WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : BADAI DI PARANGTRITIS
SIANG itu laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis. Burung-burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masing-masing untuk persiapan turun ke laut malam nanti.
Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap suara tiupan seruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian ayahnya..." berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalam-dalam.
Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup sulingmu agar kami terhibur!"
Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacung-acungkan suling di tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang. Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa kerbaunya ke tepi jalan.
Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.
"Ada apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.
"Del... delman itu" bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk.
Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbah darah malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu! Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil anak?!"
"Ada tiga orang... ada tiga orang di atas delman itu," menerangkan Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah... Saya takut..."
"Anak ini tidak dusta! Sesuatu telah terjadi!" "Jangan-jangan..."
"lebih baik kita berlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah kediaman Ageng Lontar!"
Tanpa diberi aba-aba lagi, semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi. Mereka lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum lagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak.
Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenal bukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantian jabatan bulan di muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga ke tubuh. Meskipun wajah-wajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya!
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai kusir kereta keluarga Ageng Lontar.
Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar. Siapa yang telah melakukan pembunuhan keji biadab seperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelaku jahanam itu? Gerombolan rampok? Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis bahkan di pantal selatan waktu itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar pekik perempuan. Seorang gadis menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti berseru memanggil. "Ayah... ayah!"
Tapi begitu sampai di depan delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar lantang. "Menyingkir! Apa yang terjadi disini?"
Orang banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Ki Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorong dan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami akan membantumu Kepala Desa!" jawab orang banyak. Ki Demang memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya tertancap pada seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan kepala. Pakaian putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah. Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada Kepala Desa mereka itu. Ki Demang angkat tangan kanannya, menunjuk tepat-tepat pada pemuda berpakaian putih lalu berseru,
"Tangkap pemuda gondrong itu!"
Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya, ada pula yang menjambak rambutnya.
"Hai! Apa-apaan in?!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan pegangan orang banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir delman!"
"Tuduhan gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di tempat ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam delman!"
Si pemuda memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah..."
"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang. "Kata-kataku belum habis! Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh dan aku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masih ada darah yang menetes dari lantai delman!"
"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya jatuh tergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di sini mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarang aku membela diri!"
Mendengar ucapan itu KI Demang Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda itu!" Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai. "Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di tangan kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal orang banyak.
Jauh sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai kesaktian yang kemudian diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut karena Ageng Lontar pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul. Dengan kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat guru masing-masing.
Pemuda yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu saja terkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan adanya sambaran angin mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu akhirnya meledak juga. Didahului satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.
Empat orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah. Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti diserang demam panas. Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan.
Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemuda dapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketika tusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam ke arah selangkangannya!
Maklumlah kini Kepala Desa itu bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh suaml istri Ageng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda sembarangan, tapi pasti sekali memiliki isi.
"Bagus! Rupanya kau mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih itu. "Aku tidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia menyerang pemuda itu.
Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa kali. Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan. Tongkatnya menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung kuku dari tenggorakan lawan! Kepala Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si pemuda telah lebih dulu membetot!
Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnya hanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan kanan Ki Demang saat itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah golok pendek yang tajam berkilauan!
Ki Demang Wesi menyeringai mengejek. "Pembunuh, kau telah tolong membukakan sarung senjataku. Berarti kau memang sudah siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda balas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata begitu pemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampai setengahnya.
"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda! Tapi di hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan golok pendeknya. Senjata ini mengeluarkan angin deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepala Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis.
Didahului oleh bentakan garang dia rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola karet yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar. Pemuda ini berseru kaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek pakaiannya di bagian dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut tergurat!
"Kepala Desa sialan..." maki si pemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus menelannya sekalian!"
Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri pakaiannya di bagian depan. Robekan kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat yang aneh seperti tadi.
Hanya saja kali ini dia kecele. Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda lawannya kini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya sepertl orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli itu merupakan sasaran serangan yang ernpuk. Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak ke jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kain bergerak-gerak berusaha menggapai ke arah mulutnya!
Ki Demang merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti tercekik. Sesaat kemudian halaman rumah Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang banyak, padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang terjadi dan apa yang kini disaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiri dengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut hingga aurat terlarangnya tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik celananya ke atas.
Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagi di tempat itu.
Meskipun hatinya kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa masih mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi dia masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala Desa sialan! Enak saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian. Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda debu dan darah sambil jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke semak-semak di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat.
"Manusia sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"
Si pemuda yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak berjongkok seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau perempuan karena sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh pakaian putih yang tadi dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu dia muncul di situ dan gila betul! Masakan aku mau-mauan mencampakkan bajuku menutupi kepalanya begitu rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang jongkok di tepi jalan, lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat tampaklah wajah orang itu. Ternyata dia seorang nenek bermuka hitam yang ketika menyeringai tampaklah deretan gigi-giginya yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda yang memang Wiro Sableng menjadi terkejut karena tidak menyangka nenek itu mengenal dirinya sedang ia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu sebelumnya.
"Aku sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya saja tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua! Berani melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek, memberi hormat membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan maksudku berlaku kurang ajar. Tapi waktu lewat tadi sama sekali tidak melihatmu di sini. Kalau kau memang ada di sini masakan aku berani berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata si nenek sambil geleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang keriput terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun yang menyambar dari balik semak belukar dan kau tidak sempat melihatnya berarti kau akan mati konyol anak muda."
Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkan diriku..."
Si nenek balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa sengaja hendak memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"
Astaga! Wiro baru sadar. Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus mengenakan kembali pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia hendak mengambil pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan tubuhmu!" lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata masih sangat baru. Pakaian itu dilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih..."
Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok sekali dengan tubuhnya. Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak sulaman benang merah bergambarkan mahkota dan keris silang.
"Kau senang mengenakan pakaian itu pendekar muda?" si nenek bergigi emas bertanya.
"Senang sekali nek, sedap dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa arti sulaman gambar mahkota dan keris bersilang ini?"
"Ah, itu hanya sekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau gambar ular tak ada bedanya..."
Sambil bicara si nenek mematahkan sepotong belukar kering di samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada garis panjang, ada yang berbentuk bola, garis bersilang dan terakhir sekali si nenek membuat garis panjang mulai dari tepi jalan di sebelah depannya sampai tepi jalan di dekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku mana pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan pakaian itu pendekar muda. Aku jadi teringat pada Suto Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyak kesamaannya dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto Engging itu nek?"
"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang lalu kami berpisah. Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapi aku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau pasti memiliki paras cantik jelita. Sekarang pun kau masih kulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya. Tapi hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang. Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinan dengan siapapun! Dan percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang perawan sejati! Hik hik hik...!"
Wiro merasa tenggorokannya seperti tercekik dengan keterangan si nenek. Dia cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek. Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak guratan di wajahmu..." Si nenek tertawa panjang sampai keluar air mata.
"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pasti tahu banyak tentang diriku. Sebelum kita berpisah maukah kau mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang memanggilku Nenek Hitam Bergigi Emas. Hik hik hik..."
"Terima kasih kau telah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasih lagi atas pemberian pakaian ini. Aku minta diri sekarang!"
Wiro menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wiro merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia tidak bisa meneruskan langkah, malah kakinya terbanting ke belakang. Dicobanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun berpaling pada nenek yang saat itu masih tetap jongkok di tepi jalan sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa luas dan tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan. Mohon diberikan petunjuk..."
Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh peradatan. Mengapa banyak orang mengatakannya kurang ajar, konyol dan bersifat seenaknya? Ah, lama-lama aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek, kau seperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewati garis aneh yang kau gurat di tanah ini..."
"Oh itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garis itu. Setelah garis hapus kau bisa lewat..." menjawab Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang dikatakan si nenek. Dia membungkuk. Dengan telapak tangan kirinya dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah jalanan. Setelah hapus dia coba melangkah. Ternyata dia kini bisa melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong tak ada lagi.
"Kau luar biasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan tangan kanannya ke mulut. Terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya seraya berkata,
"Ambillah! Mungkin ada gunanya di saat kau kesusahan..."
Wiro ulurkan tangannya. Si nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda. Ketika diteliti ternyata sebuah gigi emas yang masih basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima pemberianmu ini nek," kata Pendekar 212.
"Kau jijik?!"
"Tidak..." jawab Wiro agak gagap karena memang walau gigi palsu itu terbuat dari emas namun ada rasa jijik dalam dirinya. "Jika ini kau berikan berarti kau akan kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya banyak persediaan gigi seperti itu!" berkata si nenek. "Lihatlah!"
Lalu dari dalam sebuah kantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi emas. Dia mengambil tiga buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang ompong. Gigi kedua ternyata bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil menunjukkan barisan gigi emasnya.
"Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."
Wiro garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas pemberian gigi emas ini nek. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi sambil menggenggam gigi emas di tangan kanannya.
Tiga hari setelah suami istri Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki Demang Wesi mendatangi rumah kediaman orang kaya di daerah selatan itu bertemu dan bicara dengan puteri yang merupakan anak tunggal mendiang suami istri yang Malang itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku Winayu..." Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa memanggil gadis itu dengan sebutan anak mengingat hubungannya dengan Ageng Lontar yang terkait pada hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku malam ini guna menyambung pembicaraan kita dua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengan sebutan pakde begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat membongkar rahasia pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku hati-hati serta bersedia memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang perjuangan kelompok tersebut..."
Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu. Maka diapun bertanya, "Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde katakan tadi? Lalu sumbangan bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak mengerti. Kepala saya pusing..."
"Jika kau merasa kurang sehat, pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapa hari di muka."
"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan saat ini juga kalau bisa!"
"Itu tidak mungkin aku lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balik kematian kedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkar tabir rahasia ini lalu membekuk pembunuh itu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan menerangkan siapa-siapa yang ada dalam kelompok itu..."
"Tunggu dulu pakde. Hari ketika ayah dan ibu ditemukan tewas di atas delman bukankah pakde telah mencurigai seorang pemuda. Pakde menyuruh tangkapnya tapi gagal. Orang itu berhasil melarikan diri..."
"Memang berat dugaanku saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi hingga aku tidak berdaya menghadapinya. Namun aku yakin dia tidak bekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk mencari tahu di mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga telah bersedia untuk mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda itu."
Winayu Tindi menyeka peluh di keningnya. "Sekarang ceritakan kelompok yang pakde katakan tadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk. "Aku akan terangkan Winayu, asal kau mau berjanji untuk merahasiakan apa-apa yang kita bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalah Kerajaan..."
Bertambah tidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan dan lebih dari itu ingin mengetahul siapa pembunuh kedua orang tuanya maka Winayu anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku akan mulai. Dengar baik-baik dan jangan bertanya sebelum keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula. "Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedang gering. Di dalam keraton tersiar kabar bahwa ada kemungkinan orang-orang tertentu tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai haknya atau tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan Sri Baginda telah membuat surat wasiat. Sebelum baginda wafat, sebelum orang yang tidak berhak menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran Adi Bintang Sasoko sebagai pewaris tahta. Menurut silsilah saat ini dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia putera tertua meskipun bukan dari istri pertama Sri Baginda..."
"Tetapi bukankah Pangeran itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak dia berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu hanya fitnah yang sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang mendukung Pangeran Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura, ditambah oleh banyak sekali tokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya akan masuk ke Kotaraja. Begitu tahta jatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para pendukungnya termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada Sri Baginda nanti..."
"Saya tidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu. Lalu menuntut balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul...! Aku juga tidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya kuterangkan panjang lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya mereka yang bisa membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakde adalah salah seorang anggota kelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang menjadi penggantinya. Kau harus bergabung dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamu pakde?"
"Harus. Demi meneruskan cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang akan membantu mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat ini kelompok sangat membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan makanan! Kau bisa menyumbangkan dua hal. Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok pakde itu. Soal bantuan saya tidak keberatan..."
"Terima kasih anakku. Kalau kau bersedia membantu kelompok kami sudah sama artinya kau telah bergabung dengan kami..." Ki Demang Wesi ikut berdiri. Dia menyerahkan sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa ini pakde?"
"Kebaya dalam berwarna biru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik..."
Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan yang tadi diserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelai kebaya panjang berwarna biru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketika kebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan keris bersilang dari benang merah, terletak di bagian dada kiri kebaya itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran Wonosari. Semua orang yang ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat, paling tidak menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah aku ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habis pikir dalam hati.
Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan, penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang ada di situ membuat Wiro jadi salah tingkah. Semua orang yang sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul di pintu kedai. Pemilik kedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan mempersilahkannya duduk di kursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri mendapat kunjungan raden..." begitu pemilik kedai berkata.
"Raden... Aku dipanggil raden..." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini..."
"Raden, silahkan duduk menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling enak dan segar. Apakah raden ingin minum tuak nomor satu...?" bertanya istri pemilik kedai.
"Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak nomor satu..." Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani memungut bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan raden..." Lalu suami istri pemilik kedai itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan.
Wiro memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya buru-buru menganggukkan kepala. "Aku ini dikatakan orang penting... Gila! Apa sebenarnya yang terjadi di kota ini. Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang tampangnya mirip wajahku yang jelek ini. Ha ha ha... Eh, tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa...? Ah perduli setanlah! Perutku lapar, makan dan bayar lalu pergi. Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi bagaimana semua ini bisa terjadi...?!"
Tak lama menunggu hidanganpun diletakkan di atas meja. Mulai dari sebakul nasi putih harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk besar lalu masih ada kerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambal terasi di cobek besar.
"Silahkan makan raden, silahkan..." Kata pemilik kedai berulang kali sambil membungkuk-bungkuk sementara istrinya meletakkan sebuah cangkir tanah dan buli-buli berisi tuak harum.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuak nikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua matanya setengah terpejam saking enaknya tapi juga mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin istirahat, kami sudah menyiapkan kamar untukmu..."
Wiro menguap lebar-lebar, tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanan dan minuman yang telah disantapnya.
Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden, jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makan dan minum tidak usah dibayar..."
Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh... aneh..." katanya dalam hati. "Tidak usah bayar demi perjuangan. Begitu...?
"Betul sekali raden."
"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat tinggalkan kedai itu. Ketika dia pergi semua orang berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Suami istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata, "Baru sekali ini aku menemui yang seperti dia. Benar-benar pejuang yang tidak mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang itu istriku. Jangan sampai terlihat dan diketahui oleh orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa kita dituduh menghambat perjuangan!"
Di luar Wonosari terdapat sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda. Karena ingin mengambil jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus pemandangan tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil bersiul-siul. Suara siulannya bergema di hutan jati itu.
Tiba-tiba pendekar kita hentikan siulannya. Ada suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro melihat ada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu singkat delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas mereka sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka adalah tujuh orang prajurit kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda
Perwira itu memperhatikan Wiro sesaat. matanya tertuju pada sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri pakaian putih sang pendekar lalu diapun berkata, "Kami tidak ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baik-baik"
Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapa tidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia mempunyai kedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyak keterangan darinya. Kembali ke tempatmu prajurit!" Jawab sang perwira dengan suara agak berbisik.
"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambil garuk-garuk kepala. Baru saja beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya merasa seperti seorang pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi perlakuan yang jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih bertanya dengan baik maka aku akan menjawab dengan baik pula," menyahuti si perwira muda. "Kau kami tangkap dan akan dibawa ke Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampai ditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuri dan merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa lalu keluarkan suara mendengus. "Jangan berpura-pura tolol!" dia mulai keluarkan suara keras. "Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangan kasar?!"
"Gila! Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh menyerah! Apa-apaan ini!"
"Kalau begitu kau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu berteriak pada anak buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh prajurit melompat turun dari kuda masing-masing. Tiga orang menghunus senjata untuk melindungi empat kawannya yang ingin meringkus Wiro. Pendekar 212 tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas kau adalah salah seorang pentolan berbahaya yang tengah dicari-cari!"
"Pentolan? Aku pentolan? Pentolan apa...?"
"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali lagi dia berteriak memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro.
Maka tujuh prajurit itu kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya dihantamnya dengan satu jotosan sehingga orang ini terpental dan menjerit kesakitan. Dua kawannya balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih dahulu diterjang jotosan pendekar 212.
Melihat ini prajurit-prajurit yang memegang senjata tanpa menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masing-masing ke tubuh dan muka Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekal tubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan kini mengerang kesakitan sambil pegangi perutnya yang kena tonjok. Ketika tiga senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata. Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan senjata terpaksa menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda di atas kuda marah sekali.
Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus sebilah golok pendek yang menjadi senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertanda bahwa perwira ini memang terlatih dan memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang sangat ganas tanda dia memang ingin membunuh lawannya saat itu juga.
Wiro berkelebat mengelak dengan cepat. Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira hanya menghantam tempat kosong. "Perwira! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada silang sengketa denganmu!"
"Kau memang tidak ada silang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwira itu lalu kembali memburu dengan serangan-serangan gencar.
"Gila! Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena di depannya kembali perwira muda itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjata itu benar-benar berbahaya kini. Wiro sadar dia tak bisa bertahan dan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan pasti akan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiap untuk kirimkan serangan balasan tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira! Bahaya mengancam di bawah bukit!"
Perwira muda itu melompat mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling pada prajurit yang barusan datang. "Ada apa?!" tanyanya.
"Serombongan pasukan musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang tengah menuju kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokoh silat dari timur. Kita harus menyingkir dari sini. Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu prajurit yang datang memberikan laporan.
"Kalian semua lekas menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan mati konyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang begitu besar!" jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku yang memerintah di tempat ini! Kalian jangan berani menampik!"
Mendengar itu delapan prajurit yang ada di tempat itu tidak berani membuka mulut lagi. Mereka segera naik ke atas kuda masing-masing, padahal beberapa di antaranya berada dalam keadaan terluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi. Kedelapan prajurit itu segera menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar yang datang dari bawah.
"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka memang pantas untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa jurus lagi!"
"Edan! Perwira macam apa kau ini!" teriak Wiro penasaran. Dalam hatinya kini muncul niat untuk menghajar perwira itu habis-habisan. Tapi sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benar-benar tahu rasa. Dengan tangan kirinya Wiro patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia pergunakan sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjata sebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro menyeringai mendengar ucapan perwira itu dan menjawab, "Menghadapi perwira tolol sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata. Ranting ini sudah lebih dari cukup!"
"Bangsat! Kau akan menyesal sampai keliang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar. Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting di tangan kirinya diputar berlawanan arah dengan putaran golok si perwira. Perwira ini merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya. Angin yang keluar dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapi tubuhnya sampai bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak.
Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan lawan. Sewaktu si perwira berkelit ke samping murid Sinto Gendeng cepat pukulkan ranting ke kiri. Terdengar suara sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam belakang tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental.
Dia coba melompat untuk menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting. Untuk kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun ke tanah kembali dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambil bolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan! Perwira totol! Kalau aku jadi Raja, manusia macammu tak akan terpakai! Ini, ambil kembali golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata ini menancap satu jengkal di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampai setengahnya.
Merasa malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itu cabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya habis-habisan. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah itu tak sanggup dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu pergunakan pula tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Golok di tanah sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau mencabut golok saja tidak sanggup bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat kurang ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak dapat dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di tanah.
Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam muka si perwira. Golok yang ada dalam pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan ujungnya yang runcing tajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel, Wiro putar tangannya. Golok membalik ke kanan, berputar di pertengahan ranting seperti sebuah titiran.
"Manusia keparat, jangan kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan kosong!" teriak perwira muda itu lalu sekali lompat dia sudah menerjang dengan tendangan dan jotosan.
Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba pendekar ini tarik ranting dari badan golok. Senjata ini mental ke bawah, gagangnya menghantam kening si perwira dengan keras. Sang perwira menjerit kesakitan, mundur terhuyung-huyung sambil pegangi keningnya yang mengucurkan darah!
Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itu diikuti oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian kelabu. Dua penunggang kuda di sebelah depan adalah dua orang kakek berwajah hampir mirip satu sama lain.
Pada dada pakaian hitam yang mereka kenakan tampak ada gambar mahkota dan keris bersilang yang disulam dengan benang merah. Anggota rombongan lainnya juga memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek berpakaian hitam yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek di pinggangnya masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelah kanan keluarkan ucapan,
"Ah..ah..ah...! Kalian berdua baru saja selesai berlatih!"
Kakek yang satu menimpali, "Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya kulihat salah satu dari kalian sampai-sampai mengucurkan darah di kening!"
Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka darah yang masih mengucur dari luka dikeningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hati siapa pula dua kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini banyak. Tadi jelas dia mendengar sendiri bahwa orang-orang yang baru datang ini adalah serombongan pasukan musuh
. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan perwira muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita tidak punya waktu banyak. Malam ini ada pertemuan penting. Pangeran tidak ingin melihat ada yang datang terlambat! Mari..."
"Eh, apakah kau bicara denganku juga?!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan bicara.
"Apa kau kira aku bicara dengan penghuni gaib bukit Jati ini?!" sahut si kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota dan keris bersilang di dada pakaian si kakek. Untuk pertama kali dia ingat akan gambar yang sama di dada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh... apa artinya gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan sulaman di dada pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dari Nenek Hitam bergigi Emas...?"
Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak enak. Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama di dada pakaian mereka dan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka berada dalam satu kelompok yang sama? Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam Kerajaannya.
Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga ada sulaman benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro jadi memandang lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakek berseru.
Dua orang lalu maju menuntun dua kuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwira saling pandang.
"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi aba-aba.
Si perwira muda langsung melompat ke atas punggung kuda. Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak seperti orang bingung, sahabat?!" bertanya si kakek hitman di samping kiri.
"Kalian mau mengajakku kemana?!" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Kemana lagi kalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah kau masih mau bertanya? Kita orang-orang satu golongan! Aku sudah melupakan kejadian tadi! Anggap benar-benar sebagal latihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil memandang berkeliling. "Apa yang sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang ini...! Gila! Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku harus ikut dengan mereka!"
Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who melihat delapan sosok tubuh berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah. Semuanya sudah meregang nyawa dengan tubuh penuh luka. Wiro melirik ke arah perwira muda yang kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauh di sampingnya. Di saat yang sama perwira itu juga berpaling ke arahnya, tersenyum kecil dan kedipkan mata!
Dalam perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada yang membuka mulut atau bicara. Tampaknya mereka dipe-rintahkan untuk membungkam diri. Dua kakek berpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda yang ternyata adalah seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini bergerak puluhan penunggang kuda berpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu di tengah-tengah mereka.
Walau ada hasrat untuk menyelinap dan kabur dari rombongan itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk ikut terus guna mengetahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang Sasoko. Lalu apakah dia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi Emas yang memberikan pakalan putih bersulam mahkota dan keris bersilang itu?
Karena rombongan tidak mau menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu setengah kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru sampal di tujuan yakni bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan jarang didatangi orang.
Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragam perajurit Kerajaan. Kelompok ini langsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang mereka kenal. Semua kuda ditambatkan, ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek berpakalan hitam memandang berkeliling, mencari-cari Wiro Sableng yang saat itu duduk memencilkan diri di bawah sebatang pohon kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu memberi isyarat untuk mengikuti. Bersama-sama dengan perwira muda dan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang tua itu. Mereka bergerak ke bagian teluk yang penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau.
Setelah merancah air laut sebatas mata kaki dan menyibak kelebatan pohon-pohon bakau keempat orang itu sampai di sebuah gundukan tanah keras bercampur batu yang di bagian tengahnya merupakan sebuah lobang besar atau mulut goa selebar dan setinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang sesaat pada perwira muda itu, lalu pada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari bagian bawah sampai dinding dan langit-langitnya. Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak lama kemudian mereka sampai pada ujung goa yang ternyata terletak pada sebuah bukit kecil yang penuh ditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat. Sinar matahari yang hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan.
Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ dibangun sebuah gubuk panjang tanpa dinding. Sepanjang gubuk terdapat meja papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang yang juga terbuat dari kayu hutan, setiap sisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang ke arah mereka sementara di kepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemuda berpakaian sangat mewah, bermuka agak pucat dan setiap saat selalu tersenyum-senyum menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.
Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama di kepala meja terdapat banyak makanan. Kendi-kendi tanah berisi tuak tak terbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru datang ini mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang Wiro dan si perwira di bangku panjang lapis belakang bagian tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas pipanya, berpaling pada pemuda berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan berkata, "Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting ini bisa kita mulai Pangeran Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko mengangguk lalu tertawa gelak-gelak. "Aku sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah lapar dan haus! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu sekenyang-kenyangnya! Ha ha ha...! Eh, kau setuju calon patih Kerajaan?!"
Si gemuk yang disebut sebagal calon patih membuka mulut dan setengah berteriak menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di situ langsung menyambar hidangan dan meneguk minuman yang ada di atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!" seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih duduk berdiam diri.
"Atau mungkin dia menunggu sampai calon patih kita marah?!" seseorang berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang lainnya.
Wiro akhirnya mengulurkan tangan juga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke dalamnya tiba-tiba dia mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di telinganya.
"Pendekar muda... Kau boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di atas meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itu telah berubah menjadi minuman celaka! Minuman itu beracun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua matanya berputar memandang berkeliling. Siapa gerangan yang barusan bicara jarak jauh dengannya itu? Satu persatu dipandanginya wajah orang-orang yang ada di tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran Adi Bintang Sasoko sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil melahap paha ayam.
Semua orang termasuk Pangeran Adi meneguk tuak yang dihidangkan, malah ada yang begitu lahap hingga berceceran menumpahi dagu dan pakaiannya. Wiro melihat bahwa ada dua di antara orang-orang yang ada di situ hanya berpura-pura minum. Tuak yang diteguknya hanya dilelehkan ke bawah dagu!
"Semua sudah kenyang dan puas mlnum?!" tiba-tiba si gemuk yang disebut calon patih berseru.
"Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti.
Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi. "Pangeran, saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk, matanya berputar-putar lalu Pangeran yang berotak tidak waras ini tertawa gelak-gelak. Si gemuk berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata,
"Sebelum pembicaraan penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga kerahasiaannya! Pohon di sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi manusia penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum pembicaraan dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar kita saling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Raja kita semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat ini sedang gering! Bukan begitu Pangeran Adi?!"
Pangeran Adi berdiri dari duduknya, menjura dan berteriak. "Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya aku! Ha ha hal!"
Si gemuk kembali membuka mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal menduduki jabatan Patih Kerajaan!"
Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Terdengar suara meletup dan lidah api mencuat keluar dari celah dua telapak tangan itu. Semua orang berdecak kagum melihat hal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto kembali duduk. Dia memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari duduknya, menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus orang perajuritku siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang ketiga tegak pula dari bangku kayu. Seperti Adipati Klaten tadi dia juga menjura, mendongak sebentar lalu membuka mulut. "Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha! Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuang bersama Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang menjadi pejabat Kerajaan!"
Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke atas meja. Ternyata kaki kanannya memang terbuat dari kayu. Dengan satu gerakan seperti asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja. Papan meja yang terbuat dari kayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembali ke tempat duduknya.
Orang keempat berdiri dari bangkunya. Dia seorang kakek bermuka cekung, mengenakan baju hijau yang kebesaran dengan sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri. Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua pakaian para yang hadir di tempat itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki kuku-kuku panjang berbentuk aneh seperti seperti pisau-pisau kecil!
"Aku tua bangka jelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan melihat sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke bangkunya.
Orang kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat. Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasal dari Kadipaten mana, sambil tak lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnya sudah bersiap sedia, maka masing-masing kembali duduk di bangku panjang.
Orang yang ke sepeluh adalah satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga ikut-ikutan pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini..."
Si kakek menunjuk pada kakek satunya yang duduk di sebelahnya, "Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tombak Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaan dan adikku menjadi wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan adikku Tombak Dewa Kedua! Soal kepandaian kami pernah merajai rimba persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat ini kami tidak enak badan, tak mau pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang kedua belas adalah perwira muda yang duduk di samping Wiro Sableng. Setelah mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri. "Namaku Aryo Ladam. Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi mulai detik ini jabatan itu tidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin banyak di antara para hadirin memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Sebelum berangkat ke mari aku telah berhasil membina sekitar enam puluh perajurit dan dua perwira muda untuk berjuang di pihak kita. Mereka semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko tersenyum-senyum sambil meneguk tuak. Sambil mengangkat kendi tuak Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kau akan aku angkat sebagai Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkan dua tingkat!"
"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu duduk ke tempatnya kembali.
Kini giliran Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan diri. Setelah menggaruk kepala lebih dulu, pendekar ini berdiri dan menjura ke arah Pangeran Adi serta Si Tapak Api. Sikap ini membuat kedua orang itu merasa senang karena sebelumnya tidak ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar pengangguran yang dicap berotak kurang waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir di sini menjadi tujuanku pula! Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah. "Persetan dengan perjuangan gila ini? Aku ingin buru-buru pergi dari sini! Edan, mengapa aku sampai terdampar di antara para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali, lalu disusul suara orang bicara. Yang bicara adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak disangka-sangka kalau tokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara kita Pendekar 212, apakah keikutsertaan mu bersama kami mendapat restu dari gurumu di puncak Gunung Gede...?!"
"Ah, si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin Wiro. Pendekar ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedang tidak di tempat. Aku hanya meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan..." Wiro berdusta.
"Bagus... bagus... Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya menyertai kita. Tapi yang ada sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke empat belas yang duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang ke lima belas adalah yang paling lucu, paling konyol gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besar tetapi seperti yang lainnya di dada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris bersilang. Rambutnya yang panjang digulung ke atas dan pada ujung gulungan diberi pita merah.
Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotan dari bibir sampai ke pipi dan dagu sedang alis mata diberi jelaga hitam bercelemongan. Orang ini berdiri dengan sikap malu-malu seperti perempuan. Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri.
"Namaku Tatata Tititi. Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya kepandaian silat! Tapi pandai bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu menunjuk pada sepiring makanan di atas meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di atas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro pejamkan matanya. Ketika kedua mata dibuka dan mereka memandang ke arah piring! Astaga! Memang diatas piring itu kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi seonggok tahi kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua matanya!
"Jadi tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau... hik hik hik!" orang bermuka celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya bergurau. Lihat sekali lagi. Apa yang ada di piring memang makanan!"
Dan ketika semua orang memandang lagi ke arah piring, memang di situ kini tampak makanan seperti semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah makanan jadi tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri Baginda menjadi tahi kerbau! Hik hik hik!"
"Tukang sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba terangkan, kau ini lelaki atau perempuan!"
"Hik hik hik! Aku bukan lelaki bukan perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu...?!" Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan pertanyaan.
"Aku banci! Hik hik hik!"
"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baginda!" Membentak Si Tapak Api.
"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan pakaianku! Mau melihat...?!"
Pangeran Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan goyang-goyangkan tangannya ketika Tatata Tititi hendak menyingkapkan pakaiannya yang lebar.
"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok dengan kami!" ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti..."
"Maaf, namaku Tatata Tititi, Pangeran. Bukan Tatiti...!"
"Oh, ya aku kesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada Suto Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit tampak tambah sipit ketika dia memandangi satu persatu semua orang yang ada di tempat itu.
"Saudara-saudara satu perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat ini harus dibersihkan darl penyusup mata-mata musuh!"
"Eh...! Apakah ada mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu alias Sumo Kandil.
Suto Gunoro menyeringai buruk. Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi memperkenalkan diri dengan juiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan kepalanya.
Melihat isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit dart kursinya. Kedua matanya memandang menyorot satu persatu pada orang-orang yang ada di sekitar meja. Kedua tangannya sailing digosok-gosokkan. Kuku-kukunya yang beradu satu sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak beda seperti pisau-pisau saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah memutari meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana terpaku. Wiro merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepala berhenti melangkah dan tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuh tadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan kanan, diam-diam menyiapkan pukulan sakti Sinar Matahari. Kedua telinganya dipasang tajam-tajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan menghantam.
Dibelakangnya Si Pengupas Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat tangannya, mencekal leher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya. Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekik ketika bicara. "Lepaskan! Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru untuk bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya Raja...?!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara menggereng. Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang dilemparkannya ke atas meja besar. Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerinda. Terjadilah satu pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka dikelupas oleh kuku-kuku maut itu! Hanya beberapa kejapan mata saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah..." bisik Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya yang bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata,
"Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada dalam penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin sekali dia meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si Tapak Api berseru.
"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat yang mulal tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
Yang datang ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di dada kirinya.
Gadis ini tampak agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke arah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya.
"Tak ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman seperjuangan..."
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum dimulai!" Si Tapak Api berseru.
Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Harap maafkan... "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura. "Aku terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik begitu perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku sebagai ayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya memandang tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik.
"Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan sangat besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si cantik jelita ini...?!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju. Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti nyamuk mengiang dikedua telinganya, "Anak tolol! mengapa mulutmu selancang itu mengatur perjodohan orang?! Sableng!"
Wiro merasakan mukanya jadi merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-cari siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa? Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibu saya...!"
"Oh begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!" berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau..."
"Rupanya kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang melakukan...?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi..."
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah. Sadar kalau mulutnya ketelepasan. "Maafkan aku sahabat. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi kata-kataku tadi memang tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing betina yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran gila itu...!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah menghisap pipanya panjang-panjang diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang.
Lalu melakukan penculikan terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipati, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua harl dimuka, dinihari menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan terhadap para tokoh silat Istana. Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis Kaki Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak sampai sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman ini, dan juga tidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan yang ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu ditempatl oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko bersama Si Tapak Api.
Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi untuk para anggota komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan mereka malam itu ke tempat itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan tempat rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkur di bangku panjang. Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan. Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon Wiro dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik itu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya. Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran memang menyukainya..." Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha ha ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dan kopi hangat pada pagi hari! Ha ha ha...!"
"Ki Demang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan diberikannya dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan tuntas?" Yang bicara adalah Si Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita sendiri..."
"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari golongan putih..."
"Dunia bisa berubah, apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi. "Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam kelompok kita..."
Melihat hal ini Ki Demang Wesi minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hal lagi harus kau jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya..."
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar kata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata, "Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu Sumo... Lagi pula dia menolak untuk diajak serta. Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah dirusak kehormatannya sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu dari suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir kereta..."
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap istri Ageng Lontar! Ha ha ha...! Ceritakan saja saja Ki Demang..."
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu ku tiduri baru kubunuh. Untuk menutup rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha ha ha...!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan saja akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri..."
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutupkan kembali. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget seperti disengat kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir. "Manusia setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-benar dajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itu pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi! Juga tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati konyol!"
S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam saku pakaiannya dan diserahkan pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kita rencanakan? Aku jadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah, hari hampir pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak..." Si Tapak Api menepuk bahu Ki Demang Wesi. Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu. Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia hanya sempat melihat bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu lenyap! Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga siapa adanya orang itu.
Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ? Wiro melangkah mendekati orang ini. Memperhatikannya sejenak.
Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri. Noda yang sama juga terdapat pada kedua telapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi dia rupanya!" Wiro manggut-manggut dan diam-diam merasa lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya itu. Ada seorang teman bersamanya walau dia masih tidak dapat memastikan siapa adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di mana dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itu sudah tahu rupanya..."
Sejak siang hujan turun terus. Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu matahari menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan. Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang ke laut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara Pangeran Adi tegak di sudut sambil tersenyum-senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil seolah-olah mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan kaki kayunya.
Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu rumah, memegang sehelai kapas berwana merah. Tengah berhias rupanya si banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata Tititi.
"Eh... Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Suto Gunoro sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita siap bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita segera bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak...? Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai di sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?" bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol. Cuaca bisa membuat kacau gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?! Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah hujan akan reda atau tidak?!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku... semua akan luntur! Hik hik hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain..."
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa. Dia menjangkau sebuah caping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi jangan ada yang berani menolak perintah..."
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa disambutnya dan dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus dengan pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju bagian bukit yang agak tinggi.
Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil kedinginan Tatata Tititi memandang berkeliling, mencari-cari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat. Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengan cabang-cabang yang berdekatan satu sama lain.
Sekali lagi orang yang mengaku banci ini memandang berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun melayang ke atas cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap saja dia tidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambaran kilat lalu suara guntur yang seperti hendak merobek langit.
Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke atas pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang sebelah bawah ditancapi sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang lain dia mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini basah...!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu kepakaiannya agar kering.
Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar marah-marah karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal yang kini berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh si muka seronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi benda bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang batu api itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan kuat dan keras maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.
"Setan alas!" maki Tatata Tititi.
Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras, dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara.
Siapapun yang berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupun hanya seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin. Tatata Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan menenggelamkan goa..."
Lalu dia turun dari atas pohon kembali ke dalam rumah. "Bagaimana? Apa yang bisa kau laporkan?!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam waktu cepat air laut akan pasang dan goa panjang satu-satunya jalan menuju ke pantai akan terendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat. Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai! Aku tak mau mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus jadi Raja! Dan permaisuriku itu... Dia yang nomor satu harus diselamatkan...!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita atur dengan cepat. Kita akan segera meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua tokoh silat dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan tanggung jawab sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo, mereka harus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki Demang Wesi..."
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada apa...? Mana kedua orang itu...?!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan tertotok. Aku berusaha melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-lain. Ketika sampai di rumah sebelah memang di situ hanya ditemui Ki Demang Wesi tegak kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangi pintu. Winayu Tindi sama sekali tak ada ditempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari tangan kanannya ke punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Tapi gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu melarikan diri! Ada pengkhianat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan mata berapi-api lalu menatap semua orang yang ada di situ satu persatu.
"Kalau begitu pendapatmu, berarti calon permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke lantai lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititi. Dia maju mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik celana Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya yang jelek hitam.
"Manusia banci! Apa yang kau lakukan ini?!" teriak Si Tapak Api sementara yang lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan aneh ini ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
"Dutttt...!" Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang menyumpah dan menekap hidung karena baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu hidung. Namun di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokan aneh luar biasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!" tanya Si Tapak Api. "Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Winayu Tindi lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua. Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku... Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu..." kata Tatata Tititi. Tapi sang Pangeran terus meraung seperti anak kecil. Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa?!" membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa. Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai. Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari. Anggota pasukan mulai resah..."
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu. Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam, kuminta kau pergi bersama orang ini..."
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sana! Dua orang pengintai melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur, utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara Pangeran Adi masih terus meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagaimana ini bisa terjadi kalau tidak ada penghianatan diantara kita! Musuh dalam selimut! Penyusup keparat...!" teriak Si Tapak Api sambil kepalkan kedua tangannya. "Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa di antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan! Kalau tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi di luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara bergetar saking marahnya. "Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi dengar kalian semua! Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa! Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta Kerajaan direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ jadi terkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si Tapak Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur selangkah. Sambil menyeringai dia berkata,
"Aku tidak takut mati! Kalian boleh membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian! Silahkan pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu. "Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan mencelakai kami dengan racun dalam minuman?!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap kita! Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini..."
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu. Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh ketika atap rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding bangunan. Beberapa pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat angkat tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak.
"Aku tidak mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si Tapak Api.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi. Begitu sang Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!" memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab Wiro.
"Jangan tolol! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira para tokoh itu masih buta tidak mengetahui apa yang terjadi? Apa kau kira mereka enak-enakan tidur dan ngorok?! Jalankan perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi. "Bebanku berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa panjang menuju ke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu menyandarkannya kesebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke balik serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah kuyup oleh air hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam. Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk diselamatkan lalu disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap untuk menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-tangan pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!" tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidak beda dariku, anak manis..."
"Jangan sebut aku anak manis! Aku bukan anak-anak..."
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiri dengan cepat. "Siapa?!" tanyanya menjerit di antara deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap dan udara dingin bukan main.
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya. Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang terjadi dengan Pangeran gila itu?!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang sebelumnya memang ditambatkan di sekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh silat itu punya mata setajam setan! Jangan sampai kau terlihat oleh mereka!"
Wiro memacu kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda tetapi tiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik terus. Di bagian tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di sebelah depan ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga orang Adipati.
Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan pasukan.
Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan saja karena hujan dan angin badai tetapi juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka penuh semangat dan harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai alam berupa hujan dan angin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu mendadak Wiro mendengar suara mengiang.
"Dalam setiap urusan dan kesempatan, selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana Pangeran Gila itu? Hik hik hik...?"
"Eh, suara itu lagi..." desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu lalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat denganku..."
Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu! Dan aku yakin kau bukan banci! Siapa kau ini sebenarnya badut celemongan?!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu 'bret-bret-breettt' dia merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri?!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke tanah yang telah digenangi air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada sulaman mahkota dan keris bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian berwarna hitam.
Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka celemongan angkat capingnya dari atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari bambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara, menembus hujan dan angin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh.
Ternyata lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa orang-orang di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata Tititi membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini kelihatanlah wajah yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih?!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan keris bersilang itu, kau akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan pakaian itu!"
"Hem... Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!" Wiro berkata. "Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja yang aku robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu menggigit sulaman benang merah dan sekaligus menariknya.
"Brettt...!" Dada kiri pakaian itu kini bolong sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan..." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang lalu, apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh silat Istana yang berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak. Kita sama satu haluan. Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang, Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang lain... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak Api. Yang lain-lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah saling bertemu. Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata, pekik kesakitan dan kematian ditimpal oleh ringkikan kuda serta deru hujan dan angin. Darah mengucur, membuat genangan air laut tampak merah dalam kegelapan malam.
Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia membentak,
"Manusia pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali kalau menginginkan mampus dengan noda memalukan!" Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau menyebrang ke pihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan kanannya. Bekas bawahan dan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingi kehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas kuda. Kelewang Majurai merobek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena mengharapkan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya, sesudah itu nafasnya pun berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok panjang mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan parah, membuatnya menjadi korban pertama berpangkat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan sebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat menyongsong. Dua hantamkan tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan golok.
Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan kepala. Darah mengucur. Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang digenangi air laut.
"Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan berada di pihak Kerajaan...?!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi bukan tokoh silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang sama sekali tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan.
Mereka adalah Si Benang Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang ke jurusan lain, Si Tapak Api melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi berbentuk mata tombak!
Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat Istana ini. Tapi kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang Tombak Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan keras menghantam pangkal lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas. Lalu perempuan ini tarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu, si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu Tindi mendatangi.
"Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.
"Apa maksudmu?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar racun itu! Kami tidak ingin mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau sudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebih cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu! Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah suara kuku-kuku jari Si Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Si Pengupas Kepala. "Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu! Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya maksud busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu lalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau racuni secara keji akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku turut mencuri dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki Demang Wesi seusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka hitam itu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Api gosokkan kedua tangannya keras-keras. Terdengar suara meletup. Lidah api keluar dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent 212. Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging hangus terbakar. Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus dihantam lidah api serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi Emas, maka begitu menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek masing-masing.
Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan pemberontak saat itu terjadi saling serang! Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke dalam komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda yang saat itu diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu meniupnya kuat-kuat. Mendengar tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan hentikan pertempuran dan cepat mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian akan diberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demikianlah sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam mereka merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari tiga arah. Semangat hampir patah, apalagi ketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku hantam satu sama lain!
Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung membentuk lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh Sepasang Tombak Dewa. "Pengkianat-pengkhianat tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga menyerangku dengan ular-ular laut?!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapi terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat pada pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karena di situ kekuatan sihir si nenek muka hitam. Tombak itu sebenarnya tidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular laut. Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing. Begitu senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk aslinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-cepat keduanya melompat dari atas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat.
Sebilah pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya tergulung oleh benang putih halus tapi semakin dicobanya membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak berdaya. Beberapa perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru menotok keduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku Beracun siapa adanya pemuda tanpa pakaian yang bersenjatakan kapak tengah menghadapi Si Tapak Api itu.
"Apa kau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan kanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!" berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti pada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian kemari dan menyadari kalau dia tak bisa bertahan lebih lama maka pendekar ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah mengamuk. Lidah api serangan Si Tapak Api terpental dan membalik menghantam ke arah Si Tapak Api sendiri.
Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah dan celupkan kepala serta tubuhnya ke air laut saking tidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu terkena air laut, rasa sakitnya malah semakin menggila. Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kini telah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakaiannya. Gerakan ini terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak mendapatkan obat penawar, padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-sama berteriak,
"Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku beracun sudah keburu melesat. Satu menacap di batok kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya. Orang ini tersungkur ke dalam genangan air laut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka tidak menemukan obat itu!
"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa mengekeh.
Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling. Dia melihat Nenek Hitam Bergigi Emas menimang dua benda bulat berwarna putih. Keduanya jadi beringas lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil obat-obat penawar itu tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak Si Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang obat penawar?!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas butir! Hik hik hik...! Aku akan berikan obat ini pada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkan diri pada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai dengan dosa-dosa kalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas. Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika berkelebat menyambar ke arah batok kepala si nenek. Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan terkelupas dan kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat itu menyambar sinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini diarahkan untuk menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putar kapaknya.
"Tringg-Tringg-Tringg...!"
Si Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas kelapa ini! Ha ha hah...!" Yang berseru adalah Si Benang Mataikat. Dia putar-putar gulungan benang halus berwarna putih.
Melihat ada lagi yang hendak menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke arahnya. Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masih utuh.
"Desss! Desss! Desss...!"
Ujung benang sakti berputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan yakin dapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini diulur dan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan kedua tangannya. Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampai ke bawah bahu!
"Setan haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur. Sadar kalau dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke Kotaraja. Tapi tidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya, tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya menendang dengan deras.
"Dukkk...!" Tendangan keras itu menghantam dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung membabat. Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala Si Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketa katamu?!" si nenek tertawa. "Ini bukan silang sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda. Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada kami?!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu tanganmu dan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur melawan mu sampai ada yang mati diantara kita!"
Sebagai jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan lawan, kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya kebawah.
"Trangg...!"
Pedang dan kaki kayu beradu keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu tidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidak bisa dianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan kilat pada titik kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis Kaki Kayu.
Berkelahi di alas pasir yang digenangi air laut ternyata bukan hal yang mudah bagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjadi tumpuan bobot tubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkan kaki kayunya beberapa kali terseok akibat lekatan pasir dan genangan air.
Ketika lawannya mengajak bertempur berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk memberontak ini jadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung pedang menembus dada kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk yang gelap kini diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai mulai mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan puluhan korban. Mulai dari prajurit rendah sampai perwira dan tokoh silat.
Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para tokoh silat Istana. "Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah? Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis Pedang Biru.
Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia telah menotok lalu mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak berapa jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih tinggi, sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya. Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi..."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang Biru.
Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan..."
Semula Winayu Tindi berniat hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang yang terbujur menelungkup bergerak mendekatinya. Namun ketika tinggal beberapa langkah saja lagi dan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas punggung binatang itu, kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriak si gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai ketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu membaringkannya di situ.
Kebetulan ada sebatang pohon kelapa. Punggung dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali dia berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak melihat adanya bekas-bekas luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga berhasil akhirnya Winayu Tindi mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis.
Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama dia tegak menangis di tempat itu ketika di kejauhan dilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya ke arah tempat dia berada. Yang datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang sebelumnya juga telah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakah kau menangisi orang itu? Dia cuma pingsan karena ditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaan mu pada Ki Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!" sahut sang dara.
"Justru dia adalah manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.
"Maksudmu...?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, Aku berjanji akan menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tua mu dan juga kusir delman itu? Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah sendiri? Pakde ku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde... Benar kau yang membunuh ayah dan ibu...?" Winayu Tindi bertanya begitu melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat kalau begitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika kau tidak percaya padaku. Kedua orang tua mu dibunuh karena mereka menolak untuk bergabung dengan komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan melaporkan komplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, juga ibumu dan kusir delman itu untuk menutup rahasia. Bahkan ibumu... dia merusak kehormatan Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi. Si nenek ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya berkata,
"Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi. Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku mengeluarkannya lebih cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ. Di sebelah bawah terdapat cap Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke batok kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu.
Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan. Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya yang hampir terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang lain melepaskan Kapak Naga Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.
Pasang semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik hik hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu. Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng hanya bisa menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan kepalanya ke dadanya.
SATU
SIANG itu laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis. Burung-burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masing-masing untuk persiapan turun ke laut malam nanti.
Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap suara tiupan seruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian ayahnya..." berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalam-dalam.
Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup sulingmu agar kami terhibur!"
Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacung-acungkan suling di tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang. Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa kerbaunya ke tepi jalan.
Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.
"Ada apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.
"Del... delman itu" bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk.
Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbah darah malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu! Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil anak?!"
"Ada tiga orang... ada tiga orang di atas delman itu," menerangkan Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah... Saya takut..."
"Anak ini tidak dusta! Sesuatu telah terjadi!" "Jangan-jangan..."
"lebih baik kita berlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah kediaman Ageng Lontar!"
Tanpa diberi aba-aba lagi, semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi. Mereka lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum lagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak.
Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenal bukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantian jabatan bulan di muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga ke tubuh. Meskipun wajah-wajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya!
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai kusir kereta keluarga Ageng Lontar.
Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar. Siapa yang telah melakukan pembunuhan keji biadab seperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelaku jahanam itu? Gerombolan rampok? Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis bahkan di pantal selatan waktu itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar pekik perempuan. Seorang gadis menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti berseru memanggil. "Ayah... ayah!"
Tapi begitu sampai di depan delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar lantang. "Menyingkir! Apa yang terjadi disini?"
Orang banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Ki Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorong dan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami akan membantumu Kepala Desa!" jawab orang banyak. Ki Demang memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya tertancap pada seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan kepala. Pakaian putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah. Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada Kepala Desa mereka itu. Ki Demang angkat tangan kanannya, menunjuk tepat-tepat pada pemuda berpakaian putih lalu berseru,
"Tangkap pemuda gondrong itu!"
Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya, ada pula yang menjambak rambutnya.
"Hai! Apa-apaan in?!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan pegangan orang banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir delman!"
"Tuduhan gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di tempat ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam delman!"
Si pemuda memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah..."
"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang. "Kata-kataku belum habis! Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh dan aku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masih ada darah yang menetes dari lantai delman!"
"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya jatuh tergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di sini mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarang aku membela diri!"
Mendengar ucapan itu KI Demang Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda itu!" Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai. "Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di tangan kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal orang banyak.
Jauh sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai kesaktian yang kemudian diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut karena Ageng Lontar pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul. Dengan kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat guru masing-masing.
Pemuda yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu saja terkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan adanya sambaran angin mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu akhirnya meledak juga. Didahului satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.
Empat orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah. Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti diserang demam panas. Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan.
Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemuda dapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketika tusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam ke arah selangkangannya!
Maklumlah kini Kepala Desa itu bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh suaml istri Ageng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda sembarangan, tapi pasti sekali memiliki isi.
"Bagus! Rupanya kau mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih itu. "Aku tidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia menyerang pemuda itu.
Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa kali. Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan. Tongkatnya menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung kuku dari tenggorakan lawan! Kepala Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si pemuda telah lebih dulu membetot!
Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnya hanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan kanan Ki Demang saat itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah golok pendek yang tajam berkilauan!
Ki Demang Wesi menyeringai mengejek. "Pembunuh, kau telah tolong membukakan sarung senjataku. Berarti kau memang sudah siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda balas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata begitu pemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampai setengahnya.
"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda! Tapi di hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan golok pendeknya. Senjata ini mengeluarkan angin deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepala Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis.
Didahului oleh bentakan garang dia rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola karet yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar. Pemuda ini berseru kaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek pakaiannya di bagian dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut tergurat!
"Kepala Desa sialan..." maki si pemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus menelannya sekalian!"
Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri pakaiannya di bagian depan. Robekan kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat yang aneh seperti tadi.
Hanya saja kali ini dia kecele. Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda lawannya kini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya sepertl orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli itu merupakan sasaran serangan yang ernpuk. Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak ke jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kain bergerak-gerak berusaha menggapai ke arah mulutnya!
Ki Demang merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti tercekik. Sesaat kemudian halaman rumah Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang banyak, padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang terjadi dan apa yang kini disaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiri dengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut hingga aurat terlarangnya tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik celananya ke atas.
Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagi di tempat itu.
DUA
Meskipun hatinya kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa masih mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi dia masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala Desa sialan! Enak saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian. Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda debu dan darah sambil jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke semak-semak di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat.
"Manusia sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"
Si pemuda yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak berjongkok seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau perempuan karena sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh pakaian putih yang tadi dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu dia muncul di situ dan gila betul! Masakan aku mau-mauan mencampakkan bajuku menutupi kepalanya begitu rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang jongkok di tepi jalan, lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat tampaklah wajah orang itu. Ternyata dia seorang nenek bermuka hitam yang ketika menyeringai tampaklah deretan gigi-giginya yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda yang memang Wiro Sableng menjadi terkejut karena tidak menyangka nenek itu mengenal dirinya sedang ia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu sebelumnya.
"Aku sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya saja tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua! Berani melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek, memberi hormat membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan maksudku berlaku kurang ajar. Tapi waktu lewat tadi sama sekali tidak melihatmu di sini. Kalau kau memang ada di sini masakan aku berani berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata si nenek sambil geleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang keriput terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun yang menyambar dari balik semak belukar dan kau tidak sempat melihatnya berarti kau akan mati konyol anak muda."
Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkan diriku..."
Si nenek balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa sengaja hendak memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"
Astaga! Wiro baru sadar. Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus mengenakan kembali pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia hendak mengambil pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan tubuhmu!" lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata masih sangat baru. Pakaian itu dilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih..."
Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok sekali dengan tubuhnya. Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak sulaman benang merah bergambarkan mahkota dan keris silang.
"Kau senang mengenakan pakaian itu pendekar muda?" si nenek bergigi emas bertanya.
"Senang sekali nek, sedap dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa arti sulaman gambar mahkota dan keris bersilang ini?"
"Ah, itu hanya sekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau gambar ular tak ada bedanya..."
Sambil bicara si nenek mematahkan sepotong belukar kering di samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada garis panjang, ada yang berbentuk bola, garis bersilang dan terakhir sekali si nenek membuat garis panjang mulai dari tepi jalan di sebelah depannya sampai tepi jalan di dekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku mana pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan pakaian itu pendekar muda. Aku jadi teringat pada Suto Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyak kesamaannya dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto Engging itu nek?"
"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang lalu kami berpisah. Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapi aku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau pasti memiliki paras cantik jelita. Sekarang pun kau masih kulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya. Tapi hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang. Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinan dengan siapapun! Dan percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang perawan sejati! Hik hik hik...!"
Wiro merasa tenggorokannya seperti tercekik dengan keterangan si nenek. Dia cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek. Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak guratan di wajahmu..." Si nenek tertawa panjang sampai keluar air mata.
"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pasti tahu banyak tentang diriku. Sebelum kita berpisah maukah kau mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang memanggilku Nenek Hitam Bergigi Emas. Hik hik hik..."
"Terima kasih kau telah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasih lagi atas pemberian pakaian ini. Aku minta diri sekarang!"
Wiro menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wiro merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia tidak bisa meneruskan langkah, malah kakinya terbanting ke belakang. Dicobanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun berpaling pada nenek yang saat itu masih tetap jongkok di tepi jalan sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa luas dan tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan. Mohon diberikan petunjuk..."
Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh peradatan. Mengapa banyak orang mengatakannya kurang ajar, konyol dan bersifat seenaknya? Ah, lama-lama aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek, kau seperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewati garis aneh yang kau gurat di tanah ini..."
"Oh itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garis itu. Setelah garis hapus kau bisa lewat..." menjawab Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang dikatakan si nenek. Dia membungkuk. Dengan telapak tangan kirinya dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah jalanan. Setelah hapus dia coba melangkah. Ternyata dia kini bisa melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong tak ada lagi.
"Kau luar biasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan tangan kanannya ke mulut. Terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya seraya berkata,
"Ambillah! Mungkin ada gunanya di saat kau kesusahan..."
Wiro ulurkan tangannya. Si nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda. Ketika diteliti ternyata sebuah gigi emas yang masih basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima pemberianmu ini nek," kata Pendekar 212.
"Kau jijik?!"
"Tidak..." jawab Wiro agak gagap karena memang walau gigi palsu itu terbuat dari emas namun ada rasa jijik dalam dirinya. "Jika ini kau berikan berarti kau akan kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya banyak persediaan gigi seperti itu!" berkata si nenek. "Lihatlah!"
Lalu dari dalam sebuah kantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi emas. Dia mengambil tiga buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang ompong. Gigi kedua ternyata bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil menunjukkan barisan gigi emasnya.
"Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."
Wiro garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas pemberian gigi emas ini nek. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi sambil menggenggam gigi emas di tangan kanannya.
********************
Tiga hari setelah suami istri Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki Demang Wesi mendatangi rumah kediaman orang kaya di daerah selatan itu bertemu dan bicara dengan puteri yang merupakan anak tunggal mendiang suami istri yang Malang itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku Winayu..." Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa memanggil gadis itu dengan sebutan anak mengingat hubungannya dengan Ageng Lontar yang terkait pada hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku malam ini guna menyambung pembicaraan kita dua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengan sebutan pakde begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat membongkar rahasia pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku hati-hati serta bersedia memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang perjuangan kelompok tersebut..."
Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu. Maka diapun bertanya, "Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde katakan tadi? Lalu sumbangan bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak mengerti. Kepala saya pusing..."
"Jika kau merasa kurang sehat, pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapa hari di muka."
"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan saat ini juga kalau bisa!"
"Itu tidak mungkin aku lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balik kematian kedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkar tabir rahasia ini lalu membekuk pembunuh itu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan menerangkan siapa-siapa yang ada dalam kelompok itu..."
"Tunggu dulu pakde. Hari ketika ayah dan ibu ditemukan tewas di atas delman bukankah pakde telah mencurigai seorang pemuda. Pakde menyuruh tangkapnya tapi gagal. Orang itu berhasil melarikan diri..."
"Memang berat dugaanku saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi hingga aku tidak berdaya menghadapinya. Namun aku yakin dia tidak bekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk mencari tahu di mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga telah bersedia untuk mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda itu."
Winayu Tindi menyeka peluh di keningnya. "Sekarang ceritakan kelompok yang pakde katakan tadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk. "Aku akan terangkan Winayu, asal kau mau berjanji untuk merahasiakan apa-apa yang kita bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalah Kerajaan..."
Bertambah tidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan dan lebih dari itu ingin mengetahul siapa pembunuh kedua orang tuanya maka Winayu anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku akan mulai. Dengar baik-baik dan jangan bertanya sebelum keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula. "Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedang gering. Di dalam keraton tersiar kabar bahwa ada kemungkinan orang-orang tertentu tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai haknya atau tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan Sri Baginda telah membuat surat wasiat. Sebelum baginda wafat, sebelum orang yang tidak berhak menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran Adi Bintang Sasoko sebagai pewaris tahta. Menurut silsilah saat ini dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia putera tertua meskipun bukan dari istri pertama Sri Baginda..."
"Tetapi bukankah Pangeran itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak dia berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu hanya fitnah yang sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang mendukung Pangeran Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura, ditambah oleh banyak sekali tokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya akan masuk ke Kotaraja. Begitu tahta jatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para pendukungnya termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada Sri Baginda nanti..."
"Saya tidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu. Lalu menuntut balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul...! Aku juga tidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya kuterangkan panjang lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya mereka yang bisa membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakde adalah salah seorang anggota kelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang menjadi penggantinya. Kau harus bergabung dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamu pakde?"
"Harus. Demi meneruskan cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang akan membantu mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat ini kelompok sangat membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan makanan! Kau bisa menyumbangkan dua hal. Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok pakde itu. Soal bantuan saya tidak keberatan..."
"Terima kasih anakku. Kalau kau bersedia membantu kelompok kami sudah sama artinya kau telah bergabung dengan kami..." Ki Demang Wesi ikut berdiri. Dia menyerahkan sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa ini pakde?"
"Kebaya dalam berwarna biru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik..."
Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan yang tadi diserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelai kebaya panjang berwarna biru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketika kebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan keris bersilang dari benang merah, terletak di bagian dada kiri kebaya itu.
********************
TIGA
Pendekar 212 Wiro Sableng terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran Wonosari. Semua orang yang ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat, paling tidak menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah aku ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habis pikir dalam hati.
Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan, penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang ada di situ membuat Wiro jadi salah tingkah. Semua orang yang sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul di pintu kedai. Pemilik kedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan mempersilahkannya duduk di kursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri mendapat kunjungan raden..." begitu pemilik kedai berkata.
"Raden... Aku dipanggil raden..." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini..."
"Raden, silahkan duduk menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling enak dan segar. Apakah raden ingin minum tuak nomor satu...?" bertanya istri pemilik kedai.
"Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak nomor satu..." Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani memungut bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan raden..." Lalu suami istri pemilik kedai itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan.
Wiro memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya buru-buru menganggukkan kepala. "Aku ini dikatakan orang penting... Gila! Apa sebenarnya yang terjadi di kota ini. Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang tampangnya mirip wajahku yang jelek ini. Ha ha ha... Eh, tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa...? Ah perduli setanlah! Perutku lapar, makan dan bayar lalu pergi. Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi bagaimana semua ini bisa terjadi...?!"
Tak lama menunggu hidanganpun diletakkan di atas meja. Mulai dari sebakul nasi putih harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk besar lalu masih ada kerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambal terasi di cobek besar.
"Silahkan makan raden, silahkan..." Kata pemilik kedai berulang kali sambil membungkuk-bungkuk sementara istrinya meletakkan sebuah cangkir tanah dan buli-buli berisi tuak harum.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuak nikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua matanya setengah terpejam saking enaknya tapi juga mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin istirahat, kami sudah menyiapkan kamar untukmu..."
Wiro menguap lebar-lebar, tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanan dan minuman yang telah disantapnya.
Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden, jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makan dan minum tidak usah dibayar..."
Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh... aneh..." katanya dalam hati. "Tidak usah bayar demi perjuangan. Begitu...?
"Betul sekali raden."
"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat tinggalkan kedai itu. Ketika dia pergi semua orang berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Suami istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata, "Baru sekali ini aku menemui yang seperti dia. Benar-benar pejuang yang tidak mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang itu istriku. Jangan sampai terlihat dan diketahui oleh orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa kita dituduh menghambat perjuangan!"
********************
Di luar Wonosari terdapat sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda. Karena ingin mengambil jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus pemandangan tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil bersiul-siul. Suara siulannya bergema di hutan jati itu.
Tiba-tiba pendekar kita hentikan siulannya. Ada suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro melihat ada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu singkat delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas mereka sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka adalah tujuh orang prajurit kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda
Perwira itu memperhatikan Wiro sesaat. matanya tertuju pada sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri pakaian putih sang pendekar lalu diapun berkata, "Kami tidak ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baik-baik"
Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapa tidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia mempunyai kedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyak keterangan darinya. Kembali ke tempatmu prajurit!" Jawab sang perwira dengan suara agak berbisik.
"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambil garuk-garuk kepala. Baru saja beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya merasa seperti seorang pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi perlakuan yang jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih bertanya dengan baik maka aku akan menjawab dengan baik pula," menyahuti si perwira muda. "Kau kami tangkap dan akan dibawa ke Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampai ditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuri dan merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa lalu keluarkan suara mendengus. "Jangan berpura-pura tolol!" dia mulai keluarkan suara keras. "Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangan kasar?!"
"Gila! Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh menyerah! Apa-apaan ini!"
"Kalau begitu kau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu berteriak pada anak buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh prajurit melompat turun dari kuda masing-masing. Tiga orang menghunus senjata untuk melindungi empat kawannya yang ingin meringkus Wiro. Pendekar 212 tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas kau adalah salah seorang pentolan berbahaya yang tengah dicari-cari!"
"Pentolan? Aku pentolan? Pentolan apa...?"
"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali lagi dia berteriak memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro.
Maka tujuh prajurit itu kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya dihantamnya dengan satu jotosan sehingga orang ini terpental dan menjerit kesakitan. Dua kawannya balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih dahulu diterjang jotosan pendekar 212.
Melihat ini prajurit-prajurit yang memegang senjata tanpa menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masing-masing ke tubuh dan muka Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekal tubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan kini mengerang kesakitan sambil pegangi perutnya yang kena tonjok. Ketika tiga senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata. Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan senjata terpaksa menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda di atas kuda marah sekali.
Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus sebilah golok pendek yang menjadi senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertanda bahwa perwira ini memang terlatih dan memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang sangat ganas tanda dia memang ingin membunuh lawannya saat itu juga.
Wiro berkelebat mengelak dengan cepat. Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira hanya menghantam tempat kosong. "Perwira! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada silang sengketa denganmu!"
"Kau memang tidak ada silang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwira itu lalu kembali memburu dengan serangan-serangan gencar.
"Gila! Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena di depannya kembali perwira muda itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjata itu benar-benar berbahaya kini. Wiro sadar dia tak bisa bertahan dan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan pasti akan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiap untuk kirimkan serangan balasan tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira! Bahaya mengancam di bawah bukit!"
Perwira muda itu melompat mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling pada prajurit yang barusan datang. "Ada apa?!" tanyanya.
"Serombongan pasukan musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang tengah menuju kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokoh silat dari timur. Kita harus menyingkir dari sini. Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu prajurit yang datang memberikan laporan.
"Kalian semua lekas menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan mati konyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang begitu besar!" jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku yang memerintah di tempat ini! Kalian jangan berani menampik!"
Mendengar itu delapan prajurit yang ada di tempat itu tidak berani membuka mulut lagi. Mereka segera naik ke atas kuda masing-masing, padahal beberapa di antaranya berada dalam keadaan terluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi. Kedelapan prajurit itu segera menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar yang datang dari bawah.
"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka memang pantas untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa jurus lagi!"
"Edan! Perwira macam apa kau ini!" teriak Wiro penasaran. Dalam hatinya kini muncul niat untuk menghajar perwira itu habis-habisan. Tapi sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benar-benar tahu rasa. Dengan tangan kirinya Wiro patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia pergunakan sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjata sebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro menyeringai mendengar ucapan perwira itu dan menjawab, "Menghadapi perwira tolol sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata. Ranting ini sudah lebih dari cukup!"
"Bangsat! Kau akan menyesal sampai keliang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar. Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting di tangan kirinya diputar berlawanan arah dengan putaran golok si perwira. Perwira ini merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya. Angin yang keluar dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapi tubuhnya sampai bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak.
Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan lawan. Sewaktu si perwira berkelit ke samping murid Sinto Gendeng cepat pukulkan ranting ke kiri. Terdengar suara sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam belakang tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental.
Dia coba melompat untuk menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting. Untuk kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun ke tanah kembali dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambil bolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan! Perwira totol! Kalau aku jadi Raja, manusia macammu tak akan terpakai! Ini, ambil kembali golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata ini menancap satu jengkal di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampai setengahnya.
Merasa malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itu cabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya habis-habisan. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah itu tak sanggup dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu pergunakan pula tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Golok di tanah sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau mencabut golok saja tidak sanggup bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat kurang ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak dapat dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di tanah.
Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam muka si perwira. Golok yang ada dalam pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan ujungnya yang runcing tajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel, Wiro putar tangannya. Golok membalik ke kanan, berputar di pertengahan ranting seperti sebuah titiran.
"Manusia keparat, jangan kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan kosong!" teriak perwira muda itu lalu sekali lompat dia sudah menerjang dengan tendangan dan jotosan.
Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba pendekar ini tarik ranting dari badan golok. Senjata ini mental ke bawah, gagangnya menghantam kening si perwira dengan keras. Sang perwira menjerit kesakitan, mundur terhuyung-huyung sambil pegangi keningnya yang mengucurkan darah!
Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itu diikuti oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian kelabu. Dua penunggang kuda di sebelah depan adalah dua orang kakek berwajah hampir mirip satu sama lain.
Pada dada pakaian hitam yang mereka kenakan tampak ada gambar mahkota dan keris bersilang yang disulam dengan benang merah. Anggota rombongan lainnya juga memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek berpakaian hitam yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek di pinggangnya masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelah kanan keluarkan ucapan,
"Ah..ah..ah...! Kalian berdua baru saja selesai berlatih!"
Kakek yang satu menimpali, "Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya kulihat salah satu dari kalian sampai-sampai mengucurkan darah di kening!"
Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka darah yang masih mengucur dari luka dikeningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hati siapa pula dua kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini banyak. Tadi jelas dia mendengar sendiri bahwa orang-orang yang baru datang ini adalah serombongan pasukan musuh
. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan perwira muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita tidak punya waktu banyak. Malam ini ada pertemuan penting. Pangeran tidak ingin melihat ada yang datang terlambat! Mari..."
"Eh, apakah kau bicara denganku juga?!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan bicara.
"Apa kau kira aku bicara dengan penghuni gaib bukit Jati ini?!" sahut si kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota dan keris bersilang di dada pakaian si kakek. Untuk pertama kali dia ingat akan gambar yang sama di dada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh... apa artinya gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan sulaman di dada pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dari Nenek Hitam bergigi Emas...?"
Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak enak. Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama di dada pakaian mereka dan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka berada dalam satu kelompok yang sama? Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam Kerajaannya.
Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga ada sulaman benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro jadi memandang lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakek berseru.
Dua orang lalu maju menuntun dua kuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwira saling pandang.
"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi aba-aba.
Si perwira muda langsung melompat ke atas punggung kuda. Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak seperti orang bingung, sahabat?!" bertanya si kakek hitman di samping kiri.
"Kalian mau mengajakku kemana?!" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Kemana lagi kalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah kau masih mau bertanya? Kita orang-orang satu golongan! Aku sudah melupakan kejadian tadi! Anggap benar-benar sebagal latihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil memandang berkeliling. "Apa yang sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang ini...! Gila! Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku harus ikut dengan mereka!"
Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who melihat delapan sosok tubuh berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah. Semuanya sudah meregang nyawa dengan tubuh penuh luka. Wiro melirik ke arah perwira muda yang kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauh di sampingnya. Di saat yang sama perwira itu juga berpaling ke arahnya, tersenyum kecil dan kedipkan mata!
EMPAT
Dalam perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada yang membuka mulut atau bicara. Tampaknya mereka dipe-rintahkan untuk membungkam diri. Dua kakek berpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda yang ternyata adalah seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini bergerak puluhan penunggang kuda berpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu di tengah-tengah mereka.
Walau ada hasrat untuk menyelinap dan kabur dari rombongan itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk ikut terus guna mengetahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang Sasoko. Lalu apakah dia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi Emas yang memberikan pakalan putih bersulam mahkota dan keris bersilang itu?
Karena rombongan tidak mau menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu setengah kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru sampal di tujuan yakni bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan jarang didatangi orang.
Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragam perajurit Kerajaan. Kelompok ini langsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang mereka kenal. Semua kuda ditambatkan, ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek berpakalan hitam memandang berkeliling, mencari-cari Wiro Sableng yang saat itu duduk memencilkan diri di bawah sebatang pohon kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu memberi isyarat untuk mengikuti. Bersama-sama dengan perwira muda dan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang tua itu. Mereka bergerak ke bagian teluk yang penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau.
Setelah merancah air laut sebatas mata kaki dan menyibak kelebatan pohon-pohon bakau keempat orang itu sampai di sebuah gundukan tanah keras bercampur batu yang di bagian tengahnya merupakan sebuah lobang besar atau mulut goa selebar dan setinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang sesaat pada perwira muda itu, lalu pada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari bagian bawah sampai dinding dan langit-langitnya. Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak lama kemudian mereka sampai pada ujung goa yang ternyata terletak pada sebuah bukit kecil yang penuh ditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat. Sinar matahari yang hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan.
Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ dibangun sebuah gubuk panjang tanpa dinding. Sepanjang gubuk terdapat meja papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang yang juga terbuat dari kayu hutan, setiap sisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang ke arah mereka sementara di kepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemuda berpakaian sangat mewah, bermuka agak pucat dan setiap saat selalu tersenyum-senyum menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.
Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama di kepala meja terdapat banyak makanan. Kendi-kendi tanah berisi tuak tak terbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru datang ini mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang Wiro dan si perwira di bangku panjang lapis belakang bagian tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas pipanya, berpaling pada pemuda berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan berkata, "Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting ini bisa kita mulai Pangeran Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko mengangguk lalu tertawa gelak-gelak. "Aku sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah lapar dan haus! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu sekenyang-kenyangnya! Ha ha ha...! Eh, kau setuju calon patih Kerajaan?!"
Si gemuk yang disebut sebagal calon patih membuka mulut dan setengah berteriak menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di situ langsung menyambar hidangan dan meneguk minuman yang ada di atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!" seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih duduk berdiam diri.
"Atau mungkin dia menunggu sampai calon patih kita marah?!" seseorang berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang lainnya.
Wiro akhirnya mengulurkan tangan juga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke dalamnya tiba-tiba dia mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di telinganya.
"Pendekar muda... Kau boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di atas meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itu telah berubah menjadi minuman celaka! Minuman itu beracun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua matanya berputar memandang berkeliling. Siapa gerangan yang barusan bicara jarak jauh dengannya itu? Satu persatu dipandanginya wajah orang-orang yang ada di tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran Adi Bintang Sasoko sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil melahap paha ayam.
Semua orang termasuk Pangeran Adi meneguk tuak yang dihidangkan, malah ada yang begitu lahap hingga berceceran menumpahi dagu dan pakaiannya. Wiro melihat bahwa ada dua di antara orang-orang yang ada di situ hanya berpura-pura minum. Tuak yang diteguknya hanya dilelehkan ke bawah dagu!
"Semua sudah kenyang dan puas mlnum?!" tiba-tiba si gemuk yang disebut calon patih berseru.
"Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti.
Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi. "Pangeran, saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk, matanya berputar-putar lalu Pangeran yang berotak tidak waras ini tertawa gelak-gelak. Si gemuk berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata,
"Sebelum pembicaraan penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga kerahasiaannya! Pohon di sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi manusia penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum pembicaraan dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar kita saling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Raja kita semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat ini sedang gering! Bukan begitu Pangeran Adi?!"
Pangeran Adi berdiri dari duduknya, menjura dan berteriak. "Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya aku! Ha ha hal!"
Si gemuk kembali membuka mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal menduduki jabatan Patih Kerajaan!"
Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Terdengar suara meletup dan lidah api mencuat keluar dari celah dua telapak tangan itu. Semua orang berdecak kagum melihat hal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto kembali duduk. Dia memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari duduknya, menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus orang perajuritku siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang ketiga tegak pula dari bangku kayu. Seperti Adipati Klaten tadi dia juga menjura, mendongak sebentar lalu membuka mulut. "Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha! Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuang bersama Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang menjadi pejabat Kerajaan!"
Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke atas meja. Ternyata kaki kanannya memang terbuat dari kayu. Dengan satu gerakan seperti asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja. Papan meja yang terbuat dari kayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembali ke tempat duduknya.
Orang keempat berdiri dari bangkunya. Dia seorang kakek bermuka cekung, mengenakan baju hijau yang kebesaran dengan sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri. Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua pakaian para yang hadir di tempat itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki kuku-kuku panjang berbentuk aneh seperti seperti pisau-pisau kecil!
"Aku tua bangka jelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan melihat sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke bangkunya.
Orang kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat. Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasal dari Kadipaten mana, sambil tak lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnya sudah bersiap sedia, maka masing-masing kembali duduk di bangku panjang.
Orang yang ke sepeluh adalah satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga ikut-ikutan pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini..."
Si kakek menunjuk pada kakek satunya yang duduk di sebelahnya, "Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tombak Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaan dan adikku menjadi wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan adikku Tombak Dewa Kedua! Soal kepandaian kami pernah merajai rimba persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat ini kami tidak enak badan, tak mau pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang kedua belas adalah perwira muda yang duduk di samping Wiro Sableng. Setelah mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri. "Namaku Aryo Ladam. Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi mulai detik ini jabatan itu tidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin banyak di antara para hadirin memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Sebelum berangkat ke mari aku telah berhasil membina sekitar enam puluh perajurit dan dua perwira muda untuk berjuang di pihak kita. Mereka semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko tersenyum-senyum sambil meneguk tuak. Sambil mengangkat kendi tuak Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kau akan aku angkat sebagai Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkan dua tingkat!"
"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu duduk ke tempatnya kembali.
Kini giliran Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan diri. Setelah menggaruk kepala lebih dulu, pendekar ini berdiri dan menjura ke arah Pangeran Adi serta Si Tapak Api. Sikap ini membuat kedua orang itu merasa senang karena sebelumnya tidak ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar pengangguran yang dicap berotak kurang waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir di sini menjadi tujuanku pula! Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah. "Persetan dengan perjuangan gila ini? Aku ingin buru-buru pergi dari sini! Edan, mengapa aku sampai terdampar di antara para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali, lalu disusul suara orang bicara. Yang bicara adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak disangka-sangka kalau tokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara kita Pendekar 212, apakah keikutsertaan mu bersama kami mendapat restu dari gurumu di puncak Gunung Gede...?!"
"Ah, si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin Wiro. Pendekar ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedang tidak di tempat. Aku hanya meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan..." Wiro berdusta.
"Bagus... bagus... Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya menyertai kita. Tapi yang ada sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke empat belas yang duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang ke lima belas adalah yang paling lucu, paling konyol gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besar tetapi seperti yang lainnya di dada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris bersilang. Rambutnya yang panjang digulung ke atas dan pada ujung gulungan diberi pita merah.
Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotan dari bibir sampai ke pipi dan dagu sedang alis mata diberi jelaga hitam bercelemongan. Orang ini berdiri dengan sikap malu-malu seperti perempuan. Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri.
"Namaku Tatata Tititi. Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya kepandaian silat! Tapi pandai bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu menunjuk pada sepiring makanan di atas meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di atas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro pejamkan matanya. Ketika kedua mata dibuka dan mereka memandang ke arah piring! Astaga! Memang diatas piring itu kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi seonggok tahi kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua matanya!
"Jadi tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau... hik hik hik!" orang bermuka celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya bergurau. Lihat sekali lagi. Apa yang ada di piring memang makanan!"
Dan ketika semua orang memandang lagi ke arah piring, memang di situ kini tampak makanan seperti semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah makanan jadi tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri Baginda menjadi tahi kerbau! Hik hik hik!"
"Tukang sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba terangkan, kau ini lelaki atau perempuan!"
"Hik hik hik! Aku bukan lelaki bukan perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu...?!" Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan pertanyaan.
"Aku banci! Hik hik hik!"
"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baginda!" Membentak Si Tapak Api.
"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan pakaianku! Mau melihat...?!"
Pangeran Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan goyang-goyangkan tangannya ketika Tatata Tititi hendak menyingkapkan pakaiannya yang lebar.
"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok dengan kami!" ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti..."
"Maaf, namaku Tatata Tititi, Pangeran. Bukan Tatiti...!"
"Oh, ya aku kesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada Suto Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit tampak tambah sipit ketika dia memandangi satu persatu semua orang yang ada di tempat itu.
"Saudara-saudara satu perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat ini harus dibersihkan darl penyusup mata-mata musuh!"
"Eh...! Apakah ada mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu alias Sumo Kandil.
Suto Gunoro menyeringai buruk. Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi memperkenalkan diri dengan juiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan kepalanya.
Melihat isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit dart kursinya. Kedua matanya memandang menyorot satu persatu pada orang-orang yang ada di sekitar meja. Kedua tangannya sailing digosok-gosokkan. Kuku-kukunya yang beradu satu sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak beda seperti pisau-pisau saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah memutari meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana terpaku. Wiro merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepala berhenti melangkah dan tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuh tadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan kanan, diam-diam menyiapkan pukulan sakti Sinar Matahari. Kedua telinganya dipasang tajam-tajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan menghantam.
Dibelakangnya Si Pengupas Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat tangannya, mencekal leher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya. Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekik ketika bicara. "Lepaskan! Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru untuk bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya Raja...?!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara menggereng. Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang dilemparkannya ke atas meja besar. Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerinda. Terjadilah satu pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka dikelupas oleh kuku-kuku maut itu! Hanya beberapa kejapan mata saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah..." bisik Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya yang bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata,
"Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada dalam penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin sekali dia meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si Tapak Api berseru.
"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat yang mulal tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
LIMA
Yang datang ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di dada kirinya.
Gadis ini tampak agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke arah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya.
"Tak ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman seperjuangan..."
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum dimulai!" Si Tapak Api berseru.
Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Harap maafkan... "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura. "Aku terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik begitu perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku sebagai ayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya memandang tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik.
"Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan sangat besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si cantik jelita ini...?!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju. Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti nyamuk mengiang dikedua telinganya, "Anak tolol! mengapa mulutmu selancang itu mengatur perjodohan orang?! Sableng!"
Wiro merasakan mukanya jadi merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-cari siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa? Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibu saya...!"
"Oh begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!" berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau..."
"Rupanya kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang melakukan...?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi..."
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah. Sadar kalau mulutnya ketelepasan. "Maafkan aku sahabat. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi kata-kataku tadi memang tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing betina yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran gila itu...!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah menghisap pipanya panjang-panjang diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang.
Lalu melakukan penculikan terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipati, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua harl dimuka, dinihari menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan terhadap para tokoh silat Istana. Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis Kaki Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak sampai sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman ini, dan juga tidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan yang ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu ditempatl oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko bersama Si Tapak Api.
Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi untuk para anggota komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan mereka malam itu ke tempat itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan tempat rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkur di bangku panjang. Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan. Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon Wiro dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik itu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya. Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran memang menyukainya..." Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha ha ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dan kopi hangat pada pagi hari! Ha ha ha...!"
"Ki Demang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan diberikannya dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan tuntas?" Yang bicara adalah Si Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita sendiri..."
"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari golongan putih..."
"Dunia bisa berubah, apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi. "Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam kelompok kita..."
Melihat hal ini Ki Demang Wesi minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hal lagi harus kau jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya..."
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar kata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata, "Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu Sumo... Lagi pula dia menolak untuk diajak serta. Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah dirusak kehormatannya sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu dari suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir kereta..."
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap istri Ageng Lontar! Ha ha ha...! Ceritakan saja saja Ki Demang..."
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu ku tiduri baru kubunuh. Untuk menutup rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha ha ha...!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan saja akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri..."
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutupkan kembali. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget seperti disengat kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir. "Manusia setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-benar dajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itu pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi! Juga tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati konyol!"
S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam saku pakaiannya dan diserahkan pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kita rencanakan? Aku jadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah, hari hampir pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak..." Si Tapak Api menepuk bahu Ki Demang Wesi. Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu. Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia hanya sempat melihat bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu lenyap! Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga siapa adanya orang itu.
Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ? Wiro melangkah mendekati orang ini. Memperhatikannya sejenak.
Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri. Noda yang sama juga terdapat pada kedua telapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi dia rupanya!" Wiro manggut-manggut dan diam-diam merasa lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya itu. Ada seorang teman bersamanya walau dia masih tidak dapat memastikan siapa adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di mana dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itu sudah tahu rupanya..."
********************
ENAM
Sejak siang hujan turun terus. Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu matahari menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan. Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang ke laut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara Pangeran Adi tegak di sudut sambil tersenyum-senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil seolah-olah mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan kaki kayunya.
Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu rumah, memegang sehelai kapas berwana merah. Tengah berhias rupanya si banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata Tititi.
"Eh... Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Suto Gunoro sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita siap bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita segera bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak...? Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai di sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?" bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol. Cuaca bisa membuat kacau gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?! Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah hujan akan reda atau tidak?!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku... semua akan luntur! Hik hik hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain..."
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa. Dia menjangkau sebuah caping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi jangan ada yang berani menolak perintah..."
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa disambutnya dan dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus dengan pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju bagian bukit yang agak tinggi.
Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil kedinginan Tatata Tititi memandang berkeliling, mencari-cari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat. Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengan cabang-cabang yang berdekatan satu sama lain.
Sekali lagi orang yang mengaku banci ini memandang berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun melayang ke atas cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap saja dia tidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambaran kilat lalu suara guntur yang seperti hendak merobek langit.
Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke atas pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang sebelah bawah ditancapi sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang lain dia mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini basah...!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu kepakaiannya agar kering.
Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar marah-marah karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal yang kini berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh si muka seronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi benda bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang batu api itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan kuat dan keras maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.
"Setan alas!" maki Tatata Tititi.
Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras, dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara.
Siapapun yang berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupun hanya seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin. Tatata Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan menenggelamkan goa..."
Lalu dia turun dari atas pohon kembali ke dalam rumah. "Bagaimana? Apa yang bisa kau laporkan?!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam waktu cepat air laut akan pasang dan goa panjang satu-satunya jalan menuju ke pantai akan terendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat. Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai! Aku tak mau mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus jadi Raja! Dan permaisuriku itu... Dia yang nomor satu harus diselamatkan...!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita atur dengan cepat. Kita akan segera meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua tokoh silat dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan tanggung jawab sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo, mereka harus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki Demang Wesi..."
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada apa...? Mana kedua orang itu...?!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan tertotok. Aku berusaha melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-lain. Ketika sampai di rumah sebelah memang di situ hanya ditemui Ki Demang Wesi tegak kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangi pintu. Winayu Tindi sama sekali tak ada ditempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari tangan kanannya ke punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Tapi gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu melarikan diri! Ada pengkhianat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan mata berapi-api lalu menatap semua orang yang ada di situ satu persatu.
"Kalau begitu pendapatmu, berarti calon permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke lantai lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititi. Dia maju mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik celana Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya yang jelek hitam.
"Manusia banci! Apa yang kau lakukan ini?!" teriak Si Tapak Api sementara yang lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan aneh ini ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
"Dutttt...!" Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang menyumpah dan menekap hidung karena baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu hidung. Namun di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokan aneh luar biasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!" tanya Si Tapak Api. "Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Winayu Tindi lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua. Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku... Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu..." kata Tatata Tititi. Tapi sang Pangeran terus meraung seperti anak kecil. Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa?!" membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa. Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai. Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari. Anggota pasukan mulai resah..."
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu. Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam, kuminta kau pergi bersama orang ini..."
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sana! Dua orang pengintai melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur, utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara Pangeran Adi masih terus meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagaimana ini bisa terjadi kalau tidak ada penghianatan diantara kita! Musuh dalam selimut! Penyusup keparat...!" teriak Si Tapak Api sambil kepalkan kedua tangannya. "Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa di antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan! Kalau tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi di luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara bergetar saking marahnya. "Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi dengar kalian semua! Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa! Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta Kerajaan direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ jadi terkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si Tapak Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur selangkah. Sambil menyeringai dia berkata,
"Aku tidak takut mati! Kalian boleh membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian! Silahkan pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu. "Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan mencelakai kami dengan racun dalam minuman?!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap kita! Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini..."
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu. Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh ketika atap rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding bangunan. Beberapa pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat angkat tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak.
"Aku tidak mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si Tapak Api.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi. Begitu sang Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!" memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab Wiro.
"Jangan tolol! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira para tokoh itu masih buta tidak mengetahui apa yang terjadi? Apa kau kira mereka enak-enakan tidur dan ngorok?! Jalankan perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi. "Bebanku berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa panjang menuju ke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu menyandarkannya kesebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke balik serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah kuyup oleh air hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam. Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk diselamatkan lalu disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap untuk menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-tangan pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!" tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidak beda dariku, anak manis..."
"Jangan sebut aku anak manis! Aku bukan anak-anak..."
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiri dengan cepat. "Siapa?!" tanyanya menjerit di antara deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap dan udara dingin bukan main.
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya. Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang terjadi dengan Pangeran gila itu?!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang sebelumnya memang ditambatkan di sekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh silat itu punya mata setajam setan! Jangan sampai kau terlihat oleh mereka!"
TUJUH
Wiro memacu kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda tetapi tiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik terus. Di bagian tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di sebelah depan ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga orang Adipati.
Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan pasukan.
Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan saja karena hujan dan angin badai tetapi juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka penuh semangat dan harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai alam berupa hujan dan angin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu mendadak Wiro mendengar suara mengiang.
"Dalam setiap urusan dan kesempatan, selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana Pangeran Gila itu? Hik hik hik...?"
"Eh, suara itu lagi..." desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu lalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat denganku..."
Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu! Dan aku yakin kau bukan banci! Siapa kau ini sebenarnya badut celemongan?!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu 'bret-bret-breettt' dia merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri?!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke tanah yang telah digenangi air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada sulaman mahkota dan keris bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian berwarna hitam.
Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka celemongan angkat capingnya dari atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari bambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara, menembus hujan dan angin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh.
Ternyata lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa orang-orang di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata Tititi membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini kelihatanlah wajah yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih?!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan keris bersilang itu, kau akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan pakaian itu!"
"Hem... Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!" Wiro berkata. "Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja yang aku robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu menggigit sulaman benang merah dan sekaligus menariknya.
"Brettt...!" Dada kiri pakaian itu kini bolong sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan..." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang lalu, apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh silat Istana yang berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak. Kita sama satu haluan. Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang, Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang lain... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak Api. Yang lain-lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah saling bertemu. Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata, pekik kesakitan dan kematian ditimpal oleh ringkikan kuda serta deru hujan dan angin. Darah mengucur, membuat genangan air laut tampak merah dalam kegelapan malam.
Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia membentak,
"Manusia pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali kalau menginginkan mampus dengan noda memalukan!" Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau menyebrang ke pihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan kanannya. Bekas bawahan dan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingi kehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas kuda. Kelewang Majurai merobek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena mengharapkan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya, sesudah itu nafasnya pun berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok panjang mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan parah, membuatnya menjadi korban pertama berpangkat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan sebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat menyongsong. Dua hantamkan tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan golok.
Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan kepala. Darah mengucur. Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang digenangi air laut.
"Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan berada di pihak Kerajaan...?!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi bukan tokoh silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang sama sekali tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan.
Mereka adalah Si Benang Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang ke jurusan lain, Si Tapak Api melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi berbentuk mata tombak!
Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat Istana ini. Tapi kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang Tombak Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan keras menghantam pangkal lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas. Lalu perempuan ini tarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu, si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu Tindi mendatangi.
"Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.
"Apa maksudmu?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar racun itu! Kami tidak ingin mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau sudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebih cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu! Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah suara kuku-kuku jari Si Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Si Pengupas Kepala. "Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu! Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya maksud busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu lalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau racuni secara keji akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku turut mencuri dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki Demang Wesi seusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka hitam itu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Api gosokkan kedua tangannya keras-keras. Terdengar suara meletup. Lidah api keluar dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent 212. Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging hangus terbakar. Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus dihantam lidah api serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi Emas, maka begitu menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek masing-masing.
Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan pemberontak saat itu terjadi saling serang! Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke dalam komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda yang saat itu diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu meniupnya kuat-kuat. Mendengar tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan hentikan pertempuran dan cepat mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian akan diberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demikianlah sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam mereka merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari tiga arah. Semangat hampir patah, apalagi ketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku hantam satu sama lain!
Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung membentuk lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh Sepasang Tombak Dewa. "Pengkianat-pengkhianat tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga menyerangku dengan ular-ular laut?!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapi terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat pada pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karena di situ kekuatan sihir si nenek muka hitam. Tombak itu sebenarnya tidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular laut. Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing. Begitu senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk aslinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-cepat keduanya melompat dari atas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat.
DELAPAN
Sebilah pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya tergulung oleh benang putih halus tapi semakin dicobanya membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak berdaya. Beberapa perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru menotok keduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku Beracun siapa adanya pemuda tanpa pakaian yang bersenjatakan kapak tengah menghadapi Si Tapak Api itu.
"Apa kau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan kanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!" berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti pada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian kemari dan menyadari kalau dia tak bisa bertahan lebih lama maka pendekar ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah mengamuk. Lidah api serangan Si Tapak Api terpental dan membalik menghantam ke arah Si Tapak Api sendiri.
Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah dan celupkan kepala serta tubuhnya ke air laut saking tidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu terkena air laut, rasa sakitnya malah semakin menggila. Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kini telah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakaiannya. Gerakan ini terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak mendapatkan obat penawar, padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-sama berteriak,
"Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku beracun sudah keburu melesat. Satu menacap di batok kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya. Orang ini tersungkur ke dalam genangan air laut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka tidak menemukan obat itu!
"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa mengekeh.
Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling. Dia melihat Nenek Hitam Bergigi Emas menimang dua benda bulat berwarna putih. Keduanya jadi beringas lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil obat-obat penawar itu tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak Si Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang obat penawar?!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas butir! Hik hik hik...! Aku akan berikan obat ini pada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkan diri pada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai dengan dosa-dosa kalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas. Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika berkelebat menyambar ke arah batok kepala si nenek. Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan terkelupas dan kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat itu menyambar sinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini diarahkan untuk menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putar kapaknya.
"Tringg-Tringg-Tringg...!"
Si Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas kelapa ini! Ha ha hah...!" Yang berseru adalah Si Benang Mataikat. Dia putar-putar gulungan benang halus berwarna putih.
Melihat ada lagi yang hendak menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke arahnya. Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masih utuh.
"Desss! Desss! Desss...!"
Ujung benang sakti berputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan yakin dapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini diulur dan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan kedua tangannya. Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampai ke bawah bahu!
"Setan haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur. Sadar kalau dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke Kotaraja. Tapi tidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya, tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya menendang dengan deras.
"Dukkk...!" Tendangan keras itu menghantam dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung membabat. Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala Si Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketa katamu?!" si nenek tertawa. "Ini bukan silang sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda. Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada kami?!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu tanganmu dan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur melawan mu sampai ada yang mati diantara kita!"
Sebagai jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan lawan, kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya kebawah.
"Trangg...!"
Pedang dan kaki kayu beradu keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu tidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidak bisa dianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan kilat pada titik kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis Kaki Kayu.
Berkelahi di alas pasir yang digenangi air laut ternyata bukan hal yang mudah bagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjadi tumpuan bobot tubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkan kaki kayunya beberapa kali terseok akibat lekatan pasir dan genangan air.
Ketika lawannya mengajak bertempur berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk memberontak ini jadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung pedang menembus dada kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk yang gelap kini diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai mulai mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan puluhan korban. Mulai dari prajurit rendah sampai perwira dan tokoh silat.
Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para tokoh silat Istana. "Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah? Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis Pedang Biru.
Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia telah menotok lalu mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak berapa jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih tinggi, sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya. Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi..."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang Biru.
Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan..."
Semula Winayu Tindi berniat hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang yang terbujur menelungkup bergerak mendekatinya. Namun ketika tinggal beberapa langkah saja lagi dan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas punggung binatang itu, kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriak si gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai ketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu membaringkannya di situ.
Kebetulan ada sebatang pohon kelapa. Punggung dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali dia berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak melihat adanya bekas-bekas luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga berhasil akhirnya Winayu Tindi mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis.
Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama dia tegak menangis di tempat itu ketika di kejauhan dilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya ke arah tempat dia berada. Yang datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang sebelumnya juga telah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakah kau menangisi orang itu? Dia cuma pingsan karena ditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaan mu pada Ki Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!" sahut sang dara.
"Justru dia adalah manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.
"Maksudmu...?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, Aku berjanji akan menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tua mu dan juga kusir delman itu? Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah sendiri? Pakde ku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde... Benar kau yang membunuh ayah dan ibu...?" Winayu Tindi bertanya begitu melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat kalau begitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika kau tidak percaya padaku. Kedua orang tua mu dibunuh karena mereka menolak untuk bergabung dengan komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan melaporkan komplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, juga ibumu dan kusir delman itu untuk menutup rahasia. Bahkan ibumu... dia merusak kehormatan Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi. Si nenek ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya berkata,
"Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi. Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku mengeluarkannya lebih cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ. Di sebelah bawah terdapat cap Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke batok kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu.
Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan. Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya yang hampir terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang lain melepaskan Kapak Naga Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.
Pasang semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik hik hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu. Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng hanya bisa menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan kepalanya ke dadanya.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar