar karena ketakutan. Dia tak berani mendekat. "Bagaimana... kau... kau bersahabat dengan ular-ular jahat dan berbisa itu?"
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Lalu dia melengking tinggi. Dua ekor ular disebelahnya ikut mendesis panjang. Membuat Lancang Item ketakutan dan mundur satu langkah. "Dua orang berbaju hijau ini sahabat-sahabatku! Mereka tidak jahat! Mereka tidak seperti kalian manusia-manusia laknat!"
"Dua orang berbaju hijau...?" ujar Lancang Item terheran. "Dua orang siapa maksudmu... den ayu?"
"Mereka! Mereka sahabat-sahabatku!" teriak Yuniarti sambil menunding pada sepasang ular kobra hutan berwarna hijau.
Lancang Item sesaat terdiam sambil gigit bibirnya. "Kalau... kalau mereka sahabat-sahabatmu suruh mereka pergi dulu. Suruh Keduanya menjauh. Aku datang membawa makanan dan buah-buahan untukmu..."
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Dua ekor ular kobra kembali keluarkan suara mendesis. "Jangan berani menyuruh pergi mereka! Kau yang harus pergi! Aku tidak butuh makanan! Pergi... pergi..."
"Raden ayu... dengar baik-baik... Dua ekor ular itu sangat ganas dan berbisa. Kau bisa dibunuh nya..."
"Tidak! Mereka tidak akan membunuhku. Tapi akan membunuhmu!" teriak Yuniarti. Lalu dia berpaling pada kedua binatang itu dan berkata: "Sahabat-sahabatku. Bunuh manusia jelek itu! Hik-hik-hik...!"
Dua ekor kobra hutan tarik kepala masing-masing kebelakang. Mulut mendesis. Lalu laksana terbang kedua binatang itu melompat ke arah Lancang Item. Lancang Item yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga, melihat dua ekor ular melesat ke arahnya cepat bertindak mundur sambil mencabut golok dan menyabat ke depan. Tapi lelaki ini kalah cepat. Goloknya baru mampu keluar setengah badan saja dari dalam sarung ketika dua ekor ular kobra mematuk tubuhnya, satu di dada, satu lagi di bagian perut!
Lancang Item keluarkan pekik setinggi langit. Golok dibuang ke tanah. Dia membalikkan tubuh lalu lari sekencang yang bisa dilakukannya ke bagian lereng bukit dimana dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai di tempat kuda tertambat, lelaki ini langsung melepaskan ikatan kuda, melompat ke punggung binatang ini dan memacunya sekencang-kencangnya.
Lancang Item tahu kalau bahaya maut tengah menghadangnya. Meskipun demikian dia berusaha menyelamatkan diri dengan mengeluarkan bisa ular yang mulai menjalar di tubuhnya. Dengan sebilah pisau kecil dia menoreh dua patukan ular lalu memencetnya kuat-kuat hingga darah menyembur. Apa yang dilakukan Lancang Item hanya mampu menunda kematiannya beberapa ketika.
Ditengah jalan, jauh sebelum mencapai gedung kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat, lelaki ini menghembuskan nafas. Ketika kuda sampai di pintu gerbang halaman kediaman Tambakjati, binatang ini hanya tinggal membawa mayat penunggangnya!
Hartawan Tambakjati jatuh terduduk di kursinya dengan kedua tangan ditutupkan ke wajahnya yang pucat. Istrinya telah lebih dulu jatuh pingsan dan dibawa masuk ke dalam kamar, dibaringkan diatas tempat tidur. Penyebabnya tidak lain ketika kedua suami istri ini menerima kabar kematian Lancang Item, yang berarti sangat sulit bagi mereka untuk dapat menemukan kembali puteri mereka yang dipasung dan dikucilkan. Karena kecuali Lancang item, tak ada lagi orang lain yang mengetahui dimana Yuniarti disembunyikan dan diasingkan!
Malam itu hujan turun lebat sekali menyirami bumi. Suaranya menegakkan bulu roma. Apalagi sesekali terdengar guruh menggelegar disertai kilat menyambar. Dinginnya udara bukan alang ke-palang terutama di daerah yang tinggi seperti bukit Jatipadang. Dalam keadaan cuaca seperti itu lapat-lapat terdengar suara seperti orang menyanyi.
Lagu yang dibawakannya sama sekali tidak berujung pangkal. Dan nyanyian itu seringkali diseling oleh suara tawa cekikikan atau suara seperti orang menangis pilu. Suara nyanyian ini datang dari arah gubuk tan pa dinding beratap rumbia. Dan yang nyanyi bukan lain adalah gadis malang dalam pasungan.
"Hujan... hujan air...
Bukan hujan batu...
Bukan hujan duit. Hik-hik-hik!
Bukan hujan tai. Ha-ha-ha!
Hujan... hujan... turun biar lebat...
Lebih lebat!
Biar hanyut tempat ini
Biar aku sampai ke sorga. Hik-hik-hik!
Apa sih sorga...?
Hujan.. Mengapa hujan air?
Mengapa tidak banjir?
Aduh... aku ingin kencing...!
Mau beser aih... Hik-hik-hik!"
Yuniarti goyang-goyangkan kedua kakinya yang dijepit balok kayu, lalu kencing di tempat itu.
"Ih... panas... Kencingku panas!" si dara gila berteriak. Sesaat kemudian dia kembali berteriak, "Uh... dingin... udara dingin! Sedingin di kuburan? Tapi mati bohong bohongan! Mati pura-pura! Hik-hik-hik! Orang orang tolol itu bermain sandiwara. Aku dibilang mati. Padahal ini aku! Masih hidup! Tolol... tolol..." Sang dara hentikan nyerocosnya dibawah hujan lebat itu. Dia ingat sesuatu. "Heh...?" Di mana mereka... Dimana mereka...?"
Gadis itu garuk-garuk rambutnya dan memandang berkeliling. Lalu dia berseru sambil bertepuk tangan tiada henti.
"Sahabat-sahabatku! Dimana kalian! Malam celaka ini dingin sekali. Aku kedinginan! Apa kalian juga kedinginan... Hai! Lekas datang kemari. Mari kita tidur berhimpit-himpitan! Biar hangat. Sahabat-sahabatku! Dimana kalian?!"
Didalam gelapnya malam, dibawah hujan lebat tiba-tiba meluncur dua sosok tubuh panjang. Sesaat kemudian dua sosok tubuh yang melata di tanah ini naik ke atas lantai jati, terus meluncur ke pangkuan Yuniarti. Sang dara bersorak gembira.
"Aih... kalian kebasahan! Hujan jahat! Mari kukeringkan tubuh kalian!"
Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara Yuniarti lalu mengusap-usap sosok tubuh dua ekor ular kobra hutan. Kedua binatang ini merunduk bergelung di pangkuan sang dara, tak bergerak-gerak, diam kesenangan.
"Nah... nah! Sekarang kalian berdua pasti su-dah enak kehangatan. Sekarang kalian boleh tidur! Kita boleh tidur sama-sama! Besok bangun pagi... pagi. Bukankah kita harus ke sekolah...?! Hik-hik-hik! Hanya manusia-manusia tolol-lah yang pergi berguru ke rumah Romo! Kita tidak mau jadi orang tolol! Jadi tak usah belajar. Lagi pula... hik-hik-hik! Mana ada tempat belajar untuk kalian dua sahabatku? Tempat penga-jianpun tidak ada bagi kalian berdua! Hik-hik-hik! Ha-ha-ha...!"
Yuniarti lalu merebahkan tubuhnya diatas lantai kayu jati yang lembab dan kotor. Kedua matanya dipincingkan. Tapi dari sela bibirnya terdengar suara nyanyian perlahan. Dua ekor ular kobra hutan bergelung diatas perutnya. Ketika dara ini hampir tertidur, kedua binatang itu perlahan-lahan bergerak. Satu meluncur disepanjang tangan kiri sang dara, satunya di sepanjang lengan kanan.
Sampai di ujung tangan, beberapa saat lamanya kedua binatang ini menjilati telapak tangan Yuniarti hingga membuat gadis ini tambah mengantuk dan mulai tertidur pulas. Dua ekor ular kobra hutan menggerakkan kepala masing-masing ke arah jari-jari tangan si gadis. Keduanya mula-mula menjilati ujung-ujung lima jari Yuniarti.
Lalu dengan gerakkan sangat perlahan hingga tidak menjagakan si gadis dari tidurnya apalagi sampai merasa kesakitan, dua ular kobra ini mematuki satu demi satu ujung-ujung jari Yuniarti. Demikian dilakukan binatang-binatang ini berulang kali sampai sepuluh jari tangan si gadis tampak berwarna kehijauan dan membengkak.
Keesokan paginya ketika si gadis terbangun dua ekor ular itu tak ada lagi di gubuk. Sang dara sejenak memperhatikan lima jari tangannya yang membengkak. Pada setiap ujung jari kini tampak adanya lima titik kecil sebesar ujung lidi berwarna kehijauan. Karena otaknya tidak waras, gadis ini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan tangannya. Apakah jari-jari tangan itu sebelumnya memang besar bengkak seperti mengambang, ringan dan ada hawa panas aneh menjalar dalam pembuluh-pembuluh darahnya.
Kejadian kedua ular itu mematuki jari-jari Yuniarti berlangsung selama tujuh malam berturut turut. Keduanya selalu mematuk pada tanda bintik hijau yang sama. Pada malam ke tujuh, menjelang pagi, secara aneh sepuluh jari tangan yang bengkak tampak berubah kempis dan kembali ke bentuk semula. Hanya titik titik hijau pada masing-masing ujung jari yang tidak mau hilang dan tampak lebih hijau, lebih jelas.
Hawa panas yang selama ini menguasai tubuh Yuniarti tujuh hari tujuh malam berangsur surut namun suhu badan sang dara kini sedikit tetap lebih panas dari sebelumnya. Hawa panas ini membuat sepasang matanya seperti mengeluarkan sorotan aneh yang akan menggetarkan setiap siapa saja berani memandangnya.
Pada hari ke delapan, yakni sehari setelah ular-ular itu mematuki jari-jari tangan sang dara tujuh malam berturut-turut, waktu bangun dari tidurnya Yuniarti dapatkan kedua sahabatnya telah tegak setengah badan di depan gubuk. Sikap dua ekor ufar ini agak aneh, tidak seperti biasanya bergerak lincah kian kemari. Binatang-binatang ini tegak menatap ke jurusan Yuniarti dengan sepasang mata merah tak berkesip. Kepala melebar pipi dan ditarik kebelakang. Mulut menganga memperlihatkan lidah hijau berbisa dan gigi-gigi runcing mengerikan.
"Hai! Mengapa kalian diam-diam saja disitu? Apa kalian sudah minum kopi? Hik-hik-hik...! " Yuniarti menegur lalu tertawa cekikikan.
Dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis Tubuh yang tegak tertarik ke belakang. Tiba-tiba keduanya melesat ke arah Yuniarti. Jelas kedua binatang ini melancarkan serangan. Mematuk ke arah dada dan leher sang dara. Karena otaknya tidak waras Yuniarti sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya. Malah gadis ini tertawa-tawa gembira, gerak-gerakkan kedua tangan, goyangkan kepala seperti menari!
Ketika kepala dua ekor ular yang mematuk hanya tinggal seujung jari dari sasaran yang diserang, mendadak dua kepala itu tampak berhenti mematuk dan tertarik jauh ke belakang. Tapi hanya sesaat saja. Di lain kejap dua ekor ular kobra itu kembali menyerang. Dan begitu patukan mereka hanya tinggal sedikit saja lagi akan menghunjam di kepala atau bagian tubuh sang dara, gerakan mereka berhenti, kepala masing-masing ditarik lagi kebelakang. Demikian berulang kali. Terus menerus. Semakin lama kelamaan gadis ini merasa letih dan turunkan kedua tangannya.
"Aku capai! Mari kita istirahat sebentar sambil minum kopi hangat dari angin. Hik-hik-hik!"
Tapi sepasang ular kobra hutan tidak mau berhenti. Terus saja pulang balik mendesis dan menyerang.
"Hai! Kalian tidak dengar apa yang aku bilang?" Yuniarti membentak karena mulai jengkel. Lalu dia jambak-jambak rambutnya sendiri.
"Sssss...!" Sepasang ular mendesis. Uap hijau menyambar. Lalu keduanya kembali menyerang berulang kali hampir tiada henti.
"Sahabat-sahatku! Kalian pasti sudah gendeng! Jangan bikin aku marah!"
"Sssss...!" Dua ekor ular kembali mendesis dan melanjutkan serangan-serangan.
"Sahabat-sahabat kurang ajar! Kalian tidak kugebuk kalian tentu belum kapok!"
Habis berkata begitu Yuniarti kibaskan tangan kanannya. Kali ini lebih keras karena lebih marah. Dan seperti tadi lima sinar hijau tampak melesat keluar dari lima jari tangannya. Sekali ini lebih terang. Yuniarti tertawa cekikikan. Sesaat itu ular betina disamping kiri terdengar mendesis dan mematuk ganas.
Yuniarti meninju dengan tangan kirinya. Selarik sinar hijau menderu kearah ular kobra betina. Binatang ini rundukkan kepalanya ke tanah lalu meluncur bergabung dengan ular kobra jantan. Dari satu arah keduanya kemudian sama-sama menyerang. Yuniarti kibaskan tangannya kiri kanan. Sepuluh larik sinar hijau berkiblat!
Dua ekor ular kobra hutan cepat jatuhkan diri. Larikan sinat hijau melesat menghantam sebatang pohon. Terjadilah satu hal yang luar biasa. Lima lobang kecil tampak menembus kulit pohon. Dan batang pohon itu sendiri serta merta berubah menjadi kehijauan!
Seperti layaknya orang gembira, kedua ular kobra meliuk-liukkan tubuh masing-masing ke atas, berputar-putar dan menggoyangkan kepala tiada henti. Kedua binatang ini kemudian meluncur kepangkuan Yuniarti, menggelung tubuh sang dara dan menjilatinya dengan mulut dan lidahnya.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan dialami oleh Yuniarti si gadis enam belas tahun dalam pasungan dan berontak tidak waras itu? Ternyata dua ekor ular kobra hutan bukanlah ular-ular biasa. Kedua binatang ini secara aneh dan sulit dipercaya telah memindahkan racun ganas yang ada di dalam tubuh mereka ke dalam peredaran darah si gadis.
Setelah tujuh kali terjadi pemindahan racun itu maka racun telah menjadi satu dalam dada Yuniarti dan setiap saat dia memukul, mengibaskan atau menjentikan jari-jari tangannya maka larikan-larikan atau gulungan sinar hijau yang mengandung racun mematikan akan melesat ke luar dari tubuhnya melalui sepuluh lobang kecil pada ujung-ujung jari tangannya!
Hal ini tidak mungkin terjadi kalau dua ekor ular kobra hutan hijau itu bukanlah sepasang binatang sakti! Yuniarti tertawa cekikikan karena geli ketika sepasang ular kobra menjilati leher dan mukanya. Pada saat itulah tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan tak berapa jauh dari pohon yang kini menjadi mati akibat endapan racun, tersibak dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi semampai, berjanggut, berkumis dan berambut putih muncul sambil menatap tajam ke arah Yuniarti.
"Ketika memukul kedua matanya belum kelihatan hijau..." orang tua itu membatin.
"Tapi sinar yang keluar dari jari-jari tangannya sudah cukup mantap. Mungkin seminggu dua lagi racun itu baru benar-benar dapat berbaur sempurna dalam darahnya..."
Sambil terus memandang ke arah sang dara orang tua ini usap-usap janggutnya. "Anak malang. Tak banyak yang dapat kulakukan untukmu. Mudah-mudahan kau salamat dan ada seseorang yang mampu mengobati penyakitmu. Ya Tuhan, ya Gusti Allah lindungi anak itu. Aku mohon disembuhkan dia dari segala penyakitnya "
Sehabis berkata begitu orang tua ini tepukkan kedua tangannya. Ternyata seperti Yuniarti, orang tua ini juga memiliki sepuluh jari tangan yang ujung ujungnya bertanda titik berwarna hijau!
"Anak-anak...! Tugas kalian sudah selesai! Kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kalian ingin bertemu dengan gadis itu hanya sekali-sekali saja bisa kalian lakukan. Ayo ikut aku...!"
Orang tua itu berhenti bertepuk lalu angkat kedua tangannya lurus-lurus ke depan. Dua ekor ular kobra mencium wajah Yuniarti terakhir kali lalu kedua binatang ini meluncur ke atas si orang tua, naik ke atas kaki dan tubuhnya, terus bergelung pada lengan kanan. Ketika berjalan pergi orang tua itu tak ubahnya seperti memakai sepasang gelang hijau.
Melihat dua sahabatnya dibawa pergi, Yuniarti berteriak marah. Dia melompat bangun. Tapi sepasang kakinya terbelenggu dalam jepitan balok besar. "Janggut putih! Hai! Orang tua jelek! Kau bawa kemana sahabat-sahabatku! Hai...! Setan... Kambing tua! Mereka bukan anak-anak mu! Mengapa menyebut mereka anak-anak?! Apakah kau kawin dengan ular?! Hik-hik-hik! Hai kambing tua! Bawa kemari sahabat-sahabatku itu!"
Orang tua berjanggut putih tentu saja mendengar teriakan teriakan Yuniarti. Namun dengan tenang dia melangkah terus ke arah semak belukar di mana tadi dia menyembul. Ketika dia menyibak semak belukar itu Yuniarti kepalkan jari-jari tangan kanannya lalu sambil memaki-maki dia tinjukan tangan itu ke arah orang tua berambut putih.
"Wussss...!"
Sinar hijau melesat tebal dan jelas tanda yang memukul mengerahkan tenaga dan berada dalam keadaan marah. Meskipun tidak melihat tapi orang tua itu tahu kalau dirinya mendapat serangan sangat berbahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Sinar hijau menghantam semak belukar. Serta merta semak belukar ini menjadi rambas dan mati setelah terlebih dulu berubah menjadi hijau!
"Ah, hebat sekali!" memuji si orang tua yang menyaksikan kejadian itu. Lalu dia gulingkan diri dan dilain kejap tak kelihatan lagi di tempat itu. Tinggal kini Yuniarti yang terus berteriak-teriak. Ketika suaranya menjadi parau baru gadis ini berhenti berteriak dan kini ganti menangis terisak-isak.
Raden Ancoro Murti menghisap rokok daun ganja dalam-dalam. Sepasang matanya meredup seperti orang mengantuk. Wajahnya pucat kuyu. Rokok itu membuatnya merasa nikmat dan mengendurkan rasa dinginnya udara. Sambil menghembuskan asap rokok dia menatap ke arah tiga ekor kuda yang tertambat dibawah pohon, disirami hujan lebat yang turun sejak beberapa waktu lalu.
Lalu dia berpaling pada dua orang pengiring yang tegak di sebelah kirinya. Saat itu mereka berteduh dibawah sebuah teratak reyot di timur hutan dimana bukit Jatipadang terletak. Lalu sambil mengusap-usap tombak, busur dan bumbung panah pemuda itu berkata. Suaranya datar lesu karena dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh rokok ganja yang dihisapnya.
"Sial betul nasib kita berburu sekali ini! Jangan kan babi hutan, kecoak busukpun tidak bertemu!"
Gento, pengiring yang tegak disampingnya menganggukkan kepala. Sambil mengusap dagu dia menjawab, "Mungkin ini gara-gara cuaca yang buruk Raden"
"Aku tidak percaya! Apa sangkut pautnya cuaca buruk dengan segala babi hutan atau celeng keparat! Bukankah mereka tidak akan keluar dari hutan ini walaupun ada hujan lebat?! Dan kau Jamaning Kau yang membawa kesialan pertama kali!"
Pengiring bernama Jamaning kerutkan kening. "Saya tidak mengerti maksud Raden..."
"Dua hari lalu aku minta kau menghubungi gadis desa bertubuh sekal bernama Taminten itu! Kau tak berhasil menemuinya, padahal pondok peristirahatan di Kaliwongso sudah disiapkan untukku bersenang-senang dengannya! Apa itu namanya tidak sial?!"
Jamaning terdiam sesaat. Namun kemudian memberi jawaban. "Waktu saya datangi kerumahnya, gadis itu tak ada. Maaf Raden, saya mendengar kabar tidak enak. Ternyata Taminten tidak hanya pergi dengan Raden, tapi juga sering dibawa lelaki lain. Maaf Raden, gadis itu tidak lebih dari seorang pelacur... Saya kawatir nanti Raden terkena penyakit..."
"Sudah lama aku berhubungan secara diam-diam dengan Taminten. Ternyata aku tak pernah sakit sampai hari ini!" menyahuti Ancoro Murti.
Jamaning kembali terdiam. Gento kini yang ganti bicara. "Maaf Raden, jika Raden mau, saya bisa mencarikan perempuan lain yang tak kalah cantik dan mulus dari Taminten"
"Mengapa baru sekarang kau berkata begitu? Setelah aku setengah mati kedinginan di tempat celaka ini?!"
"Sebaiknya kita pulang saja Raden. Dalam udara seperti ini kita tak akan mendapatkan binatang perburuan"
Ancoro Murti diam saja. Dia menghisap dalam-dalam rokok ganjanya yang tinggal kecil hampir membakar jarinya lalu mencampakkan puntung rokok ke tanah. Dia memberi isyarat pada Gento. "Nyalakan sebatang rokok baru untukku..."
"Maaf Raden... Saya dipesan oleh ayah Raden agar mengawasi Raden"
"Maksudmu?!" tanya Ancoro Murti. Untuk pertama kalinya kedua matanya yang kuyu terbuka lebar.
"Ayah Raden memesan agar Raden jangan terlalu banyak merokok ganja. Bahaya bagi Kesehatan Raden..."
"Ayahku! Ayahku!" ujar Ancoro Murti sambil bantingkan kakinya ke tanah. "Orang itu terlalu banyak peraturan. Tetapi tidak dikatakan langsung padaku. Harus lewat orang lain! Harus lewat kau! Sudah! Berikan rokok itu!"
"Saya tidak berani melanggar pesan ayamu Raden"
"Jadi kau berani menolak permintaanku Gento?! Saat ini kau berhenti jadi pembantuku! Kau boleh pergi!"
Mendengar itu Gento jadi kecut. Orang ini bimbang sesaat. Akhirnya dia mengeruk sakunya, mengeluarkan kelintingan rokok ganja, menyalakannya lalu memberikannya pada Raden Ancoro Murti. Ketika pemuda ini siap menyedot rokok ganja itu, tiba-tiba dilihatnya ada sesuatu bergerak dibalik semak belukar belasan langkah di hadapannya.
"Aku melihat sesuatu! Jangan ada yang bergerak!" pemuda itu berkata setengah berbisik.
Tangannya bergerak menyiapkan tombak. Tapi menurut perhitungannya, lemparannya tak akan menemui sasaran. Semak belukar itu berada diluar jangkauan lemparan tombak. Maka dia cepat-cepat mengambil anak panah dan busur. Benda yang bergerak di balik semak belukar makin lama makin jelas. Dan ternyata adalah seekor rusa coklat bertotol-totol putih. Tanduknya masih pendek tanda binatang ini masih muda. Raden Ancoro rentangkan busur.
"Bidik yang tepat Raden. Arah bagian lehernya..." bisik Jamaning.
Busur di rentang, jari-jari yang menjepit ekor anak panah dilepas. Anak panah melesat ke arah semak belukar dimana rusa muda tegak mengendap-endap. Suara disingan anak panah yang sampai ke telinga rusa yang berpendengaran cukup tajam itu, membuat binatang ini sesaat tegakkan kepala lalu melompat. Anak panah hanya sempat menyerempet telinga rusa sebelah kiri. Binatang ini mengeluarkan pekik kesakitan lalu melarikan diri!
"Kurang ajar! Ini gara-garamu Jamaning! Kalau kau tidak menggangguku dan mengajari segala pasti sudah kutancap leher binatang itu!" Raden Ancoro Murti memaki jengkel. Lalu dia melompat keluar dari bawah teratak, berlari ke arah kudanya. Dia memutuskan untuk mengejar rusa yang lari itu.
"Raden...! Masih hujan lebat!" berseru Gento.
Tapi Ancoro Murti nama mau mendengar. Pemuda ini sudah duduk di punggung kudanya. Mau tak mau Gento dan Jamaning terpaksa pula lari ke kuda masing-masing dan mengejar si pemuda yang telah lebih dulu membedal kudanya ke arah larinya rusa muda tadi.
"Raden! Binatang itu lari ke arah bukit Jatipadang!" berseru Gento ketika dilihatnya rusa yang mereka kejar melarikan diri ke jurusan barat, memasuki kaki bukit Jatipadang.
"Aku tahu dan aku akan kejar!" jawab Raden Ancoro Murti.
"Jangan dikejar Raden! Jangan memasuki bukit itu!" berteriak Jamaning.
"Kalian berdua ini terlalu banyak memberikan aturan padaku!" Dengan marah Raden Ancoro Murti hentikan kuda dan memandang membeliak pada kedua pengiringnya.
"Maaf Raden. Jangan salah sangka," kata Jamaning. "kami tidak bermaksud melarang ataupun memberikan aturan ini itu. Tapi ketahuilah bukit itu tak pernah didatangi orang karena angker. Lagi pula jalan ke atas sana sangat sulit. Banyak pohon-pohon berduri..."
"Kalau kalian takut pada pohon berduri, silahkan pulang saja! Aku tidak butuh manusia-manusia pengecut macam kalian!"
Raden Ancoro siap membedal kudanya kembali. Tapi Gento cepat memegang leher kuda tungga-ngan si pemuda dan berkata, "Kami tidak takut pada pohon-pohon berduri itu Raden. Sungguh mati tidak. Tapi yang kami takutkan ialah bahwa di bukit Jatipadang ada silumannya!"
"Siluman? Aku tidak takut!"
"Betul Raden. Ada silumannya. Siluman perempuan!" menegaskan Jamaning.
"Aku bilang tidak takut! Apalagi cuma siluman perempuan! Aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia cantik, malah aku mau tidur bersamanya!"
Pucatlah wajah kedua pengiring itu mendengar ucapan majikan mereka yang dianggap sangat tabu itu. Karena tak bisa berbuat lain, ketika Ancoro Murti meninggalkan tempat itu keduanya terpaksa mengikuti. Ketiga orang ini bergerak menuju bukit Jatipadang. Walaupun hujan sudah mulai reda tapi bukan berarti perjalanan menuju ke bukit enak dan mudah. Dan rusa yang mereka kejar seperti memberi semangat, karena sesekali binatang ini terlihat jelas di sebelah depan, lalu lari lagi menuju atas bukit. Begitu seterusnya. Disatu tempat jejak rusa itu lenyap sama sekali!
"Sialan! Benar-benar sialan!" maki Ancoro Murti. Pakaiannya basah dan kotor serta robek-robek dibeberapa bagian karena tersangkut duri pepohonan. Kulit tubuhnya juga tampak tergurat luka. Tapi rokok ganja masih mencantel disela bibirnya.
"Kita tak mungkin lagi mengejar rusa itu Raden. Binatang itu lenyap. Dan jalan ke sebelah atas bukit semakin sulit. Saya kawatir kalau tidak turun sekarang, sebelum senja kita tak akan sampai ke bawah..."
Raden Ancoro Murti tidak perdulikan kata-kata Gento. "Binatang itu terluka! Dia pasti tak lari jauh dan mendekam disekitar sini. Pasang mata dan telinga kalian baik-baik! Sekali lagi ada yang mengatakan agar kita turun kebawah atau pulang saja akan kuhantam dengan tombak!"
Ancaman itu memang membuat kecut Gento dan Jamaning. Tetapi sebenarnya kedua pengiring ini jauh lebih takut pada cerita yang mereka dengar bahwa di bukit Jatipadang itu terdapat siluman yang suka membunuh mati siapa saja seenak perutnya!
"Raden..." Gento membuka mulut kembali.
"Bangsat! Diam kau!" hardik Ancoro Murti. "Aku mendengar suara sesuatu..."
Raden Ancoro Murti pasang telinga tajam-tajam. Dua pengiringnya mengikuti dan wajah mereka tampak semakin pucat. Sayup-sayup mereka mendengar suara orang menyanyi. Suara perempuan!
"Si... siluman perempuan itu..." bisik Gento.
"Pasti... pasti..." balas berbisik Jamaning.
Selagi kedua pengiring itu dilanda ketakutan, majikan mereka Raden Ancoro Murti sudah turun dari kudanya, menyibak semak belukar dan melangkah menuju bukit sebelah atas.
"Raden... Jangan...! Berhenti!" seru Jamaning.
"Kembali!" berteriak Gento.
Tapi Ancoro Murti melangkah terus bahkan lenyap dibalik semak belukar. "Kita pulang saja!" ajak Gento.
Mauku begitu" kata Jamaning, "tapi kalau terjadi apa-apa dengan putra Tumenggung itu kita berdua pasti akan digantung!"
"Kalau begitu kita harus mengejarnya...!"
Akhirnya kedua pengiring itu terpaksa mengikuti Raden Ancoro Murti yang ada di sebelah depan, dalam keadaan basah kuyup, pakaian serta lengan tergurat duri-duri pepohonan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk, membuatnya mual dan hampir muntah.
"Setan, bau busuk apa ini...!" maki Ancoro Murti.
Saat itu kedua pengiringnya telah berada di sampingnya. Keduanya menutup hidung tak tahan bau busuk. Satu tangan menutup hidung, satu lagi menyibak semak belukar, Ancoro Murti melangkah maju. Saat itulah terdengar kembali nyanyian tadi. Dekat sekali. Namun bukan suara nyanyian itu yang membuat si pemuda seperti dipantek kedua kakinya di tanah hutan yang becek, melainkan apa yang disaksikannya bertebaran beberapa langkah di hadapannya!
"Ra... Raden mayat-mayat itu! Masya Allah! Bau busuk dan mengerikan. Kita segera pergi saja dari sini raden" bisik Gento dengan lutut gemetar, tubuh menggigil dan lidah hampir kelu.
Di hadapan ke tiga orang itu berhamparan malang melintang hampir selusin mayat manusia yang kebayakan sudah sangat rusak, menebar bau busuk luar biasa, membentang pemandangan mengerikan. Beberapa diantara mayat-mayat itu bahkan hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak saja. Entah habis digerogoti binatang hutan, entah dipatuk burung-burung pemakan mayat!
"Betul sekali Raden. Mari kita tinggalkan tempat angker celaka ini. Lihat... mayat-mayat busuk itu. Daging mereka yang masih utuh tampak berwarna hijau aneh"
Raden Ancoro Murti belum lagi sempat membuka mulut berikan jawaban, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara nyanyian perempuan.
Yang mampus biarlah mampus
Yang sudah mati biarlah mati
Yang barusan datang mencari mati
Hendak lari kaki dipantek
Hutan menjadi saksi kematian
Hutan menjadi pembasuh jenazah
Kaki dipantek tak bisa lari Hik-hik-hik!
"Raden... Lekas lari!" bisik Gento lagi. Tapi anehnya dia tak mampu menggerakkan kedua kakinya. Demikian juga kawannya Jamaning sedang Ancoro Murti seperti orang kena sirep memandang tak berkedip pada sosok tubuh dara yang duduk dipasung di dalam gubuk tanpa dinding
"Gento, Jamaning..." terdengar suara Ancoro Murti.
"Kalian lihat anak perawan itu..."
"Itu bukan anak perawn Raden! Itulah siluman yang saya katakan tadi..." ujar Gento dengan suara tercekat.
"Manusia tolol!" maki Ancoro Murti dengan suara perlahan mendesis. "Jelas-jelas itu seorang anak gadis! Matamu terbalik menyebutnya siluman Lihat! Gadis itu berparas cantik! Hanya sayang rambut dan pakaiannya sangat kotor. Dan lihat lagi! Kedua kakinya dipasung pada balok besar! Kasihan! Aku akan menolongnya! Melepaskan pasungannya lalu memandikannya disungai! Lalu memboyongnya ke pondok peristirahatan di Kaliwongso...!"
"Raden! Jangan bicara dan berpikir yang bukan-bukan. Ini tempat angker! Siluman bisa merubah diri seperti apa saja! Seperti gadis yang dipasung itu... Lekas kita pergi dari sini Raden...!"
"Tidak aku akan melepaskan gadis itu. Lalu memboyongnya...!"
"Demi Tuhan! Dia tidak pantas bagimu Raden! Kalaupun dia memang manusia, lihat tubuhnya yang kotor dan baunya sebusuk mayat yang bertebaran. Kalau Raden masih menganggapnya manusia, maka dia adalah gadis gila! Perawan edan!"
Dari arah pondok beratap rimba tiba-tiba meledak suara tawa melengking menggidikkan bulu roma yang diakhiri dengan satu bentakan keras. "Yang barusan mengatakan tubuhku sebusuk mayat! Yang barusan mengatakan aku gadis gila, perawan edan! Cepat datang kepadaku!"
Yang membentak adalah sang dara dalam pasungan. Wajahnya yang cantik tapi terselimuti debu dan pucat nampak bengis. Sepasang matanya berputar liar. Jamaning merasakan nyawanya terbang. Sekujur tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara di tempat itu atau dingin karena dia kehujanan, tapi karena ketakutan. Dialah tadi yang mengatakan gadis itu gila, busuk, perawan edan. Ketakutan setengah mati Jamaning tak kuasa bergerak dari tempatnya tegak di balik semak belukar.
"Tidak mau datang!" sang dara mendengus. Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. "Kalau begitu biar maut yang menjemputmu!"
Habis berkata begitu sang dara jentikkan jari telunjuk tangan kanannya. Satu sinar hijau setipis lidi berkiblat. Menerobos udara dingin dengan kecepatan kilat, merambas semak belukar. Di lain kejap terdengar pekik Jamaning. Orang itu terpental roboh, menggeletak di tanah hutan yang becek tak bergerak lagi. Sekujur tubuhnya berubah menjadi hijau. Pada keningnya tampak sebuah bintik hijau pekat!
"Gusti Allah!" desis Gento dan jatuh terduduk di samping mayat kawannya saking takutnya. Mukanya pucat pasi.
Ancoro Murti sendiri tak kalah pucat wajahnya. Kalau tadi dalam hatinya masih ada keinginan yang bukan-bukan terhadap sang dara kini nafsu itu lenyap sama sekali berubah menjadi rasa ngeri. Ingin dia kabur dari tempat itu detik itu juga tetapi aneh, seperti yang diucapkan sang dara dalam nyanyiannya, kedua kakinya laksana dipantek tak bisa bergerak apalagi lari!
Kembali sang dara di dalam pondok keluarkan suara tawa cekikikan. Saat itu hujan telah reda dan beberapa bagian dari puncak bukit termasuk di dekat-dekat pondok disaput oleh kabut tipis, membuat tambah seramnya suasana.
"Yang tadi mengatakan aku bukan perawan tapi siluman! Giliranmu maju ke hadapanku!" Gadis di dalam pondok berteriak.
Ancoro Murti berpaling pada pengiringnya yang masih duduk menjelepok di tanah. "Celaka kau Gento... Kau tadi yang bilang gadis itu siluman. Padahal"
"Ra... Raden... Tolong... tolong saya. Si... siluman itu pasti akan membu..."
"Tidak ada yang dapat menolongmu anak manusia!" terdengar suara dari arah pondok. "Mulut kamu harimau kamu! Mampuslah!"
Belum habis Gento menyelesaikan ucapan ketakutannya, kembali sinar hijau berkelebat. Kali ini dua larik sekaligus. Sinar-sinar maut yang ganas ini melesat hanya satu jengkal dari tubuh Ancoro Murti, terus melabrak tubuh Gento. Satu menghantam dada, satu lagi menembus leher!
Dua titik hijau tampak pada dua bagian tubuh itu. Gento sendiri terbanting ke tanah. Ajalnya telah sampai duluan sebelum punggungnya menyentuh tanah. Sekujur badannya sampai pada bagian matanya yang berwarna putih membeliak tampak menjadi hijau!
Melihat kejadian ini Raden Ancoro Murti tak kuasa lagi menahan takutnya. Dia segera kabur meninggalkan tempat itu tetapi lagi-lagi kedua kakinya tak mau diajak berkompromi! Kedua kaki itu benar-benar seperti di pantek ke tanah! Selagi dia dilanda ketakutan setengah mati seperti itu dari arah pondok kedengaran suara sang dara, menggema tantang.
"Orang muda! Sekarang giliranmu datang kehadapanku! Ayo jalan!"
Sungguh aneh! Kalau tadi untuk lari Raden Ancoro Murti tidak sanggup menggerakkan kedua kakinya sedikitpun, tapi kini seolah-olah berada dibawah satu pengaruh kekuatan gaib, pemuda ini perlahan-lahan melangkah menuju pondok, datang ke hadapan sang dara.
"Berhenti disitu!" sang dara memerintah lalu tertawa dan jambak-jambak rambutnya. Kedua matanya lagi-lagi berputar liar.
Ancoro Murti berhenti lima langkah di hadapan pondok. Berhadap-hadapan begitu dekat dengan sang dara yang duduk terpasung, Pemuda ini dapat melihat wajah yang cantik dibalik semua kekotoran dan bau busuk yang amat sangat.
"Hemm... tampangmu lumayan. Lebih bagus dari kucing peliharaanku di rumah dulu. Hik-hik-hik! Bukankah kau yang tadi mengatakan ingin memboyongku ke satu pondok di Kaliwongso...?!"
Ancoro Murti tak berani membuka mulut. Tak berani menjawab. "Ayo jawabi" sentak sang dara dalam pasungan. "Maksud saya tadi... Saya tidak bermaksud jahat. Saya hanya bicara main-main... Maafkan kalau..."
Tawa sang dara membuat Ancoro hentikan ucapannya. "Main-main... Kau pasti sudah terlalu sering mempermainkan orang-orang perempuan! Pasti! Hik-hik-hik! Aku dapat melihat nafsu bejat tersembunyi dalam pancaran kedua matamu yang ketakutan itu! Aku dapat mencium bau aliran darah kotor dalam tubuhmu!"
Sang dara mendongak ke atas sambil mencium-cium lalu kembali dia memandang dengan tajam pada si pemuda.
"Apakah aku cantik menurutmu!"
"Kau... kau memang, memang cantik" Jawab Ancoro Murti.
"Dan kau suka padaku...?!" Si pemuda tak berani menjawab. "Ayo buka mulut berikan jawaban!"
"Terus terang saya heran mendapatkan dirimu dalam keadaan seperti ini, di puncak bukit terpencil ini..."
"Itu bukan jawaban yang kuminta! Pertanyaanku apakah kau suka padaku...?!"
"Sa... saya memang suka..."
"Hik-hik-hik... Kau suka padaku. Dan mau membawaku ke pondok di Kaliwongso itu. Benar?"
Ancoro Murti anggukkan kepala. Mendadak saja dia merasakan bulu kuduknya tambah merinding. Lalu didengarnya dara dalam pondok berkata, "Bagus... bagus... Aku suka pergi bersamamu ke pondok itu. Kita bersenang-senang disana. Nah, kau pergilah duluan!"
Sang dara jentikkan telunjuk tangan kirinya. "Wuut!" Ada sinar hijau pekat berkiblat. Raden Ancoro Murti tundukkan kepala. Tapi terlambat. Sinar lurus hijau itu menyambar pertengahan keningnya. Satu lobang hijau tampak berbekas di kening. Pemuda ini terpelanting. Tubuhnya yang jadi mayat kelihatan menghijau begitu tergelimpang di tanah yang becek.
"Tiga mayat lagi bertambah... Tiga manusia lagi mampus di puncak bukit ini! Hik-hik-hik!"
Dara dalam pasungan bertepuk tangan seperti anak kecil kegirangan. Tiba-tiba dia berhenti tertawa dan berhenti bertepuk tangan. Kepalanya diputar setengah lingkaran. Hidungnya kembang kempis. Dia seperti mencium-cium sesuatu. Sepasang matanya berputar liar, sesekali pandangannya menyambar ke arah pepohonan tinggi besar berdaun lebat di sekitar pondok. Tiba-tiba dara ini kembali keluarkan tawa bergelak dan berseru,
"Mayat ke empat! Mengapa bersembunyi?!" Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya sekaligus! Terjadi hal yang dahsyat! Lima sinar hijau berkelebat menyilaukan, menebar hawa panas, menyambar ke arah pohon paling besar dan tinggi di sebelah kanan disertai suara menderu mengerikan!
Dari atas pohon terdengar suara seruan! Satu sosok tubuh melayang turun jungkir balik. Kepulan asap membungkus bagian bagian pohon di sebelah atas. Ranting-rantingnya tampak gosong tetapi berwarna kehijauan. Dedaunannya rontok berguguran. Sebagian pohon itu kini tampak hijau sampai ke pertengahan batang!
"Hik-hik-hik! Rasakan! Rasakan! Itu bagian orang yang suka bersembunyi! Hik-hik-hik! Hai... Rupanya kau tidak mampus hah! Bersembunyi dimana kau sekarang?!"
Sang dara angkat tangan kanannya. Siap untuk mengirimkan serangan jentikan lima jari maut. Tiba tiba dari balik pohon yang kini berada dalam keadaan mati dan berubah warna menjadi hijau melompat tubuh berpakaian serba putih, berambut gondrong.
"Tahan! Jangan serang! Aku bukan musuhmu! Aku bukan kawan dari tiga orang yang barusan kau bunuh!" Si rambut gondrong ternyata seorang pemuda bertampang keren tapi tampak seperti tolol dan jadi kocak ketika dia garuk-garuk kepalanya. Namun wajahnya sama sekali tidak dapat menyembunyikan rasa cemas.
"Kalau begitu kau siapa?! Setan! Monyet...?!"
"Aku bukan setan! Bukan monyet! Aku manusia seperti mu! Aku sahabatmu!"
"Aku tidak pernah punya sahabat selain dua sahabat berbaju hijau yang sudah lama tidak muncul di tempat ini! Jangan mengada-ada! Jangan menipu!"
"Aku tidak menipu! Aku..."
"Ah! Kau layak mampus seperti tiga orang tadi!"
Lalu gadis itu jentikkan lima jari tangannya. Seperti tadi lima larik sinar hijau berkiblat. Pemuda yang diserang berseru kaget lalu jatuhkan diri ke tanah, berguling ke arah semak belukar. Sebelum dia mencapai semak belukar, tiga larik sinar maut kembali memburunya. Terpaksa pemuda itu membuang diri ke jurusan lain sambil pukulkan tangan kanan ke depan. Satu gelombang angin keras menderu menyongsong tiga serangan sinar hijau!
"Wuttt!-Wuttt!-Wuttt...!"
"Celaka!" seru si gondrong ketika dia menyaksikan bagaimana pukulan saktinya yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera berhasil diterobos oleh tiga sinar hijau yang kemudian terus menderu ke arahnya!
Tidak membuang waktu lagi di gondrong berguling ke kiri. Di sini dia kembali menghantam dengan tangan kanan. Kali ini terdengar suara bergaung disertai menyambarnya sinar putih perak menyilaukan dan menebar hawa panas! Luar biasa! Sinar-sinar hijau yang menyerang tetap saja tak dapat ditangkis ataupun dibuat musnah! Tiga sinar itu menderu dahsyat menerobos sinar putih perak, lewat hanya dua jengkal dari batok kepala si pemuda!
"Gila! Aku tak mau mampus konyol!" runtuk si pemuda dalam hati. Tubuhnya digulingkan lagi. Dalam satu gerakan sangat cepat, tubuhnya berkelebat lenyap sementara tempat itu ditebar bau sangit terpanggangnya pepohonan yang terkena hantaman sinar putih dan larikan sinar hijau!
"Lari kemana kau? Lari kemana kau?! Apa kira kau bisa sembunyi...?!" Si gadis dalam pondok memandang berkeliling. Kedua tangannya diangkat tanda dia siap untuk kembali lancarkan serangan maut. Namun sekian lama mencari-cari dia tak berhasil melihat atau menduga-duga dimana pemuda tadi bersembunyi!
Sebenarnya orang yang dicarinya tidak berada jauh dari situ. Hanya saja si pemuda kini berlaku cerdik. Dalam keadaan terpasung seperti itu sang dara tidak akan dapat memandang berkeliling sampai ke belakang. Karena itulah pemuda tadi kini sengaja bersembunyi diatas cabang sebatang pohon yang terletak tepat di jurusan punggung dara di dalam pondok. Lagi pula atap pondok itu tidak terlalu tinggi hingga menutupi pemandangannya. Di cabang pohon si pemuda geleng-geleng kepala sambil usap keringat dingin yang membungkus wajahnya yang pucat.
"Benar-benar gila! Tapi sungguh luar biasa! Belum pernah aku melihat pukulan sinar sakti seperti itu. Sanggup menerobos dan tak dapat dibikin musnah oleh pukulan yang diajarkan guru! Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari! Kalau tidak berlaku cepat sudah tadi-tadi aku jadi bangkai! Gila!" Pemuda itu garuk garuk kepalanya lalu kembali mengusap wajahnya. "Siapa sebetulnya gadis itu? Dari mana dia mendapatkan kesaktian itu? Siapa yang memecilkan dan memasungnya di bukit Jatipadang ini. Aku harus menyelidiki! Aku harus mengintai dirinya terus-terusan "
Sang dara di dalam pondok masih memandang berkeliling, berusaha mencari kemana lenyapnya pemuda tadi diserangnya. Akhirnya dia letih sendiri.
"Pasti dia sudah kabur! Hebat juga monyet satu itu! Sanggup menyelamatkan diri dari seranganku! Hebat tapi dia bukan kawanku! Aku tidak punya kawan kecuali dua ekor ular kobra hijau itu. Ah... merekapun sudah lama tidak muncul disini... Makanan sudah habis... Air di kendi sudah kering. Sahabat-sahabatku, dimana kalian...?"
Di atas pohon pemuda yang bersembunyi mendengar jelas apa-apa yang barusan diucapkan dara dalam pasungan.Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengeruk kebalik pakaiannya dimana dia menyimpan dua buah ubi rebus sebesar kepalan tangan. Dua ubi itu ditimang-timangnya beberapa kali. Pemuda ini berpikir-pikir bagaimana cara yang baik menyerahkan makanan itu pada sang dara.
"Tujuanku baik! Memberinya makanan pengganjal perutnya yang lapar. Kalau kuserahkan tentu dia tak akan menyerangku. Aku bisa bersahabat padanya dan mungkin bisa mendapat keterangan siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu maka dengan hati-hati, tanpa mengeluarkan suara si pemuda meluncur turun dari atas pohon. Lalu dia melangkah mendekati pondok dari jurusan kanan. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika melangkah. Tetapi pendengaran dan perasaan tajam si dara tidak bisa ditipu. Baru saja dia membuat gerakan dua langkah, dara itu sudah palingkan kepalanya ke kanan.
"Hai! Datang lagi manusia ini! Benar-benar minta mampus!" Sang dara membentak. Tangan kanannya diangkat ke atas.
"Tahan! Tunggu! Jangan serang! Aku sahabatmu!"
"Sudah kubilang aku tak punya sahabat! Mampuslah!"
"Tunggu! Tunggu dulu!" si pemuda berteriak. Karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka teriakannya membawa pengaruh juga pada sang dara. Gerakan tangan yang diangkat ke atas tertahan setengah jalan.
"Dengar, aku tahu kalau kau sedang lapar. Lihat, aku membawa dua buah ubi rebus. Enak dan manis. Ini kuberikan keduanya untukmu..."
Pemuda berambut gondrong itu melangkah maju lebih dekat sambil unjukkan dua ubi yang dipegangnya di tangan kiri kanan.
"Siapa bilang aku lapar! Aku tak pernah lapar!" jawab dara dalam pondok. Lalu dia tutup ucapannya dengan menjentikkan lima jari tangan kanan ke arah si pemuda!
"Celaka! Mati aku!" seru si pemuda. Begitu sinar hijau berkiblat secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah, berguling ke balik semak belukar. Dua buah ubi rebus yang tadi dipegangnya lepas jatuh dan berguling di tanah! Untuk menyelamatkan diri dari serangan yang mungkin akan dilancarkan lagi oleh dara berontak tidak waras itu, si pemuda terpaksa kembali ke tempat persembunyiannya semula yaitu pohon besar di belakang pondok.
Di atas pohon jelas tampak wajahnya masih pucat. Kalau saja dia sampai terlambat menjatuhkan diri ke tanah tadi pasti saat itu dia sudah terkapar mati dengan sekujur tubuh menjadi hijau!
"Gadis itu..." si pemuda geleng-geleng kepala. "Dua kali aku hampir mati di tangannya! Cantik memiliki pukulan sakti luar biasa. Sayang otaknya tidak waras"
Sekali pemuda ini berkata-kata pada dirinya sendiri seperti itu tiba-tiba didengarnya suara desisan keras dibalik semak belukar sebelah kanan. Sesaat kemudian dari balik semak belukar itu keluar dua ekor ular kobra berwarna hijau yang langsung meluncur ke arah pondokan.
Tentu saja pemuda diatas pohon jadi terkejut. "Gadis itu! Dia akan mati dipatuk dua ekor ular berbisa itu! Aku harus melakukan sesuatu!"
Namun sebelum dia sempat melakukan apa-apa pemuda itu menjadi melengak kaget serta heran sekali ketika melihat bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa tadi meluncur ke dalam pangkuan sang dara, memagutnya dan menjilati sekujur tubuhnya mulai dari tangan sampai ke leher dan kemuka. Sang dara sendiri terdengar tertawa girang, bersorak gembira.
"Sahabat-sahabatku! Kalian kemana saja! Kukira kalian sudah lupakan diriku...! Hai banyak yang akan kuceritakan pada kalian. Tapi, Hik-hik-hik! Ada pertolongan yang perlu kuminta pada kalian. Lihat... disebelah sana ada dua buah ubi rebus. Perutku lapar sekali, Tolong ambilkan, berikan padaku..."
"Dasar orang gila! Masakan ular bisa disuruh mengambil ubi!" pemuda diatas pohon mengomel sendiri. Namun sesaat kemudian matanya terbelalak melihat apa yang terjadi.
Seperti bisa yang mendengar dan mengerti apa yang diucapkan dara dalam pasungan, dua ekor ular kobra meluncur turun dari atas tubuh dara itu lalu keduanya menuju ke tempat dimana dua buah ubi yang tadi dibawa di pemuda kini berada di tanah. Dengan menggelungkan ekornya pada ubi sebesar kepalan itu, dua ekor ular lalu melata membawa ubi-ubi tersebut ke pangkuan sang dara!
"Luar biasa! Ini bukan sulap bukan ilmu gaib! Tapi kenyataan yang tak bisa kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" Pemuda di atas pohon garuk-garuk kepalanya. Dia tak habis pikir siapa aadanya gadis dalam pasungan itu. Sakti, mampu bicara dengan ular tapi kenapa dipasung? Dan dua ekor ular itu apanya? Pesuruh? Guru-guru atau memang sahabat seperti yang dikatakannya berulang kali.
Dalam waktu sebentar saja dua buah ubi rebus itu sudah amblas ke dalam perut sang dara bersama tanah liat yang menempel. Sang dara elus-elus perutnya. Dia mengusap-usap tubuh dua ekor ular. Binatang-binatang itu membalas dengan menjilati wajah si gadis hingga menjadi bersih sekali dan lebih kentara wajahnya yang cantik meskipun agak pucat dan cekung kedua pipinya.
"Sehabat-sahabatku! Kalian sudah datang. Hatiku senang. Aku akan menyanyi untuk kalian. Kalian tentu suka mendengar aku menyanyi bukan? Hik-hik-hik...!"
Sebagai jawaban dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis. Lalu sang darapun mulai menyanyi yang sekali-kali diselingi suara tawa cekikikan.
Perutku kenyang
Para sahabat telah datang
Hatiku senang! Hik-hik-hik
Hari-hari siang
Hari-hari malam
Tinggal sendirian dalam hutan
Betulkah aku gila...? Hik-hik-hik!
Betulkah aku cantik...? Hik-hik-hik!
Perutku sudah kenyang
Dua sahabat sudah datang
Hatiku senang! Hik-hik-hik!
Nyanyian itu diulang terus menerus sampai pemuda gondrong di. atas pohon menjadi bosan dan sebal mendengarnya. Tapi dibawah sana dilihatnya dua ekor ular kobra hijau tampak meliuk-liukkan tubuh mereka seperti menari mengikuti nyanyian si gadis.
Tiba-tiba pemuda itu ingat sesuatu lalu meraba ke pinggangnya. Dari balik pakaian dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan sinar berkelauan. Ternyata sebuah kapak bermata dua, berhulu berbentuk kepala naga. Pada gagang senjata itu terdapat lobang-lobang menyerupai lobang suling. Si pemuda dekatkan mulut naga ke bibirnya lalu meniup. Mula-mula perlahan-lahan, lalu makin keras, makin keras. Ternyata si pemuda meniup serulingnya mengikuti suara nyanyian si gadis.
Gadis dalam pondok tersentak begitu mendengar suara suling. Kepalanya mendongak dan matanya berputar liar. Dua ekor ular kobra berhenti meliuk-liuk. Sang dara tutup mulutnya rapat-rapat. Di atas pohon si gondrong hentikan tiupan sulingnya.
"Hai! Mengapa berhenti?!" terdengar suara sang dara.
Dia palingkan kepala ke belakang, tapi pandangannya tertutup atap pondok. Ucapannya itu jelas menunjukkan bahwa dia menyukri suara seruling tadi. Hal ini diketahui pula oleh pemuda di atas pohon. Maka diapun kembali meniup sulingnya. Begitu tiupan seruling menggema, dua ekor ular kobra tegakkan kepala, sama-sama mendesis lalu tiba-tiba sekali kedua binatang ini meluncur turun dari tubuh sang dara dan melesat ke arah pohon di atas mana pemuda yang meniup suling berada, terus naik ke atas pohon sambi! keluarkan suara mendesis beringas buas!
"Celaka! Dua kobra itu hendak menyerangku!" Si gondrong di atas pohon tersentak kaget.
Senjata mustika yang tadi ditiupnya kini dipegang erat-erat di tangan kanan. Baginya tak mungkin meluncur turun atau memanjat lebih ke atas karena dua kobra itu pasti tetap akan mengejarnya. Karena itu dia menunggu dengan hati tercekat dan senjata siap ditangan. Hanya beberapa jengkal lagi ular itu akan siap mematuk dan si pemuda siap ayunkan senjatanya, dari arah pondok terdengar suara sang dara berseru.
"Dua sahabatku, jangan bunuh orang itu! Dia orang gila yang membawa ubi yang tadi kumakan!"
Mendengar seruan itu, dua ular kobra yang meluncur ke atas pohon besar serta merta hentikan gerakan mereka. Keduanya tegakkan kepala sesaat, mendesis lalu meluncur turun ke bawah! Pemuda yang memegang kapak mustika tarik nafas lega. Rasa tegangnya lenyap kini.
Namun justru disaat itu pula, dibawah sana tiba-tiba muncul seorang lelaki bertubuh tinggi besar, memelihara berewok dan kumis melintang yang liar, berpakaian serba hitam, memiliki sepasang mata besar berwarna kemerahan. Dia tegak di depan pondok dengan mata memandang tak berkesiap ke arah dara yang terpasung. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat yang ujungnya ditekankan ke tanah dan tingginya hampir sebatas kepalanya. Tongkat ini berwarna kekuningan, terbuat dari sejenis tembaga.
"Betul rupanya cerita yang aku dengar..." si tinggi besar berkata dalam hati. "Masih begini belia, memiliki ilmu luar biasa, sayang kalau tidak dimanfaatkan!"
Dara di dalam pondok memandang menyorot sambil tangannya mengusap-usap tubuh dua ekor ular kobra. Dua binatang ini begitu tahu ada orang yang datang, segera angkat kepala dan mendesis siap untuk menyerang.
"Sahabatku, tenang saja kalian. Aku mau tahu manusia kesasar dari mana yang mencari mati berani datang kemari!"
Mendengar ucapan sang dara, si berewok segera membuka mulut. "Aku tidak kesasar datang kemari! Aku justru sengaja datang untuk bertemu dan bicara denganmu!"
"Sengaja datang dan ingin bertemu serta bicara? Hik-hik-hik! Setahuku yang datang kemari hanyalah orang-orang yang ingin mati!"
"Aku datang bukan mencari mati, tapi mencarimu! Aku punya rencana besar!"
"Rencana besar! Hik-hik-hik! Rencana berbau maut! Tidakkah kau melihat mayat-mayat bergeletakan di sekitar tempat ini? Sebagian sudah membusuk. Ada tiga yang masih segar. Tidakkah hidungmu mencium busuknya bau bangkai?! Hik-hik-hik!"
"Gadis, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku adalah Ronggo Munggul, bergelar Tongkat Setan"
"Aih... kau setan rupanya! Hik-hik-hik!"
Orang berpakaian serba hitam tampak geram mendengar ucapan dan tawa si gadis. Tapi dia meneruskan kata-katanya. "Aku adalah datuk segala rampok yang menguasai sembilan hutan di daerah ini, termasuk hutan dan bukit Jatipadang ini..."
"Walah... Kowe rampok rupanya! Muncul disini apa yang hendak kau rampok! Aku tak punya uang tak punya barang! Apa mau me-rampok kotoranku yang bertebaran dibawah lantai papan?! Hik hik hik!"
"Tidak anak gadis, aku tidak akan merampokmu. Tapi hendak menjadikanmu kawanku..."
"Aku tidak punya kawan selain dua ekor ular ini!" sentak sang dara.
"Baik... baik jika kau tak mau menganggapku kawan! Tapi dengar. Kau akan kuambil jadi istri"
"Istri...?!"
"Betul!" Aku punya kepandaian silat, ilmu tongkat yang hebat, puluhan anak buah dan ke-saktian. Tapi apa yang kumiliki tak akan mampu menunjang rencana besarku! Kau cantik dan punya kesaktian luar biasa. Kita bergabung! Kita berdua bisa menguasai seluruh daratan Jawa Tengah, bahkan lebih luas dari itu..."
"Hik hik hik! Yang datang ini orang gila rupanya!" ujar sang dara pula. Membuat Ronggo Munggul menggeram tapi tak berucap apa-apa hanya pelipisnya saja yang kelihatan menggembung. "Kau ingin mengambilku jadi istri karena kecantikanku atau kesaktianku...?" Si gadis ajukan pertanyaan.
"Dua-duanya!" jawab Ronggo Munggul.
"Tidak! Kau harus memilih satu dari dua itu!"
Ronggo Wunggu terdiam. Dalam hatinya dia membatin, biasanya perempuan lebih suka dipuji. Maka diapun menjawab, "Aku mengambilmu jadi istri karena kau cantik. Ya, karena parasmu cantik"
"Ha ha ha! Jadi kau bernafas pada diriku..."
"Aku suka padamu..."
"Kalau begitu majulah tiga langkah "
Ronggo Munggul maju tiga langkah, kini jaraknya dengan sang dara hanya terpisah empat langkah.
"Kau betul suka padaku...?"
Ronggo Munggul mengangguk. "Jongkoklah. Lihat baik-baik apakah kau suka pada tubuhku? Apakah tubuhku bagus?"
Habis berkata begitu sang dara tarik lepas bajunya di bagian dada. Sepasang mata Ronggo Munggul terbeliak, tenggorokannya turun naik. Dara tak waras itu ternyata memiliki sepasang payu dara yang putih dan besar padat.
"Aku suka tubuhmu. Tubuhmu bagus... Mulus..."
Sang dara tertawa panjang mendengar kata-kata Ronggo Munggul itu. "Aku mau tahu apakah kau mampu melepaskan pasungan kedua kakiku?!"
"Apa sulitnya! Akan kuhancurkan balok kayu itu. Sebentar saja kau akan bebas dan kuboyong ke markasku!" kata Ronggo Munggui pula. Lalu dia siapkan tongkatnya.
"Tidak... Kau tidak boleh menghancurkan kayunya. Tapi harus memutus rantai besi atau membuka dua buah gembok, atau menghancurkannya!"
"Akan kulakukan! Lihat!" Ronggo angkat tongkatnya tinggi-tinggi. Lalu dengan ujung tongkat dihantamnya rantai besi di sebelah kanan.
"Trangg...!"
Tongkat tembaga menghantam rantai besi de ngan keras. Tapi rantai itu tidak putus, rusak pun tidak. Sebaliknya ujung tongkat Ronggo Munggul tampak bengkok dan ada yang somplak salah satu bagiannya. Terkejutlah si Tongkat Setan itu. Sebelumnya jangankan rantai besi, tiang besi sanggup dibuat putus oleh tongkat tembaganya itu. Si gadis keluarkan suara tertawa mengejek. Penasaran Ronggo balikkan tongkatnya. Kini dia menghantam salah satu dari gembok besi. Kembali terdengar suara...
"Trangg...!"
Untuk kedua kalinya Ronggo Munggul kaget dan berubah parasnya. Dan lagi-lagi ujung tombaknya tampak rusak. Sebenarnya baik rantai besi maupun gembok atau kura-kura yang mengikat dan mengunci balok dimana kedua kaki sang dara dipasung dijepit adalah besi biasa, bukan benda sakti atau benda mustika.
Karenanya rantai dan gembok itu dapat dirusak atau diputus oleh benda atau senjata yang terbuat dari benda keras seperti tongkat andalan datuk rampok yang menguasai sembi-lan hutan itu. Akan tetapi rantai dan gembok telah dialiri kekuatan aneh yang berasal dari tubuh sang dara. Kekuatan itu dimilikinya sejak sepasang ular kobra memasukkan racun berbisa ke dalam aliran darahnya lewat ujung-ujung sepuluh jari!
Sang dara tertawa panjang. "Manusia sombong, ternyata kowe hanya satu mahluk tak berguna! Dua sahabatku, bunuh orang itu!"
Dua ekor ular kobra mendesis sambil tegakkan kepala. Rpnggo Munggul mundur dua langkah. Tongkat tembaga disilangkan di depan dada. Kalau rantai dan gembok celaka itu tidak mampu dihancurkannya maka dua ular jahat itu dianggapnya sasaran-sasaran empuk. Begitu dua kobra melesat hendak mematuknya maka dia sapukan tongkat tembaganya ke depan.
Memang tongkat sang datuk ternyata merupakan senjata hebat. Dari tubuh tongkat memancar sinar kuning tembaga disertai suara deru angin amat dahsyat. Dua ekor ular yang melesat di udara seperti membentur tembok tebal. Bukan saja gerakan mereka mematuk tampak tertahan, tapi keduanya juga ikut tersapu mental ke samping! Kedua binarang ini jatuh ke tanah, bangkit tegakkan tubuh dan mendesis.
Sang dara memekik marah. Tangan kanannya diangkat ke atas. Ronggo Munggul yang telah mendengar banyak tentang kehebatan sekaligus keganasan dara dalam pasungan itu putar tongkatnya dengan sebat lalu membuat dua kali lompatan dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuh sang dara!
"Gadis gila! Jika tak mau diajak bekerjasama memang kau layak mampus dari pada menebar keganasan!" gertak Ronggo Munggul marah. Tombak tembaganya ditusukkan ke batok kepala sang dara, tepat ditertengahan sebelah belakang.
Sebenarnya mudah saja bagi gadis itu untuk melakukan pukulan atau jentikan maut ke belakang dan membuhuh datuk rampok itu juga. Tetapi ternyata Ronggo Munggul memiliki limu aneh yang dapat menipu si gadis. Ilmu itu adalah ilmu yang disebut 'Memindah Raga Meninggalkan Sukma'.
Tubuh kasarnya bergerak atau berpindah atau melompat ke tempat lain yakni ke belakang si gadis yang duduk dipasung di lantai pondok sementara bayangan tubuhnya yang menyerupai bentuk asli tetap berada di tempat semula. Bayangan tubuh itulah yang dilihat oleh sang dara dan langsung menghantamnya dengan lima larik sinar hijau.
Namun seperti menembus udara kosong seolah-olah hanya menghantam angin, lima larik sinar maut itu lewat menembus tubuh palsu yang sebenarnya hanya bayang-bayang belaka! Dua ekor ular mendesis. Sang dara berteriak marah. Di sebelah belakang Ronggo Munggul menyeringai. Ujung tombak dihantamkannya ke batok kepala sang dara.
Di atas pohon dimana dia bersembunyi, pemuda berambut gondrong yang tidak berada dibawah pengaruh sirapan ilmu kesaktian si datuk rampok, sama sekali tidak melihat adanya dua sosok tubuh Ronggo Wulung. Tak ada Ronggo Wulung bayangan. Yang dilihatnya tetap sosok tubuh lelaki itu, sosok tubuh asli atau badan kasarnya yang mengirimkan serangan membokong dari belakang!
"Datuk sialan! Curang!" teriak si gondrong marah. Tangan kanannya mematahkan ranting pohon lalu secepat kilat patahan ranting ini dilemparkannya ke arah Ronggo Munggul yang tegak di bagian belakang pondok, dibawah ujung atap rumbia!
Ketika ujung tombak hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala sang dara, patahan ranting melesat deras dan menancap tepat di bahu kanan Ronggo Munggul. Raja rampok ini menjerit kesakitan. Tongkat tembaganya lepas dan tubuhnya miring ke kanan, terhuyung-huyung lalu jatuh terjerambab di lantai pondokan, tepat di depan balok besar dimana sang dara dipasung!
Ronggo Munggul berusaha bangkit. Namun saat itu sang dara sudah jentikkan lima jari tangan kanannya sedang dua ekor ular kobra telah pula melesat menyerang. Lima larik sinar hijau menembus tubuh Ronggo Munggul di lima bagian sementara dua ekor ular mematuk di leher dan perut orang ini. Ronggo Munggul menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat jauh. Ketika jatuh ke tanah ajalnya sudah melayang dan tubuhnya tampak berwarna hijau!
Sang dara tertawa mengkekeh. Dua ekor ular kobra telah kembali ke dekatnya dan duduk dipangkuannya.
Perutku kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang...
Sang dara hentikan nyanyiannya. Dia memandang berkeliling. Dua ekor ular yang siap untuk menari mengiringi nyanyian gadis itu hentikan gerakan mereka, ikut-ikutan memangang berkeliling.
"Eh.. mengapa kali ini tak ada suara seruling mengiring...? Apakah pemuda gila itu sudah pergi. Aneh, mungkin dia tidak gila! Kalau tidak mana mengerti dia menolongku tadi... Ah, dia pasti marah..."
Sesaat wajah sang dara yang pucat tampak murung. Namun dilain kejap dia kembali tertawa cekikikan dan menyanyi lagi.
Perutku sudah kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang
Saat itu tiba-tiba terdengar suara seruling. Sang dara tampak gembira. Dua ekor ular menari menjadi-jadi. Sang dara tarik suara lebih keras. "Hai! Mengapa tidak meniup suling di hadapan ku sini! Mengapa cuma sembunyi!" sang dara berseru.
Dari atas pohon suara seruling berhenti sesaat, berganti jawaban si gondrong. "Aku takut ular-ular itu. Juga kawatir kau akan menyerangku lagi dengan sinar hijau mematikan itu!"
"Hik hik hik! Kaupemuda banyak takutnya! Tidak, sahabatku tidak akan menyerangmu! Aku juga tidak akan membunuhmu! Ayo turun kemari"
Mendengar ucapan sang dara, pemuda di atas pohon cepat meluncur turun. Sesaat kemudian dia sudah tegak di depan pondok di hadapan sang dara.
"Duduk di tanah, dekat-dekat di hadapanku..." sang dara berkata.
Si gondrong mengikuti. Dia duduk bersila di depan pondok, tiga langkah di hadapan sang dara.
"Hai! Jawab dulu sebetulnya kau ini gila atau tidak...?"
Si gondrong terkesiap dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. "Orang gila akan marah kalau dikatakan gila. Tapi kalau melihat orang yang dianggapnya juga gila pasti dia senang Maka pemuda itupun menjawab, "Aku memang gila. Aku gendeng! Sableng! Otakku tidak waras!"
"Hik hik hik!" sang dara tertawa gembira.
"Ha ha ha...!" si pemuda ikut-ikutan tertawa.
"Sahabatku yang gila, siapa namamu?!" sang dara bertanya.
"Aku Wiro Sableng..."
"Aih... Aku betul percaya kalau kau memang orang gila. Namamu saja Sableng! Hik hik hik... Aih, suling yang kau pegang itu kok begitu? Aneh bentuknya...?"
"Suling orang gila memang begini..."
Sang dara kembali tertawa. Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu kembali ikut tertawa. "Jadi aku ini sudah kau anggap sahabatmu?" Wiro tiba-tiba bertanya.
"Ya... ya! Kini aku punya tiga sahabat! Dua ular kobra, satu lagi kau! Hai dua sahabatku berbaju hijau ayo lekas berkenalan dengan pemuda gila itu!"
Mendengar ucapan sang dara maka dua ekor ular meluncur ke arah si pemuda, naik ke atas tubuhnya. Yang satu menggelung leher dan menjilati seluruh wajahnya termasuk kedua telinga dan tengkuk si pemuda. Ular satunya lagi menggelung perut, menyusup ke balik baju putih lalu menjilati dada dan perut serta pusar di pemuda!
Kegelian setengah mati tapi juga ketakutan setengah mati membuat Wiro tak berani bergerak barang sedikitpun! Mukanya pucat, matanya melotot. Karena tak sanggup bertahan akhirnya sang pendekar kebobolan di sebelah bawah! Selangkangan pakaiannya tampak basah kuyup! Hal ini terlihat oleh sang dara yang langsung tertawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut di pemuda.
"Hik hik hik! Kau ngompol! Kau beser!
Wiro Sableng tetap tak berani bergerak. Sang dara bertepuk tangan. "Dua sahabatku berbaju hijau! Cukup! Sudah cukup perkenalan kalian dengan sahabat baru itu. Kembali ke pangkuanku!"
Maka dua ekor ular kobra lalu kembali ke pangkuan sang dara. Wiro yang merasa nyawanya terbang, tarik nafas lega berulang kali. Dadanya turun naik. Dia menyengir dan malu sendiri ketika melihat celana putihnya yang basah. Setelah batuk-batuk beberapa kali dan mengusap mukanya yang keringatan, Wiro berkata,
"Sahabat, terima kasih kau dan ular-ularmu itu mau bersahabat denganku. Aku sudah menerangkan namaku. Kau sudah tahu kalau aku pemuda gila bernama Wiro Sableng. Apakah aku boleh tahu siapa kau ini sebenarnya? Siapa namamu?"
Sang dara cekikikan. Tapi hanya sebentar. Setelah menjambak rambutnya beberapa kali dia berkata, "Mana aku tahu nama ku sendiri. Apakah aku punya nama, apakah ada orang yang memberiku nama! Aku tidak tahu! Aku lupa..."
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia membatin. Orang gila betapapun tidak warasnya tetap senang akan sesuatu yang bagus. Dan seorang perempuan suka akan pujian! Maka murid Sinto Gendeng inipun berkata. "Jika kau memang tidak bernama atau lupa namamu sendiri, maukah jika aku memberikan nama bagus padamu...?"
Sang dara yang bernama Yuniarti, puteri hartawan Tambakjati Kalidiningrat itu tertawa geli. "Dasar orang gila! Apa kau kira aku ini orok yang baru lahir lalu diberi nama...?"
"Tentu saja tidak sahabatku yang cantik," jawab Wiro seraya memuji. "Tapi rasanya tidak enak kalau seseorang tak punya nama. Percayalah aku akan memberikan nama bagus dan cocok untukmu!"
"Kalau tidak cocok dan bagus, akan kubunuh kau!"
"Ah... ah...! Bukankah kita bersahabat? Sesama sahabat tak boleh membunuh. Betul kan...?!"
"Baiklah! Katakan nama apa yang akan kau berikan padaku, sahabatku yang gila!"
"Dewi! Nama itu cocok dan bagus untukmu! Kau suka nama Dewi itu? Pasti suka!"
Sang dara terdiam sejenak. Seperti berpikir-pikir. Lalu meledak tawanya. "Baik... baik! Aku terima nama itu. Memang bagus tapi aku tidak tahu apa cocok untukku!"
"Tentu cocok. Kau pandai dan kau cantik! Hanya seorang Dewi yang berkemampuan seperti itu! Nah, aku masih ada pertanyaan. Sahabatku Dewi, kau ini sebenarnya berasal dari mana? Siapa yang membawamu ke tempat ini"
"Pertanyaanmu susah! Aku tak mampu menjawab!"
"Kau pasti mampu! Kau seorang Dewi!"
Sang dara menarik nafas panjang. "Baiklah, aku akan menjawab. Aku berasal dari Kerajaan Majapahit. Dibawa ke mari oleh para dayang-dayang dan dijadikan ratu di hutan Jatipadang ini! Hik hik hik!"
Wiro hanya bisa garuk garuk kepala mendengar jawaban ngawur itu. Daiam hatinya dia merasa sangat hiba. Bagaimana gadis sebelia ini, berparas jelita dipasung dan dikucilkan di tempat ini. Dia berpikir keras. Kalau saja dia bisa menyembuhkan penyakit sahabatnya itu hatinya akan sangat bahagia. Sang dara pasti punya kampung halaman, punya orang tua. Dan kalau dia bisa kembali ke orang tuanya... Tiba tiba dia ingat sahabatnya kakek aneh sakti berpengetahuan sangat luas bernama Si Segaia Tahu.
"Aku harus menemui orang tua itu. Mencarinya sampai dapat. Meminta bantuannya. Mudah-mudahan saja kakek itu belum mati...!"
"Hai! Orang gila! Kenapa kau melamun? Ayo aku mau menyanyi! Kau meniup suling dan dua sahabat berbaju hijau menari!"
Wiro menganggukkan kepala lalu berkata, "Sehabis puas menyanyi aku akan mohon diri. Tapi aku berjanji akan kembali ke mari lagi. Boleh ya...?"
Tumenggung Giri Jolo lebih muda penampilannya dari usianya yang sebenarnya. Dalam usia hampir enam puluh Tumenggung ini kelihatan masih tegap, gesit gerak geriknya, pendengaran maupun kedua matanya masih tajam. Saat itu Giri Jolo duduk di pendopo rumah besar kediamannya yang terletak di luar Kotaraja, pada sebuah bukit yang halamannya luasnya ditumbuhi rumput. Wajahnya jelas tampak gelisah. Sebetar-sebentar dia tegak dari kursi, melangkah mundar mandir, menyulut rokok tapi tidak menghisap malah membuangnya.
"Tinggal satu bulan lagi Sri Baginda akan mengambil keputusan. Aku atau Kalidiningrat! Heran! Mengapa Sri Baginda bisa berubah pikiran seperti itu! Dulu dia menyatakan secara tak langsung bahwa kedudukan itu hanya aku calon tunggalnya. Tahu-tahu kini beliau mengatakan akan memilih aku atau Kalidiningrat Heran benar-benar mengherankan!"
"Pasti ada yang menghasut Tumenggung," berkata lelaki tua yang duduk bersila dilantai. Dia adalah Kali Roso orang kepercayaan sang Tumeng-gung yang telah ikut Giri Jolo sejak tiga puluh tahun lalu.
"Kalidiningrat... Kalidiningrat! Tahu apa dia urusan Kerajaan dan Kadipaten! Dia hanya sibuk mengurus harta benda dan kekayaan! Mencari uang! Kalau dia jadi Adipati pasti rakyat akan dipajakinya tinggi-tinggi. Bisa celaka! Dan saat ini dia telah menggunakan kekayaannya untuk memiliki ilmu, membayar jago-jago silat bahkan orang-orang sakti. Di rumahnya bertumpuk berbagai senjata keramat! Semua untuk memagari dirinya dan keluarganya! Berkali-kali aku berusaha untuk menyingkirkannya tapi gagal. Bahkan orang-orangku menemui kematian! Benar-benar keparat si Kalidiningrat itu..."
"Tapi jika Embah Jaliteng berhasil dengan rencana besarnya. Tumenggung tak usah kawatir. Kalidiningrat akan kita singkirkan. Dan jabatan Adipati Boyolali akan jatuh ke tangan Tumenggung!"
"Embah Jaliteng! Dua bulan yang lalu kita menghubunginya! Sampai saat ini kabarpun tidak, apalagi muncul!" sungut Tumenggung Giri Jolo.
"Embah Jaiiteng bukan orang sembarangan Tumenggung. Tiga puluh tahun Samanya dia bertapa di pantai selatan. Kesaktiannya luar biasa. Akalnya seribu satu. Dan ini yang penting. Dalam bertindak dia selalu menyirap kabar, memata-matai calon korban, bertindak hati-hati dan matang agar tujuan tercapai dengan sebaik-baiknya
"Nama besarnya sudah kudengar. Tapi tak ada gunanya kalau dia tak pernah muncul disini"
Jauh di kaki bukit terdengar suara derap kaki kuda. Makin tinggi kuda itu mendaki menuju tempat kediaman Giri Jolo makin jelas kelihatan binatang itu bersama penunggangnya.
"Tumenggung! Lihat siapa yang datang!" berseru Kali Roso seraya berdiri.
Tumenggung Giri Jolo memandang ke arah lereng bukit rumput. Matanya melihat penunggang kuda itu. Seorang kakek berpakaian serba putih, memelihara janggut dan kumis panjang putih, tetapi kepalanya plontos alias botak licin berkilat.
"Embah Jaliteng! Beliau datang Tumenggung!" seru Kali Roso.
Paras Tumenggung Giri Jolo tampak gembira. "Ah, akhirnya datang juga orang pandai ini!" ujar sang Tumenggung lalu turun dari pendopo guna menyambut kedatangan tamu yang memang menjadi harapannya terakhir.
Di dalam ruangan terkunci itu Kali Roso duduk di tikar sedang Embah Jaliteng dan Tumenggung Giri Jolo duduk di kursi berhadap-hadapan.
"Nah, rencana yang barusan saya tuturkan itu, sudah jelaskah bagi Tumenggung?" bertanya Embah Jaliteng.
"Jelas sekali dan saya setuju sekali!" sahut Giri Jolo. "Tapi apakah Embah yakin betul bahwa gadis gila yang dipasung dan memiliki kesaktian luar biasa itu adalah benar-benar puteri tunggal Kalidiningrat yang dikabarkan meninggal satu setengah tahun lalu...?"
"Saya sudah menyelidik Tumenggung. Saya sudah mendapat petunjuk bagaimana menjinakkan gadis berbahaya itu. Kita akan memperalatnya untuk membunuh ayahnya sendiri!"
"Aku percaya Embah akan berhasil." Tumenggung Giri Jolo merasa puas.
"Saya perlu enam orang pembantu yang bertubuh kekar Tumenggung"
"Untuk apa Embah?"
"Tumenggung akan tahu sendiri nanti!" jawab Jaliteng.
Di dalam pondok Yuniarti yang oleh Pendekar 212 Wiro Sableng diberi nama Dew, sambil menyanyi-nyanyi kecil. Hari itu adalah hari ke dua puluh Wiro meninggalkannya. Kira-kira seratus langkah ke bawah bukit, di satu tempat Embah Jaliteng yang ditemani oleh enam orang lelaki berbadan tegap kekar duduk mencangkung membakar kemenyan dan menaburnya pada api pedupaan yang diletakkan di tanah.
Kedua matanya terpejam, mulutnya berkomat kamit melafalkan mantera. Asap pedupaan yang menebar bau harumnya kemenyan membubung ke udara. Makin lama makin tinggi. Sambil membuka kedua matanya Embah Jaliteng bangkit berdiri perlahan-lahan.
"Asap harum membubunglah tinggi! Naik ke puncak bukit, pergi ke pondok itu. Saputi empat penjuru pondok. Saputi tubuh anak manusia yang ada di dalamnya. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sirap-sirap-sirap. Semua akan sirap dalam keharuman asap mu. Yang ganas jadi jinak. Yang jahat jadi baik. Darah panas jadi beku. Sirap-sirap-sirap!"
Lalu Embah Jaliteng meniup ke depan tiada putus-putusnya. Ketika api pendupaan padam dan asap tak ada lagi yang mengepul maka orang tua ini memberi isyarat pada enam lelaki yang ada di belakangnya.
"Ikuti aku!"
Enam orang lelaki bertubuh kekar itu mengikuti si orang tua mendaki ke puncak bukit Jatipadang. Hingga akhirnya sampai di pondok dimana Dewi dipasung. Saat itu sang dara tampak terbaring seperti tidur. Asap berbau kemenyan tampak mengambang di tempat itu. Sang dara sebenarnya bukan sedang tidur tapi berada di bawah pengaruh sirap yang dibuat Embah Jaliteng.
Hanya dengan membuat Dewi berada dalam keadaan lumpuh tak berdaya seperti itu orang tua ini mampu melakukan apa yang akan direncanakannya. Selama si gadis berada dalam keadaan sadar, tak satu kekuatan pun sanggup menghadapi sinar hijau berbisa yang setiap saat bisa dijentikkannya. Hai ini diketahui betul oleh kakek yang cerdik itu.
"Tanggalkan tiang-tiang pondok! Lemparkan atap rumbia!" Embah Jaliteng memerintah.
Enam orang lelaki bekerja cepat. Sebentar saja pondok itu hanya tinggal lantainya saja.
"Dengar baik-baik," kata Embah Jaliteng pula. "Gadis ini akan kita bawa ke rumah hartawan Kalidiningrat di selatan Kotaraja. Jika kita berangkat saat ini juga, besok sebelum matahari terbit kita sudah bisa sampai di sana! Empat orang dari kalian harus memanggul gadis itu bersama-sama lantai tempat ketidurannya! Dua lainnya bertugas merabas semak belukar membuka jalan!"
"Orang tua, aku sanggup mendukung gadis ini sendirian. Mengapa tidak dilepaskan saja ikatan rantai besi itu? Bukankah lebih mudah mendukungnya dari pada menggotong bersama lantai papan yang kotor dan bau ini?" Salah seorang dari enam lelaki itu berkata.
Embah Jaliteng tersenyum. "Anak muda bertubuh kekar. Mau ku seperti mau mu juga. Tapi rantai besi dan gemboknya itu berada dalam pengaruh kekuatan tenaga dalam si gadis. Walaupun dia dalam keadaan tak berdaya, kekuatan tenaga dalam itu tak bisa sirna selama tujuh hari tujuh malam. Kalau kau tak percaya siiahkan coba sendiri!"
Embah Jaliteng lalu menyerahkan sebilah golok besar kepada lelaki muda yang tadi bicara. Begitu menerima golok, si pemuda langsung membacok rantai besi yang mengikat balok besar tempat menjepit sepasang kaki Dewi.
"Trangg...!"
Golok itu patah dua dan mental. Si pembacok merasakan tangannya panas dan tubuhnya bergerar hebat. Mukanya pucat. Dia mundur beberapa langkah sambil urut-urut tangan kanannya dengan tangan kiri. Embah Jaliteng kembali tersenyum. Dia menunjuk pada mayat-mayat membusuk yang sebagian besar hanya tinggal tulang belulang.
"Mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam dan kesaktian. Nyatanya mereka dipaksa meregang nyawa oleh kekuatan gadis dalam pasungan itu! Nah, kita tidak punya waktu banyak. Panggul lantai papan itu. Begitu sampai di tempat kediaman hartawan Kalidiningrat letakkan di halaman depan lalu cepat-cepat kalian tinggalkan tempat itu! Mengerti!"
Semua menjawab mengerti. Maka empat orang lelaki lalu mengangkat lantai papan di mana Dewi alias Yuniarti terlelap di bawah pengaruh sirapan Embah Jeliteng.
Dini hari, Jum'at Kliwon. Udara dingin mencucuk tulang sungsum. Enam orang lelaki berlari cepat memanggul lantai papan diatas mana masih menggeletak sosok tubuh Yuniarti atau Dewi. Gadis tidak waras itu berada diujung pengaruh sirap Embah Jaliteng, antara sadar dan tiada. Keenam orang itu melarikan Dewi menuju ke luar Kotaraja sebelah selatan.
Embah Jaliteng yang mengikuti dengan menunggu kuda merasa sangat kawatir kalau-kalau sang dara lebih dulu sadar sebelum mencapai tempat kediaman Tambakjati Kalidiningrat. Kalau hal ini sampai terjadi mereka semua akan menemui kematian! Pasti dibunuh oleh dara berotak miring berilmu sangat tinggi itu. Karenanya si orang tua tiada henti berteriak agar ke enam penggotong lantai papan mempercepat lari mereka.
Ketika ayam berkokok di sebelah timur, mereka akhirnya sampai juga di pintu gerbang rumah besar kediaman hartawan Kalidiningrat. Seorang pengawal yang bei tugas malam itu dan tengah terkantuk-kantuk serta merta bangkit dari tempak penjagaannya sewaktu melihat ada enam orang tak dikenal di iringi seorang kakek menunggang kuda, lari memasuki pintu gerbang, menggotong sesosok tubuh yang menggeletak diatas papan.
"Hai! Berhenti! Siapa kalian!Apa yang kalian bawa itu!" pengawal berteriak seraya mencabut goloknya. Tetapi kesiap siagaan pengawai ini hanya sampai disitu. Walau dia memiliki ilmu silat luar yang cukup tangguh namun ketika kaki kanan Limbah Jaliteng menghantam batang lehernya terdengar suara kraak! Pengawal itu roboh tanpa nyawa lagi!
"Lekas letakkan gadis itu di depan tangga sana!" berkata Embah Jaliteng.
Sesuai perintah ke enam penggotong Dewi yang masih terpasung pada balok besar, meletakkan lantai papan di depan tangga. Dari balik pakaian putihnya Embah Jaliteng keluarkan sebuah kantong yang mengeluarkan suara berdering. Kantong berisi uang itu dilemparkannya ke hadapan enam orang lelaki bertubuh kekar.
"Ambil uang itu! Bagi-bagi yang rata! Dan lekas minggat dari tempat ini!" lalu mendahului ke enam orang tersebut Embah Jaliteng bedal kuda tunggangannya.
Ketika anjing terdengar menyalak di kejauhan tempat itu kembali dibungkus kesunyi-senyapan. Justru saat itulah Dewi yang berada diatas lantai papan mulai siuman dan membuka matanya. Dia merasa heran melihat langit biru diatasnya. Dara ini memandang berkeliling lalu bangkit perlahan-lahan dan memandang lagi kian kemari.
Dia tidak mengetahui berada dimana saat itu. Bahkan dia tidak mengenal rumah besar dimana dulu dia pernah tinggal disitu. Gadis ini jambak-jambak rambutnya. Menggeliat beberapa kali. Ketika dikejauhan terdengar lagi anjing menyalak panjang dia menirukan suara salakan itu. Sewaktu di kejauhan terdengar suara ayam berkokok diapun lalu menirukan kokok ayam itu!
Karena sang dara memiliki kekuatan gaib di dalam tubuhnya maka tentu saja suara lolongan anjing dan kokok ayam yang ditirunya menggena keras bahkan menggidikkan siapa saja yang mende-ngar. Di timur mulai tampak cahaya kekuningan tanda sang surya sebentar lagi akan segera muncul. Saat itulah dari dalam rumah besar berkelebat tiga bayangan. Gerakan mereka gesit sekali dan dengan cepat sudah berada di tangga depan, mengurung Dewi yang masih kebingungan terduduk di lantai papan.
Kukuruyuuukkk...! Kukuruyuuukkk...!"
"Auunnggg...! Auunnggg...!"
"Gembel gila! Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?!" Salah satu dari tiga orang itu membentak. Ketiganya adalah para pengawal hartawan Kalidiningrat yang memiliki kepandaian silat dan tenaga dalam tinggi.
"Kau menyebutku gembel gila?" Dewi dalam pasungan menegur lalu tertawa cekikikan.
Salah seorang pengawal berbisik pada kawannya. "Lihat, kedua kakinya terjepit dalam balok besar yang diikat rantai dan gembok besi. Tak mungkin dia sampai sendiri kemari. Pasti ada yang membawanya. Hai lihat... Disebelah sana petugas jaga malam kulihat menggeletak!"
Orang ini cepat berlari ke pintu gerbang sementara Dewi masih terus mengumbar suara tertawa. Orang yang menyelidiki ke pintu gerbang kembali dengan nafas mengengah. "Petugas jaga itu mati. Lehernya patah!"
"Gembel gila! Hentikan tertawamu!"
Suara tawa Dewi lenyap. Bukan karena bentak kan itu tapi karena otak tidak warasnya mulai berpikir tentang maut! Dara menyeringai.
"Dua kali kau menyebut aku gembel gila! Sudah lebih dari cukup! Mampuslah!"
Dua jari tangan kirinya dijentikkan. Dua sinar hijau menderu dalam udara terang tanah. Pengawal yang menjadi sasaran serangan terpekik. Tubuhnya terpental lalu roboh dengan dua bintik hijau dikening. Seperti kejadian yang sudah-sudah pengawal ini mati dengan tubuh berwarna hijau!
Melihat hal ini, dua kawannya berteriak marah. Satu melompat sambil ulurkan tangan, maksudnya hendak menjambak rambut sang dara. Satunya lagi dengan kalap sudah lebih dulu kirimkan tendangan ke dada Dewi. "Gembel gila! Mampus kau!"
Sang dara perdengarkan kembali suara tawanya yang melengking cekikikan. Bersama dengan itu tangannya kiri kanan dijentikkan. Lima larik sinar hijau berkiblat dari masing-masing tangan. Dan terdengarlah pekik dua pengawal berkepandaian tinggi itu. Tubuh keduanya terpental. Satu terlempar ke langkan rumah, satunya lagi terguling dihalaman. Keduanya mati dengan cara yang sama. Lima bintik maut pada tubuh masing-masing yang kini berwarna hijau!
Embok Guminten bekerja sebagai pelayan di rumah kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat. Dia merupakan satu dari empat pelayan yang bekerja disitu dan yang paling lama yakni seumur Yuniarti. Karena sejak kecil'di a juga dipercayai untuk mengasuh Yuniarti mak a bagaimanapun keadaan sang dara pelayan ini tak balak bisa pangling.
Pagi itu embok Guminten seperti biasanya bangun lebih dahulu dari pelayan-pe layan lainnya, tentunya juga lebih dahulu dari suami istri Kalidiningrat. Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan pelayan ini setengah berlari segera membuka pintu depan. Bukan tiga sosok mayat pengawal yang membuatnya menjerit ketakutan, tapi sosok tubuh gadis yang terpasung di dekat tangga depan yang membuat perempuan ini berteriak dan menggigil.
Wajah gadis itu adalah wajah mendiang Yuniarti, putri majikannya yang meninggal dunia satu setengah tahun lalu akibat sakit sampar. Kini gadis itu muncul dalam keadaan seperti itu. Tidak dapat tidak pasti itu adalah setannya! Arwahnya yang gentayangan!
Embok Guminten menjerit lagi lalu menghambur lari ke dalam rumah. Hampir saja dia bertabrakkan dengan majikan perempuannya di ruang tengah.
"Embok Guminten... Ada apa kau seperti orang dikejar setan..." menegur istri hartawan Kalidiningrat.
"Setan... memang ada setan Jeng Ayu. Setan. setannya Den Ayu Yuniarti..." jawab si pelayan seraya menunjuk-nunjuk ke bagian depan rumah.
"Jangan bicara melantur pagi-pagi begini embok Guminten!" ujar istri hartawan Kalidiningrat.
"Kau membuat kacau saja..."
"Demi Tuhan Jeng Ayu. Silahkan Jeng Ayu melihat sendiri ke depan...!"
Antara percaya dan tidak akhirnya sang majikan melangkah juga menuju bagian depan rumah dan membuka pintu yang tadi dibantingkan si pelayan. Saat itu hari telah mulai terang karena di timur matahari telah terbit. Pintu terbuka lebar. Istri hartawan Kalidiningrat melangkah ke langkan depan dan saat itu pula langkahnya tertahan.
"Ya Gusti Allah... betulkah itu... betulkah itu dia...? Anakku Yuniarti... Yuniarti!" Perempuan itu menjerit tapi tak berani mendekat.
Dia menjerit lagi, membuat Tambakjati suaminya terbangun. Lelaki ini segera menyambar beberapa senjata pusaka dan menyisipkan di pinggang baru membuka pintu kamar dan menghambur ke luar. Saat itu beberapa orang pengawal telah pula berdatangan dan segera mengurung Dewi sementara beberapa orang lainnya menggotong empat mayat yang bergelimpang di halaman depan itu.
"Apa yang terjadi? Ada apa?!" Hartawan Tambakjati Kalidiningrat bertanya tegang. Sang istri yang masih menjerit-jerit langsung menubruk suaminya. Sebelum sempat mengatakan sesuatu perempuan ini sudah rubuh pingsan Tambakjati berteriak memanggil pelayan perempuan. Istrinya segera dibawa masuk dan dibaringkan diatas ranjang.
Tambakjati sendiri segera melompati anak tangga dan menyeruak diantara kerumunan para pengawal. Sepasang mata hartawan ini terpentang lebar. Tubuhnya menggigil. Ada rasa kerinduan yang menusuk yang membuatnya ingin memeluk gadis yang duduk terpasung itu. Tetapi perasaannya yang lain mengatakan bahwa gadis itu bukanlah Yuniarti, melainkan hantu atau setannya.
Namun apakah ada setan atau hantu yang menunjukkan diri seperti itu dipagi hari yang mulai terang itu? Untuk memperkuat hatinya Tambakjati pegang keris pusaka di pinggangnya. Dia melangkah lebih dekat. Gerakannya tertahan ketika tiba-tiba terdengar suara tawa panjang mengerikan. Para pengawal bersibak. Kemudian terjadilah hal yang hebat. Tambakjati sempat melihat ada beberapa larik sinar hijau berkiblat.
Lalu tiga pengawal terbanting ke tanah. Tubuh mereka berwarna hijau. Tak berkutik lagi alias mati! Melihat ini para pengawal lainnya segera berhamburan lari. Namun hanya seorang yang bisa selamat. Empat lainnya roboh hampir bersamaan ketika larikan-larikan sinar hijau yang keluar menyambar dari ujung-ujung jari sang dara menghantam tubuh mereka.
Kini tinggal Tambakjati Kalidiningrat tegak sendiri sambil memegang sebilah keris keramat berluk tujuh yang memancarkan sinar hitam redup.
"Manusia memegang keris! Giliranmu mati sekarang! Makin banyak yang kubunuh makin senang hatiku! Sayang kawan-kawanku tak ada ditempat ini! Sayang mereka tak bisa menyaksikan. Hik hik hikk!"
"Yuniari! Yuniarti!" teriak Tambakjati. Tubuhnya terduduk berlutut di hadapan anaknya sendiri. "Yuniarti anakku! Aku ayahmu nak! Aku ayahmu!"
"Ayah... ?! Hik hik hik! Apa itu ayah? Aku tak punya ayah tak punya ibu! Aku hanya punya tiga orang sahabat! Mereka tak ada disini! Kau dengar itu lelaki yang memegang keris?"
"Yuniarti... Gusti Allah Ampuni segala dosaku Tuhan! Anakku ampuni dosa ayahmu ini! Semua ini terjadi karena kebodohanku! Karena hatiku yang terlalu sombong dan pongah tapi tak berani menghadapi kenyataan. Yuniarti..."
Tambakjati ulurkan kedua tangannya hendak merangkul anak gadisnya. Tapi sang dara sendiri hanya tertawa cekikikan lalu mengangkat tangan kanannya. "Kau layak mampus! Kau layak mampus siapapun kau adanya!"
"Aku bersedia mati ditanganmu Yuniarti! Aku ikhlas kau bunuh! Dosa ku terhadapmu terlalu besar anakku! Tapi biar kuambil dulu kunci gembok itu. Biar kubuka?"
Dua bayangan putih tampak berkelebat menuju puncak bukit Jatipadang. Di sebolah depan adalah seorang pemuda gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpakaian putih, mengenakan kopiah putih berbentuk aneh dan memanggul sebuah kantong besar terbuat dari kain putih. Di tangan kanannya kakek ini memegang sebatang tongkat kecil.
Sambil berlari tongkat itu selalu diayunkannya kian ke mari hingga pakaian dan kulit tubuhnya tidak sekalipun kena terkait duri pepohonan atau semak belukar. Berlainan dengan Wiro yang lari laksana dikejar setan, pakaiannya habis robek-robek dan kulitnya bergurat-gurat diserandung onak dan duri. Begitu sampai di puncak bukit murid Sinto Gendeng itu jadi terperangah dan memandang berkeliling sampai pandangannya membentur si kakek.
"Heh... eh! Mana gadis cantik berotak tidak waras yang katamu dipasung di puncak bukit ini...?!" si kakek bertanya.
"Aneh!" sahut Wiro.
"Apa yang aneh?!" tanya si kakek.
"Lihat di bagian sana. Di situ sebelumnya berdiri pondok beratap rumbia itu. Kini hanya tampak tiangnya malang melintang. Lalu atapnya terhampar di sebelah sana. Gadis itu sendiri lenyap! Lenyap bersama lantai papan dan balok pasungannya!"
"Kau tidak bergurau atau main-main padaku anak muda?" si kakek bertanya dengan nada tidak enak.
"Disambar petir aku kalau berani mempermain kanmu Raja Obat! Lima hari lima malam aku mencari sahabatku Si Segala Tahu. Dia menunjukkan tempat di mana aku bisa menemuimu. Satu minggu lebih aku mencarimu! Kalau ingin mempermainkan mengapa aku mau bersusah payah mengadakan perjalanan jauh dan selama itu? Pasti ada yang telah menculik Dewi sahabatku itu!"
Si kakek gelengkan, "Anak betul, bau busuk di tempat ini," lalu dia menyambung. "Dengar anak muda kalau ada yang menculik gadis sahabatmu itu, tentu membawanya bersama sama balok pasungannya, bukankan gadis itu katamu dipasung pada sebuah balok besar dan diikat dengan rantai besi...?!"
"Aku tak tahu bagaimana kejadiannya tapi jelas sahabatku itu dilarikan orang! celaka ke mana aku harus mencari. Ah kasihan! Gadis itu tak akan pernah bisa disembuhkan!"
Si kakek yang bergelar Raja Obat bantingan kantong besar yang dibawanya ke tanah lalu duduk di atas kantong itu. Tiba-tiba dia terlompat. Dari arah semak belukar sebelah kanan terdengar suara mendesis. Lalu muncullah dua ekor utar kobra berwarna hijau!
"Sahabat-sahabatku!" seru Wiro ketika melihat munculnya dua binatang itu.
Langsung saja dia mendatangi, berlutut di tanah dan ulurkan kedua tangannya. Si kakek terheran-heran dan juga ngeri ketika menyaksikan bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa itu naik ke atas lengannya kiri kanan lalu bergelung di bahu sambil menjilati leher dan wajahnya.
"Sahabat-sahabatku, dengar. Kita kehilangan Dewi. Gadis sahabat kita itu lenyap! Tak tahu entah ke mana! Kita harus mencarinya! Kalian berdua punya penciuman tajam! Kalian pasti bisa membaui jalan yang dilewati Dewi. Kita harus mengejarnya, kita harus menemukannya!"
Sepasang ular kobra goyang-goyangkan kepala tanda mengerti. Kedua binatang ini meluncur turun, tegak setengah badan di tanah, menatap ke arah kakek yang duduk di atas kantong.
"Orang tua itu sahabatku. Jadi sahabat kalian juga. Jangan diserang! Dia Raja Obat yang akan menolong menyembuhkan Dewi.
Dua ekor ular kembali goyang-goyangkan kepala. Lalu turunkan tubuh dan meluncur ke arah semak-semak. Wiro memberi isyarat pada si Raja Obat dan berkata, "Ayo, tunggu apa lagi! Dua sahabatku itu pasti tahu ke arah mana perginya Dewi!"
Raja Obat geleng-geleng kepala tapi berdiri juga. "Dunia ini sungguh aneh! Tapi hari ini baru aku tahu kalau ada ular berbahaya jadi sahabat anak manusia sepertimu. Dan pandai pula menjadi penunjuk jalan!"
Menjelang pagi Wiro dan si Raja Obat semula menduga dua ular kobra itu akan membawa mereka memasuki Kotaraja. Ternyata sepasang binatang ini di luar Kotaraja membelok ke arah selatan. Kedua orang itu terus mengikuti sepasang ular yang meluncur di tanah, bergerak dalam kecepatan luar biasa.
Di selatan Kotaraja dua binatang itu masuk ke sebuah rumah besar berhalaman luas berumput. Saat itu hari telah terang tanah hingga baik si Raja Obat maupun Wiro dengan cepat dapat menyaksikan keadaan di tempat itu dengan jelas. Lebih dari setengah lusin mayat bergelimpangan malang melintang mulai dari pintu gerbang sampai tangga depan rumah besar.
Dan di depan tangga itu pula Wiro melihat Dewi duduk di atas papan tengah bersilat kata dengan seorang laki-laki yang dari ucapan orang itu jelas dia adalah ayah Dewi. Karena pikirannya yang tidak waras, si gadis tidak perduli siapa adanya lelaki itu bahkan siap untuk membunuhnya dengan pukulan maut larikan-larikan sinar hijau!
"Dewi! Kami sahabat-sahabatmu datang!" Wiro berseru. Seruan ini membuat Dewi hentikan gerakan tangannya.
Hartawan Tambakjati Kalidiningrat yang semula hendak masuk ke dalam rumah guna mengambil kunci gembok hentikan gerakan langkahnya dan berpaling memperhatikan kedatangan dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika melihat dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika melihat dua ekor ular kobra yang sangat berbahaya meluncur di atas tubuh puterinya, memagut gadis itu dan menjilati wajahnya!
"Kalian datang... Kalian datang! Hatiku senang! Ayo bawa aku pulang!"
"Anakku! Ini rumahmu. Di sini tempat tinggalmu. Hanya ke rumah ini kau akan pulang Yuniarti!"
"Manusia banyak mulut! Namaku bukan Yuni arti tapi Dewi! Hai tadi aku hendak membunuhmu! Biar kuteruskan maksudku!" si gadis angkat tangan kanannya.
Wiro cepat pegang lengan gadis itu seraya berkata, "Sahabatku, dengar... Kau tak boleh membunuh orang itu. Dia ayahmu..."
"Perduli amat! Aku tidak punya ayah! Dia harus kubunuh!"
"Jangan... Jangan bunuh! Orang itu sahabatku. Berarti sahabatmu juga..."
Dewi terdiam sesaat. "Kau bohong!" bentaknya tiba-tiba.
"Tidak, aku tidak bohong! Kau tak boleh membunuhnya. Dengar, ikuti kata-kataku. Nanti akan kubawa kau kembali ke pondok di bukit Jatipadang..."
"Pondok itu sudah dirusak orang-orang jahat! Aku sempat melihat sebelum aku tertidur"
"Aku akan buatkan pondok baru untukmu. Lebih bagus... Asal kau tidak membunuh lelaki yang memegang keris itu..."
"Hik-hik-hik! Baiklah, aku menurut katamu. Eh sahabat, apakah kau masih suka ngompol seperti dulu...?"
"Tidak... Aku tak pernah ngompol lagi. Aku sudah besar sekarang!"
Kedua orang itu lalu tertawa gelak-gelak sementara Tambakjati tak habis pikir menyaksikan kejadian itu sedang si Raja Obat hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kalian ini siapa...?" Tambakjati akhirnya bertanya.
"Bukan saatnya berbincang bincang!" menjawab Wiro. Lalu dengan suara lebih perlahan dia berkata, "Tadi kau hendak mengambil kunci gembok ini! Pergilah ambil! Kawanku kakek tua bertopi putih itu akan mencoba menyembuhkan penyakit anakmu!"
Bagi Tambakjati Kalidiningrat sulit dipercaya kalau kakek tak dikenalnya itu akan sanggup mengobati puterinya. Sebelumnya sudah banyak dukun besar, para ahli pengobatan dan orang-orang sakti telah mencoba mengobati Yuniarti tapi semua sia-sia belaka. Tak seorangpun berhasil.
Wiro berpaling pada si Raja Obat dan bertanya, "Kau telah melihat keadaan sahabatku ini! Bagaimana pendapatmu! Kau sanggup menyembuhkannya...?"
Raja Obat usap-usap pipinya lalu jatuhkan kantong kainnya dan duduk di atasnya. Dia merenung beberapa lama. Tambakjati datang mendekat dan memegang bahu si orang tua.
"Orang tua, aku tak kenal padamu. Apakah benar kau akan mengobati anakku? Apakah kau sanggup melakukannya...?"
"Dengan izin Allah aku akan mencoba! Mudah-mudahan Tuhan memberkati putrimu. Ketahuilah anak gadismu itu memang tidak waras. Tapi dia begitu bukan karena diobati atau diguna-guna orang. Kedua matanya memancarkan sinar murni pertanda jiwanya tidak sakit. Hanya kurasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya disebelah dalam. Biar aku merenung untuk mengetahui dimana sumber penyakit putrimu!"
Tambakjati anggukkan kepala. Dia melangkah mendekati Yuniarti, maksudnya hendak mengusap kepala putrinya itu tapi Wiro memberi isyarat agar dia jangan mendekat.
Si Raja Obat pejamkan kedua matanya. Kedua tangannya diacungkan kemuka dengan telapak membuka. Tubuh dan kedua tangan orang tua ini kemudian tampak bergetar. Keringat mengucur di wajahnya yang keriput. Dia merasakan satu aliran dingin meluncur dari kaki kanannya. Aliran dingin ini naik ke bagian atas tubuh, mula-mula ke paha lalu ke perut, terus ke pinggang, dada, leher, muka dan ketika aliran itu meluncur ke bagian kepala sebelah belakang, orang tua merasakan bagaimana hawa yang tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi panas!
Perlahan-lahan Raja Obat buka kedua matanya dan turunkan kedua tangan. "Tuhan telah memberi petunjuk! Putrimu menderita gangguan di kepala bagian belakang, mungkin ada syaraf atau pembuluh darahnya yang terjepit hingga hawa segar tidak dapat masuk ke dalam otaknya. Apakah putrimu pernah jatuh sewaktu masih kecil hartawan?"
Hartawan Tambakjati terkesiap kaget. "Benar sekali orang tua. Anak itu waktu kecil nakal sekali dan suka memanjat. Dia pernah jatuh dari atas pohon. Kepalanya sebelah belakang benjol besar. Tubuhnya panas. Beberapa hari kemudian benjolan dikepalanya hilang dan panasnya turun. Tak ada gejala apa-apa setelah dia jatuh itu. Tapi beberapa tahun kemudian dia mulai menunjukkan kelainan-kelainan. Aku orang tuanya tak pernah menghubungkan soal kejatuhan itu dengan kelainan yang kemudian dideritanya..."
"Justru kejatuhan itulah sumber malapetakanya..." kata Raja Obat pula.
"Kau berhasil mengetahui sumber penyakit anakku. Terima kasih orang tua. Tapi yang lebih penting, apakah benar kau sanggup mengobatinya?"
Raja Obat bangkit berdiri dan berkata pada Wiro, "Aku akan mengobati gadis sahabatmu itu. Tapi jika tidak kau totok dulu tubuhnya, tak berani aku melakukan. Tangannya bisa menjetikkan maut setiap saat secara tak terduga!"
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala. "Dewi, kau sudah siap untuk pulang ke bukit Jatipadang...?"
"Pulang... pulang! Itulah yang aku inginkan! Tempat ini tidak sedap baunya di hidungku! Hik hik hik...!"
Wiro membelai punggung gadis itu. Lalu secepat kilat dia menotok urat besar di pangkal leher si gadis. Detik itu juga Dewi menjadi kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara, hanya sepasang matanya saja yang tampak berputar-putar liar.
"Tugasku selesai Raja Obat! Giliranmu sekarang!" kata Wiro memberitahu.
"Bagaimana dengan dua ular yang masih bergelung dibahunya! Aku tak mau mati konyol dipatuknya!"
"Raja Obat takut pada bisa ular!"
"Sialan kau anak muda! Aku bukan segala-galanya. Aku tidak membekal obat penangkal racun ular!" sahut Raja Obat pula.
"Sudahlah, lakukan pekerjaanmu. Aku jamin sahabat-sahabatku itu tidak akan mencelakaimu!"
Meskipun hatinya bimbang namun akhirnya si Raja Obat melangkah juga ke belakang tubuh Dewi. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain putih. Lalu dari dalam kantong kain ini dikeluarkannya sebuah benda kecil halus berkilat berbentuk jarum yang ujungnya sangat runcing.
"Wiro aku sudah siap. Awasi sahabat-sahabatmu itu!" si Raja Obat memberi tahu.
"Lakukan tugasmu Raja Obat. Dua sahabatku tak akan mengganggumu!" jawab Wiro.
Dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kirinya si Raja Obat menjengkal-jengkal bagian belakang kepala Dewi beberapa kali hingga dia menemukan satu titik yang dipastikannya paling tepat. Lalu pada titik itu jarum ditangan kanannya ditusukkan. Terjadi satu hal yang luar biasa. Meskipun saat itu Dewi berada dalam keadaan tertotok namun tususan jarum sempat membuat tubuh dan kepalanya tersentak.
Bersamaan dengan itu kedua bola matanya yang selalu berputar-putar liar kini menatap tenang. Lalu sepasang mata yang bening itu tampak berkaca-kaca. Dilain saat tampak ada air mata yang menetes melewati tanggul kelopak mata sebelah bawah.
"Dia menangis..." bisik Wiro sambil menggamit tangan si Raja Obat.
"Alhamdulillah. Itu pertanda pikiran dan perasaannya sudah pulih walaupun belum sepenuhnya,''sahut orang tua itu pula.
"Luar biasa! Secepat itu kau menyembuhkannya!" Wiro memuji dan memandang pulang balik pada Raja Obat dan hartawan Tambakjati.
Hartawan ini juga tampak tersenyum walau tak kuasa membendung air mata. Raja Obat menunggu beberapa lama lalu perlahan-lahan jarum yang ditusukkannya ke bagian belakang kepala Dewi ditarik dan disimpan kembali dalam kantong kain. Dari dalam kantong besar yang selalu dibawanya kemana pergi Raja Obat mengeluarkan tujuh helai daun kering. Daun daun ini diserahkannya pada hartawan Tambakjati disertai pesan.
"Godok tujuh daun itu. Minumkan airnya selama tujuh hari berturut-turut pada putrimu. Mudah-mudahan kesembuhannya akan sempurna!"
Tambakjati mengambil daun-daun itu lalu berkata, "Pertolonganmu besar sekali. Hutang budi ini..."
"Jangan menyebut segala hutang budi. Aku Raja Obat memang tugasku berbakti untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Tapi kesembuhan bukan aku yang membuat melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Berterima kasih pada-Nya."
Raja Obat berpaling pada Wiro. "Anak muda, saatnya kau melepaskan totokan di tubuh sahabatat mu itu. Tapi sebelum melepaskan, alirkan tenaga dalammu ketubuhnya agar kedua kakinya mampu digerakkan. Selama beberapa hari dia tak akan mampu berdiri dan berjalan. Tapi jangan khawatir, dia pasti mampu berdiri dan kembali berjalan..."
Wiro anggukkan kepala. Dia menoleh ke arah Tambakjati dan berkata, "Saatnya untuk mengambil kunci gembok dan membuka rantai besi itu..."
Tambakjati Kalidiningrat melompat masuk ke dalam rumah. Di ruangan tidur istrinya masih berada dalan keadaan pingsan. Begitu kunci gembok didapat, dia kembali keluar. Dia sendiri yang membuka dua buah gembok. Rantai besi terbuka. Balok besar yang memasung kedua kaki si gadis ikut lepas. Dengan air mata berlinang Tambakjati mengusap-usap kedua kaki anaknya.
"Dosaku besar sekali terhadapmu anakku, Ampunilah ayahmu yang jahat ini. Juga ibumu..." Ingin lelaki itu merangkul dan mencium putrinya. Tapi sepasang ular kobra yang masih melingkar di bahu Dewi membuat hatinya kecut.
Wiro melangkah kebelakang si gadis. Mengusap punggungnya sambil mengerahkan tenaga dalam lalu melepaskan totokan pada pangkal leher Dewi. Begitu totokan terlepas, pekik dahsyat meledak keluar dari mulut gadis itu. Kesadaran rupanya membuat dia sangat takut pada dua ular yang memagut bahunya. Dia berusaha bangkit tapi jatuh kembali karena kedua kakinya masih lemah.
"Sahabatku, tak usah takut. Ular-ular itu tak akan menggigitmu. Bukankah mereka sahabat-sahabatmu...?"
Meskipun Wiro berkata begitu, si gadis masih saja menggigil ketakutan. Tapi melihat dua ekor ular itu begitu jinak, meskipun agak takut-takut si gadis membelai-belai tubuh keduanya.
"Sahabat-sahabatku..." bisiknya berulang kali dengan mata terus berkaca-kaca. Dia memandang pada Wiro. "Kau... kau siapa? Aku kenal wajahmu tapi kau siapa?"
"Aku Wiro! Aku juga sahabatmu. Apa kau lupa...?"
"Wiro... Wiro Anak Sableng itu?!"
"Betul sekali! Ha ha ha!"
Dewi tertawa cekikikan. Suara tawa yang biasa dikumandangkannya ketika masih berada di bukit Jatipadang. Suara tawa yang membuatnya merinding. Wiro melirik pada Raja Obat dan berbisik, "Katamu pikiran dan perasaannya sudah pulih. Tapi tawanya tadi menunjukkan dia masih sakit Raja Obat...?"
Raja Obat hanya tegak mengulum senyum. Suara tawa si gadis semakin tinggi dan panjang. Tiba-tiba gadis ini melompat ke punggung Wiro yang saat itu tengah bicara dengan Raja Obat dan membelakanginya.
"Wiro! Sahabatku! Gendong aku! Bawa aku kembali ke hutan Jatipadang! Kita pergi sekarang juga bersama-sama dengan dua sahabatku berbaju hijau ini!"
"Celaka! Gadis ini sama sekali belum sembuh! Jangan-jangan Raja Obat menipuku!" Wiro mengomel dalam hati.
"Ayo jalan! Lari Wiro! Jika kau tak mau menggendongku dan lari dari sini, aku akan suruh ular-ular sahabatku ini mematukmu!"
Mendengar ancaman itu Wiro segera berteriak. "Jangan! Jangan! Aku akan membawamu ke mana kau suka! Jangan suruh ular itu mematuk! Aku masih mau hidup!"
"Kalau begitu lari! Dukung aku!"
"Ya... ya! Aku segera lari!"
Sebelum meninggalkan tempat itu Wiro Sableng berpaling pada Raja Obat. "Kau lihat sendiri! Dia masih belum sembuh! Kini aku ketiban celaka! Kau Raja Obat tolol!"
Dimaki begitu si kakek hanya ganda tertawa malah lambaikan tangan. "Selamat jalan anak muda...!" katanya.
"Selamat jalan segala! Edan!" maki Wiro. Lalu dia mulai berlari meninggalkan tempat itu sementara Tambakjati Kalidiningrat bersiap untuk mengejar tapi dipegang bahunya oleh si Raja Obat.
"Biarkan saja... Mereka tak akan pergi ke mana-mana..."
Ucapan itu tambah membuat Tambakjati tidak mengerti. Dia hendak mengibaskan tangannya yang dipegang, tapi cekalan si Raja Obat kuat sekali, dia tak mampu melepaskan bahunya.
"Kurang kencang Wiro... Kurang kencang! Ayo lari yang kencang!" terdengar ucapan Dewi berulang-ulang sementara dua ekor ular ikut mendesis-desis.
"Aku sudah lari sekencangku bisa! Nafasku sudah megap-megap..."
"Ah... kau berdusta!"
"Gila! Rasanya sudah mau mati! Tubuhmu berat sekali!" teriak Wiro yang lari sambil mendukung Dewi di punggungnya.
Tiba-tiba si gadis keluarkan suara tertawa. "Ha ha ha...!" Suara tawa yang lain sekali dengan tawa-tawanya sebelumnya. Bukan suara tawa cekikikan itu!
"Heh...?" Wiro berpaling. Dilihatnya Dewi tertawa lebar malah mencibirkan mulutnya.
"Jika kau memang letih, berhenti saja dibawah pohon sana..."
"Dan kau tidak akan menyuruh ular-ular itu mematukku?!"
"Tidak!"
"Dan kau tidak akan memintaku mendukungmu ke hutan Jatipadang itu?!"
"Tidak!"
"Heh?!" Wiro hentikan larinya dan menarik si gadis hingga kini mendukungnya di sebelah depan. "Kalau begitu kau sebenarnya sudah sembuh!"
Gadis dalam dukungan tertawa gelak-gelak. "Karena pertolonganmu aku memang sudah sembuh! Hanya kedua kakiku masih lemah karena terlalu lama dipasung! Aku hanya menggodamu! Berpura-pura masih sakit dan mengancam mu agar mendukungku ke puncak Jatipadang!"
"Edan!" Wiro turunkan Dewi dan sandarkan ke batang pohon rindang di tepi jalan.
Keduanya lalu tertawa gelak-gelak dan saling berangkulan. Sepasang ular kobra hijau mendesis-desis berulang kali seolah-olah juga ikut tertawa gembira.
SATU
MATAHARI baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan dipekuburan Jati anom nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di u jung kanan tanah pekuburan, dibawah sepokok batang Kemboja kecil tampak seungguk tanah makam yang masih merah ditaburi oieh bunga-bunga aneka warna.
Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan udara semakin geiap. Pada saat itulah tiga sosok berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah pekuburan.Ketiganya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak seorangpun kelihatan di tempat itu, ketiganya melangkah bergegas menuju kuburan baru. Dua dari tiga orang ini memanggul pacul. Satunya membawa linggis.
"Ini kuburannya! Kita harus bekerja cepat!" terdengar orang yang membawa linggis berucap.
"Tak usah kawatir. Kuburan baru tanahnya masih lembek. Sebentar saja kita pasti menemukan peti itu!" menjawab pemanggul pacul di sebelah kanan.
Lalu bersama temannya dia mulai memacul dan menggali tanah kuburan. Keduanya bekerja keras dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sampai akhirnya salah satu mata pacul terasa dari terdengar menghantam benda keras.
"Peti jenazah!" seru orang yang memacul di sebelah kanan. Dengan tangannya dia menggeser tumpukan tanah, kawannya ikut membantu. Dalam gelapnya malam kemudian terlihat kayu tutup peti jenazah.
"Berikan linggis!" orang di dalam lobang berteriak.
Lelaki yang memegang linggis menyahuti, "Biar aku yang membuka tutup peti!" Lalu dia melompat turun ke dalam liang kubur yang barusan dibongkar itu. Dengan ujung linggis dia mulai mengungkit tepi penutup peti. Terdengar suara berkereketan ketika kayu penutup peti jenazah mulai terkuak.
"Ganjal dengan paculmu! Aku akan mengungkit ujung sebelah sana!" si tukang linggis berkata. Kawannya lalu mengganjalkan paculnya dibawah penutup peti yang terkuak. Ketika ujung yang lain berhasil diungkit pula maka penutup peti itupun dengan mudah bisa ditarik lepas.
"Hai!" Orang yang membuka penutup peti berseru kaget tapi juga keheranan. Dua kawannya sama-sama besarkan mata, terperangah. Salah seorang dari mereka malah berjongkok dan memasukkan kedua tangan ke dalam peti, meraba-raba.
"Kosong...!" desisnya sambil menengadah ke arah kedua temannya. "Petinya kosong! Kalian lihat sendiri!"
"Kami sudah melihat! Ini adalah aneh! Mana jenazah puteri hartawan itu...?!"
"Edan! Kita kemari bukan untuk mencari mayat! Tapi mencuri harta yang kabarnya ikut dikuburkan bersama jenazah Yuniarti putri bungsu hartawan Tampakjati!"
Untuk beberapa lamanya ketiga orang itu tertegun saling pandang. "Ada suatu rahasia dibalik semua ini! Rahasia yang kita tidak mengerti!"
"Kau betul! Putri hartawan itu diketahui mati. Lalu dikubur di tempat ini! Tapi ketika dibuka petinya ternyata kosong! Tak ada jenazah, apa lagi harta!"
"Mungkinkah jenazah itu gaib...?"
"Atau seseorang telah mendahului kita. Tapi gila! Mustahil! Tidak mungkin!"
"Lalu...? Jangan-jangan..." Yang berkata adalah lelaki yang tadi memcongkel penutup peti jenazah dengan linggis.
Belum lagi ucapannya berakhir tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Bagus! Jadi ini kerja kalian! Membongkar makam mencari harta! Kalian tahu makam siapa yang kalian bongkar?! Benar-benar mencari mampus!"
Tiga lelaki berpakaian serba hitam di dalam lobang sama mendongak ke atas. Di tepi kuburan mereka melihat seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah garang dan membekal sebatang golok di pinggangnya tegak bertolak pinggang. Mereka segera mengenali siapa adanya orang ini. Salah seorang dari ketiganya segera menjawab.
"Lancang Item! Kau tidak lebih baik dari kami. Mengapa mencampuri pekerjaan kawan segolongan...?!"
Orang yang tegak ditepi kuburan mendengus. "Aku berhak melakukan apa saja disini karena aku ditugasi mengawasi makam ini!"
"Siapa yang menugasimu?"
"Bangsat! Kau tak layak bertanya!" hardik Lancang Item "Kalian telah melakukan satu kesalahan besar! Membongkar kuburan dan punya niat jahat untuk mencuri!"
"Kau linat sendiri! Peti ini kosong! Tak ada mayat apa lagi harta!"
"Sudahlah! Mengapa harus ribut-ribut di tempat ini. Mari kita pergi saja..." Kata lelaki yang memegang linggis.
"Tidak! Kalian akan tetap di lobang itu!" Lancang Item maju satu langkah.
"Apa maksudmu?!" orang dalam kubur bertanya.
"Srettt...!"
Lancang item hunus goloknya. Dalam gelapnya malam benda itu masih tampak seperti berkilau tanda selalu diasah. Melihat gelagat tidak baik ini tiga orang didalam kubur segera memanjat keatas. Saat itulah golok di tangan Lancang Item berkelebat. Terdengar dua pekikan berturut-turut. Dua orang di samping kanan yang tengah berusaha memanjat dan keluar dari dalam kubur kembali jatuh dengan punggung luka besar dan satu lagi hampir putus pangkal lehernya. Lelaki ketiga lindungi dirinya dengan linggis besi sewaktu golok di tangan Lancang Item kembali membabat.
"Trangg...!"
Bunga api memercik ketika golok tajam dan besi linggis beradu. Yang memegang linggis mera-sakan tangannya bergetar keras. Saat itu kembali dilihatnya golok datang menyambar! Untuk kedua kalinya dia angsurkan linggis ke atas. Tapi sekali ini Lancang Item tidak mau melakukan bentrokan lagi. Golok ditangannya diputar. Senjata ini berubah dari membabat menjadi membacok. Terdengar pekik ketiga. Lelaki yang memegang linggis rubuh ke dalam kubur dengan kepala hampir terbelah!
"Maling-maling picisan mau berlagak melawanku!" ujar Lancang item. Lalu dia masukkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ke dalam mulut. Terdengar suitan nyaring. Sesaat kemudian dua orang bergegas muncul dari arah barat.
"Lekas kalian timbun makam ini!" berkata Lancang Item begitu dua orang tadi sampai dihadapannya. Keduanya mengangguk. "Kalian bisa pergunakan dua pacul yang ada di dalam sana!"
Kembali dua orang itu mengangguk. Tapi ketika hendak mengambil pacul mereka melihat tiga sosok tubuh yang saling timpang tindih di dalam lobang. Dua mungkin sudah mati, satu masih terdengar mengerang. Lancang item segera maklum keraguan mereka. Maka diapun menghardik.
"Kalau aku perintahkan kalian menimbun kuburan berarti apapun yang ada didalamnya harus kalian timbun! Lakukan cepat!" Lancang Item memandang berkeliling. Dia kawatir kalau-kalau ada orang lain berada disekitar situ dan sempat menyaksikan apa yang terjadi.
Mendengar bentakan Lancang Item dua orang tadi segera mengambil dua pacul di dalam kubur lalu dengan cepat kembali menimbun dan menguruk kuburan yang tadi sempat digali oleh tiga orang pencuri harta.
"Pekerjaan kami telah selesai Lancang," seorang penimbun memberi tahu.
Lancang Item mengangguk. Lalu keluarkan sebuah kantong dari balik pakaiannya. Kantong itu dilemparkannya pada orang yang tegak disebelah kanan.
"Bagi dua uang itu. Dan mulai saat ini kalian harus meninggalkan daerah ini! Tidak boleh kembali dengan alasan apapun! Bila rahasia ini tersebar diluaran berarti kalian yang membuka dan menyebarkannya! Aku akan mencari dan membunuh kalian! Mengerti?!"
"Kami mengerti Lancang..."
"Nah pergilah! Bawa pacul-pacul itu, buang di tempat jauh!"
Untuk beberapa lamanya Lancang Item masih tegak di tempat itu memperhatikan kepergian dua orang yang membawa pacul. Setelah keduanya lenyap dikegelapan malam baru dia beranjak meninggalkan tempat itu.
********************
DUA
Tiga orang putera Raden Tambakjati Kalidiningrat duduk mengelilingi ayah mereka sementara ibunda ketiganya berada di kamar tidur dalam suasana duka. Ketiga putera yang datang dari jauh ini sama menyesalkan mengapa adik mereka begitu cepat dimakamkan tanpa menunggu kedatangan mereka hingga tak dapat melihat si adik untuk penghabisan kali.
"Adik kalian meninggal karena penyakit sampar," Raden Tambakjati berkata dengan menundukkan kepala. "Jika tidak segera dimakamkan bisa-bisa banyak orang yang akan ketularan, termasuk seisi rumah besar ini... Kalian putera-puteraku yang kucintai... Aku dapat merasakan apa yang ada dilubuk hati kalian. Besok, pagi-pagi sekali kalian bertiga bisa menyambangi makamnya di pekuburan Jatianom...."
"Dua tahun lalu..." yang bicara adalah Tubagus Kalidiningrat, putera tertua yang datang dari Solotigo, "ketika adik Yuni mencapai usia empat belas tahun, saya mendengar kabar dirinya menderita semacam penyakit aneh. Penyakit seperti kurang ingatan"
Raden Tambakjati angkat kepalanya dan menatap paras putera sulungnya itu. "Dari mana kau mendengar kabar itu? Siapa yang mengatakan begitu padamu...?"
"Saya tidak ingat dengan pasti ayah. Hanya saja... apakah kabar itu betul?"
"Kabar fitnah! Fitnah busuk yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka pada kita! Jangan kau percayai hal yang memalukan itu Tubagus.
"Saya memang tidak pernah mempercayainya ayah," jawab Tubagus Kalidiningrat.
"Kalian bertiga datang dari jauh, tentu, sangat letih. Pergilah beristirahat dulu. Sehabis ba'dal Isya akan diadakan pengajian. Kuharap kalian bertiga turut hadir..."
Ketiga putera Tambakjati sama mengiyakan lalu meninggalkan tempat itu, tepat pada saat Lancang Item datang menghadap. Hartawan Tambakjati menunggu sampai ke tiga puteranya meninggalkan tempat itu lalu berdiri dan memberi isyarat agar mengikutinya.
"Katakan cepat apa yang menyebabkanmu baru saat ini sampai kemari?" bertanya Tambakati. Lancang Item lalu menuturkan apa yang terjadi dipekuburan Jatianom
"Apa yang kau lakukan sudah cukup baik. Hanya saja masih ada yang kurasa mengganjal..."
"Hal apakah itu Raden?" tanya Lancang Item. "Dua orang tukang timbun itu seharusnya kau bereskan juga hingga semua rahasia tidak bisa bocor!"
"Saya sudah memberinya uang, menyuruhnya pergi dari. daerah ini dan mengancamnya! Mereka tak mungkin akan membocorkan rahasia itu Raden. Lagi pula saya sudah kenal lama keduanya. Mereka bisa dipercaya..."
Raden Tambakjati tatap merasa tidak enak didalam hatinya. Lalu dia berkata : "Mulai hari ini, paling tidak satu kali seminggu kau menjenguk tempat itu Lancang..."
"Itu menjadi tugas saya Raden. Apakah saya juga harus membawa obat-obatan dari perempuan tua bernama embah Gromboh itu?"
"Tidak perlu. Sejak lama aku dan istriku sudah menduga perempuan itu tidak mampu mengobati. Hanya saja selama ini kita memakainya karena mengharapkan ada kebaikan. Kenyataannya me-mang tidak.. Tempat yang kau pilih itu benar-benar baik dan aman Lancang?"
Lancang Item mengangguk. "Tempatnya sangat kelindungan. Tak ada manusia yang pernah mendekati tempat itu. Sama sekali tidak dijejak binatang buas. Sumber air terdekat tidak jauh dari situ. Sewaktu-waktu saya akan mengantarkan Raden," ujar Lancang.
"Kau boleh pergi. Jangan lupa menyirap-nyirap segala cerita dan desas desus diluaran..."
"Akan saya lakukan Raden. "Lancang Item membungkuk hormat lalu tinggalkan hartawan Tambakjati Kalidiningrat.
DUA
Bukit Jatipadang hanya merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki penduduk yang tinggal sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak ada binatang buas, tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai bukit yang ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena mengejar rusa buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang. Namun binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk sekitarnya.
Di puncak bukit, tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, secara tidak terduga tampak berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hutan, beratap rumbia dan sama sekali tidak berdinding. Mendapatkan adanya bangunan ini saja ditempat itu sudah merupakan suatu keanehan. Ditambah dengan apa yang terdapat dibawah atap gubuk itu maka tampaklah satu keluar biasaan.
Dibawah atas rumbia, diatas lembaran-lembaran papan jati kasar tampak duduk seorang dara berusia sekitar enam belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu, mengenakan pakaian berbentuk jubah panjang terbuat dari kain kasar tegai dan berlapis dua. Kelihatannya dara ini duduk termenung, tetapi sepasang bola matanya sesekali tampak berputar aneh.
Lalu mulutnya menyunggingkan senyum. Dari mulut itu acap kali terdengar suara seperti mendesah kedinginan. Ada kalanya dara ini tertawa melengking-lengking. Kadang-kadang tanpa diketahui sebabnya dijambaknya rambutnya yang hitam.
Di lantai di hadapannya, sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai buah-buahan. Sebagian telah banyak yang busuk. Lalu ada sebuah kendi tanah berisi air yang tergoleh dan tumpah sebagian isinya. Dara di dalam gubuk ini hanya mampu menggeser tubuhnya sedikit saja karena kedua kakinya dijepit pada dua buah lobang diantara dua balok jati. Kedua balok ini diikat erat dengan dua untai besi yang ujung-ujungnya dikunci dengan kura-kura besi!
Jelas dara ini diasingkan dan dipasung di bukit terpencil itu. Wajahnya yang pucat jelas menunjukkan dia kurang makan atau tidak perduli dengan makanan. Tubuhnya kuyu lemas tanda kurang minum. Kulitnya yang kuning langsat tertutup debu dan daki yang mulai menebal. Semua itu menunjukkan bahwa paling tidak sang dara telah dipasung di tempat itu lebih dari lima hari lalu.
Siapakah dara yang malang ini, Lalu siapa pula yang begitu sampai hati membawanya ke puncak bukit Jatipadang dan memasung kedua kakinya dalam balok jati? Dara berwajah panjang yang tersembunyi kecantikannya dibawah keadaan dan pen-deritaan itu adalah Yuniarti Kalidiningrat, putri tunggal atau anak bungsu hartawan Tambakjati.
Lima hari lalu dia diberitakan meninggal dunia karena menderita penyakit sampar. Jenazahnya dikuburkan dengan terburu-buru sampai-sampai tiga orang kakaknya tidak sempat melihatnya untuk penghabisan kali. Namun apa yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa dara itu tidak pernah meninggal dunia. Acara kematian dan penguburan semua adalah sandiwara belaka, diatur oleh sang ayah ibu dan orang kepercayaan hartawan Tambakjati yaitu Lancang Item.
Sejak dua tahun sebelumnya Yuniarti yang waktu itu berusia empat belas tahun ditimpa malapetaka mengenaskan. Dara yang beranjak remaja putri ini tiba-tiba saja menunjukkan kelainan pada sikap dan gerak geriknya. Sikap dan keadaan Yuniarti adalah sikap seorang yang kurang waras, kurang ingatan alias gila!
Berbagai usaha telah dilakukan secara diam-diam oleh kedua orang tuannya untuk mengobati putri tunggal mereka itu. Namun sia-sia belaka. Sang dara tidak dapat disembuhkan. Sebagai turunan istana, tentu saja Tambakjati Kalidiningrat dan istrinya akan mendapat malu besar kalau gilanya putri mereka sampai diketahui orang luar.
Karena merasa mereka tidak dapat lagi menjaga dan mengasuh anaknya, ditambah entah setan dari mana yang datang merasuk, dibantu oleh Lancang Item maka disusunlah satu rencana diluar batas kemanusiaan. Yuniarti harus keluar dari rumah besar, disembunyikan disatu tempat dan ditempat itu dia harus dipasung hingga tidak mungkin melarikan diri.
Lancang Item ditugaskan paling tidak satu kali seminggu mengurus keperluan gadis itu, mengantarkan makanan dan sebagainya. Agar lengkapnya sang dara tidak menimbulkan kecurigaan, maka di-susun lah sandiwara kematian dan pemakaman Yuniarti.
Padahal peti mati tidak berisi apa-apa alias kosong. Tiga orang pencuri bernasib malang ketika mereka ketahuan membongkar kuburan dan mendapatkan peti mati dalam keadaan kosong. Agar rahasia peti kosong itu tidak sampai diketahui orang Lancang Item yang memang ditugaskan untuk menjaga segala kemungkinan langsung membunuh ke tiga pencuri itu!
Pada hari ke enam, tak ada lagi buah-buahan atau makanan lain yang bisa dimakan. Air dalam kendi tanah sudah lama kering. Tetapi sang dara yang tidak waras pikirannya itu sama sekali tidak acuh. Sepanjang hari dia tertawa atau mengeluarkan suara seperti menangis hingga suaranya menjadi parau. Pakaian dan tubuhnya semakin kotor. Rambutnya berlapis debu pada siang hari dan berlapis embun pada malam hari.
Berkali-kali dia menyentak-nyentakkan kedua kakinya seperti berusaha melepaskan jepitan balok kayu jati tetapi sia-sia saja. Kedua pergelangan kakinya tampak luka dan lecet. Lantai papan kotor dan menghampar bau amis dan bau kotoran. Dan karena si dara membaringkan tubuhnya di lantai yang sama jika mengantuk maka pakaiannya pun ikut menjadi kotor dan bau.
Sungguh mengenaskan penderitaan gadis enam belas tahun ini. Tetapi justru dia sendiri tidak menyadari apa sebenarnya yang tengah dialaminya. Pada pagi hari ke tujuh, belum lama matahari muncul menerangi bumi, disaat Yuniarti duduk sambil mengeluarkan suara mencaci maki tiada henti dan tangan kiri kanan menjambaki rambutnya sendiri, dari rerumpunan semak belukar dekat mata air tiba-tiba terdengar suara mendesis panjang disusul dengan muncul dan meluncurnya dua ekor ular hijau berkepala besar pipih.
Seperti tertarik oleh bau busuk yang datang dari gubuk, kedua binatang ini, satu jantan satunya betina, meluncur cepat ke arah Yuniarti. Di depan gubuk tanpa dinding kedua binatang itu berhenti. Sebagian tubuhnya sebelah bawah terus menempel ke tanah, sebagian yang sebelah atas berdiri tegak, lidah terjulur keluar masuk, mulut membuka memperlihatkan gigi dan taring-taring runcing sedang sepasang mata merah pekat tidak berkedip.
Dua ular ini adalah dua kobra hutan yang ganas dan sangat berbisa. Sekali seseorang atau binatang sempat digigit atau dipatuknya pastilah akan menemui kematian dalam waktu beberapa kejapan mata! Tetapi anehnya di hadapan gubuk dua ekor ular kobra hutan itu sama sekali tidak menyerang, apalagi mematuk Yuniarti. Binatang ini tegak lama sekali, tidak bergerak.
Sang dara sendiri dalam ke tidak warasannya sama sekali tidak menyadari bahaya apa sebenarnya yang dihadapinya saat itu. Malah sambil tertawa cekikikan dia menjentik-jentikan jari-jari tangan kiri dan kanannya ke arah dua ekor ular kobra hutan. Binatang-binatang ini menarik kepalanya masing-masing ke belakang, sikapnya seperti hendak mematuk. Tapi tidak.
Setiap jentikan yang dibuat Yuniarti diikuti kedua ular itu dengan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri atau ke kanan, semakin cepat sang dara menjentik, semakin cepat pula goyangan kepala ular, jika lambat jentikan maka lambat pula gerakan kepala kedua binatang itu. Yuniarti tertawa pula gerakan selain menjentik-jentik mengeluarkan suara tlik... tlik... tlik di ujung-ujung jarinya, dara itu juga mengerak-gerakkan tangannya.
Dan terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya. Kedua ekor ular kobra menggerak gerakkan tubuh mereka sebatas pinggang ke atas kian kemari seperti menari! Entah berapa lama hal itu berlangsung, sampai akhirnya Yuniarti merasa letih dan berhenti menjentik-jentik. Dara ini letakkan kedua tangannya diatas paha tangannya kemudian dipukul-pukulkan ke paha. Mulutnya berucap,
"Kawan-kawanku... anak anak manis berkepala besar yang lucu, bermata merah yang bagus mari mendekat. Mari kita lanjutkan permainan. Aku banyak permainan dan aku akan ajarkan pada kalian. Mari mendekat, letakkan kepala kalian di telapak tangan ku!"
Aneh sungguh aneh! Seolah-olah mengerti apa yang diucapkan sang dara. Kedua binatang berbisa dan mematikan itu meluncur mendekat, naik ke atas lantai papan jati lalu menjulur dan mendekatkan kepalanya di telapak tangan sang dara. Satu ditelapak kiri, lainnya di telapak tangan kanan!
"Ah... wajah-wajah kalian ternyata tidak cakap! Tapi lucu! Aku suka pada kalian! Aku mau berteman dengan kalian!" kata Yuniarti pula.
Lalu tangannya kiri kanan mengusap-usap kepala kedua ular kobra hutan itu. Binatang binatang ini kedip kedipkan kedua mata masing-masing seperti senang dan keenakan. Ketika Yuniarti berhenti mengusap, kini dua ekor ular kobra itu yang ganti mengusap tangan sang dara yakni menjilati telapak tangan yang terkembang. Kedua telapak tangan yang tadinya kotor berdebu dan penuh daki itu, sebentar saja menjadi putih bersih!
"Hai... Hik-hik-hik! Kalian mencuci tanganku yang kotor! Hik-hik-hik! Terima kasih. Kalian sahabat yang baik..."
Dua ekor ular kobra mengibas-ngibaskan ekor masing-masing seolah-olah senang mendengar kata-kata Yuniarti . Kedua binatang ini lalu menjilati bagian tubuh sang dara yang lain. Lengannya kedua kaki, lalu leher dan wajahnya. Sesekali terdengar suara tawa cekikian Yuniarti karena kegelian.
Selagi dua ekor ular itu menyisiri rambut sang dara dengan ujung-ujung ekor mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah mendatangi. Semak belukar tersibak dan tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi muncul membawa sebuah buntalan kain. Orang ini bukan lain adalah Lancang Item yang datang membawa makanan dan buah-buahan aru untuk Yuniarti.
Lancang Item hentikan langkahnya begitu kedua matanya melihat dua ekor ular kobra berada di dekat sang dara. Yuniarti tak bergerak dalam duduknya. Matanya memandang tajam ke arah Lancang Item. Dua ekor ular kobra juga tampak tegak dengan kepala terpentang menghadap Lancang Item kedua kobra ini berubah memperlihatkan sikap ganas dan siap menyerang.
Perlahan lahan Lancang Item turunkan bun talan yang dipanggulnya. Matanya tidak lepas dari memperhatikan dua eKor ular yang kini terdengar mulai mendesis desis. Begitu buntalan diturunkan, tangan kanan Lancang Item cepat menempel ke hulu golok di pinggang.
"Ra... raden Ayu..." suara Lancang Item bergetar karena ketakutan. Dia tak berani mendekat. "Bagaimana... kau... kau bersahabat dengan ular-ular jahat dan berbisa itu?"
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Lalu dia melengking tinggi. Dua ekor ular disebelahnya ikut mendesis panjang. Membuat Lancang Item ketakutan dan mundur satu langkah. "Dua orang berbaju hijau ini sahabat-sahabatku! Mereka tidak jahat! Mereka tidak seperti kalian manusia-manusia laknat!"
"Dua orang berbaju hijau...?" ujar Lancang Item terheran. "Dua orang siapa maksudmu... den ayu?"
"Mereka! Mereka sahabat-sahabatku!" teriak Yuniarti sambil menunding pada sepasang ular kobra hutan berwarna hijau.
Lancang Item sesaat terdiam sambil gigit bibirnya. "Kalau... kalau mereka sahabat-sahabatmu suruh mereka pergi dulu. Suruh Keduanya menjauh. Aku datang membawa makanan dan buah-buahan untukmu..."
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Dua ekor ular kobra kembali keluarkan suara mendesis. "Jangan berani menyuruh pergi mereka! Kau yang harus pergi! Aku tidak butuh makanan! Pergi... pergi..."
"Raden ayu... dengar baik-baik... Dua ekor ular itu sangat ganas dan berbisa. Kau bisa dibunuh nya..."
"Tidak! Mereka tidak akan membunuhku. Tapi akan membunuhmu!" teriak Yuniarti. Lalu dia berpaling pada kedua binatang itu dan berkata: "Sahabat-sahabatku. Bunuh manusia jelek itu! Hik-hik-hik...!"
Dua ekor kobra hutan tarik kepala masing-masing kebelakang. Mulut mendesis. Lalu laksana terbang kedua binatang itu melompat ke arah Lancang Item. Lancang Item yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga, melihat dua ekor ular melesat ke arahnya cepat bertindak mundur sambil mencabut golok dan menyabat ke depan. Tapi lelaki ini kalah cepat. Goloknya baru mampu keluar setengah badan saja dari dalam sarung ketika dua ekor ular kobra mematuk tubuhnya, satu di dada, satu lagi di bagian perut!
Lancang Item keluarkan pekik setinggi langit. Golok dibuang ke tanah. Dia membalikkan tubuh lalu lari sekencang yang bisa dilakukannya ke bagian lereng bukit dimana dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai di tempat kuda tertambat, lelaki ini langsung melepaskan ikatan kuda, melompat ke punggung binatang ini dan memacunya sekencang-kencangnya.
Lancang Item tahu kalau bahaya maut tengah menghadangnya. Meskipun demikian dia berusaha menyelamatkan diri dengan mengeluarkan bisa ular yang mulai menjalar di tubuhnya. Dengan sebilah pisau kecil dia menoreh dua patukan ular lalu memencetnya kuat-kuat hingga darah menyembur. Apa yang dilakukan Lancang Item hanya mampu menunda kematiannya beberapa ketika.
Ditengah jalan, jauh sebelum mencapai gedung kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat, lelaki ini menghembuskan nafas. Ketika kuda sampai di pintu gerbang halaman kediaman Tambakjati, binatang ini hanya tinggal membawa mayat penunggangnya!
Hartawan Tambakjati jatuh terduduk di kursinya dengan kedua tangan ditutupkan ke wajahnya yang pucat. Istrinya telah lebih dulu jatuh pingsan dan dibawa masuk ke dalam kamar, dibaringkan diatas tempat tidur. Penyebabnya tidak lain ketika kedua suami istri ini menerima kabar kematian Lancang Item, yang berarti sangat sulit bagi mereka untuk dapat menemukan kembali puteri mereka yang dipasung dan dikucilkan. Karena kecuali Lancang item, tak ada lagi orang lain yang mengetahui dimana Yuniarti disembunyikan dan diasingkan!
TIGA
Malam itu hujan turun lebat sekali menyirami bumi. Suaranya menegakkan bulu roma. Apalagi sesekali terdengar guruh menggelegar disertai kilat menyambar. Dinginnya udara bukan alang ke-palang terutama di daerah yang tinggi seperti bukit Jatipadang. Dalam keadaan cuaca seperti itu lapat-lapat terdengar suara seperti orang menyanyi.
Lagu yang dibawakannya sama sekali tidak berujung pangkal. Dan nyanyian itu seringkali diseling oleh suara tawa cekikikan atau suara seperti orang menangis pilu. Suara nyanyian ini datang dari arah gubuk tan pa dinding beratap rumbia. Dan yang nyanyi bukan lain adalah gadis malang dalam pasungan.
"Hujan... hujan air...
Bukan hujan batu...
Bukan hujan duit. Hik-hik-hik!
Bukan hujan tai. Ha-ha-ha!
Hujan... hujan... turun biar lebat...
Lebih lebat!
Biar hanyut tempat ini
Biar aku sampai ke sorga. Hik-hik-hik!
Apa sih sorga...?
Hujan.. Mengapa hujan air?
Mengapa tidak banjir?
Aduh... aku ingin kencing...!
Mau beser aih... Hik-hik-hik!"
Yuniarti goyang-goyangkan kedua kakinya yang dijepit balok kayu, lalu kencing di tempat itu.
"Ih... panas... Kencingku panas!" si dara gila berteriak. Sesaat kemudian dia kembali berteriak, "Uh... dingin... udara dingin! Sedingin di kuburan? Tapi mati bohong bohongan! Mati pura-pura! Hik-hik-hik! Orang orang tolol itu bermain sandiwara. Aku dibilang mati. Padahal ini aku! Masih hidup! Tolol... tolol..." Sang dara hentikan nyerocosnya dibawah hujan lebat itu. Dia ingat sesuatu. "Heh...?" Di mana mereka... Dimana mereka...?"
Gadis itu garuk-garuk rambutnya dan memandang berkeliling. Lalu dia berseru sambil bertepuk tangan tiada henti.
"Sahabat-sahabatku! Dimana kalian! Malam celaka ini dingin sekali. Aku kedinginan! Apa kalian juga kedinginan... Hai! Lekas datang kemari. Mari kita tidur berhimpit-himpitan! Biar hangat. Sahabat-sahabatku! Dimana kalian?!"
Didalam gelapnya malam, dibawah hujan lebat tiba-tiba meluncur dua sosok tubuh panjang. Sesaat kemudian dua sosok tubuh yang melata di tanah ini naik ke atas lantai jati, terus meluncur ke pangkuan Yuniarti. Sang dara bersorak gembira.
"Aih... kalian kebasahan! Hujan jahat! Mari kukeringkan tubuh kalian!"
Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara Yuniarti lalu mengusap-usap sosok tubuh dua ekor ular kobra hutan. Kedua binatang ini merunduk bergelung di pangkuan sang dara, tak bergerak-gerak, diam kesenangan.
"Nah... nah! Sekarang kalian berdua pasti su-dah enak kehangatan. Sekarang kalian boleh tidur! Kita boleh tidur sama-sama! Besok bangun pagi... pagi. Bukankah kita harus ke sekolah...?! Hik-hik-hik! Hanya manusia-manusia tolol-lah yang pergi berguru ke rumah Romo! Kita tidak mau jadi orang tolol! Jadi tak usah belajar. Lagi pula... hik-hik-hik! Mana ada tempat belajar untuk kalian dua sahabatku? Tempat penga-jianpun tidak ada bagi kalian berdua! Hik-hik-hik! Ha-ha-ha...!"
Yuniarti lalu merebahkan tubuhnya diatas lantai kayu jati yang lembab dan kotor. Kedua matanya dipincingkan. Tapi dari sela bibirnya terdengar suara nyanyian perlahan. Dua ekor ular kobra hutan bergelung diatas perutnya. Ketika dara ini hampir tertidur, kedua binatang itu perlahan-lahan bergerak. Satu meluncur disepanjang tangan kiri sang dara, satunya di sepanjang lengan kanan.
Sampai di ujung tangan, beberapa saat lamanya kedua binatang ini menjilati telapak tangan Yuniarti hingga membuat gadis ini tambah mengantuk dan mulai tertidur pulas. Dua ekor ular kobra hutan menggerakkan kepala masing-masing ke arah jari-jari tangan si gadis. Keduanya mula-mula menjilati ujung-ujung lima jari Yuniarti.
Lalu dengan gerakkan sangat perlahan hingga tidak menjagakan si gadis dari tidurnya apalagi sampai merasa kesakitan, dua ular kobra ini mematuki satu demi satu ujung-ujung jari Yuniarti. Demikian dilakukan binatang-binatang ini berulang kali sampai sepuluh jari tangan si gadis tampak berwarna kehijauan dan membengkak.
Keesokan paginya ketika si gadis terbangun dua ekor ular itu tak ada lagi di gubuk. Sang dara sejenak memperhatikan lima jari tangannya yang membengkak. Pada setiap ujung jari kini tampak adanya lima titik kecil sebesar ujung lidi berwarna kehijauan. Karena otaknya tidak waras, gadis ini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan tangannya. Apakah jari-jari tangan itu sebelumnya memang besar bengkak seperti mengambang, ringan dan ada hawa panas aneh menjalar dalam pembuluh-pembuluh darahnya.
Kejadian kedua ular itu mematuki jari-jari Yuniarti berlangsung selama tujuh malam berturut turut. Keduanya selalu mematuk pada tanda bintik hijau yang sama. Pada malam ke tujuh, menjelang pagi, secara aneh sepuluh jari tangan yang bengkak tampak berubah kempis dan kembali ke bentuk semula. Hanya titik titik hijau pada masing-masing ujung jari yang tidak mau hilang dan tampak lebih hijau, lebih jelas.
Hawa panas yang selama ini menguasai tubuh Yuniarti tujuh hari tujuh malam berangsur surut namun suhu badan sang dara kini sedikit tetap lebih panas dari sebelumnya. Hawa panas ini membuat sepasang matanya seperti mengeluarkan sorotan aneh yang akan menggetarkan setiap siapa saja berani memandangnya.
Pada hari ke delapan, yakni sehari setelah ular-ular itu mematuki jari-jari tangan sang dara tujuh malam berturut-turut, waktu bangun dari tidurnya Yuniarti dapatkan kedua sahabatnya telah tegak setengah badan di depan gubuk. Sikap dua ekor ufar ini agak aneh, tidak seperti biasanya bergerak lincah kian kemari. Binatang-binatang ini tegak menatap ke jurusan Yuniarti dengan sepasang mata merah tak berkesip. Kepala melebar pipi dan ditarik kebelakang. Mulut menganga memperlihatkan lidah hijau berbisa dan gigi-gigi runcing mengerikan.
"Hai! Mengapa kalian diam-diam saja disitu? Apa kalian sudah minum kopi? Hik-hik-hik...! " Yuniarti menegur lalu tertawa cekikikan.
Dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis Tubuh yang tegak tertarik ke belakang. Tiba-tiba keduanya melesat ke arah Yuniarti. Jelas kedua binatang ini melancarkan serangan. Mematuk ke arah dada dan leher sang dara. Karena otaknya tidak waras Yuniarti sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya. Malah gadis ini tertawa-tawa gembira, gerak-gerakkan kedua tangan, goyangkan kepala seperti menari!
Ketika kepala dua ekor ular yang mematuk hanya tinggal seujung jari dari sasaran yang diserang, mendadak dua kepala itu tampak berhenti mematuk dan tertarik jauh ke belakang. Tapi hanya sesaat saja. Di lain kejap dua ekor ular kobra itu kembali menyerang. Dan begitu patukan mereka hanya tinggal sedikit saja lagi akan menghunjam di kepala atau bagian tubuh sang dara, gerakan mereka berhenti, kepala masing-masing ditarik lagi kebelakang. Demikian berulang kali. Terus menerus. Semakin lama kelamaan gadis ini merasa letih dan turunkan kedua tangannya.
"Aku capai! Mari kita istirahat sebentar sambil minum kopi hangat dari angin. Hik-hik-hik!"
Tapi sepasang ular kobra hutan tidak mau berhenti. Terus saja pulang balik mendesis dan menyerang.
"Hai! Kalian tidak dengar apa yang aku bilang?" Yuniarti membentak karena mulai jengkel. Lalu dia jambak-jambak rambutnya sendiri.
"Sssss...!" Sepasang ular mendesis. Uap hijau menyambar. Lalu keduanya kembali menyerang berulang kali hampir tiada henti.
"Sahabat-sahatku! Kalian pasti sudah gendeng! Jangan bikin aku marah!"
"Sssss...!" Dua ekor ular kembali mendesis dan melanjutkan serangan-serangan.
"Sahabat-sahabat kurang ajar! Kalian tidak kugebuk kalian tentu belum kapok!"
Habis berkata begitu Yuniarti kibaskan tangan kanannya. Kali ini lebih keras karena lebih marah. Dan seperti tadi lima sinar hijau tampak melesat keluar dari lima jari tangannya. Sekali ini lebih terang. Yuniarti tertawa cekikikan. Sesaat itu ular betina disamping kiri terdengar mendesis dan mematuk ganas.
Yuniarti meninju dengan tangan kirinya. Selarik sinar hijau menderu kearah ular kobra betina. Binatang ini rundukkan kepalanya ke tanah lalu meluncur bergabung dengan ular kobra jantan. Dari satu arah keduanya kemudian sama-sama menyerang. Yuniarti kibaskan tangannya kiri kanan. Sepuluh larik sinar hijau berkiblat!
Dua ekor ular kobra hutan cepat jatuhkan diri. Larikan sinat hijau melesat menghantam sebatang pohon. Terjadilah satu hal yang luar biasa. Lima lobang kecil tampak menembus kulit pohon. Dan batang pohon itu sendiri serta merta berubah menjadi kehijauan!
Seperti layaknya orang gembira, kedua ular kobra meliuk-liukkan tubuh masing-masing ke atas, berputar-putar dan menggoyangkan kepala tiada henti. Kedua binatang ini kemudian meluncur kepangkuan Yuniarti, menggelung tubuh sang dara dan menjilatinya dengan mulut dan lidahnya.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan dialami oleh Yuniarti si gadis enam belas tahun dalam pasungan dan berontak tidak waras itu? Ternyata dua ekor ular kobra hutan bukanlah ular-ular biasa. Kedua binatang ini secara aneh dan sulit dipercaya telah memindahkan racun ganas yang ada di dalam tubuh mereka ke dalam peredaran darah si gadis.
Setelah tujuh kali terjadi pemindahan racun itu maka racun telah menjadi satu dalam dada Yuniarti dan setiap saat dia memukul, mengibaskan atau menjentikan jari-jari tangannya maka larikan-larikan atau gulungan sinar hijau yang mengandung racun mematikan akan melesat ke luar dari tubuhnya melalui sepuluh lobang kecil pada ujung-ujung jari tangannya!
Hal ini tidak mungkin terjadi kalau dua ekor ular kobra hutan hijau itu bukanlah sepasang binatang sakti! Yuniarti tertawa cekikikan karena geli ketika sepasang ular kobra menjilati leher dan mukanya. Pada saat itulah tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan tak berapa jauh dari pohon yang kini menjadi mati akibat endapan racun, tersibak dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi semampai, berjanggut, berkumis dan berambut putih muncul sambil menatap tajam ke arah Yuniarti.
"Ketika memukul kedua matanya belum kelihatan hijau..." orang tua itu membatin.
"Tapi sinar yang keluar dari jari-jari tangannya sudah cukup mantap. Mungkin seminggu dua lagi racun itu baru benar-benar dapat berbaur sempurna dalam darahnya..."
Sambil terus memandang ke arah sang dara orang tua ini usap-usap janggutnya. "Anak malang. Tak banyak yang dapat kulakukan untukmu. Mudah-mudahan kau salamat dan ada seseorang yang mampu mengobati penyakitmu. Ya Tuhan, ya Gusti Allah lindungi anak itu. Aku mohon disembuhkan dia dari segala penyakitnya "
Sehabis berkata begitu orang tua ini tepukkan kedua tangannya. Ternyata seperti Yuniarti, orang tua ini juga memiliki sepuluh jari tangan yang ujung ujungnya bertanda titik berwarna hijau!
"Anak-anak...! Tugas kalian sudah selesai! Kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kalian ingin bertemu dengan gadis itu hanya sekali-sekali saja bisa kalian lakukan. Ayo ikut aku...!"
Orang tua itu berhenti bertepuk lalu angkat kedua tangannya lurus-lurus ke depan. Dua ekor ular kobra mencium wajah Yuniarti terakhir kali lalu kedua binatang ini meluncur ke atas si orang tua, naik ke atas kaki dan tubuhnya, terus bergelung pada lengan kanan. Ketika berjalan pergi orang tua itu tak ubahnya seperti memakai sepasang gelang hijau.
Melihat dua sahabatnya dibawa pergi, Yuniarti berteriak marah. Dia melompat bangun. Tapi sepasang kakinya terbelenggu dalam jepitan balok besar. "Janggut putih! Hai! Orang tua jelek! Kau bawa kemana sahabat-sahabatku! Hai...! Setan... Kambing tua! Mereka bukan anak-anak mu! Mengapa menyebut mereka anak-anak?! Apakah kau kawin dengan ular?! Hik-hik-hik! Hai kambing tua! Bawa kemari sahabat-sahabatku itu!"
Orang tua berjanggut putih tentu saja mendengar teriakan teriakan Yuniarti. Namun dengan tenang dia melangkah terus ke arah semak belukar di mana tadi dia menyembul. Ketika dia menyibak semak belukar itu Yuniarti kepalkan jari-jari tangan kanannya lalu sambil memaki-maki dia tinjukan tangan itu ke arah orang tua berambut putih.
"Wussss...!"
Sinar hijau melesat tebal dan jelas tanda yang memukul mengerahkan tenaga dan berada dalam keadaan marah. Meskipun tidak melihat tapi orang tua itu tahu kalau dirinya mendapat serangan sangat berbahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Sinar hijau menghantam semak belukar. Serta merta semak belukar ini menjadi rambas dan mati setelah terlebih dulu berubah menjadi hijau!
"Ah, hebat sekali!" memuji si orang tua yang menyaksikan kejadian itu. Lalu dia gulingkan diri dan dilain kejap tak kelihatan lagi di tempat itu. Tinggal kini Yuniarti yang terus berteriak-teriak. Ketika suaranya menjadi parau baru gadis ini berhenti berteriak dan kini ganti menangis terisak-isak.
EMPAT
Raden Ancoro Murti menghisap rokok daun ganja dalam-dalam. Sepasang matanya meredup seperti orang mengantuk. Wajahnya pucat kuyu. Rokok itu membuatnya merasa nikmat dan mengendurkan rasa dinginnya udara. Sambil menghembuskan asap rokok dia menatap ke arah tiga ekor kuda yang tertambat dibawah pohon, disirami hujan lebat yang turun sejak beberapa waktu lalu.
Lalu dia berpaling pada dua orang pengiring yang tegak di sebelah kirinya. Saat itu mereka berteduh dibawah sebuah teratak reyot di timur hutan dimana bukit Jatipadang terletak. Lalu sambil mengusap-usap tombak, busur dan bumbung panah pemuda itu berkata. Suaranya datar lesu karena dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh rokok ganja yang dihisapnya.
"Sial betul nasib kita berburu sekali ini! Jangan kan babi hutan, kecoak busukpun tidak bertemu!"
Gento, pengiring yang tegak disampingnya menganggukkan kepala. Sambil mengusap dagu dia menjawab, "Mungkin ini gara-gara cuaca yang buruk Raden"
"Aku tidak percaya! Apa sangkut pautnya cuaca buruk dengan segala babi hutan atau celeng keparat! Bukankah mereka tidak akan keluar dari hutan ini walaupun ada hujan lebat?! Dan kau Jamaning Kau yang membawa kesialan pertama kali!"
Pengiring bernama Jamaning kerutkan kening. "Saya tidak mengerti maksud Raden..."
"Dua hari lalu aku minta kau menghubungi gadis desa bertubuh sekal bernama Taminten itu! Kau tak berhasil menemuinya, padahal pondok peristirahatan di Kaliwongso sudah disiapkan untukku bersenang-senang dengannya! Apa itu namanya tidak sial?!"
Jamaning terdiam sesaat. Namun kemudian memberi jawaban. "Waktu saya datangi kerumahnya, gadis itu tak ada. Maaf Raden, saya mendengar kabar tidak enak. Ternyata Taminten tidak hanya pergi dengan Raden, tapi juga sering dibawa lelaki lain. Maaf Raden, gadis itu tidak lebih dari seorang pelacur... Saya kawatir nanti Raden terkena penyakit..."
"Sudah lama aku berhubungan secara diam-diam dengan Taminten. Ternyata aku tak pernah sakit sampai hari ini!" menyahuti Ancoro Murti.
Jamaning kembali terdiam. Gento kini yang ganti bicara. "Maaf Raden, jika Raden mau, saya bisa mencarikan perempuan lain yang tak kalah cantik dan mulus dari Taminten"
"Mengapa baru sekarang kau berkata begitu? Setelah aku setengah mati kedinginan di tempat celaka ini?!"
"Sebaiknya kita pulang saja Raden. Dalam udara seperti ini kita tak akan mendapatkan binatang perburuan"
Ancoro Murti diam saja. Dia menghisap dalam-dalam rokok ganjanya yang tinggal kecil hampir membakar jarinya lalu mencampakkan puntung rokok ke tanah. Dia memberi isyarat pada Gento. "Nyalakan sebatang rokok baru untukku..."
"Maaf Raden... Saya dipesan oleh ayah Raden agar mengawasi Raden"
"Maksudmu?!" tanya Ancoro Murti. Untuk pertama kalinya kedua matanya yang kuyu terbuka lebar.
"Ayah Raden memesan agar Raden jangan terlalu banyak merokok ganja. Bahaya bagi Kesehatan Raden..."
"Ayahku! Ayahku!" ujar Ancoro Murti sambil bantingkan kakinya ke tanah. "Orang itu terlalu banyak peraturan. Tetapi tidak dikatakan langsung padaku. Harus lewat orang lain! Harus lewat kau! Sudah! Berikan rokok itu!"
"Saya tidak berani melanggar pesan ayamu Raden"
"Jadi kau berani menolak permintaanku Gento?! Saat ini kau berhenti jadi pembantuku! Kau boleh pergi!"
Mendengar itu Gento jadi kecut. Orang ini bimbang sesaat. Akhirnya dia mengeruk sakunya, mengeluarkan kelintingan rokok ganja, menyalakannya lalu memberikannya pada Raden Ancoro Murti. Ketika pemuda ini siap menyedot rokok ganja itu, tiba-tiba dilihatnya ada sesuatu bergerak dibalik semak belukar belasan langkah di hadapannya.
"Aku melihat sesuatu! Jangan ada yang bergerak!" pemuda itu berkata setengah berbisik.
Tangannya bergerak menyiapkan tombak. Tapi menurut perhitungannya, lemparannya tak akan menemui sasaran. Semak belukar itu berada diluar jangkauan lemparan tombak. Maka dia cepat-cepat mengambil anak panah dan busur. Benda yang bergerak di balik semak belukar makin lama makin jelas. Dan ternyata adalah seekor rusa coklat bertotol-totol putih. Tanduknya masih pendek tanda binatang ini masih muda. Raden Ancoro rentangkan busur.
"Bidik yang tepat Raden. Arah bagian lehernya..." bisik Jamaning.
Busur di rentang, jari-jari yang menjepit ekor anak panah dilepas. Anak panah melesat ke arah semak belukar dimana rusa muda tegak mengendap-endap. Suara disingan anak panah yang sampai ke telinga rusa yang berpendengaran cukup tajam itu, membuat binatang ini sesaat tegakkan kepala lalu melompat. Anak panah hanya sempat menyerempet telinga rusa sebelah kiri. Binatang ini mengeluarkan pekik kesakitan lalu melarikan diri!
"Kurang ajar! Ini gara-garamu Jamaning! Kalau kau tidak menggangguku dan mengajari segala pasti sudah kutancap leher binatang itu!" Raden Ancoro Murti memaki jengkel. Lalu dia melompat keluar dari bawah teratak, berlari ke arah kudanya. Dia memutuskan untuk mengejar rusa yang lari itu.
"Raden...! Masih hujan lebat!" berseru Gento.
Tapi Ancoro Murti nama mau mendengar. Pemuda ini sudah duduk di punggung kudanya. Mau tak mau Gento dan Jamaning terpaksa pula lari ke kuda masing-masing dan mengejar si pemuda yang telah lebih dulu membedal kudanya ke arah larinya rusa muda tadi.
"Raden! Binatang itu lari ke arah bukit Jatipadang!" berseru Gento ketika dilihatnya rusa yang mereka kejar melarikan diri ke jurusan barat, memasuki kaki bukit Jatipadang.
"Aku tahu dan aku akan kejar!" jawab Raden Ancoro Murti.
"Jangan dikejar Raden! Jangan memasuki bukit itu!" berteriak Jamaning.
"Kalian berdua ini terlalu banyak memberikan aturan padaku!" Dengan marah Raden Ancoro Murti hentikan kuda dan memandang membeliak pada kedua pengiringnya.
"Maaf Raden. Jangan salah sangka," kata Jamaning. "kami tidak bermaksud melarang ataupun memberikan aturan ini itu. Tapi ketahuilah bukit itu tak pernah didatangi orang karena angker. Lagi pula jalan ke atas sana sangat sulit. Banyak pohon-pohon berduri..."
"Kalau kalian takut pada pohon berduri, silahkan pulang saja! Aku tidak butuh manusia-manusia pengecut macam kalian!"
Raden Ancoro siap membedal kudanya kembali. Tapi Gento cepat memegang leher kuda tungga-ngan si pemuda dan berkata, "Kami tidak takut pada pohon-pohon berduri itu Raden. Sungguh mati tidak. Tapi yang kami takutkan ialah bahwa di bukit Jatipadang ada silumannya!"
"Siluman? Aku tidak takut!"
"Betul Raden. Ada silumannya. Siluman perempuan!" menegaskan Jamaning.
"Aku bilang tidak takut! Apalagi cuma siluman perempuan! Aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia cantik, malah aku mau tidur bersamanya!"
Pucatlah wajah kedua pengiring itu mendengar ucapan majikan mereka yang dianggap sangat tabu itu. Karena tak bisa berbuat lain, ketika Ancoro Murti meninggalkan tempat itu keduanya terpaksa mengikuti. Ketiga orang ini bergerak menuju bukit Jatipadang. Walaupun hujan sudah mulai reda tapi bukan berarti perjalanan menuju ke bukit enak dan mudah. Dan rusa yang mereka kejar seperti memberi semangat, karena sesekali binatang ini terlihat jelas di sebelah depan, lalu lari lagi menuju atas bukit. Begitu seterusnya. Disatu tempat jejak rusa itu lenyap sama sekali!
"Sialan! Benar-benar sialan!" maki Ancoro Murti. Pakaiannya basah dan kotor serta robek-robek dibeberapa bagian karena tersangkut duri pepohonan. Kulit tubuhnya juga tampak tergurat luka. Tapi rokok ganja masih mencantel disela bibirnya.
"Kita tak mungkin lagi mengejar rusa itu Raden. Binatang itu lenyap. Dan jalan ke sebelah atas bukit semakin sulit. Saya kawatir kalau tidak turun sekarang, sebelum senja kita tak akan sampai ke bawah..."
Raden Ancoro Murti tidak perdulikan kata-kata Gento. "Binatang itu terluka! Dia pasti tak lari jauh dan mendekam disekitar sini. Pasang mata dan telinga kalian baik-baik! Sekali lagi ada yang mengatakan agar kita turun kebawah atau pulang saja akan kuhantam dengan tombak!"
Ancaman itu memang membuat kecut Gento dan Jamaning. Tetapi sebenarnya kedua pengiring ini jauh lebih takut pada cerita yang mereka dengar bahwa di bukit Jatipadang itu terdapat siluman yang suka membunuh mati siapa saja seenak perutnya!
"Raden..." Gento membuka mulut kembali.
"Bangsat! Diam kau!" hardik Ancoro Murti. "Aku mendengar suara sesuatu..."
Raden Ancoro Murti pasang telinga tajam-tajam. Dua pengiringnya mengikuti dan wajah mereka tampak semakin pucat. Sayup-sayup mereka mendengar suara orang menyanyi. Suara perempuan!
"Si... siluman perempuan itu..." bisik Gento.
"Pasti... pasti..." balas berbisik Jamaning.
Selagi kedua pengiring itu dilanda ketakutan, majikan mereka Raden Ancoro Murti sudah turun dari kudanya, menyibak semak belukar dan melangkah menuju bukit sebelah atas.
"Raden... Jangan...! Berhenti!" seru Jamaning.
"Kembali!" berteriak Gento.
Tapi Ancoro Murti melangkah terus bahkan lenyap dibalik semak belukar. "Kita pulang saja!" ajak Gento.
Mauku begitu" kata Jamaning, "tapi kalau terjadi apa-apa dengan putra Tumenggung itu kita berdua pasti akan digantung!"
"Kalau begitu kita harus mengejarnya...!"
Akhirnya kedua pengiring itu terpaksa mengikuti Raden Ancoro Murti yang ada di sebelah depan, dalam keadaan basah kuyup, pakaian serta lengan tergurat duri-duri pepohonan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk, membuatnya mual dan hampir muntah.
"Setan, bau busuk apa ini...!" maki Ancoro Murti.
Saat itu kedua pengiringnya telah berada di sampingnya. Keduanya menutup hidung tak tahan bau busuk. Satu tangan menutup hidung, satu lagi menyibak semak belukar, Ancoro Murti melangkah maju. Saat itulah terdengar kembali nyanyian tadi. Dekat sekali. Namun bukan suara nyanyian itu yang membuat si pemuda seperti dipantek kedua kakinya di tanah hutan yang becek, melainkan apa yang disaksikannya bertebaran beberapa langkah di hadapannya!
LMA
"Ra... Raden mayat-mayat itu! Masya Allah! Bau busuk dan mengerikan. Kita segera pergi saja dari sini raden" bisik Gento dengan lutut gemetar, tubuh menggigil dan lidah hampir kelu.
Di hadapan ke tiga orang itu berhamparan malang melintang hampir selusin mayat manusia yang kebayakan sudah sangat rusak, menebar bau busuk luar biasa, membentang pemandangan mengerikan. Beberapa diantara mayat-mayat itu bahkan hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak saja. Entah habis digerogoti binatang hutan, entah dipatuk burung-burung pemakan mayat!
"Betul sekali Raden. Mari kita tinggalkan tempat angker celaka ini. Lihat... mayat-mayat busuk itu. Daging mereka yang masih utuh tampak berwarna hijau aneh"
Raden Ancoro Murti belum lagi sempat membuka mulut berikan jawaban, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara nyanyian perempuan.
Yang mampus biarlah mampus
Yang sudah mati biarlah mati
Yang barusan datang mencari mati
Hendak lari kaki dipantek
Hutan menjadi saksi kematian
Hutan menjadi pembasuh jenazah
Kaki dipantek tak bisa lari Hik-hik-hik!
"Raden... Lekas lari!" bisik Gento lagi. Tapi anehnya dia tak mampu menggerakkan kedua kakinya. Demikian juga kawannya Jamaning sedang Ancoro Murti seperti orang kena sirep memandang tak berkedip pada sosok tubuh dara yang duduk dipasung di dalam gubuk tanpa dinding
"Gento, Jamaning..." terdengar suara Ancoro Murti.
"Kalian lihat anak perawan itu..."
"Itu bukan anak perawn Raden! Itulah siluman yang saya katakan tadi..." ujar Gento dengan suara tercekat.
"Manusia tolol!" maki Ancoro Murti dengan suara perlahan mendesis. "Jelas-jelas itu seorang anak gadis! Matamu terbalik menyebutnya siluman Lihat! Gadis itu berparas cantik! Hanya sayang rambut dan pakaiannya sangat kotor. Dan lihat lagi! Kedua kakinya dipasung pada balok besar! Kasihan! Aku akan menolongnya! Melepaskan pasungannya lalu memandikannya disungai! Lalu memboyongnya ke pondok peristirahatan di Kaliwongso...!"
"Raden! Jangan bicara dan berpikir yang bukan-bukan. Ini tempat angker! Siluman bisa merubah diri seperti apa saja! Seperti gadis yang dipasung itu... Lekas kita pergi dari sini Raden...!"
"Tidak aku akan melepaskan gadis itu. Lalu memboyongnya...!"
"Demi Tuhan! Dia tidak pantas bagimu Raden! Kalaupun dia memang manusia, lihat tubuhnya yang kotor dan baunya sebusuk mayat yang bertebaran. Kalau Raden masih menganggapnya manusia, maka dia adalah gadis gila! Perawan edan!"
Dari arah pondok beratap rimba tiba-tiba meledak suara tawa melengking menggidikkan bulu roma yang diakhiri dengan satu bentakan keras. "Yang barusan mengatakan tubuhku sebusuk mayat! Yang barusan mengatakan aku gadis gila, perawan edan! Cepat datang kepadaku!"
Yang membentak adalah sang dara dalam pasungan. Wajahnya yang cantik tapi terselimuti debu dan pucat nampak bengis. Sepasang matanya berputar liar. Jamaning merasakan nyawanya terbang. Sekujur tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara di tempat itu atau dingin karena dia kehujanan, tapi karena ketakutan. Dialah tadi yang mengatakan gadis itu gila, busuk, perawan edan. Ketakutan setengah mati Jamaning tak kuasa bergerak dari tempatnya tegak di balik semak belukar.
"Tidak mau datang!" sang dara mendengus. Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. "Kalau begitu biar maut yang menjemputmu!"
Habis berkata begitu sang dara jentikkan jari telunjuk tangan kanannya. Satu sinar hijau setipis lidi berkiblat. Menerobos udara dingin dengan kecepatan kilat, merambas semak belukar. Di lain kejap terdengar pekik Jamaning. Orang itu terpental roboh, menggeletak di tanah hutan yang becek tak bergerak lagi. Sekujur tubuhnya berubah menjadi hijau. Pada keningnya tampak sebuah bintik hijau pekat!
"Gusti Allah!" desis Gento dan jatuh terduduk di samping mayat kawannya saking takutnya. Mukanya pucat pasi.
Ancoro Murti sendiri tak kalah pucat wajahnya. Kalau tadi dalam hatinya masih ada keinginan yang bukan-bukan terhadap sang dara kini nafsu itu lenyap sama sekali berubah menjadi rasa ngeri. Ingin dia kabur dari tempat itu detik itu juga tetapi aneh, seperti yang diucapkan sang dara dalam nyanyiannya, kedua kakinya laksana dipantek tak bisa bergerak apalagi lari!
Kembali sang dara di dalam pondok keluarkan suara tawa cekikikan. Saat itu hujan telah reda dan beberapa bagian dari puncak bukit termasuk di dekat-dekat pondok disaput oleh kabut tipis, membuat tambah seramnya suasana.
"Yang tadi mengatakan aku bukan perawan tapi siluman! Giliranmu maju ke hadapanku!" Gadis di dalam pondok berteriak.
Ancoro Murti berpaling pada pengiringnya yang masih duduk menjelepok di tanah. "Celaka kau Gento... Kau tadi yang bilang gadis itu siluman. Padahal"
"Ra... Raden... Tolong... tolong saya. Si... siluman itu pasti akan membu..."
"Tidak ada yang dapat menolongmu anak manusia!" terdengar suara dari arah pondok. "Mulut kamu harimau kamu! Mampuslah!"
Belum habis Gento menyelesaikan ucapan ketakutannya, kembali sinar hijau berkelebat. Kali ini dua larik sekaligus. Sinar-sinar maut yang ganas ini melesat hanya satu jengkal dari tubuh Ancoro Murti, terus melabrak tubuh Gento. Satu menghantam dada, satu lagi menembus leher!
Dua titik hijau tampak pada dua bagian tubuh itu. Gento sendiri terbanting ke tanah. Ajalnya telah sampai duluan sebelum punggungnya menyentuh tanah. Sekujur badannya sampai pada bagian matanya yang berwarna putih membeliak tampak menjadi hijau!
Melihat kejadian ini Raden Ancoro Murti tak kuasa lagi menahan takutnya. Dia segera kabur meninggalkan tempat itu tetapi lagi-lagi kedua kakinya tak mau diajak berkompromi! Kedua kaki itu benar-benar seperti di pantek ke tanah! Selagi dia dilanda ketakutan setengah mati seperti itu dari arah pondok kedengaran suara sang dara, menggema tantang.
"Orang muda! Sekarang giliranmu datang kehadapanku! Ayo jalan!"
Sungguh aneh! Kalau tadi untuk lari Raden Ancoro Murti tidak sanggup menggerakkan kedua kakinya sedikitpun, tapi kini seolah-olah berada dibawah satu pengaruh kekuatan gaib, pemuda ini perlahan-lahan melangkah menuju pondok, datang ke hadapan sang dara.
"Berhenti disitu!" sang dara memerintah lalu tertawa dan jambak-jambak rambutnya. Kedua matanya lagi-lagi berputar liar.
Ancoro Murti berhenti lima langkah di hadapan pondok. Berhadap-hadapan begitu dekat dengan sang dara yang duduk terpasung, Pemuda ini dapat melihat wajah yang cantik dibalik semua kekotoran dan bau busuk yang amat sangat.
"Hemm... tampangmu lumayan. Lebih bagus dari kucing peliharaanku di rumah dulu. Hik-hik-hik! Bukankah kau yang tadi mengatakan ingin memboyongku ke satu pondok di Kaliwongso...?!"
Ancoro Murti tak berani membuka mulut. Tak berani menjawab. "Ayo jawabi" sentak sang dara dalam pasungan. "Maksud saya tadi... Saya tidak bermaksud jahat. Saya hanya bicara main-main... Maafkan kalau..."
Tawa sang dara membuat Ancoro hentikan ucapannya. "Main-main... Kau pasti sudah terlalu sering mempermainkan orang-orang perempuan! Pasti! Hik-hik-hik! Aku dapat melihat nafsu bejat tersembunyi dalam pancaran kedua matamu yang ketakutan itu! Aku dapat mencium bau aliran darah kotor dalam tubuhmu!"
Sang dara mendongak ke atas sambil mencium-cium lalu kembali dia memandang dengan tajam pada si pemuda.
"Apakah aku cantik menurutmu!"
"Kau... kau memang, memang cantik" Jawab Ancoro Murti.
"Dan kau suka padaku...?!" Si pemuda tak berani menjawab. "Ayo buka mulut berikan jawaban!"
"Terus terang saya heran mendapatkan dirimu dalam keadaan seperti ini, di puncak bukit terpencil ini..."
"Itu bukan jawaban yang kuminta! Pertanyaanku apakah kau suka padaku...?!"
"Sa... saya memang suka..."
"Hik-hik-hik... Kau suka padaku. Dan mau membawaku ke pondok di Kaliwongso itu. Benar?"
Ancoro Murti anggukkan kepala. Mendadak saja dia merasakan bulu kuduknya tambah merinding. Lalu didengarnya dara dalam pondok berkata, "Bagus... bagus... Aku suka pergi bersamamu ke pondok itu. Kita bersenang-senang disana. Nah, kau pergilah duluan!"
Sang dara jentikkan telunjuk tangan kirinya. "Wuut!" Ada sinar hijau pekat berkiblat. Raden Ancoro Murti tundukkan kepala. Tapi terlambat. Sinar lurus hijau itu menyambar pertengahan keningnya. Satu lobang hijau tampak berbekas di kening. Pemuda ini terpelanting. Tubuhnya yang jadi mayat kelihatan menghijau begitu tergelimpang di tanah yang becek.
"Tiga mayat lagi bertambah... Tiga manusia lagi mampus di puncak bukit ini! Hik-hik-hik!"
Dara dalam pasungan bertepuk tangan seperti anak kecil kegirangan. Tiba-tiba dia berhenti tertawa dan berhenti bertepuk tangan. Kepalanya diputar setengah lingkaran. Hidungnya kembang kempis. Dia seperti mencium-cium sesuatu. Sepasang matanya berputar liar, sesekali pandangannya menyambar ke arah pepohonan tinggi besar berdaun lebat di sekitar pondok. Tiba-tiba dara ini kembali keluarkan tawa bergelak dan berseru,
"Mayat ke empat! Mengapa bersembunyi?!" Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya sekaligus! Terjadi hal yang dahsyat! Lima sinar hijau berkelebat menyilaukan, menebar hawa panas, menyambar ke arah pohon paling besar dan tinggi di sebelah kanan disertai suara menderu mengerikan!
Dari atas pohon terdengar suara seruan! Satu sosok tubuh melayang turun jungkir balik. Kepulan asap membungkus bagian bagian pohon di sebelah atas. Ranting-rantingnya tampak gosong tetapi berwarna kehijauan. Dedaunannya rontok berguguran. Sebagian pohon itu kini tampak hijau sampai ke pertengahan batang!
"Hik-hik-hik! Rasakan! Rasakan! Itu bagian orang yang suka bersembunyi! Hik-hik-hik! Hai... Rupanya kau tidak mampus hah! Bersembunyi dimana kau sekarang?!"
Sang dara angkat tangan kanannya. Siap untuk mengirimkan serangan jentikan lima jari maut. Tiba tiba dari balik pohon yang kini berada dalam keadaan mati dan berubah warna menjadi hijau melompat tubuh berpakaian serba putih, berambut gondrong.
"Tahan! Jangan serang! Aku bukan musuhmu! Aku bukan kawan dari tiga orang yang barusan kau bunuh!" Si rambut gondrong ternyata seorang pemuda bertampang keren tapi tampak seperti tolol dan jadi kocak ketika dia garuk-garuk kepalanya. Namun wajahnya sama sekali tidak dapat menyembunyikan rasa cemas.
"Kalau begitu kau siapa?! Setan! Monyet...?!"
"Aku bukan setan! Bukan monyet! Aku manusia seperti mu! Aku sahabatmu!"
"Aku tidak pernah punya sahabat selain dua sahabat berbaju hijau yang sudah lama tidak muncul di tempat ini! Jangan mengada-ada! Jangan menipu!"
"Aku tidak menipu! Aku..."
"Ah! Kau layak mampus seperti tiga orang tadi!"
Lalu gadis itu jentikkan lima jari tangannya. Seperti tadi lima larik sinar hijau berkiblat. Pemuda yang diserang berseru kaget lalu jatuhkan diri ke tanah, berguling ke arah semak belukar. Sebelum dia mencapai semak belukar, tiga larik sinar maut kembali memburunya. Terpaksa pemuda itu membuang diri ke jurusan lain sambil pukulkan tangan kanan ke depan. Satu gelombang angin keras menderu menyongsong tiga serangan sinar hijau!
"Wuttt!-Wuttt!-Wuttt...!"
"Celaka!" seru si gondrong ketika dia menyaksikan bagaimana pukulan saktinya yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera berhasil diterobos oleh tiga sinar hijau yang kemudian terus menderu ke arahnya!
Tidak membuang waktu lagi di gondrong berguling ke kiri. Di sini dia kembali menghantam dengan tangan kanan. Kali ini terdengar suara bergaung disertai menyambarnya sinar putih perak menyilaukan dan menebar hawa panas! Luar biasa! Sinar-sinar hijau yang menyerang tetap saja tak dapat ditangkis ataupun dibuat musnah! Tiga sinar itu menderu dahsyat menerobos sinar putih perak, lewat hanya dua jengkal dari batok kepala si pemuda!
"Gila! Aku tak mau mampus konyol!" runtuk si pemuda dalam hati. Tubuhnya digulingkan lagi. Dalam satu gerakan sangat cepat, tubuhnya berkelebat lenyap sementara tempat itu ditebar bau sangit terpanggangnya pepohonan yang terkena hantaman sinar putih dan larikan sinar hijau!
"Lari kemana kau? Lari kemana kau?! Apa kira kau bisa sembunyi...?!" Si gadis dalam pondok memandang berkeliling. Kedua tangannya diangkat tanda dia siap untuk kembali lancarkan serangan maut. Namun sekian lama mencari-cari dia tak berhasil melihat atau menduga-duga dimana pemuda tadi bersembunyi!
Sebenarnya orang yang dicarinya tidak berada jauh dari situ. Hanya saja si pemuda kini berlaku cerdik. Dalam keadaan terpasung seperti itu sang dara tidak akan dapat memandang berkeliling sampai ke belakang. Karena itulah pemuda tadi kini sengaja bersembunyi diatas cabang sebatang pohon yang terletak tepat di jurusan punggung dara di dalam pondok. Lagi pula atap pondok itu tidak terlalu tinggi hingga menutupi pemandangannya. Di cabang pohon si pemuda geleng-geleng kepala sambil usap keringat dingin yang membungkus wajahnya yang pucat.
"Benar-benar gila! Tapi sungguh luar biasa! Belum pernah aku melihat pukulan sinar sakti seperti itu. Sanggup menerobos dan tak dapat dibikin musnah oleh pukulan yang diajarkan guru! Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari! Kalau tidak berlaku cepat sudah tadi-tadi aku jadi bangkai! Gila!" Pemuda itu garuk garuk kepalanya lalu kembali mengusap wajahnya. "Siapa sebetulnya gadis itu? Dari mana dia mendapatkan kesaktian itu? Siapa yang memecilkan dan memasungnya di bukit Jatipadang ini. Aku harus menyelidiki! Aku harus mengintai dirinya terus-terusan "
Sang dara di dalam pondok masih memandang berkeliling, berusaha mencari kemana lenyapnya pemuda tadi diserangnya. Akhirnya dia letih sendiri.
"Pasti dia sudah kabur! Hebat juga monyet satu itu! Sanggup menyelamatkan diri dari seranganku! Hebat tapi dia bukan kawanku! Aku tidak punya kawan kecuali dua ekor ular kobra hijau itu. Ah... merekapun sudah lama tidak muncul disini... Makanan sudah habis... Air di kendi sudah kering. Sahabat-sahabatku, dimana kalian...?"
Di atas pohon pemuda yang bersembunyi mendengar jelas apa-apa yang barusan diucapkan dara dalam pasungan.Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengeruk kebalik pakaiannya dimana dia menyimpan dua buah ubi rebus sebesar kepalan tangan. Dua ubi itu ditimang-timangnya beberapa kali. Pemuda ini berpikir-pikir bagaimana cara yang baik menyerahkan makanan itu pada sang dara.
"Tujuanku baik! Memberinya makanan pengganjal perutnya yang lapar. Kalau kuserahkan tentu dia tak akan menyerangku. Aku bisa bersahabat padanya dan mungkin bisa mendapat keterangan siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu maka dengan hati-hati, tanpa mengeluarkan suara si pemuda meluncur turun dari atas pohon. Lalu dia melangkah mendekati pondok dari jurusan kanan. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika melangkah. Tetapi pendengaran dan perasaan tajam si dara tidak bisa ditipu. Baru saja dia membuat gerakan dua langkah, dara itu sudah palingkan kepalanya ke kanan.
"Hai! Datang lagi manusia ini! Benar-benar minta mampus!" Sang dara membentak. Tangan kanannya diangkat ke atas.
"Tahan! Tunggu! Jangan serang! Aku sahabatmu!"
"Sudah kubilang aku tak punya sahabat! Mampuslah!"
"Tunggu! Tunggu dulu!" si pemuda berteriak. Karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka teriakannya membawa pengaruh juga pada sang dara. Gerakan tangan yang diangkat ke atas tertahan setengah jalan.
"Dengar, aku tahu kalau kau sedang lapar. Lihat, aku membawa dua buah ubi rebus. Enak dan manis. Ini kuberikan keduanya untukmu..."
Pemuda berambut gondrong itu melangkah maju lebih dekat sambil unjukkan dua ubi yang dipegangnya di tangan kiri kanan.
"Siapa bilang aku lapar! Aku tak pernah lapar!" jawab dara dalam pondok. Lalu dia tutup ucapannya dengan menjentikkan lima jari tangan kanan ke arah si pemuda!
"Celaka! Mati aku!" seru si pemuda. Begitu sinar hijau berkiblat secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah, berguling ke balik semak belukar. Dua buah ubi rebus yang tadi dipegangnya lepas jatuh dan berguling di tanah! Untuk menyelamatkan diri dari serangan yang mungkin akan dilancarkan lagi oleh dara berontak tidak waras itu, si pemuda terpaksa kembali ke tempat persembunyiannya semula yaitu pohon besar di belakang pondok.
Di atas pohon jelas tampak wajahnya masih pucat. Kalau saja dia sampai terlambat menjatuhkan diri ke tanah tadi pasti saat itu dia sudah terkapar mati dengan sekujur tubuh menjadi hijau!
"Gadis itu..." si pemuda geleng-geleng kepala. "Dua kali aku hampir mati di tangannya! Cantik memiliki pukulan sakti luar biasa. Sayang otaknya tidak waras"
Sekali pemuda ini berkata-kata pada dirinya sendiri seperti itu tiba-tiba didengarnya suara desisan keras dibalik semak belukar sebelah kanan. Sesaat kemudian dari balik semak belukar itu keluar dua ekor ular kobra berwarna hijau yang langsung meluncur ke arah pondokan.
Tentu saja pemuda diatas pohon jadi terkejut. "Gadis itu! Dia akan mati dipatuk dua ekor ular berbisa itu! Aku harus melakukan sesuatu!"
Namun sebelum dia sempat melakukan apa-apa pemuda itu menjadi melengak kaget serta heran sekali ketika melihat bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa tadi meluncur ke dalam pangkuan sang dara, memagutnya dan menjilati sekujur tubuhnya mulai dari tangan sampai ke leher dan kemuka. Sang dara sendiri terdengar tertawa girang, bersorak gembira.
"Sahabat-sahabatku! Kalian kemana saja! Kukira kalian sudah lupakan diriku...! Hai banyak yang akan kuceritakan pada kalian. Tapi, Hik-hik-hik! Ada pertolongan yang perlu kuminta pada kalian. Lihat... disebelah sana ada dua buah ubi rebus. Perutku lapar sekali, Tolong ambilkan, berikan padaku..."
"Dasar orang gila! Masakan ular bisa disuruh mengambil ubi!" pemuda diatas pohon mengomel sendiri. Namun sesaat kemudian matanya terbelalak melihat apa yang terjadi.
ENAM
Seperti bisa yang mendengar dan mengerti apa yang diucapkan dara dalam pasungan, dua ekor ular kobra meluncur turun dari atas tubuh dara itu lalu keduanya menuju ke tempat dimana dua buah ubi yang tadi dibawa di pemuda kini berada di tanah. Dengan menggelungkan ekornya pada ubi sebesar kepalan itu, dua ekor ular lalu melata membawa ubi-ubi tersebut ke pangkuan sang dara!
"Luar biasa! Ini bukan sulap bukan ilmu gaib! Tapi kenyataan yang tak bisa kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" Pemuda di atas pohon garuk-garuk kepalanya. Dia tak habis pikir siapa aadanya gadis dalam pasungan itu. Sakti, mampu bicara dengan ular tapi kenapa dipasung? Dan dua ekor ular itu apanya? Pesuruh? Guru-guru atau memang sahabat seperti yang dikatakannya berulang kali.
Dalam waktu sebentar saja dua buah ubi rebus itu sudah amblas ke dalam perut sang dara bersama tanah liat yang menempel. Sang dara elus-elus perutnya. Dia mengusap-usap tubuh dua ekor ular. Binatang-binatang itu membalas dengan menjilati wajah si gadis hingga menjadi bersih sekali dan lebih kentara wajahnya yang cantik meskipun agak pucat dan cekung kedua pipinya.
"Sehabat-sahabatku! Kalian sudah datang. Hatiku senang. Aku akan menyanyi untuk kalian. Kalian tentu suka mendengar aku menyanyi bukan? Hik-hik-hik...!"
Sebagai jawaban dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis. Lalu sang darapun mulai menyanyi yang sekali-kali diselingi suara tawa cekikikan.
Perutku kenyang
Para sahabat telah datang
Hatiku senang! Hik-hik-hik
Hari-hari siang
Hari-hari malam
Tinggal sendirian dalam hutan
Betulkah aku gila...? Hik-hik-hik!
Betulkah aku cantik...? Hik-hik-hik!
Perutku sudah kenyang
Dua sahabat sudah datang
Hatiku senang! Hik-hik-hik!
Nyanyian itu diulang terus menerus sampai pemuda gondrong di. atas pohon menjadi bosan dan sebal mendengarnya. Tapi dibawah sana dilihatnya dua ekor ular kobra hijau tampak meliuk-liukkan tubuh mereka seperti menari mengikuti nyanyian si gadis.
Tiba-tiba pemuda itu ingat sesuatu lalu meraba ke pinggangnya. Dari balik pakaian dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan sinar berkelauan. Ternyata sebuah kapak bermata dua, berhulu berbentuk kepala naga. Pada gagang senjata itu terdapat lobang-lobang menyerupai lobang suling. Si pemuda dekatkan mulut naga ke bibirnya lalu meniup. Mula-mula perlahan-lahan, lalu makin keras, makin keras. Ternyata si pemuda meniup serulingnya mengikuti suara nyanyian si gadis.
Gadis dalam pondok tersentak begitu mendengar suara suling. Kepalanya mendongak dan matanya berputar liar. Dua ekor ular kobra berhenti meliuk-liuk. Sang dara tutup mulutnya rapat-rapat. Di atas pohon si gondrong hentikan tiupan sulingnya.
"Hai! Mengapa berhenti?!" terdengar suara sang dara.
Dia palingkan kepala ke belakang, tapi pandangannya tertutup atap pondok. Ucapannya itu jelas menunjukkan bahwa dia menyukri suara seruling tadi. Hal ini diketahui pula oleh pemuda di atas pohon. Maka diapun kembali meniup sulingnya. Begitu tiupan seruling menggema, dua ekor ular kobra tegakkan kepala, sama-sama mendesis lalu tiba-tiba sekali kedua binatang ini meluncur turun dari tubuh sang dara dan melesat ke arah pohon di atas mana pemuda yang meniup suling berada, terus naik ke atas pohon sambi! keluarkan suara mendesis beringas buas!
"Celaka! Dua kobra itu hendak menyerangku!" Si gondrong di atas pohon tersentak kaget.
Senjata mustika yang tadi ditiupnya kini dipegang erat-erat di tangan kanan. Baginya tak mungkin meluncur turun atau memanjat lebih ke atas karena dua kobra itu pasti tetap akan mengejarnya. Karena itu dia menunggu dengan hati tercekat dan senjata siap ditangan. Hanya beberapa jengkal lagi ular itu akan siap mematuk dan si pemuda siap ayunkan senjatanya, dari arah pondok terdengar suara sang dara berseru.
"Dua sahabatku, jangan bunuh orang itu! Dia orang gila yang membawa ubi yang tadi kumakan!"
Mendengar seruan itu, dua ular kobra yang meluncur ke atas pohon besar serta merta hentikan gerakan mereka. Keduanya tegakkan kepala sesaat, mendesis lalu meluncur turun ke bawah! Pemuda yang memegang kapak mustika tarik nafas lega. Rasa tegangnya lenyap kini.
Namun justru disaat itu pula, dibawah sana tiba-tiba muncul seorang lelaki bertubuh tinggi besar, memelihara berewok dan kumis melintang yang liar, berpakaian serba hitam, memiliki sepasang mata besar berwarna kemerahan. Dia tegak di depan pondok dengan mata memandang tak berkesiap ke arah dara yang terpasung. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat yang ujungnya ditekankan ke tanah dan tingginya hampir sebatas kepalanya. Tongkat ini berwarna kekuningan, terbuat dari sejenis tembaga.
"Betul rupanya cerita yang aku dengar..." si tinggi besar berkata dalam hati. "Masih begini belia, memiliki ilmu luar biasa, sayang kalau tidak dimanfaatkan!"
Dara di dalam pondok memandang menyorot sambil tangannya mengusap-usap tubuh dua ekor ular kobra. Dua binatang ini begitu tahu ada orang yang datang, segera angkat kepala dan mendesis siap untuk menyerang.
"Sahabatku, tenang saja kalian. Aku mau tahu manusia kesasar dari mana yang mencari mati berani datang kemari!"
Mendengar ucapan sang dara, si berewok segera membuka mulut. "Aku tidak kesasar datang kemari! Aku justru sengaja datang untuk bertemu dan bicara denganmu!"
"Sengaja datang dan ingin bertemu serta bicara? Hik-hik-hik! Setahuku yang datang kemari hanyalah orang-orang yang ingin mati!"
"Aku datang bukan mencari mati, tapi mencarimu! Aku punya rencana besar!"
"Rencana besar! Hik-hik-hik! Rencana berbau maut! Tidakkah kau melihat mayat-mayat bergeletakan di sekitar tempat ini? Sebagian sudah membusuk. Ada tiga yang masih segar. Tidakkah hidungmu mencium busuknya bau bangkai?! Hik-hik-hik!"
"Gadis, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku adalah Ronggo Munggul, bergelar Tongkat Setan"
"Aih... kau setan rupanya! Hik-hik-hik!"
Orang berpakaian serba hitam tampak geram mendengar ucapan dan tawa si gadis. Tapi dia meneruskan kata-katanya. "Aku adalah datuk segala rampok yang menguasai sembilan hutan di daerah ini, termasuk hutan dan bukit Jatipadang ini..."
"Walah... Kowe rampok rupanya! Muncul disini apa yang hendak kau rampok! Aku tak punya uang tak punya barang! Apa mau me-rampok kotoranku yang bertebaran dibawah lantai papan?! Hik hik hik!"
"Tidak anak gadis, aku tidak akan merampokmu. Tapi hendak menjadikanmu kawanku..."
"Aku tidak punya kawan selain dua ekor ular ini!" sentak sang dara.
"Baik... baik jika kau tak mau menganggapku kawan! Tapi dengar. Kau akan kuambil jadi istri"
"Istri...?!"
"Betul!" Aku punya kepandaian silat, ilmu tongkat yang hebat, puluhan anak buah dan ke-saktian. Tapi apa yang kumiliki tak akan mampu menunjang rencana besarku! Kau cantik dan punya kesaktian luar biasa. Kita bergabung! Kita berdua bisa menguasai seluruh daratan Jawa Tengah, bahkan lebih luas dari itu..."
"Hik hik hik! Yang datang ini orang gila rupanya!" ujar sang dara pula. Membuat Ronggo Munggul menggeram tapi tak berucap apa-apa hanya pelipisnya saja yang kelihatan menggembung. "Kau ingin mengambilku jadi istri karena kecantikanku atau kesaktianku...?" Si gadis ajukan pertanyaan.
"Dua-duanya!" jawab Ronggo Munggul.
"Tidak! Kau harus memilih satu dari dua itu!"
Ronggo Wunggu terdiam. Dalam hatinya dia membatin, biasanya perempuan lebih suka dipuji. Maka diapun menjawab, "Aku mengambilmu jadi istri karena kau cantik. Ya, karena parasmu cantik"
"Ha ha ha! Jadi kau bernafas pada diriku..."
"Aku suka padamu..."
"Kalau begitu majulah tiga langkah "
Ronggo Munggul maju tiga langkah, kini jaraknya dengan sang dara hanya terpisah empat langkah.
"Kau betul suka padaku...?"
Ronggo Munggul mengangguk. "Jongkoklah. Lihat baik-baik apakah kau suka pada tubuhku? Apakah tubuhku bagus?"
Habis berkata begitu sang dara tarik lepas bajunya di bagian dada. Sepasang mata Ronggo Munggul terbeliak, tenggorokannya turun naik. Dara tak waras itu ternyata memiliki sepasang payu dara yang putih dan besar padat.
"Aku suka tubuhmu. Tubuhmu bagus... Mulus..."
Sang dara tertawa panjang mendengar kata-kata Ronggo Munggul itu. "Aku mau tahu apakah kau mampu melepaskan pasungan kedua kakiku?!"
"Apa sulitnya! Akan kuhancurkan balok kayu itu. Sebentar saja kau akan bebas dan kuboyong ke markasku!" kata Ronggo Munggui pula. Lalu dia siapkan tongkatnya.
"Tidak... Kau tidak boleh menghancurkan kayunya. Tapi harus memutus rantai besi atau membuka dua buah gembok, atau menghancurkannya!"
"Akan kulakukan! Lihat!" Ronggo angkat tongkatnya tinggi-tinggi. Lalu dengan ujung tongkat dihantamnya rantai besi di sebelah kanan.
"Trangg...!"
Tongkat tembaga menghantam rantai besi de ngan keras. Tapi rantai itu tidak putus, rusak pun tidak. Sebaliknya ujung tongkat Ronggo Munggul tampak bengkok dan ada yang somplak salah satu bagiannya. Terkejutlah si Tongkat Setan itu. Sebelumnya jangankan rantai besi, tiang besi sanggup dibuat putus oleh tongkat tembaganya itu. Si gadis keluarkan suara tertawa mengejek. Penasaran Ronggo balikkan tongkatnya. Kini dia menghantam salah satu dari gembok besi. Kembali terdengar suara...
"Trangg...!"
Untuk kedua kalinya Ronggo Munggul kaget dan berubah parasnya. Dan lagi-lagi ujung tombaknya tampak rusak. Sebenarnya baik rantai besi maupun gembok atau kura-kura yang mengikat dan mengunci balok dimana kedua kaki sang dara dipasung dijepit adalah besi biasa, bukan benda sakti atau benda mustika.
Karenanya rantai dan gembok itu dapat dirusak atau diputus oleh benda atau senjata yang terbuat dari benda keras seperti tongkat andalan datuk rampok yang menguasai sembi-lan hutan itu. Akan tetapi rantai dan gembok telah dialiri kekuatan aneh yang berasal dari tubuh sang dara. Kekuatan itu dimilikinya sejak sepasang ular kobra memasukkan racun berbisa ke dalam aliran darahnya lewat ujung-ujung sepuluh jari!
Sang dara tertawa panjang. "Manusia sombong, ternyata kowe hanya satu mahluk tak berguna! Dua sahabatku, bunuh orang itu!"
Dua ekor ular kobra mendesis sambil tegakkan kepala. Rpnggo Munggul mundur dua langkah. Tongkat tembaga disilangkan di depan dada. Kalau rantai dan gembok celaka itu tidak mampu dihancurkannya maka dua ular jahat itu dianggapnya sasaran-sasaran empuk. Begitu dua kobra melesat hendak mematuknya maka dia sapukan tongkat tembaganya ke depan.
Memang tongkat sang datuk ternyata merupakan senjata hebat. Dari tubuh tongkat memancar sinar kuning tembaga disertai suara deru angin amat dahsyat. Dua ekor ular yang melesat di udara seperti membentur tembok tebal. Bukan saja gerakan mereka mematuk tampak tertahan, tapi keduanya juga ikut tersapu mental ke samping! Kedua binarang ini jatuh ke tanah, bangkit tegakkan tubuh dan mendesis.
Sang dara memekik marah. Tangan kanannya diangkat ke atas. Ronggo Munggul yang telah mendengar banyak tentang kehebatan sekaligus keganasan dara dalam pasungan itu putar tongkatnya dengan sebat lalu membuat dua kali lompatan dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuh sang dara!
"Gadis gila! Jika tak mau diajak bekerjasama memang kau layak mampus dari pada menebar keganasan!" gertak Ronggo Munggul marah. Tombak tembaganya ditusukkan ke batok kepala sang dara, tepat ditertengahan sebelah belakang.
Sebenarnya mudah saja bagi gadis itu untuk melakukan pukulan atau jentikan maut ke belakang dan membuhuh datuk rampok itu juga. Tetapi ternyata Ronggo Munggul memiliki limu aneh yang dapat menipu si gadis. Ilmu itu adalah ilmu yang disebut 'Memindah Raga Meninggalkan Sukma'.
Tubuh kasarnya bergerak atau berpindah atau melompat ke tempat lain yakni ke belakang si gadis yang duduk dipasung di lantai pondok sementara bayangan tubuhnya yang menyerupai bentuk asli tetap berada di tempat semula. Bayangan tubuh itulah yang dilihat oleh sang dara dan langsung menghantamnya dengan lima larik sinar hijau.
Namun seperti menembus udara kosong seolah-olah hanya menghantam angin, lima larik sinar maut itu lewat menembus tubuh palsu yang sebenarnya hanya bayang-bayang belaka! Dua ekor ular mendesis. Sang dara berteriak marah. Di sebelah belakang Ronggo Munggul menyeringai. Ujung tombak dihantamkannya ke batok kepala sang dara.
Di atas pohon dimana dia bersembunyi, pemuda berambut gondrong yang tidak berada dibawah pengaruh sirapan ilmu kesaktian si datuk rampok, sama sekali tidak melihat adanya dua sosok tubuh Ronggo Wulung. Tak ada Ronggo Wulung bayangan. Yang dilihatnya tetap sosok tubuh lelaki itu, sosok tubuh asli atau badan kasarnya yang mengirimkan serangan membokong dari belakang!
"Datuk sialan! Curang!" teriak si gondrong marah. Tangan kanannya mematahkan ranting pohon lalu secepat kilat patahan ranting ini dilemparkannya ke arah Ronggo Munggul yang tegak di bagian belakang pondok, dibawah ujung atap rumbia!
Ketika ujung tombak hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala sang dara, patahan ranting melesat deras dan menancap tepat di bahu kanan Ronggo Munggul. Raja rampok ini menjerit kesakitan. Tongkat tembaganya lepas dan tubuhnya miring ke kanan, terhuyung-huyung lalu jatuh terjerambab di lantai pondokan, tepat di depan balok besar dimana sang dara dipasung!
Ronggo Munggul berusaha bangkit. Namun saat itu sang dara sudah jentikkan lima jari tangan kanannya sedang dua ekor ular kobra telah pula melesat menyerang. Lima larik sinar hijau menembus tubuh Ronggo Munggul di lima bagian sementara dua ekor ular mematuk di leher dan perut orang ini. Ronggo Munggul menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat jauh. Ketika jatuh ke tanah ajalnya sudah melayang dan tubuhnya tampak berwarna hijau!
Sang dara tertawa mengkekeh. Dua ekor ular kobra telah kembali ke dekatnya dan duduk dipangkuannya.
Perutku kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang...
Sang dara hentikan nyanyiannya. Dia memandang berkeliling. Dua ekor ular yang siap untuk menari mengiringi nyanyian gadis itu hentikan gerakan mereka, ikut-ikutan memangang berkeliling.
"Eh.. mengapa kali ini tak ada suara seruling mengiring...? Apakah pemuda gila itu sudah pergi. Aneh, mungkin dia tidak gila! Kalau tidak mana mengerti dia menolongku tadi... Ah, dia pasti marah..."
Sesaat wajah sang dara yang pucat tampak murung. Namun dilain kejap dia kembali tertawa cekikikan dan menyanyi lagi.
Perutku sudah kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang
Saat itu tiba-tiba terdengar suara seruling. Sang dara tampak gembira. Dua ekor ular menari menjadi-jadi. Sang dara tarik suara lebih keras. "Hai! Mengapa tidak meniup suling di hadapan ku sini! Mengapa cuma sembunyi!" sang dara berseru.
Dari atas pohon suara seruling berhenti sesaat, berganti jawaban si gondrong. "Aku takut ular-ular itu. Juga kawatir kau akan menyerangku lagi dengan sinar hijau mematikan itu!"
"Hik hik hik! Kaupemuda banyak takutnya! Tidak, sahabatku tidak akan menyerangmu! Aku juga tidak akan membunuhmu! Ayo turun kemari"
Mendengar ucapan sang dara, pemuda di atas pohon cepat meluncur turun. Sesaat kemudian dia sudah tegak di depan pondok di hadapan sang dara.
"Duduk di tanah, dekat-dekat di hadapanku..." sang dara berkata.
Si gondrong mengikuti. Dia duduk bersila di depan pondok, tiga langkah di hadapan sang dara.
"Hai! Jawab dulu sebetulnya kau ini gila atau tidak...?"
Si gondrong terkesiap dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. "Orang gila akan marah kalau dikatakan gila. Tapi kalau melihat orang yang dianggapnya juga gila pasti dia senang Maka pemuda itupun menjawab, "Aku memang gila. Aku gendeng! Sableng! Otakku tidak waras!"
"Hik hik hik!" sang dara tertawa gembira.
"Ha ha ha...!" si pemuda ikut-ikutan tertawa.
"Sahabatku yang gila, siapa namamu?!" sang dara bertanya.
"Aku Wiro Sableng..."
"Aih... Aku betul percaya kalau kau memang orang gila. Namamu saja Sableng! Hik hik hik... Aih, suling yang kau pegang itu kok begitu? Aneh bentuknya...?"
"Suling orang gila memang begini..."
Sang dara kembali tertawa. Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu kembali ikut tertawa. "Jadi aku ini sudah kau anggap sahabatmu?" Wiro tiba-tiba bertanya.
"Ya... ya! Kini aku punya tiga sahabat! Dua ular kobra, satu lagi kau! Hai dua sahabatku berbaju hijau ayo lekas berkenalan dengan pemuda gila itu!"
Mendengar ucapan sang dara maka dua ekor ular meluncur ke arah si pemuda, naik ke atas tubuhnya. Yang satu menggelung leher dan menjilati seluruh wajahnya termasuk kedua telinga dan tengkuk si pemuda. Ular satunya lagi menggelung perut, menyusup ke balik baju putih lalu menjilati dada dan perut serta pusar di pemuda!
Kegelian setengah mati tapi juga ketakutan setengah mati membuat Wiro tak berani bergerak barang sedikitpun! Mukanya pucat, matanya melotot. Karena tak sanggup bertahan akhirnya sang pendekar kebobolan di sebelah bawah! Selangkangan pakaiannya tampak basah kuyup! Hal ini terlihat oleh sang dara yang langsung tertawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut di pemuda.
"Hik hik hik! Kau ngompol! Kau beser!
Wiro Sableng tetap tak berani bergerak. Sang dara bertepuk tangan. "Dua sahabatku berbaju hijau! Cukup! Sudah cukup perkenalan kalian dengan sahabat baru itu. Kembali ke pangkuanku!"
Maka dua ekor ular kobra lalu kembali ke pangkuan sang dara. Wiro yang merasa nyawanya terbang, tarik nafas lega berulang kali. Dadanya turun naik. Dia menyengir dan malu sendiri ketika melihat celana putihnya yang basah. Setelah batuk-batuk beberapa kali dan mengusap mukanya yang keringatan, Wiro berkata,
"Sahabat, terima kasih kau dan ular-ularmu itu mau bersahabat denganku. Aku sudah menerangkan namaku. Kau sudah tahu kalau aku pemuda gila bernama Wiro Sableng. Apakah aku boleh tahu siapa kau ini sebenarnya? Siapa namamu?"
Sang dara cekikikan. Tapi hanya sebentar. Setelah menjambak rambutnya beberapa kali dia berkata, "Mana aku tahu nama ku sendiri. Apakah aku punya nama, apakah ada orang yang memberiku nama! Aku tidak tahu! Aku lupa..."
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia membatin. Orang gila betapapun tidak warasnya tetap senang akan sesuatu yang bagus. Dan seorang perempuan suka akan pujian! Maka murid Sinto Gendeng inipun berkata. "Jika kau memang tidak bernama atau lupa namamu sendiri, maukah jika aku memberikan nama bagus padamu...?"
Sang dara yang bernama Yuniarti, puteri hartawan Tambakjati Kalidiningrat itu tertawa geli. "Dasar orang gila! Apa kau kira aku ini orok yang baru lahir lalu diberi nama...?"
"Tentu saja tidak sahabatku yang cantik," jawab Wiro seraya memuji. "Tapi rasanya tidak enak kalau seseorang tak punya nama. Percayalah aku akan memberikan nama bagus dan cocok untukmu!"
"Kalau tidak cocok dan bagus, akan kubunuh kau!"
"Ah... ah...! Bukankah kita bersahabat? Sesama sahabat tak boleh membunuh. Betul kan...?!"
"Baiklah! Katakan nama apa yang akan kau berikan padaku, sahabatku yang gila!"
"Dewi! Nama itu cocok dan bagus untukmu! Kau suka nama Dewi itu? Pasti suka!"
Sang dara terdiam sejenak. Seperti berpikir-pikir. Lalu meledak tawanya. "Baik... baik! Aku terima nama itu. Memang bagus tapi aku tidak tahu apa cocok untukku!"
"Tentu cocok. Kau pandai dan kau cantik! Hanya seorang Dewi yang berkemampuan seperti itu! Nah, aku masih ada pertanyaan. Sahabatku Dewi, kau ini sebenarnya berasal dari mana? Siapa yang membawamu ke tempat ini"
"Pertanyaanmu susah! Aku tak mampu menjawab!"
"Kau pasti mampu! Kau seorang Dewi!"
Sang dara menarik nafas panjang. "Baiklah, aku akan menjawab. Aku berasal dari Kerajaan Majapahit. Dibawa ke mari oleh para dayang-dayang dan dijadikan ratu di hutan Jatipadang ini! Hik hik hik!"
Wiro hanya bisa garuk garuk kepala mendengar jawaban ngawur itu. Daiam hatinya dia merasa sangat hiba. Bagaimana gadis sebelia ini, berparas jelita dipasung dan dikucilkan di tempat ini. Dia berpikir keras. Kalau saja dia bisa menyembuhkan penyakit sahabatnya itu hatinya akan sangat bahagia. Sang dara pasti punya kampung halaman, punya orang tua. Dan kalau dia bisa kembali ke orang tuanya... Tiba tiba dia ingat sahabatnya kakek aneh sakti berpengetahuan sangat luas bernama Si Segaia Tahu.
"Aku harus menemui orang tua itu. Mencarinya sampai dapat. Meminta bantuannya. Mudah-mudahan saja kakek itu belum mati...!"
"Hai! Orang gila! Kenapa kau melamun? Ayo aku mau menyanyi! Kau meniup suling dan dua sahabat berbaju hijau menari!"
Wiro menganggukkan kepala lalu berkata, "Sehabis puas menyanyi aku akan mohon diri. Tapi aku berjanji akan kembali ke mari lagi. Boleh ya...?"
********************
TUJUH
Tumenggung Giri Jolo lebih muda penampilannya dari usianya yang sebenarnya. Dalam usia hampir enam puluh Tumenggung ini kelihatan masih tegap, gesit gerak geriknya, pendengaran maupun kedua matanya masih tajam. Saat itu Giri Jolo duduk di pendopo rumah besar kediamannya yang terletak di luar Kotaraja, pada sebuah bukit yang halamannya luasnya ditumbuhi rumput. Wajahnya jelas tampak gelisah. Sebetar-sebentar dia tegak dari kursi, melangkah mundar mandir, menyulut rokok tapi tidak menghisap malah membuangnya.
"Tinggal satu bulan lagi Sri Baginda akan mengambil keputusan. Aku atau Kalidiningrat! Heran! Mengapa Sri Baginda bisa berubah pikiran seperti itu! Dulu dia menyatakan secara tak langsung bahwa kedudukan itu hanya aku calon tunggalnya. Tahu-tahu kini beliau mengatakan akan memilih aku atau Kalidiningrat Heran benar-benar mengherankan!"
"Pasti ada yang menghasut Tumenggung," berkata lelaki tua yang duduk bersila dilantai. Dia adalah Kali Roso orang kepercayaan sang Tumeng-gung yang telah ikut Giri Jolo sejak tiga puluh tahun lalu.
"Kalidiningrat... Kalidiningrat! Tahu apa dia urusan Kerajaan dan Kadipaten! Dia hanya sibuk mengurus harta benda dan kekayaan! Mencari uang! Kalau dia jadi Adipati pasti rakyat akan dipajakinya tinggi-tinggi. Bisa celaka! Dan saat ini dia telah menggunakan kekayaannya untuk memiliki ilmu, membayar jago-jago silat bahkan orang-orang sakti. Di rumahnya bertumpuk berbagai senjata keramat! Semua untuk memagari dirinya dan keluarganya! Berkali-kali aku berusaha untuk menyingkirkannya tapi gagal. Bahkan orang-orangku menemui kematian! Benar-benar keparat si Kalidiningrat itu..."
"Tapi jika Embah Jaliteng berhasil dengan rencana besarnya. Tumenggung tak usah kawatir. Kalidiningrat akan kita singkirkan. Dan jabatan Adipati Boyolali akan jatuh ke tangan Tumenggung!"
"Embah Jaliteng! Dua bulan yang lalu kita menghubunginya! Sampai saat ini kabarpun tidak, apalagi muncul!" sungut Tumenggung Giri Jolo.
"Embah Jaiiteng bukan orang sembarangan Tumenggung. Tiga puluh tahun Samanya dia bertapa di pantai selatan. Kesaktiannya luar biasa. Akalnya seribu satu. Dan ini yang penting. Dalam bertindak dia selalu menyirap kabar, memata-matai calon korban, bertindak hati-hati dan matang agar tujuan tercapai dengan sebaik-baiknya
"Nama besarnya sudah kudengar. Tapi tak ada gunanya kalau dia tak pernah muncul disini"
Jauh di kaki bukit terdengar suara derap kaki kuda. Makin tinggi kuda itu mendaki menuju tempat kediaman Giri Jolo makin jelas kelihatan binatang itu bersama penunggangnya.
"Tumenggung! Lihat siapa yang datang!" berseru Kali Roso seraya berdiri.
Tumenggung Giri Jolo memandang ke arah lereng bukit rumput. Matanya melihat penunggang kuda itu. Seorang kakek berpakaian serba putih, memelihara janggut dan kumis panjang putih, tetapi kepalanya plontos alias botak licin berkilat.
"Embah Jaliteng! Beliau datang Tumenggung!" seru Kali Roso.
Paras Tumenggung Giri Jolo tampak gembira. "Ah, akhirnya datang juga orang pandai ini!" ujar sang Tumenggung lalu turun dari pendopo guna menyambut kedatangan tamu yang memang menjadi harapannya terakhir.
********************
Di dalam ruangan terkunci itu Kali Roso duduk di tikar sedang Embah Jaliteng dan Tumenggung Giri Jolo duduk di kursi berhadap-hadapan.
"Nah, rencana yang barusan saya tuturkan itu, sudah jelaskah bagi Tumenggung?" bertanya Embah Jaliteng.
"Jelas sekali dan saya setuju sekali!" sahut Giri Jolo. "Tapi apakah Embah yakin betul bahwa gadis gila yang dipasung dan memiliki kesaktian luar biasa itu adalah benar-benar puteri tunggal Kalidiningrat yang dikabarkan meninggal satu setengah tahun lalu...?"
"Saya sudah menyelidik Tumenggung. Saya sudah mendapat petunjuk bagaimana menjinakkan gadis berbahaya itu. Kita akan memperalatnya untuk membunuh ayahnya sendiri!"
"Aku percaya Embah akan berhasil." Tumenggung Giri Jolo merasa puas.
"Saya perlu enam orang pembantu yang bertubuh kekar Tumenggung"
"Untuk apa Embah?"
"Tumenggung akan tahu sendiri nanti!" jawab Jaliteng.
********************
Di dalam pondok Yuniarti yang oleh Pendekar 212 Wiro Sableng diberi nama Dew, sambil menyanyi-nyanyi kecil. Hari itu adalah hari ke dua puluh Wiro meninggalkannya. Kira-kira seratus langkah ke bawah bukit, di satu tempat Embah Jaliteng yang ditemani oleh enam orang lelaki berbadan tegap kekar duduk mencangkung membakar kemenyan dan menaburnya pada api pedupaan yang diletakkan di tanah.
Kedua matanya terpejam, mulutnya berkomat kamit melafalkan mantera. Asap pedupaan yang menebar bau harumnya kemenyan membubung ke udara. Makin lama makin tinggi. Sambil membuka kedua matanya Embah Jaliteng bangkit berdiri perlahan-lahan.
"Asap harum membubunglah tinggi! Naik ke puncak bukit, pergi ke pondok itu. Saputi empat penjuru pondok. Saputi tubuh anak manusia yang ada di dalamnya. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sirap-sirap-sirap. Semua akan sirap dalam keharuman asap mu. Yang ganas jadi jinak. Yang jahat jadi baik. Darah panas jadi beku. Sirap-sirap-sirap!"
Lalu Embah Jaliteng meniup ke depan tiada putus-putusnya. Ketika api pendupaan padam dan asap tak ada lagi yang mengepul maka orang tua ini memberi isyarat pada enam lelaki yang ada di belakangnya.
"Ikuti aku!"
Enam orang lelaki bertubuh kekar itu mengikuti si orang tua mendaki ke puncak bukit Jatipadang. Hingga akhirnya sampai di pondok dimana Dewi dipasung. Saat itu sang dara tampak terbaring seperti tidur. Asap berbau kemenyan tampak mengambang di tempat itu. Sang dara sebenarnya bukan sedang tidur tapi berada di bawah pengaruh sirap yang dibuat Embah Jaliteng.
Hanya dengan membuat Dewi berada dalam keadaan lumpuh tak berdaya seperti itu orang tua ini mampu melakukan apa yang akan direncanakannya. Selama si gadis berada dalam keadaan sadar, tak satu kekuatan pun sanggup menghadapi sinar hijau berbisa yang setiap saat bisa dijentikkannya. Hai ini diketahui betul oleh kakek yang cerdik itu.
"Tanggalkan tiang-tiang pondok! Lemparkan atap rumbia!" Embah Jaliteng memerintah.
Enam orang lelaki bekerja cepat. Sebentar saja pondok itu hanya tinggal lantainya saja.
"Dengar baik-baik," kata Embah Jaliteng pula. "Gadis ini akan kita bawa ke rumah hartawan Kalidiningrat di selatan Kotaraja. Jika kita berangkat saat ini juga, besok sebelum matahari terbit kita sudah bisa sampai di sana! Empat orang dari kalian harus memanggul gadis itu bersama-sama lantai tempat ketidurannya! Dua lainnya bertugas merabas semak belukar membuka jalan!"
"Orang tua, aku sanggup mendukung gadis ini sendirian. Mengapa tidak dilepaskan saja ikatan rantai besi itu? Bukankah lebih mudah mendukungnya dari pada menggotong bersama lantai papan yang kotor dan bau ini?" Salah seorang dari enam lelaki itu berkata.
Embah Jaliteng tersenyum. "Anak muda bertubuh kekar. Mau ku seperti mau mu juga. Tapi rantai besi dan gemboknya itu berada dalam pengaruh kekuatan tenaga dalam si gadis. Walaupun dia dalam keadaan tak berdaya, kekuatan tenaga dalam itu tak bisa sirna selama tujuh hari tujuh malam. Kalau kau tak percaya siiahkan coba sendiri!"
Embah Jaliteng lalu menyerahkan sebilah golok besar kepada lelaki muda yang tadi bicara. Begitu menerima golok, si pemuda langsung membacok rantai besi yang mengikat balok besar tempat menjepit sepasang kaki Dewi.
"Trangg...!"
Golok itu patah dua dan mental. Si pembacok merasakan tangannya panas dan tubuhnya bergerar hebat. Mukanya pucat. Dia mundur beberapa langkah sambil urut-urut tangan kanannya dengan tangan kiri. Embah Jaliteng kembali tersenyum. Dia menunjuk pada mayat-mayat membusuk yang sebagian besar hanya tinggal tulang belulang.
"Mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam dan kesaktian. Nyatanya mereka dipaksa meregang nyawa oleh kekuatan gadis dalam pasungan itu! Nah, kita tidak punya waktu banyak. Panggul lantai papan itu. Begitu sampai di tempat kediaman hartawan Kalidiningrat letakkan di halaman depan lalu cepat-cepat kalian tinggalkan tempat itu! Mengerti!"
Semua menjawab mengerti. Maka empat orang lelaki lalu mengangkat lantai papan di mana Dewi alias Yuniarti terlelap di bawah pengaruh sirapan Embah Jeliteng.
********************
DELAPAN
Dini hari, Jum'at Kliwon. Udara dingin mencucuk tulang sungsum. Enam orang lelaki berlari cepat memanggul lantai papan diatas mana masih menggeletak sosok tubuh Yuniarti atau Dewi. Gadis tidak waras itu berada diujung pengaruh sirap Embah Jaliteng, antara sadar dan tiada. Keenam orang itu melarikan Dewi menuju ke luar Kotaraja sebelah selatan.
Embah Jaliteng yang mengikuti dengan menunggu kuda merasa sangat kawatir kalau-kalau sang dara lebih dulu sadar sebelum mencapai tempat kediaman Tambakjati Kalidiningrat. Kalau hal ini sampai terjadi mereka semua akan menemui kematian! Pasti dibunuh oleh dara berotak miring berilmu sangat tinggi itu. Karenanya si orang tua tiada henti berteriak agar ke enam penggotong lantai papan mempercepat lari mereka.
Ketika ayam berkokok di sebelah timur, mereka akhirnya sampai juga di pintu gerbang rumah besar kediaman hartawan Kalidiningrat. Seorang pengawal yang bei tugas malam itu dan tengah terkantuk-kantuk serta merta bangkit dari tempak penjagaannya sewaktu melihat ada enam orang tak dikenal di iringi seorang kakek menunggang kuda, lari memasuki pintu gerbang, menggotong sesosok tubuh yang menggeletak diatas papan.
"Hai! Berhenti! Siapa kalian!Apa yang kalian bawa itu!" pengawal berteriak seraya mencabut goloknya. Tetapi kesiap siagaan pengawai ini hanya sampai disitu. Walau dia memiliki ilmu silat luar yang cukup tangguh namun ketika kaki kanan Limbah Jaliteng menghantam batang lehernya terdengar suara kraak! Pengawal itu roboh tanpa nyawa lagi!
"Lekas letakkan gadis itu di depan tangga sana!" berkata Embah Jaliteng.
Sesuai perintah ke enam penggotong Dewi yang masih terpasung pada balok besar, meletakkan lantai papan di depan tangga. Dari balik pakaian putihnya Embah Jaliteng keluarkan sebuah kantong yang mengeluarkan suara berdering. Kantong berisi uang itu dilemparkannya ke hadapan enam orang lelaki bertubuh kekar.
"Ambil uang itu! Bagi-bagi yang rata! Dan lekas minggat dari tempat ini!" lalu mendahului ke enam orang tersebut Embah Jaliteng bedal kuda tunggangannya.
Ketika anjing terdengar menyalak di kejauhan tempat itu kembali dibungkus kesunyi-senyapan. Justru saat itulah Dewi yang berada diatas lantai papan mulai siuman dan membuka matanya. Dia merasa heran melihat langit biru diatasnya. Dara ini memandang berkeliling lalu bangkit perlahan-lahan dan memandang lagi kian kemari.
Dia tidak mengetahui berada dimana saat itu. Bahkan dia tidak mengenal rumah besar dimana dulu dia pernah tinggal disitu. Gadis ini jambak-jambak rambutnya. Menggeliat beberapa kali. Ketika dikejauhan terdengar lagi anjing menyalak panjang dia menirukan suara salakan itu. Sewaktu di kejauhan terdengar suara ayam berkokok diapun lalu menirukan kokok ayam itu!
Karena sang dara memiliki kekuatan gaib di dalam tubuhnya maka tentu saja suara lolongan anjing dan kokok ayam yang ditirunya menggena keras bahkan menggidikkan siapa saja yang mende-ngar. Di timur mulai tampak cahaya kekuningan tanda sang surya sebentar lagi akan segera muncul. Saat itulah dari dalam rumah besar berkelebat tiga bayangan. Gerakan mereka gesit sekali dan dengan cepat sudah berada di tangga depan, mengurung Dewi yang masih kebingungan terduduk di lantai papan.
Kukuruyuuukkk...! Kukuruyuuukkk...!"
"Auunnggg...! Auunnggg...!"
"Gembel gila! Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?!" Salah satu dari tiga orang itu membentak. Ketiganya adalah para pengawal hartawan Kalidiningrat yang memiliki kepandaian silat dan tenaga dalam tinggi.
"Kau menyebutku gembel gila?" Dewi dalam pasungan menegur lalu tertawa cekikikan.
Salah seorang pengawal berbisik pada kawannya. "Lihat, kedua kakinya terjepit dalam balok besar yang diikat rantai dan gembok besi. Tak mungkin dia sampai sendiri kemari. Pasti ada yang membawanya. Hai lihat... Disebelah sana petugas jaga malam kulihat menggeletak!"
Orang ini cepat berlari ke pintu gerbang sementara Dewi masih terus mengumbar suara tertawa. Orang yang menyelidiki ke pintu gerbang kembali dengan nafas mengengah. "Petugas jaga itu mati. Lehernya patah!"
"Gembel gila! Hentikan tertawamu!"
Suara tawa Dewi lenyap. Bukan karena bentak kan itu tapi karena otak tidak warasnya mulai berpikir tentang maut! Dara menyeringai.
"Dua kali kau menyebut aku gembel gila! Sudah lebih dari cukup! Mampuslah!"
Dua jari tangan kirinya dijentikkan. Dua sinar hijau menderu dalam udara terang tanah. Pengawal yang menjadi sasaran serangan terpekik. Tubuhnya terpental lalu roboh dengan dua bintik hijau dikening. Seperti kejadian yang sudah-sudah pengawal ini mati dengan tubuh berwarna hijau!
Melihat hal ini, dua kawannya berteriak marah. Satu melompat sambil ulurkan tangan, maksudnya hendak menjambak rambut sang dara. Satunya lagi dengan kalap sudah lebih dulu kirimkan tendangan ke dada Dewi. "Gembel gila! Mampus kau!"
Sang dara perdengarkan kembali suara tawanya yang melengking cekikikan. Bersama dengan itu tangannya kiri kanan dijentikkan. Lima larik sinar hijau berkiblat dari masing-masing tangan. Dan terdengarlah pekik dua pengawal berkepandaian tinggi itu. Tubuh keduanya terpental. Satu terlempar ke langkan rumah, satunya lagi terguling dihalaman. Keduanya mati dengan cara yang sama. Lima bintik maut pada tubuh masing-masing yang kini berwarna hijau!
Embok Guminten bekerja sebagai pelayan di rumah kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat. Dia merupakan satu dari empat pelayan yang bekerja disitu dan yang paling lama yakni seumur Yuniarti. Karena sejak kecil'di a juga dipercayai untuk mengasuh Yuniarti mak a bagaimanapun keadaan sang dara pelayan ini tak balak bisa pangling.
Pagi itu embok Guminten seperti biasanya bangun lebih dahulu dari pelayan-pe layan lainnya, tentunya juga lebih dahulu dari suami istri Kalidiningrat. Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan pelayan ini setengah berlari segera membuka pintu depan. Bukan tiga sosok mayat pengawal yang membuatnya menjerit ketakutan, tapi sosok tubuh gadis yang terpasung di dekat tangga depan yang membuat perempuan ini berteriak dan menggigil.
Wajah gadis itu adalah wajah mendiang Yuniarti, putri majikannya yang meninggal dunia satu setengah tahun lalu akibat sakit sampar. Kini gadis itu muncul dalam keadaan seperti itu. Tidak dapat tidak pasti itu adalah setannya! Arwahnya yang gentayangan!
Embok Guminten menjerit lagi lalu menghambur lari ke dalam rumah. Hampir saja dia bertabrakkan dengan majikan perempuannya di ruang tengah.
"Embok Guminten... Ada apa kau seperti orang dikejar setan..." menegur istri hartawan Kalidiningrat.
"Setan... memang ada setan Jeng Ayu. Setan. setannya Den Ayu Yuniarti..." jawab si pelayan seraya menunjuk-nunjuk ke bagian depan rumah.
"Jangan bicara melantur pagi-pagi begini embok Guminten!" ujar istri hartawan Kalidiningrat.
"Kau membuat kacau saja..."
"Demi Tuhan Jeng Ayu. Silahkan Jeng Ayu melihat sendiri ke depan...!"
Antara percaya dan tidak akhirnya sang majikan melangkah juga menuju bagian depan rumah dan membuka pintu yang tadi dibantingkan si pelayan. Saat itu hari telah mulai terang karena di timur matahari telah terbit. Pintu terbuka lebar. Istri hartawan Kalidiningrat melangkah ke langkan depan dan saat itu pula langkahnya tertahan.
"Ya Gusti Allah... betulkah itu... betulkah itu dia...? Anakku Yuniarti... Yuniarti!" Perempuan itu menjerit tapi tak berani mendekat.
Dia menjerit lagi, membuat Tambakjati suaminya terbangun. Lelaki ini segera menyambar beberapa senjata pusaka dan menyisipkan di pinggang baru membuka pintu kamar dan menghambur ke luar. Saat itu beberapa orang pengawal telah pula berdatangan dan segera mengurung Dewi sementara beberapa orang lainnya menggotong empat mayat yang bergelimpang di halaman depan itu.
"Apa yang terjadi? Ada apa?!" Hartawan Tambakjati Kalidiningrat bertanya tegang. Sang istri yang masih menjerit-jerit langsung menubruk suaminya. Sebelum sempat mengatakan sesuatu perempuan ini sudah rubuh pingsan Tambakjati berteriak memanggil pelayan perempuan. Istrinya segera dibawa masuk dan dibaringkan diatas ranjang.
Tambakjati sendiri segera melompati anak tangga dan menyeruak diantara kerumunan para pengawal. Sepasang mata hartawan ini terpentang lebar. Tubuhnya menggigil. Ada rasa kerinduan yang menusuk yang membuatnya ingin memeluk gadis yang duduk terpasung itu. Tetapi perasaannya yang lain mengatakan bahwa gadis itu bukanlah Yuniarti, melainkan hantu atau setannya.
Namun apakah ada setan atau hantu yang menunjukkan diri seperti itu dipagi hari yang mulai terang itu? Untuk memperkuat hatinya Tambakjati pegang keris pusaka di pinggangnya. Dia melangkah lebih dekat. Gerakannya tertahan ketika tiba-tiba terdengar suara tawa panjang mengerikan. Para pengawal bersibak. Kemudian terjadilah hal yang hebat. Tambakjati sempat melihat ada beberapa larik sinar hijau berkiblat.
Lalu tiga pengawal terbanting ke tanah. Tubuh mereka berwarna hijau. Tak berkutik lagi alias mati! Melihat ini para pengawal lainnya segera berhamburan lari. Namun hanya seorang yang bisa selamat. Empat lainnya roboh hampir bersamaan ketika larikan-larikan sinar hijau yang keluar menyambar dari ujung-ujung jari sang dara menghantam tubuh mereka.
Kini tinggal Tambakjati Kalidiningrat tegak sendiri sambil memegang sebilah keris keramat berluk tujuh yang memancarkan sinar hitam redup.
"Manusia memegang keris! Giliranmu mati sekarang! Makin banyak yang kubunuh makin senang hatiku! Sayang kawan-kawanku tak ada ditempat ini! Sayang mereka tak bisa menyaksikan. Hik hik hikk!"
"Yuniari! Yuniarti!" teriak Tambakjati. Tubuhnya terduduk berlutut di hadapan anaknya sendiri. "Yuniarti anakku! Aku ayahmu nak! Aku ayahmu!"
"Ayah... ?! Hik hik hik! Apa itu ayah? Aku tak punya ayah tak punya ibu! Aku hanya punya tiga orang sahabat! Mereka tak ada disini! Kau dengar itu lelaki yang memegang keris?"
"Yuniarti... Gusti Allah Ampuni segala dosaku Tuhan! Anakku ampuni dosa ayahmu ini! Semua ini terjadi karena kebodohanku! Karena hatiku yang terlalu sombong dan pongah tapi tak berani menghadapi kenyataan. Yuniarti..."
Tambakjati ulurkan kedua tangannya hendak merangkul anak gadisnya. Tapi sang dara sendiri hanya tertawa cekikikan lalu mengangkat tangan kanannya. "Kau layak mampus! Kau layak mampus siapapun kau adanya!"
"Aku bersedia mati ditanganmu Yuniarti! Aku ikhlas kau bunuh! Dosa ku terhadapmu terlalu besar anakku! Tapi biar kuambil dulu kunci gembok itu. Biar kubuka?"
********************
SEMBILAN
Dua bayangan putih tampak berkelebat menuju puncak bukit Jatipadang. Di sebolah depan adalah seorang pemuda gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpakaian putih, mengenakan kopiah putih berbentuk aneh dan memanggul sebuah kantong besar terbuat dari kain putih. Di tangan kanannya kakek ini memegang sebatang tongkat kecil.
Sambil berlari tongkat itu selalu diayunkannya kian ke mari hingga pakaian dan kulit tubuhnya tidak sekalipun kena terkait duri pepohonan atau semak belukar. Berlainan dengan Wiro yang lari laksana dikejar setan, pakaiannya habis robek-robek dan kulitnya bergurat-gurat diserandung onak dan duri. Begitu sampai di puncak bukit murid Sinto Gendeng itu jadi terperangah dan memandang berkeliling sampai pandangannya membentur si kakek.
"Heh... eh! Mana gadis cantik berotak tidak waras yang katamu dipasung di puncak bukit ini...?!" si kakek bertanya.
"Aneh!" sahut Wiro.
"Apa yang aneh?!" tanya si kakek.
"Lihat di bagian sana. Di situ sebelumnya berdiri pondok beratap rumbia itu. Kini hanya tampak tiangnya malang melintang. Lalu atapnya terhampar di sebelah sana. Gadis itu sendiri lenyap! Lenyap bersama lantai papan dan balok pasungannya!"
"Kau tidak bergurau atau main-main padaku anak muda?" si kakek bertanya dengan nada tidak enak.
"Disambar petir aku kalau berani mempermain kanmu Raja Obat! Lima hari lima malam aku mencari sahabatku Si Segala Tahu. Dia menunjukkan tempat di mana aku bisa menemuimu. Satu minggu lebih aku mencarimu! Kalau ingin mempermainkan mengapa aku mau bersusah payah mengadakan perjalanan jauh dan selama itu? Pasti ada yang telah menculik Dewi sahabatku itu!"
Si kakek gelengkan, "Anak betul, bau busuk di tempat ini," lalu dia menyambung. "Dengar anak muda kalau ada yang menculik gadis sahabatmu itu, tentu membawanya bersama sama balok pasungannya, bukankan gadis itu katamu dipasung pada sebuah balok besar dan diikat dengan rantai besi...?!"
"Aku tak tahu bagaimana kejadiannya tapi jelas sahabatku itu dilarikan orang! celaka ke mana aku harus mencari. Ah kasihan! Gadis itu tak akan pernah bisa disembuhkan!"
Si kakek yang bergelar Raja Obat bantingan kantong besar yang dibawanya ke tanah lalu duduk di atas kantong itu. Tiba-tiba dia terlompat. Dari arah semak belukar sebelah kanan terdengar suara mendesis. Lalu muncullah dua ekor utar kobra berwarna hijau!
"Sahabat-sahabatku!" seru Wiro ketika melihat munculnya dua binatang itu.
Langsung saja dia mendatangi, berlutut di tanah dan ulurkan kedua tangannya. Si kakek terheran-heran dan juga ngeri ketika menyaksikan bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa itu naik ke atas lengannya kiri kanan lalu bergelung di bahu sambil menjilati leher dan wajahnya.
"Sahabat-sahabatku, dengar. Kita kehilangan Dewi. Gadis sahabat kita itu lenyap! Tak tahu entah ke mana! Kita harus mencarinya! Kalian berdua punya penciuman tajam! Kalian pasti bisa membaui jalan yang dilewati Dewi. Kita harus mengejarnya, kita harus menemukannya!"
Sepasang ular kobra goyang-goyangkan kepala tanda mengerti. Kedua binatang ini meluncur turun, tegak setengah badan di tanah, menatap ke arah kakek yang duduk di atas kantong.
"Orang tua itu sahabatku. Jadi sahabat kalian juga. Jangan diserang! Dia Raja Obat yang akan menolong menyembuhkan Dewi.
Dua ekor ular kembali goyang-goyangkan kepala. Lalu turunkan tubuh dan meluncur ke arah semak-semak. Wiro memberi isyarat pada si Raja Obat dan berkata, "Ayo, tunggu apa lagi! Dua sahabatku itu pasti tahu ke arah mana perginya Dewi!"
Raja Obat geleng-geleng kepala tapi berdiri juga. "Dunia ini sungguh aneh! Tapi hari ini baru aku tahu kalau ada ular berbahaya jadi sahabat anak manusia sepertimu. Dan pandai pula menjadi penunjuk jalan!"
********************
Menjelang pagi Wiro dan si Raja Obat semula menduga dua ular kobra itu akan membawa mereka memasuki Kotaraja. Ternyata sepasang binatang ini di luar Kotaraja membelok ke arah selatan. Kedua orang itu terus mengikuti sepasang ular yang meluncur di tanah, bergerak dalam kecepatan luar biasa.
Di selatan Kotaraja dua binatang itu masuk ke sebuah rumah besar berhalaman luas berumput. Saat itu hari telah terang tanah hingga baik si Raja Obat maupun Wiro dengan cepat dapat menyaksikan keadaan di tempat itu dengan jelas. Lebih dari setengah lusin mayat bergelimpangan malang melintang mulai dari pintu gerbang sampai tangga depan rumah besar.
Dan di depan tangga itu pula Wiro melihat Dewi duduk di atas papan tengah bersilat kata dengan seorang laki-laki yang dari ucapan orang itu jelas dia adalah ayah Dewi. Karena pikirannya yang tidak waras, si gadis tidak perduli siapa adanya lelaki itu bahkan siap untuk membunuhnya dengan pukulan maut larikan-larikan sinar hijau!
"Dewi! Kami sahabat-sahabatmu datang!" Wiro berseru. Seruan ini membuat Dewi hentikan gerakan tangannya.
Hartawan Tambakjati Kalidiningrat yang semula hendak masuk ke dalam rumah guna mengambil kunci gembok hentikan gerakan langkahnya dan berpaling memperhatikan kedatangan dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika melihat dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika melihat dua ekor ular kobra yang sangat berbahaya meluncur di atas tubuh puterinya, memagut gadis itu dan menjilati wajahnya!
"Kalian datang... Kalian datang! Hatiku senang! Ayo bawa aku pulang!"
"Anakku! Ini rumahmu. Di sini tempat tinggalmu. Hanya ke rumah ini kau akan pulang Yuniarti!"
"Manusia banyak mulut! Namaku bukan Yuni arti tapi Dewi! Hai tadi aku hendak membunuhmu! Biar kuteruskan maksudku!" si gadis angkat tangan kanannya.
Wiro cepat pegang lengan gadis itu seraya berkata, "Sahabatku, dengar... Kau tak boleh membunuh orang itu. Dia ayahmu..."
"Perduli amat! Aku tidak punya ayah! Dia harus kubunuh!"
"Jangan... Jangan bunuh! Orang itu sahabatku. Berarti sahabatmu juga..."
Dewi terdiam sesaat. "Kau bohong!" bentaknya tiba-tiba.
"Tidak, aku tidak bohong! Kau tak boleh membunuhnya. Dengar, ikuti kata-kataku. Nanti akan kubawa kau kembali ke pondok di bukit Jatipadang..."
"Pondok itu sudah dirusak orang-orang jahat! Aku sempat melihat sebelum aku tertidur"
"Aku akan buatkan pondok baru untukmu. Lebih bagus... Asal kau tidak membunuh lelaki yang memegang keris itu..."
"Hik-hik-hik! Baiklah, aku menurut katamu. Eh sahabat, apakah kau masih suka ngompol seperti dulu...?"
"Tidak... Aku tak pernah ngompol lagi. Aku sudah besar sekarang!"
Kedua orang itu lalu tertawa gelak-gelak sementara Tambakjati tak habis pikir menyaksikan kejadian itu sedang si Raja Obat hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kalian ini siapa...?" Tambakjati akhirnya bertanya.
"Bukan saatnya berbincang bincang!" menjawab Wiro. Lalu dengan suara lebih perlahan dia berkata, "Tadi kau hendak mengambil kunci gembok ini! Pergilah ambil! Kawanku kakek tua bertopi putih itu akan mencoba menyembuhkan penyakit anakmu!"
Bagi Tambakjati Kalidiningrat sulit dipercaya kalau kakek tak dikenalnya itu akan sanggup mengobati puterinya. Sebelumnya sudah banyak dukun besar, para ahli pengobatan dan orang-orang sakti telah mencoba mengobati Yuniarti tapi semua sia-sia belaka. Tak seorangpun berhasil.
Wiro berpaling pada si Raja Obat dan bertanya, "Kau telah melihat keadaan sahabatku ini! Bagaimana pendapatmu! Kau sanggup menyembuhkannya...?"
Raja Obat usap-usap pipinya lalu jatuhkan kantong kainnya dan duduk di atasnya. Dia merenung beberapa lama. Tambakjati datang mendekat dan memegang bahu si orang tua.
"Orang tua, aku tak kenal padamu. Apakah benar kau akan mengobati anakku? Apakah kau sanggup melakukannya...?"
"Dengan izin Allah aku akan mencoba! Mudah-mudahan Tuhan memberkati putrimu. Ketahuilah anak gadismu itu memang tidak waras. Tapi dia begitu bukan karena diobati atau diguna-guna orang. Kedua matanya memancarkan sinar murni pertanda jiwanya tidak sakit. Hanya kurasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya disebelah dalam. Biar aku merenung untuk mengetahui dimana sumber penyakit putrimu!"
Tambakjati anggukkan kepala. Dia melangkah mendekati Yuniarti, maksudnya hendak mengusap kepala putrinya itu tapi Wiro memberi isyarat agar dia jangan mendekat.
Si Raja Obat pejamkan kedua matanya. Kedua tangannya diacungkan kemuka dengan telapak membuka. Tubuh dan kedua tangan orang tua ini kemudian tampak bergetar. Keringat mengucur di wajahnya yang keriput. Dia merasakan satu aliran dingin meluncur dari kaki kanannya. Aliran dingin ini naik ke bagian atas tubuh, mula-mula ke paha lalu ke perut, terus ke pinggang, dada, leher, muka dan ketika aliran itu meluncur ke bagian kepala sebelah belakang, orang tua merasakan bagaimana hawa yang tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi panas!
Perlahan-lahan Raja Obat buka kedua matanya dan turunkan kedua tangan. "Tuhan telah memberi petunjuk! Putrimu menderita gangguan di kepala bagian belakang, mungkin ada syaraf atau pembuluh darahnya yang terjepit hingga hawa segar tidak dapat masuk ke dalam otaknya. Apakah putrimu pernah jatuh sewaktu masih kecil hartawan?"
Hartawan Tambakjati terkesiap kaget. "Benar sekali orang tua. Anak itu waktu kecil nakal sekali dan suka memanjat. Dia pernah jatuh dari atas pohon. Kepalanya sebelah belakang benjol besar. Tubuhnya panas. Beberapa hari kemudian benjolan dikepalanya hilang dan panasnya turun. Tak ada gejala apa-apa setelah dia jatuh itu. Tapi beberapa tahun kemudian dia mulai menunjukkan kelainan-kelainan. Aku orang tuanya tak pernah menghubungkan soal kejatuhan itu dengan kelainan yang kemudian dideritanya..."
"Justru kejatuhan itulah sumber malapetakanya..." kata Raja Obat pula.
"Kau berhasil mengetahui sumber penyakit anakku. Terima kasih orang tua. Tapi yang lebih penting, apakah benar kau sanggup mengobatinya?"
Raja Obat bangkit berdiri dan berkata pada Wiro, "Aku akan mengobati gadis sahabatmu itu. Tapi jika tidak kau totok dulu tubuhnya, tak berani aku melakukan. Tangannya bisa menjetikkan maut setiap saat secara tak terduga!"
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala. "Dewi, kau sudah siap untuk pulang ke bukit Jatipadang...?"
"Pulang... pulang! Itulah yang aku inginkan! Tempat ini tidak sedap baunya di hidungku! Hik hik hik...!"
Wiro membelai punggung gadis itu. Lalu secepat kilat dia menotok urat besar di pangkal leher si gadis. Detik itu juga Dewi menjadi kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara, hanya sepasang matanya saja yang tampak berputar-putar liar.
"Tugasku selesai Raja Obat! Giliranmu sekarang!" kata Wiro memberitahu.
"Bagaimana dengan dua ular yang masih bergelung dibahunya! Aku tak mau mati konyol dipatuknya!"
"Raja Obat takut pada bisa ular!"
"Sialan kau anak muda! Aku bukan segala-galanya. Aku tidak membekal obat penangkal racun ular!" sahut Raja Obat pula.
"Sudahlah, lakukan pekerjaanmu. Aku jamin sahabat-sahabatku itu tidak akan mencelakaimu!"
Meskipun hatinya bimbang namun akhirnya si Raja Obat melangkah juga ke belakang tubuh Dewi. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain putih. Lalu dari dalam kantong kain ini dikeluarkannya sebuah benda kecil halus berkilat berbentuk jarum yang ujungnya sangat runcing.
"Wiro aku sudah siap. Awasi sahabat-sahabatmu itu!" si Raja Obat memberi tahu.
"Lakukan tugasmu Raja Obat. Dua sahabatku tak akan mengganggumu!" jawab Wiro.
Dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kirinya si Raja Obat menjengkal-jengkal bagian belakang kepala Dewi beberapa kali hingga dia menemukan satu titik yang dipastikannya paling tepat. Lalu pada titik itu jarum ditangan kanannya ditusukkan. Terjadi satu hal yang luar biasa. Meskipun saat itu Dewi berada dalam keadaan tertotok namun tususan jarum sempat membuat tubuh dan kepalanya tersentak.
Bersamaan dengan itu kedua bola matanya yang selalu berputar-putar liar kini menatap tenang. Lalu sepasang mata yang bening itu tampak berkaca-kaca. Dilain saat tampak ada air mata yang menetes melewati tanggul kelopak mata sebelah bawah.
"Dia menangis..." bisik Wiro sambil menggamit tangan si Raja Obat.
"Alhamdulillah. Itu pertanda pikiran dan perasaannya sudah pulih walaupun belum sepenuhnya,''sahut orang tua itu pula.
"Luar biasa! Secepat itu kau menyembuhkannya!" Wiro memuji dan memandang pulang balik pada Raja Obat dan hartawan Tambakjati.
Hartawan ini juga tampak tersenyum walau tak kuasa membendung air mata. Raja Obat menunggu beberapa lama lalu perlahan-lahan jarum yang ditusukkannya ke bagian belakang kepala Dewi ditarik dan disimpan kembali dalam kantong kain. Dari dalam kantong besar yang selalu dibawanya kemana pergi Raja Obat mengeluarkan tujuh helai daun kering. Daun daun ini diserahkannya pada hartawan Tambakjati disertai pesan.
"Godok tujuh daun itu. Minumkan airnya selama tujuh hari berturut-turut pada putrimu. Mudah-mudahan kesembuhannya akan sempurna!"
Tambakjati mengambil daun-daun itu lalu berkata, "Pertolonganmu besar sekali. Hutang budi ini..."
"Jangan menyebut segala hutang budi. Aku Raja Obat memang tugasku berbakti untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Tapi kesembuhan bukan aku yang membuat melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Berterima kasih pada-Nya."
Raja Obat berpaling pada Wiro. "Anak muda, saatnya kau melepaskan totokan di tubuh sahabatat mu itu. Tapi sebelum melepaskan, alirkan tenaga dalammu ketubuhnya agar kedua kakinya mampu digerakkan. Selama beberapa hari dia tak akan mampu berdiri dan berjalan. Tapi jangan khawatir, dia pasti mampu berdiri dan kembali berjalan..."
Wiro anggukkan kepala. Dia menoleh ke arah Tambakjati dan berkata, "Saatnya untuk mengambil kunci gembok dan membuka rantai besi itu..."
Tambakjati Kalidiningrat melompat masuk ke dalam rumah. Di ruangan tidur istrinya masih berada dalan keadaan pingsan. Begitu kunci gembok didapat, dia kembali keluar. Dia sendiri yang membuka dua buah gembok. Rantai besi terbuka. Balok besar yang memasung kedua kaki si gadis ikut lepas. Dengan air mata berlinang Tambakjati mengusap-usap kedua kaki anaknya.
"Dosaku besar sekali terhadapmu anakku, Ampunilah ayahmu yang jahat ini. Juga ibumu..." Ingin lelaki itu merangkul dan mencium putrinya. Tapi sepasang ular kobra yang masih melingkar di bahu Dewi membuat hatinya kecut.
Wiro melangkah kebelakang si gadis. Mengusap punggungnya sambil mengerahkan tenaga dalam lalu melepaskan totokan pada pangkal leher Dewi. Begitu totokan terlepas, pekik dahsyat meledak keluar dari mulut gadis itu. Kesadaran rupanya membuat dia sangat takut pada dua ular yang memagut bahunya. Dia berusaha bangkit tapi jatuh kembali karena kedua kakinya masih lemah.
"Sahabatku, tak usah takut. Ular-ular itu tak akan menggigitmu. Bukankah mereka sahabat-sahabatmu...?"
Meskipun Wiro berkata begitu, si gadis masih saja menggigil ketakutan. Tapi melihat dua ekor ular itu begitu jinak, meskipun agak takut-takut si gadis membelai-belai tubuh keduanya.
"Sahabat-sahabatku..." bisiknya berulang kali dengan mata terus berkaca-kaca. Dia memandang pada Wiro. "Kau... kau siapa? Aku kenal wajahmu tapi kau siapa?"
"Aku Wiro! Aku juga sahabatmu. Apa kau lupa...?"
"Wiro... Wiro Anak Sableng itu?!"
"Betul sekali! Ha ha ha!"
Dewi tertawa cekikikan. Suara tawa yang biasa dikumandangkannya ketika masih berada di bukit Jatipadang. Suara tawa yang membuatnya merinding. Wiro melirik pada Raja Obat dan berbisik, "Katamu pikiran dan perasaannya sudah pulih. Tapi tawanya tadi menunjukkan dia masih sakit Raja Obat...?"
Raja Obat hanya tegak mengulum senyum. Suara tawa si gadis semakin tinggi dan panjang. Tiba-tiba gadis ini melompat ke punggung Wiro yang saat itu tengah bicara dengan Raja Obat dan membelakanginya.
"Wiro! Sahabatku! Gendong aku! Bawa aku kembali ke hutan Jatipadang! Kita pergi sekarang juga bersama-sama dengan dua sahabatku berbaju hijau ini!"
"Celaka! Gadis ini sama sekali belum sembuh! Jangan-jangan Raja Obat menipuku!" Wiro mengomel dalam hati.
"Ayo jalan! Lari Wiro! Jika kau tak mau menggendongku dan lari dari sini, aku akan suruh ular-ular sahabatku ini mematukmu!"
Mendengar ancaman itu Wiro segera berteriak. "Jangan! Jangan! Aku akan membawamu ke mana kau suka! Jangan suruh ular itu mematuk! Aku masih mau hidup!"
"Kalau begitu lari! Dukung aku!"
"Ya... ya! Aku segera lari!"
Sebelum meninggalkan tempat itu Wiro Sableng berpaling pada Raja Obat. "Kau lihat sendiri! Dia masih belum sembuh! Kini aku ketiban celaka! Kau Raja Obat tolol!"
Dimaki begitu si kakek hanya ganda tertawa malah lambaikan tangan. "Selamat jalan anak muda...!" katanya.
"Selamat jalan segala! Edan!" maki Wiro. Lalu dia mulai berlari meninggalkan tempat itu sementara Tambakjati Kalidiningrat bersiap untuk mengejar tapi dipegang bahunya oleh si Raja Obat.
"Biarkan saja... Mereka tak akan pergi ke mana-mana..."
Ucapan itu tambah membuat Tambakjati tidak mengerti. Dia hendak mengibaskan tangannya yang dipegang, tapi cekalan si Raja Obat kuat sekali, dia tak mampu melepaskan bahunya.
"Kurang kencang Wiro... Kurang kencang! Ayo lari yang kencang!" terdengar ucapan Dewi berulang-ulang sementara dua ekor ular ikut mendesis-desis.
"Aku sudah lari sekencangku bisa! Nafasku sudah megap-megap..."
"Ah... kau berdusta!"
"Gila! Rasanya sudah mau mati! Tubuhmu berat sekali!" teriak Wiro yang lari sambil mendukung Dewi di punggungnya.
Tiba-tiba si gadis keluarkan suara tertawa. "Ha ha ha...!" Suara tawa yang lain sekali dengan tawa-tawanya sebelumnya. Bukan suara tawa cekikikan itu!
"Heh...?" Wiro berpaling. Dilihatnya Dewi tertawa lebar malah mencibirkan mulutnya.
"Jika kau memang letih, berhenti saja dibawah pohon sana..."
"Dan kau tidak akan menyuruh ular-ular itu mematukku?!"
"Tidak!"
"Dan kau tidak akan memintaku mendukungmu ke hutan Jatipadang itu?!"
"Tidak!"
"Heh?!" Wiro hentikan larinya dan menarik si gadis hingga kini mendukungnya di sebelah depan. "Kalau begitu kau sebenarnya sudah sembuh!"
Gadis dalam dukungan tertawa gelak-gelak. "Karena pertolonganmu aku memang sudah sembuh! Hanya kedua kakiku masih lemah karena terlalu lama dipasung! Aku hanya menggodamu! Berpura-pura masih sakit dan mengancam mu agar mendukungku ke puncak Jatipadang!"
"Edan!" Wiro turunkan Dewi dan sandarkan ke batang pohon rindang di tepi jalan.
Keduanya lalu tertawa gelak-gelak dan saling berangkulan. Sepasang ular kobra hijau mendesis-desis berulang kali seolah-olah juga ikut tertawa gembira.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar