WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : CINTA ORANG-ORANG GAGAH
SAAT itu menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian gembiranya?!"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal dengan julukan Sepasang Kobra Dewata. Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker.
Siapa tokoh silat di Jawa Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata ini? Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih dan baik!
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata,
"Angin kegembiraanmuIah yang agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!"
Singgar Manik coba tersenyum. "Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gandring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai. "Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja sobatku Singgar Manik!?"
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah, akupun tidak punya banyak waktu "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu. Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata,
"Kenapa musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum selesai"
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya, "Apakah tamumu itu pemilik tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu?!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya. Meskipun demikian dia masih menjawab, "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata, "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan. Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu, terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya kemampuan? Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali, "Juga puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kobra Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandring! Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betul-betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan Sepasang Kobra Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak mengikuti berarti melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada Singgar Manik. Kedua kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku..."
"Satu!" Nyoka Gandring mulai menghitung.
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua...!"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur. Nyoka Gandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik. Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir seraya berseru,
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?!"
“Wusss...!”
Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beri pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik. Menghadapi satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit bagi Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang Kobra Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak terdesak!
Dua kali pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri. Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau masing-masing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik. Karenanya begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan Putubayan cepat berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran Singgar Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang diserang menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara keras. Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan ketika diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur.
Di depannya sebaliknya Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek. "Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka Gandring.
"Manusia keparat! Kalau kau mau kan benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun menyerang Nyoka Putubayan. Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai!
Nyatalah benda yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah tangan lawan.
"Brettt...!"
Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk kundai! Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih untung hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah dirinya!
"Adikku hati-hati!" Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan. Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek. "Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan tangan kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan. Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang barusan dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk. Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini ilmu pukulan itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh tusuk kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya saling kedipkan mata memberi isyarat. Lalu didahului dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang lebih dulu dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari Bali ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh. Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak menghantam pergelangan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental!
Singgar Manik menjerit kesakitan. Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru. Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat kemudian darah kental mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat Nyoka Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu. Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu"
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka Gandring.
"Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!" Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan panjang. Tusuk kundai menghantam tepat dikeningnya hingga berlubang dalam dan darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata, "Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya. Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
Di atas tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada. Kepalanya menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras. "Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua menyusut air matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan tangis yang seperti hendak meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu!" berkata lagi si orang tua.
Sekali ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu semua salah saya... Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda perjodohan mu. Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya, "Bagaimana aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng! Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng, pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini tidak buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua mengejar pencuri laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu," Lestari membuka mulut. "Saya tak akan kembali sebelum dapat..."
Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata, "Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti"
Gadis bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika keluar sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini diikat buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah habis menangis namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat. Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin kau dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka jika sewaktu-waktu kau ditimpa marabahaya dan kau tak sanggup menghadapinya seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan..." Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan pondok itu.
Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh dengan pepohonan rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu, gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh gurunya dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan gurunya memberi tahu, mengenai urusan perjodohan itu.
Bagi Lestari dia tak akan menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa semua itu untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya.
Pemuda itu telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah. Hutang nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah dia mencintai pemuda itu?
Memandang ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh.
Mula-mula dia melihat burung-burung gagak hitam pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh langkah lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya, bahkan hampir keseluruhan daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang digerogoti burung-burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi mayat ini. Matanya yang tajam dapat melihat dua buah titik lobang pada kening mayat serta darah yang telah keras membeku. Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau. Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan pakaian. Lengan pakaian siapa?
Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian orang yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu. Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari.
Robekan kain hijau itu lalu dimasukkannya ke balik pakaian merahnya. Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di tempat itu sang dara segera berlalu.
Sebenarnya tampang pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan putera seorang-bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan menggelarinya 'Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat' atau 'Si Pucat Kerempeng' atau lain sebagainya.
Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu pada si pemuda. Di samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya.
Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama dua puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi hingga semasa jayanya dia mendapat julukan Raja Pedang Kotaraja.
Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang perwira muda kerajaan yang mengeroyoknya sekaligus belum tentu dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan kesombongannya. Dan kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau busuk menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak hanya mencari makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di atas makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata melotot dan mulut tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu. Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
"Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat yang ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang sialan!" maki salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama. Banyak lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak berkurang.
Ronggo Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai rumah makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak,
"Kawan-kawan, melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai, apa kalian pernah dengar cerita itu?!"
Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan pernah. Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu. "Sekarang akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi.
Sedang pemuda yang ketiga ikut berkata, "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu Ronggo!"
Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda ini cabut pedang yang selalu dibawanya. "Lihat! Kalian lihat semua!" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya sangat cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan kehebatanku!" Lalu...
"Wuttt...!" Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar biasa!"
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri. Ronggo Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi memandang berkeliling. Memang mau tak mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan dilakukan si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya bertambah sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang benar-benar meyakini bahwa dialah jago pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Ini lagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu. Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah. Seorang dari mereka berkata,
"Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jauh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu. Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata, "Sekarang kalian saksikan sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu meneguk minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata,
"Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke jurusan itu.
Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam buntut kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya dengan hati kagum.
"Amboi!" Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki sedang sepasang mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya. "Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang dihembuskan angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain adalah Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto. Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga temannya.
"Lihat, dia melirik padaku. Ah, tak sangka hari ini aku bakal melihat bunga yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar. "Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri. Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya berdiri dan melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir sebentar pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?"
Ronggo Bogoseto bertanya sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa. Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur. Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah seperti delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya.
"Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan. Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
"Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya. "Sayang kau terlambat datang. Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali membabatkan pedangnya!"
"Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata, "Kalau kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan permainan pedangku!"
"Oo begitu?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati dia menambahkan, "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata, "Jadi kau mau melihat kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usap-usap dada.
Lestari hampir tak melihat kapan tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan tergerai di bahunya. Di saat yang sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
"Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji. Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola mata meliar.
"Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak. "Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!"
Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan terdengarlah suara...
"Tringg-Tringg-Tringg!" tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah putus tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan yang membuat mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawan-kawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
"Benar! Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari arah pintu rumah makan.
Besiur angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin deras tersebut!
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu. Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya gagah.
"Bangsat! Siapa kau?" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak membiru.
"Siapa aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan! Angkat kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahai! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina! Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat perempuan cantik!"
Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda ini tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg... Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung Raung?" tanya Lestari.
"Ah, syukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat bernama Tapak Biru)
Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini menghardik.
"Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak bermesraan dengan gadis itu di depanku!"
Dengan tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira sudah minggat bersama kawan-kawanmu!"
"Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan. Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo... jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji kawanku ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya kau Pangeran? Hik-hik-hik!"
"Setan alas!" Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
"Srettt..!: Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang pemuda berteriak memberi semangat
Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga. "Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya Gajah Biru, sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading gajah.
Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang keterlaluan dan menjadikannya pongah sombong. Dia melangkah mendekati Panji Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar. Demikian sebatnya hingga benda itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur deras dan bertabur ke arah kepala Panji Kenanga.
Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku ini!" Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga. Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan semua serangan.
Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh. Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur bergulung-gulung. Dia coba menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan pedang lawan yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaian.
Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
"Tranggg...!" Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang pedang itu sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur. Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya yang ada di langit-langit.
Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua orang yang ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja Pedang Kotaraja dapat dikalahkan oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji. "Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan teruskan perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa malu dan seperti tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka menuju ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang menghadangnya adalah Lestari.
"Mau ku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari.
Namun pukulannya ini dengan mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras.
Tak ampun tubuh ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di tanah. Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari hidungnya. Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu kemudian dekati si gadis. "Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau Jembangan"
"Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus kujalani.
"Hemm... tugas, urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
Panji Kenanga memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul. Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi, berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna memutih. Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah Ronggo, manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus sesaat menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya, "Apakah kami berhadapan dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
"Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan seperti puteranya. Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata,
"Kau sudah membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian dan melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku merupakan penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih berani bicara kurang ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan. "Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang. "Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini layangkan tamparan ke muka si gadis.
Namun baru setengah jalan sebuah benda keras membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji. Namun serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah tempat.
Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat mengambil pedangnya dari langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia kemudian memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu!"
"Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti menghajarmu? Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum puas hatiku!"
"Wuttt...!" Pedang di tangan Ronggo berkelebat.
Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu..." Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti mukanya akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung menguning Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia juga mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi, apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis.
Setelah dua jurus menyerang tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah. Namun kursi di tangan lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkali-kali dia berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan kanannya.
"Trakkk!"
Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu dia sendiri tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga.
Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya bukan senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh jurus lagi Panji bertahan mati-matian. "Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan yang mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri. Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi diri.
Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan sinar biru.
"Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini babatkan pedangnya ke bawah.
"Tranggg...!" Dua pedang beradu keras.
Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali dia menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati.
Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh benjut, dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali. Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing"
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. "Kalian berdua telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa membawa bencana bagi diri sendiri! Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!"
Lalu orang tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan pu teranya yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru,
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi hukuman pada mereka?!"
"Kaulah yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan...
"Plakkk...!" Tamparannya melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak tahan menanggung malu, dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya menyusul di belakang.
Kuda putih polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji Kenanga. Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab. "Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang harus kau jalankan itu."
Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian. Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis di hadapannya itu. Paras yang tak pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di Jember.
"Lestari..."
Dara itu mengangkat kepalanya. Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian"
"Cukup hangat di sini. Panji"
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan angin malam. "Seseorang telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu walau dia tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat. Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi beberapa tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita akan menyelidikinya bersama-sama."
"Kita?" ulang Lestari.
"Ya... Kau tak suka aku bantu?"
"Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh silat golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya..."
"Itulah yang harus kita selidiki Lestari..."
Sang dara hanya mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk kundai sakti itu. Namun sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai tikar kulit dan selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini...." katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga..."
Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
"Terima kasih. Kau baik sekali..."kata Lestari polos.
Panji tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum memejamkan mata. Kesunyian malam kadang-kadang digemeretaki oleh suatu ranting kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro?"
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu baru"
Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka. Apakah Wiro mengetahui hal itu? Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus angin.
"Lestari..."
"Hemm... Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur..."
"Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan"
"Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah mencintai dan dicintai seseorang...?"
Pertanyaan Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut. Dia sadar wajahnya saat itu pasti menjadi merah.
"Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu..."
"Soal cinta belum terpikir olehku..."
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu"
Panji tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh hati..."
"Aku harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing"
"Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau mencintaiku...?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi..." Kata Lestari. Namun diam-diam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
"Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Aku!" jawab Panji Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu. "Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar. "Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Memangnya aku ini apa sih!"
"Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta. Lalu bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya "
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan"
Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu akhirnya picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
"Lestari..." bisik Panji. "Dengarlah..." Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu. "Aku benar-benar mencintaimu..."
Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat. Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji... jangan..." bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya. "Jangan..." bisik Lestari lagi.
Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya. Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti terbang. Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
Menjelang dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan perasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak memicingkan mata barang sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang dirasakannya laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang dara menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji berkecimpung di air telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara. Serta merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas memeluk pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra dengan Panji Kenanga.
Apakah ini berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam hati gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga? Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin lebih jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji Kenanga dapat menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu teriakan keras.
"Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
Lestari terkejut dan cepat paling kebelakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak dikenalnya. Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong yang kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena dalam waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Siapakah adanya orang ini?
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah makan itu. Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga serta Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam kesumatnya terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang patah, dengan menunggangi seekor kuda pemuda ini meninggalkan kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah sebuah candi tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu tinggi.
Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di candi tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke dalam candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut terletak sebuah lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin. Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu..." panggil si pemuda. "Randu Wongso... Apakah kau ada di sini...?"
Tak ada jawaban. Tetapi telinga Ronggo tiba-tiba mendengar suara seseorang. Suara perempuan merintih! Dia memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan balok-balok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian belakang. Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan balok itu.
Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara kesuraman sinar lampu minyak. Di sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang perempuan! Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!" Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki. "Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau kurengkahkan batok kepalamu?!"
"He-he-he...!" Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang akan sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!"
Ronggo melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu. Telinganya terus menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas Randu Wongso yang memburu. Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Randu Wongso keluar dari balik tumpukan balok. Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan bejatmu masih belum berubah Randu! Perempuan mana pula kali ini yang kau rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa kali kau tiduri?!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya. "Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan... Ha-ha-ha! Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan dua hari. Tak lebih. Tapi dia... sudah lima hari berada di sini..."
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus mengakui ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan apa urusan pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat tamparan Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian itu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu Wongso.
"Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku..." Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu. Ketika pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap. Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha-ha-ha... Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan mengangsurkannya kepada Ronggo. Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan berikan pada Randu Wongso
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk. "Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi... Heh, kau benar-benar tidak berhasrat terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat..."
"Cepat... cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak lama Ronggo..."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo Bogoseto. Memang bukan satu hal baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok. "Pergilah, aku akan menunggumu sampai selesai..." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
Lestari berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya. Menyadari bahwa dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya berbalik dan menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu sementara Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak Lestari.
"Wah Ronggo! Gadismu ini galak sekali!" kata Randu Wongso.
"Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata melotot.
"Aih, melotot marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
"Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha-ha-ha“ ujar Randu Wongso lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia datang, kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah. "Gadis cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas tangan. Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun kau pergi."
"Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh. "Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak sabaran.
"Meringkus burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari sedang tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
"Wuttt...!" Sinar putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget lelaki ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur. Di hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah seruling terbuat dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya. "Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah ini? "Kulihat gerakan ilmu pedangnya boleh juga!"
"Siapa dia nanti saja kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran!" Kembali Randu Wongo bergerak.
"Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis. Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah dada lawan. Namun kali ini dia tertipu. Serangan Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain.
Lestari tak kalah cepat. Dia putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
"Eh!" Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini kalau dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng. Di balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu, tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!" kata Randu Wongso dalam hati.
Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia menyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman telah digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak menunggu dengan waspada.
Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua langkah. Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan. Baru serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya.
Dengan penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan kosong pula. Dua larik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka! "seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari. Masih untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu dengan berdebar kini mulai was-was apakah Randu Wongso akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
"Randu! Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya. Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu. Bagaimana? Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau ikut dengan dia pasti kau bahagia..."
"Baiklah, aku akan menyerah saja... " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini!" Hampir tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu Wongso. "Terpaksa aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!" Randu Wongso sebatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tringg-Tringg-Tringg...!"
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah Lestari ketika melihat kejadian itu.
“Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya!" Ada rasa takut di hati sang dara kini. Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang yang diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu. Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! " Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu totokan tiba-tiba bersarang dipunggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
Randu Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo Bogoseto pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari. Ketika berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus juga! Kalau tadi-tadi kau mau menurut secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember! Aku akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling pada Randu. "Tolong naikkan dia ke bahu kiriku."
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggulnya meski di bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada lelaki itu.
"Kau tak usah cemburu padaku sobat. Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya apa enak? Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana saja? Nanti baru kau pindah ke Jember."
"Buset! Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu. Jangan ngaco Randu! Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau menuruti kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!"
"WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?!"
Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh kembali ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis itu!"
"Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu Wongso pula.
"Sudahlah! Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang untukmu!" kata Ronggo.
Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh Lestari di bahu kirinya. Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan,
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu!"
Randu terkejut. Randu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih dari balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan kekar.
"Hemm... Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti gadis ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai mampus!"
Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya itu tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak rendah. Apalagi suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga. Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik lekas angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringgai. "Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!" Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata,
"Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di depanmu. Lihat!..."
Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke dada Panji Kenanga!
Murid mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan, juga tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke salah satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut. Kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya miring ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga bahwa Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera menyambut dengan pukulan mega putih. Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh Randu Wongso.
Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya dia mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat. Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
"Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!" menyumpah Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak berkedip.
Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki itu mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin hitam dan gelap legam. "Pukulan mengandung racun jahat!" kata Panji dalam hati dan bersiap waspada. Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak berkedip.
Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji. Murid Brahmana Lokapala itu serta merta angkat pula tangan kanannya dan menghantam sambuti pukulan lawan. Dari tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang menyebarkan bau amat busuk.
Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar putih kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat menghancurkan sinar hitamnya, segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega putih.
Panji Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar, mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari melangkah kehadapannya. Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau membunuhmu saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali. "Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengatur ku Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga. Dari pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh Lestari, bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan siap naik ke punggungnya.
Namun baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri. "Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit. Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak patahan tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu kirinya.
"Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang karena aku telah bantu meringkus gadis itu..."
Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo jadi jengkel. "Tahumu hanya uang dan perempuan..."
"Eh, apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan perempuan...?" ujar Randu pula.
Ronggo tak menjawab. Dia juga tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.
Di lereng bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia mengenakan ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju puncak bukit. Sampai di puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling. Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan...! Tak satu bangunanpun kulihat!" pemuda ini memaki pada dirinya sendiri. "Di mana sebenarnya letak candi laknat itu?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu bangunan pun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya dia menuruni bukit itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso, seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil keterangan pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan ini! Bagusnya aku menyelidik dulu"
Keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa kali sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan langsung masuk ke dalam bangunan tua ini. Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala, hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
"Lampu itu..." desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti sudah lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke Jember..."
Ketika hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tumpukan balok itu. Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak, dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang payu dara yang besar kencang.
Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut ruangan. Di sini dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu kembali.
"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong..." berkata si pemuda.
“Ha... haus... Aku... minum..." lapat lapat terdengar suara keluar dari sela bibir perempuan muda itu.
"Air, di mana akan kudapat air di tempat ini...?"
Pemuda itu memandang berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di dalam kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir perempuan itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata,
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi...?"
"Kau... kau... siapa?"
"Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut..."
"Kalau bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam?”
"Siapa yang memperkosamu...?"
"Ada dua orang..."
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat..."
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu..."
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit..." Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai terisak menangis.
Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendeng menggigit bibir den garuk-garuk kepala. "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang sejuk itu.
"Siapa namamu..."
"Warsih..."
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa mereka itu. Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama..."
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka... Tunggu... Kudengar yang datang belakangan itu menyebut satu nama. Randu... ya Randu..."
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi? Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo..." katanya kemudian sambil membuka mata.”
"Di mana kedua orang itu sekarang?"
"Pergi..."
"Kau tahu pergi ke mana?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi...?"
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu..."
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya... Aku diculiknya dari desa..."
"Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup..."
"Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau sempat aku hamil..." Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui bahwa manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima pembalasan atas dosa-dosanya..." kata Wiro pula.
"Pembalasan... Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!"
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari manusia bernama Randu itu..."
"Kalau begitu kau temannya...?"
"Bukan. Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati. Sekarang, kalau kau sudah cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian. Tetapi baru saja dia berada di balik tumpukan balok, mendadak didengarnya satu suara benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212 melompat ke balik tumpukan balok. Namun terlambat. Di lantai dilihatnya tubuh Warsih masih belum berpakaian, terkapar dengan kepala rengkah bedarah. Perempuan malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah membenturkan kepalanya sendiri ke dinding candi!
Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu. Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.
Pendekar Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah meninggalkan candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini. Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam dan meringkik terus menerus.
Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas perapian. Murid eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan Istana Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini masih terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan menggeser-geserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengelus-elus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan. Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam?
"Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga. Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam hutan. Makin dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak. Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak membiru. Mungkin bekas pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi bukan tegang karena totokan.
"Dia keracunan..." ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia dikeroyok.
Wiro pegang pergelangan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk, cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah menunggu beberapa saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata kapak menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon dan dedaunan yang rapat. Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di... dimana aku... Sakitnya kepala ini... Kau... kau siapa?" kata-kata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali. Sesaat setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih, perlahan-lahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya... aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku...?" Panji meraba mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah..." desisnya kemudian. Dia mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah..." kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saat-saat gawat..."
"Bagaimana kau bisa muncul di sini. Apakah... apakah aku akan menemui ajal seandainya kau tidak datang? Kau pasti menolongku..."
"Soal nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong..."
"Ah! Kita berurusan dengan manusia yang sama..." ujar Panji Kenanga. Kini dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro... kau tahu. Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik Lestari..."
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka berbaju merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang! Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun entah mengapa dara yang satu ini begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena merasa malu.
Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan yang ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa takut. Bukan, bukan takut tetapi mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu oleh Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai di apa-apakan hancurlah masa depannya.
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di Jember. "Dia memiliki ilmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu silat yang dapat diandalkan..."
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit"
"Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong" Wiro tidak menceritakan pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau...?"
"Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga. "Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya. Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
'Aku mencintai Lestari!' "Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai pemuda ini? "Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
"Ya...!"
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya"
Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi apa-apa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
"Sahabatku Panji Kenanga..." sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar karena menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu. Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu...?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu baru dapat membuatmu percaya..."
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa kutinggalkan di sini. Hati-hatilah..."
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan perasaan bergalau. Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan Panji Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat. Karena diapun mencintai Lestari. Tetapi Panji Kenanga pun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak mencintainya, apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti... tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
Seperti yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian depan rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi berwarna hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah terlihat sebuah kolam dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang dua ekor burung merpati. Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah. Tepat di depan gedung besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk kedalam.
Ketika dia sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua. "Bapak, apakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah?" tanya orang tua itu. Nada suaranya tidak menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam melihat pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak rapat.
Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam. Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta sikap yang kasar, Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi bukan Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat. Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu berkata,
"Aku ingin bertemu dengan Ronggo Bogoseto.
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!"
"Aku sahabat lamanya..."
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!"
Wiro garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya."
"Tidak mungkin..." kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
"Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
"Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula. Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman!"
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku. Mau kupuntir kepalamu?!"ancam Randu
"Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu..." Wiro pura-pura ketakutan.
Randu Wongso menyeringai. "Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang. "Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat kelas satu yang ditakuti didelapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah! Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah dia menghajar Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu, berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat terkenal ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik... baik...!" kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi gerakannya kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu. Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang secara berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada lelaki ini.
Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng berkata, "Monyet jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini. Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar kuberikan kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas"
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa amat panas, Wiro menggurat tiga buah angka 212 di kening Randu Wongso. Lelaki ini merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu pastilah dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah. "Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki itu ke luar pagar. "Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia segera masuk ke dalam gedung kecil kembali.
Setelah melewati ruangan depan dan ruangan tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap?
Dia melangkah perlahan-iahan, memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan sebelah kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik. Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya tidak meleset. Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru muda berseperai putih serta penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah menggeluti sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke atas tempat tidur.
"Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di tenggorokannya karena sampai saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun bersuara.
Sejak hancurnya pintu kamar, kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat seseorang melompat ke atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak,
Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri. Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar suara...
"Kraakkk...!" Dibarengi jerit kesakitan dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh namun tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu kamar sambil berteriak,
"Randu! Randu! Tolong...!"
Tak ada jawaban. Ronggo Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah membungkuk, satu cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya mendelik, lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya. Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
"Prakkk...!"
Darah muncrat. Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dia kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata, "Lekas cari dan kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera mengenakannya. "Bagaimana kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan menciumnya sebagai pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju keluar.
Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang terkapar di tanah. "Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata."
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak salah dia kawannya Ronggo..."
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
WIRO SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di mana sosok tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak sanggup hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu Wiro melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus mengatur kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga. "Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya"
Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak tahu malah berkata, "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh..."
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan ini..."
"Itu bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat pergi. "Heran, bagaimana dia tahu kalau Panji mencintaiku?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau antara aku dan dia ada ikatan jodoh? Ah bagaimana jadinya ini...?"
Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan...
"Dukkk...!" Tendangannya menghantam muka Randu Wongso hingga terpental ke dinding. Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih bercelomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan berkata,
"Syukur kau selamat Lestari. Kau... maksudku kita, harus berterima kasih pada Wiro"
Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari.
Wiro melangkah. Dia menggeledah pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh Randu Wongso. Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro Sableng!
Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong. Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada Lestari.
"Satu di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam.
Melihat hal ini Wiro cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan berbahaya!"
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal ini akan menemui kematian di sarang mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan Sinar Matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal seperti gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan pukulan pemagar diri sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung'!
Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang dilepaskan Wiro. Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan darahnya.
"Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan dia bergerak tahu-tahu Randu Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di dadanya, satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah. Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental.
Tidak perduIikan keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali gerakan pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara...
"Kraakkk...!" Tulang lengan kanannya patah disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata,
"Lestari, selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu!"
Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu secepat kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya menyambar ke arah leher lelaki itu.
"Crasss...!"
Lestari terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tebasannya. Kepala Randu Wongso menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya terjungkal jatuh. Bergerak-gerak beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi.
Malam itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil ini Wiro menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil, di kaki sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur. Lewat tengah malam setelah pemuda itu kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekati Wiro dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
"Tusuk kundai itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam..."
Wiro kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun menanggapi, "Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara angkat guruku. Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang. Pasti ada tujuan tertentu..."
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita..."
Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang tidak disangka-sangka ini. "Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk kundai itu..."
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia termenung.
"Ikatan jodoh itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara diam-diam..."
Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke jurusan lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih tampan dari pada Wiro.
Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji Kenanga. Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lestari dan dari gerak-gerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya, maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala..." pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi mereka. Tapi urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari, soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan lamaku. Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan..."
"Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun?" tanya Lestari.
"Tak dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Nah, malam sudah larut. Kau tidurlah..."
Baik Wiro maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur. Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa remuk hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin sekali dia mati saat itu juga!
"Sebaiknya kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku..." kata Panji Kenanga keesokan harinya.
"Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku hanya khawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri," ujar Panji Kenanga.
Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali. Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam. Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja dirasakannya kurang enak.
Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan. Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut perkiraan di situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering berhenti, hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.
Di sebelah timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur ini. Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia menunjuk ke puncak bukit kapur.
Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur. Sesekali terdengar suara berkerontangan.
"Itu dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya, namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segala Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro.
Dia sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran melihat perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan.
Tampak dia memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut kini berada di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu!" seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang tengah menikmati pemandangan indah di puncak bukit!"
Hebat juga orang tua ini menggerutu. Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta! Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di sampingnya.
"Bapak Segala Tahu, harap maafkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting yang harus kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah...? Hai tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah bertemu. Kuping ku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat perempuan cantik... Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya.
"Persoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan pribadi menyangkut ihwal asmara!"
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis itu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul...?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani dia membenarkan. "Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengerti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa. "Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Nah, sekarang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin Salju.
"Karena gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib perjalanan hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia kawatir ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu. "Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik... Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat busuk pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya pada Si Segala Tahu. Sambil meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri oleh seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja maling tingkat tinggi, Mayat yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah hanya ada satu raja maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama Singgar Manik. Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik bukan seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru..."
"Apakah kau tahu siapa orang-orang itu...?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa mereka itu? Hemm... Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah bukti cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa mereka ini?" tanya Wiro.
"Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat. Mereka berseragam pakaian hijau, Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain berilmu tinggi juga diketahui gemar mengumpulkan senjata atau benda-benda mustika!"
"Terima kasih. Keterangan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu?" tiba-tiba Lestari bertanya.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaan mu lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kalian tamatkan riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia seperti mereka harus dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram..."
"Budi baik dan pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam-dalam.
Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu. Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada jauh di ujung bukit.
"Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari Sepasang Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga.
"Tak usah kawatir. Aku tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi! jawab Wiro Sableng.
Dua belas hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah menyambut dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi. Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut keterangan yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang Kobra Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera dapat mengenali dua orang yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka angker dan mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau mungkin takut duduk dekat-dekat meja mereka.
Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya pada dara berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda. Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan,
"Heh, lihat, gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal dia?"
"Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya, "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya..."
"Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan...!"
"Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyoka Gandring berkata, "Aku tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan..." kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga dan kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada dua manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga.
Sang dara segera keluarkan suling perak yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru...!"
"Manusia ular jelek... Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah.
Tanpa berdiri dari kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Segulung angin menerpa dahsyat. Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan membiru!
"Kalian memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat itu.
Serta merta kacaulah rumah makan besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan itu serta merta datang berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan Lestari. Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu serangan mereka pun yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai terdesak hebat juga sejak tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya. Beberapa kali dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun Wiro yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya.
Melirik ke kiri Nyoka Gandring melihat adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah berhasil menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat tingkat tinggi. Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
"Buukkk...!"
Nyoka Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat. Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan pukulan-pukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak satu pun serangan mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk, maka keduanya benar-benar jadi marah.
Selama ini memang tak satu lawan pun dapat bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika turun berdua sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!" maki Nyoka Gandring. "Jika kau inginkan benda ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
Satu sinar perak menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut!
Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan senjata ini.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong hantaman sinar perak. Rumah makan besar itu seperti diguncang gempa. Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap.
Jeritan maut yang keluar dari mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam kutungan tangan itu.
Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan sejenak dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia tinggalkan Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun mengalihkan serangan kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya.
Setelah membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih memegang Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan dan Nyoka Gandring disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul bencana hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja.
Kalau tusuk kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya, yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga. Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara keramaian itu Panji berbisik.
"Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda..."
Lestari dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan orang yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus terang pada Lestari.
"Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita..."
"Panji, ada kertas di leher kudamu..." Lestari berkata sambil menunjuk pada secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju.
Panji Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih sayang murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian berbahagia dalam menghadapi masa depan.
Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang diatur. Karenanya tusuk kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku. Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani menerima surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat. Tapi orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan.
Akhirnya Panji memegang lengan Lestari dan berkata, "Kukira Wiro satu-satunya manusia berjiwa paling besar di dunia ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi..."
Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan kepulan debu yang diterjang kaki kuda.
SATU
SAAT itu menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian gembiranya?!"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal dengan julukan Sepasang Kobra Dewata. Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker.
Siapa tokoh silat di Jawa Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata ini? Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih dan baik!
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata,
"Angin kegembiraanmuIah yang agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!"
Singgar Manik coba tersenyum. "Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gandring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai. "Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja sobatku Singgar Manik!?"
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah, akupun tidak punya banyak waktu "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu. Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata,
"Kenapa musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum selesai"
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya, "Apakah tamumu itu pemilik tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu?!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya. Meskipun demikian dia masih menjawab, "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata, "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan. Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu, terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya kemampuan? Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali, "Juga puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kobra Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandring! Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betul-betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan Sepasang Kobra Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak mengikuti berarti melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada Singgar Manik. Kedua kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku..."
"Satu!" Nyoka Gandring mulai menghitung.
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua...!"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur. Nyoka Gandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik. Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir seraya berseru,
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?!"
“Wusss...!”
Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beri pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik. Menghadapi satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit bagi Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang Kobra Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak terdesak!
DUA
Dua kali pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri. Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau masing-masing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik. Karenanya begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan Putubayan cepat berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran Singgar Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang diserang menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara keras. Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan ketika diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur.
Di depannya sebaliknya Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek. "Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka Gandring.
"Manusia keparat! Kalau kau mau kan benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun menyerang Nyoka Putubayan. Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai!
Nyatalah benda yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah tangan lawan.
"Brettt...!"
Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk kundai! Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih untung hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah dirinya!
"Adikku hati-hati!" Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan. Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek. "Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan tangan kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan. Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang barusan dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk. Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini ilmu pukulan itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh tusuk kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya saling kedipkan mata memberi isyarat. Lalu didahului dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang lebih dulu dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari Bali ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh. Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak menghantam pergelangan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental!
Singgar Manik menjerit kesakitan. Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru. Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat kemudian darah kental mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat Nyoka Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu. Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu"
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka Gandring.
"Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!" Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan panjang. Tusuk kundai menghantam tepat dikeningnya hingga berlubang dalam dan darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata, "Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya. Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
TIGA
Di atas tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada. Kepalanya menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras. "Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua menyusut air matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan tangis yang seperti hendak meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu!" berkata lagi si orang tua.
Sekali ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu semua salah saya... Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda perjodohan mu. Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya, "Bagaimana aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng! Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng, pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini tidak buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua mengejar pencuri laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu," Lestari membuka mulut. "Saya tak akan kembali sebelum dapat..."
Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata, "Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti"
Gadis bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika keluar sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini diikat buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah habis menangis namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat. Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin kau dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka jika sewaktu-waktu kau ditimpa marabahaya dan kau tak sanggup menghadapinya seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan..." Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan pondok itu.
Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh dengan pepohonan rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu, gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh gurunya dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan gurunya memberi tahu, mengenai urusan perjodohan itu.
Bagi Lestari dia tak akan menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa semua itu untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya.
Pemuda itu telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah. Hutang nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah dia mencintai pemuda itu?
Memandang ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh.
Mula-mula dia melihat burung-burung gagak hitam pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh langkah lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya, bahkan hampir keseluruhan daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang digerogoti burung-burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi mayat ini. Matanya yang tajam dapat melihat dua buah titik lobang pada kening mayat serta darah yang telah keras membeku. Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau. Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan pakaian. Lengan pakaian siapa?
Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian orang yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu. Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari.
Robekan kain hijau itu lalu dimasukkannya ke balik pakaian merahnya. Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di tempat itu sang dara segera berlalu.
*******************
EMPAT
Sebenarnya tampang pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan putera seorang-bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan menggelarinya 'Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat' atau 'Si Pucat Kerempeng' atau lain sebagainya.
Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu pada si pemuda. Di samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya.
Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama dua puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi hingga semasa jayanya dia mendapat julukan Raja Pedang Kotaraja.
Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang perwira muda kerajaan yang mengeroyoknya sekaligus belum tentu dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan kesombongannya. Dan kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau busuk menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak hanya mencari makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di atas makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata melotot dan mulut tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu. Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
"Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat yang ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang sialan!" maki salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama. Banyak lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak berkurang.
Ronggo Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai rumah makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak,
"Kawan-kawan, melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai, apa kalian pernah dengar cerita itu?!"
Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan pernah. Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu. "Sekarang akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi.
Sedang pemuda yang ketiga ikut berkata, "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu Ronggo!"
Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda ini cabut pedang yang selalu dibawanya. "Lihat! Kalian lihat semua!" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya sangat cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan kehebatanku!" Lalu...
"Wuttt...!" Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar biasa!"
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri. Ronggo Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi memandang berkeliling. Memang mau tak mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan dilakukan si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya bertambah sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang benar-benar meyakini bahwa dialah jago pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Ini lagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu. Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah. Seorang dari mereka berkata,
"Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jauh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu. Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata, "Sekarang kalian saksikan sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu meneguk minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata,
"Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke jurusan itu.
Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam buntut kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya dengan hati kagum.
"Amboi!" Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki sedang sepasang mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya. "Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang dihembuskan angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain adalah Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto. Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga temannya.
"Lihat, dia melirik padaku. Ah, tak sangka hari ini aku bakal melihat bunga yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar. "Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri. Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya berdiri dan melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir sebentar pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?"
Ronggo Bogoseto bertanya sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa. Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur. Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah seperti delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya.
"Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan. Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
"Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya. "Sayang kau terlambat datang. Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali membabatkan pedangnya!"
"Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata, "Kalau kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan permainan pedangku!"
"Oo begitu?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati dia menambahkan, "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata, "Jadi kau mau melihat kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usap-usap dada.
Lestari hampir tak melihat kapan tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan tergerai di bahunya. Di saat yang sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
"Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji. Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola mata meliar.
"Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak. "Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!"
LIMA
Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan terdengarlah suara...
"Tringg-Tringg-Tringg!" tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah putus tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan yang membuat mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawan-kawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
"Benar! Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari arah pintu rumah makan.
Besiur angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin deras tersebut!
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu. Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya gagah.
"Bangsat! Siapa kau?" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak membiru.
"Siapa aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan! Angkat kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahai! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina! Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat perempuan cantik!"
Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda ini tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg... Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung Raung?" tanya Lestari.
"Ah, syukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat bernama Tapak Biru)
Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini menghardik.
"Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak bermesraan dengan gadis itu di depanku!"
Dengan tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira sudah minggat bersama kawan-kawanmu!"
"Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan. Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo... jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji kawanku ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya kau Pangeran? Hik-hik-hik!"
"Setan alas!" Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
"Srettt..!: Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang pemuda berteriak memberi semangat
Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga. "Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya Gajah Biru, sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading gajah.
Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang keterlaluan dan menjadikannya pongah sombong. Dia melangkah mendekati Panji Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar. Demikian sebatnya hingga benda itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur deras dan bertabur ke arah kepala Panji Kenanga.
Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku ini!" Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga. Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan semua serangan.
Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh. Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur bergulung-gulung. Dia coba menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan pedang lawan yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaian.
Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
"Tranggg...!" Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang pedang itu sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur. Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya yang ada di langit-langit.
Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua orang yang ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja Pedang Kotaraja dapat dikalahkan oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji. "Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan teruskan perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa malu dan seperti tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka menuju ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang menghadangnya adalah Lestari.
"Mau ku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari.
Namun pukulannya ini dengan mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras.
Tak ampun tubuh ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di tanah. Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari hidungnya. Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu kemudian dekati si gadis. "Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau Jembangan"
"Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus kujalani.
"Hemm... tugas, urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
ENAM
Panji Kenanga memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul. Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi, berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna memutih. Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah Ronggo, manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus sesaat menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya, "Apakah kami berhadapan dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
"Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan seperti puteranya. Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata,
"Kau sudah membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian dan melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku merupakan penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih berani bicara kurang ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan. "Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang. "Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini layangkan tamparan ke muka si gadis.
Namun baru setengah jalan sebuah benda keras membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji. Namun serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah tempat.
Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat mengambil pedangnya dari langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia kemudian memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu!"
"Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti menghajarmu? Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum puas hatiku!"
"Wuttt...!" Pedang di tangan Ronggo berkelebat.
Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu..." Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti mukanya akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung menguning Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia juga mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi, apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis.
Setelah dua jurus menyerang tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah. Namun kursi di tangan lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkali-kali dia berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan kanannya.
"Trakkk!"
Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu dia sendiri tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga.
Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya bukan senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh jurus lagi Panji bertahan mati-matian. "Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan yang mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri. Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi diri.
Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan sinar biru.
"Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini babatkan pedangnya ke bawah.
"Tranggg...!" Dua pedang beradu keras.
Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali dia menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati.
Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh benjut, dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali. Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing"
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. "Kalian berdua telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa membawa bencana bagi diri sendiri! Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!"
Lalu orang tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan pu teranya yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru,
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi hukuman pada mereka?!"
"Kaulah yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan...
"Plakkk...!" Tamparannya melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak tahan menanggung malu, dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya menyusul di belakang.
TUJUH
Kuda putih polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji Kenanga. Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab. "Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang harus kau jalankan itu."
Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian. Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis di hadapannya itu. Paras yang tak pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di Jember.
"Lestari..."
Dara itu mengangkat kepalanya. Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian"
"Cukup hangat di sini. Panji"
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan angin malam. "Seseorang telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu walau dia tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat. Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi beberapa tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita akan menyelidikinya bersama-sama."
"Kita?" ulang Lestari.
"Ya... Kau tak suka aku bantu?"
"Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh silat golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya..."
"Itulah yang harus kita selidiki Lestari..."
Sang dara hanya mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk kundai sakti itu. Namun sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai tikar kulit dan selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini...." katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga..."
Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
"Terima kasih. Kau baik sekali..."kata Lestari polos.
Panji tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum memejamkan mata. Kesunyian malam kadang-kadang digemeretaki oleh suatu ranting kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro?"
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu baru"
Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka. Apakah Wiro mengetahui hal itu? Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus angin.
"Lestari..."
"Hemm... Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur..."
"Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan"
"Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah mencintai dan dicintai seseorang...?"
Pertanyaan Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut. Dia sadar wajahnya saat itu pasti menjadi merah.
"Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu..."
"Soal cinta belum terpikir olehku..."
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu"
Panji tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh hati..."
"Aku harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing"
"Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau mencintaiku...?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi..." Kata Lestari. Namun diam-diam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
"Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Aku!" jawab Panji Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu. "Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar. "Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Memangnya aku ini apa sih!"
"Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta. Lalu bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya "
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan"
Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu akhirnya picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
"Lestari..." bisik Panji. "Dengarlah..." Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu. "Aku benar-benar mencintaimu..."
Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat. Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji... jangan..." bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya. "Jangan..." bisik Lestari lagi.
Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya. Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti terbang. Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
********************
Menjelang dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan perasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak memicingkan mata barang sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang dirasakannya laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang dara menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji berkecimpung di air telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara. Serta merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas memeluk pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra dengan Panji Kenanga.
Apakah ini berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam hati gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga? Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin lebih jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji Kenanga dapat menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu teriakan keras.
"Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
DELAPAN
Lestari terkejut dan cepat paling kebelakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak dikenalnya. Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong yang kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena dalam waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Siapakah adanya orang ini?
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah makan itu. Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga serta Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam kesumatnya terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang patah, dengan menunggangi seekor kuda pemuda ini meninggalkan kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah sebuah candi tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu tinggi.
Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di candi tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke dalam candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut terletak sebuah lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin. Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu..." panggil si pemuda. "Randu Wongso... Apakah kau ada di sini...?"
Tak ada jawaban. Tetapi telinga Ronggo tiba-tiba mendengar suara seseorang. Suara perempuan merintih! Dia memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan balok-balok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian belakang. Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan balok itu.
Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara kesuraman sinar lampu minyak. Di sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang perempuan! Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!" Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki. "Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau kurengkahkan batok kepalamu?!"
"He-he-he...!" Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang akan sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!"
Ronggo melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu. Telinganya terus menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas Randu Wongso yang memburu. Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Randu Wongso keluar dari balik tumpukan balok. Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan bejatmu masih belum berubah Randu! Perempuan mana pula kali ini yang kau rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa kali kau tiduri?!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya. "Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan... Ha-ha-ha! Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan dua hari. Tak lebih. Tapi dia... sudah lima hari berada di sini..."
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus mengakui ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan apa urusan pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat tamparan Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian itu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu Wongso.
"Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku..." Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu. Ketika pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap. Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha-ha-ha... Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan mengangsurkannya kepada Ronggo. Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan berikan pada Randu Wongso
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk. "Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi... Heh, kau benar-benar tidak berhasrat terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat..."
"Cepat... cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak lama Ronggo..."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo Bogoseto. Memang bukan satu hal baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok. "Pergilah, aku akan menunggumu sampai selesai..." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
********************
Lestari berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya. Menyadari bahwa dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya berbalik dan menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu sementara Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak Lestari.
"Wah Ronggo! Gadismu ini galak sekali!" kata Randu Wongso.
"Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata melotot.
"Aih, melotot marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
"Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha-ha-ha“ ujar Randu Wongso lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia datang, kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah. "Gadis cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas tangan. Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun kau pergi."
"Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh. "Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak sabaran.
"Meringkus burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari sedang tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
SEMBILAN
"Wuttt...!" Sinar putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget lelaki ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur. Di hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah seruling terbuat dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya. "Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah ini? "Kulihat gerakan ilmu pedangnya boleh juga!"
"Siapa dia nanti saja kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran!" Kembali Randu Wongo bergerak.
"Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis. Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah dada lawan. Namun kali ini dia tertipu. Serangan Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain.
Lestari tak kalah cepat. Dia putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
"Eh!" Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini kalau dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng. Di balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu, tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!" kata Randu Wongso dalam hati.
Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia menyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman telah digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak menunggu dengan waspada.
Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua langkah. Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan. Baru serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya.
Dengan penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan kosong pula. Dua larik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka! "seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari. Masih untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu dengan berdebar kini mulai was-was apakah Randu Wongso akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
"Randu! Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya. Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu. Bagaimana? Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau ikut dengan dia pasti kau bahagia..."
"Baiklah, aku akan menyerah saja... " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini!" Hampir tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu Wongso. "Terpaksa aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!" Randu Wongso sebatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tringg-Tringg-Tringg...!"
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah Lestari ketika melihat kejadian itu.
“Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya!" Ada rasa takut di hati sang dara kini. Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang yang diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu. Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! " Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu totokan tiba-tiba bersarang dipunggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
Randu Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo Bogoseto pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari. Ketika berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus juga! Kalau tadi-tadi kau mau menurut secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember! Aku akan sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling pada Randu. "Tolong naikkan dia ke bahu kiriku."
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggulnya meski di bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada lelaki itu.
"Kau tak usah cemburu padaku sobat. Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya apa enak? Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana saja? Nanti baru kau pindah ke Jember."
"Buset! Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu. Jangan ngaco Randu! Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau menuruti kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!"
"WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?!"
Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh kembali ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis itu!"
"Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu Wongso pula.
"Sudahlah! Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang untukmu!" kata Ronggo.
Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh Lestari di bahu kirinya. Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan,
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu!"
SEPULUH
Randu terkejut. Randu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih dari balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan kekar.
"Hemm... Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti gadis ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai mampus!"
Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya itu tampak sederhana namun dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak rendah. Apalagi suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga. Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik lekas angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringgai. "Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!" Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata,
"Baiklah! Baiklah orang muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di depanmu. Lihat!..."
Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke dada Panji Kenanga!
Murid mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan, juga tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke salah satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut. Kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya miring ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga bahwa Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera menyambut dengan pukulan mega putih. Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh Randu Wongso.
Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya dia mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat. Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam beberapa jurus!
"Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!" menyumpah Randu Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak berkedip.
Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki itu mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin hitam dan gelap legam. "Pukulan mengandung racun jahat!" kata Panji dalam hati dan bersiap waspada. Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan. Dia menunggu tak berkedip.
Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji. Murid Brahmana Lokapala itu serta merta angkat pula tangan kanannya dan menghantam sambuti pukulan lawan. Dari tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang menyebarkan bau amat busuk.
Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar putih kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan lawan. Randu Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat menghancurkan sinar hitamnya, segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega putih.
Panji Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar, mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari melangkah kehadapannya. Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau membunuhmu saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya mencelat mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali. "Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengatur ku Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga. Dari pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh Lestari, bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan siap naik ke punggungnya.
Namun baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri. "Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit. Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak patahan tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu kirinya.
"Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang karena aku telah bantu meringkus gadis itu..."
Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo jadi jengkel. "Tahumu hanya uang dan perempuan..."
"Eh, apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan perempuan...?" ujar Randu pula.
Ronggo tak menjawab. Dia juga tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.
********************
SEBELAS
Di lereng bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia mengenakan ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju puncak bukit. Sampai di puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling. Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan...! Tak satu bangunanpun kulihat!" pemuda ini memaki pada dirinya sendiri. "Di mana sebenarnya letak candi laknat itu?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu bangunan pun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya dia menuruni bukit itu dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa mendapatkan keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso, seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil keterangan pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan ini! Bagusnya aku menyelidik dulu"
Keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah timur, terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa kali sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan langsung masuk ke dalam bangunan tua ini. Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala, hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
"Lampu itu..." desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti sudah lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke Jember..."
Ketika hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tumpukan balok itu. Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak, dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang amat sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang payu dara yang besar kencang.
Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah seperti bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut ruangan. Di sini dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu kembali.
"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong..." berkata si pemuda.
“Ha... haus... Aku... minum..." lapat lapat terdengar suara keluar dari sela bibir perempuan muda itu.
"Air, di mana akan kudapat air di tempat ini...?"
Pemuda itu memandang berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di dalam kendi itu. Segera pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir perempuan itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata,
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi...?"
"Kau... kau... siapa?"
"Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut..."
"Kalau bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam?”
"Siapa yang memperkosamu...?"
"Ada dua orang..."
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat..."
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu..."
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit..." Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai terisak menangis.
Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendeng menggigit bibir den garuk-garuk kepala. "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang sejuk itu.
"Siapa namamu..."
"Warsih..."
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa mereka itu. Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama..."
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka... Tunggu... Kudengar yang datang belakangan itu menyebut satu nama. Randu... ya Randu..."
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi? Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo..." katanya kemudian sambil membuka mata.”
"Di mana kedua orang itu sekarang?"
"Pergi..."
"Kau tahu pergi ke mana?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi...?"
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu..."
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya... Aku diculiknya dari desa..."
"Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup..."
"Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau sempat aku hamil..." Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui bahwa manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima pembalasan atas dosa-dosanya..." kata Wiro pula.
"Pembalasan... Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!"
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari manusia bernama Randu itu..."
"Kalau begitu kau temannya...?"
"Bukan. Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati. Sekarang, kalau kau sudah cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian. Tetapi baru saja dia berada di balik tumpukan balok, mendadak didengarnya satu suara benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212 melompat ke balik tumpukan balok. Namun terlambat. Di lantai dilihatnya tubuh Warsih masih belum berpakaian, terkapar dengan kepala rengkah bedarah. Perempuan malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah membenturkan kepalanya sendiri ke dinding candi!
Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu. Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.
DUA BELAS
Pendekar Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah meninggalkan candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang ini. Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam dan meringkik terus menerus.
Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas perapian. Murid eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan Istana Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini masih terus meringkik. Ketika didekati dia merundukkan kepala dan menggeser-geserkan lehernya yang berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengelus-elus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang mengherankan. Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi pendekar itu. Dia memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam?
"Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga. Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam hutan. Makin dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak. Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak membiru. Mungkin bekas pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi bukan tegang karena totokan.
"Dia keracunan..." ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia dikeroyok.
Wiro pegang pergelangan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk, cairan obat itu sedikit demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah menunggu beberapa saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata kapak menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro baru berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon dan dedaunan yang rapat. Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di... dimana aku... Sakitnya kepala ini... Kau... kau siapa?" kata-kata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali. Sesaat setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih, perlahan-lahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya... aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku...?" Panji meraba mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah..." desisnya kemudian. Dia mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah..." kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saat-saat gawat..."
"Bagaimana kau bisa muncul di sini. Apakah... apakah aku akan menemui ajal seandainya kau tidak datang? Kau pasti menolongku..."
"Soal nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong..."
"Ah! Kita berurusan dengan manusia yang sama..." ujar Panji Kenanga. Kini dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro... kau tahu. Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik Lestari..."
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka berbaju merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang! Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun entah mengapa dara yang satu ini begitu menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus dari ingatannya. Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena merasa malu.
Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan yang ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia seperti merasa takut. Bukan, bukan takut tetapi mati kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu oleh Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai di apa-apakan hancurlah masa depannya.
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di Jember. "Dia memiliki ilmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu silat yang dapat diandalkan..."
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit"
"Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong" Wiro tidak menceritakan pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau...?"
"Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga. "Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya. Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
'Aku mencintai Lestari!' "Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai pemuda ini? "Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
"Ya...!"
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya"
Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi apa-apa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
"Sahabatku Panji Kenanga..." sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar karena menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu. Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus jiwa ragamu...?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu baru dapat membuatmu percaya..."
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa kutinggalkan di sini. Hati-hatilah..."
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan perasaan bergalau. Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan Panji Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat. Karena diapun mencintai Lestari. Tetapi Panji Kenanga pun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak mencintainya, apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti... tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
********************
TIGA BELAS
Seperti yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian depan rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi berwarna hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah terlihat sebuah kolam dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang dua ekor burung merpati. Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah. Tepat di depan gedung besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk kedalam.
Ketika dia sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua. "Bapak, apakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah?" tanya orang tua itu. Nada suaranya tidak menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam melihat pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak rapat.
Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam. Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta sikap yang kasar, Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi bukan Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur siasat. Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu berkata,
"Aku ingin bertemu dengan Ronggo Bogoseto.
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!"
"Aku sahabat lamanya..."
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!"
Wiro garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya."
"Tidak mungkin..." kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
"Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
"Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula. Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman!"
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku. Mau kupuntir kepalamu?!"ancam Randu
"Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu..." Wiro pura-pura ketakutan.
Randu Wongso menyeringai. "Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang. "Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat kelas satu yang ditakuti didelapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah! Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu maulah dia menghajar Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu, berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat terkenal ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu menjura sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik... baik...!" kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi gerakannya kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya menyusup ke depan dengan dua jari terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu. Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang secara berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada lelaki ini.
Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng berkata, "Monyet jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini. Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar kuberikan kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas"
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa amat panas, Wiro menggurat tiga buah angka 212 di kening Randu Wongso. Lelaki ini merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu pastilah dia akan mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah. "Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki itu ke luar pagar. "Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia segera masuk ke dalam gedung kecil kembali.
Setelah melewati ruangan depan dan ruangan tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari disekap?
Dia melangkah perlahan-iahan, memasang telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan sebelah kiri pendekar ini hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik. Wiro tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya tidak meleset. Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru muda berseperai putih serta penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah menggeluti sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke atas tempat tidur.
"Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di tenggorokannya karena sampai saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun bersuara.
Sejak hancurnya pintu kamar, kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat seseorang melompat ke atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini membentak,
Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri. Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar suara...
"Kraakkk...!" Dibarengi jerit kesakitan dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh namun tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu kamar sambil berteriak,
"Randu! Randu! Tolong...!"
Tak ada jawaban. Ronggo Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah membungkuk, satu cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya mendelik, lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya. Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
"Prakkk...!"
Darah muncrat. Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dia kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata, "Lekas cari dan kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera mengenakannya. "Bagaimana kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan menciumnya sebagai pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju keluar.
Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang terkapar di tanah. "Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata."
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak salah dia kawannya Ronggo..."
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
EMPAT BELAS
WIRO SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di mana sosok tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak sanggup hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari begitu Wiro melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus mengatur kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga. "Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya"
Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak tahu malah berkata, "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh..."
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan ini..."
"Itu bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat pergi. "Heran, bagaimana dia tahu kalau Panji mencintaiku?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau antara aku dan dia ada ikatan jodoh? Ah bagaimana jadinya ini...?"
Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan...
"Dukkk...!" Tendangannya menghantam muka Randu Wongso hingga terpental ke dinding. Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari menggorok leher Randu Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah muncul kembali mendukung tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih bercelomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan berkata,
"Syukur kau selamat Lestari. Kau... maksudku kita, harus berterima kasih pada Wiro"
Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari.
Wiro melangkah. Dia menggeledah pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang dan juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh Randu Wongso. Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro Sableng!
Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong. Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada Lestari.
"Satu di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam.
Melihat hal ini Wiro cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan berbahaya!"
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal ini akan menemui kematian di sarang mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar putih menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan Sinar Matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal seperti gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan tangan kiri Wiro lepaskan pukulan pemagar diri sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung'!
Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang dilepaskan Wiro. Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan darahnya.
"Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan dia bergerak tahu-tahu Randu Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di dadanya, satu lagi di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah. Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental.
Tidak perduIikan keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali gerakan pulang balik. Di kali yang ketiga terdengar suara...
"Kraakkk...!" Tulang lengan kanannya patah disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata,
"Lestari, selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu!"
Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu secepat kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya menyambar ke arah leher lelaki itu.
"Crasss...!"
Lestari terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tebasannya. Kepala Randu Wongso menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya terjungkal jatuh. Bergerak-gerak beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi.
********************
Malam itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil ini Wiro menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air kecil, di kaki sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur. Lewat tengah malam setelah pemuda itu kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekati Wiro dan menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
"Tusuk kundai itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam..."
Wiro kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun menanggapi, "Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara angkat guruku. Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang. Pasti ada tujuan tertentu..."
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita..."
Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan Lestari yang tidak disangka-sangka ini. "Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk kundai itu..."
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia termenung.
"Ikatan jodoh itu memang tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara diam-diam..."
Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke jurusan lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih tampan dari pada Wiro.
Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji Kenanga. Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lestari dan dari gerak-gerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya, maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala..." pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi mereka. Tapi urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari, soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan lamaku. Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan..."
"Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun?" tanya Lestari.
"Tak dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa mendatang. Nah, malam sudah larut. Kau tidurlah..."
Baik Wiro maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur. Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa remuk hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin sekali dia mati saat itu juga!
********************
"Sebaiknya kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku..." kata Panji Kenanga keesokan harinya.
"Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku hanya khawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri," ujar Panji Kenanga.
********************
Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali. Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam. Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja dirasakannya kurang enak.
Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan. Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut perkiraan di situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering berhenti, hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.
LIMA BELAS
Di sebelah timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur ini. Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia menunjuk ke puncak bukit kapur.
Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur. Sesekali terdengar suara berkerontangan.
"Itu dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya, namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segala Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro.
Dia sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran melihat perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan.
Tampak dia memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut kini berada di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua matanya buta. Tapi di manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga dia tak pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu!" seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang tengah menikmati pemandangan indah di puncak bukit!"
Hebat juga orang tua ini menggerutu. Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta! Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di sampingnya.
"Bapak Segala Tahu, harap maafkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting yang harus kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah...? Hai tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah bertemu. Kuping ku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat perempuan cantik... Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya.
"Persoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan pribadi menyangkut ihwal asmara!"
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis itu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul...?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani dia membenarkan. "Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengerti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa. "Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Nah, sekarang katakan kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin Salju.
"Karena gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib perjalanan hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara halus. Dia kawatir ramalan orang tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu. "Lebih penting kalau aku dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik... Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat busuk pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya pada Si Segala Tahu. Sambil meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri oleh seorang yang punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja maling tingkat tinggi, Mayat yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah hanya ada satu raja maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama Singgar Manik. Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik bukan seorang berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari satu orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru..."
"Apakah kau tahu siapa orang-orang itu...?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa mereka itu? Hemm... Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah bukti cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa mereka ini?" tanya Wiro.
"Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat. Mereka berseragam pakaian hijau, Bermuka seperti ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain berilmu tinggi juga diketahui gemar mengumpulkan senjata atau benda-benda mustika!"
"Terima kasih. Keterangan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bapak Segala Tahu, berapa kami harus membayarmu?" tiba-tiba Lestari bertanya.
Si orang tua tertawa mengekeh. "Pertanyaan mu lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kalian tamatkan riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia seperti mereka harus dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram..."
"Budi baik dan pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam-dalam.
Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu. Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada jauh di ujung bukit.
"Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari Sepasang Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga.
"Tak usah kawatir. Aku tahu di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi! jawab Wiro Sableng.
********************
ENAM BELAS
Dua belas hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah menyambut dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi. Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut keterangan yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang Kobra Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera dapat mengenali dua orang yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka angker dan mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau mungkin takut duduk dekat-dekat meja mereka.
Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya pada dara berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda. Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan,
"Heh, lihat, gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal dia?"
"Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya, "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya..."
"Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan...!"
"Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyoka Gandring berkata, "Aku tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan..." kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga dan kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada dua manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga.
Sang dara segera keluarkan suling perak yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru...!"
"Manusia ular jelek... Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah.
Tanpa berdiri dari kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Segulung angin menerpa dahsyat. Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan membiru!
"Kalian memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat itu.
Serta merta kacaulah rumah makan besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur walau Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan itu serta merta datang berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan terhadap Adipati Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan Lestari. Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu serangan mereka pun yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai terdesak hebat juga sejak tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya. Beberapa kali dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun Wiro yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya.
Melirik ke kiri Nyoka Gandring melihat adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah berhasil menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat tingkat tinggi. Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
"Buukkk...!"
Nyoka Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat. Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong termasuk tenaga dalam dan pukulan-pukulan sakti. Namun setelah habis-habisan menghantam tak satu pun serangan mereka mengenai sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk, maka keduanya benar-benar jadi marah.
Selama ini memang tak satu lawan pun dapat bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika turun berdua sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!" maki Nyoka Gandring. "Jika kau inginkan benda ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
Satu sinar perak menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut!
Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan senjata ini.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong hantaman sinar perak. Rumah makan besar itu seperti diguncang gempa. Dentuman dahsyat meruntuhkan sebagian atap.
Jeritan maut yang keluar dari mulut Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam kutungan tangan itu.
Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan sejenak dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia tinggalkan Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun mengalihkan serangan kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya.
Setelah membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih memegang Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan dan Nyoka Gandring disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul bencana hingga tali perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja.
Kalau tusuk kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya, yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga. Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara keramaian itu Panji berbisik.
"Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda..."
Lestari dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan orang yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus terang pada Lestari.
"Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita..."
"Panji, ada kertas di leher kudamu..." Lestari berkata sambil menunjuk pada secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju.
Panji Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih sayang murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian berbahagia dalam menghadapi masa depan.
Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang diatur. Karenanya tusuk kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku. Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani menerima surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat. Tapi orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan.
Akhirnya Panji memegang lengan Lestari dan berkata, "Kukira Wiro satu-satunya manusia berjiwa paling besar di dunia ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi..."
Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan kepulan debu yang diterjang kaki kuda.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar