WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : IBLIS-IBLIS KOTA HANTU
SANG surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan.
Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramai dengan nelayan yang baru pulang melaut. Perahu berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak seorang nelayan pun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan. Teluk itu sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa. Mendadak kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah..." katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa lain."
Orang tua itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju deretan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada gerakan apa-apa.
"Mati!" desis si orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!"
Mulut kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo ladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan...?! Eh… itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan... Kasihan sekali! Apa dosanya?!"
Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm… ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang tega-teganya memukul demikian kejam?!"
Meskipun tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu kehebatan. Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu...
"Hupp...!" Tubuh si anak tahu-tahu melayang ke atas!
Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu. Dari caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan dia?
Pada masa itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam. Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa.
Salah seorang dari tokoh silat golongan putih Jawa Barat adalah kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu.
Pengemis tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun. Ketika sadar si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata.
Ternyata dia berada dalam pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.
"Ayah..." si anak memanggil ayahnya. Suaranya memelas.
Di samping kanan, sudut matanya menangkap sosok sesorang duduk di tepi balai-balai. Diperhatikannya. Ternvata orang itu bukan ayahnya. Ayahnya tidak setua itu, tidak berambut putih dan tidak berpakaian compang-camping walau dia seorang nelayan miskin. Otaknya bekerja. Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang menunggang kuda itu...?
"Anak, kau sudah sadar...!" si kakek menegur.
Anak itu tak menjawab. "Dadamu masih sakit...?"
"Ayah... ayah...?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan pikirannya sendiri. Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa ayahnya sudah mati.
"Ah, satu kejadian besar telah menimpanya," membantin si kakek. "Salah seorang yang mati di pantai itu mungkin sekali ayahnya. Kasihan..."
Kakek itu mengambil sebuah tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi disediakannya. Kepala si anak diangkatnya sedikit.
"Minum obat ini, nak. Kau pasti lekas sembuh..."
Mula-mula anak itu gelengkan kepalanya hendak menolak. Namun pandangan mata orang tua itu yang demikian lembut serta mulutnya yang tersenyum membuat anak ini mau juga membuka mulutnya dan meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa hangat. Rasa hangat terus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya. Bersamaan dengan itu rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu kemudian urut-urut dada si anak. Gerakan tangannya perlahan sekali. Anak ini merasakan ada hawa dingin keluar dari jari-jari tangan orang tua itu. Selesai mengurut-urut kini kakek itu tampak sibuk menjengkal-jengkalkan tangannya pada beberapa bagian tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang pinggul diketuknya berulang-ulang.
"Orang tua... kau siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini berada di mana?"
Yang ditanya tak menjawab. Masih terus sibuk menjengkal dan mengetuk. "Ah, susunan tulangmu bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka..." jawab anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri siapakah, kek? Apa ini rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di luar sana ada suara-suara aneh."
Pengemis Batok Tongkat tertawa. "Telingamu tajam juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini memang sepi. Hanya ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik-hik-hik. Tapi di luar sana, di malam gelap begini rupa seratus macam suara bisa kau dengar. Mulai dari suara jangkrik sampai suara kodok. Mulai dari suara burung yang ketakutan sampai lenguh banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman harimau dan singa!
"Harimau dan singa?! Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak usia sepuluh tahun itu.
Kakek itu mengangguk. "Apa kau takut?" dia bertanya kemudian.
Handaka menggeleng. "Bagus kalau kau tidak takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak istirahat. Besok pagi aku akan buatkan bubur untukmu..."
"Kenapa tidak sekarang saja? Perutku lapar."
Pengemis Batok Tongkat tertawa. "Malam ini kau belum boleh makan. Kau masih dalam pengobatan tingkat pertama..."
"Lalu bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Di mana ayah? Kau belum mengatakan kau ini siapa...?"
"Siapa diriku, sejak kecil aku memang tak punya."
"Aneh, masakan ada orang tidak punya nama. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu...?"
"Panggil saja aku kakek pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu, bukan anak..."
"Kakek pengemis? Memangnya kau...?"
"Betul! Aku memang pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-camping. Aku jarang mandi. Lihat tongkat dari batok kelapa di atas meja itu? Itu benda-benda yang kupergunakan untuk minta-minta..." Handaka seperti tidak percaya. Namun dia lebih ingin mengetahui di mana ayahnya.
"Di mana ayahmu, itulah yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari karena aku yang membawamu. Kau kutemukan pingsan di teluk, kemarin pagi..."
"Jadi kau telah menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima kasih padamu..." Handaka berusaha untuk bangun. Namun kakek pengemis menahan bahunya dari menyuruhnya berbaring kembali.
"Segala kejadian di dunia ini sudah ada yang mengatur, Handaka," katanya. "Semua kodrat Tuhan di luar maunya manusia. Karena itu hanya pada Dia manusia layak berterima kasih."
"Ayahku juga bilang begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga mengatakan walau Tuhan punya kuasa, manusia harus berupaya..."
Si kakek tertawa lebar. "Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu adanya. Nah sekarang kau harus tidur. Besok sehabis makan kau boleh menceritakan padaku apa yang terjadi di teluk pagi kemarin."
Si anak terdiam. Dia coba mengingat-ingat. "Kenapa menunggu sampai besok? Sekarangpun aku bisa menceritakannya kek. Aku mulai ingat semua yar terjadi di teluk. Orang-orang jahat itu... para nelayan, ayahku..."
"Dadamu tidak sakit?"
"Rasanya sudah sembuh kek. Obat mu pasti manjur sekali."
Pengemis Batok Tongkat tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau kau bisa menceritakan sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka Handaka pun menuturkan apa yang terjadi.
Pagi itu para nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk Cikandang, siap memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh malam tadi. Para pembeli termasuk tengkulak-tengkulak yang sudah lama menunggu segera mendatangi. Di antara orang banyak yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera menjadi perhatian.
Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya penuh luka dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih menganga. Dia berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka besar yang masih mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan Tugiman!" seru seorang nelayan tua seraya melompat dari perahunya. Namanya Argakumbara.
Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya. Seorang anak lelaki yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu, berlari ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula mendatangi. Tugiman roboh ke pasir saat para nelayan sampai di hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang terjadi? Siapa yang menganiaya mu?!" tanya Argakumbara sambil berlutut di samping orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari... lari...! Tinggalkan tempat ini cepat..." Tugiman bicara dengan susah payah.
"Lari? Kenapa musti lari...?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian. Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung, Membunuh, merampok dan menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka akan segera datang kemari..."
Kagetlah semua nelayan yang ada di situ. Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak ada bayangan rasa takut.
"Siapa manusia-manusia durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara. "Kampung kita dan daerah sekitar sini sejak dulu selalu aman tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke langit.
"Mati! Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak. "Handaka," kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray. Langsung ke rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun itu melakukan perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara mereka memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang jalan. Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini manusia-manusia durjana itu…" bisik Handaka seraya pegangi lengan Argakumbara.
Penunggang kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka garang dihias kumis melintang dan cambang bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat kepala serba hitam.
"Ternyata anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan! Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!" kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian sebelum dia mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan! Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu kaki kaki kanannya enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada di dekatnya. Tak ampun nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok!
Serta merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali Argakumbara dan anaknya. Penunggang kuda yang barusan menendang dan memboyong seorang gadis di pangkuannya memandang berkeliling, tertawa sebentar lalu berkata,
"Nelayan-nelayan busuk! Kalian dengar baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau Hitam, pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian, membunuh orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua gadis ini karena tidak mau ikut secara suka rela padahal mau diberi kenikmatan dan hidup mewah! Kami bahkan telah menggantung kepala kampung kalian yang berani menantang! Jika kalian di sini ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu sebelum mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang berani menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa..."
"Bagus! Ada juga yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada yang mau menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau menendang. Dasar nelayan-nelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya. "Dengar baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang, termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada di bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil panen harus diserahkan pada kami. Semua ikan yang kalian dapat harus diberikan kepada kami hasil penjualannya. Nanti kami yang akan mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah, aku mau tahu ada yang berani membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara. "Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian monyet tua itu. "Selama ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui kepala kampung. Pajak yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau ladang, tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam, itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami...!"
Singgil Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas lalu tertawa gelak-gelak. "Monyet tua...!" katanya.
"Ayahku bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang harus kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-kawan akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal bersama kami, bekerja untuk kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari berarti mati!"
Mendengar kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka mulut. "Singkil Alit! Siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti mengapa kau dan kawan-kawanmu tega melakukan pemerasan. Merampas bahkan membunuh kami orang-orang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak takut pada petugas-petugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu? Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu nelayan tua. Orang lain tak boleh mendengarnya..." kata Singkil Alit
Tak mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan tergelimpang di pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah…!" jerit Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis keras.
Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar yang terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong ikan. Tak berpikir panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu menerjang ke arah Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang diserang tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan kanan Handaka.
Anak itu berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan pisau besarnya. Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar muka Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
Mendengar penuturan Handaka, lama Pengemis Batok Tongkat termenung. "Aneh..." katanya kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang katanya didiami manusia-manusia beradab ini masih saja ada orang-orang durjana seperti Singkil Alit dan kawan-kawennya itu. Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Iblis dari mana yang satu ini...?"
"Handaka, apakah ibumu masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu menggeleng. "Kata ayah, ibu meninggal tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa..."
"Eh, merasa berdosa bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau beliau tidak melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua itu termenung sejurus, lalu tertawa mengekeh. "Cucu, jalan pikiranmu terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur oleh manusia lainnya. Tapi Tuhan yang menentukan hidup mati seseorang!"
"Kalau begitu orang-orang seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu bisa dianggap tidak berdosa walau dia membunuh. Bukankah itu sebenarnya tangan atau kehendak Tuhan yang berlaku...?"
"Ah, sepintas lalu jalan pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau direnungkan Iagi kau salah besar cucuku. Tuhan memang yang menentukan. Tapi hak apa manusia merampas nyawa orang lain? Hak apa manusia boleh mencuri dan merampok, boleh menculik? Segala segi kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci dan hadis Nabi. Dan manusia harus mempergunakan akal sehat bukan ikut hasutan setan atau iblis!"
Di usia seperti itu agak sulit bagi Handaka mengerti kata-kata si kakek. Maka diapun berkata, "Mengapa kau tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa lebih baik bagimu untuk tidak kembali ke kampung. Manusia-manusia iblis itu pasti tidak berhenti pada kematian ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di sini?"
"Apa enaknya tinggal dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada kawan... Jauh dari laut yang kucintai... " ujar Handaka.
Wajah si kakek jelas menunjukkan rasa kecewa.
"Tapi mengingat kau sudah menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu saja mau tinggal bersamamu di sini."
"Ah! Kau pandai mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok Tongkat dan tertawa gelak-gelak.
"Apakah aku tak akan menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau takut aku akan menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-minta?"
"Ih, tak ada pikiranku begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan halal yang jauh lebih baik dari mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus... bagus!" kata Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap rambut Handaka. "Cucu, jika kau mau tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat padamu!"
Handaka bangkit danduduk di ujung balai-balai. Menatap si kakek. "Kau sungguhan mau mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua itu mengangguk. "Ah, jika aku jadi jago silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan iblisnya. Aku akan basmi mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu baik... cucuku baik. Sekarang kau tidur. Kau belum sehat betul."
Handaka menurut. Dia baringkan tubuhnya kembali di atas balai-balai dan pejamkan mata. Namun dua mata anak ini terpentang lebar kambali ketika di luar sana terdengar bentakan keras.
"Pengemis tua! Lekas kau serahkan surat yang dititipkan pangeran Taruma pada kami!"
"Kek," ujar Handaka kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa orang di luar sana yang malam-malam begini berteriak tak tahu sopan?"
Si kakek letakkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar cucunya itu tidak bicara dan terus berbaring. Tubuh Handaka ditutupnya dengan kain sampai sebatas kepala. Handaka turunkan ujung kain agar dapat mengintai. Dilihatnya si kakek mendongak ke atap pondok. Rupanya orang yang berteriak ada di atas atap bangunan jati itu.
"Tamu dari mana malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!" Terdengar Pengemis Batok Tongkat bertanya. Suaranya tanang-tenang saja.
Dari atas atap terdengar bentakan. "Kurang ajar! Diperintah malah berani bertanya."
"Aku bertanya agar kau tidak salah datang ke tempat yang dituju!" jawab si pengemis.
"Jangan coba berdalih. Di hutan ini hanya satu pondok. Milikmu. Kami tidak datang ke tempat yang salah. Lekas kau berikan barang yang dititip pangeran Taruma itu!" kata orang di atas atap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis Batok Tongkat.
"Kami akan membakar pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah itu!"
"Kek...!" Handaka julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita..."
"Sstt... Cucu, kau tidur saja!" sahut si kakek itu menutupi muka Handaka dengan selimut tapi anak itu menurunkannya kembali.
"Hai Pengemis! Kau tunggu apa lagi...?"
Kakek itu memang sudah melihat ada bayangan nyala api di atas atap. Orang-orang di atas sana mungkin membawa obor. Tiba-tiba si kakek tertawa.
Orang di atas atap membentak. "Tua bangka edan! Kami minta kau menyerahkan surat itu. Bukan tertawa macam orang gila!"
"Aku tertawa karena kalian kuanggap manusia-manusia bodoh! Ada sangkut paut apa aku dengan pangeran Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan sesuatu kepadaku. Sepucuk surat katamu? Surat Cinta? Untuk diserahkan pada siapa? Ha-ha-ha!"
"Kau berani berdusta dan coba mengelabui kami!" kata orang di atas atap. "Orang-orang kami tahu betul, satu bulan lalu kau bertemu dengan pangeran Taruma di istananya di tikungan kali Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai seorang pengemis. Pangeran memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapa mu. Sepintas seperti lembaran uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat.
Surat dengan gambar peta tempat penyimpanan emas milik sang pangeran. Kau masih mau mungkir?!"
Sebelum menjawab kembali Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak. "Orang-orangmu itu matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga mereka hendak berbuat lelucon terhadap kalian! Hampir selama tiga purnama aku tak pernah meninggalkan pondok ini. Kecuali kemarin pagi! Bagaimana mungkin aku bisa gentayangan sejauh itu sampai di kali Citarum? Atau mungkin setan atau rohku yang menjelma dan datang di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat tak ada jawaban dari atas atap. Pengemis Batok Tongkat tahu bahwa ada dua orang di atas sana dan keduanya tengah bicara berbisik-bisik seperti berunding singkat.
"Sudah selesaikah kalian berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata pengemis.
"Pengemis licik! Jangan sangka kau bisa menipu kami dengan keterangan dustamu. Sekali lagi aku beri kesempatan! Jika peta itu tidak kau serahkan, rumahmu akan kami bakar dan kau beserta bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo ladala...! Malangnya nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap tenang. "Maukah kalian memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku Soka Panaran, bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas atap yang sejak tadi menjadi jura bicara.
"Aku Sindang Tambra, berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"He-he-he!" tawa si pengemis tua begitu mendengar jawaban dua orang di atas atap. "Soka Panasaran, kalau kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti kau punya sebilah golok terbuat dari emas. Mengapa masih temahak mau dapatkan emas milik orang lain. Dan kau Sindang Tambra, aku tidak heran kalau bajak laut sepertimu haus harta! Tapi kalian salah alamat! Peta atau surat apapun tak ada padaku!"
Golok Emas dan Raja Lanun Pantai Selatan merupakan nama-nama yang cukup menggetarkan dunia persilatan pada masa itu. Keduanya adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi yang masuk dalam kelompok golongan hitam. Mandengar ucapan si kakek jelas meraka dianggap enteng. Ini membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun sudah siap untuk menjebol atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu berteriak.
"Pengemis Batok Tongkat! Kami memberi kesempatan terakhir. Kau mau serahkan peta itu atau tidak?"
Pengamis tua itu dilihat Handaka mengambil batok kelapa dan tongkat kayunya dari atas meja lalu menjawab, "Kalian mengancamku?"
"Kami akan membuktikan ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian akan menyesal sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!" maki Raja Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Kaki kanannya dihantamkan ke atap bangunan.
"Braakkk...!" Atap itu jebol. Sesaat kemudian orang bernama Soka Panaran dan Raja Lanun Sindang Tambra melayang turun memasuki pondok kayu jati yang sempit. Masing-masing memegang obor di tangan kiri!
"Ah, jadi inilah tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang itu? Apakah tidak lebih baik kalian pergi saja dari sini. Salah-salah nanti aku mengemis pada kalian, minta uang minta beras!" kata pengemis Batok Tongkat.
Dari bawah selimut Handaka menjadi heran lihat sikap si kakek. Jelas orang datang dengan maksud jahat tapi orang tua itu masih saja bicara seenaknya seperti mau melucu!
"Soka!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku akan patahkan batang leher tua bangka ini!"
"Kecuali untuk terakhir kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka Panaran alias Golok Emas yang masih berusaha mencapai tujuan tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian telah merusak atap pondokku kini mengancam mau membakar dan minta benda yang aku tidak miliki!"
"Kau betul-betul tua bangka keparat!" Sindang Tambra marah sekali. Dia melompat ke muka sambil sorongkan api obor untuk menyulut muka si kakek.
"Dua ekor kambing. Kalian mencari penyakit!" kertak orang tua itu dan sambut serangan Sindang Tambra dengan melompat ke samping. Api obor lewat di sebelah kanannya. Serentak dengan itu si kakek tusukkan tongkat kayunya ke arah iga lawan. Tapi serangannya luput karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah berkelebat ke kiri lalu kembali sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari bawah kakinya datang menyapu mencari sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!" Pengemis Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang memegang batok kelapa dipukulkan ke bawah ke arah api obor. Begitu obor kena tersungkup tempurung kelapa itu, serta merta apinyapun padam. Raja Lanun Sindang Tambra tersentak kaget. Penuh geram dia pukulkan tangan kiri namun tarpaksa tarik pulang serangannya karena ujung tongkat di tangan kiri si kakek lebih dulu menusuk ke arah lehernya.
"Kakek! Kambing satu itu hendak membakar pondok!" teriak Handaka ketika dilihatnya Soka Panaran menyulut ujung tikar jerami yang menjadi alas balai-balai.
Mau tak mau Pengemis Batok Tongkat terpaksa tinggalkan Raja Lanun, dan melompat ke arah Soka Panaran. Mulut si kakek tampak menggembung. Tiba-tiba dia menghembus ke arah ujung obor. Serangkum angin keras bertiup. Api obor padam!
"Keparat!" maki Soka Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke kepala si kakek.
"Kek! Awas di belakangmu." teriak Handaka.
Orang tua itu tampak seperti kerepotan dan bingung. Dari depan dia dikemplang dengan bambu sedang dari belakang Raja Lanun mamukul ke arah punggungnya. Karena dua serangan itu dilakukan oleh orang berkepandaian tinggi, kalau saja mengenai si kakek pasti akan membuat die cidera berat.
"Ah, bagaimana kakak tua ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok begitu rupa." keluh Handaka.
Dia memandang berkeliling mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir kaleng tergantung di atas kepala balai-balai. Cepat diambilnya benda itu dan dilemparkannya ke arah Raja Lanun yang membokong dari belakang.
Gerakan kakek pengemis yang seperti repot bingung itu sebenarnya hanyalah hal yang dibuat-buat saja. Untuk menghadapi dua lawan yang mengeroyok itu sebenarnya dia tidak perlu bantuan siapa pun. Memang, baik Soka Panaran alias Golok Emas maupun Raja Lanun Pantai Selatan bukan manusia-manusia sembarangan. Keduanya memiliki kepandaian tinggi, tapi si kakek sendiri adalah tokoh tua yang jauh lebih lihay.
Sebenarnya jika kedua orang tadi menyadari kepandaian si kakek meniup api obor dari jauh hingga mati begitu rupa, keduanya harus menyadari bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa amarah ditambah keinginan untuk mendapatkan benda yang mereka cari membuat keduanya melupakan kenyataan itu.
Begitulah, si kakek sambut kemplangan bambu obor dengan lebih dulu selinapkan tusukan ke ketiak Soka Panaran. Melihat serangan lawan datang lebih cepat dari kemplangan bambunya, Soka Panaran tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu itu ke arah bahu si kakek.
"Jurus silatmu sudah kuno Soka! Tidak laku untuk dunia silat masa kini!" ejek si kakek. Lalu tongkat di tangan kirinya berputar ke samping. Sesaat kemudian terdengar pekik Soka Panaran.
Telinga kanannya mongucurkan darah. Ujung tongkat si kakek yang kecil runcing telah membuat daun telinga sebelah kanan orang ini luka besar dan berlubang! Walaupun kawannya mendapat cidera tapi Sindang Tambra yang menyerang dari belakang merasa punya peluang besar untuk mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga kasar bajak laut ini sanggup meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh kakek pengemis yang sudah tua kurus itu, pastilah si kakek akan celaka.
Namun satu kehebatan diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa menoleh ke belakang dia telikungkan tangan kanannya ke punggung dengan batok kelapa membelintang demikian rupa. Ketika tinju kanan Raja Lanun sampai, batok kelapa itu menyambutnya dengan tepat.
Raja Lanun Sindang Tambra mengeluh kesakitan sambil pegangi jari tangan kanannya. Jari-jarinya ternyata, tampak merah, dagingnya langsung membengkak. Di saat kesakitan seperti itu cangkir kaleng yang dilemparkan Handaka melayang deras, dan mendarat tepat di keningnya hingga kepala bajak ini terluka dan kucurkan darah.
"Bagus Handaka! Lemparanmu tepat sekali!" ujar Pengemis Batok Tongkat. "Nah, nah! Dua ekor kambing. Apakah kalian masih belum sadar sudah diberi pelajaran oleh tua bangka ini dan cucuku itu? Ayo kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami baru pergi kalau kalian berdua sudah kugorok dengan ini!" sahut Soka Panaran dengan mata berapi-api. Dari pinggangnya dia cabut golok besar berwarna kuning. Senjata inilah yang membuat dia mendapat julukan Golok Emas. Walaupun tidak terbuat dari emas sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas. Sudah banyak korban menemui kematiannya oleh senjata ini. "Ah, golok emas! Hai, bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat dari emas sungguhan? Atau hanya emas palsu?" ejek Pengemis Batok Tongkat sambil merobah kedudukan kuda-kudanya hingga sekaligus dia dapat mengawasi dua lawan yang dihadapinya.
Melihat kawannya keluarkan senjata andalannya, Sindang Tambra jadi tidak sungkan-sungkan untuk keluarkan pula sanjatanya yakni sebuah clurit besar yang badan dan hulunya berwarna hitam gelap.
Cemaslah Handaka melihat si kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi juga dikurung lawan dengan senjata terhunus. Apakah si kakek tidak akan keluarkan senjata, pikir anak ini. Nyatanya memang demikian. Pengemis tua itu hanya tegak tenang-tenang saja, malah sambil menyeringai. Dalam hidupnya sebagai tokoh silat aneh dia tak pernah memiliki senjata. Apapun yang terjadi dia selalu menghadapi lawan dengan tongkat kayu kecil dan batok kelapa itu!
"Kalian tunggu apa lagi? Majulah biar lekas aku memberi pelajaran pada kalian!" kata si kakek.
Ini tambah membakar kemarahan Soka Panaran dan Raja Lanun. Masing-masing keluarkan suara menggembor lalu menyerbu. Soka dari samping kiri sedang Raja Lanun melabrak dari sebelah kanan. Golok Soka menderu keluarkan sinar kuning terang sedang clurit di tangan Sindang Tambra berdesing dengan memancarkan sinar hitam pekat!
"Ah, celakahlah kakekku! Bagaimana aku harus membantu!" keluh Handaka yang tak mau berpangku tangan tapi tidak tahu harus menolong bagaimana. Tapi dasar anak cerdik dapat saja satu akal olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari balai-balai itu sambil menggulung selimut.
Sementara itu pengemis tua yang mendapat dua serangan sekaligus berkelebat gesit. Tongkat di tangan kirinya memukul ke perut Soka Panaran, batok kelapa di tangan kanan menyelinap mencari sasaran disambungan siku kanan Sindang Tambra.
Melihat tangan kiri si kakek menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil keputusan untuk membabat tangan itu, lebih dulu dengan golok kuningnya. Namun orang ini salah perhitungan. Dia tidak menyadari kalau gerakan lawan jauh lebih cepat. Hingga sebelm golak besarnya berhasil membacok lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat kayu si kakek yang men-deru menggeletar, menghantam bagian lengan kanannya di bawah ketiak.
"Kraakkk...!"
Terdengar suara patahan tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka Panaran. Dia melompat mundur, menggerang kesakitan sementara goloknya yang jatuh ditempel demikian rupa oleh si kakek dengan tongkat kayunya. Golok ini melorot turun mengikuti batangan tongkat lalu dengan mudah ditangkap oleh si kakek.
Pada saat itu pula Raja Lanun Sindang Tambra yang tengah menyerbu si kakek dengan clurit hitam angkernya menjadi terkejut ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat menebar dan menutupi kepala serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut yang dilemparkan Handaka. Dalam keadaan ditelikung seperti itu tentu saja Raja Lanun Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat di mana lawannya berada.
Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia memaki panjang pendek. Suara makiannya berubah menjadi jeritan kesakitan ketika pengemis tua pukulkan batok kelapanya berulang kali, lalu mengetok dengan tongkat kayu. Terdengar suara 'krak' berulang kali tanda ada tiliang-tulang bajak itu yang patah.
Ketika Raja Lanun Pantai Selatan berhasil keluar dari kungkungan selimut, tulang belikatnya sebelah kiri patah hingga tubuhnya miring. Lalu beberapa tulang iganya juga remuk. Dan yang paling parah adalah tulang kering kaki kanannya, juga patah hingga terpincang-pincang dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek pengemis tegak sambil mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya. "Sudah kapok atau masih minta digebuk lagi!"
"Tua bangka keparat! Terima ini!" Golok Emas berteriak marah. Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum angin menyambar ke arah pengemis tua.
Dengan tertawa kakek ini lentingkan tongkat kayunya dari bawah ke atas. Angin serangan yang dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya ujung tongkat yang runcing kembali melenting dan kali ini memukul ke arah mata kanan Soka Panaran. Orang ini meraung ketika matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka! Sebaiknya kita pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan dengan tua bangka keparat ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. Lalu tanpa menunggu dia melompat ke pintu pondok. Soka Panaran sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah, terhuyung-huyung lari pula ke arah pintu.
"Hai! Golok emas mu apa tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok Tongkat.
Tapi Soka Panaran terus saja lari dan menghilang dalam kegelapan. Mana dia punya nyali lagi untuk mengambil goloknya itu. Si kakek pungut senjata itu lalu enak saja kedua tangannya mematahkan golok. Ketika diteliti bagian dalamnya, ternyata golok itu hanya bagian luarnya saja yang disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi hitam campur baja.
"Emas butut!" kata si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka. "Cucuku! Kau bukan saja berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku mengambilmu jadi murid!"
Di pantai selatan yang dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki gunung Halimun di sebelah utara, kali Cirampang di sebelah barat dan bukit Gondal di sebelah timur kelihatan satu pemandangan baru. Selama enam bulan ratusan manusia menancapkan batangan-batangan kayu jati setinggi lebih dari tiga tombak dengan ujung-ujung dipotong runcing.
Deretan kayu jati ini berubah menjadi satu pager kukuh yang membatasi deerah sangat luas, terdiri dari beberapa desa danbelasan kampurrg. Ada dua pintu gerbang yang selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan menghadap ke pantai dan di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah terkungkung ini merupakan satu kota besar tak bernama. Namun orang telah menyebutnya sebagai Kota Hantu. Di sinilah Singkil Alit alias Harimau Hitam dan lima kawannya menjadi penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan hampir tiga ratus penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu jati. Lalu membangun rumah-rumah besar untuk mereka.
Orang banyak itu dijadikan budak, dipaksa tinggal dalam kungkungan pagar jati dan dipaksa melakukan dan jadi nelayan. Semua hasil harus diserahkan pada Singkil Alit. Siapa berani membangkang atau coba melarikan diri maka tak ada ampun. Mereka akan dipancung. Mayatnya dipertontonkan agar semua orang takut dan tak mau meniru perbuatan kawannya itu.
Singkil Alit dan kawan-kawannya juga melatih para pemuda untuk dijadikan pengawal-pengawal mereka. Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam puluh orang. Mereka mengawal enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan rumah-rumah besar mewah, dilengkapi dengan beberapa orang perempuan atau gadis cantik hasil culikan dari desa atau perkampungan penduduk.
Di antara keenam manusia durjana itu adalah orang yang bernama Tembesi memiliki lebih dan lima perempuan peliharaan di rumahnya. Dari luar Kota Hantu ini tampak tenang. Tapi di dalam, kehidupan penduduk yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang itu merupakan dunia penderitaan yang tiada taranya. Mereka dipaksa untuk bekerja dan dicambuk bila dianggap malas atau tidak mengbasilkan apa-apa.
Lelaki atau perempuan yang kelihatan seperti sakit-sakitan lenyap secara aneh. Entah dibunuh entah dibuang, mayatnya tak pernah ditemukan. Setiap hari selain saja ada orang-orang dari luar yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk jadi budak kerja paksa.
Hanya dalam waktu dua belas bulan saja nama Kota Hantu ini telah dikenal di kawasan Jawa Barat sebelah selatan. Siapa saja yang mendengar nama kota ini akan merinding bulu kuduknya karena ngeri membayangkan kehidupan penuh siksa di sana. Apakah sebenarnya tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota tertutup itu?
Sebagai seorang tokoh silat golongan hitam yang punya nama angker Singkil Alit sejak lama bercita-cita ingin menguasai rimba persilatan di Jawa Barat. Paling tidak di daerah selatan yang penduduknya rata-rata mempunyai tingkat penghidupan tinggi karena tanahnya subur dan lautnya kaya dengan ikan. Setelah dia merasa cukup modal harta kekayaan maka satu demi satu tokoh-tokoh akan diundangnya datang, lalu dibunuh secara keji.
Singkil Alit tidak mau bekerja sendiri. Untuk itu maka dikumpulkannya beberapa orang kawannya sealiran. Mereka adalah Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga, Wiracula dan tembesi.
Begitulah, sejak enam bulan terakhir ini dunia persilatan di daerah itu ditandai oleh beberapa kejadian aneh, yakni lenyapnya tiga tokoh silat berkepandaian tinggi. Dua dari golongan putih, satu lagi dari golongan hitam. Tak satu orang luarpun yang tahu kalau ketiga tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
Suatu hari ketika keenam iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil meneguk tuak keras dan bergelut-gelut dengan perempuan-perempuan culikan mereka, berkatalah Rah Tongga,
"Singkil, kalau kita hanya menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh silat itu, kurasa dalam waktu dua tahun di muka pekerjaan dan tujuan kita belum selesai. Mungkin pula rahasia kita bocor. Tokoh-tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu kota kita ini..."
Singkil Alit turunkan cangkir bambunya. Sekali bibir dan kumis serta janggutnya yang basah oleh tuak lalu bertanya, "Kau ada rencana apa, Rah Tongga! Coba katakan. Mataku mulai mengantuk. Aku ingin bersenang-senang dengan kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat kawannya yang lain ikut mendangarkan dengan seksama. "Bagaimana kalau kita adakan perjamuan besar. Kita undang orang-orang dunia persilatan di daerah ini. Kita beri racun makanan atau minuman mereka! Nah, sekali bertindak semuanya beres!"
Singkil Alit tegak dari kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang memandang Rah Tongga, lalu maju dan tepuk-tepuk bahu kawannya itu. "Karena hal itu tidak aku pikirkan sebelumnya!" kata manusia berjuluk Harimau Hitam ini, "Rah Tongga! Usulmu aku puji dan aku terima. Kau dan kawan-kawan aturlah perjamuan, kirim undangan! Dan ingat itu harus kita lakukan secepatnya!"
"Jangan kawatir Singkil. Serahkan semua pada aku dan kawan-kawan!" kata Rah Tongga pula penuh senang karena usulnya diterima.
Begitulah, pada bulan pumama sebulan kemudian di Kota Hantu tampak dilangsungkan satu pasta besar. Obor dipasang di sepanjang pager dan di bagian-bagian tertentu hingga kota yang Was itu terang benderang. Di sebuah lapangan, di mana pesta dipusatkan, didirikan sebuah panggung besar.
Di sekeliling panggung tampak deretan meja dan kursi khusus disediakan untuk tuan rumah dan para undangan. Hiasan dan gaba-gaba tersebar di mana-mana menambah semaraknya pesta. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Para tamu-tamu berjumlah sekitar dua puluh orang. Rata-rata mereka adalah tokoh-tokoh silat yang punya nama, terdiri dari golongan hitam dan golongan putih.
"Para tamu yang kami hormati!" kata Singkil Alit "Walau kita ada yang berbeda golongan, tapi dalam pesta ini lupakan semua itu. Kita satu dalam kegembiraan!"
Menjelang tengah malam, di atas panggung yang sejak tadi diperdengarkan alunan karawitan beserta pesinden-pesinden yang cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan, kini tiba-tiba saja acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian yang melanggar susila.
Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis melenggang-lenggok mengikuti alunan terompet bambu dan tabuhan gendang. Semakin cepat tabuhan gendang, semakin binal gerakan mereka. Tiba-tiba ke enam pesinden itu tanggalkan seluruh pakaian yang mereka kenakan. Para tamu dari golongan hitam berteriak-teriak bersuit-suit.
Mereka yang dari golongan putih tersentak kaget. Ini adalah satu hal yang tidak mereka duga. Rasa jengah membuat mereka seharusnya serta merta hendak tinggalkan pesta perjamuan itu. Namun rata-rata mereka semua sudah terlalu banyak meneguk tuak keras, hingga hal itu tidak mereka lakukan. Bahkan mereka menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak berkesip dan tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat para tamu!" tiba-tiba Tembesi berdiri dan berseru. "Jika ada di antara para sahabat yang ingin turut menari silahkan naik ke panggung! Lalu jika para sahabat berkenan boleh cari pasangan. Di rumah besar sebelah kiri telah tersedia kamar dimana para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi...!"
Mendengar ucapan Tembesi itu delapan orang lelaki melompat ke atas panggung. Dari tampang dal pakaian mereka jelas mereka bukan tokoh silat baik-baik. Keenamnya menari seradak-seruduk dalam mabuk, lalu turun dari panggung menarik pasangan lelaki yang dua, yang tidak kebagian pasangan terus saja menari.
"Jangan kawatir!" seru Tembesi kembali. "Persediaan penari cukup banyak!"
Dia bertepuk tangan. Enam perempuan muda muncul pula dalam pakaian sangat tipis. Dua lelaki tadi tampak bingung mau mencari pasangan yang mana karana rata-rata penari itu berwajah cantik. Sementara itu empat lelaki lainnya melompat pula ke atas panggung.
Seperti dikatakan Tembesi, di rumah besar di sebelah kiri panggung terdapat sekitar lima belas kamar. Dua belas tokoh silat golongan hitam itu masuk ke dalam kamar dengan hasrat berkobar-kobar tanpa mengetahui bahwa bukan kesenangan yang bakal mereka dapatkan, tetapi maut!
Begitu masuk ke dalam kamar, para penari segera mengunci pintu dan mempersilahkan setiap tokoh duduk di tepi tempat tidur sambil memijit-mijit bahunya. Semua ini sesuai dengan yang diatur dan diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu setiap penari menyuguhkan secangkir tuak pada tamunya.
Hanya beberapa saat setelah meneguk habis minuman itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar tersungkur muntah darah dan mengerang nyawa. Mereka mati oleh racun jahat yang dicampurkan dalam minuman!
Kita kembali ke tempat pesta di sekitar panggung. Empat tokoh silat golongan hitam dan hampir selusin dari golongan putih duduk sambil mengobrol. Sesekali mata mereka melirik kepanggung, mengharap ada lagi penari telanjang yang bakal muncul.
Saat itu Singkil Alit memberi isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk tangan. Tepuk tangannya yang sekali ini bukan tepuk tangan biasa, melainkan merupakan satu isyarat pada dua puluh orang pelayan perempuan yang menyuguhkan tuak. Kedua puluh pelayan itu segera mendatangi setiap tamu sambil membawa kendi besar berisi tuak yang sudah dicampur dengan racun. Tuak itu dituangkan ke dalam tempat minum para tamu.
Empat tokoh golongan hitam segera meneguknya sampai habis. Sepuluh tamu dari golongan putih melakukan hal yang sama. Hanya seorang yang dalam keadaan mabuk tidak menyentuh minumannya, tapi berdiri. Sambil meracau tak karuan dia melangkah menari-nari dan naik ke atas panggung.
"Mana penari untukku... Mana penari untukku!" katanya berulang kali. Lelaki ini berusia sekitar setengah abad, merupakan ketua sebuah perguruan silat di Karangbolong.
Semua tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta menemui ajal dengan cara yang sama, muntah darah, rubuh dan mati! Sementara lelaki dari Karangbolong masih terus menari, tidak sadar apa yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil Alit mendekati panggung dan berkata pada Tembesi. "Lekas suruh Pinta Manik membereskan yang satu ini. Aku sudah sebal melihatnya. Hari hampir pagi. Kita semua harus melenyapkan belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota komplotan iblis yang bernama Tembesi segera memberi isyarat pada Pinta Manik. Begitu Pinta Manik mendatangi dia lalu memberi tahu apa yang diperintahkan Singkil Alit. Maka Pinta Manik naik ke atas panggung sambil menghunus sebilah pedang. Dengan pedang ini ditembusnya perut tokoh silat yang mabuk dan menari-nari di atas panggung!
Dua puluh satu tokoh silat menemui ajalnya di Kota Hantu pada malam bulan pumama itu. Kelak lenyapnya orang-orang itu baru diketahui selang beberapa bulan kemudian.
Tidak seperti biasanya, sajak dua minggu terakhir laut di pantai barat selalu diselimuti deru angin kencang serta gulungan ombak besar dan tinggi. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut terpaksa tinggal di rumah masing-masing, tak berani turun ke laut.
Di sebuah teluk sempit agak ke selatan Karangbolong terdapat sebuah perkampungan kecil. Di sini hanya ada sebuah rumah bambu besar dikelilingi lima rumah yang lebih kecil. Ini bukanlah sebuah perkampungan nelayan. Melainkan daerah kediaman dan tempat latihan orang-orang dari perguruan silat Elang Putih.
Pagi itu seperti biasanya, sebelum latihan dimulai tiga puluh orang anak murid parguruan duduk bersila di tepi pantai, bartelanjang dada, menghadap ke laut. Tangan masing-masing diletakkan di atas pangkuan, mata dipejamkan. Mereka mengheningkan cita rasa indera sambil berlatih mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Anak murid paling tua, yang manjadi wakil dari ketua parguruan, bernama Indrajit melangkah mundar-mandir mengawasi latihan yang dilakukan tiga puluh saudara sepeguruannya itu. Jika ada yang kurang sempurna atau melakukan kekeliruan dalam hening cita rasa indera itu, dia memberitahu dan menyuruh mamperbaikinya.
Ketika matahari pagi mulai naik dan udara terasa memanas, Indrajit siap memerintahkan anak murid seperguruan untuk rnenghentikan latihan itu, dan seperti biasa akan dilanjutkan dengan latihan gerakan-gerakan silat.
Baru saja Indrajit memberi aba-aba dan para murid perguruan Elang Putih melompat sambil mengeluarkan suara keras, di kejauhan terlihat seorang penunggang kuda bergerak cepat ke arah perkampungan.
"Ketua pulang...!" seru salah seorang murid.
lndrajit terus memperhatikan penunggang kuda itu. Kemudian berkata, "Itu bukan ketua kita."
Memang yang datang bukanlah Ki Mantrayasa sang katua perguruan silat Elang Putih. Penunggang kuda coklat itu sampai di hadapan Indrajit. Tubuh, muka dan pakaiannya kotor oleh debu tanda dia telah menempuh perjalanan jauh. Bibirnyapun tampak kering. Jelas penunggang kuda berusia hampir setengah abad ini kelihatan letih.
"Pamen Gitasula, kedatanganmu setelah hampir setahun tak pernah muncul sangat menggembirakan kami. Kau tentunya haus. Biar kusuguhkan minuman segar untukmu!"
Selesai berkata begitu Indrajit cabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Senjata ini dilemparkannya ke atas pohon kelapa. Sebutir kelapa yang tertebas oleh golok ini bukan saja terbabat putus dan jatuh ke bawah, tapi sekaligus ujungnya ikut terpotong hingga membuat lubang di tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit menangkap goloknya, sedang tangan kanan menjangkau kelapa yang jatuh lalu menyodorkannya pada orang bernama Gitasula.
"Silahkan minum paman!"
Gitasula yang memang sangat haus dan letih segera meneguk air kelapa muda yang segar dan manis itu sampai habis, lalu membuang buah kelapanya ke pasir. Ombak menyapu pantai, butiran kelapa itu terseret laut, terapung-apung dipermainkan ombak.
"Paman Gita, sayang kau datang pada saat ketua kami tidak di sini. Gerangan apakah yang membawa paman tiba-tiba ingat kami dan datang ke sini...?"
Gitasula memandang wajah Indrajit sesaat, ia menatap ke arah puluhan murid-murid perguruan. Melihat sikap orang ini Indrajit merasa tidak enak. Terlebih ketika Gitasula berkata,
"Indrajit, mari kita bicara di dalam sana."
Lelaki ini lalu turun dari kudanya. Seorang anak murid perguruan segera menggiring kuda tunggangannya den menambatkannya ke batang pohon kelapa. Setelah memberitahukan pada saudara seperguruannya agar mereka melanjutkan latihan, Indrajit dan Gitasula melangkah menuju rumah besar, langsung masuk ke ruang dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah, paman. Katakanlah apa maksud kedatanganmu kemari," kata Indrajit pula.
"Aku datang membawa kabar buruk Indrajit..."
"Kabar buruk apa paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut tapi sikapnya tetap tenang.
"Kabar buruk bagi perguruan Elang Putih."
"Ada yang tidak suka dengan perguruan kami lalu hendak menjajal kekuatan kami. Atau langsung ingin menyerbu kemari? Seperti yang kejadian dua tahun lalu dengan orang-orang dari pantai utara itu?"
Gitasula gelengkapan kepalanya. "Bukan itu Indrajit. Sejak kalian menyapu orang-orang dari utara tempo hari, sejak itu pula nama perguruan kalian menjadi terkenal, dihormati dan disegani. Kabar buruk yang kumaksudkan adalah mengenai guru atau ketua kalian."
"Kami memang sedang menunggu-nunggu ketua. Janji beliau paling lambat akan meninggalkan perguruan satu kali bulan pumama. Tapi ini sudah lewat dua kali pumama…"
"Kau tahu ke mana ketuamu Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit mengangguk. "Beliau menerima undangan dari seseorang di pantai selatan…"
"Kau kenal siapa pengundang itu?"
Indrajit menggeleng. "Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi memenuhi undangan. Beliau tak banyak memberi keterangan mengenai undangan, hanya katanya ada pertemuan tokoh-tokoh silat Jawa Barat di selatan. Memangnya apa yang telah terjadi paman?"
Gitasula tak segera menjawab. Sejurus kemudian baru dia membuka mulut berkata, Kuharap kau menerima kenyataan ini dengan tabah, Indrajit..."
"Paman! Katakan apa yang terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua perguruan Elang Putih, yang juga merupakan gurumu telah menemui kematian. Dibunuh orang!"
Indrajit bangkit dari duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga puluh lima tahun ini bergetar. Kadua matanya memandang mendelik pada Gitasula penuh rasa tak percaya. "Paman, kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar Indrajit. Undangan yang disampaikan orang itu pada Ki Matrayasa adalah undangan maut. Mereka sudah merencanakan maksud jahat dan keji. Yaitu melakukan pembunuhan. Dan bukan hanya ketua saja yang mereka bunuh tapi lebih dari lima belas tokoh-silat di Jawa Barat ini!"
"Paman, jika kau datang membawa kabar musibah besar ini, berarti kau juga mengetahui siapa pembunuh ketua kami!"
"Mereka adalah manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut Gitasula.
"Kota Hantu? Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa iblis-iblis yang kau maksudkan itu paman?!"
"Beberapa bulan lalu, satu komplotan yang terdiri dari enam manusia durjana di bawah pimpinan Singkil Alit membangun sebuah kota raksasa, terdiri dari beberapa desa dan puluhan kampung. Seluruh kota dikelilingi pagar tinggi. Dua pintu gerbang masuk dan keluar dikawal oleh penjaga-penjaga secara keta..."
Selanjutnya Gitasula menuturkan apa yang diketahuinya tentang kehidupan mengerikan di dalam kota itu. "Penduduk tak lebih dari pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh melakukan apa saja. Mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai menangkap ikan ke laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan di mana-mana. Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk diserahkan pada enam manusia iblis itu! Siapa saja yang berani membangkang perintah atau coba melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu Gitasula menceritakan malapetaka keji yang terjadi di malam bulan purnama dua bulan lalu. "Kabarnya hampir semua tamu menemui ajal karena diracun. Tapi ketua kalian, sahabatku Ki Matrayasa mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil Alit..." desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata berapi-api. "Kau harus bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan nyawa lima anggota komplotanmu!" Lalu pemuda ini berpaling pada Gitasula. "Paman katakan siapa sebenarnya manusia bernama Singkil Alit itu. Di mana letak Kota Hantu dan apa sesungguhnya maksudnya hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa sebenarnya Singkil Alit masih gelap bagiku. Dia bersama teman-temannya muncul begitu seperti setan di siang bolong! Yang jelas mereka terutama Singkil Alit memiliki kepandaian tinggi. Disamping itu mereka juga licik dan keji. Ganas melebihi iblis! Kota Hantu yang mereka bangun dan kuasai terletak di tenggara, enam hari perjalanan berkuda dari sini, di kaki gunung Halimun. Lalu apa maksud mereka melakukan semua keganasan itu menurut para tokoh, ada beberapa alasan. Pertama mereka ingin memiliki harta kekayaan. Kedua mungkin ada rencana untuk menyerbu Kerajaan. Namun menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai kehidupan hitamnya dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa Barat ini. Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke perjamuannya!"
"Jika memang demikian Singkil Alit dan lima iblis lainnya itu harus dimusnahkan!" kata Indrajit pula. "Dan aku sebagai murid ketua Ki Matraysa bersumpah untuk menebas batang leher Singkil Alit!"
"Aku dan sisa-sisa tokoh silat di Jawa Barat ini juga punya pendapat demikian Indra," kata Gitasula pula. "Namun apapun langkah yang kita susun, kita harus merencanakan dengan hati-hati. Enam Iblis Kota Hantu itu bukan manusia-manusia sembarangan. Belum lagi puluhan pengawal mengelilingi mereka, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu tempat tidur mereka!"
"Aku mengerti paman," sahut Indrajit. "Jika kita bergabung masakan tidak mampu menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk membalaskan sakit hati guru!"
"Kalau begitu kau datanglah ke tempatku di Lemburawi di kaki gunung Malabar. Pada hari dua belas bulan di muka. Aku telah mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika rencana matang, menyerbu Kota Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih dekat."
Jika menurutkan hati amarahnya Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu ke Kota Hantu. Namun menyadari kekuatannya sendiri dan menghormati rencana yang rupanya sudah disusun oleh paman Gitasula maka pemuda ini menyetujui rencana Gitasula itu.
Dua orang penjaga pintu gerbang selatan Kota Hantu segera menghunus senjata masing-masing ketika seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan. Sementara udara malam dingin menusuk tulang, apalagi angin juga bertiup kencang.
"Siapa dan mau ke mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika mengetahui pandatang bukan penduduk Kota Hantu.
"Namaku Sirat Gambir, datang dari pantai barat ingin memasuki kota guna menemui pemimpin kalian!" jawab penunggang kuda dengan sikap keren.
"Kami tidak pernah mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam buta begini untuk menemui pimpinan kami! Kau boleh pergi dan datang besok pagi!"
"Kenal aku atau tidak itu bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan harus menemui pimpinan kalian malam ini juga. Aku membawa urusan penting!"
"Katakan apa urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini satu urusan rahasia dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan pada Singkil Alit atau salah seorang anggota pimpinan Kota Hantu lainnya," kata penunggang kuda bernama Sirat Gambir.
"Apapun urusanmu pimpinan kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitu!" ujar Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal. "Baik, aku akan pergi. Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian, dan pemimpin kalian mengetahui bahwa aku datang membawa kabar tapi kalian tidak memberi izin, maka leher kalian akan ditebas!" Sirat Gambir putar kudanya.
Dua pengawal tampak saling pandang. Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berkata, "Baiklah, kamu kami izinkan masuk kota. Tapi untuk bertemu dengan pimpinan harus menunggu sampai pagi!"
"Aku akan masuk kota. Dan kalian harus memberi tahu kedatanganku pada pimpinan kalian. Jika menunggu sampai besok segala sesuatunya akan terlambat! Urusanku bukan urusan main-main. Tapi urusan keselamatan pimpinan dan seluruh isi Kota Hentu ini!"
"Kami harus menggeledahmu lebih dulu!"
"Sialan! Kalau aku bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin segala? Mempreteli kalian bardua bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh Sirat Gambir tiba-tiba melesat dari atas punggung kuda. Kakinya kiri kanan tahu-tahu sudah memijak kepala kedua pengawal itu, lalu bersalto di utara, di lain saat sudah tegak di depan pintu gerbang. Dua pengawal pintu gerbang terkejut, mereka segera menyadari kalau mau orang bernama Sirat Gambir itu tadi-tadi dapat menendang hancur kepala mereka!
"Nah, apakah kalian masih belum mau membuka pintu untukku?!" tanya Sirat Gambir. Cepat-cepat salah seorang pengawal segera mengetuk pintu gerbang. Dua kali berturut-turut, lalu tiga kali. Sebuah lobang empat persegi terbuka pada salah satu bagian pintu gerbang. Satu kepala muncul dan bertanya,
"Ada apa?"
"Buka pintu. Ada tamu penting untuk pimpinan!" jawab pengawal yang di luar.
"Tamu? Malam-malam begini?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa namanya, datang dari mana dan apa urusannya?"
"Aku bertanggung jawab penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya. Lekas buka pintu!"
Pengawal yang di dalam, yang rupanya berpangkat lebih rendah tak berani lagi menjawab lalu cepat-cepat membuka palang besi pintu gerbang besar itu. Dengan di antar oleh dua orang pengawal berkuda Sirat Gambir kemudian dibawa ke tempat kediaman pimpinan Kota Hantu.
Walaupun saat itu sudah lewat tengah malam namun seperti biasa di rumah besar kediaman Singkil Alit suasana selalu kelihatan ramai. Enam pimpinan Kota Hantu itu hampir setiap malam berkumpul di situ, menikmati minuman dan makanan lezat, menghibur diri dengan perempuan-perempuan cantik mereka ambil secara paksa atau culik dari desa-desa sekitar kota.
Pinta Manik tengah menggeluti tubuh seorang gadis desa yang diculik tiga hari lalu ketika pengawal dari pintu gerbang selatan ditemani pengawal rumah besar. Melihat kehadiran kedua pengawal ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal keparat! Kau minta mati berani kurang ajar datang kemari tanpa dipanggil?!"
Rangga, Rah Tongga, Wiracula danTembesi yang sedang di ruangan itu sama-sama berpaling ketika mendengar bentakan kawan mereka tadi. Singkil Alit saat itu berada di ruangan dalam. Pengawal rumah besar menjura ketakutan dan buru-buru berkata,
"Mohon maafmu pimpinan. Pengawal pintu gerbang selatan datang membawa kabar penting."
"Kabar penting! Kabar penting apa?!" Pinta Manik memandang pada pengawal pintu gerbang.
Pengawal pintu gerbang segera membuka mulut. "Seorang bernama Sirat Gambir mengaku datang dari pantai barat ingin menemui pimpinan di sini. Menurut dia ada urusan sangat penting yang akan dibicarakannya. Katanya menyangkut keselamatan para pimpinan bahkan seluruh kota!"
"Hebat sekali!" kata Pinta Manik lalu memandang pada empat kawannya. Kelima manusia iblis itu kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta Manik memandang ke luar. Di pekarangan depan rumah besar memang dilihatnya ada seora penunggang kuda berpakaian warna gelap, berambut gondrong dan memakai ikat kepala, didampingi seorang pengawal yang juga menunggang kuda dan senjata terhunus.
"Orang yang memakai ikat kepala itu yang bernama Sirat Gambir?" tanya Pinta Manik. Dua pengawal mengiyakan. "Hem... suruh dia datang kemari! Jika dia ternyata kucing dapur yang membuang-buang waktuku saja, akan kupatahkan batang Iehernya!"
Maka Sirat Gambir pun dibawa menghadap Pinta Manik sementara empat pimpinan Kota Hantu lainnya tinggalkan tempat masing-masing dan melangkah mengelilingi Sirat Gambir.
"Katakan apa keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat Gambir menghitung. Hanya ada lima orang di hadapannya. Setahunya pimpinan Kota Hantu berjumlah enam orang. "Ada kabar panting yang akan kusampaikan. Tapi hanya akan kukatakan atas dasar dua syarat. Pertama, kalian harus lengkap enam orang. Aku harus tahu yang mana pimpinan tertinggi di antara kalian. Lalu, untuk berita yang kubawa ini aku minta imbalan paling tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang alis Pinta Manik naik ke atas, keningnya menggerenyit. Tiba-tiba dia tertawa membahak. Empat kawannya ikut tertawa. Saat itu dari ruang dalam mendengar suara ramai,keluarlah Singkil Alit.
"Pesta kalian ramai sekali. Ada perempuan baru atau ada yang lucu?!" tanya Singkil Alit sambil betulkan celana hitamnya.
"Singkil! Kita kedatangan seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat sendirilah kemari!" kata Pinta Manik
Singkil Alit melangkah ke hadapan Sirat Gambir sementara Pinta Manik menerangkan nama dan maksud kedatangan orang yang dikatakannya seekor monyet itu. "Hemmm... Sirat Gambir, coba kau terangkan urusan yang katamu sangat panting itu. Menyangkut keselamatan kami dan seluruh kota! Jika berita itu cukup berharga mungkin kami bisa memberi imbaian. Tapi apapun imbalannya kami yang menentukan, bukan kau!"
"Sepuluh uang emas! Kalau kalian tidak bisa menerima, lebih baik tak kukatakan dan aku akan pergi saat ini juga!" kata Sirat Gambir.
Singkil Alit tampak berubah wajahnya. Sekian lama menjadi pimpinan di Kota Hantu itu tak ada seorang pun yang berani bicara seperti itu padanya, apalagi orang luar. Maka pimpinan Kota Hantu itupun bertanya, "Sirat Gambir, apakah kau sadar berada di mana saat ini? Dan berhadapan dengan siapa?!"
Sirat Gambir memang bukan seorang pengecut. Dia tahu jika terjadi apa-apa tak akan mampu baginya, menghadapi enam manusia iblis itu. Namun mengingat berita yang dibawanya luar biasa pentingnya bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di atas angin.
"Aku cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan siapa. Aku menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namun mengingat berita yang kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main maka adalah wajar jika aku mendapatkan imbalan!"
"Bagus! Aku senang pada manusia-manusia yang berani bicara terus terang. Tapi aku tidak suka pada orang yang bicara bertele-tele! Katakan apa berita panting yang ingin kau sampaikan itu! Soal imbalan kita bicara belakangan! Sepuluh tail emas tidak ada artinya bagi kami! Tapi jika beritamu ternyata kentuk busuk belaka maka kau harus pergi dari sini dengan meninggalkan lidahmu!"
"Nah... nah... nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi kami malam ini sangat berbaik hati hanya minta kau meninggalkan lidahmu, dan bukan jantungmu!"
Singkil Alit tersenyum. "Aku tahu. Soal nyawa manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran kerbau. Setiap saat kalian bisa membunuhku. Namun itu berarti tabir rahasia berita yang akan kusampaikan tak akan pernah kalian ketahui. Kalaupun kalian akhirnya mengetahui maka sudah terlambat. Kota ini mungkin sudah jadi lautan api. Kalian sendiri mungkin sudah menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat! Ceritamu hebat! Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!" menyahuti Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau membuat kota ini menjadi lautan pi dan mampu membunuh kami Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika kalian tidak tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!" kata Sirat Gambir jadi jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium bahwa bagaimanapun enam manusia Iblis itu ingin mengetehui apa sebenarnya berita yang hendak disampalkan Sirat Gambir.
"Baik! Kami tertarik. Nah katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya dulu!" sahut Sirat Gambir.
"Keparat sialan!" maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat Gambir hanya ganda tertawa. "Berikan uang yang diminta bangsat ini!" teriak Singkil Alit kemudian.
Rangga keruk pinggang pakaiannya. Lalu lemparan sebuah kentong kain ke hadapan kaki Sirat Gambir. Orang ini membungkuk untuk mengambil kantong itu. Namun sebelum ujung-ujung jarinya menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan satu tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang mengejutkan keenam manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat Gambir sejak semula sudah mengetahui manusia-manusia bagaimana adanya enam orang yang dihadapinya itu. Selain bengis ganas mereka juga rata-rata licik. Karenanya sewaktu membungkuk mengambil kantong kain yang waktu jatuh mengeluarkan suara bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan.
Begitu dilihatnya Rah Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir melompat ke kiri, menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki kirinya menjepit kantong uang. Kantong itu melesat ke atas, dan ketika dia berdiri di sudut ruangan, kantong sudah ada dalam genggamannya. Sambil menyeringai Sirat Gambir berkata,
"Aku datang dengan maksud baik. Antara kita tak ada silang sengketa. Tapi jika kalian bertindak licik dan ganas, kalian akan rasakan sendiri akibatnya!"
Baik Singkil Alit maupun lima manusia iblis lainnya kaget bukan kepalang. Tendangan yang tadi dilepaskan Rah Tongga bukan tendangan sembarangan. Merupakan tendangan maut yang sulit untuk dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup selamatkan diri nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang di situ Singkil Alit buru-buru berkata,
"Sirat Gambir, jangan kau salah sangka! Kawanku yang satu ini memang suka usilan. Dia hanya tak sabar untuk membuktikan bahwa kau bukan orang sembarangan. Yang berarti apapun berita yang bakal kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm begitu? Baik! Tapi untuk tendangan tadi kalian haus mengeluarkan bayaran tambahan sepuluh mata uang emas lagi!" kata Sirat Gambir.
"Kurang ajar! Jadi kau hendak mempermainkan kami?!" sentak Tembesi.
"Bukan aku! Tapi kalian yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat Gambir pula. "Nah, kalian berikan apa yang kuminta. Atau aku akan tinggalkan tempat ini!"
"Singkil!" berkata Wiracula dengan tampang menunjukkan keberingasan. "Anjing jalanan seperti dia kenapa tidak kita gorok saja batang lehernya?!"
"Tenang Wira..." bisik Singkil Alit. "Monyet satu ini di samping punya sedikit ilmu juga licik. Biar aku yang melayaninya." Lalu pada Sirat Gambir pimpinan Kota Hantu itu berkata, "Sobatku, jika maksudmu datang adalah baik, mengapa buru-buru pergi. Jangan khawatir. Tambahan uang yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma sepuluh tapi lima puluh mata uang emas!"
Singkil Alit memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Orang ini masuk ke dalam, ketika keluar dia membawa sebuah kantong kain. Kantong isi uang ini diserahkan Singkil Alit pada Sirat Gambir.
"Nah, kau sudah menerima apa yang kau minta. Sekarang katakan berita penting apa yang hendak kau sampaikan pada kami?!"
Setelah menghitung terlebih dulu uang dari kantong kain dan memasukkannya ke balik pakaianya, Sirat Gambir melangkah mundur ke dekat pintu. Dia sengaja mencari tempat yang baik agar jika terjadi apa-apa dapat tinggalkan tempat itu dengan cepat. Namun Singkil Alit yang bergelar Harimau Hitam juga tidak bodoh.
Selagi Sirat Gambir sibuk menghitung uang emas dalam kantong, dia memberi isyarat lima anak buahnya. Kelima orang ini segera menyusul kedudukan sementara di luar rumah besar, cepat sekali dua puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil Alit, kau dan kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu? Ketika kalian mangadakan jamuan makan minum. Mengundang puluhan tokoh silat di kawasan barat ini!" berkata Sirat Gambir.
"Oh, itu...? Apa hubungannya dengan berita yang hendak kau sampaikan?!"
"Kalian mungkin menyangka bahwa pembunuhan keji yang kalian lakukan terhadap semua undangan itu tidak bocor keluar. Banyak tokoh silat di luar kini sudah mengetahuinya..."
"Lalu?"
"Mereka kini menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu. Menyama-ratakan dengan tanah dan membunuh kalian berenam!"
Mendengar keterangan Sirat Gambir itu Singkil Alit memandang pada kawan-kawannya. Keenamnya lalu tertawa gelak-gelak.
"Masih saja ada manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!" kata Singkil Alit. "Kota ini bernama Kota Hantu. Siapa yang berani masuk akan berhadapan dengan hantu-hantu! Akan mampus!"
"Aku hanya memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok sembarangan," kata Sirat Gambir pula.
"Hem... Katakan kalau kau tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata sambil tolak pinggang.
"Yang menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bernama Gitasula. Dia saudara sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat Elang Putih yang ikut jadi korban pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk pimpinan perguruan itu sekarang dipegang oleh murid terpandai bernama Indrajit. Tiga puluh anak buah perguruan siap menyerbu ke sini..."
"Jangankan tiga puluh, tiga ratus pun mereka boleh datang kemari jika memang mau mati konyol!" Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama Gitasula ataupun Indrajit dengan perguruan silat Elang Putihnya mungkin bukan apa-apa bagi kalian. Namun dengan mereka juga bergabung beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Yang pertama Ingar Gandra, tokoh silat dari Ujung Kulon yang bergelar Sultan Maut..."
Singkil Alit dan kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa kaget. Meskipun mereka berenam tidak takut namun mereka tahu betul Ingar Gandra memang bukan tokoh silat sembarangan.
"Siapa lagi lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk Hijau!" jawab Sirat Gambir.
"Jadi tua bangka keropos itu juga ikut berkomplot melawan kami!" ujar Singkil Alit sambil puntir kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada. Tapi mereka tidak kukenal. Di antaranya seorang bertopeng..." Lalu Sirat Gambir menyambung. "Nah keteranganku tentang orang-orang itu sudah lengkap. Aku sudah menerima imbalan dari kalian, saatnya aku pergi. Namun…"
"Namun apa lagi?!" Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika kalian mau memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku akan berikan keterangan di mana dan dari mana kelompok orang-orang itu akan mengatur serangan."
"Manusia temahak haram jadah!" maki Tembesi sambil melangkah menghampiri Sirat Gambir, siap untuk menghajarnya.
Namun Singkil Alit cepat memegang bahu kawannya ini. Pada Sirat Gambir manusia bergelar Harimau Hitam ini berkata, "Uang bagi kami bukan apa-apa. Katakan di mana mereka mengatur serangan."
"Uangnya dulu!" kata Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan menyeringai.
"Ambil uang!" seru Singkil Alit.
Sesaat kemudian sebuah kantong berisi dua puluh lima keping uang emas sudah berpindah ke tangan Sirat Gambir. Dengan demikian dia sudah mendapatkan lima puluh keping uang emas. Satu jumlah yang luar biasa. Seorang Adipati sekalipun di masa itu belum tentu memiliki uang sebanyak itu.
"Dengar, mereka mengatur serangan dari sebuah pondok di lembah Cilandak. Setengah hari perjalanan dari sini ke arah barat laut!"
Singkil Alit manggut-manggut. "Sirat Gambir, keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima puluh uang emas itu. Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih. Jika saja kau suka, kau boleh tinggal disini bersama kami. Kita menyambut komplotan orang-orang tolol itu. Kau akan mendapat sebuah rumah dalam kota ini, semua keperluanmu terjamin. Termasuk perempuan cantik!"
Sirat Gambir tersenyum mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu itu dan menjawab, "Terima kasih. Tidak disangka manusia-manusia iblis Kota Hantu berhati polos seperti itu. Hanya sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini dan berkumpul dengan kalian. Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada lebih lama di sini!"
Sirat Gambir putar tubuhnya namun dia jadi terkejut ketika mendapatkan pintu keluar telah dihadang rapat oleh puluhan pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah mengetahui bahwa para pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi, walaupun cuma ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam iblis Kota Hantu.
Sirat Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata, "Singkirkan cacing-cacing busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke dalam tanah!"
Singkil Alit tertawa gelak-gelak. "Kau singkirkanlah sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada lima kawannya. Keenam orang itu kemudian membentuk setengah lingkaran dan melangkah mendekati Sirat Gambir.
Melihat keadaan ini Sirat Gambir segera menghantam ke kiri. Dua pengawal roboh. Dari pengawal yang ketiga dia merampas sebilah golok lalu menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi roboh. Namun yang datang malah tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan kawan-kawannya mulai menyerang.
Sirat Gambir ternyata memang bukan orang sembarangan. Setelah membunuh delapan pengawal, melukai empat lainnya bahkan berhasil menendang Rah Tongga dia berusaha melarikan diri dengan melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak membobol atap itu lalu kabur di kegelapan malam.
Namun sebuah senjata rahasia yang dilemparkan Wiracula dan tapat mengenai punggung kirinya membuat lelaki ini kehilangan keseimbangan. Sebelum dia sempat bergayut pada kayu kaso atap, dua dari enam iblis Kota Hantu sudah melompat pula ke atas mengejarnya. Satu jotosan menghantam pelipis kiri Sirat Gambir. Satu sodokan sikut mematahkan dua tulang iganya.
Tubuh Sirat Gambir melayang jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh ini dia masih sempat kirimkan satu tendangan ke dada salah seorang penyerangnya. Tendangan itu tepat, mengenai dada Pinta Manik. Darah menyembur dari mulutnya. Manusia iblis satu ini terhampar jatuh duduk di lantai, cepat ditolong oleh kawan-kawannya. Sementara itu lebih dari selusin macam senjata para pengawal dihunjamkan ke tubuh Sirat Gambir yang jatuh dan terkapar tak berdaya.
"Manusia setan alas!" maki Singkil Alit.
"Bawa mayatnya keluar, lemparkan keluar pagar kota!"
Setelah mayat Sirat Gambir diseret keluar para pimpinan Kota Hantu ittu kecuali Pinta Manik segera mengadakan perundingan.
"Siapapun komplotan yang hendak menyerbu itu aku tidak takut," kata Singkil Alit. "Namun yang bergelar Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah menghadapinya, perlu diperhitungkan. Dia dekat dengan Istana Banten…"
"Kalau kita bisa menyusun rencana kenapa musti khawatir. Aku ada usul." kata Tembesi pula.
Hari masih terang-terang tanah ketika lima sosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat laksana hantu malam, bergerak mengelilingi pondok kayu. Tiba-tiba di dalam pondok terdengar seruan,
"Semua bangun! Ada orang datang."
Serentak pintu depan terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang tegak di halaman samping, menghadapi lima lainnya yang berpakaian serba hitam yang bukan lain dalah Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi, Wiracula dan Rangga.
Tiga orang yang barusan menghambur dari dalam pondok adalah pemuda Indrajit anak murid Ki Mlatrayasa dari perguruan siiat Elang Putih, lalu kakek bermuka hijau yang dikenal dongan sabutan Datuk Hijau. Sedang yang ketiga adalah Gitasula, saudara sepupu mendiang Ki Matrayasa.
"Hamm... kulihat cuma tiga ekor monyet! Mustinya lebih banyak dari ini. Mana monyet-monyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau Hitam buka suara.
Kakek bermuka hijau perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-kucak mata dia berkata. "Jauh-jauh menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri unjukkan tampang! Manusia-manusia iblis Kota Hantu. Mana kambratmu yang satu lagi? Mengapa cuma muncul berlima?!"
Mendengar sebutan iblis Kota Hantu itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya dia memang tak pernah melihat atau mengenal manusia-manusia ini. Begitu mengetahui kalau lima orang berpakaian serba hitam bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia durjana yang telah membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan membentak.
"Kelian telah membunuh ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian berlima harus mampus di tanganku!"
"Anak muda!" ujar Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin buru-buru menyusul ketuamu?!"
Panaslah hati Indrajit. Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke arah Rah Tongga.
"Cacing ingusan! Berani bermulut besar berani menerima bagian!" kata Rah Tongga dan sambut pukulan Indrajit dengan tangkisan lengan kiri.
Semula manusia iblis ini tidak memandang sebelah mata pada anak murid perguruan silat Elang Putih itu. Tapi begitu lengan mereka saling beradu, tampak jelas Rah Tongga mengerenyit menahan sakit. Sebaliknya Indrajit tersurut satu langkah. Meski tangannya tidak sakit namun pemuda ini menyadari kalau lawan memiliki tenaga lebih besar. Karenanya dengan mengerahkan tenaga dalam dia kembali menyerang. Singkil Alit dan Wiracula tak tinggal diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka hijau.
Sementara Tambesi dan Rangga menerjang Gitasula. Datuk hijau adalah tokoh tua yang sudah lama tidak muncul dalam dunia persilatan. Sebetulnya kakek ini tidak berminat lagi mencampuri segala macam urusan dunia persilatan. Dia lebih banyak menyepi diri. Namun kemunculan enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit alias Harimau Hitam dan berdirinya Kota Hantu mau tidak mau membangkitkan semangat muda sang datuk yang ingin melihat tegaknya kebenaran dan hancurnya kejahatan. Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan sekali ini rupanya tak bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi.
Korban pertama yang jatuh dalam pertempuran itu adalah Gitasula. Pengeroyokan atas dirinya berlangsung sembilan jurus ketika Rangga dan Tembesi keluarkan senjata yakni berupa best hitam yang ujungnya diganduli bola besi penuh duri tajam. Setiap pimpinan Kota Hantu memiliki senjata seperti itu dan selalu mereka keluarkan bilamana lawan yang dihadapi dianggap cukup kuat tak mungkin dikalahkan dengan ilmu silat tangan kosong.
Gitasula yang mempertahankan diri dengan sebilah pedang keluarkan seluruh kepandaiannya. Pedang saatnya menyabet kian kemari membentuk bayang-bayang masuk. Puncak kehebatan Gitasula hanya sampai pada kesanggupan merobek perut pakaian Rangga. Di lain saat bola besi berduri di ujung rantai Tembesi melabrak bahu kanannya hingga lelaki ini terbanting sempoyongan ke kiri. Daging dan tulang bahunya hancur. Darah membasahi sisi kanan tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu Rangga datang menyerbu. Rantai hitam di tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola berAri tiba-tiba melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu membuat gerakan mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis. Dia memilih memukul rantai besi dari pada memukul bola berduri.
"Kraakkk...!"
Terdengar suara patahnya tulang lengan Gitasula ketika tangannya beradu dengan rantai besi. ban nyatanya dia tidak pula berhasil menyelamatkan mukanya karena akibat pukulan pada rantai besi, bola besi justru melentur melejit menghantam mukanya lebih cepat dan lebih keras!
Gitasula terlontar beberapa langkah. Terkapar di tanah dengan muka hancur mengerikan. Melihat kematian Gitasula, Indrajit berteriak marah. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang Rah Tongga dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat Elang Putih. Tubuhnya berkelebat kian kemari. Sepasang tangannya laksana dua sayap burung elong, mengembang mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang kakinya kiri kanan pada waktu-waktu tertentu lancarkan tendangan yang tidak terduga Rah Tongga jadi kaget ketika dapatkan dirinya terkurung rapat dan tak mampu membalas. Dia mundur terus sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk kanannya. Dadanya terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada tulangnya yang patah. Yang jelas amarahnya menggelegak. Terlebih ketika didengarnya ejekan Tembesi.
"Tongga! Ternyata kau tak sanggup menghadap pemuda yang kau anggap cacing ingusan itu! Sarahkan dia pada kami!"
"Tutup mulutmu Tembesi! Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!" sahut Rah Tongga dengan muka marah.
Habis berkata begitu manusia iblis ini loloskan rantai hitam yang ujungnya bola-bola berduri lalu mengamuk menggempur Indrajit. Mendapat serangan ganas begini rupa, yang tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, murid mendiang Ki Matrayasa itu segera keluarkan pula senjatanya, sebilah pedang yang memiliki ketajaman pada kedua sisinya.
Di bagian lain walaupun sudah mengurung rapat namun Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup merubuhkan si kakek muka hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan pukulan-pukulannya terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua lawannya. Namun kematian Gitasula mempengaruhi diri kakek ini, hingga gerakan-gerakannya menjadi sedikit lamban. Walaupun begitu tetap sulit bagi dua lawannya untuk menerobos, susupkan pukulan atau tendangan.
Setelah menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih banyak, Singkil Alit berikan isyarat pada Wiracula. Dari mulut Singkil Alit keluar suara mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring ke depan, kedua kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke depan, kedua tangan menggapai mencengkeram, persis seperti harimau yang hendak melahap mangsanya. Wiracula keluarkan suara tak kalah seramnya. Dia menggereng macam harimau terluka. Kalau Singkil Alit menerjang dari depan maka dia melesat dari samping kiri.
Datuk Hijau maklum kalau dua lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang terhebat. Karananya diapun tak mau berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sesaat kemudian tangannya kiri kanan telah memegang sehelai sapu tangan putih. Sapu tangan itu disapukannya ke mukanya yang hijau. Aneh, begitu disapukan sapu tangan yang tadi berwarna putih itu kini berubah jadi hijau.
Dan begitu lawan mendekat, Datuk Hijau kebutkan dua helai sapu tangan itu menyongsong serangan. Angin keras menderu disertai membersitnya sinar hijau yang jelas kelihatan karena saat itu hari telah mulai pagi dan terang. Kehebatan ilmu si kakek mau tak mau membuat kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat tua ini ternyata masih punya kuku. Kalau tak lekas dihabisi bisa berabe!" pikir Singki Alit.
Maka sebelum dua tangannya yang menggapai mencengkeram ke depan bergerak lebih jauh, tiba-tiba pemimpin Kota Hantu ini berputar berjumpalitan ke kanan. Di saat itu pula terdengar suara berdesing dan sambaran benda hitam! Ternyata Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya diganduli bola berduri.
"Brettt...!"
Sapu tangan di tangan kiri Datuk Hijau robek Singkil Alit melompat mundur dengan wajah berubah meski dia berhasil menghancurkan senjata lawan, namun tonjolan runcing pada bola besi hitamnya tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal baginya. Kain yang begitu lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat dibayangkan kalau yang kena dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan sapu tangan hijau sang datuk rupanya, dirasakan juga oleh Wiracula. Angin yang keluar dari sapu tangan di tangan kanan Datuk Hijau seolah-olah badai besar yang datang menggulungnya hingga gerakannya tertahan. Ketika dicobanya mendobrak ke depan dengan melipat gandakan tenaga dalam dan lawannya kebutkan sapu tangan hijau, Wiracula terpental. Hampir saja dia kena terserempet serangan susulan Datuk Hijau kalau sang datuk tidak cepat-cepat tarik serangannya karena dari lain jurusan kembali menderu bola besi yang dihantamkan Singkil Alit!
Kegesitan dan kecepatan gerakan mambuat Indrajit berkali-kali hampir mencelakai lawannya. Sebaliknya Rah Tongga, iblis yang berbadan paling gendut itu makin lama makin lamban gerakannya. Tenaganya terkuras karena serangan rantai dan bola besinya selalu mengenai tempat kosong. Karena tidak berhasil menghantam tubuh atau kapala lawan dengan senjatanya maka, Rah Tongga kini arahkan serangannya untuk memukul tangan atau pedang Indrajit.
Si pemuda yang nengetahui maksud lawan pergunakan kecerdikan untuk menghindari bentrokan senjata. Akibatnya serangan-serangan Rah Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui sabagai murid tertua dari perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang Indrajit telah mewarisi seluruh kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi dengan semangat tinggi demi untuk membalas kematian sang guru. Setelah bertempur lebih dari dua puluh lima jurus, mulai terdengar suara...
"Brettt! Brettt...!"
Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah Tongga, dicabik ujung padang si pemuda. Menusia iblis ini keluarkan keringat dingin dan putar rantai besinyamya lebih sebat!
Melihat dua kawannya yaitu Tembesi dan Rangga hanya tegak cengar cengir sementara dia dan yang lain-lainnya masih terus bertempur menghadapi lawan tangguh, Singkil Alit jadi berang dan berteriak.
"Tembesi! Bantu Rah Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku menghadapi tua bangka muka hijau ini!" Mendengar perintah itu Tembesi segera melompat ke samping Rah Tongga, langsung menyerang Indrajit dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga sudah menerjang Datuk Hijau dengan senjata yang sama dari arah belakang.
Dengan ketambahan satu lawan masing-masing, Indrajit dan Datuk Hijau kini berada dalam keadaan terancam. Bagaimanapun mereka kerahkan kepandaian namun dikeroyok begitu rupanya jurus demi jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang dikeroyok tiga mengalami nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula berhasil melibat lengan kanan kakek muka hijau itu.
Meskipun dengan cepat dia mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengaroyoknya yang lain pergunakan kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit datang dari sebelah kanan, sehingga dari sebelah belakang. Keduanya dengan hantaman bola-bola besi. Datuk Hijau jatuhkan diri ke tanahnya terus bergulingan dan memukul ke arah lawan terdekat yaitu Wiracula.
Namun gerakannya hanya ke sia-siaan belaka. Karena begitu tubuhnya miring ke depan, cepat sekali bola besi di tangan Singkil Alit membalik menggebuk punggungnya. Datuk Hijau mengeluh tinggi. Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat itu pula bola berduri di tangan Rangga membabat ke bawah, menghantam tengkuk si kakek. Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua bangka edan!" rutuk Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi dan Rah Tongga yang masih menempur Indrajit. Dan berteriak. "Hanya seorang pemuda yang kalian anggap cacing busuk. Kalian tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat itu sebenamya Indrajit berada dalam keadaan genting. Melayani Rah Tongga dia masih sanggup bahkan dalam beberapa jurus di muka pemuda ini segera akan dapat menghabisi lawannya. Namun setelah Rah Tongga dibantu oleh Tembesi, keadaan jadi berbalik. Kini Indrajit yang terdesak hebat.
Di satu jurus di mana dua bola besi melesat ganas mencari sasaran di tubuh dan kepala si pemuda, Indrajit putar pedangnya sambil melompat. Sambaran bola besi yang mengarah ke dada dapat dielakkan, namun dia terpaksa pergunakan pedang untuk menangkis sambaran bola besi yang menghantam ke kepalanya.
"Tranggg...!"
Pedang di tangan lndrajit patah dua. Sementara bola besi terus menyambar ke kepalanya. Dalam keadaan tak mungkin untuk mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan pedangnya ke arah Tembesi.
"Pemuda gila!" maki Tembesi.
Dia harus membuat gerakan mengelak jika tak ingin terluka oleh patahan pedang. Tapi gerakan mengelak tak mungkin dilakukannya jika dia masih terus memegang rantai hitamnya. Kerena ingin melihat kematian si pemuda maka ia memilih melepas pegangannya pada rantai hitam. Toh bola besi hanya tinggal setengah jengkai saja dari kepala lawannya dan Indrajit tak mungkin selamatkan kepalanya.
"Ah, matilah aku!" ujar Indrajit dalam hati.
"Trakkk...!"
Sepotong kayu kecil tiba-tiba entah dari mana datangnya menyusup menahan hantaman bola berduri. Ujung kayu itu patah tapi kepala Indrajit selamat. Selagi pemuda ini tidak mengetahui jelas apa yang telah terjadi tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipanggul orang dan dilarikan laksana terbang. Di belakangnya terdengar bentakan-bentakan marah.
"Bangsat rendah! Siapa yang berani ikut campur urusan kami iblis-iblis Kota Hantu!"
"Tembesi! Kejar orang itu!" perintah Singkil Alit.
Namun Indrajit tidak melihat ada yang mengejar. Orang yang melarikannya memiliki ilmu lari luar biasa. Tak mungkin dikejar. Pemuda ini berusaha untuk melihat wajah orang yang memanggulnya itu. Tapi tidak bisa karena rambut panjang putih orang itu, yang tertiup angin, menutupi wajahnya.
Dua puluh pemuda menunggang kuda menuruni lembah dengan cepat mengiringi dua orang di sebelah depan. Orang ini adalah seorang lelaki berjubah putih dan mengenakan topi berbentuk sorban tinggi juga berwarna putih. Yang kedua seorang pemuda bertubuh ramping yang secara aneh menutupi wajahnya dengan sehelai kain biru hingga sepasang alis dan matanya saja yang kelihatan. Rombongan itu bergerak cepat menuju pondok kayu di lembah Cilendak. Dari jauh pondok tampak sepi. Pintu dan jendela tertutup.
"Mudah-mudahan kita tidak terlambat!" kata orang tua bersorban putih. Dia adalah Sultan Maut. Pemuda di sebelahnya, yang bercadar kain biru hanya dikenal dengan nama Pandu. Dua puluh anak muda penunggang kuda merupakan murid-murid perguruan silat Elang Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi itu mereka berkumpul dan bergabung di lembah Cilendak. Menjelang malam, setelah lebih dulu beristirahat dan mematangkan siasat baru mereka bergerak menuju Kota Hantu. Di tengah jalan diharapkan beberapa orang pandai lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat! Kami datang!" seru Sultan Maut.
Mulutnya hanya bergerak sedikit tetapi suaranya keras menggetarkan seantero lembah. Dari dalam pondok tak ada jawaban.
"Aneh," kata Pandu. "Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran! Kalau musuh datang membokong bisa habis mereka semua!"
"Indrajit! Datuk Hijau! Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil. "Kalian ada di dalam?!"
Tiba-tiba jendela di samping kanan pondok terpentang. Sesosok tubuh melesat keluar dan tarkapar di tanah, di hadapan rombongan yang baru datang. Serta merta semua orang itu menjadi terkejut. Sepasang mata Sultan Maut sampai mendelik. Dia melompat dari kudanya, diikuti Pandu serta belasan pemuda lainnya.
"Astaga! Ini Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu hancur namun dia masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia korban pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling. Lalu memberi perintah pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!"
Maka dua puluh murid perguruan Elang Putih segera mengurung pondok kayu di tengah lembah itu. Masing-masing siap dengan senjata. Sultan Maut tak dapat memastikan dengan botol apa Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu rupa. Perlahan-lahan orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah pondok.
"Siapa di dalam pondok? Lekas keluar!" orang tua ini membentak.
Baru saja bentakan sirap mendadak pintu pondok terbuka, lebar dan sesosok tubuh dilemparkan keluar. Sultan Maut dan Pandu melengak kaget dan sama-sama berseru kaget tegang. Tubuh yang menggeletak di hadapan mereka adalah tubuh Datuk Hijau. Kakek ini juga mati serba mengenaskan. Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu, siapapun yang membunuh para sahabat kita ini, pembunuhnya pasti ada di dalam pondok itu. Bersiap untuk menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut.
Pandu memberi isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia ingat sesuatu lalu berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat Indrajit. Apakah dia juga telah jadi korban dan akan dilemparkan ke hadapan kita kali berikutnya?!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar tertawa bergelak. Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, bertampang ganas dan masing-masing mencekal rantai hitam yang ujungnya diganduli bola besi barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain adalah lima dari enam iblis Kota Hantu. Singkil Alit angkat tangan kirinya serta merta kawan-kawannya hentikan tertawa.
"Sultan Maut! Selamat datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis terkutuk! Jadi kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan Maut geram.
Singkil Alit menyeringai. "Kami sengaja datang kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak usah capaikan diri jauh-jauh ke Kota Hantu. Kami kawatir kalau-kalau tidak dapat menyuguhkan sambutan yang layak di Kota Hantu. Karenanya kami menunggu di sini. Ketika kami datang ternyata sahabat-sahabat kalian yang sudah lebih dulu berada di sini, begitu ingin cepat-cepat mampus. Maka kami membukakan pintu maut baginya."
Habis berkata begitu Singkil Alit dan keempat anak buahnya kembali tertawa gelak-gelak.
"Setahuku kalian berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis puntung neraka. Mana koncomu yang satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak muda, sikapmu boleh juga. Kau akan jadi korbanku pertama!" sahut Singkil Alit "Dimana kawanku yang satu berada kau tak usah tahu..."
"Lalu di mana Indrajit?"
"Itupun kau tak perlu tahu!"
"Kalau begitu makan tanganku!"
Pandu jadi marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangannya menghantarn. Ganda tertawa Singkil Alit angkat tangan kirirtya. Maksudnya sekali bergerak aja dia hendak menangkap tangan pemuda bertubuh ramping itu. Apalagi gerak-geriknya yang kelihatan lembut maka si Harimau Hitam menganggap enteng serangan lawan. Tetapi alangkah kagetnya Singkil Alit ketika tiba-tiba serangan tangan itu ditarik pulang, dengan memiringkan tubuhnya Pandu kini ganti menghantam dengan satu tendangan.
"Bukkk...!"
Singkil Alit terpekik. Tulang lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya laksana tanggal. "Edan!" teriaknya marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya jadi lega ketika mengetahui bahwa hanya bagian luar lengannya saja yang cidera. "Pemuda keparat! Buka cadarmu! Aku tidak suka membunuh orang tanpa melihat tampangnya lebih dulu!"
Pandu tartawa sinis. "Kalau kau sudah mampus dan berkumpul dengan hantu-hantu liang kubur, baru nanti kau bisa melihat tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau betul-betul minta mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar rantai hitamnya. Empat kawannya tidak tinggal diam. Dua melompat menghadang gerakan Sultan Maut sedang dua lagi menyerbu menghadapi dua puluh murid perguruan Elang Putih yang telah pula mulai bergerak menyerbu.
Pertempuran sangat hebat berlangsung di lembah Cilendak itu. Tembesi dan Rah Tongga mengeroyok Sultan Maut, Singkil Alit menghadapi Pandu sedang Wiracula dan Rangga membendung gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun lawan yang dihadapi dua iblis terakhir ini jauh lebih banyak namun pemuda-pemuda tersebut belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa diandalkan.
Akibatnya terjadilah hal yang mengerikan. Di mana-mana terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda murid perguruan Elang Putih menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk rantai hitam atau gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di mana-mana. Erangan mereka yang luka-luka dan yang meregang nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan Maut merasakan darahnya mendidih. Namun dia tak mau berlaku nekad. Dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Jika dia terpengaruh hawa amarah, akan mudah bagi lawan untuk mencelakainya. Di samping itu dia mencemaskan pula keadaan Pandu yang bertempur mati-matian dengan Singkil Alit.
Pemuda itu, walau memiliki kegesitan serta kecepatanatan dan tingkat tenaga dalam yang tidak rendah, namun sulit baginya untuk mengalahkan manusia bergelar Harimau Hitam itu. Apalagi Pandu sampai saat itu hanya mengandalkan tangan kosong sedang lawan menggempur tiada henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu kesempatan Sultan Maut ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan senjata ini ke arah Pandu.
Dengan sigap si pemuda menangkap keris itu. Langsung mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan kiri, keris di tangan kanan, Pandu menghadapi lawannya dengan penuh percaya diri. Apalagi dia tahu betul keris berluk sembilan milik Sultan Maut merupakan senjata sakti. Ketika dua kali dia sempat bentrokan senjata dengan lawan, bunga api memercik. Tangannya yang memegang keris bergetar hebat tetapi dilihatnya Singkil Alit juga seperti kesemutan.
Dengan mengandalkan kegesitannya, Pandu menyelusup di antara taburan serangan rantai hitam lawan. Namun untuk menumbangkan Singkil Alit tentu saja bukan satu hal yang mudah bagi pemuda ini. Dan dadanya bergetar ketika dilihatnya Wiracula dan Rangga yang baru saja membantai dua puluh murid perguruan silat Elang Putih, kini tampak siap bergabung dengan pimpinan mereka. Kesulitan yang bakal dihadapi Pandu diketahui pula oleh Sultan Maut.
Maka orang tua ini membuat gebrakan-gebrakan aneh. Setiap menyerang dari mulutnya selalu terdengar suara tertawa nyaring yang hampir menyerupai suara kuda meringkik. Suara tawa ini bukan saja menyakitkan telinga kedua pengeroyoknya tapi juga mempengaruhi gerakan-gerakan mereka. Singkil Alit yang punya lebih banyak pengalaman dari pada empat kawannya segera maklum kalau Sultan Maut tengah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, cepat dia berteriak memberi ingat pada Tembesi dan Rah Tongga agar keduanya menutup jalan suara.
Namun terlambat. Saat itu Sultan Maut berhasil menyusupkan tendangannya ke bawah perut Rah Tongga. Lelaki ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental dan jatuh tarkapar di tanah tak berkutik, pingsan. Seumur hidup kalau dia hidup kelak dia akan menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan kelelakiannya!
Singkil Alit menggereng marah. Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola besi berduri di ujung rantai menderu sebat. Sesaat ketika dia siap menyerbu ke arah Sultan Maut, tiba-tiba didengarnya seruan Wiracula.
"Singkil! Lihat! Pemuda ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua orang terkejut. Terutama Singkil Alit sedang Sultan Maut diam-diam mengeluh dalam hati. Apakah yang telah terjadi! Ketika berlangsung perkelahian seru antara Pandu dan dua pengeroyoknya, di saat Singkil hendak menerjang ke arah Sultan Maut, Wiracula berhasil, menjambret cadar biru yang menutupi wajah Pandu. Begitu kain penutup muka si pemuda tersingkap, kelihatanlah satu wajah yang tidak terduga.
Ternyata pemuda itu adalah seorang gadis berparas cantik. Singkil Alit sendiri sampai terbelalak. Tak pernah dia melihat dara secantik itu. Sedang Tembesi yang memang paling buas dengan perempuan tampak menyeringai. Tenggorokannya turun naik.
"Tangkap dia hidup-hidup! Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas akal licik muncul di benak Singkil Alit. Berempat mereka pasti bakal dapat mengalahkan Sultan Maut. Namun jika mereka bisa melumpuhkan orang tua berkepandaian tinggi itu mengapa tidak dilakukan? Maka pimpinan manusia-manusia iblis ini segera berteriak beri perintah.
"Kelian bertiga tangkap gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi melompat lebih dulu. Wiracula dan Rangga menyusul. Sultan Maut yang maklum bahaya yang bakal dihadapi Piranti alias Pandu cepat melompat guna bergabung dengan si gadis. Namun gerakannya dihadang oleh Singkil Alit.
"Iblis laknat! Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari mulutnya keluar suara tertawa meringkik.
Singkil Alit cepat tutup pendengarannya dan sebatkan rantainya ke arah kepala lawan. Sultan Maut merunduk seraya balas menghantam dengan pukulan tangan kosong yang didahului siuran angin tanda orang tua ini memukul dengan pengerahan tenaga dalam. Untuk elakkan serangan lawan Singkil Alit bergerak cepat satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang baru dia ayunkan rantai hitam di tangan kanannya.
Rantai ini seperti sebilah pedang yang menyinarkan warna hitam membabat tangan Sultan Maut sedang bagian ujungnya yang berbentuk bola berduri menghujam ke arah bahu orang tua itu. Terpaksa Sultan Maut tarik pulang serangannya dan ganti dengan tendangan ke arah bawah perut lawan. Tendangan seperti inilah yang tadi menghantam dan membuat pingsan Rah Tongga.
Namun sekali ini bukan saja tendangan maut tersebut dapat dielakkan lawan, malah orang tua itu dibikin kaget oleh seruan salah seorang manusia iblis Kota Hantu yang mengeroyok Piranti.
"Singkil! Kami telah meringkus gadis ini!"
Sultan Maut melompat mundur. Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti tegak tak bergerak. Jelas gadis ini telah ditotok hingga tak bisa bergerak ataupun bersuara.
"Tembesi!" seru Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang perempuan. Coba buktikan padaku!"
"Manusia iblis! Jika kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan kepala kalian!" mengancam Sultan Maut.
Tapi Singkil Alit, Wiracula dan Rangga sudah mengurungnya, membuat orang tua ini tak bisa bergerak. Sementara itu dengan menyeringai penuh nafsu Tembesi gerakkan tangan kanannya ke dada Piranti.
"Brettt...!"
Dada pakaian gadis itu robek besar. Dadanya yang putih tersingkap. Sepasang payudaranya jelas terlihat membusung kencang.
"Ha-ha-ha!" tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Orang tua, memandang muka mu dan menimbang hubunganmu dengan Istana Banten, aku masih suka membuat perjanjian denganmu..."
"Perjanjian apa?!" tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis itu tidak akan kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke Kota Hantu. Tinggal di sana dan bekerja untuk kami!"
"'Kau lebih baik bunuh aku detik ini juga dari pada menjadi budak tawanan!" sahut Sultan Maut tegas.
"Begitu...?" Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa gadis itu ke dalam pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan, tanpa tunggu lebih lama Tembesi segera panggul tubuh Piranti.
"Tunggu!" seru Sultan Maut.
"Eh, kau merubah pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi orang tolol. Kau tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati percuma dan gadis itu tetap saja tidak tertolong!"
Sultan Maut merasakan darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah-olah mau meledak oleh amarah. Namun memang dia tak bisa berbuat banyak. Kalau pun dia melanjutkan pertempuran dengan nekad, satu atau dua lawannya mungkin sanggup dibunuhnya, namun dia sendiri tak akan lolos dari kematian. Dan Piranti akan menjadi korban kebuasan manusia-manusia iblis itu.
"Baiklah" kata Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut bersama kalian. Tapi pegang janji kalian. Jangan ganggu cucuku itu..."
"Ah, jadi dia cucumu. Apalagi cucumu. Masakan kami akan mengganggunya!" ujar Singkil Alit. "Tembesi, tutup pakaian gadis itu kembali. Biarkan dia tertotok. Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
"Ah, rejekiku belum kesampaian. Sayang… sayang..." kata Tembesi agak kesal. Tapi dia tahu, sesampainya di Kota Hantu perjanjian yang dibuat dengan Sultan Maut saat itu pasti akan berubah.
Untuk mempercepat perjalanan Singkil Alit dan rombongan mengambil jalan pintas lalu menyusuri kali Cikajang. Di satu tempat di mana air kali mendangkal mereka menyeberang. Sebelum senja diharapkan mereka sudah sampai di Kota Hantu.
Di sebelah barat langit tampak menguning tanda matahari segera akan tenggelam. Selagi rombongan menyusuri hutan kecil di sebelah barat kaki gunung Halimun mendadak terdengar suara bebunyian.
"Ada yang meniup seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian kemari dari mana datangnya tiupan seruling itu.
Singkil Alit mengangkat tangan kiri, memberi tanda. Seluruh rombongan berhenti. "Itu bukan tiupan suling biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas menusuk telinga, menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh, naik turun, tinggi rendah tak menentu. Tak pernah kudengar nyanyian seperti itu. Kita lanjutkan perjalanan tapi bersiaplah. Bukan tidak mungkin ada orang pandai yang bermaksud menghadang kita. Perhatikan kedua tawanan..."
Yang dimaksudkan dua tawanan bukan lain adalah Piranti dan Ingar Candra alias Sultan Maut. Si gadis berada dalam keadaan tertotok dan menggeletak di pangkuan Tembesi. Sultan Maut menunggang kuda dengan tangan terikat dan diapit oleh Wiracula serta Rangga. Rah Tongga yang dalam keadaan sakit menunggangi kuda setengah tiduran. Keadaan manusia iblis satu inilah yang membuat rombongan tak bisa bergerak lebih cepat. Suara tiupan suling semakin santar tanda makin dekat.
"Lihat di atas sana!" tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke sebuah pohon nangka hutan yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang besar-besar.
Semua mata segera dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Di sebuah cabang pohon tampak duduk seorang pemuda berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan kain putih. Pakaian putihnya tampak kumal. Dia duduk di cabang pohon yang tinggi itu sambil uncang-uncang kaki. Ditangannya ada sebuah benda aneh. Berbentuk kapak bermata dua, memiliki gagang berbentuk tubuh ular naga dan ada lobang-lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala seekor naga menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya seperti sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan terkena sinar matahari yang hendak tenggelam.
"Orang gila dari mana itu?!" ujar Wiracula.
"Dia bukan orang gila! Tak ada orang gila yang pandai memanjat pohon setinggi itu!" tukas Singkil Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin bisa menyakitkan telinga kalau dia tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan suling yang dipegangnya jelas bukan sembarang suling."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap tubuh Piranti. Dia ingin cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan langsung membawa gadis itu kerumahnya walau sudah ada perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan Maut.
"Kita tetap lewat di bawah pohon. Jangan perdulikan orang di atas sana. Dan jangan coba mengusik! Kalau dia yang lebih dulu mencari lantaran baru kita habisi!" jawab Singkil Alit.
Lalu dia memberi tanda agar rombongan segera bergerak. Tapi gerakan rombongan tertahan ketika di atas pohon pemuda peniup suling mendadak membuat gerakan aneh. Tubuh pemuda itu tiba-tiba jatuh ke bawah, berputar memuntir pada cabang pohon yang tadi didudukinya lalu tubuhnya jatuh dan berpindah ke cabang di bawahnya. Di cabang ini si pemuda kembali duduk uncang-uncang kaki den tiup sulingnya. Sesaat kemudian malah dia menyanyi membawakan senandung aneh.
Sang surya siap tenggelam
Serombongan setan berjalan pulang
Pesta perkawinan telah lama dimulai
Lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai
Lima iblis bermuka bengis
Lima durjana ditunggu liang neraka
Lekas pergi lekas pulang
Terlambat datang sang pengantin keburu busuk
Habis bernyanyi pemuda itu kembali tiup sulingnya. Paras Singkil Alit dan kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima iblis lima durjana dalam nyanyian itu yang dimaksudkan adalah dia dan kawan-kawannya. Tapi apa arti kalimat 'pesta perkawinan telah dimulai', 'lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai', 'terlambat datang sang pengantin keburu busuk'.
"Hanya orang gila berkepandaian sejengkal tak perlu dihiraukan Singkil!" kata Wiracula kembali. Dia tetap menganggap pemuda di atas pohon nangka itu orang gila.
"Hatiku tidak enak..." desis Singkil Alit.
Sementara itu Sultan Maut sejak tadi memandang tak berkesip pada pemuda di atas pohon. Yang lalu pusat perhatiannya adalah kapak bergagang tubuh dan kepala ular naga itu. Dia coba mengingai-ingat. Tapi menyesali diri sendiri karena di usia setua itu ingatannya tidak terang lagi. Walau bagaimanapun dia tetap yakin paling tidak pernah mendengar tentang senjata yang dijadikan suling oleh pemuda tak dikenalnya itu.
"Kita lanjutkan perjalanan!" kata Singkil Alit akhirnya.
Rombongan kembali bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan ketika dari atas pohon terdengar si pemuda berkata, "Memang kalian harus lekas-lekas berangkat. Aku titip bungkusan ini. Sekedar hadiah pada pesta perkawinan…"
Dari balik punggungnya pemuda di atas pohon keluarkan sebuah benda sebesar kepala yang dibungkus dengan sehelai kertas warna warni. Ujung kertas itu dikuncir dan diikat dengan seutas benang. Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda. Perlahan-lahan bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk menphampar. Bungkusan bulat terus turun dan agaknya sengaja diarahkan kepangkuan Singkil Alit sementara bau busuk tambah menjadi-jadi.
Saking marahnya karena dipermainkan begitu rupa Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia hantamkan tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon cepat menariknya tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya mengenai angin. Tiba-tiba pemuda itu lepaskan ujung benang. Bungkusan bulat langsung jatuh ke pangkuan Singkil Alit.
Ketika Singkil Alit hendak melemparkan bungkusan busuk itu. Si pemuda berkata, "Kalau kau tak mau ketitipan bungkusan hadiah pesta perkawinan itu, mengapa tak ingin melihat isinya?!"
"Gila! Siapa sudi melihat isi bungkusan busuk itu!" bentak Singkil Alit. Lalu lemparkan bungkusan ke tanah. Bersamaan dengan itu dia memberi isyarat pada Rangga.
Dari atas punggung kudanya Rangga melompat. Ditangannya telah tergenggam rantai hitam berujung bola besi berduri. Senjata ini berdesing menghantam ke arah pemuda yang duduk di cabang pohon!
"Braak...!" Cabang pohon hancur berantakan.
Tapi pemuda yang diserang telah lenyap. Hanya terdengar seruannya, "Sampai jumpa di pesta perkawinan! Jangan lupa bawakan bungkusan itu!"
"Keparat!" maki Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk tinggalkan tempat itu sementara hari mulai gelap. Namun hati kecilnya ingin juga melihat apa sebenarnya isi bungkusan itu. Maka disuruhnya Rangga mengambil bungkusan yang terjatuh di tanah. "Buka!" perintah Singgil Alit.
Ketika dibuka kagetlah lima ibis Kota Hantu itu. "Puranda!" seru mereka hampir berbarengan.
Begitu bungkusan terbuka yang kelihatan adalah kepala manusia. Kepala manusia ini adalah kepala Puranda, orang yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Kota Hantu karena terkenal kekejamannya dan pandai menjilat pada enam pimpinan iblis Kota Hantu.
"Ada sebentuk tulisan di keningnya! Apa itu...?" tanya Singkil ketika melihat sederetan tulisan.
"Bukan tulisan Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka apa?"
"Dua-Satu-Dua!" jawab Rangga.
Mendengar tiga angka itu barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas pohon tadi adalah Wiro Sableng. Senjata yang dijadikannya suling adalah Kapak Naga Geni 212.
"Murid Sinto Gendeng... Dia ada di sini..." desis Sultan Maut. Ada kelegaan di hatinya. Tapi mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak berusaha menyelamatkan Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha menyerang lima iblis Kota Hantu itu?
Rangga yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera bertanya, "Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
Singkil Alit tak menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Dia hanya melambaikan tangan memberi tanda agar rombongan segera melanjutkan perjalanan. "Aku hanya sering mendengar nama dan julukan pemuda itu. Apakah dia benar-benar ada? Apakah tadi itu memang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa seperti pemuda gila tak karuan" begitu Singkil Alit membatin sepanjang jalan. Hatinya semakin terasa tidak enak.
Di jalan yang menurun menuju pintu gerbang utara Kota Hantu ketika kegelapan malam telah lama turun, Singkil Alit danrombongan hentikan kuda masing-masing. Meskipun mereka berada di pedrr taran yang cukup tinggi namun pandangan mereka terhalang oleh pagar batangan pohon jati yang mengelilingi dan membentengi kota. Sesekali kelihatan kilapannyala lampu.
"Aneh," kata Sinakil Alit seraya memandang pada keempat kawannya. "Aku mendengar suara alunan gamelan dari pusat kota!"
Tiba-tiba Singkil Alit ingat pada ucapan pemuda aneh di atas pohon. Pemuda itu berulang kali menyebut pesta perkawinan. Apakah saat itu benar-benar ada pesta di dalam kota? Seperti melupakan yang lain-lainnya Singkil Alit memacu kudanya menuju pintu gerbang utara. Anak buahnya segera mengikuti sambil menggiring Sultan Maut dan membawa piranti.
Sesampainya di pintu gerbang semakin heranlah Singkil Alit dan kawan-kawannya. Biasanya di situ selalu ada dua orang pengawal di sebelah luar dan pintu gerbang seharusnya berada dalam keadaan terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama sekali tak ada pengawal dan daun pintu gerbang yang besar dan berat itu tampak merenggang. Singkil Alit pergunakan kaki kirinya untuk mendorong pintu lalu masuk diikuti yang lain-lainnya.
Begitu sampai di dalampun mereka tidak melihat ada penjaga. Seharusnya terdapat empat pengawal di sebelah belakang pintu gerbang. Memandang ke tengah kota mereka melihat lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah besar. Juga tampak kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden yang tidak merdu itu, diringi kerawitan yang juga terdengar agak kacau datang dari rumah besar itu.
"Itu rumah Pinta Manik! Apa yang terjeadi di sana?!" kata Singkil Alit.
"Tampaknya seperti ada pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?! Pesta apa?! Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan rahang menggembung, dia memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah jalan dia berpapasan dengan seorang pemuda yang diketahuinya adalah salah seorang pengawal khusus yang biasa bertugas di rumah besar. Sekali tangannya bergerak Singkil Alit sudah mencekal leher pakaian pemuda ini.
"Lekas katakan! Ada apa di rumah Pinta Manik?"
Pemuda pengawal, yang biasanya takut melihat Singkil Alit, apalagi sampai dicekal begitu rupa, anehnya kini hanya mengerenyit kesakitan dan menjawab, "Ada pesta perkawinan! Pinta Manik jadi pengantin!"
"Keparat! Jangan kau berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik Singkil Alit. Tangan kirinya bergerak hendak menampar. Tapi tiba-tiba sebuah pisau meluncur ke arah perutnya. Ditusukkan oleh pemuda itu.
"Singkil awas!" teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanpa diperingatkanpun pimpinan Kota Hantu telah melihat apa yang dilakukan si pemuda. Maka gerakan tangannya yang tadi menampar kini berubah menjadi hantaman tepi telapak tangan yang keras.
"Praakkk...!" Kepala si pemuda pecah. Tak ampun lagi nyawanya melayang detik itu juga.
"Keparat!" maki Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada yang tak beres di sini Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba terdengar tawa Sultan Maut. "Jika salah seorang anak buahmu nekad hendak membunuhmu, memang ada yang tidak beres di sini Singkil!" katanya. "Kuharap saja tidak terjadi pomberontakan di Kota Hantu ini!"
"Kalau mereka berani berontak akan kucincang satu demi satu!" kata Singkil Alit.
Kembali Sultan Maut keluarkan suara tertawa seperti tadi.
"Tutup mulutmu! Kalau tidak kau pertama sekali yang akan kucincang!" bentak Singkil Alit.
lalu bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah besar milik Pinta Manik. Orang banyak yang berkerumun di tempat itu, yang merupakan penduduk Kota Hantu, anak buah atau kaki tangan enam iblis itu, menyeruak memberi jalan.
"Mereka datang!" seseorang berseru.
Gerak-gerik dan sikap penduduk Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata Singkil Alit dan kawan-kawannya.
"Mana pengawal?!" teriak pimpinan Kota Hantu itu.
Tak ada satu orangpun yang muncul. Orang banyak yang ada di situ memandang mereka dengan dingin.
"Kurang ajar! Laknat semua!" teriak Singkil Alit marah.
Sambil bergerak maju kakinya menendang kian ke mari. Tangannya memukul tiada henti. Hal yang sama dilakukan oleh empat iblis lainnya. Akibatnya belasan orang terkapar roboh. Mati dan pingsan. Di beranda depan rumah besar kediaman Pinta Manik, Singkil Alit dan kawan-kawannya berhenti dan seperti dipantek di atas kuda masing-masing. Sultan Maut sendiri ternganga dan hampir tidak dapat memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di sebelah kiri beranda, duduk menjelepok serombongan pemain karawitan yang aneh. Memang ada gong dan klenengan serta kentongan, tetapi mereka juga memakai tetabuhan seperti alu dan lesung, piring-piring kaleng, potongan-potongan kayu api. Memang ada suling dan terompet bambu, tapi lebih banyak yang meniup batang-batang padi.
Keseluruhan musik itu mengeluarkan suara centang perenang. Lalu sang pesinden yang suaranya tinggi rendah tidak menentu ternyata adalah seorang perempun yang mukanya juga dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan kertas aneka warna.
"Pesta gila haram jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa wabah penyakit gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata Wiracula.
Singkil Alit tak menjawab. Sepasang matanya demikian juga semua mata anak buahnya serta Sultan Maut tertuju ke bagian tengah beranda luas. Di situ terdapat dua buah kursi besar penuh hiasan, diapit oleh dua janur besar. Dinding sebelah belakang kursi ditutup dengan tirai dan kain warna warni, ditaburi gaba-gaba yang kelihatannya dipasang asal jadi.
Di kursi besar sebelah kanan duduk Pinta Manik. Mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan topi yang kekecilan. Mukanya dirias seperti muka orang gila berbedak tebal, bergincu yang berlepotan kian kemari. Pipinya juga diberi merah-merah entah dengan apa, sepasang alis dan matanya diberi warna hitam mencorong. Pinta Manik duduk tersandar antara sadar dan tidak. Sesekali dia tersenyum atau tertawa gelak-gelak. Kadang-kadang dia bertariak, "Tuak... tuak!"
Maka seorang anak lelaki kecil yang selalu tegak di sampingnya segera mendekatkan bumbung bambu berisi tuak keras ke mulut Pinta Manik. Setelah menyemburkan tegukan pertama baru dia meneguk lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu lebih banyak yang tumpah membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum, dia duduk bersandar kembali dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas pimpinan Kota Iblis ini berada dalam keadaan tidak sadar diri karena mabuk berat!
Di kursi sebelah kiri inilah satu pemandangan yang aneh tapi juga lucu duduk seekor orang hutan betina. Tinggi besar berbulu hitam. Kedua kakinya diikat ke kaki kursi. Sepasang tangannya diikat ke lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong pakaian yang hanya menutupi dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah kalung besar. Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka warna. Kepalanya malah diberi beberapa potong sunting!
Binatang ini tiada hentinya mengeluarkan suara menguik, menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang besar. Tapi tak kuasa melepaskan diri dari ikatannya pada kursi besar. Inilah 'sang pengantin perempuan'. Dan seorang anak perempuan kecil yang bertindak seperti dayang-dayang tegak di samping kursi 'pengantin' perempuan sambil tiada hentinya mengipasi 'pengantin' itu!
Tidak tahan melihat apa yang berlangsung di depannya, Singkil Alit serta Wiracula dan Rangga turun dari kuda masing-masing langsung melompat ke hadapan Pinta Manik dan orang hutan yang duduk di atas kursi.
Tembesi tetap di kuda karena lebih senang mendekapi tubuh Piranti sedang Rah Tongga yang luka parah bagian bawah perutnya tak mampu turun kalau tak ada yang menolong. Saat itu untuk kesekian kalinya Sultan Maut coba melepaskan ikatan tali pada kedua tangannya. Tapi aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang tak bisa diputusnya.
"Siapa yang punya pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak.
Suaranya menggelegar. Tubuhnya bergetar dan rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sepasang matanya berkilat-kilat. Hembusan nafasnya seperti gerengan harimau lapar. Kedua tangannya terpentang, siap untuk menghantam.
Tidak ada yang menjawab. Hanya irama karawitan yang acak-acakan itu, mendadak berubah dan pesinden bermuka hitam celemongan membuka mulutnya lebar-lebar membawakan sebuah tembang.
Tamu-tamu besar sudah datang
Pelayan lekas keluarkan hidangan
Pesta ini pesta luar biasa
Hidangan juga harus lezat cita dan rasa
Pesta ini bukan pesta biasa
Pesta perkawinan iblis berkepala manusia
Para tamu bukan tamu biasa
Tapi sekelompok iblis gila
Kota Hantu kotanya iblis
Ada pesta sedang berlangsung
Sampai di situ Singkil Alit tidak dapat menguasai amarahnya lagi. Jelas-jelas nyanyian itu ditujukan pada dirinya dan orang-orangnya.
"Braakkk...!"
Singkil Alit hantamkan kaki kananya ke lantai bangunan yang terbuat dan kayu jati keras setebal setengah jengkal. Lantai kayu itu jebol berantakan. Tidak sampai di situ saja, pimpinan Kota Hantu ini lantas melompat kirimkan tendangan pada si pesinden. Perempuan yang malang ini pasti akan remuk tubuhnya atau hancur kepalanya dilabrak tendangan itu kalau saja tidak terjadi satu hal yang mengejutkan Singkil Alit dan membuatnya menarik pulang tendangannya kembali.
Sebuah gong kecil yang terbuat dari besi kuning melayang ke arah kaki kanannya. Dalam marahnya Singkil Alit sekaligus hendak menendang hancur benda itu. Namun dia jadi kaget karena ternyata gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya mata, kini membeset ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki dan melompat selamatkan diri.
Gong kecil itu terus melayang ke luar beranda. Sesaat kemudian terdengar suara kuda meringkik dan jatuhnya sesosok tubuh ke tanah. Apa yang terjadi? Gong yang tidak mengenai Singkil Alit tadi menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga. Binatang ini meringkik kesakitan ketika gong memukul keras bagian lehernya, lalu lari setelah membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah.
Dalam keadaan luka parah akibat tendangan Sultan Maut, Rah Tongga hanya mampu merangkak menaiki tangga beranda rumah besar. Tak ada seorangpun yang menolongnya, termasuk Tembesi atau Wiracula, maupun Rangga.
Dari balik tirai merah yang tergantung di belakang kursi besar tiba-tiba keluar beberapa sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang anak lelaki berusia hampir sebelas tahun.
"Singkil!" bisik Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau bunuh di desa nelayan…"
"Ya... aku ingat!" sahut Singkil Alit.
Anak lelaki tadi ternyata adalah Handaka. Putera nelayan tua Argakumbara yang dibunuh oleh Singkil Alit beberapa bulan silam. Di belakang Handaka melangkah terbungkuk-bungkuk seorang kakek berambut putih panjang awut-awutan, berpakaian compang-camping. Di tangan kanannya ada sebuah batok kelapa sedang di tangan kiri memegang tongkat kayu. Orang tua ini bukan lain adalah Pengemis sakti Batok Tongkat yang dulu telah menyelamatkan Handaka di teluk Cikandang sewaktu Singkil Alit dan komplotannya mengganas di desa ayahnya, merampok, menculik dan membunuh.
Di sebelah belakang si kakek menyuruh seorang pemuda berpakaian putih bertampang cakap. Dia adalah Indrajit, murid pewaris perguruan silat Elang putih.
Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat itu. Seperti dituturkan sebelumnya ketika Datuk Hijau, Gitasula, Sultan Maut, Piranti dan Indrajit menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu dan berkumpul di sebuah pondok di lembah Cilandak, karena rahasia penggempuran dibocorkan oleh Sirat Gambir maka orang-orang itu diserbu lebih dulu oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya.
Dalam perkelahian melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir menemui kematian dihantam bola besi berduri kalau saja tidak muncul seorang penolong aneh. Penolong yang tak dikenal ini kemudian melarikan pemuda itu tanpa dapat dikejar oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Tuan penolong si pemuda ternyata bukan lain adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah menyelamatkan Handaka.
Orang terakhir yang melangkah ke luar dari balik tirai masih itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian serba putih, berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Lagaknya cengar cengir enak-enak saja malah sambil bersiul-siul kecil cengengesan.
Wiracula, Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak ketika melihat tampang pemuda ini. Wiracula cepat membisiki,
"Singkil, pemuda paling belakang itu, bukankah dia yang sebelumnya menghadang kita di luar kota. Yang melemparkan bungkusan berisi kepala Puranda si kepala pengawal?"
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" desah Singkil Alit dengan bibir bergetar. Kedua tangannya terkepal.
Sebenarnya bagaimnanakah sampai orang-orang itu muncul di sana dan bagaimana terjadinya pesta aneh, pesta perkawinan Pinta Manik dengan orang hutan betina itu?
Berdirinya Kota Hantu dan munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang menebar keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan perbudakan itu telah sampai ka telinga para tokoh silat di daerah timur. Mereka siap menyusun rencana penumpasan. Tapi tentunya dengan menghubungi para tokoh silat di barat.
Sebelum orang-orang di timur melangkah lebih jauh mereka mendengar bahwa sudah ada kelompok di barat yang akan mengadakan penyerbuan ke Kota Hantu, yakni kelompok tokoh silat golongan putih di bawah pimpinan Datuk Hijau dan Sultan Maut. Karena hal itu sudah ditangani, maka orang-orang di timur memutuskan untuk tidak bertindak lebih jauh dan melihat bagaimana perkembangan setelah para tokoh di Jawa Barat turun tangan.
Untuk menyirap dan mengamati suasana, orang-orang di timur sepakat menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa Barat. Seperti apa yang tarjadi ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat mengalami kegagalan jauh sebelum penyerbuan ke Kota Hantu dilakukan. Malah Datuk Hijau menemui kematian. Sultan Maut dan Piranti tertawan. Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi keadaan yang demikian gawat, Wiro tidak kembali ke timur guna memberikan laporan, tetapi mengambil keputusan untuk menyambangi seorang tokah silat golongan putih. Orang ini bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia menemui pula Handaka yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga Indrajit. Orang-orang itu mengadakan perundingan.
"Turut mauku," kata Pengemis Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu, sampai beberapa tahun lagi sampai muridku Handaka ini memiliki kepandaian yang yang bias diandalkan untuk ikut menghancurkan Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang... kejahatan tak boleh dibiarkan lama menunggu. Kita harus menghancurkan manusis-manusia iblis itu secepatnya…"
"Apakah kita bertiga sanggup melakukannya?" tanya Indrajit. Lalu buru-buru menyusuli ucapannya tadi dengan kalimat, "Maaf, saya tidak bermaksud memandang rendah kepandaianmu kek dan juga sahabat muda Wiro Sableng. Nama besar kalian cukup menjadi jaminan. Yang aku tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kalian. Ingat kematian Datuk Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri..."
Mendengar ucapan itu Pengemis Botak Tongkat tersenyum dan mendehem beberapa kali. "Terima kasih kau yang muda memperhatikan keselamatan kita semua," katanya. "Jika apa yang kudengar benar, menurut hematku Wiro Sableng sendiri akan mampu menghajar orang-orang itu. Hanya memang kali ini kita bukan saja menghadapi iblis-iblis ganas, tapi juga sekaligus licik. Di samping itu aku yang tua ini tak ingin melihat semua orang di Kota Hantu itu menemui kematian. Sebagian besar dari mereka jelas budak-budak yang tak berdaya. Dengan kata lain kita harus menyusun siasat…"
"Betul," kata Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana pendapatmu Wiro?" tanya si kakek.
Murid Sinto gendeng garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut apa mau kalian berdua. Hanya saja, kalau kalian setuju aku ada rencana. Kudengar iblis-iblis Kota Hantu itu masih berada di lembah Cilendak. Dalam waktu singkat akan segera kembali ke Kota Hantu. Nah sebelum mereka kembali kita harus sudah siap menyambut…"
Lalu Wiro Sableng menerangkan rencananya. Setelah mendengar rencana Wiro itu, Indrajit dan si kakek apalagi Handaka tak dapat menahan tawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Wiro, kudengar gurumu si Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata kau lebih edan! Rencanamu benar-benar sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk dilakukan. Kita berangkat sekarang juga!"
Si kakek lalu ambil batok kelapa dan tongkat kayunya. Sebelum meninggalkan tempat kediamannya, pengemis tua itu lebih dulu menangkap seekor orang utan betina, baru mereka menuju Kota Hantu dengan menunggang kuda.
Menerobos masuk ke kota Hantu bagi orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok Tongkat bukan hal yang sukar. Namun sesuai dengan rencana mereka harus memberitahu maksud kedatangan mereka pada seluruh penghuni Kota Hantu yang ada. Dan karena waktu hanya sedikit maka hal itu harus dilakukan cepat. Maka Kepala Pengawal Kota Hantu yang bernama Puranda segera dipanggil datang ke pintu gerbang utama.
Puranda seorang lelaki muda berbadan tegap, punya tenaga luar laksana badak dan tenaga dalam yang cukup dapat diandalkan. Dia mendapat latihan langsung dari Singkil Alit selama beberapa bulan sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan. Karena mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar Puranda menjadi pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya melebihi pimpinannya sendiri. Begitu berhadapan dengan para pendatang itu kepala pengawal ini segera saja menunjukkan sikap sombong den ganasnya.
"Kalian minta mati berani datang ke Kota Hantu. Membuat aku membuang waktu untuk menemui kalian!" bentak Puranda. Sesaat dia melirik pada orang hutan yang ada di atas kuda tunggangan Indrajit.
"Sobat," sahut Wiro. "Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian sudah selangit tembus. Kami tahu kau dan yang lain-lain ikut melakukan itu hanya karena terpaksa di bawah ancaman. Saat ini sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian diakhiri. Kami akan meringkus mereka, membunuh bila mereka melawan. Kami tidak minta bantuan banyak pada kalian yang ada di sini, hanya lakukan saja apa yang kami minta!"
"Kau pasti gila!" sentak Puranda. Dia berpaling pada dua pengawal pintu gerbang. Seraya bertindak masuk kembali dia berkata, "Bunuh pemuda gila itu. Semuanya!"
Maka dua pengawal bersenjata golok besar segera melompat ke hadapan Wiro. Puranda yang tidak memandang sebelah mata pada Wiro dan kawan-kawannya menjadi terkejut dan membalik sewaktu didengarnya dua jeritan keras dan pengawal yang tadi disuruhnya membunuh Wiro, terpelanting, terkapar di tanah dengan dada remuk. Darah mengalir dari mulut masing-masing-masing.
"Bagaimana...?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas manusia-manusia iblis itu atau minta ditumpas?!"
"Bangsat rendah! Kau mengandalkan kepandaian apa berani bicara seperti itu!" teriak Puranda marah. Dari atas punggung kudanya tubuhnya laksana tarbang. Tumitnya meluncur ke kening Wiro Sableng. Serangannya mengeleparkan angin keras.
"Manusia tolol! Diberi madu minta racun…" Pengemis Batok Tongkat merutuk.
Dia memberi isyarat pada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini segera rundukkan kepala dan ulurkan tangan. Begitu cepatnya gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu itu tidak percaya kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan kedua tangan lawan.
Puranda coba sentakkan kakinya untuk melepas cekalan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya dihantamkan ke depan untuk menggebuk kuda tunggangan Wiro. Namun semua yang dilakukan kepala pengawal itu gagal karena dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan kakinya. Di lain saat Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia berusaha jungkir balik menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi parah. Bukan saja tubuhnya terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun remuk di bagian siku.
Kepala pengawal ini cepat berdiri walau di wajahnya jelas kelihatan dia menanggung rasa sakit yang amat sangat. Saat itu Wiro sudah melompat turun dari kuda. Puranda langsung menyerbunya. Entah kapan kepala pengawal ini menggerakkan tangan tahu-tahu dia sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk segitiga. Enam pengawal pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula menghunus senjata masing-masing.
"Indrajit, kau uruslah mereka. Aku masih letih..." kata Pengemis Batok Tongkat.
Indrajit turun dari kudanya. "Aku tahu kalian berenam adalah pemuda baik-baik. Menjadi pengawal Kota Iblis karena dipaksa. Jika kalian mau bertobat dan bergabung dengan kami pasti akan mendapat pengampunan!"
Enam pengawal Kota Hantu sana menyeringai. Mereka sama sekali tidak tahu berhadapan siapa. Salah seorang diantara mereka maju menuding, "Kau boleh pidato panjang pendek. Yang kami tahu siapa berani datang ke Kota Hantu apalagi berani membuat kacau berarti harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit! Mereka sama saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!" kata Pengemis Batok Tongkat tak sabaran.
Keenam pengawal itu tiba-tiba memencar. Tiga menyerang Indrajit. Tiga lagi menyerbu ke arah kakek.
"Ee... benar-benar tak tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa turun dari kudanya pengemis itu sambut serangan tiga lawan dengan tongkat kayu. Dua pengawal yang kena gebuk langsung melintir kesakitan. Yang satu menjerit sambil tekap daun telinga sebelah kirinya yang robek ditusuk ujung tongkat. Satunya lagi menggeliat-geliat di tanah pegangi perut yang bolong. Pengawal ketiga terkapar di tanah. Keningnya nampak remuk oleh hantaman batok kelapa si kakek!
Tiga pengawal yang menyerbu Indrajit mengalami hal yang sama. Dengan tangan kosong pemuda ini menghantam mereka satu persatu hingga terkapar di tanah. Ada yang tulang iganya remuk, ada yang hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang ketiga tersandar di dinding pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan tangan kiri Indrajit meremukkan tulang lehernya.
Sementara itu perkelahian antara Puranda dan Wiro Sableng berjalan berat sebelah. Apapun kepandaian yang dimiliki kepala pengawal itu dia bukanlah tandingan murid Sinto Gendeng. Setelah menghajar sampai babak belur, Wiro hentikan serangannya dan berkata,
"Nah, kau yang minta racun kau sendiri yang merasakan pahitnya. Sekarang apa kau masih tak mau bergabung dengan kami?!"
Kepala pengawal itu meludah. Ludahnya bercampur darah. Dengan golok yang masih tergenggam di tangan kanannya dia kembali menyerang Wiro.
"Ah, kau sengaja mencari nasib jelek kawan," kata Pendekar 212. Lengan kanannya memukul ke atas.
"Kraakkk...!" Puranda terpekik. Tulang tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat disambut oleh Wiro. Begitu hulu golok tercekal, Wiro babatkan ke leher Puranda. Darah mancur!
"Sahabat Wiro! Aku tak suka dengan caramu itu. Kita sama saja buasnya dengan iblis-iblis Kota Hantu ini!" kata Indrajit ketika dia melihat Wiro menjambak rambut Puranda dan menenteng potongan kepala orang itu.
Wiro melompat ke atas kuda. "Aku juga tak suka hal ini Indrajit," sahutnya. "Tapi sesekali kita harus melakukan hal seperti ini untuk membuka mata mereka. Kita tak punya waktu banyak. Kita tidak mau urusan jadi bertele-tele dan menghadapi ratusan orang dalam kota ini. Jika mereka melihat aku membawa kepala pimpinan pengawal, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerang kita...!"
Pengemis Batok Tongkat tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata, "Anak muda, ini satu pengalaman baru bagimu. Terkadang hidup di dunia ini tak bisa dihadapi dengan kejujuran dan welas asih melulu. Pada saatnya kau akan mengerti apa yang dikatakan sahabatmu itu. Kita tak punya waktu lama. Mari masuk ke dalam kota!"
Kota Hantu gempar ketika orang-orang itu menerobos masuk. Terlebih menyaksikan kepala Puranda yang ditenteng Wiro Sableng. Puluhan pengawal segera mengurung, tapi tak ada yang berani bergerak.
Wiro angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan berkata, "Siapapun kalian semua di sini tak lebih dari budak yang ditindas oleh enam iblis Kota Hantu. Kami datang untuk menghancurkan manusia-manusia iblis itu. Bukan untuk memusuhi kalian. Kami ingin kalian bergabung dengan kami dan bukan seperti kepala pengawal ini yang minta mati secara tolol! Hari ini adalah hari kehancuran Kota Hantu dan merupakan hari kebebasan kalian!"
Wiro diam sesaat menunggu reaksi. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Maka dia meneruskan. "Aku dan kawan-kawan tahu, lima dari pimpinan kalian tidak ada di kota. Jika kita mau sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu lekas tunjukkan di mana pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika kalian menipu kami ini jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti kami…!" tiba-tiba ada yang berkata.
Wiro memandang pada orang itu dan anggukkan kepala. Mereka menuju ke rumah Pinta Manik yang saat itu sudah diberitahu oleh beberapa pengawalnya apa yang telah terjadi. Karenanya ketika Wiro den kawan-kawan datang, dia sudah menyambut dengan rantai hitam berganduian bola besi berduri di tangan kanan. Lima belas pengawal yang setia padanya tegak mengelilinginya. Pinta Manik pelintir kumis besarnya, memandang garang pada orang-orang itu lalu pusatkan perhatian pada Wiro Sableng.
"Jadi ini manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu. Membunuh pengawal-pengawal, memancung kepala pengawal! Bagus! Pengawal! Tangkap kakek butut dan pemuda serta bocah itu. Pembunuh Puranda ini aku sendiri yang akan melumatnya!"
Pinta Manik tutup ucapannya dengan menghantamkan rantai hitamnya. Wiro kaget sekali ketika rasakan sambaran angin serta cahaya hitam yang keluar dari senjata itu. Jelas pemimpin Kota Hantu ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi. Dan jika mereka berjumlah enam orang tak heran kalau mereka bisa menguasai dunia persilatan di Jawa Bara melakukan keganasan seenak perut mereka!
Lima belas pengawal kelas satu menyerbu ke arah Pengemis Batok Tongkat dan Indrajit. Perkelahian seru terjadi. Tapi hanya enam jurus. Memasuki jurus ke tujuh, tak satu pun di antara para pengawal pilihan ini yang masih tegak berdiri. Semua orang yang memang ingin melepaskan diri dari kebiadaban di Kota Hantu itu semakin terbuka mata mereka.
Mereka tahu kini orang-orang yang datang itu adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Hari itu rupanya memang menjadi hari kebebasan mereka. Maka mereka mulai bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak agar rumah-rumah besar milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok Tongkat cepat berseru,
"Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk kami!"
Mendengar itu tak ada satu orang pun yang bertindak lebih jauh. Perhatian semua orang kini terpusat pada Wiro Sableng yang berkelahi menghadapi Pinta Manik masih dengan menenteng kepala Puranda!
Pinta Manik sendiri diam-diam merasa terkejut ketika melihat lima belas pengawalnya babak belur di hantam dua lawan. Rasa was-was semakin mencengkam dirinya ketika mengetahui pula bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Serbuan rantai hitam dan bola besi berdurinya yang laksana air hujan tak satupun dapat menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya lawan jelas mempermainkannya, menyerang dengan menyorongkan kepala Puranda ke mukanya hingga pakaian dan wajahnya jadi kotor bercelemong darah!
"Wiro," tiba-tiba Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya banyak waktu. Lekas kau selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat itu perkelahian antara Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung delapan belas jurus. Bola besi berduri mencuit-cuit pulang balik ke arah kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini memperlambat gerakan silatnya. Menyangka lawan mulai kehabisan nafas dan tenaga, Pinta Manik lipat gandakan daya serangannya. Wiro yang tadi beberapa kali sempat menyemongi wajah dan pakaian lawan dengan darah di kepala Puranda tidak menyangka kalau cukup sulit untuk menotok Pinta Manik. Sesuai rencana dia tidak boleh membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka terpaksa dia mempercepat gerakannya kembali.
"Aku harus merampas rantai hitam itu. Dengan mengandalkan satu tangan sulit melakukannya," membatin Wiro. Dia menimbang apakah akan mencampakkan dulu kepala Puranda atau tetap menghadapi senjata hebat lawan dengan satu tangan tapi mengeluarkan senjata mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan untuk mengeluarkan senjata itu. Sinar putih berkilauan ketika Kapak Maut Naga Geni 212 keluar.
Sesaat membuat Pinta Manik terkesiap. Seumur hidup belum pernah dia melihat Senjata anah dan memancarkan sinar angker seperti itu. Maka dia putar rantai hitamnya lebih hebat. Wiro angkat tangannya yang memegang kapak Sinar putih perak berkiblat.
"Tranggg...!" Bunga api memercik. Rantai hitam di tangan Pinta Manik putus. Bola besi berduri yang menggandul di ujung rantai terpental liar, menghantam tiga orang di samping kiri. Ketiganya mati dengan tubuh dan kepala hancur.
Melihat senjata andalannya musnah pucatlah Pinta Manik. Dia melompat mundur menjauhi Wiro. Tapi salah lompat. Dari belakang, ujung tongkat Pengemis Batok Tongkat menusuk kuduknya. Kontan tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek tertawa mengekeh. Dia memandang berkeliling.
"Kita akan mengadakan pesta malam ini!" katanya. "Pesta perkawinan manusia iblis ini...!"
Tentu saja semua orang heran mendengar kata-katanya itu. Dan jadi tambah heran ketika si kakek menyambung, "Dia akan kita kawinkan dengan orang hutan itu! Kalian lihat saja nanti. Seret iblis ini. Cekok dia dengan tuak sampai mabuk. Kalau sudah mabuk beri tahu aku agar kulepaskan totokannya!"
Beberapa orang segera menyeret Pinta Manik ke dalam rumah. Pengemis Batok Tongkat mendekati Wiro. "Kau boleh pergi sekarang. Bungkus potongan kepala itu dengan kertas warna warni. Kedatangan lima iblis lainnya perlu kita sambut dengan meriah…!"
"Bagaimana kalau mereka muncul dari pintu gerbang selatan hingga aku tak menemui mereka di tengah jalan?" tanya Wiro.
"Aku yakin mereka memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang terpendek dari lembah Cilendak. Aku juga yakin kelimanya tak akan muncul secara utuh."
Wiro anggukkan kepala. Dengan membawa kepala Puranda dia tingalkan tempat itu.
"Sepuluh tamu-tamu penting sudah datang kenapa tidak segera dihidangkan sesajian?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. Lalu dia menjura mempersilahkan Singkil Alit, Rangga dan Wiracula duduk di tikar permadani. Saat itu Singkil Alit sudah tak dapat lagi menahan amarahnya dan siap menerjang Wiro. Begitu juga kedua kwannya.
"Eeh! Itu ada tamu yang terkapar di beranda kenapa tidak ditolong supaya masuk kemari? Belum minum tuak kenapa sudah mabuk?" ujar Wiro sambil menunjuk pada Rah Tongga yang terbujur di beranda rumah. Seperti diketahui dia mengalami luka parah bagian bawah tubuhnya akibat tendangan Sultan Maut.
"Hai itu ada satu lagi tamu penting berpakaian serba hitam. Kenapa masih duduk di atas kuda? Dapat rejeki besar seorang gadis hingga tak mau turun melihat pengantin bersanding...!"
Wiro menunjuk ke arah Tembesi yang masih berada di atas punggung kuda sambil pegangi tubuh Piranti. Setiap kata-kata yang diucapkan Wiro Sableng diikuti Pengemis Batok Tongkat dengan gelak tawa mengekeh.
Dari dalam tiga orang gadis diiringi tiga pemuda keluar membawakan piring-piring dan gelas besar. Piring-piring itu bukannya berisi makanan melainkan diisi dengan batu, pecahan kaca, tanah dan pasir. Sedang gelas bukan diisi dengan tuak melainkan dipenuhi dengan air got!
"Mari silahkan duduk, silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata Wiro. "Atau mungkin para tamu terhormat hendak bersalaman dengan kedua mempelai lebih dulu...?!"
Batas kesabaran Singkil Alit dan kawan-kawannya habis sudah. Dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu keluar suara seperti harimau menggembor. Tubuhnya melesat melewati Pinta Manik dan orang utan yang duduk bersanding, langsung menerkam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiracula dan Rangga tidak tinggal diam. Mereka nenyerbu ke arah Pengemis Botak Tongkat dan Indrajit.
Sebelum menyembul serangan lawan si kakek sempat berbisik pada Handaka. "Kau lihat orang berkuda yang memakai topi seperti sorban?" Maksud si kakek adalah Sultan Maut. Handaka mengangguk. "Kedua tangannya terikat tali. Tali itu tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh Singkil Alit sendiri. Tapi ada satu cara untuk membukanya. Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu akan mudah melepaskan ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi aku harus membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!" kata Handaka.
"Jangan kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab Pengemis Batok Tongkat.
Mendengar ini Handaka yang baru beberapa bulan mendapatkan pelajaran dasar ilmu silat dari si kakek segera menyelinap mendekati Sultan Maut.
Sementara itu Tembesi yang masih berada di punggung kudanya bersama Piranti sesaat tampak bimbang. Apakah dia akan turun membantu pimpinan dan kawan-kawannya. Atau lebih baik bersenang-senang dengan gadis yang kini berada dalam keadaan tertotok itu?
Sampai di hadapan Sultan Maut, Handaka tangkap tangan orang yang terikat tali lalu meludahinya tiga kali. Kalau saja Sultan Maut tadi tidak melihat gerak-gerik Handaka yang berada bersama Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi anak yang berani meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya sedikit. Aneh, tali yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini terlepas mudah sekali.
"Anak baik! Terima kasih atas pertolonganmu. Siapa namamu?!" tanya Sultan Maut sambii mengusap kepala si bocah.
"Aku Haerdaka. Murid Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun..." jawab Handaka bangga.
"Bagus... bagus! Kau memang pantas jadi murid pengemis sakti itu!"
Saat itu Tembesi memutuskan bukan saja lebih baik bersenang-senang dengan Piranti, tetapi sekaligus selamatkan diri dari kelompok orang-orang yang diyakininya adalah jago-jago rimba persilatan berkepandaian luar biasa. Keadaan yang seperti itu membuat dia tidak tenang. Lebih baik cari selamat. Tapi dia harus kembali ke rumahnya dulu. Dia harus membawa beberapa gundik yang disenanginya, juga harta kekayaannya, baru diam-diam menyelinap meninggalkan kota.
Namun baru saja dia hendak bergerak, di hadapannya telah menghadang Sultan Maut. "Turunkan gadis itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi menyeringai. "Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau kira mampu bertahan hidup?! Kau harus melepas nyawa di Kota Hantu, Sultan!"
Habis berkata begitu Tembesi segera keluarkan rantai hitamnya, langsung menyerang Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu kehebatan senjata lawan cepat melompat dari kuda, menyambar sebatang tombak yang dipegang seorang pengawal di tepi beranda. Dengan tombak ini dia menghadapi gempuran dahsyat rantai hitam berbandul bola berduri lawan.
Sultan keluarkan seluruh kepandaiannya, bergerak cepat dan selalu berusaha menghindarkan bentrokan senjata. Dia tahu pasti tombak besi yang dipegangnya tak akan mampu bertahan kalau sampai tersambar senjata lawan. Di samping itu setiap balas menyerang dia harus berhati-hati karena kawatir tusukan atau sambaran tombaknya akan mengenai tubuh Piranti yang lintang di punggung kuda.
"Aku harus paksa bangsat ini turun dari kuda!" kata Sultan Maut dalam hati. Maka tombaknya dipakai untuk menyerang bagian pinggang ke bawah sedang tangannya yang lain lancarkan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke arah dada dan kepala Tembesi.
Lambat laun merasakan gerakannya terbatas jika terus berada di atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun. Tapi dia berlaku cerdik. Sambil turun dia menarik tubuh Piranti dan memanggulnya bahu kiri. Adanya tubuh si gadis di atas bahu lawan membuat Sultan Maut tidak leluasa melancarkan serangan-serangan mautnya. Sebaliknya Tembesi mampu melancarkan serangan dari berbagai arah dan cara.
Jika Sultan Maut menyongsong serangannya dengan balas menyerang maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan hingga mau tak mau lawan tarik kembali serangannya. Lambat laun Sultan Maut jadi terdesak, terlebih ketika tombak di tangan kanannya patah tiga dihantam gandulan besi berduri!
Sultan Maut merutuk panjang pendek dalam hati. Dia seperti kehabisan akal bagaimana harus menghadapi lawan yang licik serta memiliki kepandaian tinggi dan memegang senjata amat berbahaya itu.
Kita tinggalkan Sultan Maut yang berada dalam keadaan serba salah menghadapi Tembesi. Kita ikuti perkelahian antara Pengemis Batok Tongkat melawan Wiracula. Senjata rantai hitam dengan gandulan besi berduri di ujungnya jelas kelihatan lebih menggebu-gebu dari pada tongkat kayu di tangan kakek pengemis. Orang tua ini sendiri tahu akan hal itu. Sebelumnya ketika menyelamatkan Indrajit, ujung tongkatnya pecah remuk sewaktu beradu dengan bola besi berduri itu. Karenanya dia selalu menghindari bentrokan tongkat kayunya dengan senjata lawan.
Sekalipun senjata Wiracula kelihatan hebat, mengeluarkan suara menderu-deru dan memancarkan bayangan sinar hitam yang angker namun dia tidak dapat menandingi kegesitan tubuh kurus si kakek. Berkali-kali manusia iblis ini terperanjat karena tangan atau bagian tubuhnya yang lain hampir dimakan ujung tongkat atau digebuk badan tongkat. Belum lagi batok di tangan kanan si kakek yang mengemplang ganas ke arah batok kepala atau menggebuk deras ke bagian badan. Terkadang batok itu seperti diikat dengan tali atau benang yang tak kelihatan, menyerang laksana terbang, diulur dan ditarik!
Wiracula keluarkan keringat dingin ketika di jurus ke sembilan ujung tongkat di tangan kiri lawan mendadak berubah seperti puluhan banyaknya, melenting melebar seperti kipas dan mengeluarkan suara bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian dada. Wiracula melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa mengekeh. Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar bagian kepala lawan.
"Manusia iblis!" kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu yang robek akan kuganti dengan baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di neraka! He-he-he!"
Mendidih amarah Wiracula mendengar ucapan itu. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan putar senjatanya lebih sebat. Besi hitam dan gandulan bola duri itu berkiblat lebih sebat, lebih ganas, suaranya berdesing tambah angker. Seluruh tubuh Pengemis Batok Tongkat terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan berkibar-kibar tertiup sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya yang putih panjang.
"Trakkk...!" Tongkat kayu dan gandulan besi beradu keras.
"Tongkatku!" seru si kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas dari tangan dan patah dua mental di udara. Dia melompat seperti hendak berusaha menangkap patahan tongkatnya itu. Inilah kesempatan baik bagi Wiracula. Rantai hitam dan gandulan besi berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke pinggang lawan.
"Putus pinggangmu tua bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia iblis ini tidak tahu kalau dia sudah termakan tipuan lawan. Pengemis Batok Tongkat Tongkat membiarkan tongkat kayunya digebuk patah dan pura-pura kalang kabut hendak menangkap benda itu di udara. Selagi senjata lawan menghantam ke arah pinggang tubuh kurus si kakek tampak melenting dan jungkir balik di udara.
Sesaat kemudian terjadilah pemandangan yang membuat Handaka ternganga dan orang banyak yang menyaksikan ikut berdecak kagum. Sepasang betis Pengemis Batok Tongkat tahu-tahu sudah menjepit batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba menggebuk dengan senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan...
"Kraakkk...!"
Ketika si kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya tulang leher Wiracula. Orang ini mengeluarkan suara melenguh tercekik. Matanya mendelik lidahnya mencelet! Dari mulutnya keluar darah, juga dari hidungnya. Senjata rantai hitam lepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Tubuh si kakek kembali melenting. Begitu dia berdiri di atas kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula roboh terkapar di lantai.
"Mampus! Iblis keparat itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan! Mengapa kita tidak membunuh yang satu itu? Yang terkapar di kaki beranda!" seorang lainnya berseru.
Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga, salah satu dari manusia iblis itu, yang cidera berat di bagian perutnya dan berada dalam keadaan antara sadar dan pingsan. Tiba-tiba saja banyak orang mencabut senjata yang mereka bawa lalu naik ke beranda rumah besar. Pengemis Batok Tongkat hendak mencegah.
"Ah, peduli amat!" dengusnya kemudian. "Itu lebih baik baginya!"
Maka puluhan macam senjata menderu menghantami tubuh Rah Tongga. Orang-orang Kota Hantu yang selama ini dijadikan budak di bawah ancaman kematian, kini melepaskan dendam kesumat mereka. Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak berbentuk tubuh manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di lantai beranda!
Pengemis Batok Tongkat berdiri sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Di sebelah kirinya dilihatnya Indrajit bertempur melawan Rangga. Pemuda ini memegang sebilah golok yang didapatnya dari seorang pengawal. Golok besar itu bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola berduri di tangan Rangga. Hanya kegesitan pemuda itulah yang banyak menolongnya menghadapi lawan yang tengguh itu. Namun di mata si kakek dalam waktu beberapa jurus di muka Indrajit akan menjadi repot, terdesak dan terancam keselamatannya.
Ketika dia memandang ke jurusan lain, Pengemis Batok Tongkat dapatkan Sultan Maut yang bertempur melawan Tembesi berada dalam keadaan terdesak hebat. Bukan saja karena dia tidak memegang senjata apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu melancarkan serangan balasan karena kawatir akan mengenai tubuh cucunya yakni Piranti yang ada di atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis licik!" gertak Pengemis Batok Tongkat lalu melompat turun ke halaman. Namun saat itu setelah menggebrak dengan satu serangan dahsyat hingga Sultan Maut terpaksa melompat mundur, Tembesi cepat melompat ke punggung kudanya dan membedal binatang itu, melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan! Mari kita kejar iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok Tongkat seraya menarik bahu Sultan Maut. Keduanya sama-sama melompat ke atas dua ekor kuda yang ada di dekat situ dan mengejar.
Jika saja Tembesi langsung lari meninggalkan Kota Hantu melewati jalan-jalan gelap dan berbelok-belok, basar kemungkinan dia tak akan terkejar oleh Sultan Maut den Pengemis Batok Tongkat. Namun saat dia lari menuju rumah besarnya di sebelah selatan kota. Rencananya adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya, memboyong beberapa perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan cantik-caantik, baru melarikan diri sambil membawa Piranti. Malah dalam benaknya saat itu sudah ada niat untuk meniduri gadis itu dulu di rumah besarnya. Ketamakan dan kebejatannya inilah yang ternyata mendatangkan malapetaka baginya.
Sepanjang jalan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat mendapat petunjuk dari penduduk ke arah mana larinya Tembesi. Mereka menemukan kuda tunggangan manusia iblis itu di hadapan sebuah rumah besar yang bagian depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat itu pasti ada di dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata Sultan Maut yang sudah tak sabaran karena mengawatirkan keselamatan dan kehormatan cucunya.
"Jangan jadi orang tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil pegang bahu Sultan Maut. "Di rumah sebesar itu kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk lewat pintu!"
"Apa usulmu?"
"Naik ke atas atap dan mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si pengemis sakti.
Lalu tanpa bicara lebih banyak dia segera melompat ke atas atap bangunan. Sultan Maut menyusul. Keduanya yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, mengendap-endap di atas atap, mengintai setiap sudut bagian dalam rumah besar dengan mudah. Mereka sengaja mengintai bagian rumah yang kelihatan terang setelah nyala lampu karena di situ pasti ada orangnya. Beberapa kali setelah melakukan pengintaian tiba-tiba terdengar kutuk serapah Sultan Maut.
"Iblis dajal terkutuk!"
Pangemis Batok Tongkat cepat mengintai pula. Di bawah sana, dalam sebuah kamar yang besar dan bagus, diterangi oleh dua lampu minyak besar, kelihatan tubuh Piranti tergolek di atas sebuah ranjang. Di sampingnya setengah berjongkok tampak Tembesi tengah membukai pakaian gadis yang masih berada dalam keadaan tertotok itu.
"Braakkk...!"
Sultan Maut hantamkan tumit kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat dari kayu itu hancur berantakan. Sebuah lobang menganga. Sultan Maut cepat melompat turun, langsung masuk ke dalam kamar. Pengemis tua menyusul.
"Keparat! Jadi kau berani menyusul kemari! Benar-benar minta mampus!" Tembesi yang hanya mengenakan celana dalam sekilas melirik pada Pengemis Batok Tongkat. Dia tadi melihat bahwa kakek inilah yang telah membunuh Rah Tongga. "Kalian berdua mau apa?" bentaknya kemudian.
Sultan Maut mendengus. Pengemis Batok Tongkat mengekeh. "Orang yang mau mampus memang suka bertanya aneh-aneh!" kata kakek pengemis sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Kami datang minta nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi segera sambar rantai hitam yang tergeletak di bagian kepala tempat tidur. Dia sudah menjajal kehebatan Sultan Maut dan merasa tidak takut terhadap orang ini. Tapi pengemis lihay yang ada bersama Sultan Maut benar-benar membuat nyalinya berdetak. Berkelahi dua lawan satu mungkin dia masih sanggup membunuh Sultan Maut. Mungkin. Tapi dirinya sendiripun tak bakal lolos dari maut. Maka otak licinnyapun mulai bekerja. Dia berkata,
"Dengar, jika kau mau cucunya, ambillah. Dirinya belum kusentuh! Sudah itu cepat pergi dari sini sebelum senjataku ini menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok Tongkat kembali tertawa mengekeh. "Gadis itu memang harus kami selamatkan tapi nyawamu pun harus kau serahkan!"
"Bangsat tua ini tidak main-main…" membatin Tembesi. Maka dia cepat berkata. "Cucumu tak ku apa-apakan. Jika kalian segera pergi, ada satu peti perhiasan dan uang yang boleh kalian bawa serta dan bagi dua!"
"Nyawa anjingmu yang akan kami bagi dua manusia iblis!" teriak Sultan Maut. Lalu dia menubruk ke depan. Tangannya kiri kanan menghantam. Dua pukulannya itu mengeluarkan angin deras karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tembesi menangkis dengan mengiblatkan rantai hitamnya. Sinar hitam berkelebat. Gandulan berduri membabat ganas, Namun Tembesi harus cepat menghindar dan tarik pulang serangannya karena dari samping saat itu Pengemis Batok Tongkat merangsek dengan kemplangkan batok kelapanya ke arah kepala!
Hanya dua jurus Tembesi mampu merangsek kedua lawannya dengan serangan-serangan kilat dan ganas. Setelah itu Sultan Maut dan kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan! Kau selamatkan dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar aku yang menghadapi manusia iblis ini!" berkata Pengemis Batok Tongkat.
Sultan Maut segera lakukan apa yang dikatakan si kakek. Piranti ditariknya ke sudut kamar. Di sini dia melepaskan totokan di tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya. Begitu sadar Piranti dengan cepat segera mengetahui apa yang terjadi dalam kamar besar itu. Maka dengan tangan koosng diapun menyerbu Tembesi. Menghadapi tiga lawan seperti itu tak ada lagi harapan bagi Tembesi. Menyadari hal ini dia masih coba membujuk dengan berseru,
"Di bawah tempat tidur ini ada lima peti berisi perhiasan dan uang perak, juga uang emas. Kalian boleh ambil asalkan aku bisa bebas pergi dari sini!"
"Siapa butuh benda itu!" teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh membawanya sendiri nanti!"
"Keparat!" maki Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku juga punya beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-cantik. Kalian boleh ambil!"
Sultan Maut mendengus marah. Pengemis tua tertawa mengekeh sedang Piranti tampak gemas sekali. Ketiga orang itu kurung Tembesi lebih rapat. Serangan mereka juga tambah deras. Membuat iblis Kota Hantu itu semakin ciut nyalinya. Ilmu silatnya, pertahanan serta serangannya menjadi kacau. Dia mengumbar tenaga luar dan tenaga dalam secara berlebihan sehingga dalam waktu satu jurus di muka gebukan pertama mulai menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini tersorong ke depan begitu jotosan Piranti menghantam tulang punggungnya. Karena terlalu memperhatikan serangan-serangan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat Tembesi melengahkan gerakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung remuk. Di saat yang sama pengemis lihay itu berhasil menangkap gandulan bola berduri senjata Tombak dengan batok kelapanya. Manusia iblis ini merasa tangannya bergetar ketika dia berusaha melepaskan senjatanya. Tenaga dalam lawan lebih tinggi dari yang dimilikinya!
"Gila!" maki Tembesi.
Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan membetot dengan kakek Pengemis Batok Tongkat tertawa mengekeh. Aliran tenaga dalamnya tiba-tiba diputuskan. Bola besi berduri, lepas dari cengkeraman batok dan tanpa dapat diperhitungkan atau dihindari lagi oleh Tembesi, besi duri itu menghantam mukanya sendiri!
Manusia iblis ini menjerit setinggi langit dan roboh di samping tempat tidur. Selagi meregang nyawa dengan tangan dan kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan Piranti melompat, kaki keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi. Tak ampun lagi nyawa Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka hancur, perut jebol dan dada hancur.
"Kita kembali ke tempat pesta perkawinan gila itu!" kata Pengemis Batok Tongkat. Ketiga orang itu segera tinggalkan tempat tersebut.
Ketika Pengemis Batok Tongkat, Piranti, dan Sultan Maut sampai di rumah besar milik Pinta Manik yang sedang jadi 'pengantin' pertempuran di sana berlangsung hebat. Baik Singkil Alit maupun Rangga terdesak hebat.
Kematian Wiracula dan Rah Tongga sangat mempengaruhi semangat dua manusia iblis yang sedang bertempur. Yaitu Singkil Alit melawan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Rangga menghadapi Indrajit. Singkil Alit sudah memaklumi tak ada kemungkinan baginya untuk mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat itu pemuda lawannya itu sudah mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang terkenal angker dan ditakuti dalam rimba persilatan!
Sebaliknya Rangga walaupun yakin dia tidak bakal dapat dikalahkan dengan mudah oleh Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih dulu. Berulang kali dia memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera melarikan diri saja. Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat isyarat kawannya itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu guna dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada dalam keadaan mabuk dan duduk di kursi 'pengantin' di samping orang hutan betina yang tak henti-hentinya menguik, jelas tak dapat diharapkan pertolongannya.
Rantai hitam di tangan Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam Kapak Naga Geni 212! Pucatlah para pimpinan manusia iblis itu. Tiba-tiba dia berseru,
"Tunggu!!"
"Eh, kau mau baca doa minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro mengejek.
"Dengar, aku Singkil Alit alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi tak ada persoalan yang tak bidsa diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro! Bangsat itu licik! Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis Batok Tongkat memberi ingat.
"Tahan!" seru Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat ini. Tapi jika mau berunding itu akan lebih menguntungkan bagi kalian!"
"Apa yang hendak kau rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara bagaimana manusia iblis!" ujar Wiro sambil melintangkan Kapak Napa Geni 212 di depan dada.
"Dengar. Biarkan aku dan Rangga meninggalkan tempat ini. Semua harta kekayaanku kuberikan pada kalian. Ini kunci kamar rahasiaku. Semua harta itu tersimpan di sana! Ambillah!"
Habis berkata begitu Singkil Alit lemparkan sebuah anak kunci ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Di saat itulah anak kunci yang dilemparkan mengeluarkan suara seperti meletus dan asap hitam menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka! Aku sudah memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro juga jadi jengkel melihat kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan kapak saktinya beberapa kali. Sinar perak menyilaukan berkelebat. Asap hitam lenyap. Tapi Singkil Alit dan Rangga tak ada lagi di tempat itu.
Karena tak ada seorangpun yang melihat ke mana kedua manusia iblis itu melarikan diri maka Wiro berseru, "Dua keparat itu tak mungkin bisa kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat ini pasti ada jalan rahasia! Siapa yang tahu?!"
Seorang pengawal maju ke hadapan Wiro dan berkata, "Saya tahu, memang ada jalan rahasia. Tapi tidak tahu di mana pintu masuknya, hanya tahu jalan keluarnya."
"Bagus! Tunjukkan padaku!" kata Wiro pula.
"Di luar pagar tinggi sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara..." menerangkan si pengawal.
"Bagus! Antarkan aku ke sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu. Ketika si pengawal hendak menaiki kuda Wiro memegang bahunya. "Tak ada waktu kalau kita harus berkuda lewat pintu gerbang utara. Dua iblis durjana itu keburu kabur. Kita harus menuju langsung ke pagar sebelah timur"
"Tapi di situ tak ada pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu tinggi!" kata pengawal.
"Naik saja ke kudamu, antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau sebutkan itu!"
Ketika kedua orang itu sudah berada di atas punggung kuda, Pengemis Batok Tongkat memegang lengan Handaka dan melompat pula ke atas seekor kuda. Sebelum menyusul Wiro dan pengawal dia berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Sultan, kau dan cucumu serta Indrajit tetap berjaga-jaga di sini. Bukan mustahil jika dicegat di jalan keluar dua iblis itu akan kembali ke mari!"
Dari kerumunan orang banyak terdengar seruan. "Bagaimana dengan iblis yang satu itu? Yang kalian kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang satu itu kalian punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak ikut campur!" sahut pengemis tua.
"Iblis itulah yang telah membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba Indrajit berkata keras. "Dia pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat Elang Putih ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajiti" seru Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau tak bisa membunuh orang yang berada dalam keadaan mabuk dan tak berdaya!"
Indrajit menyeringai. "Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan tokoh silat tak berdosa ketika mereka juga berada dalam keadaan tak berdaya. Turut penjelasan yang aku terima Pinta Manik-lah iblisnya yang membunuh guruku selagi mabuk! Dia pantas mati dengan cara yang sama!" sahut pemuda itu.
Dia melangkah ke hadapan Pinta Manik yang duduk di kursi pengantin dalam keadaan meracau mabok. Tanpa ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke perut Pinta Manik. Satu lagi dari enam iblis Kota Hantu menemui ajalnya.
Pengawal itu berhenti di suatu tempat di hadapan pagar batangan kayu jati yang terletak di timur kota. Dia berpaling pada Wiro Sableng seraya menduga-duga apa yang hendak dilakukan pendekar itu lalu berkata,
"Lobang jalan keluar rahasia itu terletak di jurusan pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam rimba. Cukup sulit mencarinya di malam gelap begini!"
"Di sebelah sana banyak obor bergantungan. Ambil barang dua buah dan bawa kemari!" kata Wiro.
Lalu sebelum pengawal itu bergerak Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah pagar pohon jati. Sinar putih menyilaukan yang menimbulkan hawa panas berkiblat. Pagar kayu jati di seberang sana hancur berkeping-keping dan roboh!
Si pengawal ternganga menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget di samping gurunya. Sedang Pengemis Batok Tongkat sendiri mendecakkan lidah seraya membatin, "Pukulan Sinar Matahari! Sudah lama mendengar baru kali ini menyaksikan sendiri. Pemuda sableng ini benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!"
Begitu pengawal datang membawa dua buah obor, orang-orang itu segera meninggalkan kota, menerobos melewati pagar yang bobol. Kira-kira sepeminuman memasuki rimba belantara di timur kota, si pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat bagian kanan pohon itu. Di balik belukar dan rerumpunan alang-alang itu ada sebuah lubang batu. Itulah jalan ke luar rahasia...!"
Wiro maju mendekati pohon timbul, menyorotkan obor di sebelah depan. Memang ada sebuah batu besar di situ dan pada batu itu terdapat sebuah lobang yang cukup tinggi, sepembungkukan manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada tanda-tanda alang-alang ataupun semak belukar di sekitar lobang itu telah disibak atau dipijak orang sebelumnya.
"Mereka belum keluar dari sini. Mungkin sebentar lagi," katanya memberi tahu pada yang lain. "Padamkan obor!"
Wiro meniup padam obor yang dibawanya. Hal yang sama dilakukan juga oleh pengawal pengantar. Keadaan dalam rimba itu jadi gelap bukan kepalang. Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa. Mereka berlindung di balik semak belukar di seberang pohon timbul. Tak lama kemudian Wiro berbisik,
"Mereka sudah mendekati mulut lobang…"
Pengemis Batok Tongkat mengangguk. Telinganya yang tajam juga memang telah mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Kemudian kelihatanlah dua buah tangan menyambak belukar dan alang-alang. Dua sosok tubuh berpakaian serba hitam keluar dari dalam lobang. Yang satu berkata,
"Keparat! Selamat juga kita sampai di sini akhirnya…" Yang berkata adalah Singkil Alit.
"Kita selamat tapi bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?" terdengar suara Rangga.
"Saat ini kurasa masih hidup sudah untung. Lain kali kita buat rencana baru. Kalau penyerbu-penyerbu keparat itu sudah pergi kurasa kita bisa kembali ke Kota Hantu untuk mengambil harta itu…"
Singkil Alit putuskan kata-katanya. Matanya melihat ada sesosok bayangan bergerak dalam gelap. "Siapa itu?" bentaknya seraya siap melepaskan pukulan tangan kosong sementara Rangga bersiap dengan rantai hitam gandulan bola besi berdurinya. Sosok tubuh itu kelihatan lebih jelas.
"Hai!" seru Rangga. "Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di Kota Hantu?!"
"Astaga, memang dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka. Kontan suaranya bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga sendiri berubah ketakutan wajahnya.
"Bagaimana bocah keparat ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami yang membawanya ke mari!" satu suara menjawab.
Berpaling ke kanan Singkil Alit dan Rangga lihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak beberapa langkah di seberang sana. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan mencekal Kapak Naga Geni 212. Di sebelah kanannya tegak kakek berambut putih berpakaian rombeng yang bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Lalu agak jauh,dari situ kelihatan berdiri seorang bekas pengawal Kota Hantu. Kedua Iblis ini segera maklum apa yang terjadi Sang pengawal telah membocorkan rahasia, memberi tahu lobang keluar di dalam rimba itu!
"Setan alas! Kau yang berkhianat!" teriak Singkil Alit marah lalu menerkam pengawal penunjuk jalan.
Tapi tubuhnya serta merta terdorong ke samping begitu kakek pengemis menghantam dengan pukulan tangan kosong. Cepat kepala komplotan manusia-manusia iblis ini sambar rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu si kakek dengan senjata itu.
"Sobat tua, biar aku yang menghadapi biang iblis ini. Kau layani yang satu itu. Aku tidak lupa pesanmu agar menyisakan sebagian nyawa keparat ini untuk muridmu!"
Mendengar ucapan Wiro itu Pengemis Batok Tongkat segera melompat ke arah Rangga, sedang Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil Alit!
Gandulan bola besi berduri lewat di atas kepala Wiro Sableng. Sebaliknya sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 juga luput setengah jengkal dari perut Singkil Alit. Sebelum lawan siap dengan kuda-kuda penyerangan baru Singkil Alit cepat mendahului menyerang dengan senjatanya.
Namun sekali ini kapak sakti di tangan Wiro datang menyapu dari bawah, menggunting serangan lawan di tengah jalan. Dan Singkil Alit tidak kuasa untuk manyelamatkan senjatanya dari tebasan kapak. Rantai hitam itu terkutung dua. Gandulan besinya menancap di pohon timbul, sisanya masih tergenggam di tangan Singkil Alit.
"Celaka! Aku harus lari!" keluh Singkil Alit yang merasa tidak punya harapan lagi. Dia lemparkan potongan besi di tangannya ke arah Wiro lalu memutar tubuh ke jurusan kiri siap untuk kabur. Tapi gerakannya tertahan. Seperti ada yang menangkap pergelangan kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya. Memandang ke bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah melakukannya.
"Budak keparat!" maki Singkil Alit. Tinju kirinya dihantamkan ke kepala Handaka. Namun pukulan maut itu tak pernah kesampaian karena di saat yang sama dia merasakan sambaran angin. Terdengar suara...
"Crasss...!"
Bahu kanannya terasa dingin, lalu ada yang memanasi sekujur sisi kanannya. Ketika dia memandang ke kanan ternyata tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah putus disambar kapak Wiro. Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit kesakitan!
"Crasss...!"
Kini giliran lengan kiri manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga Geni 212. Tubuh Singkil Alit menggigil panas oleh hawa dan racun kapak yang mulai bekerja. Dia tersandar terhuyung-huyung ke sebatang pohon, lalu melosoh jatuh ke tanah.
Wiro dekati Handaka lalu angsurkan Kapak Naga Geni 212 pada si anak seraya berkata, "Selesaikan urusanmu dengan manusia yang telah membunuh ayahmu!"
Handaka tampak ragu-ragu. Bukan saja dia merasa angker melihat senjata yang diangsurkan kepadanya itu, tetapi juga merasa senjata itu terlalu besar baginya dan tentu berat sekali. Tetapi ketika Wiro menarik tangannya dan memegangkan kapak ke tangannya, Handaka terkejut.
Senjata mustika yang begitu besar ternyata enteng sekali. Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau besar biasa. Mendapatkan kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas terbayang olehnya saat-saat ketika ayahnya mati di tangan Singkil Alit. Tanpa ragu-ragu Handaka ayunkan Kapak Naga Geni 212.
Singkil Alit mendelik dan berteriak, "Jangan...!"
Mata kapak menancap tepat di kening manusia iblis itu. Handaka merasakan tangannya gemetar. Dia seperti tak kuasa mencabut kapak dari kepala Singkil Alit. Terhuyung-huyung anak ini melangkah menjauhi pembunuh ayahnya itu yang kini sudah jadi mayat.
Wiro usap kepala Handaka lalu ambil Kapak Naga Geni 212. "Ayahmu akan tenteram dalam kuburnya Handaka. Dia pasti tahu bahwa kau telah membalaskan sakit hatinya!" kata Wiro.
Kedua mata Handaka tampak berkaca-kaca.
Sementara itu Rangga talah menerima beberapa kali pukulan dari Pengemis Batok Tongkat. Tulang iganya sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah kiri benjut besar dan matanya bengkak serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak mungkin mempertahankan diri lebih lanjut apalagi mengetahui Singkil Alit telah mati maka iblis satu ini tiba-tiba jatuhkan diri seraya meratap.
"Aku mohon kalian mengampuni selembar nyawaku yang tidak berharga ini! Aku akan bertobat. Aku berjanji akan menempuh hidup baik!"
"Siapa yang mau mendengar ratapan iblis!" kata pengemis tua. "Nyawamu memang tidak berharga karena itu kau layak mampus!"
Lalu Pengemis Batok Tongkat hantamkan tendangan kaki kanannya ke kepala Rangga. Orang ini mencelat dan terkapar di antara semak belukar. Separoh dari mukanya yang dihantam tendangan hancur mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat itu.
"Kita kembali ke Kota Hantu..." kata Wiro.
"Ya, tapi kau sajalah. Aku dan muridku harus kembali ke tempat kediaman kami. Urusan kami sudah selesai..." jawab kakek pengemis.
"Kalau begitu akupun tak perlu kembali ke sana..."
"Kau harus," sahut si kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan Maut dan yang lain-lainnya serta semua orang di Kota Hantu bahwa enam manusia iblis telah menemui kematiannya. Kau harus ikut mengawasi keadaan di situ. Bukan mustahil penduduk saling berbunuhan memperebutkan harta kekayaan enam iblis yang tertinggal. Bukan mustahil para pemuda memperebutkan perempuan-perempuan cantik bekas peliharaan manusia-manusis keparat itu. Dan juga apakah kau tidak ingin menemui kembali gadis beenama Piranti yang cantik jeiita itu. Kulihat kau terus-terusan memperhatikannya ha-ha-ha..."
Wiro Sableng merasakan mukanya merah dan garuk-garuk kepala. "Hai, jika kau tahu aku memang memperhatikannya, berarti kau juga mengawasi gadis itu!" sahut Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada kecantikannya. Tapi kau yang tua begini masih tertarik pada jidat licin muka jelita. Ha-ha-ha..."
Murid Sinto Gendang itu hentikan tawanya ketika dia menyadari bahwa si kakek bersama muridnya sudah meninggalkan tempat itu. Dia tinggal sendirian ditemani mayat Singkil Alit dan Rangga. Setelah menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini mengikuti juga ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
SATU
SANG surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan.
Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramai dengan nelayan yang baru pulang melaut. Perahu berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak seorang nelayan pun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan. Teluk itu sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa. Mendadak kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah..." katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa lain."
Orang tua itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju deretan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada gerakan apa-apa.
"Mati!" desis si orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!"
Mulut kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo ladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan...?! Eh… itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan... Kasihan sekali! Apa dosanya?!"
Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm… ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang tega-teganya memukul demikian kejam?!"
Meskipun tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu kehebatan. Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu...
"Hupp...!" Tubuh si anak tahu-tahu melayang ke atas!
Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu. Dari caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan dia?
Pada masa itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam. Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa.
Salah seorang dari tokoh silat golongan putih Jawa Barat adalah kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu.
Pengemis tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun. Ketika sadar si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata.
Ternyata dia berada dalam pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.
"Ayah..." si anak memanggil ayahnya. Suaranya memelas.
Di samping kanan, sudut matanya menangkap sosok sesorang duduk di tepi balai-balai. Diperhatikannya. Ternvata orang itu bukan ayahnya. Ayahnya tidak setua itu, tidak berambut putih dan tidak berpakaian compang-camping walau dia seorang nelayan miskin. Otaknya bekerja. Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang menunggang kuda itu...?
"Anak, kau sudah sadar...!" si kakek menegur.
Anak itu tak menjawab. "Dadamu masih sakit...?"
"Ayah... ayah...?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan pikirannya sendiri. Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa ayahnya sudah mati.
"Ah, satu kejadian besar telah menimpanya," membantin si kakek. "Salah seorang yang mati di pantai itu mungkin sekali ayahnya. Kasihan..."
Kakek itu mengambil sebuah tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi disediakannya. Kepala si anak diangkatnya sedikit.
"Minum obat ini, nak. Kau pasti lekas sembuh..."
Mula-mula anak itu gelengkan kepalanya hendak menolak. Namun pandangan mata orang tua itu yang demikian lembut serta mulutnya yang tersenyum membuat anak ini mau juga membuka mulutnya dan meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa hangat. Rasa hangat terus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya. Bersamaan dengan itu rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu kemudian urut-urut dada si anak. Gerakan tangannya perlahan sekali. Anak ini merasakan ada hawa dingin keluar dari jari-jari tangan orang tua itu. Selesai mengurut-urut kini kakek itu tampak sibuk menjengkal-jengkalkan tangannya pada beberapa bagian tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang pinggul diketuknya berulang-ulang.
"Orang tua... kau siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini berada di mana?"
Yang ditanya tak menjawab. Masih terus sibuk menjengkal dan mengetuk. "Ah, susunan tulangmu bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka..." jawab anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri siapakah, kek? Apa ini rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di luar sana ada suara-suara aneh."
Pengemis Batok Tongkat tertawa. "Telingamu tajam juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini memang sepi. Hanya ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik-hik-hik. Tapi di luar sana, di malam gelap begini rupa seratus macam suara bisa kau dengar. Mulai dari suara jangkrik sampai suara kodok. Mulai dari suara burung yang ketakutan sampai lenguh banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman harimau dan singa!
"Harimau dan singa?! Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak usia sepuluh tahun itu.
Kakek itu mengangguk. "Apa kau takut?" dia bertanya kemudian.
Handaka menggeleng. "Bagus kalau kau tidak takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak istirahat. Besok pagi aku akan buatkan bubur untukmu..."
"Kenapa tidak sekarang saja? Perutku lapar."
Pengemis Batok Tongkat tertawa. "Malam ini kau belum boleh makan. Kau masih dalam pengobatan tingkat pertama..."
"Lalu bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Di mana ayah? Kau belum mengatakan kau ini siapa...?"
"Siapa diriku, sejak kecil aku memang tak punya."
"Aneh, masakan ada orang tidak punya nama. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu...?"
"Panggil saja aku kakek pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu, bukan anak..."
"Kakek pengemis? Memangnya kau...?"
"Betul! Aku memang pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-camping. Aku jarang mandi. Lihat tongkat dari batok kelapa di atas meja itu? Itu benda-benda yang kupergunakan untuk minta-minta..." Handaka seperti tidak percaya. Namun dia lebih ingin mengetahui di mana ayahnya.
"Di mana ayahmu, itulah yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari karena aku yang membawamu. Kau kutemukan pingsan di teluk, kemarin pagi..."
"Jadi kau telah menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima kasih padamu..." Handaka berusaha untuk bangun. Namun kakek pengemis menahan bahunya dari menyuruhnya berbaring kembali.
"Segala kejadian di dunia ini sudah ada yang mengatur, Handaka," katanya. "Semua kodrat Tuhan di luar maunya manusia. Karena itu hanya pada Dia manusia layak berterima kasih."
"Ayahku juga bilang begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga mengatakan walau Tuhan punya kuasa, manusia harus berupaya..."
Si kakek tertawa lebar. "Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu adanya. Nah sekarang kau harus tidur. Besok sehabis makan kau boleh menceritakan padaku apa yang terjadi di teluk pagi kemarin."
Si anak terdiam. Dia coba mengingat-ingat. "Kenapa menunggu sampai besok? Sekarangpun aku bisa menceritakannya kek. Aku mulai ingat semua yar terjadi di teluk. Orang-orang jahat itu... para nelayan, ayahku..."
"Dadamu tidak sakit?"
"Rasanya sudah sembuh kek. Obat mu pasti manjur sekali."
Pengemis Batok Tongkat tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau kau bisa menceritakan sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka Handaka pun menuturkan apa yang terjadi.
********************
Pagi itu para nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk Cikandang, siap memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh malam tadi. Para pembeli termasuk tengkulak-tengkulak yang sudah lama menunggu segera mendatangi. Di antara orang banyak yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera menjadi perhatian.
Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya penuh luka dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih menganga. Dia berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka besar yang masih mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan Tugiman!" seru seorang nelayan tua seraya melompat dari perahunya. Namanya Argakumbara.
Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya. Seorang anak lelaki yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu, berlari ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula mendatangi. Tugiman roboh ke pasir saat para nelayan sampai di hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang terjadi? Siapa yang menganiaya mu?!" tanya Argakumbara sambil berlutut di samping orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari... lari...! Tinggalkan tempat ini cepat..." Tugiman bicara dengan susah payah.
"Lari? Kenapa musti lari...?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian. Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung, Membunuh, merampok dan menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka akan segera datang kemari..."
Kagetlah semua nelayan yang ada di situ. Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak ada bayangan rasa takut.
"Siapa manusia-manusia durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara. "Kampung kita dan daerah sekitar sini sejak dulu selalu aman tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke langit.
"Mati! Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak. "Handaka," kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray. Langsung ke rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun itu melakukan perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara mereka memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang jalan. Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini manusia-manusia durjana itu…" bisik Handaka seraya pegangi lengan Argakumbara.
Penunggang kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka garang dihias kumis melintang dan cambang bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat kepala serba hitam.
"Ternyata anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan! Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!" kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian sebelum dia mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan! Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu kaki kaki kanannya enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada di dekatnya. Tak ampun nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok!
Serta merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali Argakumbara dan anaknya. Penunggang kuda yang barusan menendang dan memboyong seorang gadis di pangkuannya memandang berkeliling, tertawa sebentar lalu berkata,
"Nelayan-nelayan busuk! Kalian dengar baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau Hitam, pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian, membunuh orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua gadis ini karena tidak mau ikut secara suka rela padahal mau diberi kenikmatan dan hidup mewah! Kami bahkan telah menggantung kepala kampung kalian yang berani menantang! Jika kalian di sini ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu sebelum mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang berani menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa..."
"Bagus! Ada juga yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada yang mau menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau menendang. Dasar nelayan-nelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya. "Dengar baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang, termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada di bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil panen harus diserahkan pada kami. Semua ikan yang kalian dapat harus diberikan kepada kami hasil penjualannya. Nanti kami yang akan mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah, aku mau tahu ada yang berani membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara. "Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian monyet tua itu. "Selama ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui kepala kampung. Pajak yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau ladang, tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam, itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami...!"
Singgil Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas lalu tertawa gelak-gelak. "Monyet tua...!" katanya.
"Ayahku bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang harus kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-kawan akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal bersama kami, bekerja untuk kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari berarti mati!"
Mendengar kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka mulut. "Singkil Alit! Siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti mengapa kau dan kawan-kawanmu tega melakukan pemerasan. Merampas bahkan membunuh kami orang-orang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak takut pada petugas-petugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu? Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu nelayan tua. Orang lain tak boleh mendengarnya..." kata Singkil Alit
Tak mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan tergelimpang di pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah…!" jerit Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis keras.
Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar yang terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong ikan. Tak berpikir panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu menerjang ke arah Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang diserang tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan kanan Handaka.
Anak itu berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan pisau besarnya. Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar muka Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
********************
Mendengar penuturan Handaka, lama Pengemis Batok Tongkat termenung. "Aneh..." katanya kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang katanya didiami manusia-manusia beradab ini masih saja ada orang-orang durjana seperti Singkil Alit dan kawan-kawennya itu. Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Iblis dari mana yang satu ini...?"
"Handaka, apakah ibumu masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu menggeleng. "Kata ayah, ibu meninggal tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa..."
"Eh, merasa berdosa bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau beliau tidak melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua itu termenung sejurus, lalu tertawa mengekeh. "Cucu, jalan pikiranmu terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur oleh manusia lainnya. Tapi Tuhan yang menentukan hidup mati seseorang!"
"Kalau begitu orang-orang seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu bisa dianggap tidak berdosa walau dia membunuh. Bukankah itu sebenarnya tangan atau kehendak Tuhan yang berlaku...?"
"Ah, sepintas lalu jalan pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau direnungkan Iagi kau salah besar cucuku. Tuhan memang yang menentukan. Tapi hak apa manusia merampas nyawa orang lain? Hak apa manusia boleh mencuri dan merampok, boleh menculik? Segala segi kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci dan hadis Nabi. Dan manusia harus mempergunakan akal sehat bukan ikut hasutan setan atau iblis!"
Di usia seperti itu agak sulit bagi Handaka mengerti kata-kata si kakek. Maka diapun berkata, "Mengapa kau tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa lebih baik bagimu untuk tidak kembali ke kampung. Manusia-manusia iblis itu pasti tidak berhenti pada kematian ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di sini?"
"Apa enaknya tinggal dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada kawan... Jauh dari laut yang kucintai... " ujar Handaka.
Wajah si kakek jelas menunjukkan rasa kecewa.
"Tapi mengingat kau sudah menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu saja mau tinggal bersamamu di sini."
"Ah! Kau pandai mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok Tongkat dan tertawa gelak-gelak.
"Apakah aku tak akan menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau takut aku akan menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-minta?"
"Ih, tak ada pikiranku begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan halal yang jauh lebih baik dari mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus... bagus!" kata Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap rambut Handaka. "Cucu, jika kau mau tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat padamu!"
Handaka bangkit danduduk di ujung balai-balai. Menatap si kakek. "Kau sungguhan mau mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua itu mengangguk. "Ah, jika aku jadi jago silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan iblisnya. Aku akan basmi mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu baik... cucuku baik. Sekarang kau tidur. Kau belum sehat betul."
Handaka menurut. Dia baringkan tubuhnya kembali di atas balai-balai dan pejamkan mata. Namun dua mata anak ini terpentang lebar kambali ketika di luar sana terdengar bentakan keras.
"Pengemis tua! Lekas kau serahkan surat yang dititipkan pangeran Taruma pada kami!"
"Kek," ujar Handaka kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa orang di luar sana yang malam-malam begini berteriak tak tahu sopan?"
Si kakek letakkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar cucunya itu tidak bicara dan terus berbaring. Tubuh Handaka ditutupnya dengan kain sampai sebatas kepala. Handaka turunkan ujung kain agar dapat mengintai. Dilihatnya si kakek mendongak ke atap pondok. Rupanya orang yang berteriak ada di atas atap bangunan jati itu.
"Tamu dari mana malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!" Terdengar Pengemis Batok Tongkat bertanya. Suaranya tanang-tenang saja.
DUA
Dari atas atap terdengar bentakan. "Kurang ajar! Diperintah malah berani bertanya."
"Aku bertanya agar kau tidak salah datang ke tempat yang dituju!" jawab si pengemis.
"Jangan coba berdalih. Di hutan ini hanya satu pondok. Milikmu. Kami tidak datang ke tempat yang salah. Lekas kau berikan barang yang dititip pangeran Taruma itu!" kata orang di atas atap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis Batok Tongkat.
"Kami akan membakar pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah itu!"
"Kek...!" Handaka julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita..."
"Sstt... Cucu, kau tidur saja!" sahut si kakek itu menutupi muka Handaka dengan selimut tapi anak itu menurunkannya kembali.
"Hai Pengemis! Kau tunggu apa lagi...?"
Kakek itu memang sudah melihat ada bayangan nyala api di atas atap. Orang-orang di atas sana mungkin membawa obor. Tiba-tiba si kakek tertawa.
Orang di atas atap membentak. "Tua bangka edan! Kami minta kau menyerahkan surat itu. Bukan tertawa macam orang gila!"
"Aku tertawa karena kalian kuanggap manusia-manusia bodoh! Ada sangkut paut apa aku dengan pangeran Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan sesuatu kepadaku. Sepucuk surat katamu? Surat Cinta? Untuk diserahkan pada siapa? Ha-ha-ha!"
"Kau berani berdusta dan coba mengelabui kami!" kata orang di atas atap. "Orang-orang kami tahu betul, satu bulan lalu kau bertemu dengan pangeran Taruma di istananya di tikungan kali Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai seorang pengemis. Pangeran memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapa mu. Sepintas seperti lembaran uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat.
Surat dengan gambar peta tempat penyimpanan emas milik sang pangeran. Kau masih mau mungkir?!"
Sebelum menjawab kembali Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak. "Orang-orangmu itu matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga mereka hendak berbuat lelucon terhadap kalian! Hampir selama tiga purnama aku tak pernah meninggalkan pondok ini. Kecuali kemarin pagi! Bagaimana mungkin aku bisa gentayangan sejauh itu sampai di kali Citarum? Atau mungkin setan atau rohku yang menjelma dan datang di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat tak ada jawaban dari atas atap. Pengemis Batok Tongkat tahu bahwa ada dua orang di atas sana dan keduanya tengah bicara berbisik-bisik seperti berunding singkat.
"Sudah selesaikah kalian berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata pengemis.
"Pengemis licik! Jangan sangka kau bisa menipu kami dengan keterangan dustamu. Sekali lagi aku beri kesempatan! Jika peta itu tidak kau serahkan, rumahmu akan kami bakar dan kau beserta bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo ladala...! Malangnya nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap tenang. "Maukah kalian memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku Soka Panaran, bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas atap yang sejak tadi menjadi jura bicara.
"Aku Sindang Tambra, berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"He-he-he!" tawa si pengemis tua begitu mendengar jawaban dua orang di atas atap. "Soka Panasaran, kalau kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti kau punya sebilah golok terbuat dari emas. Mengapa masih temahak mau dapatkan emas milik orang lain. Dan kau Sindang Tambra, aku tidak heran kalau bajak laut sepertimu haus harta! Tapi kalian salah alamat! Peta atau surat apapun tak ada padaku!"
Golok Emas dan Raja Lanun Pantai Selatan merupakan nama-nama yang cukup menggetarkan dunia persilatan pada masa itu. Keduanya adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi yang masuk dalam kelompok golongan hitam. Mandengar ucapan si kakek jelas meraka dianggap enteng. Ini membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun sudah siap untuk menjebol atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu berteriak.
"Pengemis Batok Tongkat! Kami memberi kesempatan terakhir. Kau mau serahkan peta itu atau tidak?"
Pengamis tua itu dilihat Handaka mengambil batok kelapa dan tongkat kayunya dari atas meja lalu menjawab, "Kalian mengancamku?"
"Kami akan membuktikan ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian akan menyesal sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!" maki Raja Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Kaki kanannya dihantamkan ke atap bangunan.
"Braakkk...!" Atap itu jebol. Sesaat kemudian orang bernama Soka Panaran dan Raja Lanun Sindang Tambra melayang turun memasuki pondok kayu jati yang sempit. Masing-masing memegang obor di tangan kiri!
"Ah, jadi inilah tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang itu? Apakah tidak lebih baik kalian pergi saja dari sini. Salah-salah nanti aku mengemis pada kalian, minta uang minta beras!" kata pengemis Batok Tongkat.
Dari bawah selimut Handaka menjadi heran lihat sikap si kakek. Jelas orang datang dengan maksud jahat tapi orang tua itu masih saja bicara seenaknya seperti mau melucu!
"Soka!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku akan patahkan batang leher tua bangka ini!"
"Kecuali untuk terakhir kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka Panaran alias Golok Emas yang masih berusaha mencapai tujuan tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian telah merusak atap pondokku kini mengancam mau membakar dan minta benda yang aku tidak miliki!"
"Kau betul-betul tua bangka keparat!" Sindang Tambra marah sekali. Dia melompat ke muka sambil sorongkan api obor untuk menyulut muka si kakek.
"Dua ekor kambing. Kalian mencari penyakit!" kertak orang tua itu dan sambut serangan Sindang Tambra dengan melompat ke samping. Api obor lewat di sebelah kanannya. Serentak dengan itu si kakek tusukkan tongkat kayunya ke arah iga lawan. Tapi serangannya luput karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah berkelebat ke kiri lalu kembali sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari bawah kakinya datang menyapu mencari sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!" Pengemis Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang memegang batok kelapa dipukulkan ke bawah ke arah api obor. Begitu obor kena tersungkup tempurung kelapa itu, serta merta apinyapun padam. Raja Lanun Sindang Tambra tersentak kaget. Penuh geram dia pukulkan tangan kiri namun tarpaksa tarik pulang serangannya karena ujung tongkat di tangan kiri si kakek lebih dulu menusuk ke arah lehernya.
"Kakek! Kambing satu itu hendak membakar pondok!" teriak Handaka ketika dilihatnya Soka Panaran menyulut ujung tikar jerami yang menjadi alas balai-balai.
Mau tak mau Pengemis Batok Tongkat terpaksa tinggalkan Raja Lanun, dan melompat ke arah Soka Panaran. Mulut si kakek tampak menggembung. Tiba-tiba dia menghembus ke arah ujung obor. Serangkum angin keras bertiup. Api obor padam!
"Keparat!" maki Soka Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke kepala si kakek.
"Kek! Awas di belakangmu." teriak Handaka.
Orang tua itu tampak seperti kerepotan dan bingung. Dari depan dia dikemplang dengan bambu sedang dari belakang Raja Lanun mamukul ke arah punggungnya. Karena dua serangan itu dilakukan oleh orang berkepandaian tinggi, kalau saja mengenai si kakek pasti akan membuat die cidera berat.
"Ah, bagaimana kakak tua ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok begitu rupa." keluh Handaka.
Dia memandang berkeliling mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir kaleng tergantung di atas kepala balai-balai. Cepat diambilnya benda itu dan dilemparkannya ke arah Raja Lanun yang membokong dari belakang.
Gerakan kakek pengemis yang seperti repot bingung itu sebenarnya hanyalah hal yang dibuat-buat saja. Untuk menghadapi dua lawan yang mengeroyok itu sebenarnya dia tidak perlu bantuan siapa pun. Memang, baik Soka Panaran alias Golok Emas maupun Raja Lanun Pantai Selatan bukan manusia-manusia sembarangan. Keduanya memiliki kepandaian tinggi, tapi si kakek sendiri adalah tokoh tua yang jauh lebih lihay.
Sebenarnya jika kedua orang tadi menyadari kepandaian si kakek meniup api obor dari jauh hingga mati begitu rupa, keduanya harus menyadari bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa amarah ditambah keinginan untuk mendapatkan benda yang mereka cari membuat keduanya melupakan kenyataan itu.
Begitulah, si kakek sambut kemplangan bambu obor dengan lebih dulu selinapkan tusukan ke ketiak Soka Panaran. Melihat serangan lawan datang lebih cepat dari kemplangan bambunya, Soka Panaran tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu itu ke arah bahu si kakek.
"Jurus silatmu sudah kuno Soka! Tidak laku untuk dunia silat masa kini!" ejek si kakek. Lalu tongkat di tangan kirinya berputar ke samping. Sesaat kemudian terdengar pekik Soka Panaran.
Telinga kanannya mongucurkan darah. Ujung tongkat si kakek yang kecil runcing telah membuat daun telinga sebelah kanan orang ini luka besar dan berlubang! Walaupun kawannya mendapat cidera tapi Sindang Tambra yang menyerang dari belakang merasa punya peluang besar untuk mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga kasar bajak laut ini sanggup meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh kakek pengemis yang sudah tua kurus itu, pastilah si kakek akan celaka.
Namun satu kehebatan diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa menoleh ke belakang dia telikungkan tangan kanannya ke punggung dengan batok kelapa membelintang demikian rupa. Ketika tinju kanan Raja Lanun sampai, batok kelapa itu menyambutnya dengan tepat.
Raja Lanun Sindang Tambra mengeluh kesakitan sambil pegangi jari tangan kanannya. Jari-jarinya ternyata, tampak merah, dagingnya langsung membengkak. Di saat kesakitan seperti itu cangkir kaleng yang dilemparkan Handaka melayang deras, dan mendarat tepat di keningnya hingga kepala bajak ini terluka dan kucurkan darah.
"Bagus Handaka! Lemparanmu tepat sekali!" ujar Pengemis Batok Tongkat. "Nah, nah! Dua ekor kambing. Apakah kalian masih belum sadar sudah diberi pelajaran oleh tua bangka ini dan cucuku itu? Ayo kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami baru pergi kalau kalian berdua sudah kugorok dengan ini!" sahut Soka Panaran dengan mata berapi-api. Dari pinggangnya dia cabut golok besar berwarna kuning. Senjata inilah yang membuat dia mendapat julukan Golok Emas. Walaupun tidak terbuat dari emas sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas. Sudah banyak korban menemui kematiannya oleh senjata ini. "Ah, golok emas! Hai, bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat dari emas sungguhan? Atau hanya emas palsu?" ejek Pengemis Batok Tongkat sambil merobah kedudukan kuda-kudanya hingga sekaligus dia dapat mengawasi dua lawan yang dihadapinya.
Melihat kawannya keluarkan senjata andalannya, Sindang Tambra jadi tidak sungkan-sungkan untuk keluarkan pula sanjatanya yakni sebuah clurit besar yang badan dan hulunya berwarna hitam gelap.
Cemaslah Handaka melihat si kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi juga dikurung lawan dengan senjata terhunus. Apakah si kakek tidak akan keluarkan senjata, pikir anak ini. Nyatanya memang demikian. Pengemis tua itu hanya tegak tenang-tenang saja, malah sambil menyeringai. Dalam hidupnya sebagai tokoh silat aneh dia tak pernah memiliki senjata. Apapun yang terjadi dia selalu menghadapi lawan dengan tongkat kayu kecil dan batok kelapa itu!
"Kalian tunggu apa lagi? Majulah biar lekas aku memberi pelajaran pada kalian!" kata si kakek.
Ini tambah membakar kemarahan Soka Panaran dan Raja Lanun. Masing-masing keluarkan suara menggembor lalu menyerbu. Soka dari samping kiri sedang Raja Lanun melabrak dari sebelah kanan. Golok Soka menderu keluarkan sinar kuning terang sedang clurit di tangan Sindang Tambra berdesing dengan memancarkan sinar hitam pekat!
"Ah, celakahlah kakekku! Bagaimana aku harus membantu!" keluh Handaka yang tak mau berpangku tangan tapi tidak tahu harus menolong bagaimana. Tapi dasar anak cerdik dapat saja satu akal olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari balai-balai itu sambil menggulung selimut.
Sementara itu pengemis tua yang mendapat dua serangan sekaligus berkelebat gesit. Tongkat di tangan kirinya memukul ke perut Soka Panaran, batok kelapa di tangan kanan menyelinap mencari sasaran disambungan siku kanan Sindang Tambra.
Melihat tangan kiri si kakek menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil keputusan untuk membabat tangan itu, lebih dulu dengan golok kuningnya. Namun orang ini salah perhitungan. Dia tidak menyadari kalau gerakan lawan jauh lebih cepat. Hingga sebelm golak besarnya berhasil membacok lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat kayu si kakek yang men-deru menggeletar, menghantam bagian lengan kanannya di bawah ketiak.
"Kraakkk...!"
Terdengar suara patahan tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka Panaran. Dia melompat mundur, menggerang kesakitan sementara goloknya yang jatuh ditempel demikian rupa oleh si kakek dengan tongkat kayunya. Golok ini melorot turun mengikuti batangan tongkat lalu dengan mudah ditangkap oleh si kakek.
Pada saat itu pula Raja Lanun Sindang Tambra yang tengah menyerbu si kakek dengan clurit hitam angkernya menjadi terkejut ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat menebar dan menutupi kepala serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut yang dilemparkan Handaka. Dalam keadaan ditelikung seperti itu tentu saja Raja Lanun Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat di mana lawannya berada.
Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia memaki panjang pendek. Suara makiannya berubah menjadi jeritan kesakitan ketika pengemis tua pukulkan batok kelapanya berulang kali, lalu mengetok dengan tongkat kayu. Terdengar suara 'krak' berulang kali tanda ada tiliang-tulang bajak itu yang patah.
Ketika Raja Lanun Pantai Selatan berhasil keluar dari kungkungan selimut, tulang belikatnya sebelah kiri patah hingga tubuhnya miring. Lalu beberapa tulang iganya juga remuk. Dan yang paling parah adalah tulang kering kaki kanannya, juga patah hingga terpincang-pincang dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek pengemis tegak sambil mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya. "Sudah kapok atau masih minta digebuk lagi!"
"Tua bangka keparat! Terima ini!" Golok Emas berteriak marah. Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum angin menyambar ke arah pengemis tua.
Dengan tertawa kakek ini lentingkan tongkat kayunya dari bawah ke atas. Angin serangan yang dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya ujung tongkat yang runcing kembali melenting dan kali ini memukul ke arah mata kanan Soka Panaran. Orang ini meraung ketika matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka! Sebaiknya kita pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan dengan tua bangka keparat ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. Lalu tanpa menunggu dia melompat ke pintu pondok. Soka Panaran sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah, terhuyung-huyung lari pula ke arah pintu.
"Hai! Golok emas mu apa tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok Tongkat.
Tapi Soka Panaran terus saja lari dan menghilang dalam kegelapan. Mana dia punya nyali lagi untuk mengambil goloknya itu. Si kakek pungut senjata itu lalu enak saja kedua tangannya mematahkan golok. Ketika diteliti bagian dalamnya, ternyata golok itu hanya bagian luarnya saja yang disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi hitam campur baja.
"Emas butut!" kata si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka. "Cucuku! Kau bukan saja berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku mengambilmu jadi murid!"
********************
TIGA
Di pantai selatan yang dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki gunung Halimun di sebelah utara, kali Cirampang di sebelah barat dan bukit Gondal di sebelah timur kelihatan satu pemandangan baru. Selama enam bulan ratusan manusia menancapkan batangan-batangan kayu jati setinggi lebih dari tiga tombak dengan ujung-ujung dipotong runcing.
Deretan kayu jati ini berubah menjadi satu pager kukuh yang membatasi deerah sangat luas, terdiri dari beberapa desa danbelasan kampurrg. Ada dua pintu gerbang yang selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan menghadap ke pantai dan di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah terkungkung ini merupakan satu kota besar tak bernama. Namun orang telah menyebutnya sebagai Kota Hantu. Di sinilah Singkil Alit alias Harimau Hitam dan lima kawannya menjadi penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan hampir tiga ratus penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu jati. Lalu membangun rumah-rumah besar untuk mereka.
Orang banyak itu dijadikan budak, dipaksa tinggal dalam kungkungan pagar jati dan dipaksa melakukan dan jadi nelayan. Semua hasil harus diserahkan pada Singkil Alit. Siapa berani membangkang atau coba melarikan diri maka tak ada ampun. Mereka akan dipancung. Mayatnya dipertontonkan agar semua orang takut dan tak mau meniru perbuatan kawannya itu.
Singkil Alit dan kawan-kawannya juga melatih para pemuda untuk dijadikan pengawal-pengawal mereka. Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam puluh orang. Mereka mengawal enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan rumah-rumah besar mewah, dilengkapi dengan beberapa orang perempuan atau gadis cantik hasil culikan dari desa atau perkampungan penduduk.
Di antara keenam manusia durjana itu adalah orang yang bernama Tembesi memiliki lebih dan lima perempuan peliharaan di rumahnya. Dari luar Kota Hantu ini tampak tenang. Tapi di dalam, kehidupan penduduk yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang itu merupakan dunia penderitaan yang tiada taranya. Mereka dipaksa untuk bekerja dan dicambuk bila dianggap malas atau tidak mengbasilkan apa-apa.
Lelaki atau perempuan yang kelihatan seperti sakit-sakitan lenyap secara aneh. Entah dibunuh entah dibuang, mayatnya tak pernah ditemukan. Setiap hari selain saja ada orang-orang dari luar yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk jadi budak kerja paksa.
Hanya dalam waktu dua belas bulan saja nama Kota Hantu ini telah dikenal di kawasan Jawa Barat sebelah selatan. Siapa saja yang mendengar nama kota ini akan merinding bulu kuduknya karena ngeri membayangkan kehidupan penuh siksa di sana. Apakah sebenarnya tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota tertutup itu?
Sebagai seorang tokoh silat golongan hitam yang punya nama angker Singkil Alit sejak lama bercita-cita ingin menguasai rimba persilatan di Jawa Barat. Paling tidak di daerah selatan yang penduduknya rata-rata mempunyai tingkat penghidupan tinggi karena tanahnya subur dan lautnya kaya dengan ikan. Setelah dia merasa cukup modal harta kekayaan maka satu demi satu tokoh-tokoh akan diundangnya datang, lalu dibunuh secara keji.
Singkil Alit tidak mau bekerja sendiri. Untuk itu maka dikumpulkannya beberapa orang kawannya sealiran. Mereka adalah Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga, Wiracula dan tembesi.
Begitulah, sejak enam bulan terakhir ini dunia persilatan di daerah itu ditandai oleh beberapa kejadian aneh, yakni lenyapnya tiga tokoh silat berkepandaian tinggi. Dua dari golongan putih, satu lagi dari golongan hitam. Tak satu orang luarpun yang tahu kalau ketiga tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
Suatu hari ketika keenam iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil meneguk tuak keras dan bergelut-gelut dengan perempuan-perempuan culikan mereka, berkatalah Rah Tongga,
"Singkil, kalau kita hanya menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh silat itu, kurasa dalam waktu dua tahun di muka pekerjaan dan tujuan kita belum selesai. Mungkin pula rahasia kita bocor. Tokoh-tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu kota kita ini..."
Singkil Alit turunkan cangkir bambunya. Sekali bibir dan kumis serta janggutnya yang basah oleh tuak lalu bertanya, "Kau ada rencana apa, Rah Tongga! Coba katakan. Mataku mulai mengantuk. Aku ingin bersenang-senang dengan kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat kawannya yang lain ikut mendangarkan dengan seksama. "Bagaimana kalau kita adakan perjamuan besar. Kita undang orang-orang dunia persilatan di daerah ini. Kita beri racun makanan atau minuman mereka! Nah, sekali bertindak semuanya beres!"
Singkil Alit tegak dari kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang memandang Rah Tongga, lalu maju dan tepuk-tepuk bahu kawannya itu. "Karena hal itu tidak aku pikirkan sebelumnya!" kata manusia berjuluk Harimau Hitam ini, "Rah Tongga! Usulmu aku puji dan aku terima. Kau dan kawan-kawan aturlah perjamuan, kirim undangan! Dan ingat itu harus kita lakukan secepatnya!"
"Jangan kawatir Singkil. Serahkan semua pada aku dan kawan-kawan!" kata Rah Tongga pula penuh senang karena usulnya diterima.
Begitulah, pada bulan pumama sebulan kemudian di Kota Hantu tampak dilangsungkan satu pasta besar. Obor dipasang di sepanjang pager dan di bagian-bagian tertentu hingga kota yang Was itu terang benderang. Di sebuah lapangan, di mana pesta dipusatkan, didirikan sebuah panggung besar.
Di sekeliling panggung tampak deretan meja dan kursi khusus disediakan untuk tuan rumah dan para undangan. Hiasan dan gaba-gaba tersebar di mana-mana menambah semaraknya pesta. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Para tamu-tamu berjumlah sekitar dua puluh orang. Rata-rata mereka adalah tokoh-tokoh silat yang punya nama, terdiri dari golongan hitam dan golongan putih.
"Para tamu yang kami hormati!" kata Singkil Alit "Walau kita ada yang berbeda golongan, tapi dalam pesta ini lupakan semua itu. Kita satu dalam kegembiraan!"
Menjelang tengah malam, di atas panggung yang sejak tadi diperdengarkan alunan karawitan beserta pesinden-pesinden yang cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan, kini tiba-tiba saja acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian yang melanggar susila.
Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis melenggang-lenggok mengikuti alunan terompet bambu dan tabuhan gendang. Semakin cepat tabuhan gendang, semakin binal gerakan mereka. Tiba-tiba ke enam pesinden itu tanggalkan seluruh pakaian yang mereka kenakan. Para tamu dari golongan hitam berteriak-teriak bersuit-suit.
Mereka yang dari golongan putih tersentak kaget. Ini adalah satu hal yang tidak mereka duga. Rasa jengah membuat mereka seharusnya serta merta hendak tinggalkan pesta perjamuan itu. Namun rata-rata mereka semua sudah terlalu banyak meneguk tuak keras, hingga hal itu tidak mereka lakukan. Bahkan mereka menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak berkesip dan tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat para tamu!" tiba-tiba Tembesi berdiri dan berseru. "Jika ada di antara para sahabat yang ingin turut menari silahkan naik ke panggung! Lalu jika para sahabat berkenan boleh cari pasangan. Di rumah besar sebelah kiri telah tersedia kamar dimana para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi...!"
Mendengar ucapan Tembesi itu delapan orang lelaki melompat ke atas panggung. Dari tampang dal pakaian mereka jelas mereka bukan tokoh silat baik-baik. Keenamnya menari seradak-seruduk dalam mabuk, lalu turun dari panggung menarik pasangan lelaki yang dua, yang tidak kebagian pasangan terus saja menari.
"Jangan kawatir!" seru Tembesi kembali. "Persediaan penari cukup banyak!"
Dia bertepuk tangan. Enam perempuan muda muncul pula dalam pakaian sangat tipis. Dua lelaki tadi tampak bingung mau mencari pasangan yang mana karana rata-rata penari itu berwajah cantik. Sementara itu empat lelaki lainnya melompat pula ke atas panggung.
Seperti dikatakan Tembesi, di rumah besar di sebelah kiri panggung terdapat sekitar lima belas kamar. Dua belas tokoh silat golongan hitam itu masuk ke dalam kamar dengan hasrat berkobar-kobar tanpa mengetahui bahwa bukan kesenangan yang bakal mereka dapatkan, tetapi maut!
Begitu masuk ke dalam kamar, para penari segera mengunci pintu dan mempersilahkan setiap tokoh duduk di tepi tempat tidur sambil memijit-mijit bahunya. Semua ini sesuai dengan yang diatur dan diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu setiap penari menyuguhkan secangkir tuak pada tamunya.
Hanya beberapa saat setelah meneguk habis minuman itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar tersungkur muntah darah dan mengerang nyawa. Mereka mati oleh racun jahat yang dicampurkan dalam minuman!
Kita kembali ke tempat pesta di sekitar panggung. Empat tokoh silat golongan hitam dan hampir selusin dari golongan putih duduk sambil mengobrol. Sesekali mata mereka melirik kepanggung, mengharap ada lagi penari telanjang yang bakal muncul.
Saat itu Singkil Alit memberi isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk tangan. Tepuk tangannya yang sekali ini bukan tepuk tangan biasa, melainkan merupakan satu isyarat pada dua puluh orang pelayan perempuan yang menyuguhkan tuak. Kedua puluh pelayan itu segera mendatangi setiap tamu sambil membawa kendi besar berisi tuak yang sudah dicampur dengan racun. Tuak itu dituangkan ke dalam tempat minum para tamu.
Empat tokoh golongan hitam segera meneguknya sampai habis. Sepuluh tamu dari golongan putih melakukan hal yang sama. Hanya seorang yang dalam keadaan mabuk tidak menyentuh minumannya, tapi berdiri. Sambil meracau tak karuan dia melangkah menari-nari dan naik ke atas panggung.
"Mana penari untukku... Mana penari untukku!" katanya berulang kali. Lelaki ini berusia sekitar setengah abad, merupakan ketua sebuah perguruan silat di Karangbolong.
Semua tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta menemui ajal dengan cara yang sama, muntah darah, rubuh dan mati! Sementara lelaki dari Karangbolong masih terus menari, tidak sadar apa yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil Alit mendekati panggung dan berkata pada Tembesi. "Lekas suruh Pinta Manik membereskan yang satu ini. Aku sudah sebal melihatnya. Hari hampir pagi. Kita semua harus melenyapkan belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota komplotan iblis yang bernama Tembesi segera memberi isyarat pada Pinta Manik. Begitu Pinta Manik mendatangi dia lalu memberi tahu apa yang diperintahkan Singkil Alit. Maka Pinta Manik naik ke atas panggung sambil menghunus sebilah pedang. Dengan pedang ini ditembusnya perut tokoh silat yang mabuk dan menari-nari di atas panggung!
Dua puluh satu tokoh silat menemui ajalnya di Kota Hantu pada malam bulan pumama itu. Kelak lenyapnya orang-orang itu baru diketahui selang beberapa bulan kemudian.
********************
EMPAT
Tidak seperti biasanya, sajak dua minggu terakhir laut di pantai barat selalu diselimuti deru angin kencang serta gulungan ombak besar dan tinggi. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut terpaksa tinggal di rumah masing-masing, tak berani turun ke laut.
Di sebuah teluk sempit agak ke selatan Karangbolong terdapat sebuah perkampungan kecil. Di sini hanya ada sebuah rumah bambu besar dikelilingi lima rumah yang lebih kecil. Ini bukanlah sebuah perkampungan nelayan. Melainkan daerah kediaman dan tempat latihan orang-orang dari perguruan silat Elang Putih.
Pagi itu seperti biasanya, sebelum latihan dimulai tiga puluh orang anak murid parguruan duduk bersila di tepi pantai, bartelanjang dada, menghadap ke laut. Tangan masing-masing diletakkan di atas pangkuan, mata dipejamkan. Mereka mengheningkan cita rasa indera sambil berlatih mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Anak murid paling tua, yang manjadi wakil dari ketua parguruan, bernama Indrajit melangkah mundar-mandir mengawasi latihan yang dilakukan tiga puluh saudara sepeguruannya itu. Jika ada yang kurang sempurna atau melakukan kekeliruan dalam hening cita rasa indera itu, dia memberitahu dan menyuruh mamperbaikinya.
Ketika matahari pagi mulai naik dan udara terasa memanas, Indrajit siap memerintahkan anak murid seperguruan untuk rnenghentikan latihan itu, dan seperti biasa akan dilanjutkan dengan latihan gerakan-gerakan silat.
Baru saja Indrajit memberi aba-aba dan para murid perguruan Elang Putih melompat sambil mengeluarkan suara keras, di kejauhan terlihat seorang penunggang kuda bergerak cepat ke arah perkampungan.
"Ketua pulang...!" seru salah seorang murid.
lndrajit terus memperhatikan penunggang kuda itu. Kemudian berkata, "Itu bukan ketua kita."
Memang yang datang bukanlah Ki Mantrayasa sang katua perguruan silat Elang Putih. Penunggang kuda coklat itu sampai di hadapan Indrajit. Tubuh, muka dan pakaiannya kotor oleh debu tanda dia telah menempuh perjalanan jauh. Bibirnyapun tampak kering. Jelas penunggang kuda berusia hampir setengah abad ini kelihatan letih.
"Pamen Gitasula, kedatanganmu setelah hampir setahun tak pernah muncul sangat menggembirakan kami. Kau tentunya haus. Biar kusuguhkan minuman segar untukmu!"
Selesai berkata begitu Indrajit cabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Senjata ini dilemparkannya ke atas pohon kelapa. Sebutir kelapa yang tertebas oleh golok ini bukan saja terbabat putus dan jatuh ke bawah, tapi sekaligus ujungnya ikut terpotong hingga membuat lubang di tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit menangkap goloknya, sedang tangan kanan menjangkau kelapa yang jatuh lalu menyodorkannya pada orang bernama Gitasula.
"Silahkan minum paman!"
Gitasula yang memang sangat haus dan letih segera meneguk air kelapa muda yang segar dan manis itu sampai habis, lalu membuang buah kelapanya ke pasir. Ombak menyapu pantai, butiran kelapa itu terseret laut, terapung-apung dipermainkan ombak.
"Paman Gita, sayang kau datang pada saat ketua kami tidak di sini. Gerangan apakah yang membawa paman tiba-tiba ingat kami dan datang ke sini...?"
Gitasula memandang wajah Indrajit sesaat, ia menatap ke arah puluhan murid-murid perguruan. Melihat sikap orang ini Indrajit merasa tidak enak. Terlebih ketika Gitasula berkata,
"Indrajit, mari kita bicara di dalam sana."
Lelaki ini lalu turun dari kudanya. Seorang anak murid perguruan segera menggiring kuda tunggangannya den menambatkannya ke batang pohon kelapa. Setelah memberitahukan pada saudara seperguruannya agar mereka melanjutkan latihan, Indrajit dan Gitasula melangkah menuju rumah besar, langsung masuk ke ruang dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah, paman. Katakanlah apa maksud kedatanganmu kemari," kata Indrajit pula.
"Aku datang membawa kabar buruk Indrajit..."
"Kabar buruk apa paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut tapi sikapnya tetap tenang.
"Kabar buruk bagi perguruan Elang Putih."
"Ada yang tidak suka dengan perguruan kami lalu hendak menjajal kekuatan kami. Atau langsung ingin menyerbu kemari? Seperti yang kejadian dua tahun lalu dengan orang-orang dari pantai utara itu?"
Gitasula gelengkapan kepalanya. "Bukan itu Indrajit. Sejak kalian menyapu orang-orang dari utara tempo hari, sejak itu pula nama perguruan kalian menjadi terkenal, dihormati dan disegani. Kabar buruk yang kumaksudkan adalah mengenai guru atau ketua kalian."
"Kami memang sedang menunggu-nunggu ketua. Janji beliau paling lambat akan meninggalkan perguruan satu kali bulan pumama. Tapi ini sudah lewat dua kali pumama…"
"Kau tahu ke mana ketuamu Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit mengangguk. "Beliau menerima undangan dari seseorang di pantai selatan…"
"Kau kenal siapa pengundang itu?"
Indrajit menggeleng. "Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi memenuhi undangan. Beliau tak banyak memberi keterangan mengenai undangan, hanya katanya ada pertemuan tokoh-tokoh silat Jawa Barat di selatan. Memangnya apa yang telah terjadi paman?"
Gitasula tak segera menjawab. Sejurus kemudian baru dia membuka mulut berkata, Kuharap kau menerima kenyataan ini dengan tabah, Indrajit..."
"Paman! Katakan apa yang terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua perguruan Elang Putih, yang juga merupakan gurumu telah menemui kematian. Dibunuh orang!"
Indrajit bangkit dari duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga puluh lima tahun ini bergetar. Kadua matanya memandang mendelik pada Gitasula penuh rasa tak percaya. "Paman, kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar Indrajit. Undangan yang disampaikan orang itu pada Ki Matrayasa adalah undangan maut. Mereka sudah merencanakan maksud jahat dan keji. Yaitu melakukan pembunuhan. Dan bukan hanya ketua saja yang mereka bunuh tapi lebih dari lima belas tokoh-silat di Jawa Barat ini!"
"Paman, jika kau datang membawa kabar musibah besar ini, berarti kau juga mengetahui siapa pembunuh ketua kami!"
"Mereka adalah manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut Gitasula.
"Kota Hantu? Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa iblis-iblis yang kau maksudkan itu paman?!"
"Beberapa bulan lalu, satu komplotan yang terdiri dari enam manusia durjana di bawah pimpinan Singkil Alit membangun sebuah kota raksasa, terdiri dari beberapa desa dan puluhan kampung. Seluruh kota dikelilingi pagar tinggi. Dua pintu gerbang masuk dan keluar dikawal oleh penjaga-penjaga secara keta..."
Selanjutnya Gitasula menuturkan apa yang diketahuinya tentang kehidupan mengerikan di dalam kota itu. "Penduduk tak lebih dari pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh melakukan apa saja. Mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai menangkap ikan ke laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan di mana-mana. Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk diserahkan pada enam manusia iblis itu! Siapa saja yang berani membangkang perintah atau coba melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu Gitasula menceritakan malapetaka keji yang terjadi di malam bulan purnama dua bulan lalu. "Kabarnya hampir semua tamu menemui ajal karena diracun. Tapi ketua kalian, sahabatku Ki Matrayasa mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil Alit..." desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata berapi-api. "Kau harus bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan nyawa lima anggota komplotanmu!" Lalu pemuda ini berpaling pada Gitasula. "Paman katakan siapa sebenarnya manusia bernama Singkil Alit itu. Di mana letak Kota Hantu dan apa sesungguhnya maksudnya hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa sebenarnya Singkil Alit masih gelap bagiku. Dia bersama teman-temannya muncul begitu seperti setan di siang bolong! Yang jelas mereka terutama Singkil Alit memiliki kepandaian tinggi. Disamping itu mereka juga licik dan keji. Ganas melebihi iblis! Kota Hantu yang mereka bangun dan kuasai terletak di tenggara, enam hari perjalanan berkuda dari sini, di kaki gunung Halimun. Lalu apa maksud mereka melakukan semua keganasan itu menurut para tokoh, ada beberapa alasan. Pertama mereka ingin memiliki harta kekayaan. Kedua mungkin ada rencana untuk menyerbu Kerajaan. Namun menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai kehidupan hitamnya dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa Barat ini. Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke perjamuannya!"
"Jika memang demikian Singkil Alit dan lima iblis lainnya itu harus dimusnahkan!" kata Indrajit pula. "Dan aku sebagai murid ketua Ki Matraysa bersumpah untuk menebas batang leher Singkil Alit!"
"Aku dan sisa-sisa tokoh silat di Jawa Barat ini juga punya pendapat demikian Indra," kata Gitasula pula. "Namun apapun langkah yang kita susun, kita harus merencanakan dengan hati-hati. Enam Iblis Kota Hantu itu bukan manusia-manusia sembarangan. Belum lagi puluhan pengawal mengelilingi mereka, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu tempat tidur mereka!"
"Aku mengerti paman," sahut Indrajit. "Jika kita bergabung masakan tidak mampu menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk membalaskan sakit hati guru!"
"Kalau begitu kau datanglah ke tempatku di Lemburawi di kaki gunung Malabar. Pada hari dua belas bulan di muka. Aku telah mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika rencana matang, menyerbu Kota Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih dekat."
Jika menurutkan hati amarahnya Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu ke Kota Hantu. Namun menyadari kekuatannya sendiri dan menghormati rencana yang rupanya sudah disusun oleh paman Gitasula maka pemuda ini menyetujui rencana Gitasula itu.
********************
LIMA
Dua orang penjaga pintu gerbang selatan Kota Hantu segera menghunus senjata masing-masing ketika seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan. Sementara udara malam dingin menusuk tulang, apalagi angin juga bertiup kencang.
"Siapa dan mau ke mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika mengetahui pandatang bukan penduduk Kota Hantu.
"Namaku Sirat Gambir, datang dari pantai barat ingin memasuki kota guna menemui pemimpin kalian!" jawab penunggang kuda dengan sikap keren.
"Kami tidak pernah mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam buta begini untuk menemui pimpinan kami! Kau boleh pergi dan datang besok pagi!"
"Kenal aku atau tidak itu bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan harus menemui pimpinan kalian malam ini juga. Aku membawa urusan penting!"
"Katakan apa urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini satu urusan rahasia dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan pada Singkil Alit atau salah seorang anggota pimpinan Kota Hantu lainnya," kata penunggang kuda bernama Sirat Gambir.
"Apapun urusanmu pimpinan kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitu!" ujar Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal. "Baik, aku akan pergi. Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian, dan pemimpin kalian mengetahui bahwa aku datang membawa kabar tapi kalian tidak memberi izin, maka leher kalian akan ditebas!" Sirat Gambir putar kudanya.
Dua pengawal tampak saling pandang. Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berkata, "Baiklah, kamu kami izinkan masuk kota. Tapi untuk bertemu dengan pimpinan harus menunggu sampai pagi!"
"Aku akan masuk kota. Dan kalian harus memberi tahu kedatanganku pada pimpinan kalian. Jika menunggu sampai besok segala sesuatunya akan terlambat! Urusanku bukan urusan main-main. Tapi urusan keselamatan pimpinan dan seluruh isi Kota Hentu ini!"
"Kami harus menggeledahmu lebih dulu!"
"Sialan! Kalau aku bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin segala? Mempreteli kalian bardua bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh Sirat Gambir tiba-tiba melesat dari atas punggung kuda. Kakinya kiri kanan tahu-tahu sudah memijak kepala kedua pengawal itu, lalu bersalto di utara, di lain saat sudah tegak di depan pintu gerbang. Dua pengawal pintu gerbang terkejut, mereka segera menyadari kalau mau orang bernama Sirat Gambir itu tadi-tadi dapat menendang hancur kepala mereka!
"Nah, apakah kalian masih belum mau membuka pintu untukku?!" tanya Sirat Gambir. Cepat-cepat salah seorang pengawal segera mengetuk pintu gerbang. Dua kali berturut-turut, lalu tiga kali. Sebuah lobang empat persegi terbuka pada salah satu bagian pintu gerbang. Satu kepala muncul dan bertanya,
"Ada apa?"
"Buka pintu. Ada tamu penting untuk pimpinan!" jawab pengawal yang di luar.
"Tamu? Malam-malam begini?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa namanya, datang dari mana dan apa urusannya?"
"Aku bertanggung jawab penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya. Lekas buka pintu!"
Pengawal yang di dalam, yang rupanya berpangkat lebih rendah tak berani lagi menjawab lalu cepat-cepat membuka palang besi pintu gerbang besar itu. Dengan di antar oleh dua orang pengawal berkuda Sirat Gambir kemudian dibawa ke tempat kediaman pimpinan Kota Hantu.
Walaupun saat itu sudah lewat tengah malam namun seperti biasa di rumah besar kediaman Singkil Alit suasana selalu kelihatan ramai. Enam pimpinan Kota Hantu itu hampir setiap malam berkumpul di situ, menikmati minuman dan makanan lezat, menghibur diri dengan perempuan-perempuan cantik mereka ambil secara paksa atau culik dari desa-desa sekitar kota.
Pinta Manik tengah menggeluti tubuh seorang gadis desa yang diculik tiga hari lalu ketika pengawal dari pintu gerbang selatan ditemani pengawal rumah besar. Melihat kehadiran kedua pengawal ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal keparat! Kau minta mati berani kurang ajar datang kemari tanpa dipanggil?!"
Rangga, Rah Tongga, Wiracula danTembesi yang sedang di ruangan itu sama-sama berpaling ketika mendengar bentakan kawan mereka tadi. Singkil Alit saat itu berada di ruangan dalam. Pengawal rumah besar menjura ketakutan dan buru-buru berkata,
"Mohon maafmu pimpinan. Pengawal pintu gerbang selatan datang membawa kabar penting."
"Kabar penting! Kabar penting apa?!" Pinta Manik memandang pada pengawal pintu gerbang.
Pengawal pintu gerbang segera membuka mulut. "Seorang bernama Sirat Gambir mengaku datang dari pantai barat ingin menemui pimpinan di sini. Menurut dia ada urusan sangat penting yang akan dibicarakannya. Katanya menyangkut keselamatan para pimpinan bahkan seluruh kota!"
"Hebat sekali!" kata Pinta Manik lalu memandang pada empat kawannya. Kelima manusia iblis itu kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta Manik memandang ke luar. Di pekarangan depan rumah besar memang dilihatnya ada seora penunggang kuda berpakaian warna gelap, berambut gondrong dan memakai ikat kepala, didampingi seorang pengawal yang juga menunggang kuda dan senjata terhunus.
"Orang yang memakai ikat kepala itu yang bernama Sirat Gambir?" tanya Pinta Manik. Dua pengawal mengiyakan. "Hem... suruh dia datang kemari! Jika dia ternyata kucing dapur yang membuang-buang waktuku saja, akan kupatahkan batang Iehernya!"
Maka Sirat Gambir pun dibawa menghadap Pinta Manik sementara empat pimpinan Kota Hantu lainnya tinggalkan tempat masing-masing dan melangkah mengelilingi Sirat Gambir.
"Katakan apa keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat Gambir menghitung. Hanya ada lima orang di hadapannya. Setahunya pimpinan Kota Hantu berjumlah enam orang. "Ada kabar panting yang akan kusampaikan. Tapi hanya akan kukatakan atas dasar dua syarat. Pertama, kalian harus lengkap enam orang. Aku harus tahu yang mana pimpinan tertinggi di antara kalian. Lalu, untuk berita yang kubawa ini aku minta imbalan paling tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang alis Pinta Manik naik ke atas, keningnya menggerenyit. Tiba-tiba dia tertawa membahak. Empat kawannya ikut tertawa. Saat itu dari ruang dalam mendengar suara ramai,keluarlah Singkil Alit.
"Pesta kalian ramai sekali. Ada perempuan baru atau ada yang lucu?!" tanya Singkil Alit sambil betulkan celana hitamnya.
"Singkil! Kita kedatangan seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat sendirilah kemari!" kata Pinta Manik
Singkil Alit melangkah ke hadapan Sirat Gambir sementara Pinta Manik menerangkan nama dan maksud kedatangan orang yang dikatakannya seekor monyet itu. "Hemmm... Sirat Gambir, coba kau terangkan urusan yang katamu sangat panting itu. Menyangkut keselamatan kami dan seluruh kota! Jika berita itu cukup berharga mungkin kami bisa memberi imbaian. Tapi apapun imbalannya kami yang menentukan, bukan kau!"
"Sepuluh uang emas! Kalau kalian tidak bisa menerima, lebih baik tak kukatakan dan aku akan pergi saat ini juga!" kata Sirat Gambir.
Singkil Alit tampak berubah wajahnya. Sekian lama menjadi pimpinan di Kota Hantu itu tak ada seorang pun yang berani bicara seperti itu padanya, apalagi orang luar. Maka pimpinan Kota Hantu itupun bertanya, "Sirat Gambir, apakah kau sadar berada di mana saat ini? Dan berhadapan dengan siapa?!"
Sirat Gambir memang bukan seorang pengecut. Dia tahu jika terjadi apa-apa tak akan mampu baginya, menghadapi enam manusia iblis itu. Namun mengingat berita yang dibawanya luar biasa pentingnya bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di atas angin.
"Aku cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan siapa. Aku menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namun mengingat berita yang kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main maka adalah wajar jika aku mendapatkan imbalan!"
"Bagus! Aku senang pada manusia-manusia yang berani bicara terus terang. Tapi aku tidak suka pada orang yang bicara bertele-tele! Katakan apa berita panting yang ingin kau sampaikan itu! Soal imbalan kita bicara belakangan! Sepuluh tail emas tidak ada artinya bagi kami! Tapi jika beritamu ternyata kentuk busuk belaka maka kau harus pergi dari sini dengan meninggalkan lidahmu!"
"Nah... nah... nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi kami malam ini sangat berbaik hati hanya minta kau meninggalkan lidahmu, dan bukan jantungmu!"
Singkil Alit tersenyum. "Aku tahu. Soal nyawa manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran kerbau. Setiap saat kalian bisa membunuhku. Namun itu berarti tabir rahasia berita yang akan kusampaikan tak akan pernah kalian ketahui. Kalaupun kalian akhirnya mengetahui maka sudah terlambat. Kota ini mungkin sudah jadi lautan api. Kalian sendiri mungkin sudah menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat! Ceritamu hebat! Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!" menyahuti Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau membuat kota ini menjadi lautan pi dan mampu membunuh kami Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika kalian tidak tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!" kata Sirat Gambir jadi jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium bahwa bagaimanapun enam manusia Iblis itu ingin mengetehui apa sebenarnya berita yang hendak disampalkan Sirat Gambir.
"Baik! Kami tertarik. Nah katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya dulu!" sahut Sirat Gambir.
"Keparat sialan!" maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat Gambir hanya ganda tertawa. "Berikan uang yang diminta bangsat ini!" teriak Singkil Alit kemudian.
Rangga keruk pinggang pakaiannya. Lalu lemparan sebuah kentong kain ke hadapan kaki Sirat Gambir. Orang ini membungkuk untuk mengambil kantong itu. Namun sebelum ujung-ujung jarinya menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan satu tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang mengejutkan keenam manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat Gambir sejak semula sudah mengetahui manusia-manusia bagaimana adanya enam orang yang dihadapinya itu. Selain bengis ganas mereka juga rata-rata licik. Karenanya sewaktu membungkuk mengambil kantong kain yang waktu jatuh mengeluarkan suara bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan.
Begitu dilihatnya Rah Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir melompat ke kiri, menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki kirinya menjepit kantong uang. Kantong itu melesat ke atas, dan ketika dia berdiri di sudut ruangan, kantong sudah ada dalam genggamannya. Sambil menyeringai Sirat Gambir berkata,
"Aku datang dengan maksud baik. Antara kita tak ada silang sengketa. Tapi jika kalian bertindak licik dan ganas, kalian akan rasakan sendiri akibatnya!"
Baik Singkil Alit maupun lima manusia iblis lainnya kaget bukan kepalang. Tendangan yang tadi dilepaskan Rah Tongga bukan tendangan sembarangan. Merupakan tendangan maut yang sulit untuk dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup selamatkan diri nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang di situ Singkil Alit buru-buru berkata,
"Sirat Gambir, jangan kau salah sangka! Kawanku yang satu ini memang suka usilan. Dia hanya tak sabar untuk membuktikan bahwa kau bukan orang sembarangan. Yang berarti apapun berita yang bakal kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm begitu? Baik! Tapi untuk tendangan tadi kalian haus mengeluarkan bayaran tambahan sepuluh mata uang emas lagi!" kata Sirat Gambir.
"Kurang ajar! Jadi kau hendak mempermainkan kami?!" sentak Tembesi.
"Bukan aku! Tapi kalian yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat Gambir pula. "Nah, kalian berikan apa yang kuminta. Atau aku akan tinggalkan tempat ini!"
"Singkil!" berkata Wiracula dengan tampang menunjukkan keberingasan. "Anjing jalanan seperti dia kenapa tidak kita gorok saja batang lehernya?!"
"Tenang Wira..." bisik Singkil Alit. "Monyet satu ini di samping punya sedikit ilmu juga licik. Biar aku yang melayaninya." Lalu pada Sirat Gambir pimpinan Kota Hantu itu berkata, "Sobatku, jika maksudmu datang adalah baik, mengapa buru-buru pergi. Jangan khawatir. Tambahan uang yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma sepuluh tapi lima puluh mata uang emas!"
Singkil Alit memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Orang ini masuk ke dalam, ketika keluar dia membawa sebuah kantong kain. Kantong isi uang ini diserahkan Singkil Alit pada Sirat Gambir.
"Nah, kau sudah menerima apa yang kau minta. Sekarang katakan berita penting apa yang hendak kau sampaikan pada kami?!"
Setelah menghitung terlebih dulu uang dari kantong kain dan memasukkannya ke balik pakaianya, Sirat Gambir melangkah mundur ke dekat pintu. Dia sengaja mencari tempat yang baik agar jika terjadi apa-apa dapat tinggalkan tempat itu dengan cepat. Namun Singkil Alit yang bergelar Harimau Hitam juga tidak bodoh.
Selagi Sirat Gambir sibuk menghitung uang emas dalam kantong, dia memberi isyarat lima anak buahnya. Kelima orang ini segera menyusul kedudukan sementara di luar rumah besar, cepat sekali dua puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil Alit, kau dan kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu? Ketika kalian mangadakan jamuan makan minum. Mengundang puluhan tokoh silat di kawasan barat ini!" berkata Sirat Gambir.
"Oh, itu...? Apa hubungannya dengan berita yang hendak kau sampaikan?!"
"Kalian mungkin menyangka bahwa pembunuhan keji yang kalian lakukan terhadap semua undangan itu tidak bocor keluar. Banyak tokoh silat di luar kini sudah mengetahuinya..."
"Lalu?"
"Mereka kini menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu. Menyama-ratakan dengan tanah dan membunuh kalian berenam!"
Mendengar keterangan Sirat Gambir itu Singkil Alit memandang pada kawan-kawannya. Keenamnya lalu tertawa gelak-gelak.
"Masih saja ada manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!" kata Singkil Alit. "Kota ini bernama Kota Hantu. Siapa yang berani masuk akan berhadapan dengan hantu-hantu! Akan mampus!"
"Aku hanya memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok sembarangan," kata Sirat Gambir pula.
"Hem... Katakan kalau kau tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata sambil tolak pinggang.
"Yang menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bernama Gitasula. Dia saudara sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat Elang Putih yang ikut jadi korban pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk pimpinan perguruan itu sekarang dipegang oleh murid terpandai bernama Indrajit. Tiga puluh anak buah perguruan siap menyerbu ke sini..."
"Jangankan tiga puluh, tiga ratus pun mereka boleh datang kemari jika memang mau mati konyol!" Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama Gitasula ataupun Indrajit dengan perguruan silat Elang Putihnya mungkin bukan apa-apa bagi kalian. Namun dengan mereka juga bergabung beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Yang pertama Ingar Gandra, tokoh silat dari Ujung Kulon yang bergelar Sultan Maut..."
Singkil Alit dan kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa kaget. Meskipun mereka berenam tidak takut namun mereka tahu betul Ingar Gandra memang bukan tokoh silat sembarangan.
"Siapa lagi lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk Hijau!" jawab Sirat Gambir.
"Jadi tua bangka keropos itu juga ikut berkomplot melawan kami!" ujar Singkil Alit sambil puntir kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada. Tapi mereka tidak kukenal. Di antaranya seorang bertopeng..." Lalu Sirat Gambir menyambung. "Nah keteranganku tentang orang-orang itu sudah lengkap. Aku sudah menerima imbalan dari kalian, saatnya aku pergi. Namun…"
"Namun apa lagi?!" Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika kalian mau memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku akan berikan keterangan di mana dan dari mana kelompok orang-orang itu akan mengatur serangan."
"Manusia temahak haram jadah!" maki Tembesi sambil melangkah menghampiri Sirat Gambir, siap untuk menghajarnya.
Namun Singkil Alit cepat memegang bahu kawannya ini. Pada Sirat Gambir manusia bergelar Harimau Hitam ini berkata, "Uang bagi kami bukan apa-apa. Katakan di mana mereka mengatur serangan."
"Uangnya dulu!" kata Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan menyeringai.
"Ambil uang!" seru Singkil Alit.
Sesaat kemudian sebuah kantong berisi dua puluh lima keping uang emas sudah berpindah ke tangan Sirat Gambir. Dengan demikian dia sudah mendapatkan lima puluh keping uang emas. Satu jumlah yang luar biasa. Seorang Adipati sekalipun di masa itu belum tentu memiliki uang sebanyak itu.
"Dengar, mereka mengatur serangan dari sebuah pondok di lembah Cilandak. Setengah hari perjalanan dari sini ke arah barat laut!"
Singkil Alit manggut-manggut. "Sirat Gambir, keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima puluh uang emas itu. Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih. Jika saja kau suka, kau boleh tinggal disini bersama kami. Kita menyambut komplotan orang-orang tolol itu. Kau akan mendapat sebuah rumah dalam kota ini, semua keperluanmu terjamin. Termasuk perempuan cantik!"
Sirat Gambir tersenyum mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu itu dan menjawab, "Terima kasih. Tidak disangka manusia-manusia iblis Kota Hantu berhati polos seperti itu. Hanya sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini dan berkumpul dengan kalian. Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada lebih lama di sini!"
Sirat Gambir putar tubuhnya namun dia jadi terkejut ketika mendapatkan pintu keluar telah dihadang rapat oleh puluhan pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah mengetahui bahwa para pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi, walaupun cuma ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam iblis Kota Hantu.
Sirat Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata, "Singkirkan cacing-cacing busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke dalam tanah!"
Singkil Alit tertawa gelak-gelak. "Kau singkirkanlah sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada lima kawannya. Keenam orang itu kemudian membentuk setengah lingkaran dan melangkah mendekati Sirat Gambir.
Melihat keadaan ini Sirat Gambir segera menghantam ke kiri. Dua pengawal roboh. Dari pengawal yang ketiga dia merampas sebilah golok lalu menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi roboh. Namun yang datang malah tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan kawan-kawannya mulai menyerang.
Sirat Gambir ternyata memang bukan orang sembarangan. Setelah membunuh delapan pengawal, melukai empat lainnya bahkan berhasil menendang Rah Tongga dia berusaha melarikan diri dengan melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak membobol atap itu lalu kabur di kegelapan malam.
Namun sebuah senjata rahasia yang dilemparkan Wiracula dan tapat mengenai punggung kirinya membuat lelaki ini kehilangan keseimbangan. Sebelum dia sempat bergayut pada kayu kaso atap, dua dari enam iblis Kota Hantu sudah melompat pula ke atas mengejarnya. Satu jotosan menghantam pelipis kiri Sirat Gambir. Satu sodokan sikut mematahkan dua tulang iganya.
Tubuh Sirat Gambir melayang jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh ini dia masih sempat kirimkan satu tendangan ke dada salah seorang penyerangnya. Tendangan itu tepat, mengenai dada Pinta Manik. Darah menyembur dari mulutnya. Manusia iblis satu ini terhampar jatuh duduk di lantai, cepat ditolong oleh kawan-kawannya. Sementara itu lebih dari selusin macam senjata para pengawal dihunjamkan ke tubuh Sirat Gambir yang jatuh dan terkapar tak berdaya.
"Manusia setan alas!" maki Singkil Alit.
"Bawa mayatnya keluar, lemparkan keluar pagar kota!"
Setelah mayat Sirat Gambir diseret keluar para pimpinan Kota Hantu ittu kecuali Pinta Manik segera mengadakan perundingan.
"Siapapun komplotan yang hendak menyerbu itu aku tidak takut," kata Singkil Alit. "Namun yang bergelar Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah menghadapinya, perlu diperhitungkan. Dia dekat dengan Istana Banten…"
"Kalau kita bisa menyusun rencana kenapa musti khawatir. Aku ada usul." kata Tembesi pula.
********************
ENAM
Hari masih terang-terang tanah ketika lima sosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat laksana hantu malam, bergerak mengelilingi pondok kayu. Tiba-tiba di dalam pondok terdengar seruan,
"Semua bangun! Ada orang datang."
Serentak pintu depan terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang tegak di halaman samping, menghadapi lima lainnya yang berpakaian serba hitam yang bukan lain dalah Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi, Wiracula dan Rangga.
Tiga orang yang barusan menghambur dari dalam pondok adalah pemuda Indrajit anak murid Ki Mlatrayasa dari perguruan siiat Elang Putih, lalu kakek bermuka hijau yang dikenal dongan sabutan Datuk Hijau. Sedang yang ketiga adalah Gitasula, saudara sepupu mendiang Ki Matrayasa.
"Hamm... kulihat cuma tiga ekor monyet! Mustinya lebih banyak dari ini. Mana monyet-monyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau Hitam buka suara.
Kakek bermuka hijau perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-kucak mata dia berkata. "Jauh-jauh menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri unjukkan tampang! Manusia-manusia iblis Kota Hantu. Mana kambratmu yang satu lagi? Mengapa cuma muncul berlima?!"
Mendengar sebutan iblis Kota Hantu itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya dia memang tak pernah melihat atau mengenal manusia-manusia ini. Begitu mengetahui kalau lima orang berpakaian serba hitam bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia durjana yang telah membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan membentak.
"Kelian telah membunuh ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian berlima harus mampus di tanganku!"
"Anak muda!" ujar Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin buru-buru menyusul ketuamu?!"
Panaslah hati Indrajit. Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke arah Rah Tongga.
"Cacing ingusan! Berani bermulut besar berani menerima bagian!" kata Rah Tongga dan sambut pukulan Indrajit dengan tangkisan lengan kiri.
Semula manusia iblis ini tidak memandang sebelah mata pada anak murid perguruan silat Elang Putih itu. Tapi begitu lengan mereka saling beradu, tampak jelas Rah Tongga mengerenyit menahan sakit. Sebaliknya Indrajit tersurut satu langkah. Meski tangannya tidak sakit namun pemuda ini menyadari kalau lawan memiliki tenaga lebih besar. Karenanya dengan mengerahkan tenaga dalam dia kembali menyerang. Singkil Alit dan Wiracula tak tinggal diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka hijau.
Sementara Tambesi dan Rangga menerjang Gitasula. Datuk hijau adalah tokoh tua yang sudah lama tidak muncul dalam dunia persilatan. Sebetulnya kakek ini tidak berminat lagi mencampuri segala macam urusan dunia persilatan. Dia lebih banyak menyepi diri. Namun kemunculan enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit alias Harimau Hitam dan berdirinya Kota Hantu mau tidak mau membangkitkan semangat muda sang datuk yang ingin melihat tegaknya kebenaran dan hancurnya kejahatan. Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan sekali ini rupanya tak bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi.
Korban pertama yang jatuh dalam pertempuran itu adalah Gitasula. Pengeroyokan atas dirinya berlangsung sembilan jurus ketika Rangga dan Tembesi keluarkan senjata yakni berupa best hitam yang ujungnya diganduli bola besi penuh duri tajam. Setiap pimpinan Kota Hantu memiliki senjata seperti itu dan selalu mereka keluarkan bilamana lawan yang dihadapi dianggap cukup kuat tak mungkin dikalahkan dengan ilmu silat tangan kosong.
Gitasula yang mempertahankan diri dengan sebilah pedang keluarkan seluruh kepandaiannya. Pedang saatnya menyabet kian kemari membentuk bayang-bayang masuk. Puncak kehebatan Gitasula hanya sampai pada kesanggupan merobek perut pakaian Rangga. Di lain saat bola besi berduri di ujung rantai Tembesi melabrak bahu kanannya hingga lelaki ini terbanting sempoyongan ke kiri. Daging dan tulang bahunya hancur. Darah membasahi sisi kanan tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu Rangga datang menyerbu. Rantai hitam di tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola berAri tiba-tiba melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu membuat gerakan mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis. Dia memilih memukul rantai besi dari pada memukul bola berduri.
"Kraakkk...!"
Terdengar suara patahnya tulang lengan Gitasula ketika tangannya beradu dengan rantai besi. ban nyatanya dia tidak pula berhasil menyelamatkan mukanya karena akibat pukulan pada rantai besi, bola besi justru melentur melejit menghantam mukanya lebih cepat dan lebih keras!
Gitasula terlontar beberapa langkah. Terkapar di tanah dengan muka hancur mengerikan. Melihat kematian Gitasula, Indrajit berteriak marah. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang Rah Tongga dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat Elang Putih. Tubuhnya berkelebat kian kemari. Sepasang tangannya laksana dua sayap burung elong, mengembang mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang kakinya kiri kanan pada waktu-waktu tertentu lancarkan tendangan yang tidak terduga Rah Tongga jadi kaget ketika dapatkan dirinya terkurung rapat dan tak mampu membalas. Dia mundur terus sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk kanannya. Dadanya terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada tulangnya yang patah. Yang jelas amarahnya menggelegak. Terlebih ketika didengarnya ejekan Tembesi.
"Tongga! Ternyata kau tak sanggup menghadap pemuda yang kau anggap cacing ingusan itu! Sarahkan dia pada kami!"
"Tutup mulutmu Tembesi! Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!" sahut Rah Tongga dengan muka marah.
Habis berkata begitu manusia iblis ini loloskan rantai hitam yang ujungnya bola-bola berduri lalu mengamuk menggempur Indrajit. Mendapat serangan ganas begini rupa, yang tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, murid mendiang Ki Matrayasa itu segera keluarkan pula senjatanya, sebilah pedang yang memiliki ketajaman pada kedua sisinya.
Di bagian lain walaupun sudah mengurung rapat namun Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup merubuhkan si kakek muka hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan pukulan-pukulannya terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua lawannya. Namun kematian Gitasula mempengaruhi diri kakek ini, hingga gerakan-gerakannya menjadi sedikit lamban. Walaupun begitu tetap sulit bagi dua lawannya untuk menerobos, susupkan pukulan atau tendangan.
Setelah menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih banyak, Singkil Alit berikan isyarat pada Wiracula. Dari mulut Singkil Alit keluar suara mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring ke depan, kedua kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke depan, kedua tangan menggapai mencengkeram, persis seperti harimau yang hendak melahap mangsanya. Wiracula keluarkan suara tak kalah seramnya. Dia menggereng macam harimau terluka. Kalau Singkil Alit menerjang dari depan maka dia melesat dari samping kiri.
Datuk Hijau maklum kalau dua lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang terhebat. Karananya diapun tak mau berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sesaat kemudian tangannya kiri kanan telah memegang sehelai sapu tangan putih. Sapu tangan itu disapukannya ke mukanya yang hijau. Aneh, begitu disapukan sapu tangan yang tadi berwarna putih itu kini berubah jadi hijau.
Dan begitu lawan mendekat, Datuk Hijau kebutkan dua helai sapu tangan itu menyongsong serangan. Angin keras menderu disertai membersitnya sinar hijau yang jelas kelihatan karena saat itu hari telah mulai pagi dan terang. Kehebatan ilmu si kakek mau tak mau membuat kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat tua ini ternyata masih punya kuku. Kalau tak lekas dihabisi bisa berabe!" pikir Singki Alit.
Maka sebelum dua tangannya yang menggapai mencengkeram ke depan bergerak lebih jauh, tiba-tiba pemimpin Kota Hantu ini berputar berjumpalitan ke kanan. Di saat itu pula terdengar suara berdesing dan sambaran benda hitam! Ternyata Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya diganduli bola berduri.
"Brettt...!"
Sapu tangan di tangan kiri Datuk Hijau robek Singkil Alit melompat mundur dengan wajah berubah meski dia berhasil menghancurkan senjata lawan, namun tonjolan runcing pada bola besi hitamnya tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal baginya. Kain yang begitu lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat dibayangkan kalau yang kena dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan sapu tangan hijau sang datuk rupanya, dirasakan juga oleh Wiracula. Angin yang keluar dari sapu tangan di tangan kanan Datuk Hijau seolah-olah badai besar yang datang menggulungnya hingga gerakannya tertahan. Ketika dicobanya mendobrak ke depan dengan melipat gandakan tenaga dalam dan lawannya kebutkan sapu tangan hijau, Wiracula terpental. Hampir saja dia kena terserempet serangan susulan Datuk Hijau kalau sang datuk tidak cepat-cepat tarik serangannya karena dari lain jurusan kembali menderu bola besi yang dihantamkan Singkil Alit!
Kegesitan dan kecepatan gerakan mambuat Indrajit berkali-kali hampir mencelakai lawannya. Sebaliknya Rah Tongga, iblis yang berbadan paling gendut itu makin lama makin lamban gerakannya. Tenaganya terkuras karena serangan rantai dan bola besinya selalu mengenai tempat kosong. Karena tidak berhasil menghantam tubuh atau kapala lawan dengan senjatanya maka, Rah Tongga kini arahkan serangannya untuk memukul tangan atau pedang Indrajit.
Si pemuda yang nengetahui maksud lawan pergunakan kecerdikan untuk menghindari bentrokan senjata. Akibatnya serangan-serangan Rah Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui sabagai murid tertua dari perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang Indrajit telah mewarisi seluruh kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi dengan semangat tinggi demi untuk membalas kematian sang guru. Setelah bertempur lebih dari dua puluh lima jurus, mulai terdengar suara...
"Brettt! Brettt...!"
Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah Tongga, dicabik ujung padang si pemuda. Menusia iblis ini keluarkan keringat dingin dan putar rantai besinyamya lebih sebat!
Melihat dua kawannya yaitu Tembesi dan Rangga hanya tegak cengar cengir sementara dia dan yang lain-lainnya masih terus bertempur menghadapi lawan tangguh, Singkil Alit jadi berang dan berteriak.
"Tembesi! Bantu Rah Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku menghadapi tua bangka muka hijau ini!" Mendengar perintah itu Tembesi segera melompat ke samping Rah Tongga, langsung menyerang Indrajit dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga sudah menerjang Datuk Hijau dengan senjata yang sama dari arah belakang.
Dengan ketambahan satu lawan masing-masing, Indrajit dan Datuk Hijau kini berada dalam keadaan terancam. Bagaimanapun mereka kerahkan kepandaian namun dikeroyok begitu rupanya jurus demi jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang dikeroyok tiga mengalami nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula berhasil melibat lengan kanan kakek muka hijau itu.
Meskipun dengan cepat dia mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengaroyoknya yang lain pergunakan kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit datang dari sebelah kanan, sehingga dari sebelah belakang. Keduanya dengan hantaman bola-bola besi. Datuk Hijau jatuhkan diri ke tanahnya terus bergulingan dan memukul ke arah lawan terdekat yaitu Wiracula.
Namun gerakannya hanya ke sia-siaan belaka. Karena begitu tubuhnya miring ke depan, cepat sekali bola besi di tangan Singkil Alit membalik menggebuk punggungnya. Datuk Hijau mengeluh tinggi. Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat itu pula bola berduri di tangan Rangga membabat ke bawah, menghantam tengkuk si kakek. Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua bangka edan!" rutuk Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi dan Rah Tongga yang masih menempur Indrajit. Dan berteriak. "Hanya seorang pemuda yang kalian anggap cacing busuk. Kalian tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat itu sebenamya Indrajit berada dalam keadaan genting. Melayani Rah Tongga dia masih sanggup bahkan dalam beberapa jurus di muka pemuda ini segera akan dapat menghabisi lawannya. Namun setelah Rah Tongga dibantu oleh Tembesi, keadaan jadi berbalik. Kini Indrajit yang terdesak hebat.
Di satu jurus di mana dua bola besi melesat ganas mencari sasaran di tubuh dan kepala si pemuda, Indrajit putar pedangnya sambil melompat. Sambaran bola besi yang mengarah ke dada dapat dielakkan, namun dia terpaksa pergunakan pedang untuk menangkis sambaran bola besi yang menghantam ke kepalanya.
"Tranggg...!"
Pedang di tangan lndrajit patah dua. Sementara bola besi terus menyambar ke kepalanya. Dalam keadaan tak mungkin untuk mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan pedangnya ke arah Tembesi.
"Pemuda gila!" maki Tembesi.
Dia harus membuat gerakan mengelak jika tak ingin terluka oleh patahan pedang. Tapi gerakan mengelak tak mungkin dilakukannya jika dia masih terus memegang rantai hitamnya. Kerena ingin melihat kematian si pemuda maka ia memilih melepas pegangannya pada rantai hitam. Toh bola besi hanya tinggal setengah jengkai saja dari kepala lawannya dan Indrajit tak mungkin selamatkan kepalanya.
"Ah, matilah aku!" ujar Indrajit dalam hati.
"Trakkk...!"
Sepotong kayu kecil tiba-tiba entah dari mana datangnya menyusup menahan hantaman bola berduri. Ujung kayu itu patah tapi kepala Indrajit selamat. Selagi pemuda ini tidak mengetahui jelas apa yang telah terjadi tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipanggul orang dan dilarikan laksana terbang. Di belakangnya terdengar bentakan-bentakan marah.
"Bangsat rendah! Siapa yang berani ikut campur urusan kami iblis-iblis Kota Hantu!"
"Tembesi! Kejar orang itu!" perintah Singkil Alit.
Namun Indrajit tidak melihat ada yang mengejar. Orang yang melarikannya memiliki ilmu lari luar biasa. Tak mungkin dikejar. Pemuda ini berusaha untuk melihat wajah orang yang memanggulnya itu. Tapi tidak bisa karena rambut panjang putih orang itu, yang tertiup angin, menutupi wajahnya.
********************
TUJUH
Dua puluh pemuda menunggang kuda menuruni lembah dengan cepat mengiringi dua orang di sebelah depan. Orang ini adalah seorang lelaki berjubah putih dan mengenakan topi berbentuk sorban tinggi juga berwarna putih. Yang kedua seorang pemuda bertubuh ramping yang secara aneh menutupi wajahnya dengan sehelai kain biru hingga sepasang alis dan matanya saja yang kelihatan. Rombongan itu bergerak cepat menuju pondok kayu di lembah Cilendak. Dari jauh pondok tampak sepi. Pintu dan jendela tertutup.
"Mudah-mudahan kita tidak terlambat!" kata orang tua bersorban putih. Dia adalah Sultan Maut. Pemuda di sebelahnya, yang bercadar kain biru hanya dikenal dengan nama Pandu. Dua puluh anak muda penunggang kuda merupakan murid-murid perguruan silat Elang Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi itu mereka berkumpul dan bergabung di lembah Cilendak. Menjelang malam, setelah lebih dulu beristirahat dan mematangkan siasat baru mereka bergerak menuju Kota Hantu. Di tengah jalan diharapkan beberapa orang pandai lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat! Kami datang!" seru Sultan Maut.
Mulutnya hanya bergerak sedikit tetapi suaranya keras menggetarkan seantero lembah. Dari dalam pondok tak ada jawaban.
"Aneh," kata Pandu. "Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran! Kalau musuh datang membokong bisa habis mereka semua!"
"Indrajit! Datuk Hijau! Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil. "Kalian ada di dalam?!"
Tiba-tiba jendela di samping kanan pondok terpentang. Sesosok tubuh melesat keluar dan tarkapar di tanah, di hadapan rombongan yang baru datang. Serta merta semua orang itu menjadi terkejut. Sepasang mata Sultan Maut sampai mendelik. Dia melompat dari kudanya, diikuti Pandu serta belasan pemuda lainnya.
"Astaga! Ini Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu hancur namun dia masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia korban pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling. Lalu memberi perintah pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!"
Maka dua puluh murid perguruan Elang Putih segera mengurung pondok kayu di tengah lembah itu. Masing-masing siap dengan senjata. Sultan Maut tak dapat memastikan dengan botol apa Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu rupa. Perlahan-lahan orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah pondok.
"Siapa di dalam pondok? Lekas keluar!" orang tua ini membentak.
Baru saja bentakan sirap mendadak pintu pondok terbuka, lebar dan sesosok tubuh dilemparkan keluar. Sultan Maut dan Pandu melengak kaget dan sama-sama berseru kaget tegang. Tubuh yang menggeletak di hadapan mereka adalah tubuh Datuk Hijau. Kakek ini juga mati serba mengenaskan. Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu, siapapun yang membunuh para sahabat kita ini, pembunuhnya pasti ada di dalam pondok itu. Bersiap untuk menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut.
Pandu memberi isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia ingat sesuatu lalu berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat Indrajit. Apakah dia juga telah jadi korban dan akan dilemparkan ke hadapan kita kali berikutnya?!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar tertawa bergelak. Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, bertampang ganas dan masing-masing mencekal rantai hitam yang ujungnya diganduli bola besi barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain adalah lima dari enam iblis Kota Hantu. Singkil Alit angkat tangan kirinya serta merta kawan-kawannya hentikan tertawa.
"Sultan Maut! Selamat datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis terkutuk! Jadi kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan Maut geram.
Singkil Alit menyeringai. "Kami sengaja datang kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak usah capaikan diri jauh-jauh ke Kota Hantu. Kami kawatir kalau-kalau tidak dapat menyuguhkan sambutan yang layak di Kota Hantu. Karenanya kami menunggu di sini. Ketika kami datang ternyata sahabat-sahabat kalian yang sudah lebih dulu berada di sini, begitu ingin cepat-cepat mampus. Maka kami membukakan pintu maut baginya."
Habis berkata begitu Singkil Alit dan keempat anak buahnya kembali tertawa gelak-gelak.
"Setahuku kalian berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis puntung neraka. Mana koncomu yang satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak muda, sikapmu boleh juga. Kau akan jadi korbanku pertama!" sahut Singkil Alit "Dimana kawanku yang satu berada kau tak usah tahu..."
"Lalu di mana Indrajit?"
"Itupun kau tak perlu tahu!"
"Kalau begitu makan tanganku!"
Pandu jadi marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangannya menghantarn. Ganda tertawa Singkil Alit angkat tangan kirirtya. Maksudnya sekali bergerak aja dia hendak menangkap tangan pemuda bertubuh ramping itu. Apalagi gerak-geriknya yang kelihatan lembut maka si Harimau Hitam menganggap enteng serangan lawan. Tetapi alangkah kagetnya Singkil Alit ketika tiba-tiba serangan tangan itu ditarik pulang, dengan memiringkan tubuhnya Pandu kini ganti menghantam dengan satu tendangan.
"Bukkk...!"
Singkil Alit terpekik. Tulang lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya laksana tanggal. "Edan!" teriaknya marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya jadi lega ketika mengetahui bahwa hanya bagian luar lengannya saja yang cidera. "Pemuda keparat! Buka cadarmu! Aku tidak suka membunuh orang tanpa melihat tampangnya lebih dulu!"
Pandu tartawa sinis. "Kalau kau sudah mampus dan berkumpul dengan hantu-hantu liang kubur, baru nanti kau bisa melihat tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau betul-betul minta mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar rantai hitamnya. Empat kawannya tidak tinggal diam. Dua melompat menghadang gerakan Sultan Maut sedang dua lagi menyerbu menghadapi dua puluh murid perguruan Elang Putih yang telah pula mulai bergerak menyerbu.
Pertempuran sangat hebat berlangsung di lembah Cilendak itu. Tembesi dan Rah Tongga mengeroyok Sultan Maut, Singkil Alit menghadapi Pandu sedang Wiracula dan Rangga membendung gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun lawan yang dihadapi dua iblis terakhir ini jauh lebih banyak namun pemuda-pemuda tersebut belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa diandalkan.
Akibatnya terjadilah hal yang mengerikan. Di mana-mana terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda murid perguruan Elang Putih menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk rantai hitam atau gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di mana-mana. Erangan mereka yang luka-luka dan yang meregang nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan Maut merasakan darahnya mendidih. Namun dia tak mau berlaku nekad. Dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Jika dia terpengaruh hawa amarah, akan mudah bagi lawan untuk mencelakainya. Di samping itu dia mencemaskan pula keadaan Pandu yang bertempur mati-matian dengan Singkil Alit.
Pemuda itu, walau memiliki kegesitan serta kecepatanatan dan tingkat tenaga dalam yang tidak rendah, namun sulit baginya untuk mengalahkan manusia bergelar Harimau Hitam itu. Apalagi Pandu sampai saat itu hanya mengandalkan tangan kosong sedang lawan menggempur tiada henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu kesempatan Sultan Maut ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan senjata ini ke arah Pandu.
Dengan sigap si pemuda menangkap keris itu. Langsung mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan kiri, keris di tangan kanan, Pandu menghadapi lawannya dengan penuh percaya diri. Apalagi dia tahu betul keris berluk sembilan milik Sultan Maut merupakan senjata sakti. Ketika dua kali dia sempat bentrokan senjata dengan lawan, bunga api memercik. Tangannya yang memegang keris bergetar hebat tetapi dilihatnya Singkil Alit juga seperti kesemutan.
Dengan mengandalkan kegesitannya, Pandu menyelusup di antara taburan serangan rantai hitam lawan. Namun untuk menumbangkan Singkil Alit tentu saja bukan satu hal yang mudah bagi pemuda ini. Dan dadanya bergetar ketika dilihatnya Wiracula dan Rangga yang baru saja membantai dua puluh murid perguruan silat Elang Putih, kini tampak siap bergabung dengan pimpinan mereka. Kesulitan yang bakal dihadapi Pandu diketahui pula oleh Sultan Maut.
Maka orang tua ini membuat gebrakan-gebrakan aneh. Setiap menyerang dari mulutnya selalu terdengar suara tertawa nyaring yang hampir menyerupai suara kuda meringkik. Suara tawa ini bukan saja menyakitkan telinga kedua pengeroyoknya tapi juga mempengaruhi gerakan-gerakan mereka. Singkil Alit yang punya lebih banyak pengalaman dari pada empat kawannya segera maklum kalau Sultan Maut tengah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, cepat dia berteriak memberi ingat pada Tembesi dan Rah Tongga agar keduanya menutup jalan suara.
Namun terlambat. Saat itu Sultan Maut berhasil menyusupkan tendangannya ke bawah perut Rah Tongga. Lelaki ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental dan jatuh tarkapar di tanah tak berkutik, pingsan. Seumur hidup kalau dia hidup kelak dia akan menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan kelelakiannya!
Singkil Alit menggereng marah. Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola besi berduri di ujung rantai menderu sebat. Sesaat ketika dia siap menyerbu ke arah Sultan Maut, tiba-tiba didengarnya seruan Wiracula.
"Singkil! Lihat! Pemuda ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua orang terkejut. Terutama Singkil Alit sedang Sultan Maut diam-diam mengeluh dalam hati. Apakah yang telah terjadi! Ketika berlangsung perkelahian seru antara Pandu dan dua pengeroyoknya, di saat Singkil hendak menerjang ke arah Sultan Maut, Wiracula berhasil, menjambret cadar biru yang menutupi wajah Pandu. Begitu kain penutup muka si pemuda tersingkap, kelihatanlah satu wajah yang tidak terduga.
Ternyata pemuda itu adalah seorang gadis berparas cantik. Singkil Alit sendiri sampai terbelalak. Tak pernah dia melihat dara secantik itu. Sedang Tembesi yang memang paling buas dengan perempuan tampak menyeringai. Tenggorokannya turun naik.
"Tangkap dia hidup-hidup! Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas akal licik muncul di benak Singkil Alit. Berempat mereka pasti bakal dapat mengalahkan Sultan Maut. Namun jika mereka bisa melumpuhkan orang tua berkepandaian tinggi itu mengapa tidak dilakukan? Maka pimpinan manusia-manusia iblis ini segera berteriak beri perintah.
"Kelian bertiga tangkap gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi melompat lebih dulu. Wiracula dan Rangga menyusul. Sultan Maut yang maklum bahaya yang bakal dihadapi Piranti alias Pandu cepat melompat guna bergabung dengan si gadis. Namun gerakannya dihadang oleh Singkil Alit.
"Iblis laknat! Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari mulutnya keluar suara tertawa meringkik.
Singkil Alit cepat tutup pendengarannya dan sebatkan rantainya ke arah kepala lawan. Sultan Maut merunduk seraya balas menghantam dengan pukulan tangan kosong yang didahului siuran angin tanda orang tua ini memukul dengan pengerahan tenaga dalam. Untuk elakkan serangan lawan Singkil Alit bergerak cepat satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang baru dia ayunkan rantai hitam di tangan kanannya.
Rantai ini seperti sebilah pedang yang menyinarkan warna hitam membabat tangan Sultan Maut sedang bagian ujungnya yang berbentuk bola berduri menghujam ke arah bahu orang tua itu. Terpaksa Sultan Maut tarik pulang serangannya dan ganti dengan tendangan ke arah bawah perut lawan. Tendangan seperti inilah yang tadi menghantam dan membuat pingsan Rah Tongga.
Namun sekali ini bukan saja tendangan maut tersebut dapat dielakkan lawan, malah orang tua itu dibikin kaget oleh seruan salah seorang manusia iblis Kota Hantu yang mengeroyok Piranti.
"Singkil! Kami telah meringkus gadis ini!"
Sultan Maut melompat mundur. Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti tegak tak bergerak. Jelas gadis ini telah ditotok hingga tak bisa bergerak ataupun bersuara.
"Tembesi!" seru Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang perempuan. Coba buktikan padaku!"
"Manusia iblis! Jika kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan kepala kalian!" mengancam Sultan Maut.
Tapi Singkil Alit, Wiracula dan Rangga sudah mengurungnya, membuat orang tua ini tak bisa bergerak. Sementara itu dengan menyeringai penuh nafsu Tembesi gerakkan tangan kanannya ke dada Piranti.
"Brettt...!"
Dada pakaian gadis itu robek besar. Dadanya yang putih tersingkap. Sepasang payudaranya jelas terlihat membusung kencang.
"Ha-ha-ha!" tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Orang tua, memandang muka mu dan menimbang hubunganmu dengan Istana Banten, aku masih suka membuat perjanjian denganmu..."
"Perjanjian apa?!" tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis itu tidak akan kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke Kota Hantu. Tinggal di sana dan bekerja untuk kami!"
"'Kau lebih baik bunuh aku detik ini juga dari pada menjadi budak tawanan!" sahut Sultan Maut tegas.
"Begitu...?" Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa gadis itu ke dalam pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan, tanpa tunggu lebih lama Tembesi segera panggul tubuh Piranti.
"Tunggu!" seru Sultan Maut.
"Eh, kau merubah pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi orang tolol. Kau tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati percuma dan gadis itu tetap saja tidak tertolong!"
Sultan Maut merasakan darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah-olah mau meledak oleh amarah. Namun memang dia tak bisa berbuat banyak. Kalau pun dia melanjutkan pertempuran dengan nekad, satu atau dua lawannya mungkin sanggup dibunuhnya, namun dia sendiri tak akan lolos dari kematian. Dan Piranti akan menjadi korban kebuasan manusia-manusia iblis itu.
"Baiklah" kata Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut bersama kalian. Tapi pegang janji kalian. Jangan ganggu cucuku itu..."
"Ah, jadi dia cucumu. Apalagi cucumu. Masakan kami akan mengganggunya!" ujar Singkil Alit. "Tembesi, tutup pakaian gadis itu kembali. Biarkan dia tertotok. Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
"Ah, rejekiku belum kesampaian. Sayang… sayang..." kata Tembesi agak kesal. Tapi dia tahu, sesampainya di Kota Hantu perjanjian yang dibuat dengan Sultan Maut saat itu pasti akan berubah.
DELAPAN
Untuk mempercepat perjalanan Singkil Alit dan rombongan mengambil jalan pintas lalu menyusuri kali Cikajang. Di satu tempat di mana air kali mendangkal mereka menyeberang. Sebelum senja diharapkan mereka sudah sampai di Kota Hantu.
Di sebelah barat langit tampak menguning tanda matahari segera akan tenggelam. Selagi rombongan menyusuri hutan kecil di sebelah barat kaki gunung Halimun mendadak terdengar suara bebunyian.
"Ada yang meniup seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian kemari dari mana datangnya tiupan seruling itu.
Singkil Alit mengangkat tangan kiri, memberi tanda. Seluruh rombongan berhenti. "Itu bukan tiupan suling biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas menusuk telinga, menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh, naik turun, tinggi rendah tak menentu. Tak pernah kudengar nyanyian seperti itu. Kita lanjutkan perjalanan tapi bersiaplah. Bukan tidak mungkin ada orang pandai yang bermaksud menghadang kita. Perhatikan kedua tawanan..."
Yang dimaksudkan dua tawanan bukan lain adalah Piranti dan Ingar Candra alias Sultan Maut. Si gadis berada dalam keadaan tertotok dan menggeletak di pangkuan Tembesi. Sultan Maut menunggang kuda dengan tangan terikat dan diapit oleh Wiracula serta Rangga. Rah Tongga yang dalam keadaan sakit menunggangi kuda setengah tiduran. Keadaan manusia iblis satu inilah yang membuat rombongan tak bisa bergerak lebih cepat. Suara tiupan suling semakin santar tanda makin dekat.
"Lihat di atas sana!" tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke sebuah pohon nangka hutan yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang besar-besar.
Semua mata segera dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Di sebuah cabang pohon tampak duduk seorang pemuda berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan kain putih. Pakaian putihnya tampak kumal. Dia duduk di cabang pohon yang tinggi itu sambil uncang-uncang kaki. Ditangannya ada sebuah benda aneh. Berbentuk kapak bermata dua, memiliki gagang berbentuk tubuh ular naga dan ada lobang-lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala seekor naga menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya seperti sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan terkena sinar matahari yang hendak tenggelam.
"Orang gila dari mana itu?!" ujar Wiracula.
"Dia bukan orang gila! Tak ada orang gila yang pandai memanjat pohon setinggi itu!" tukas Singkil Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin bisa menyakitkan telinga kalau dia tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan suling yang dipegangnya jelas bukan sembarang suling."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap tubuh Piranti. Dia ingin cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan langsung membawa gadis itu kerumahnya walau sudah ada perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan Maut.
"Kita tetap lewat di bawah pohon. Jangan perdulikan orang di atas sana. Dan jangan coba mengusik! Kalau dia yang lebih dulu mencari lantaran baru kita habisi!" jawab Singkil Alit.
Lalu dia memberi tanda agar rombongan segera bergerak. Tapi gerakan rombongan tertahan ketika di atas pohon pemuda peniup suling mendadak membuat gerakan aneh. Tubuh pemuda itu tiba-tiba jatuh ke bawah, berputar memuntir pada cabang pohon yang tadi didudukinya lalu tubuhnya jatuh dan berpindah ke cabang di bawahnya. Di cabang ini si pemuda kembali duduk uncang-uncang kaki den tiup sulingnya. Sesaat kemudian malah dia menyanyi membawakan senandung aneh.
Sang surya siap tenggelam
Serombongan setan berjalan pulang
Pesta perkawinan telah lama dimulai
Lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai
Lima iblis bermuka bengis
Lima durjana ditunggu liang neraka
Lekas pergi lekas pulang
Terlambat datang sang pengantin keburu busuk
Habis bernyanyi pemuda itu kembali tiup sulingnya. Paras Singkil Alit dan kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima iblis lima durjana dalam nyanyian itu yang dimaksudkan adalah dia dan kawan-kawannya. Tapi apa arti kalimat 'pesta perkawinan telah dimulai', 'lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai', 'terlambat datang sang pengantin keburu busuk'.
"Hanya orang gila berkepandaian sejengkal tak perlu dihiraukan Singkil!" kata Wiracula kembali. Dia tetap menganggap pemuda di atas pohon nangka itu orang gila.
"Hatiku tidak enak..." desis Singkil Alit.
Sementara itu Sultan Maut sejak tadi memandang tak berkesip pada pemuda di atas pohon. Yang lalu pusat perhatiannya adalah kapak bergagang tubuh dan kepala ular naga itu. Dia coba mengingai-ingat. Tapi menyesali diri sendiri karena di usia setua itu ingatannya tidak terang lagi. Walau bagaimanapun dia tetap yakin paling tidak pernah mendengar tentang senjata yang dijadikan suling oleh pemuda tak dikenalnya itu.
"Kita lanjutkan perjalanan!" kata Singkil Alit akhirnya.
Rombongan kembali bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan ketika dari atas pohon terdengar si pemuda berkata, "Memang kalian harus lekas-lekas berangkat. Aku titip bungkusan ini. Sekedar hadiah pada pesta perkawinan…"
Dari balik punggungnya pemuda di atas pohon keluarkan sebuah benda sebesar kepala yang dibungkus dengan sehelai kertas warna warni. Ujung kertas itu dikuncir dan diikat dengan seutas benang. Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda. Perlahan-lahan bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk menphampar. Bungkusan bulat terus turun dan agaknya sengaja diarahkan kepangkuan Singkil Alit sementara bau busuk tambah menjadi-jadi.
Saking marahnya karena dipermainkan begitu rupa Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia hantamkan tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon cepat menariknya tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya mengenai angin. Tiba-tiba pemuda itu lepaskan ujung benang. Bungkusan bulat langsung jatuh ke pangkuan Singkil Alit.
Ketika Singkil Alit hendak melemparkan bungkusan busuk itu. Si pemuda berkata, "Kalau kau tak mau ketitipan bungkusan hadiah pesta perkawinan itu, mengapa tak ingin melihat isinya?!"
"Gila! Siapa sudi melihat isi bungkusan busuk itu!" bentak Singkil Alit. Lalu lemparkan bungkusan ke tanah. Bersamaan dengan itu dia memberi isyarat pada Rangga.
Dari atas punggung kudanya Rangga melompat. Ditangannya telah tergenggam rantai hitam berujung bola besi berduri. Senjata ini berdesing menghantam ke arah pemuda yang duduk di cabang pohon!
"Braak...!" Cabang pohon hancur berantakan.
Tapi pemuda yang diserang telah lenyap. Hanya terdengar seruannya, "Sampai jumpa di pesta perkawinan! Jangan lupa bawakan bungkusan itu!"
"Keparat!" maki Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk tinggalkan tempat itu sementara hari mulai gelap. Namun hati kecilnya ingin juga melihat apa sebenarnya isi bungkusan itu. Maka disuruhnya Rangga mengambil bungkusan yang terjatuh di tanah. "Buka!" perintah Singgil Alit.
Ketika dibuka kagetlah lima ibis Kota Hantu itu. "Puranda!" seru mereka hampir berbarengan.
Begitu bungkusan terbuka yang kelihatan adalah kepala manusia. Kepala manusia ini adalah kepala Puranda, orang yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Kota Hantu karena terkenal kekejamannya dan pandai menjilat pada enam pimpinan iblis Kota Hantu.
"Ada sebentuk tulisan di keningnya! Apa itu...?" tanya Singkil ketika melihat sederetan tulisan.
"Bukan tulisan Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka apa?"
"Dua-Satu-Dua!" jawab Rangga.
Mendengar tiga angka itu barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas pohon tadi adalah Wiro Sableng. Senjata yang dijadikannya suling adalah Kapak Naga Geni 212.
"Murid Sinto Gendeng... Dia ada di sini..." desis Sultan Maut. Ada kelegaan di hatinya. Tapi mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak berusaha menyelamatkan Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha menyerang lima iblis Kota Hantu itu?
Rangga yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera bertanya, "Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
Singkil Alit tak menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Dia hanya melambaikan tangan memberi tanda agar rombongan segera melanjutkan perjalanan. "Aku hanya sering mendengar nama dan julukan pemuda itu. Apakah dia benar-benar ada? Apakah tadi itu memang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa seperti pemuda gila tak karuan" begitu Singkil Alit membatin sepanjang jalan. Hatinya semakin terasa tidak enak.
********************
SEMBILAN
Di jalan yang menurun menuju pintu gerbang utara Kota Hantu ketika kegelapan malam telah lama turun, Singkil Alit danrombongan hentikan kuda masing-masing. Meskipun mereka berada di pedrr taran yang cukup tinggi namun pandangan mereka terhalang oleh pagar batangan pohon jati yang mengelilingi dan membentengi kota. Sesekali kelihatan kilapannyala lampu.
"Aneh," kata Sinakil Alit seraya memandang pada keempat kawannya. "Aku mendengar suara alunan gamelan dari pusat kota!"
Tiba-tiba Singkil Alit ingat pada ucapan pemuda aneh di atas pohon. Pemuda itu berulang kali menyebut pesta perkawinan. Apakah saat itu benar-benar ada pesta di dalam kota? Seperti melupakan yang lain-lainnya Singkil Alit memacu kudanya menuju pintu gerbang utara. Anak buahnya segera mengikuti sambil menggiring Sultan Maut dan membawa piranti.
Sesampainya di pintu gerbang semakin heranlah Singkil Alit dan kawan-kawannya. Biasanya di situ selalu ada dua orang pengawal di sebelah luar dan pintu gerbang seharusnya berada dalam keadaan terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama sekali tak ada pengawal dan daun pintu gerbang yang besar dan berat itu tampak merenggang. Singkil Alit pergunakan kaki kirinya untuk mendorong pintu lalu masuk diikuti yang lain-lainnya.
Begitu sampai di dalampun mereka tidak melihat ada penjaga. Seharusnya terdapat empat pengawal di sebelah belakang pintu gerbang. Memandang ke tengah kota mereka melihat lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah besar. Juga tampak kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden yang tidak merdu itu, diringi kerawitan yang juga terdengar agak kacau datang dari rumah besar itu.
"Itu rumah Pinta Manik! Apa yang terjeadi di sana?!" kata Singkil Alit.
"Tampaknya seperti ada pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?! Pesta apa?! Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan rahang menggembung, dia memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah jalan dia berpapasan dengan seorang pemuda yang diketahuinya adalah salah seorang pengawal khusus yang biasa bertugas di rumah besar. Sekali tangannya bergerak Singkil Alit sudah mencekal leher pakaian pemuda ini.
"Lekas katakan! Ada apa di rumah Pinta Manik?"
Pemuda pengawal, yang biasanya takut melihat Singkil Alit, apalagi sampai dicekal begitu rupa, anehnya kini hanya mengerenyit kesakitan dan menjawab, "Ada pesta perkawinan! Pinta Manik jadi pengantin!"
"Keparat! Jangan kau berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik Singkil Alit. Tangan kirinya bergerak hendak menampar. Tapi tiba-tiba sebuah pisau meluncur ke arah perutnya. Ditusukkan oleh pemuda itu.
"Singkil awas!" teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanpa diperingatkanpun pimpinan Kota Hantu telah melihat apa yang dilakukan si pemuda. Maka gerakan tangannya yang tadi menampar kini berubah menjadi hantaman tepi telapak tangan yang keras.
"Praakkk...!" Kepala si pemuda pecah. Tak ampun lagi nyawanya melayang detik itu juga.
"Keparat!" maki Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada yang tak beres di sini Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba terdengar tawa Sultan Maut. "Jika salah seorang anak buahmu nekad hendak membunuhmu, memang ada yang tidak beres di sini Singkil!" katanya. "Kuharap saja tidak terjadi pomberontakan di Kota Hantu ini!"
"Kalau mereka berani berontak akan kucincang satu demi satu!" kata Singkil Alit.
Kembali Sultan Maut keluarkan suara tertawa seperti tadi.
"Tutup mulutmu! Kalau tidak kau pertama sekali yang akan kucincang!" bentak Singkil Alit.
lalu bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah besar milik Pinta Manik. Orang banyak yang berkerumun di tempat itu, yang merupakan penduduk Kota Hantu, anak buah atau kaki tangan enam iblis itu, menyeruak memberi jalan.
"Mereka datang!" seseorang berseru.
Gerak-gerik dan sikap penduduk Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata Singkil Alit dan kawan-kawannya.
"Mana pengawal?!" teriak pimpinan Kota Hantu itu.
Tak ada satu orangpun yang muncul. Orang banyak yang ada di situ memandang mereka dengan dingin.
"Kurang ajar! Laknat semua!" teriak Singkil Alit marah.
Sambil bergerak maju kakinya menendang kian ke mari. Tangannya memukul tiada henti. Hal yang sama dilakukan oleh empat iblis lainnya. Akibatnya belasan orang terkapar roboh. Mati dan pingsan. Di beranda depan rumah besar kediaman Pinta Manik, Singkil Alit dan kawan-kawannya berhenti dan seperti dipantek di atas kuda masing-masing. Sultan Maut sendiri ternganga dan hampir tidak dapat memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di sebelah kiri beranda, duduk menjelepok serombongan pemain karawitan yang aneh. Memang ada gong dan klenengan serta kentongan, tetapi mereka juga memakai tetabuhan seperti alu dan lesung, piring-piring kaleng, potongan-potongan kayu api. Memang ada suling dan terompet bambu, tapi lebih banyak yang meniup batang-batang padi.
Keseluruhan musik itu mengeluarkan suara centang perenang. Lalu sang pesinden yang suaranya tinggi rendah tidak menentu ternyata adalah seorang perempun yang mukanya juga dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan kertas aneka warna.
"Pesta gila haram jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa wabah penyakit gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata Wiracula.
Singkil Alit tak menjawab. Sepasang matanya demikian juga semua mata anak buahnya serta Sultan Maut tertuju ke bagian tengah beranda luas. Di situ terdapat dua buah kursi besar penuh hiasan, diapit oleh dua janur besar. Dinding sebelah belakang kursi ditutup dengan tirai dan kain warna warni, ditaburi gaba-gaba yang kelihatannya dipasang asal jadi.
Di kursi besar sebelah kanan duduk Pinta Manik. Mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan topi yang kekecilan. Mukanya dirias seperti muka orang gila berbedak tebal, bergincu yang berlepotan kian kemari. Pipinya juga diberi merah-merah entah dengan apa, sepasang alis dan matanya diberi warna hitam mencorong. Pinta Manik duduk tersandar antara sadar dan tidak. Sesekali dia tersenyum atau tertawa gelak-gelak. Kadang-kadang dia bertariak, "Tuak... tuak!"
Maka seorang anak lelaki kecil yang selalu tegak di sampingnya segera mendekatkan bumbung bambu berisi tuak keras ke mulut Pinta Manik. Setelah menyemburkan tegukan pertama baru dia meneguk lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu lebih banyak yang tumpah membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum, dia duduk bersandar kembali dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas pimpinan Kota Iblis ini berada dalam keadaan tidak sadar diri karena mabuk berat!
Di kursi sebelah kiri inilah satu pemandangan yang aneh tapi juga lucu duduk seekor orang hutan betina. Tinggi besar berbulu hitam. Kedua kakinya diikat ke kaki kursi. Sepasang tangannya diikat ke lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong pakaian yang hanya menutupi dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah kalung besar. Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka warna. Kepalanya malah diberi beberapa potong sunting!
Binatang ini tiada hentinya mengeluarkan suara menguik, menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang besar. Tapi tak kuasa melepaskan diri dari ikatannya pada kursi besar. Inilah 'sang pengantin perempuan'. Dan seorang anak perempuan kecil yang bertindak seperti dayang-dayang tegak di samping kursi 'pengantin' perempuan sambil tiada hentinya mengipasi 'pengantin' itu!
Tidak tahan melihat apa yang berlangsung di depannya, Singkil Alit serta Wiracula dan Rangga turun dari kuda masing-masing langsung melompat ke hadapan Pinta Manik dan orang hutan yang duduk di atas kursi.
Tembesi tetap di kuda karena lebih senang mendekapi tubuh Piranti sedang Rah Tongga yang luka parah bagian bawah perutnya tak mampu turun kalau tak ada yang menolong. Saat itu untuk kesekian kalinya Sultan Maut coba melepaskan ikatan tali pada kedua tangannya. Tapi aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang tak bisa diputusnya.
"Siapa yang punya pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak.
Suaranya menggelegar. Tubuhnya bergetar dan rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sepasang matanya berkilat-kilat. Hembusan nafasnya seperti gerengan harimau lapar. Kedua tangannya terpentang, siap untuk menghantam.
Tidak ada yang menjawab. Hanya irama karawitan yang acak-acakan itu, mendadak berubah dan pesinden bermuka hitam celemongan membuka mulutnya lebar-lebar membawakan sebuah tembang.
Tamu-tamu besar sudah datang
Pelayan lekas keluarkan hidangan
Pesta ini pesta luar biasa
Hidangan juga harus lezat cita dan rasa
Pesta ini bukan pesta biasa
Pesta perkawinan iblis berkepala manusia
Para tamu bukan tamu biasa
Tapi sekelompok iblis gila
Kota Hantu kotanya iblis
Ada pesta sedang berlangsung
Sampai di situ Singkil Alit tidak dapat menguasai amarahnya lagi. Jelas-jelas nyanyian itu ditujukan pada dirinya dan orang-orangnya.
"Braakkk...!"
Singkil Alit hantamkan kaki kananya ke lantai bangunan yang terbuat dan kayu jati keras setebal setengah jengkal. Lantai kayu itu jebol berantakan. Tidak sampai di situ saja, pimpinan Kota Hantu ini lantas melompat kirimkan tendangan pada si pesinden. Perempuan yang malang ini pasti akan remuk tubuhnya atau hancur kepalanya dilabrak tendangan itu kalau saja tidak terjadi satu hal yang mengejutkan Singkil Alit dan membuatnya menarik pulang tendangannya kembali.
Sebuah gong kecil yang terbuat dari besi kuning melayang ke arah kaki kanannya. Dalam marahnya Singkil Alit sekaligus hendak menendang hancur benda itu. Namun dia jadi kaget karena ternyata gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya mata, kini membeset ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki dan melompat selamatkan diri.
Gong kecil itu terus melayang ke luar beranda. Sesaat kemudian terdengar suara kuda meringkik dan jatuhnya sesosok tubuh ke tanah. Apa yang terjadi? Gong yang tidak mengenai Singkil Alit tadi menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga. Binatang ini meringkik kesakitan ketika gong memukul keras bagian lehernya, lalu lari setelah membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah.
Dalam keadaan luka parah akibat tendangan Sultan Maut, Rah Tongga hanya mampu merangkak menaiki tangga beranda rumah besar. Tak ada seorangpun yang menolongnya, termasuk Tembesi atau Wiracula, maupun Rangga.
Dari balik tirai merah yang tergantung di belakang kursi besar tiba-tiba keluar beberapa sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang anak lelaki berusia hampir sebelas tahun.
"Singkil!" bisik Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau bunuh di desa nelayan…"
"Ya... aku ingat!" sahut Singkil Alit.
Anak lelaki tadi ternyata adalah Handaka. Putera nelayan tua Argakumbara yang dibunuh oleh Singkil Alit beberapa bulan silam. Di belakang Handaka melangkah terbungkuk-bungkuk seorang kakek berambut putih panjang awut-awutan, berpakaian compang-camping. Di tangan kanannya ada sebuah batok kelapa sedang di tangan kiri memegang tongkat kayu. Orang tua ini bukan lain adalah Pengemis sakti Batok Tongkat yang dulu telah menyelamatkan Handaka di teluk Cikandang sewaktu Singkil Alit dan komplotannya mengganas di desa ayahnya, merampok, menculik dan membunuh.
Di sebelah belakang si kakek menyuruh seorang pemuda berpakaian putih bertampang cakap. Dia adalah Indrajit, murid pewaris perguruan silat Elang putih.
Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat itu. Seperti dituturkan sebelumnya ketika Datuk Hijau, Gitasula, Sultan Maut, Piranti dan Indrajit menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu dan berkumpul di sebuah pondok di lembah Cilandak, karena rahasia penggempuran dibocorkan oleh Sirat Gambir maka orang-orang itu diserbu lebih dulu oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya.
Dalam perkelahian melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir menemui kematian dihantam bola besi berduri kalau saja tidak muncul seorang penolong aneh. Penolong yang tak dikenal ini kemudian melarikan pemuda itu tanpa dapat dikejar oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Tuan penolong si pemuda ternyata bukan lain adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah menyelamatkan Handaka.
Orang terakhir yang melangkah ke luar dari balik tirai masih itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian serba putih, berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Lagaknya cengar cengir enak-enak saja malah sambil bersiul-siul kecil cengengesan.
Wiracula, Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak ketika melihat tampang pemuda ini. Wiracula cepat membisiki,
"Singkil, pemuda paling belakang itu, bukankah dia yang sebelumnya menghadang kita di luar kota. Yang melemparkan bungkusan berisi kepala Puranda si kepala pengawal?"
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" desah Singkil Alit dengan bibir bergetar. Kedua tangannya terkepal.
Sebenarnya bagaimnanakah sampai orang-orang itu muncul di sana dan bagaimana terjadinya pesta aneh, pesta perkawinan Pinta Manik dengan orang hutan betina itu?
********************
Berdirinya Kota Hantu dan munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang menebar keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan perbudakan itu telah sampai ka telinga para tokoh silat di daerah timur. Mereka siap menyusun rencana penumpasan. Tapi tentunya dengan menghubungi para tokoh silat di barat.
Sebelum orang-orang di timur melangkah lebih jauh mereka mendengar bahwa sudah ada kelompok di barat yang akan mengadakan penyerbuan ke Kota Hantu, yakni kelompok tokoh silat golongan putih di bawah pimpinan Datuk Hijau dan Sultan Maut. Karena hal itu sudah ditangani, maka orang-orang di timur memutuskan untuk tidak bertindak lebih jauh dan melihat bagaimana perkembangan setelah para tokoh di Jawa Barat turun tangan.
Untuk menyirap dan mengamati suasana, orang-orang di timur sepakat menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa Barat. Seperti apa yang tarjadi ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat mengalami kegagalan jauh sebelum penyerbuan ke Kota Hantu dilakukan. Malah Datuk Hijau menemui kematian. Sultan Maut dan Piranti tertawan. Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi keadaan yang demikian gawat, Wiro tidak kembali ke timur guna memberikan laporan, tetapi mengambil keputusan untuk menyambangi seorang tokah silat golongan putih. Orang ini bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia menemui pula Handaka yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga Indrajit. Orang-orang itu mengadakan perundingan.
"Turut mauku," kata Pengemis Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu, sampai beberapa tahun lagi sampai muridku Handaka ini memiliki kepandaian yang yang bias diandalkan untuk ikut menghancurkan Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang... kejahatan tak boleh dibiarkan lama menunggu. Kita harus menghancurkan manusis-manusia iblis itu secepatnya…"
"Apakah kita bertiga sanggup melakukannya?" tanya Indrajit. Lalu buru-buru menyusuli ucapannya tadi dengan kalimat, "Maaf, saya tidak bermaksud memandang rendah kepandaianmu kek dan juga sahabat muda Wiro Sableng. Nama besar kalian cukup menjadi jaminan. Yang aku tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kalian. Ingat kematian Datuk Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri..."
Mendengar ucapan itu Pengemis Botak Tongkat tersenyum dan mendehem beberapa kali. "Terima kasih kau yang muda memperhatikan keselamatan kita semua," katanya. "Jika apa yang kudengar benar, menurut hematku Wiro Sableng sendiri akan mampu menghajar orang-orang itu. Hanya memang kali ini kita bukan saja menghadapi iblis-iblis ganas, tapi juga sekaligus licik. Di samping itu aku yang tua ini tak ingin melihat semua orang di Kota Hantu itu menemui kematian. Sebagian besar dari mereka jelas budak-budak yang tak berdaya. Dengan kata lain kita harus menyusun siasat…"
"Betul," kata Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana pendapatmu Wiro?" tanya si kakek.
Murid Sinto gendeng garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut apa mau kalian berdua. Hanya saja, kalau kalian setuju aku ada rencana. Kudengar iblis-iblis Kota Hantu itu masih berada di lembah Cilendak. Dalam waktu singkat akan segera kembali ke Kota Hantu. Nah sebelum mereka kembali kita harus sudah siap menyambut…"
Lalu Wiro Sableng menerangkan rencananya. Setelah mendengar rencana Wiro itu, Indrajit dan si kakek apalagi Handaka tak dapat menahan tawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Wiro, kudengar gurumu si Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata kau lebih edan! Rencanamu benar-benar sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk dilakukan. Kita berangkat sekarang juga!"
Si kakek lalu ambil batok kelapa dan tongkat kayunya. Sebelum meninggalkan tempat kediamannya, pengemis tua itu lebih dulu menangkap seekor orang utan betina, baru mereka menuju Kota Hantu dengan menunggang kuda.
Menerobos masuk ke kota Hantu bagi orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok Tongkat bukan hal yang sukar. Namun sesuai dengan rencana mereka harus memberitahu maksud kedatangan mereka pada seluruh penghuni Kota Hantu yang ada. Dan karena waktu hanya sedikit maka hal itu harus dilakukan cepat. Maka Kepala Pengawal Kota Hantu yang bernama Puranda segera dipanggil datang ke pintu gerbang utama.
Puranda seorang lelaki muda berbadan tegap, punya tenaga luar laksana badak dan tenaga dalam yang cukup dapat diandalkan. Dia mendapat latihan langsung dari Singkil Alit selama beberapa bulan sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan. Karena mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar Puranda menjadi pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya melebihi pimpinannya sendiri. Begitu berhadapan dengan para pendatang itu kepala pengawal ini segera saja menunjukkan sikap sombong den ganasnya.
"Kalian minta mati berani datang ke Kota Hantu. Membuat aku membuang waktu untuk menemui kalian!" bentak Puranda. Sesaat dia melirik pada orang hutan yang ada di atas kuda tunggangan Indrajit.
"Sobat," sahut Wiro. "Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian sudah selangit tembus. Kami tahu kau dan yang lain-lain ikut melakukan itu hanya karena terpaksa di bawah ancaman. Saat ini sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian diakhiri. Kami akan meringkus mereka, membunuh bila mereka melawan. Kami tidak minta bantuan banyak pada kalian yang ada di sini, hanya lakukan saja apa yang kami minta!"
"Kau pasti gila!" sentak Puranda. Dia berpaling pada dua pengawal pintu gerbang. Seraya bertindak masuk kembali dia berkata, "Bunuh pemuda gila itu. Semuanya!"
Maka dua pengawal bersenjata golok besar segera melompat ke hadapan Wiro. Puranda yang tidak memandang sebelah mata pada Wiro dan kawan-kawannya menjadi terkejut dan membalik sewaktu didengarnya dua jeritan keras dan pengawal yang tadi disuruhnya membunuh Wiro, terpelanting, terkapar di tanah dengan dada remuk. Darah mengalir dari mulut masing-masing-masing.
"Bagaimana...?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas manusia-manusia iblis itu atau minta ditumpas?!"
"Bangsat rendah! Kau mengandalkan kepandaian apa berani bicara seperti itu!" teriak Puranda marah. Dari atas punggung kudanya tubuhnya laksana tarbang. Tumitnya meluncur ke kening Wiro Sableng. Serangannya mengeleparkan angin keras.
"Manusia tolol! Diberi madu minta racun…" Pengemis Batok Tongkat merutuk.
Dia memberi isyarat pada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini segera rundukkan kepala dan ulurkan tangan. Begitu cepatnya gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu itu tidak percaya kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan kedua tangan lawan.
Puranda coba sentakkan kakinya untuk melepas cekalan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya dihantamkan ke depan untuk menggebuk kuda tunggangan Wiro. Namun semua yang dilakukan kepala pengawal itu gagal karena dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan kakinya. Di lain saat Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia berusaha jungkir balik menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi parah. Bukan saja tubuhnya terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun remuk di bagian siku.
Kepala pengawal ini cepat berdiri walau di wajahnya jelas kelihatan dia menanggung rasa sakit yang amat sangat. Saat itu Wiro sudah melompat turun dari kuda. Puranda langsung menyerbunya. Entah kapan kepala pengawal ini menggerakkan tangan tahu-tahu dia sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk segitiga. Enam pengawal pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula menghunus senjata masing-masing.
"Indrajit, kau uruslah mereka. Aku masih letih..." kata Pengemis Batok Tongkat.
Indrajit turun dari kudanya. "Aku tahu kalian berenam adalah pemuda baik-baik. Menjadi pengawal Kota Iblis karena dipaksa. Jika kalian mau bertobat dan bergabung dengan kami pasti akan mendapat pengampunan!"
Enam pengawal Kota Hantu sana menyeringai. Mereka sama sekali tidak tahu berhadapan siapa. Salah seorang diantara mereka maju menuding, "Kau boleh pidato panjang pendek. Yang kami tahu siapa berani datang ke Kota Hantu apalagi berani membuat kacau berarti harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit! Mereka sama saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!" kata Pengemis Batok Tongkat tak sabaran.
Keenam pengawal itu tiba-tiba memencar. Tiga menyerang Indrajit. Tiga lagi menyerbu ke arah kakek.
"Ee... benar-benar tak tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa turun dari kudanya pengemis itu sambut serangan tiga lawan dengan tongkat kayu. Dua pengawal yang kena gebuk langsung melintir kesakitan. Yang satu menjerit sambil tekap daun telinga sebelah kirinya yang robek ditusuk ujung tongkat. Satunya lagi menggeliat-geliat di tanah pegangi perut yang bolong. Pengawal ketiga terkapar di tanah. Keningnya nampak remuk oleh hantaman batok kelapa si kakek!
Tiga pengawal yang menyerbu Indrajit mengalami hal yang sama. Dengan tangan kosong pemuda ini menghantam mereka satu persatu hingga terkapar di tanah. Ada yang tulang iganya remuk, ada yang hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang ketiga tersandar di dinding pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan tangan kiri Indrajit meremukkan tulang lehernya.
Sementara itu perkelahian antara Puranda dan Wiro Sableng berjalan berat sebelah. Apapun kepandaian yang dimiliki kepala pengawal itu dia bukanlah tandingan murid Sinto Gendeng. Setelah menghajar sampai babak belur, Wiro hentikan serangannya dan berkata,
"Nah, kau yang minta racun kau sendiri yang merasakan pahitnya. Sekarang apa kau masih tak mau bergabung dengan kami?!"
Kepala pengawal itu meludah. Ludahnya bercampur darah. Dengan golok yang masih tergenggam di tangan kanannya dia kembali menyerang Wiro.
"Ah, kau sengaja mencari nasib jelek kawan," kata Pendekar 212. Lengan kanannya memukul ke atas.
"Kraakkk...!" Puranda terpekik. Tulang tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat disambut oleh Wiro. Begitu hulu golok tercekal, Wiro babatkan ke leher Puranda. Darah mancur!
"Sahabat Wiro! Aku tak suka dengan caramu itu. Kita sama saja buasnya dengan iblis-iblis Kota Hantu ini!" kata Indrajit ketika dia melihat Wiro menjambak rambut Puranda dan menenteng potongan kepala orang itu.
Wiro melompat ke atas kuda. "Aku juga tak suka hal ini Indrajit," sahutnya. "Tapi sesekali kita harus melakukan hal seperti ini untuk membuka mata mereka. Kita tak punya waktu banyak. Kita tidak mau urusan jadi bertele-tele dan menghadapi ratusan orang dalam kota ini. Jika mereka melihat aku membawa kepala pimpinan pengawal, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerang kita...!"
Pengemis Batok Tongkat tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata, "Anak muda, ini satu pengalaman baru bagimu. Terkadang hidup di dunia ini tak bisa dihadapi dengan kejujuran dan welas asih melulu. Pada saatnya kau akan mengerti apa yang dikatakan sahabatmu itu. Kita tak punya waktu lama. Mari masuk ke dalam kota!"
Kota Hantu gempar ketika orang-orang itu menerobos masuk. Terlebih menyaksikan kepala Puranda yang ditenteng Wiro Sableng. Puluhan pengawal segera mengurung, tapi tak ada yang berani bergerak.
Wiro angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan berkata, "Siapapun kalian semua di sini tak lebih dari budak yang ditindas oleh enam iblis Kota Hantu. Kami datang untuk menghancurkan manusia-manusia iblis itu. Bukan untuk memusuhi kalian. Kami ingin kalian bergabung dengan kami dan bukan seperti kepala pengawal ini yang minta mati secara tolol! Hari ini adalah hari kehancuran Kota Hantu dan merupakan hari kebebasan kalian!"
Wiro diam sesaat menunggu reaksi. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Maka dia meneruskan. "Aku dan kawan-kawan tahu, lima dari pimpinan kalian tidak ada di kota. Jika kita mau sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu lekas tunjukkan di mana pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika kalian menipu kami ini jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti kami…!" tiba-tiba ada yang berkata.
Wiro memandang pada orang itu dan anggukkan kepala. Mereka menuju ke rumah Pinta Manik yang saat itu sudah diberitahu oleh beberapa pengawalnya apa yang telah terjadi. Karenanya ketika Wiro den kawan-kawan datang, dia sudah menyambut dengan rantai hitam berganduian bola besi berduri di tangan kanan. Lima belas pengawal yang setia padanya tegak mengelilinginya. Pinta Manik pelintir kumis besarnya, memandang garang pada orang-orang itu lalu pusatkan perhatian pada Wiro Sableng.
"Jadi ini manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu. Membunuh pengawal-pengawal, memancung kepala pengawal! Bagus! Pengawal! Tangkap kakek butut dan pemuda serta bocah itu. Pembunuh Puranda ini aku sendiri yang akan melumatnya!"
Pinta Manik tutup ucapannya dengan menghantamkan rantai hitamnya. Wiro kaget sekali ketika rasakan sambaran angin serta cahaya hitam yang keluar dari senjata itu. Jelas pemimpin Kota Hantu ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi. Dan jika mereka berjumlah enam orang tak heran kalau mereka bisa menguasai dunia persilatan di Jawa Bara melakukan keganasan seenak perut mereka!
Lima belas pengawal kelas satu menyerbu ke arah Pengemis Batok Tongkat dan Indrajit. Perkelahian seru terjadi. Tapi hanya enam jurus. Memasuki jurus ke tujuh, tak satu pun di antara para pengawal pilihan ini yang masih tegak berdiri. Semua orang yang memang ingin melepaskan diri dari kebiadaban di Kota Hantu itu semakin terbuka mata mereka.
Mereka tahu kini orang-orang yang datang itu adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Hari itu rupanya memang menjadi hari kebebasan mereka. Maka mereka mulai bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak agar rumah-rumah besar milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok Tongkat cepat berseru,
"Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk kami!"
Mendengar itu tak ada satu orang pun yang bertindak lebih jauh. Perhatian semua orang kini terpusat pada Wiro Sableng yang berkelahi menghadapi Pinta Manik masih dengan menenteng kepala Puranda!
Pinta Manik sendiri diam-diam merasa terkejut ketika melihat lima belas pengawalnya babak belur di hantam dua lawan. Rasa was-was semakin mencengkam dirinya ketika mengetahui pula bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Serbuan rantai hitam dan bola besi berdurinya yang laksana air hujan tak satupun dapat menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya lawan jelas mempermainkannya, menyerang dengan menyorongkan kepala Puranda ke mukanya hingga pakaian dan wajahnya jadi kotor bercelemong darah!
"Wiro," tiba-tiba Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya banyak waktu. Lekas kau selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat itu perkelahian antara Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung delapan belas jurus. Bola besi berduri mencuit-cuit pulang balik ke arah kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini memperlambat gerakan silatnya. Menyangka lawan mulai kehabisan nafas dan tenaga, Pinta Manik lipat gandakan daya serangannya. Wiro yang tadi beberapa kali sempat menyemongi wajah dan pakaian lawan dengan darah di kepala Puranda tidak menyangka kalau cukup sulit untuk menotok Pinta Manik. Sesuai rencana dia tidak boleh membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka terpaksa dia mempercepat gerakannya kembali.
"Aku harus merampas rantai hitam itu. Dengan mengandalkan satu tangan sulit melakukannya," membatin Wiro. Dia menimbang apakah akan mencampakkan dulu kepala Puranda atau tetap menghadapi senjata hebat lawan dengan satu tangan tapi mengeluarkan senjata mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan untuk mengeluarkan senjata itu. Sinar putih berkilauan ketika Kapak Maut Naga Geni 212 keluar.
Sesaat membuat Pinta Manik terkesiap. Seumur hidup belum pernah dia melihat Senjata anah dan memancarkan sinar angker seperti itu. Maka dia putar rantai hitamnya lebih hebat. Wiro angkat tangannya yang memegang kapak Sinar putih perak berkiblat.
"Tranggg...!" Bunga api memercik. Rantai hitam di tangan Pinta Manik putus. Bola besi berduri yang menggandul di ujung rantai terpental liar, menghantam tiga orang di samping kiri. Ketiganya mati dengan tubuh dan kepala hancur.
Melihat senjata andalannya musnah pucatlah Pinta Manik. Dia melompat mundur menjauhi Wiro. Tapi salah lompat. Dari belakang, ujung tongkat Pengemis Batok Tongkat menusuk kuduknya. Kontan tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek tertawa mengekeh. Dia memandang berkeliling.
"Kita akan mengadakan pesta malam ini!" katanya. "Pesta perkawinan manusia iblis ini...!"
Tentu saja semua orang heran mendengar kata-katanya itu. Dan jadi tambah heran ketika si kakek menyambung, "Dia akan kita kawinkan dengan orang hutan itu! Kalian lihat saja nanti. Seret iblis ini. Cekok dia dengan tuak sampai mabuk. Kalau sudah mabuk beri tahu aku agar kulepaskan totokannya!"
Beberapa orang segera menyeret Pinta Manik ke dalam rumah. Pengemis Batok Tongkat mendekati Wiro. "Kau boleh pergi sekarang. Bungkus potongan kepala itu dengan kertas warna warni. Kedatangan lima iblis lainnya perlu kita sambut dengan meriah…!"
"Bagaimana kalau mereka muncul dari pintu gerbang selatan hingga aku tak menemui mereka di tengah jalan?" tanya Wiro.
"Aku yakin mereka memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang terpendek dari lembah Cilendak. Aku juga yakin kelimanya tak akan muncul secara utuh."
Wiro anggukkan kepala. Dengan membawa kepala Puranda dia tingalkan tempat itu.
********************
SEPULUH
"Sepuluh tamu-tamu penting sudah datang kenapa tidak segera dihidangkan sesajian?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. Lalu dia menjura mempersilahkan Singkil Alit, Rangga dan Wiracula duduk di tikar permadani. Saat itu Singkil Alit sudah tak dapat lagi menahan amarahnya dan siap menerjang Wiro. Begitu juga kedua kwannya.
"Eeh! Itu ada tamu yang terkapar di beranda kenapa tidak ditolong supaya masuk kemari? Belum minum tuak kenapa sudah mabuk?" ujar Wiro sambil menunjuk pada Rah Tongga yang terbujur di beranda rumah. Seperti diketahui dia mengalami luka parah bagian bawah tubuhnya akibat tendangan Sultan Maut.
"Hai itu ada satu lagi tamu penting berpakaian serba hitam. Kenapa masih duduk di atas kuda? Dapat rejeki besar seorang gadis hingga tak mau turun melihat pengantin bersanding...!"
Wiro menunjuk ke arah Tembesi yang masih berada di atas punggung kuda sambil pegangi tubuh Piranti. Setiap kata-kata yang diucapkan Wiro Sableng diikuti Pengemis Batok Tongkat dengan gelak tawa mengekeh.
Dari dalam tiga orang gadis diiringi tiga pemuda keluar membawakan piring-piring dan gelas besar. Piring-piring itu bukannya berisi makanan melainkan diisi dengan batu, pecahan kaca, tanah dan pasir. Sedang gelas bukan diisi dengan tuak melainkan dipenuhi dengan air got!
"Mari silahkan duduk, silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata Wiro. "Atau mungkin para tamu terhormat hendak bersalaman dengan kedua mempelai lebih dulu...?!"
Batas kesabaran Singkil Alit dan kawan-kawannya habis sudah. Dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu keluar suara seperti harimau menggembor. Tubuhnya melesat melewati Pinta Manik dan orang utan yang duduk bersanding, langsung menerkam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiracula dan Rangga tidak tinggal diam. Mereka nenyerbu ke arah Pengemis Botak Tongkat dan Indrajit.
Sebelum menyembul serangan lawan si kakek sempat berbisik pada Handaka. "Kau lihat orang berkuda yang memakai topi seperti sorban?" Maksud si kakek adalah Sultan Maut. Handaka mengangguk. "Kedua tangannya terikat tali. Tali itu tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh Singkil Alit sendiri. Tapi ada satu cara untuk membukanya. Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu akan mudah melepaskan ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi aku harus membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!" kata Handaka.
"Jangan kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab Pengemis Batok Tongkat.
Mendengar ini Handaka yang baru beberapa bulan mendapatkan pelajaran dasar ilmu silat dari si kakek segera menyelinap mendekati Sultan Maut.
Sementara itu Tembesi yang masih berada di punggung kudanya bersama Piranti sesaat tampak bimbang. Apakah dia akan turun membantu pimpinan dan kawan-kawannya. Atau lebih baik bersenang-senang dengan gadis yang kini berada dalam keadaan tertotok itu?
Sampai di hadapan Sultan Maut, Handaka tangkap tangan orang yang terikat tali lalu meludahinya tiga kali. Kalau saja Sultan Maut tadi tidak melihat gerak-gerik Handaka yang berada bersama Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi anak yang berani meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya sedikit. Aneh, tali yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini terlepas mudah sekali.
"Anak baik! Terima kasih atas pertolonganmu. Siapa namamu?!" tanya Sultan Maut sambii mengusap kepala si bocah.
"Aku Haerdaka. Murid Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun..." jawab Handaka bangga.
"Bagus... bagus! Kau memang pantas jadi murid pengemis sakti itu!"
Saat itu Tembesi memutuskan bukan saja lebih baik bersenang-senang dengan Piranti, tetapi sekaligus selamatkan diri dari kelompok orang-orang yang diyakininya adalah jago-jago rimba persilatan berkepandaian luar biasa. Keadaan yang seperti itu membuat dia tidak tenang. Lebih baik cari selamat. Tapi dia harus kembali ke rumahnya dulu. Dia harus membawa beberapa gundik yang disenanginya, juga harta kekayaannya, baru diam-diam menyelinap meninggalkan kota.
Namun baru saja dia hendak bergerak, di hadapannya telah menghadang Sultan Maut. "Turunkan gadis itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi menyeringai. "Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau kira mampu bertahan hidup?! Kau harus melepas nyawa di Kota Hantu, Sultan!"
Habis berkata begitu Tembesi segera keluarkan rantai hitamnya, langsung menyerang Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu kehebatan senjata lawan cepat melompat dari kuda, menyambar sebatang tombak yang dipegang seorang pengawal di tepi beranda. Dengan tombak ini dia menghadapi gempuran dahsyat rantai hitam berbandul bola berduri lawan.
Sultan keluarkan seluruh kepandaiannya, bergerak cepat dan selalu berusaha menghindarkan bentrokan senjata. Dia tahu pasti tombak besi yang dipegangnya tak akan mampu bertahan kalau sampai tersambar senjata lawan. Di samping itu setiap balas menyerang dia harus berhati-hati karena kawatir tusukan atau sambaran tombaknya akan mengenai tubuh Piranti yang lintang di punggung kuda.
"Aku harus paksa bangsat ini turun dari kuda!" kata Sultan Maut dalam hati. Maka tombaknya dipakai untuk menyerang bagian pinggang ke bawah sedang tangannya yang lain lancarkan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke arah dada dan kepala Tembesi.
Lambat laun merasakan gerakannya terbatas jika terus berada di atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun. Tapi dia berlaku cerdik. Sambil turun dia menarik tubuh Piranti dan memanggulnya bahu kiri. Adanya tubuh si gadis di atas bahu lawan membuat Sultan Maut tidak leluasa melancarkan serangan-serangan mautnya. Sebaliknya Tembesi mampu melancarkan serangan dari berbagai arah dan cara.
Jika Sultan Maut menyongsong serangannya dengan balas menyerang maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan hingga mau tak mau lawan tarik kembali serangannya. Lambat laun Sultan Maut jadi terdesak, terlebih ketika tombak di tangan kanannya patah tiga dihantam gandulan besi berduri!
Sultan Maut merutuk panjang pendek dalam hati. Dia seperti kehabisan akal bagaimana harus menghadapi lawan yang licik serta memiliki kepandaian tinggi dan memegang senjata amat berbahaya itu.
Kita tinggalkan Sultan Maut yang berada dalam keadaan serba salah menghadapi Tembesi. Kita ikuti perkelahian antara Pengemis Batok Tongkat melawan Wiracula. Senjata rantai hitam dengan gandulan besi berduri di ujungnya jelas kelihatan lebih menggebu-gebu dari pada tongkat kayu di tangan kakek pengemis. Orang tua ini sendiri tahu akan hal itu. Sebelumnya ketika menyelamatkan Indrajit, ujung tongkatnya pecah remuk sewaktu beradu dengan bola besi berduri itu. Karenanya dia selalu menghindari bentrokan tongkat kayunya dengan senjata lawan.
Sekalipun senjata Wiracula kelihatan hebat, mengeluarkan suara menderu-deru dan memancarkan bayangan sinar hitam yang angker namun dia tidak dapat menandingi kegesitan tubuh kurus si kakek. Berkali-kali manusia iblis ini terperanjat karena tangan atau bagian tubuhnya yang lain hampir dimakan ujung tongkat atau digebuk badan tongkat. Belum lagi batok di tangan kanan si kakek yang mengemplang ganas ke arah batok kepala atau menggebuk deras ke bagian badan. Terkadang batok itu seperti diikat dengan tali atau benang yang tak kelihatan, menyerang laksana terbang, diulur dan ditarik!
Wiracula keluarkan keringat dingin ketika di jurus ke sembilan ujung tongkat di tangan kiri lawan mendadak berubah seperti puluhan banyaknya, melenting melebar seperti kipas dan mengeluarkan suara bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian dada. Wiracula melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa mengekeh. Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar bagian kepala lawan.
"Manusia iblis!" kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu yang robek akan kuganti dengan baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di neraka! He-he-he!"
Mendidih amarah Wiracula mendengar ucapan itu. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan putar senjatanya lebih sebat. Besi hitam dan gandulan bola duri itu berkiblat lebih sebat, lebih ganas, suaranya berdesing tambah angker. Seluruh tubuh Pengemis Batok Tongkat terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan berkibar-kibar tertiup sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya yang putih panjang.
"Trakkk...!" Tongkat kayu dan gandulan besi beradu keras.
"Tongkatku!" seru si kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas dari tangan dan patah dua mental di udara. Dia melompat seperti hendak berusaha menangkap patahan tongkatnya itu. Inilah kesempatan baik bagi Wiracula. Rantai hitam dan gandulan besi berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke pinggang lawan.
"Putus pinggangmu tua bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia iblis ini tidak tahu kalau dia sudah termakan tipuan lawan. Pengemis Batok Tongkat Tongkat membiarkan tongkat kayunya digebuk patah dan pura-pura kalang kabut hendak menangkap benda itu di udara. Selagi senjata lawan menghantam ke arah pinggang tubuh kurus si kakek tampak melenting dan jungkir balik di udara.
Sesaat kemudian terjadilah pemandangan yang membuat Handaka ternganga dan orang banyak yang menyaksikan ikut berdecak kagum. Sepasang betis Pengemis Batok Tongkat tahu-tahu sudah menjepit batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba menggebuk dengan senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan...
"Kraakkk...!"
Ketika si kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya tulang leher Wiracula. Orang ini mengeluarkan suara melenguh tercekik. Matanya mendelik lidahnya mencelet! Dari mulutnya keluar darah, juga dari hidungnya. Senjata rantai hitam lepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Tubuh si kakek kembali melenting. Begitu dia berdiri di atas kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula roboh terkapar di lantai.
"Mampus! Iblis keparat itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan! Mengapa kita tidak membunuh yang satu itu? Yang terkapar di kaki beranda!" seorang lainnya berseru.
Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga, salah satu dari manusia iblis itu, yang cidera berat di bagian perutnya dan berada dalam keadaan antara sadar dan pingsan. Tiba-tiba saja banyak orang mencabut senjata yang mereka bawa lalu naik ke beranda rumah besar. Pengemis Batok Tongkat hendak mencegah.
"Ah, peduli amat!" dengusnya kemudian. "Itu lebih baik baginya!"
Maka puluhan macam senjata menderu menghantami tubuh Rah Tongga. Orang-orang Kota Hantu yang selama ini dijadikan budak di bawah ancaman kematian, kini melepaskan dendam kesumat mereka. Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak berbentuk tubuh manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di lantai beranda!
Pengemis Batok Tongkat berdiri sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Di sebelah kirinya dilihatnya Indrajit bertempur melawan Rangga. Pemuda ini memegang sebilah golok yang didapatnya dari seorang pengawal. Golok besar itu bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola berduri di tangan Rangga. Hanya kegesitan pemuda itulah yang banyak menolongnya menghadapi lawan yang tengguh itu. Namun di mata si kakek dalam waktu beberapa jurus di muka Indrajit akan menjadi repot, terdesak dan terancam keselamatannya.
Ketika dia memandang ke jurusan lain, Pengemis Batok Tongkat dapatkan Sultan Maut yang bertempur melawan Tembesi berada dalam keadaan terdesak hebat. Bukan saja karena dia tidak memegang senjata apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu melancarkan serangan balasan karena kawatir akan mengenai tubuh cucunya yakni Piranti yang ada di atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis licik!" gertak Pengemis Batok Tongkat lalu melompat turun ke halaman. Namun saat itu setelah menggebrak dengan satu serangan dahsyat hingga Sultan Maut terpaksa melompat mundur, Tembesi cepat melompat ke punggung kudanya dan membedal binatang itu, melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan! Mari kita kejar iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok Tongkat seraya menarik bahu Sultan Maut. Keduanya sama-sama melompat ke atas dua ekor kuda yang ada di dekat situ dan mengejar.
Jika saja Tembesi langsung lari meninggalkan Kota Hantu melewati jalan-jalan gelap dan berbelok-belok, basar kemungkinan dia tak akan terkejar oleh Sultan Maut den Pengemis Batok Tongkat. Namun saat dia lari menuju rumah besarnya di sebelah selatan kota. Rencananya adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya, memboyong beberapa perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan cantik-caantik, baru melarikan diri sambil membawa Piranti. Malah dalam benaknya saat itu sudah ada niat untuk meniduri gadis itu dulu di rumah besarnya. Ketamakan dan kebejatannya inilah yang ternyata mendatangkan malapetaka baginya.
Sepanjang jalan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat mendapat petunjuk dari penduduk ke arah mana larinya Tembesi. Mereka menemukan kuda tunggangan manusia iblis itu di hadapan sebuah rumah besar yang bagian depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat itu pasti ada di dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata Sultan Maut yang sudah tak sabaran karena mengawatirkan keselamatan dan kehormatan cucunya.
"Jangan jadi orang tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil pegang bahu Sultan Maut. "Di rumah sebesar itu kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk lewat pintu!"
"Apa usulmu?"
"Naik ke atas atap dan mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si pengemis sakti.
Lalu tanpa bicara lebih banyak dia segera melompat ke atas atap bangunan. Sultan Maut menyusul. Keduanya yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, mengendap-endap di atas atap, mengintai setiap sudut bagian dalam rumah besar dengan mudah. Mereka sengaja mengintai bagian rumah yang kelihatan terang setelah nyala lampu karena di situ pasti ada orangnya. Beberapa kali setelah melakukan pengintaian tiba-tiba terdengar kutuk serapah Sultan Maut.
"Iblis dajal terkutuk!"
Pangemis Batok Tongkat cepat mengintai pula. Di bawah sana, dalam sebuah kamar yang besar dan bagus, diterangi oleh dua lampu minyak besar, kelihatan tubuh Piranti tergolek di atas sebuah ranjang. Di sampingnya setengah berjongkok tampak Tembesi tengah membukai pakaian gadis yang masih berada dalam keadaan tertotok itu.
"Braakkk...!"
Sultan Maut hantamkan tumit kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat dari kayu itu hancur berantakan. Sebuah lobang menganga. Sultan Maut cepat melompat turun, langsung masuk ke dalam kamar. Pengemis tua menyusul.
"Keparat! Jadi kau berani menyusul kemari! Benar-benar minta mampus!" Tembesi yang hanya mengenakan celana dalam sekilas melirik pada Pengemis Batok Tongkat. Dia tadi melihat bahwa kakek inilah yang telah membunuh Rah Tongga. "Kalian berdua mau apa?" bentaknya kemudian.
Sultan Maut mendengus. Pengemis Batok Tongkat mengekeh. "Orang yang mau mampus memang suka bertanya aneh-aneh!" kata kakek pengemis sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Kami datang minta nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi segera sambar rantai hitam yang tergeletak di bagian kepala tempat tidur. Dia sudah menjajal kehebatan Sultan Maut dan merasa tidak takut terhadap orang ini. Tapi pengemis lihay yang ada bersama Sultan Maut benar-benar membuat nyalinya berdetak. Berkelahi dua lawan satu mungkin dia masih sanggup membunuh Sultan Maut. Mungkin. Tapi dirinya sendiripun tak bakal lolos dari maut. Maka otak licinnyapun mulai bekerja. Dia berkata,
"Dengar, jika kau mau cucunya, ambillah. Dirinya belum kusentuh! Sudah itu cepat pergi dari sini sebelum senjataku ini menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok Tongkat kembali tertawa mengekeh. "Gadis itu memang harus kami selamatkan tapi nyawamu pun harus kau serahkan!"
"Bangsat tua ini tidak main-main…" membatin Tembesi. Maka dia cepat berkata. "Cucumu tak ku apa-apakan. Jika kalian segera pergi, ada satu peti perhiasan dan uang yang boleh kalian bawa serta dan bagi dua!"
"Nyawa anjingmu yang akan kami bagi dua manusia iblis!" teriak Sultan Maut. Lalu dia menubruk ke depan. Tangannya kiri kanan menghantam. Dua pukulannya itu mengeluarkan angin deras karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tembesi menangkis dengan mengiblatkan rantai hitamnya. Sinar hitam berkelebat. Gandulan berduri membabat ganas, Namun Tembesi harus cepat menghindar dan tarik pulang serangannya karena dari samping saat itu Pengemis Batok Tongkat merangsek dengan kemplangkan batok kelapanya ke arah kepala!
Hanya dua jurus Tembesi mampu merangsek kedua lawannya dengan serangan-serangan kilat dan ganas. Setelah itu Sultan Maut dan kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan! Kau selamatkan dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar aku yang menghadapi manusia iblis ini!" berkata Pengemis Batok Tongkat.
Sultan Maut segera lakukan apa yang dikatakan si kakek. Piranti ditariknya ke sudut kamar. Di sini dia melepaskan totokan di tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya. Begitu sadar Piranti dengan cepat segera mengetahui apa yang terjadi dalam kamar besar itu. Maka dengan tangan koosng diapun menyerbu Tembesi. Menghadapi tiga lawan seperti itu tak ada lagi harapan bagi Tembesi. Menyadari hal ini dia masih coba membujuk dengan berseru,
"Di bawah tempat tidur ini ada lima peti berisi perhiasan dan uang perak, juga uang emas. Kalian boleh ambil asalkan aku bisa bebas pergi dari sini!"
"Siapa butuh benda itu!" teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh membawanya sendiri nanti!"
"Keparat!" maki Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku juga punya beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-cantik. Kalian boleh ambil!"
Sultan Maut mendengus marah. Pengemis tua tertawa mengekeh sedang Piranti tampak gemas sekali. Ketiga orang itu kurung Tembesi lebih rapat. Serangan mereka juga tambah deras. Membuat iblis Kota Hantu itu semakin ciut nyalinya. Ilmu silatnya, pertahanan serta serangannya menjadi kacau. Dia mengumbar tenaga luar dan tenaga dalam secara berlebihan sehingga dalam waktu satu jurus di muka gebukan pertama mulai menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini tersorong ke depan begitu jotosan Piranti menghantam tulang punggungnya. Karena terlalu memperhatikan serangan-serangan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat Tembesi melengahkan gerakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung remuk. Di saat yang sama pengemis lihay itu berhasil menangkap gandulan bola berduri senjata Tombak dengan batok kelapanya. Manusia iblis ini merasa tangannya bergetar ketika dia berusaha melepaskan senjatanya. Tenaga dalam lawan lebih tinggi dari yang dimilikinya!
"Gila!" maki Tembesi.
Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan membetot dengan kakek Pengemis Batok Tongkat tertawa mengekeh. Aliran tenaga dalamnya tiba-tiba diputuskan. Bola besi berduri, lepas dari cengkeraman batok dan tanpa dapat diperhitungkan atau dihindari lagi oleh Tembesi, besi duri itu menghantam mukanya sendiri!
Manusia iblis ini menjerit setinggi langit dan roboh di samping tempat tidur. Selagi meregang nyawa dengan tangan dan kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan Piranti melompat, kaki keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi. Tak ampun lagi nyawa Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka hancur, perut jebol dan dada hancur.
"Kita kembali ke tempat pesta perkawinan gila itu!" kata Pengemis Batok Tongkat. Ketiga orang itu segera tinggalkan tempat tersebut.
SEBELAS
Ketika Pengemis Batok Tongkat, Piranti, dan Sultan Maut sampai di rumah besar milik Pinta Manik yang sedang jadi 'pengantin' pertempuran di sana berlangsung hebat. Baik Singkil Alit maupun Rangga terdesak hebat.
Kematian Wiracula dan Rah Tongga sangat mempengaruhi semangat dua manusia iblis yang sedang bertempur. Yaitu Singkil Alit melawan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Rangga menghadapi Indrajit. Singkil Alit sudah memaklumi tak ada kemungkinan baginya untuk mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat itu pemuda lawannya itu sudah mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang terkenal angker dan ditakuti dalam rimba persilatan!
Sebaliknya Rangga walaupun yakin dia tidak bakal dapat dikalahkan dengan mudah oleh Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih dulu. Berulang kali dia memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera melarikan diri saja. Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat isyarat kawannya itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu guna dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada dalam keadaan mabuk dan duduk di kursi 'pengantin' di samping orang hutan betina yang tak henti-hentinya menguik, jelas tak dapat diharapkan pertolongannya.
Rantai hitam di tangan Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam Kapak Naga Geni 212! Pucatlah para pimpinan manusia iblis itu. Tiba-tiba dia berseru,
"Tunggu!!"
"Eh, kau mau baca doa minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro mengejek.
"Dengar, aku Singkil Alit alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi tak ada persoalan yang tak bidsa diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro! Bangsat itu licik! Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis Batok Tongkat memberi ingat.
"Tahan!" seru Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat ini. Tapi jika mau berunding itu akan lebih menguntungkan bagi kalian!"
"Apa yang hendak kau rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara bagaimana manusia iblis!" ujar Wiro sambil melintangkan Kapak Napa Geni 212 di depan dada.
"Dengar. Biarkan aku dan Rangga meninggalkan tempat ini. Semua harta kekayaanku kuberikan pada kalian. Ini kunci kamar rahasiaku. Semua harta itu tersimpan di sana! Ambillah!"
Habis berkata begitu Singkil Alit lemparkan sebuah anak kunci ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Di saat itulah anak kunci yang dilemparkan mengeluarkan suara seperti meletus dan asap hitam menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka! Aku sudah memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro juga jadi jengkel melihat kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan kapak saktinya beberapa kali. Sinar perak menyilaukan berkelebat. Asap hitam lenyap. Tapi Singkil Alit dan Rangga tak ada lagi di tempat itu.
Karena tak ada seorangpun yang melihat ke mana kedua manusia iblis itu melarikan diri maka Wiro berseru, "Dua keparat itu tak mungkin bisa kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat ini pasti ada jalan rahasia! Siapa yang tahu?!"
Seorang pengawal maju ke hadapan Wiro dan berkata, "Saya tahu, memang ada jalan rahasia. Tapi tidak tahu di mana pintu masuknya, hanya tahu jalan keluarnya."
"Bagus! Tunjukkan padaku!" kata Wiro pula.
"Di luar pagar tinggi sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara..." menerangkan si pengawal.
"Bagus! Antarkan aku ke sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu. Ketika si pengawal hendak menaiki kuda Wiro memegang bahunya. "Tak ada waktu kalau kita harus berkuda lewat pintu gerbang utara. Dua iblis durjana itu keburu kabur. Kita harus menuju langsung ke pagar sebelah timur"
"Tapi di situ tak ada pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu tinggi!" kata pengawal.
"Naik saja ke kudamu, antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau sebutkan itu!"
Ketika kedua orang itu sudah berada di atas punggung kuda, Pengemis Batok Tongkat memegang lengan Handaka dan melompat pula ke atas seekor kuda. Sebelum menyusul Wiro dan pengawal dia berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Sultan, kau dan cucumu serta Indrajit tetap berjaga-jaga di sini. Bukan mustahil jika dicegat di jalan keluar dua iblis itu akan kembali ke mari!"
Dari kerumunan orang banyak terdengar seruan. "Bagaimana dengan iblis yang satu itu? Yang kalian kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang satu itu kalian punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak ikut campur!" sahut pengemis tua.
"Iblis itulah yang telah membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba Indrajit berkata keras. "Dia pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat Elang Putih ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajiti" seru Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau tak bisa membunuh orang yang berada dalam keadaan mabuk dan tak berdaya!"
Indrajit menyeringai. "Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan tokoh silat tak berdosa ketika mereka juga berada dalam keadaan tak berdaya. Turut penjelasan yang aku terima Pinta Manik-lah iblisnya yang membunuh guruku selagi mabuk! Dia pantas mati dengan cara yang sama!" sahut pemuda itu.
Dia melangkah ke hadapan Pinta Manik yang duduk di kursi pengantin dalam keadaan meracau mabok. Tanpa ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke perut Pinta Manik. Satu lagi dari enam iblis Kota Hantu menemui ajalnya.
********************
Pengawal itu berhenti di suatu tempat di hadapan pagar batangan kayu jati yang terletak di timur kota. Dia berpaling pada Wiro Sableng seraya menduga-duga apa yang hendak dilakukan pendekar itu lalu berkata,
"Lobang jalan keluar rahasia itu terletak di jurusan pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam rimba. Cukup sulit mencarinya di malam gelap begini!"
"Di sebelah sana banyak obor bergantungan. Ambil barang dua buah dan bawa kemari!" kata Wiro.
Lalu sebelum pengawal itu bergerak Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah pagar pohon jati. Sinar putih menyilaukan yang menimbulkan hawa panas berkiblat. Pagar kayu jati di seberang sana hancur berkeping-keping dan roboh!
Si pengawal ternganga menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget di samping gurunya. Sedang Pengemis Batok Tongkat sendiri mendecakkan lidah seraya membatin, "Pukulan Sinar Matahari! Sudah lama mendengar baru kali ini menyaksikan sendiri. Pemuda sableng ini benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!"
Begitu pengawal datang membawa dua buah obor, orang-orang itu segera meninggalkan kota, menerobos melewati pagar yang bobol. Kira-kira sepeminuman memasuki rimba belantara di timur kota, si pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat bagian kanan pohon itu. Di balik belukar dan rerumpunan alang-alang itu ada sebuah lubang batu. Itulah jalan ke luar rahasia...!"
Wiro maju mendekati pohon timbul, menyorotkan obor di sebelah depan. Memang ada sebuah batu besar di situ dan pada batu itu terdapat sebuah lobang yang cukup tinggi, sepembungkukan manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada tanda-tanda alang-alang ataupun semak belukar di sekitar lobang itu telah disibak atau dipijak orang sebelumnya.
"Mereka belum keluar dari sini. Mungkin sebentar lagi," katanya memberi tahu pada yang lain. "Padamkan obor!"
Wiro meniup padam obor yang dibawanya. Hal yang sama dilakukan juga oleh pengawal pengantar. Keadaan dalam rimba itu jadi gelap bukan kepalang. Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa. Mereka berlindung di balik semak belukar di seberang pohon timbul. Tak lama kemudian Wiro berbisik,
"Mereka sudah mendekati mulut lobang…"
Pengemis Batok Tongkat mengangguk. Telinganya yang tajam juga memang telah mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Kemudian kelihatanlah dua buah tangan menyambak belukar dan alang-alang. Dua sosok tubuh berpakaian serba hitam keluar dari dalam lobang. Yang satu berkata,
"Keparat! Selamat juga kita sampai di sini akhirnya…" Yang berkata adalah Singkil Alit.
"Kita selamat tapi bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?" terdengar suara Rangga.
"Saat ini kurasa masih hidup sudah untung. Lain kali kita buat rencana baru. Kalau penyerbu-penyerbu keparat itu sudah pergi kurasa kita bisa kembali ke Kota Hantu untuk mengambil harta itu…"
Singkil Alit putuskan kata-katanya. Matanya melihat ada sesosok bayangan bergerak dalam gelap. "Siapa itu?" bentaknya seraya siap melepaskan pukulan tangan kosong sementara Rangga bersiap dengan rantai hitam gandulan bola besi berdurinya. Sosok tubuh itu kelihatan lebih jelas.
"Hai!" seru Rangga. "Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di Kota Hantu?!"
"Astaga, memang dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka. Kontan suaranya bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga sendiri berubah ketakutan wajahnya.
"Bagaimana bocah keparat ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami yang membawanya ke mari!" satu suara menjawab.
Berpaling ke kanan Singkil Alit dan Rangga lihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak beberapa langkah di seberang sana. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan mencekal Kapak Naga Geni 212. Di sebelah kanannya tegak kakek berambut putih berpakaian rombeng yang bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Lalu agak jauh,dari situ kelihatan berdiri seorang bekas pengawal Kota Hantu. Kedua Iblis ini segera maklum apa yang terjadi Sang pengawal telah membocorkan rahasia, memberi tahu lobang keluar di dalam rimba itu!
"Setan alas! Kau yang berkhianat!" teriak Singkil Alit marah lalu menerkam pengawal penunjuk jalan.
Tapi tubuhnya serta merta terdorong ke samping begitu kakek pengemis menghantam dengan pukulan tangan kosong. Cepat kepala komplotan manusia-manusia iblis ini sambar rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu si kakek dengan senjata itu.
"Sobat tua, biar aku yang menghadapi biang iblis ini. Kau layani yang satu itu. Aku tidak lupa pesanmu agar menyisakan sebagian nyawa keparat ini untuk muridmu!"
Mendengar ucapan Wiro itu Pengemis Batok Tongkat segera melompat ke arah Rangga, sedang Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil Alit!
Gandulan bola besi berduri lewat di atas kepala Wiro Sableng. Sebaliknya sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 juga luput setengah jengkal dari perut Singkil Alit. Sebelum lawan siap dengan kuda-kuda penyerangan baru Singkil Alit cepat mendahului menyerang dengan senjatanya.
Namun sekali ini kapak sakti di tangan Wiro datang menyapu dari bawah, menggunting serangan lawan di tengah jalan. Dan Singkil Alit tidak kuasa untuk manyelamatkan senjatanya dari tebasan kapak. Rantai hitam itu terkutung dua. Gandulan besinya menancap di pohon timbul, sisanya masih tergenggam di tangan Singkil Alit.
"Celaka! Aku harus lari!" keluh Singkil Alit yang merasa tidak punya harapan lagi. Dia lemparkan potongan besi di tangannya ke arah Wiro lalu memutar tubuh ke jurusan kiri siap untuk kabur. Tapi gerakannya tertahan. Seperti ada yang menangkap pergelangan kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya. Memandang ke bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah melakukannya.
"Budak keparat!" maki Singkil Alit. Tinju kirinya dihantamkan ke kepala Handaka. Namun pukulan maut itu tak pernah kesampaian karena di saat yang sama dia merasakan sambaran angin. Terdengar suara...
"Crasss...!"
Bahu kanannya terasa dingin, lalu ada yang memanasi sekujur sisi kanannya. Ketika dia memandang ke kanan ternyata tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah putus disambar kapak Wiro. Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit kesakitan!
"Crasss...!"
Kini giliran lengan kiri manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga Geni 212. Tubuh Singkil Alit menggigil panas oleh hawa dan racun kapak yang mulai bekerja. Dia tersandar terhuyung-huyung ke sebatang pohon, lalu melosoh jatuh ke tanah.
Wiro dekati Handaka lalu angsurkan Kapak Naga Geni 212 pada si anak seraya berkata, "Selesaikan urusanmu dengan manusia yang telah membunuh ayahmu!"
Handaka tampak ragu-ragu. Bukan saja dia merasa angker melihat senjata yang diangsurkan kepadanya itu, tetapi juga merasa senjata itu terlalu besar baginya dan tentu berat sekali. Tetapi ketika Wiro menarik tangannya dan memegangkan kapak ke tangannya, Handaka terkejut.
Senjata mustika yang begitu besar ternyata enteng sekali. Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau besar biasa. Mendapatkan kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas terbayang olehnya saat-saat ketika ayahnya mati di tangan Singkil Alit. Tanpa ragu-ragu Handaka ayunkan Kapak Naga Geni 212.
Singkil Alit mendelik dan berteriak, "Jangan...!"
Mata kapak menancap tepat di kening manusia iblis itu. Handaka merasakan tangannya gemetar. Dia seperti tak kuasa mencabut kapak dari kepala Singkil Alit. Terhuyung-huyung anak ini melangkah menjauhi pembunuh ayahnya itu yang kini sudah jadi mayat.
Wiro usap kepala Handaka lalu ambil Kapak Naga Geni 212. "Ayahmu akan tenteram dalam kuburnya Handaka. Dia pasti tahu bahwa kau telah membalaskan sakit hatinya!" kata Wiro.
Kedua mata Handaka tampak berkaca-kaca.
Sementara itu Rangga talah menerima beberapa kali pukulan dari Pengemis Batok Tongkat. Tulang iganya sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah kiri benjut besar dan matanya bengkak serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak mungkin mempertahankan diri lebih lanjut apalagi mengetahui Singkil Alit telah mati maka iblis satu ini tiba-tiba jatuhkan diri seraya meratap.
"Aku mohon kalian mengampuni selembar nyawaku yang tidak berharga ini! Aku akan bertobat. Aku berjanji akan menempuh hidup baik!"
"Siapa yang mau mendengar ratapan iblis!" kata pengemis tua. "Nyawamu memang tidak berharga karena itu kau layak mampus!"
Lalu Pengemis Batok Tongkat hantamkan tendangan kaki kanannya ke kepala Rangga. Orang ini mencelat dan terkapar di antara semak belukar. Separoh dari mukanya yang dihantam tendangan hancur mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat itu.
"Kita kembali ke Kota Hantu..." kata Wiro.
"Ya, tapi kau sajalah. Aku dan muridku harus kembali ke tempat kediaman kami. Urusan kami sudah selesai..." jawab kakek pengemis.
"Kalau begitu akupun tak perlu kembali ke sana..."
"Kau harus," sahut si kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan Maut dan yang lain-lainnya serta semua orang di Kota Hantu bahwa enam manusia iblis telah menemui kematiannya. Kau harus ikut mengawasi keadaan di situ. Bukan mustahil penduduk saling berbunuhan memperebutkan harta kekayaan enam iblis yang tertinggal. Bukan mustahil para pemuda memperebutkan perempuan-perempuan cantik bekas peliharaan manusia-manusis keparat itu. Dan juga apakah kau tidak ingin menemui kembali gadis beenama Piranti yang cantik jeiita itu. Kulihat kau terus-terusan memperhatikannya ha-ha-ha..."
Wiro Sableng merasakan mukanya merah dan garuk-garuk kepala. "Hai, jika kau tahu aku memang memperhatikannya, berarti kau juga mengawasi gadis itu!" sahut Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada kecantikannya. Tapi kau yang tua begini masih tertarik pada jidat licin muka jelita. Ha-ha-ha..."
Murid Sinto Gendang itu hentikan tawanya ketika dia menyadari bahwa si kakek bersama muridnya sudah meninggalkan tempat itu. Dia tinggal sendirian ditemani mayat Singkil Alit dan Rangga. Setelah menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini mengikuti juga ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar