WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA
Lembah Merak Hijau yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah masak menguning hingga kemanapun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Dipagi yang cerah ini diantara desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut?
Tentunya seorang seniman pandai yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat hembusan napas yang disalurkannya kedalam lobang seruling. Tetapi adalah diluar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang seniman, bukan pula seorang dewasa.
Melainkan seorang anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap berbulu bersih dan berkilat. Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau, kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan.
Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya. Akan tetapi ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta merta si bocah menghentikan permainan serulingnya.
Mulutnya ternganga dan sepasang matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru. Adalah aneh... memikir anak itu... di tempat yang begini indah dan segar, ada orang berkelahi.
Memperhatikan dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka lagi.
Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling Kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya.
Dengan susah payah dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengankerbau tunggangannya. Di depan sana akibat kejadian yang tak di-sangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat denganjelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitamdan putih tadi. Di depan sebelah kanan tegak seorang kakek-kakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang kilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja. Namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot dan air muka menunjukkan kemarahan dia membentak pada kakek jubah hitam,
"Tua bangka botak! Kau telah membunuh kerbau ku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak..."
Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. Apalagi anak-anak yang masih ingusan pula. Tentu saja darahnya naik ke kepala.
"Pergi kau dari sini. Kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!"
"Bocah sundal! Kau mampuslah!" teriak kakek jubah hitam marah sekali.
Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam luar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu anginpukulan lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah. Ternyata kakek berpakaian putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut. Dengan marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi dan lari ke arah kakek berjubah hitam. "Tua bangka botak! Ku gebuk kau dengan suling-ku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
Anak yang berani ini tidak menyadari sama sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nyawa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah hitam memang sudah berniat membunuh anak itu.Tapi lagi-lagi orang tua berpakaian putih menyelamatkannya . Sekali bergerak, kakek yang satu ini tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanian mu luar biasa dan mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu! Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam. Kemudian dengan merengut dia berkata, "Kalian tua-tua bangka tak tahu diri. Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak garang dan menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi bayang-bayang hitam putih dan kembali pula si bocah menjadi sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan.
Namun dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat itu sambil tiada hentinya berteriak, "Janggut putih, ayo kau hajar kepala botak pembunuh kerbau ku itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala binatang gembalaan ku!"
Teriakan-teriakan anak ini seolah-olah memberi semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya membuat si botak jadi penasaran setengah mati. Dari batlk jubah hitamnya si botak ini keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu berwarna hitam legam dan memancarkan sinar menggidikkan.
Setelah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata dia tak dapat merubuhkan lawan dengan tangan kosong maka kini dengan senjata itu dia berharap bakal dapat mengalahkan kakek janggut putih.
Di lain pihak lawannya begitu melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian keduanya sudah bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian mereka yang putih dan hitam dibuntali oleh sinar dari senjata masing-masing dan menderu-deru dengan dahsyatnya.
Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua senjata tersebut membuat lututnya goyah dan tubuhnya bergetar menggigil. Terpaksa dia menjauh sampai satu tombak dari kalangan pertempuran. Sementara mata dan kepalanya semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan tusukan-tusukan gencar ke arah lawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan tongkat kayu mustika beradu dengan keras, mengeluarkan suara nyaring. Tongkat kayu mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan kakek janggut putih!
Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul sedikit dari lawannya. Selagi kakek janggut putih melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua tangan di depan dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan asap hitam itu sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan yang amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung garuda dan mulai menggapai-gapai ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan wajah berubah. (Hoatsut ilmu sihir hitam). Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar juga.
Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan. Dengan memutar tombak bajanya sekeliling tubuh, dia menyusup diantara kepulan asap hitam!
Akan tetapi sebelum tongkat baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam sampai jarak tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah berserabutan menyerang kakek janggut putih! Si kakek tersentak dan buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih memburunya dengan ganas.
Si kakek kiblatkan tombak bajanya, sekaligus melabrak empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil menghantam empat tangan mengerikan itu namun tombaknya lewat begitu saja seolah-olah menghantam udara kosong. Dan dalam pada itu salah satu tangan tersebut telah berkelebat dengancepat dan...
"Brettt...!"
Pakaian dibagian dada si kakek robek besar. Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat baret daging dadanya dan kontan orang tua ini merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru diasalurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit panas dingin berangsur-angsur berkurang.
Dalam pada itu di depan sana kakek jubah hitamkembali keluarkan suara tawa mengekeh dan delapan tangan siluman kembali menyerbu! Kakek janggut putih maklum bahwa segala pukulan sakti dan tombaknya tak akan mampu menghadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang sudah amat tinggi.
Tapi sampai berapa lama dia bisa berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka? Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu melaksanakannya? Cepat atau lambat dia bakal celaka juga!
Hal ini membuat dia nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betul-betul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja dia sudah didesak habis-habisan!
Bocah penggembala yang mengharapkan agar kakek janggut putih bisa menghajar si botak yang telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan bagaimana justru kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya karena saat itu beberapa kali tangan-tangan iblis berkuku panjang telah memukul dan mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah akibat luka-luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki itu mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan melempari kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batu-batu yang dilemparkan jangankan mengenai, mendekati tubuhnya saja pun tidak. Karena batu-batu itu mental kembali akibat hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala botak!
Hebatnya kakek janggut putih itu meskipun sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya sudah ditentukan saat itu, namun dia masih saja bertahan dan melawan mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu bakal menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala. Tetapi anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat ini. Malah untuk menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil serulingnya dan mulai meniup. Lagu yang dimainkannya sama sekali tak menentu.
Rasa takut dan khawatir melihat keselamatan si kakek janggut putih terancam membuat tiupan serulingnya melengking-lengking tak karuan. Tetapi justru tiupan seruling inilah yang mendadak sontak merubah keadaan didalam kalangan perkelahian hidup mati itu. Delapan tangan iblis yang mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau.
Semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap hitam. Kakek jubah hitam tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan pikirannya guna mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai berai namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua matanya.
Justru disaat itu musuhnya yang telah luka parah laksana banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang mendadak dan adanya kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan mematikan yang bernama 'Joan-hun Ki-gwat' atau 'Menyusup Awan Mengambil Rembulan'.
Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielakkan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat nyawanya ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan. "Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang akan dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya penuh luka-luka, dalam keadaan megap-megap segera bersila di tanah. Atur jalan darah dan napas serta salurkan hawa sakti tenaga dalam keseluruh bagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua macam obat yakni beberapa butir pil dan sebungkus obat bubuk. Pil itu ditelannya sampai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian kembali dia bersila.
Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahan-lahan orang tua ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski kini dia telah selamat dari kematian namun kesehatannya belum pulih keseluruhannya. Ternyata cakar dari jari-jari tangan siluman yang telah membuat dia cedera itu mengandung racun yang berbahaya.
Untung saja dia membawa persediaan obat, kalau tidak meskipun dia berhasil membunuh musuh namun racun, yang mengendap bukan mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka. Orang tua ini kemudian ingat pada anak gembala itu yang kini tengah duduk termangu-mangu dibawah sebatang pohon.
Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan karena kesalahannya dan si pembunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya pasti tak mau perduli. Masih mending kalau dia diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya tubuhnya laksana terbang. Memandang ke samping ternyata dia telah dipanggul oleh kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang dan ngeri.
"Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" serusi bocah dengan suara gemetar.
"Budak... kau diam sajalah. Tak usah banyak tanya!"
"Tapi aku harus kembali pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu..."
Si kakek tertawa. "Kau anak baik yang tahu apa artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan! Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat bagus sekali! Sayang... sayang kalau disia-siakan! Aku akan bawa kau ke puncak Liong-san! Kau dengar? Puncak Liong-san!"
"Aku... aku..."
Si kakek mempercepat larinya dan kerena ngerisi bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya 'terbang' itu!
Siapakah adanya kakek berambut putih ini?Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tujuannya sampai anak gembala tersebut hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang menemui ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dikenal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu diantara tokoh-tokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai pimpinan. Dengan sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu antara Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih yang membawa lari anak gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat sakit hati.
Selamat tiga tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka dicarinyalah kakek janggut putih tadi.
Ternyata Pak-san Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja dapat membunuh lawan. Namun tiada disangka-sangka, ilmu sihirnya musnah berantakan hanya karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau. Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh! Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?
Kalau sebelumnya telah dijelaskan bahwa Pak-san Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan hitam yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari golonganputih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang menjadi tokoh kelas wahidnya. Dia dikenal dengan nama Kiat Bo Hosiang, berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang telah dianggap sebagai jago nomor satu pada masa itu, namun tokoh-tokoh persilatan bukan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya, yang sukar bahkan tak ada tandingnya diseluruh Tiongkok.
Namun sudah sejak lama orang ini mengundurkan diri dari urusan duniawi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas.
Diduga hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu berada. Sementara itu diketahui pula bahwa Ik Bo Ho-siang mempunyai dua orang pembantu masing-masing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat BoHosiang. Jika baru pembantunya saja sudah memiliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiangsendiri.
Sebagaimana lazimnya yang terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula terlepas dari diri Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak miring atau setengah gila!
Cuma untuk menyatakan pendapat atau anggapan itu secara tentu saja tak satu pun yang berani karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama saja dengan mengundang 'penyakit'. Setelah lari hampir seratus lie dan siang telah berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru berhenti.
Anak kecil yang didukungnya ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya ditanah. Dia sendiri kemudian menelan beberapa pil obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh daripada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong.
Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti setan yang berkelebat gentanyangan. Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia meneruskan perjalanan kembali.
Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga (Liong-san) yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap gunung itu angker, tak satu orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki gunung yang menjulang ini.
Sampai pertengahan lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mudah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit akan mati akibat bisanya yang jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak perduli akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek ini mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam hutan, sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan lereng, perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana menghadang batu-batu karang raksasa runcing menjulang langit, licin berlumut lembab. Disela batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari dijalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo Hosiang terus saja lari seenaknya. Melompat dari atas batu karang yang satu ke batu karang yang lainnya, melayang di atas jurang-jurang maut hingga akhirnya sampai di puncak Liong-san!
Saat itu di salah satu puncak Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih asyik bermain tioki (catur). Yang pertama berambut putih berbadan pendek. Usianya sekitar 60 tahun dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang seorang lagi kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan lain adalah pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara orang menyebut mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat mereka sebagai murid, sekalipun segala kepandaian silat yang didapat dari Ik BoHosiang sendiri. Disamping itu mereka dari sejak dulu memang bertugas melayani dan memenuhi apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti telah diterangkan sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang boleh di katakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan sendirinya menular pula pada kedua pembantunya, meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main tioki dan ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan berkata,
"Heh ada orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah mendengar. Sesaat keduanya saling memandang heran. Memang sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar yang naik ke puncak Liong-san. Jika hari itu ada orang yang datang ini merupakan suatu yang luar biasa. Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di depan mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut serba putih.
Di pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki berusia 7 tahun. Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liong-san hari ini akan kedatangan tetamu yang bukan lain adalah susiok kami sendiri!" (Susiok artinya paman guru).
Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang. Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai. "Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang ada?"
"Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liong-san ini" menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan hormat, "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
"Tentu... tentu saja."
Eh, susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosiang bertanya. Lo Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala"
Selama belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul membawa seorang anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang itu.
"Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia untuk urusan penting!"
Sekilas dua pembantu Ik Bo Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu susiok mereka dan memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek serta guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beritahu!"
Saat itu dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin memberikan jawaban. "Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak diganggu. Jelasnya siapapun yang datang beliau sekali-kali tak boleh diganggu karena saat ini sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut ToaSin.
Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga dalam yang luar biasa, dengan sendirinya suara tawanya dahsyat sekali. Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran. Keduanya saling pandang. Dan karena mereka memang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung Naga itu seolah-olah bergetar dilanda gelombang suara tertawa tiga manusia sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya. Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang matanya membeliak dan dari mulutnya keluar bentakan garang. "Kalian berdua kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui suheng ku sendiri?!"
Serta merta dua pembantu ini hentikan pula tawamereka. Toa Sin menyahut, "Bukan kami melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu. Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma menuruti perintan."
"Persetan dengan segala pesan dan perintah!Aku tidak mengenal segala aturan yang dibuat oleh suhu mu yang berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek! Jangan bikin aku marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi menahan marahnya.
"Ah, susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah tua bangka dan menjalankan perintah dengan segala tanggung jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai. "Jadi kalian kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. Satu gelombang angin menggebu dengan dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buru-buru menghindar ke samping. Namun tak urung sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang.
"Susiok, kau pun nyatanya sinting! Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun kami bakal hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!"
Yang bicara begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya. Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!
Meski cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari Liongsan itu memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika diukur maka kepandaian mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Kalau saat itu mereka maju berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan terdesak dan kalah.
Namun ada beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul dari kedua lawannya. Pertama sebagai pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan jarang sekali turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam pertempuran. Sekalipun memiliki kepandaian tinggi namun kurang pengalaman merupakan hal yang ikut menentukan.
Kedua, sepasang kakek-kakek dari Liong-san itu dikarenakan otaknya yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti main-main saja dan sambil tertawa-tawa haha-hihi!
Ketiga, sampai saat itu Kiat Bo Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala diatas pundak kirinya hingga dua kakek dari Liong-san tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena khawatir akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu teriakan keras dan serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat Bo Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu silat dari kakak seperguruannya.
Namun permainan silat yang dikeluarkan oleh dua lawannya saat itu aneh dan tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo Itu sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat Bo Hosiang membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua bangka-tua bangka Liong-san, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu silat kalian yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan penasaran.
Dari balik pinggang pakaiannya dia segera keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tongkat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar Sin-jiu Thung-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti itu mengamuk hebat.
Tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjatanya dalam tempo singkat dia sudah mendesak lawannya dengan hebat. Baik Toa Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau anggap musuh-musuhmu kah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup mulutmu manusia muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan...
"Kraakkk...!"
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil pegangi lengan kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah gilakah," teriak Toa Sin.
Namun kakek yang satu ini pun segera pula mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri remuk tulang kakinya sebelah kanan dan berguling ditanah sambil merintih. Tapi dasar gila, sekali dia masih bisa juga tertawa haha-hihi...!
"Tua bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang ku remukkan! Lain kali suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada kalian! Bagaimana menghormat seorang paman guru!"
"Paman guru sableng macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pantatnya dan kemudian kentut!
Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan beberapa kali lompatan kilat Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liong-san. Anak pengembala yang ada di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi sebelumnya! Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok kayu. Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping tengah bersemedi dengan cara yang luar biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di sebelah bawah pada batu hitam itu. Tubuhnya tak sedikitpun bergerak sedang dua tangannya dirangkapkan didepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang panjang, menjulai menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga melihat cara bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul diantara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak seperguruannyalah yang sanggup melakukan hal itu. Kalau tadi Kiat Bo ingin buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah bagaimana harus membangunkannya.
Tiba-tiba anak yang didukungnya menggeliat dan terbangun membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat di mana dia berada. Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki keatas kepala ke bawah.
"Hai... patung atau manusiakah ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo Hosiang.
"Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik keras-keras janggutnya. Jika dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah mendapat akal bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulurkan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi mendadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo Hosiang. Ketika tangan itu hampir hendak menjenggut jenggot, tiba-tiba janggut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
"Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya, namun tangan yang satu ini pun kemudian kena dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha berontak untuk melepaskan kedua tangannya tetapi sia-sia saja!
"Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru.
Jika janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari samadinya, demikian Kiat Bo berpikir. Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya telah terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget, untung masih sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh dengan keras di atas sebuah batu besar.
Untuk sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong. Membuat mental seseorang dengan menggerakkan janggut yang tentunya di aliri tenaga dalam betul-betul merupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah yang telah dilakukan oleh suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteraman puncak Liong-san ini saja!" terdengar suara halus yang bukan lain adalah suara Ik Bo Hosiang.
Me-mandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam diatas mana sebelumnya dia bersemedi. Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya. Pandangan ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan maksudku untuk mengganggu ketenteraman di puncak Liong-san ini. Tapi aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku keras..."
"Kekerasan itu memang harus ada. Tapi pada waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun dipuncak Liong-san ini mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu, siapa pun dia adanya. Di sini, di puncak Liong-san ini tuan rumah yang membuat aturan, bukan orang luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa keperluan mu datang kemari."
"Budak itu, suheng..."
"Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau melirik pada penggembala yang tegak di samping sutenya.
"Begini suheng..." lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak ada bocah penggembala yang pandai meniup suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak ini dan wajib membalasnya!"
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat BoHosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat itu di tempat tersebut tidak ada anak penggembala yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan seruling itu mengganggu pemusatan pikiran dan bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku tidak tertarik pada ceritamu. Tidak tertarik padamu ataupun budak tukang angon kerbau itu! Nah, sekarang silahkan angkat kaki dari puncak Liong-san ini!"
"Suheng...!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan menyanyi,
Puncak Liongsan tinggi sekali
Tapi lebih tinggi akal dan budi
Laut Selatan hijau dan dalam sekali
Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak berguna
Jika perasaan lebih menggelora.
Ik Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Di lain pihak, bocah penggembala yang mendengar merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi nyanyian si kakek. Mengetahui nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo Hosiang lantas saja mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali berturut-turut!
Tiba-tiba tokoh aneh dari Liong-san ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit dan tertawa gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup suling merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung jatuh ke tanah.
Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pastiakan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek! nyanyianmu bagus sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di atas batu di mana dia tadi bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas!
"Hai budak! Kenapa kau menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa kau kira aku ini tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah ngambek dan balik menyindir Ik Bo Hosiang.
Kiat Bo Sang khawatir kalau-kalau suhengnya bakai kumat otak miringnya marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru saja membuka mulut. "Suheng, kau tahu aku telah berhutang nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak ini. Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku berniat untuk mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!"
"Enak betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu asal-usulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku mengambilnya jadi murid! Kau sudah gila atau otakmu memang sudah rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari yang lain..."
"Apanya yang lain? Dia bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut satu, telinga dua.... Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanyabetul-betul sudah gila! Kasihan...!"
"Suheng, aku memohon padamu...!"
"Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
"Kau boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset! Dua tiga bulan di muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama berdebat begitu rupa Kiat Bo Ho-siang yang memang punya watak lekas jengkel jadi penasaran juga. Dia berkata, "Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi muridmu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau masih belum menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala itu berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata, "Kakek, kau punya tanggung jawab membawaku kemari. Sekarang kau punya kewajiban membawaku turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo Hosiang.
"Aku tak perlu segala balas budi. Kalaupun..."
"Thian Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil.
Tapi sibocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang keluar dari tubuh si kakek menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu.
"Aku sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada bagian-bagian yang tertutup. Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam merasa gembira mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya bocah yang bernama Song Thian Ong berkata marah,
"Kakek, kau betul-betul sudah gila, menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang ajar! Kualat kau!" teriak Ik BoHosiang. Dia mengulurkan kedua tangannya.
"Brettt...! Brettt...!
Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus... Kau memang boleh!"
Dan habis berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melempar-kannya ke udara, menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong tidak merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia ngeri. Dan anak ini tak henti-hentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan ToaSin Hosiang. Masing-masing mereka telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta mengganjalnya dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka 'bermain-main' begitu rupa keduanya tertawa gelak-gelak.
"Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh ikut main bersamamu?"
Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang berseru, "Pen-dek, kau sambutlah!"
Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakek-kakek ini dengan gembira menyambut tubuh yang terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira kakek yang seorang ini menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang ke arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya.
Tiga kakek-kakek keblinger dari gunung Naga itu telah asyik dengan permainan 'bolanya'. Tidak perduli lagiakan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat Bo Hosiang. Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Gila dasar manusia-manusia gila!" katanya dalam hati.
Namun diam-diam dia gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi-muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu. Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liong-san.
Dua belas tahun kemudian... Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke dalam cengkeraman bangsa Mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun juga atas bangsa lain pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang paling sengsara seperti biasanya ialah rakyat jelata.
Di mana-mana kaum penjajah yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lainnya. Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah.
Selain selatan memang memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda pemerintahan pun sudah kacau-balau centang-perentang. Mulai dari kaisar sampai pada pejabat-pejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah.
Dalam pada itu mereka terlena pula dalam bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana pula akan terpikir untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah Mongol. Pedih sakitnya penderitaan yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di utara dan kedua untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya.
Pada masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang ditimbulkannya makin hari makin hebat dan membuat kaum penjajah merasa terancam.
Namun tidak jarang pula rakyat yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung ditempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!
Gerakan rakyat yang ingin membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekaligus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan memeras, dengan sendirinya menghadapi dua lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh dikalangan mereka, namun demikian semangat perjuangan mereka tak kunjung padam.
Jangankan orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun kedalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu hari di bulan kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin pasukan, salah seorang diantara anggotanya adalah mata-mata. Pemerintah selatan yang berhasil menyusup.
Selagi pasukan itu tengah beristirahat dikaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia dimana telah menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah yang terdiri dari lebih seratus orang.
Dalam waktu singkat pasukan rakyat yang tengah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka diserbu dengan sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali lipat disamping itu serangan datangnya mendadak sekali. Dalam waktu sebentar saja dua puluh orang anggota pasukan rakyat gugur.
Komandan pasukan seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak kepada anak buahnya untuk lari menyelamatkan diri dan membiarkan dia sendiri menghadapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan.
Akan tetapi mana ada diantara mereka yang mau mengikuti perintah Pouw Keng In. Malah pasukan rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10 orang lagi diantara mereka menjadi korban.
"Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak komandan pasukan Pemerintah.
Dia menyeringai puas melihat bagaimana musuh porak-poranda dan berguguran satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan pandangan matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara sewenang-wenang.
Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan hijau disertai gulungan sinar coklat. Terdengar pekik susul-menyusui.
Dalam waktu amat cepat enam anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya, remuk dada bobol perut dan sebagainya. Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun tak kurang kagetnya.
Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah turun tangan membantu mereka meskipun mereka belum melihat jelas siapa adanya orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi bersemangat dan menempur lawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis dari mana yang berani mencari mati disini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk tidak menya-huti malah berkelebat makin cepat. Delapan oranglagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar dan tak berani didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajurit-prajurit rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil ditewaskan.
"Setan alas." maki Cu La i Seng marah sekali.
Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya. Dengan tangan kanan dirampasnya pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Sengini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyambitkan berbagai macam senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah tak akan melesat!
Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah memporak-porandakan pasukan Pemerintah. Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus oleh pedang yang dilemparkannya.
Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyaksikan senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan dengan tangan kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si bayangan hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam waktu singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian amat tinggi dan memiliki gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa adanya bayangan hijau itu.
"Mundur semua" teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit Pemerintah yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln memberi isyarat agar anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat itu terluka parah, amat kagum melihat kehebatan bayangan hijau.
Dengan dipapah oleh seorang anak buahnya dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng tahu-tahu sudah berada lima langkah di hadapan bayangan hijau.
Dan ketika bayangan hijau ini menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua melengak kaget! Betapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang gadis berparas elok jelita.
Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas kepala dengan sepasang cambang halus meliuk dikedua pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis inibaru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda itu sudah memiliki kepandaian yang hebat, siapa orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan nada keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap aku...?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi CuLay Seng.
"Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah cantik. "Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut apakah?! Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu keakhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut. Selain memiliki ilmu tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang nona dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki pepesan kosong begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak buahnya sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan CuLay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!" Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia lihay sekali!"
Memang Pouw Keng In mengetahui betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah menyaksikan kehebatan si nona namun tetap saja dia khawatir. Karena kalau sampai Cu Lay Seng menang.
Bukan saja dia dan seluruh anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar pada masa itu, apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona baju hijau justru malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Kengin dan berkata, "Terima kasih atas peringatanmu. Kau lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia kecoak yang tidak berguna ini."
Sambil menjura tadi dengan tak acuh nona itu gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah melancarkan serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu ke arah lengannya.
Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu Lay Seng robah gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan serangan ruyung ke arah kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak menyamber ke bawah si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah yang sama. Selain tak menyangka kalau lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng pun kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh.
Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya terbuat dari kayu coklat. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat. Pada saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah dua dan mencelat mental!
Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun. Dalam keadaan sang Komandan masih kaget begitu rupa, nona baju hijau yang sampai saat itu ditangan kirinya masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu kedepan kirimkan satu tebasan kilat. Dan...
"Crasss...!" Cu Lay Seng menjerit keras. Darah mancur dari tangan kanannya yang kini sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosamu." berseru si nona seraya tusukkan pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si Komandan.
Hanya satu senti saja lagi ujung pedang akanmenembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar bentakan marah, "Bwe Hun! Lagi-lagi kau! Lagi-lagi kau!"
Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!
Nona berbaju hijau palingkan muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak dihadapannya.
"Suhu...!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan melakukan pengacauan! Jangan berani menentang alat-alat kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama sekali tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang jahat dan sewenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan bangsa sendiri wajib dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas angkat kaki dari sini. Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan begini, aku akan jatuhkan hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li Bwe Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab, "Suhu hukuman berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan Suhu sendiri. Kau menetap di utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum penjajah untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai murid aku..."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan kata-katanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya, membuat gadis itu terhuyung ke belakang satu langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah mengelam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan merawati selama belasan tahun tega menamparnya seperti itu dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah berubah sejak masuk ke dalam bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi murid Kiat Bo Hosiang yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa adanya nama kakek di hadapan mereka saat itu.Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik Komandan pasukan Kaisar maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing merasa gelisah dan berdebar. Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang sejak beberapa waktu belakangan ini telah membantu kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang berkilat-kilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata muridnya itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak, "Li Bwe Hun. Mulai hari ini aku bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan darah Kian Le Hiat di dada dan jalan darah Gi Hay Hiat di punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupakan totokan maut akan tetapi amat berbahaya.
Jika totokan-totokan itu sampai menemui sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana suhu-nya melancarkan totokan yang jahat itu. Kini nyatalah kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak tedeng aling-aling untuk menurunkan tangan jahat. Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat menghindar selamatkan diri.
Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu dengan serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan senantiasa diserta totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan sialan! Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang kali.
"Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macam mu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan orang tua ku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh kau sekalian biar puas hatiku!"
Maka Kiat Bo Hosiang lantas mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya tinggal bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhu-nya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepandaiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui betul jurus-jurus silat yang dimainkan.
Termasuk tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya maka dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan dan seru sekali. Dalam hal Iweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah suhunya. Namun dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak kalah!
Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat apa-apa! Bagaimanakah asal mulanya sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan dan hendak membunuh muridnya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?
Seperti sudah sama dimaklumi jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam ragamnya itu. Salah seorang diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih memberi pelajaran silat pada Li Bwe Hun.
Kiat Bo Hosiang yang memang mempunyai dasar watak suka akan hidup mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk rayu orang-orang Mongol. Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak istana layaknya di Undur Khan. Harta benda dan uang berlimpah ruah.
Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya. Memang banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah.
Pertama, jika Kiat Bo berada dalam genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari pihak Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rakyat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-orang Pemerintah dan rakyat.
Dan kenyataannya memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan oleh bangsanya sendiri. Di satu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak dia menjadi momok kebencian rakyat dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari orang yang membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah digemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu memulai pengelanaannya di dunia kangouw telah dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang pengkhianat yang menjada kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri!
Sedangkan dia sendiri yang walaupun masih muda tapi dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, telah memilih untuk berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya, gadis ini berulang kali membantu pasukan rakyat dan disamping itu setiap dia mendengar ada pejabat-pejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji serta semena-mena, pastilah dia turun tangan untuk menghukum pejabat itu.
Sekali dua diberi peringatan, tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segan-segan untuk menebas batang lehernya. Dalam melakukan hal yang dianggapnya sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun mendapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri yakni Kiat Bo Hosiang.
Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah memberi peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia yakin apa yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau berlepas tangan ataupun melakukan perbuatan-perbuatan yang salah.
Tapi justru guna menolong orang-orang yang tertindas, untuk kebaikan dan membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya hari ini kembali dia dipergoki oleh suhunya ketika membela pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelakakan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua totokan ganas itu ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapan-ucapan Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam sesatnya Kiat Bo Hosiang memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya yang hebat yakni tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu...! Orang-orang Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat. Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi telah diselipkannya di pinggang. Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah amat luar biasa, dihadapan Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus.
Selewatnya 5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhu-nya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk menyelamatkan diri dari dua ujung tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa bagian pakaiannya telah robek disambar senjata sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka gadis ini akan menemui kematian secara mengenaskan.
Menyaksikan ini semua orang jadi gelisah. Lebih-lebih ketika satu sodokan ujung tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan."Kau yang lebih dulu layak mampus!" Dua orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng dan Pouw Keng In!"
Bagaimana pula sampai kedua Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepandaian mereka sendiri.
Pertama bagaimana pun juga Li Bwe Hun merupakan nona penolong bagi PouwKeng In sewaktu tadi dia luka parah menghadapi pasukan Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona celaka lebih baik merekalekas-lekas turun tangan menolong.
Ketiga Cu Lay Seng seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi dinegerinya selama ini memang membawa penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa berdosa telah melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini berjuang. Akan tetapi, meski dibantu oleh dua orang Komandan pasukan yang gagah berani Itu, keadaan Bwe Hun tidak lebih baik.
Malah setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak, memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln sebagai pelopornya.
Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan. Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang kematian terdengar setiap tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng menemui ajalnya pula dengan kepala pecah.
Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota pasukan yang mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya mengandalkan tangan kosong, tinggal sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya didepan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderu-deru untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu, lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang.
Serta merta kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan berpaling ke arah datangnya suara suling itu. Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gombrang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
Sambil bergantung dia meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo Hosiang hampir menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini telah berlalu demikian lama namun Kiat Bo Hosiang tak bisa pangling.
Pasti inilah bocah penggembala yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah dibawanya ke puncak Liong-san untuk diserahkan pada suhengnya. Ternyata kini dia telah dewasa.Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diam-diam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia telah pula mewariskan sifat gila suhengku! Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia berseru,
"Thian Ong Kau! Ayo lekas turun!" Pemuda berpakaian gornbrong yang berayun-ayun di cabang pohon sambil meniup suling itu memang adalah Song Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat Bo kepada suhengnya di puncak Liong-san.
Selama bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada diantara pembantu-pembantunya yang berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan Lo Sam Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta dua pembantu suhunya itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!"
Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah terus saja mainkan serulingnya. Seolah-olah dia tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara itu Li Bwe Hun yang begitu mendengar bahwa pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berkepandaian tinggi adalah murid keponakan dari Kiat Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit kedudukannya. Barusan dia hampir menemui kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang seorang diri.
Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya, pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar seruan,
"Nona baju hijau kau mau ke mana? Kenapa buru-buru? Aku belum puas melihat kecantikan wajahmu!" hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara acuh tak acuh.
Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiong-kok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya kaku tak sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikitpun. Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu diam-diam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihayan suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kalau murid suhengnya sehebat ini karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian dari atas pohon.
Menghormati memang satu kewajiban,
Dari yang muda kepada yang tua.
Kehormatan adalah satu yang berharga.
Terkadang lebih berharga dari nyawa.
Tetapi menghormat harus melihat orang dan tempat,
Karena terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,
Apakah wajib menghormat seorang pengkhianat,
Apakah wajib menghormat seorang sesat,
Apakah wajib menghormat penindas dan pembunuh rakyat?
Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa dipaksakan?
Siapakah orangnya yang bisa membendung arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah orangnya yang bisa memindahkah puncak gunung Thaysan?
Sekalipun, seorang Kaisar yang gila hormat?
Mendengar nyanyian itu berubahlah paras Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian yang dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran langsung atas dirinya. Tetapi dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat Bo Hosiang tertawa gelak-gelak lalu berkata,
"Bagus sekali nyanyianmu itu, Thian Ong! Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian suhumu, lahir dan bathin!"
Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata demikian, kembali terdengar Song Thian Ong bernyanyi;
Lahir dan bathin dua hal yang berbeda,
Karenanya sering tidak sama dan serupa,
Malah kerap bertolak belakang,
Yang satu memalsukan yang lainnya, lahir bagus belum tentu batinnya baik,
Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,
Di luar kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
Di luar culas di dalam mungkin bijaksana.
Menipu diri sendiri berarti tolol,
Menipu orang lain berarti jahat,
Menghormat orang lain adalah wajib,
Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!
Kalau tadi Kiat Bo Hosiang masih bisa menahan rasa dongkolnya maka kini sesudah sindiran Thian Ong berterang-terangan begitu rupa, marahlah kakek-kakek ini. Langsung dia membentak;
"Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?
Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara panas.
Lancang adalah perbuatan salah,
Tetapi masih bisa diperbaiki.
Tak ada yang terhina kalau semua bersih,
Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,
Hinanya si miskin hal yang lumrah.
Tapi hinanya mereka yang tersesat harus cepat diperbaiki,
Sudah tiba saatnya bertobat,
Sudah tiba saatnya mengambil pikiran sehat,
Atau apakah mau menunggu hari kiamat?
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah batang pohon di mana Thian bergelantungan seenaknya.
"Braakkk...!" Batang pohon besar itu patah, lalu tumbang dengan suara gemuruh.
Suara gemuruh ini disertai gelak tertawanya Thian Ong. Tubuhnya sesaat terlihat membuat beberapakali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di depan susioknya ini, Thian Ong memandang dengan kening berkernyit dan salah satu tangan diletakkan di atas alis, seolah-olah dia tengah memperhatikan sesuatu yang jauh dikesilauan sinar matahari.
Ditambah dengan bajunya serta celananya yang gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul menggelikan. Anggota-anggota pasukan kerajaan dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun tercekat tegang namun tak dapat menahan suara tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun kalau saja tidak dalam keadaan tertotok pastilah akan tertawa pula cekikikan.
"Ah, Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!" tiba-tiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah baru tahu kalau orang di depannya adalah susioknya!
Tentu saja Kiat Bo Hosiang jengkel setengah mati diperlakukan seperti itu. "Anak setan! Kalau kau tidak berlutut minta ampun atas semua kekurang ajaranmu ini, niscaya aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"
Air muka Song Thian Ong mendadak berubah pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang ketakutan setengah mati mendengar ancaman susioknya itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut. Anehnya begitu kedua lututnya menyentuh tanah itu jadi melesak dan merupakan lubang besar. Dan tubuh Thian Ong lantas roboh jatuh. Tapi diabangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang rata lalu jatuhkan berlutut lagi.
Namun begitu kedua lututnya mencium tanah hal seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh. Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan susioknya seraya berkata;
"Mohon maafmu, Susiok. Semua tanah di sini tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut terus jatuh. Aku tak dapat menghormatimu secara sempurna!"
Paras Kiat Bo Hosiang berubah mengejam. Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu bukanlah penghormatan melainkan kesengajaan untuk mengejek mempermainkannya. Dan sekaligus hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya karena saat itu semua tanah di tempat itu telah penuh dengan lobang-lobang dalam bekas hantaman lutut Thian Ong!
Tadipun Kiat Bo Hosiang merasakan betapa setiap kedua lutut pemuda itu menyentuh tanah, tanah jadi bergetar keras! "Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada Ik Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian sakti mandraguna dan berilmu silat tinggi! Dan sekarang ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"
"Ah, Susiok, budi yang bagaimanakah yang kau bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk mengharap suatu pamrih dikemudian hari seperti yang kau lakukan saat ini dalam kesempatanmu?"
Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat itu masih saja tegak terbungkuk-bungkuk. "Susiok sekarang ini zaman edan, banyak orang-orang sinting macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang berbahaya ialah orang-orang pandai tapi yang mempergunakan kepandaiannya untuk berbuat segala kesesatan yang gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah, aku diminta oleh suhu untuk membawamu ke jalan yang benar!"
"Bangsat rendah! Kau rupanya sudah lupa asal. Anak gembala jembel hina dina hendak memberi nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmu pun kau belum mampu menyekanya!"
"Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya sudah mulai buram!"
Saat itu Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi membendung kemarahannya. Dia berteriak dahsyat dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain kejap berkiblatlah sinar putih menyilaukan ke arahThian Ong.
Ternyata Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid suhengnya itu dengan senjatanya yang paling dahsyat yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua. Sebelumnya 12 tahun yang lewat Thian Ong telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut, bahkan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah mempergunakannya melawan musuh-musuh tangguh serta hendak dipakai membunuh muridnya sendiri.
Dan kini senjata yang sama dipergunakan pula untuk menghadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda itu telah terkurung sinar tongkat namun dasar gendeng dia masih saja tertawa-tawa. Penasaran Kiat Bo Hosiang segera robah permainan tongkatnya. Kini senjata itu bergerak lebih cepat dan suaranya menderu dahsyat.
Selama 10 jurus dimuka Thian Ong masih melayani serangan-serangan susioknya dengan tangan kosong dan melancarkan serangan balasan dengan mengandalkan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya yang gombrangi. Karena tenaga dalamnya yang luar biasa, angin yang keluar dari ujung-ujung lengan pakaiannya itu sanggup membuat mental tongkat di tangan Kiat Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong.
Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai kerepotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkatnya yang terhebat dan bernama 'Sin-eng Thung-hoat' atau 'Ilmu Tongkat Garuda Sakti'. Serangan tongkat datang bertubi-tubi dan tidak beda seperti burung garuda yang menyambar-nyambar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadang-kadang menukik seperti hendak mematuk kepalanya, kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut atau dada dan tak jarang berkelebat menggempur tubuhnya sebelah bawah!
Diam-diam dalam marah dan penasarannya Kiat Bo Hosiang mengagumi pemuda ganteng itu. Selama ini jarang sekali dia mengeluarkan ilmu tongkatnya dalam jurus-jurus yang lihay itu, bahkan ketika menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya dipuncak Liongsan 12 tahun silam dia sama sekali tidak mengeluarkannya.
Kini menghadapi murid dari suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya yang paling diandalkan itu! Meskipun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si pemuda masih sanggup melayani 'Sin-eng Thong hoat' sampai sepuluh jurus. Padahal tokoh-tokoh silat ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua jurus sudah pasti konyol di tangannya!
Mendapati kenyataan bahwa susioknya kini berhasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang amat lihay, Song Thian Ong anehnya malah perdengarkan suara tertawa gelak-gelak.
"Brettt...!" ujung tongkat menyambar robek dada pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih kedepan dengan pasti dada pemuda ini akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak KiatBo Hosiang. "Sebentar lagi perutmu yang akan kurobek!"
"Enak betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang robek Tua bangka sesat!" balas berteriak Thian Ong. Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik diudara tiga kali berturut-turut.
Bagi orang yang tidak berpengalaman, saat lawan berjungkir balik seperti itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan mematikan. Tapi Kiat Bo Hosiang yang sudah berilmu amat tinggi dan berpengalaman luas, serta mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya, mengerti betul adalah bahaya besar jika dia melancarkan serangan saat itu.
Setelah jungkir balik Thian Ong melayang turun dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih dahulu. Sedetik kemudian dia sudah tegak lurus dengan kepala menempel tanah sedang kedua kaki dikeataskan. Kakinya yang di ke ataskan ini membuat gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin keras. Kadang-kadang turun naik seperti orang mengayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dahsyatnya, lalu berganti pula berputar-putar.
Dan lebih keblingernya lagi, sambil membuat gerakan aneh dengan kedua kakinya itu, Thian Ong keluarkan serulingnya lalu mulai meniup lagu-lagu yang tak karuan. Terkadang merdu lembut, terkadang melengking-lengking menyakitkan telinga.
Melihat bagaimana tingkah Thian Ong dalam pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mempermainkannya, semakin mendidihlah amarah Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun yang lalu ketika dia membawa Thian Ong ke puncak Liong-san lalu suhengnya dan dua orang pembantu-pembantunya membuat Thian Ong seperti bola, ditendang kian kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang main-main mereka tegak dengan kepala dibawah kaki ke atas!
"Pemuda keparat! Asal mu jembel tukang angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi serta merta saja dia tersurut kembali.
Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu merupakan benteng pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat menjalankan serangan berbahaya! Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar. Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah atas namun matanya yang tajam segera melihat bahwa ilmu silat aneh Thian Ong itu memiliki kelemahan di sebelah bawah.
Jika dia melancarkan serangan yang hebat antara pinggang sampai kebagian kepala lawan yang saat itu menempel di tanah pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian Ong, sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda itu!
Maka setelah menunggu kesempatan yang baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat gerakan yang bernama 'Sin-eng Tian-ci' atau Garuda Sakti Pentang Sayap. Kaki kirinya melesat menghantam ke arah selangkangan Thian Ong sedang dalam detik yang sama tongkat bajanya menunjuk deras ke arah tenggorokan si pemuda. Memang dua serangan yang dilancarkan oleh Kiat Bo Hosiang sekali ini betul-betul luar biasa.
Dua-duanya sulit dikelit saking cepatnya dan disamping itu merupakan serangan maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, terutama tusukan tongkat ke arah leher. Tetapi adalah kecele kalau Kiat Bo berpikir demikian.
Didahului oleh lengkingan seruling yang ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong sebatas pinggang ke kaki melejit ke samping. Ini membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai tempat kosong. Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong tiba-tiba membeset laksana kilat dan...
"Bret...!" Robeklah pakaian putih kakek-kakek itu di sebelah dada.
Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia cepat membuat gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang setengah melayang itu dari lawan. Namun masih kurang cepat karena saat itu tubuh Thian Ong sudah melejit lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah mendepak pantat si kekek! Tak ampun lagi Kiat BoHosiang mencelat mental sampai satu tombak.
Untung saja meskipun otaknya agak keblinger Song Thian Ong tidak bermaksud jahat terhadap paman gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi akan membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya cacat seumur hidup. Di lain pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di atas kedua kakinya kembali.
"Susiok! Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi dagingnya alias tulang melulu, pastilah aku tak akan menendang pantatmu itu!"
"Anjing jadah!" maki Kiat Bo Hosiang menggeledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!" Lalu kakek ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara tawa bergelak.
Kiat Bo Hosiang! Ada berapa nyawakah kau punya hingga hendak mengadu jiwa dengan pemuda itu?! Apa kau tak malu sudah dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang tadi asyik menonton pertempuran hebat luar biasa yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari ber-serabutan, ketakutan seolah-olah melihat setan kepala sebelas!
Li Bwe Hun dan Thian Ong jadi terheran-heran sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar kepala ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak tadi. Memandang ke jurusan itu mendadak wajahnya yang beringas gemas kelihatan gembira dan dia tertawa lebar. Kakek ini lalu menjura.
"Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira siapa.? Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku meringkus pemuda pengacau ini!"
"Cuma meringkusnya?"
"Eh... tidak! Membunuhnya" sahut Kiat Bo Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu meminta bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar suara tertawa kembali. "Ahai! Seorang tokoh ternama yang katanya paling lihay diseluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk menghadapi seorang pemuda otak miring! Percuma saja kami orang-orang Mongol memelihara mu, memberikan uang dan harta berlimpah, gedung mewah serta perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali tidak berguna bagi kami!"
Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengarkata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati kutu!
Saat itu di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri seorang kakek kakek berambut pirang dan bermuka merah macam kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan dia mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama Pengho. Di bandingkan dengan Kiat Bo Hosiang ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di samping Pengho tegak pula seorang berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia memegang sebuah tongkat di tangan kiri untuk menopang tubuhnya yang bungkuk tak seimbang itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho, bernama Wanglie dan bergelar Pengemis Sakti Tangan Kidal, dan merupakan salah seorang tokoh-tokoh ternama berasal dari Tibet.
Orang ketiga yang datang bersama dua tokoh terdahulu itu ialah seorang pendek bermata juling yang mukanya tembam selalu berkeringat. Yang hebat dari menusia ini ialah sepasang lengannya yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah. Dia juga seorang tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya masih satu tingkat di atas Kiat Bo Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!
Dengan hadirnya gembong-gembong besar pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa pasukan Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu begitu melihat dan mengenali mereka.
Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak mematung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok, yang juga mengenali siapa adanya ketiga manusia itu, diam-diam terkejut dan mengeluh. Dia sudah dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika menghadapi Pengho, apalagi jika dikeroyok bersama-sama!
Sambil rangkapkan tangan di muka dada, Pengho berpaling pada Thian Ong dan geleng-geleng kepala. "Hanya seorang pemuda gendeng begini kau tak sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat Bo!"
"Dia memang sedeng, Pengho Lo-enghiong," sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah. "Tapi kunasihatkan jangan terlalu dianggap remeh. Dia adalah murid suhengku Ik Bo Hosiang dari Liong-san!"
"Cuma muridnya saja? Itu toh lebih memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau suhunya yang jadi pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek Pengho pula.
Memang pada masa itu bukan rahasia lagi kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi bangsa Han yang dipelihara oleh Kaisar Mongol secara mewah berlebih-lebihan untuk mengharapkan imbal kepandaiannya dalam mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah pada kalangan orang-orang Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay. Dalam pada Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap orang-orang Han (Tiongkok) kelihatan menyolok berlebih-lebihan.
Ejekan Pengho tadi membuat dada Kiat Bo Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa berbuat lain dari pada berdiam diri. Pengho berpaling pada Sepasang Tangan Perenggut Jiwa. Di antara mereka bertiga memang yang satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang masih lebih tinggi satu tingkat.
"Sobatku Perenggut Jiwa, apakah kau bersedia mengotorkan tanganmu membunuh monyet baju gombrang yang katanya adalah murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka tembam Sepasang Tangan Parenggut Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan ujung lidah. Dia melirik dengan matanya yang juling kearah Li Bwe Hun, kemudian berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Kiat Bo Lo Jianpwe, apakah kau ingin aku membunuh murid suhengmu ini?" bertanya si Perenggut Jiwa.
"Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi; "Nona cantik ini kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"
Kiat Bo Hosiang mengangguk. "Ada satu syarat, Lotjianpwe. Jika kau ingin aku turun tangan, upahnya kau harus hadiahkan nona muridmu itu padaku!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa memang seorang tokoh silat Mongol yang terkenal hidung belang. Habis berkata demikian dia melirik pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih hebat oleh suara seorang lainnya ternyata adalah Song Thian Ong!
Dan mendengar suara pemuda itu, Pengho kernyitkan kening, Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa tertegun! Mereka sama terkesiap mendapatkan bagaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka rasakan membuat tanah bergetar. Masing-masing saling pandang sesaat, kemudian Pengho berbisik,
"Hanya pemuda edan macam dia apa pula artinya tak perlu ditakutkan!" Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang. "Bagaimana Lotjianpwe?"
Kiat Bo Hosiang memang sudah miring jalan pikirannya, ditambah pula saat itu dia disulut amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos saja jawabannya, "Terserah padamu kau mau buat apa atas diri gadis laknat itu! Tadi pun aku hendak membunuhnya!"
Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata puas.
"Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata Pengho seraya menepuk bahu kambratnya itu.
Si Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan ujung lidah. Sambil mengedipkan matanya yang juling pada Li Bwe Hun dia berkata; "Nonaku, kau tunggulah sebentar. Saksikanlah bagaimana aku menghajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua tinggalkan tempat ini, pergi bersenang-senang di atas ranjang."
Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah dayanya? Harapannya satu-satunya kini terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah pemuda berotak miring ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas apakah dia mampu pula melawan Pengemis Sakti Tangan Kidal serta Pengho?
Bagaimana kalau orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapapun lihaynya pemuda murid Ik Bo Hosiang itu namun adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi musuh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti celakalah dirinya sendiri!
"Ah, mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam hati dan air mata mulai menggenangi pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam pada itu dengan mengumbar suara tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah mendekati Thian Ong. Sebaliknya Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang datang mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo Hosiang dan dengan jari telunjuk tangan kirinya di acungkannya tepat ke hidung orang tua ini.
"Tua bangka sedeng! Kau betul lebih sinting dari manusia edan manapun di dunia ini. Hatimu bejat dan keji. Bukannya memberi hajaran malah menyerahkan bulat-bulat tubuh dan kehormatan murid sendiri pada si pendek juling ini!"
Paras Kiat Bo Hosiang jadi merah saga. Dia membentak. "Tutup mulutmu! Bwe Hun bukan muridku lagi! Kau hadapi saja musuh si Perenggut Jiwa untuk menerima mampusmu!"
"Kaulah yang lebih dulu layak mampus!" teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah dengan kaki kirinya hingga tanah itu tenggelam sampai satu jengkal. Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat.
Namun saat itu belakangnya terdengar deru yang deras. Ternyata Sepasang Tangan Perenggut Jiwa telah ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan kilat siap untuk menangkap batang leher Thian Ong yang telah lengah membelakangi. Sekali leher itu kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang yang agak berotak miring itu pastilah tak akan tertolong!
Memang sesuai dengan gelarnya yaitu Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh silat Mongol bermata juling itu memang memiliki sepasang tangan yang luar biasa hebatnya. Selain cepat dalam gerakan juga memiliki kekuatan atos dan ampuh.
Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie (Pengemis Sakti Tangan Kidal) serta Pengho sudah dapat memastikan bahwa dengan sekali gerakan kilat saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si Perenggut Jiwa betul-betul akan dapat merenggut lepas nyawa Thian Ong.
Pada saat itu, ketika merasakan sambaran angin di belakangnya, Song Thian Ong maklum kalau dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia menggerendeng dan rundukkan tubuh sedikit sambil memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo Hosiang kini dipakainya sebagai kemplangan menebas ke arah datangnya serangan!
"Buukkk...!"
Terdengar suara bergedebukan yang keras ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan lengan kanan si Perenggut Jiwa. Tokoh lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya terbanting ke kiri sampai empat langkah tapi lengannya sama sekali tidak cedera bahkan terasa sakitpun tidak! Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang tangan yang dimilikinya.
Padahal jangankan manusia, batang pohon pun kalau sampai kena digebuk lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga dalam luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
Kini Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak cidera namun tubuhnya yang terlempar sampai sejauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa Thian Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak bisa dibuat main.
Padahal sesungguhnya murid IkBo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat gerakan acuh tak acuh dan tidak pula disertai kekuatan tenaga dalam yang berarti. Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa merasa malu sekali karena lawan gila yang dianggapnya remeh dan gila itu ternyata tak dapat dibereskannya dalam satu gebrakan saja.
Didahului dengan bentakan galak dia sengaja keluarkan jurus silatnya yang terlihay untuk menebus rasa malunya yakni jurus yang bernama 'Siang-lui Gui-san' atau Sepasang Petir Membelah Gunung. Kehebatan jurus ini memang luar biasa. Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini hanya merupakan bayangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras setiap serangan dilancarkan.
Tampaknya Thian Ong kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan serangan balasan dengan kebutan ujung lengan pakaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaringdan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas, turun lagi dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Pemuda ini agaknya merobah permainan silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah dipergunakannya dalam menghadapi Kiat Bo.
Namun setiap tendangan yang dilancarkannya selalu dapat dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa. Thian Ong jadi penasaran. Dia jungkir balik kembali dan kini mainkan jurus silat baru. Memang, si Siperenggut Jiwa jadi terdesak hebat namun sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat mental selama dia masih sanggup mempergunakan sepasang tangannya yang benar-benar ampuh untuk menangkis maka dia sama sekali tak mengalami cidera.
Lama-lama Thian Ong jadi beringas. Murid Ik Bo Hosiang ini mencak-mencak macam orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya digerakkan, menghamburlah pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga dalam tinggi. Berkali-kali si Perenggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu mempergunakan kedua lengannya untuk menangkap maka setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas menyerang!
Dua puluh jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan mandi keringat, pakaian kusut masai dan muka celemongan karena berulang kali jatuh atau terguling-guling di tanah. Sebaliknya Thian Ong masih biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya keluar dari mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagaimana dapat merobohkan lawan yang memiliki sepasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang disusul dengan suara orang menyanyi.
Dua Puluh jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi buta
Dua tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?
Semua orang yang ada di situ terkejut, termasuk Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur dan mendongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon tampak duduk seorang pemuda asing tak dikenal, rambutnya gondrong dan mulutnya penuh berisi buah apel yang digerogotinya.
Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong tiba-tiba tertawa bergelak. "Gondrong! Tampang mu tolol dan lagakmu juga edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan dengan aku, silahkan turun beri petunjuk!"
Tapi orang di atas pohon tidak mau turun, malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi.
Segala sesuatunya tidak sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak gila
Untuk menduga dan me-reka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara yang keras ada yang lemah
Pada kelemahan terdapat kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka.
Orang di atas pohon kunyah terus buah apel dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ongikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang lagi pada si gondrong di atas pohon, lalu tertawa.
"Aku mengerti... aku mengerti sekarang cihuy terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobatku! Cihuyl"
Thian Ong kelihatan girang sekali dan sampai-sampai dia membuat gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, langsung dia menuding si pendek Perenggut Jiwa dan berkata keras, "Mata juling, ayo kita bertempur lagi."
Lalu dia berpaling pada Pengho, Pengemis Sakti Tangan Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia penjajah, sekarang kalian lihat bagaimana aku akan merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!" Thian Ong tertawa lagi gelak-gelak.
Selagi dia tertawa begini si Perenggut Jiwa menyerbunya dengan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama lima jurus. Di jurus keenam, Thian Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan serangan ganas dengan tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian rupa hingga tak bisa dikelit dan mau tak mau si Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk menangkis.
"Buukkk...!"
Lagi-lagi sepasang lengan mereka beradu. Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Perenggut Jiwa tidaklah mempunyai ilmu kebal seperti yang dimiliki kedua lengannya. Manusia ini menjerit setinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter, menggeletak tak berkutik lagi, mati dengan perut bobol!
"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih sahabatku?" teriak Thian Ong berulang kali sambil jingkrak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon dimana pemuda gondrong yang makan buah apel itu nongkrong.
"Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata si gondrong.
Thian Ong manggut-manggut, lantas saja dikeruk saku pakaian si gondrong dan sambar dua buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian asyik mengunyah buah-buah apel itu seolah-oleh tidak perduli di mana mereka berada, seolah-oleh tidak ada terjadi apa-apa di situ!
"Manusia-manusia sinting! Gila!" maki Pengho dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau tidak karena diberi tahu oleh si gondrong itu kambrat kita si Perenggut Jiwa tak bakal mati ditangannya! Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal siapa bangsat gila yang berambut gondrong itu?"
"Tak pernah kuketahui siapa dia adanya. Mungkin sute atau suheng dari keparat bernama Thian Ong itu?"
Kiat Bo Hosiang gelengkan kepala. Ik Bo Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari pada Thian Ong bocah penggembala hina dina itu. Pemuda yang gondrong ini jelas bukan orang Han!"
Sementara itu di atas pohon saking girangnya Thian Ong begitu makan habis dua buah apel lantas keluarkan serulingnya dan tiup benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah Sobat! Kau ternyata pandai sekali main suling. Boleh aku ikut menimpali?!" bertanya si gondrong.
"Tentu, tentu saja!" sahut Thian Ong gembira sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan! Silahkan!"
Si gondrong merogoh pinggang pakaiannya sesaat kemudian terlihatlah sinar menyilaukan. Ternyata pemuda ini keluarkan sebuah senjata berbentuk kapak bermata dua yang pada mata-matanya yang menyilaukan itu tertera angka 212. Kapak aneh ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran kepala naga pada sebelah bawahnya, sedangkan pada batang gagang terdapat lobang-lobang. Dan ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir naga-nagaan lantas meniup, maka membersitlah suara lengkingan seperti tiupan seruling, dahsyat luar biasa.
Kiat Bo Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing bergetar sakit. Buru-buru mereka tutup indera pendengaran. Tapi dada masing-masing masih saja terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan suling yang demikian luar biasa hingga menggetarkan tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi mereka.
Pengho, sebagai orang yang paling tinggi ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawannya masih merupakan jago silat kelas rendah pastilah telinga masing-masing telah rusak berdarah mendengar tiupan suling yang luar biasa karena disertai aliran tenaga dalam dahsyat itu!
"Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak dapat lagi menahan kejengkelannya. Amarahnya meluap karena dia merasa seolah dipermainkan. Disamping itu Thian Ong harus mati untuk menebus nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian Ong pemuda keparat! Turunlah untuk menerima kematian!" teriak Pengho menggelegar diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.
Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus meniup suling masing-masing dalam lagu tanpa nada tak karuan! Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari Mongol ini angkat tangan kanannya dan menghantam keatas pohon!
Satu gelombang sinar hitam menggebu kearah cabang pohon di mana Thian Ong dan pemuda gondrong yang bukan lain adalah Wiro Sableng si Pendekar 212 tengah duduk ongkang-ongkang kaki enak-enakan sambil tiup suling. Terdengar suara keras hancurnya cabang pohon serta rontoknya dedaunan yang kemudian disusul oleh tumbangnya pohon besar itu.
Tapi suara tiupan dua suling sama sekali tidak berhenti dan baik Wiro maupun Thian Ong tidaklah menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja mereka tahu bahaya dan siang-siang sudah berkelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah enak saja mereka duduk menjelepok dan terus memainkan suling!
Kiat Bo Hosiang melengak, Pengemis Sakti Tangan Kidal naik turun tenggorokannya sedang Pengho kaget. Bwe Hun yang saat itu masih berad adalam keadaan tertotok meskipun hatinya cemas setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda yang agaknya sama-sama keblinger itu dalam hati jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitulihay keduanya masih saja gila-gilaan, padahal maut sudah di depan mata!
"Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk menerima kematian!" teriak Pengho.
"Ah, di sini banyak pengganggu. Bagaimana kalau kita main suling di tempat lain saja?" ujar Thian Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan sulingnya ke balik pinggang pakaiannya yang gombrong.
Wiro pun hentikan permainannya, masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. "Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri mengikuti Thian Ong.
"Bangsat! kau mau pergi ke mana?'" teriak Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan kidal dan memerintah. "Bunuh dia!"
Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit lalu tertawa melengking? Terima kasih Pengho-twako, memang aku sudah lama tak membunuh orang. Hari ini tanganku yang sudah gatal akan dapat bagian!"
Sambil melintangkan tongkat kayu yang dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal maju mendekati Thian Ong.
"Thian Ong, kau ditakdirkan mampus di tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh, Sobat," ujar Thian Ong sambil menepuk bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu seperti malaikat maut saja. Apakah begini tampangnya malaikat maut?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Entahlah, aku pun belum pernah melihat. Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan dari tua bangka keriputan ini" sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua anak geblek itu lantas tertawa terpingkal-pingkal.
"Wuuttt...!"
Entah kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat ditangan kiri Pengemis Sakti Tangan Kidal sudah membabat ganas ke batok kepala Thian Ong. Meskipun tadi kelihatannya acuh tak acuh namun begitu diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan lebih dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua kakinya telah melancarkan serangan balasan.
Satu mendepak ke arah perut sedang lainnya menendang ke tenggorokan lawan. Namun tingkat kepandaian si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si PerenggutJiwa. Ilmu tongkatnya lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua serangan itu dikelitkannya dengan mudah, bahkan kini tongkat di tangan kirinya menyapu-nyapu dahsyat sekali.
Song Thian Ong dalam tingkahnya yang gila-gilaan itu beberapa kali hampir kena dihantam senjata lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang bukan-bukan sambil tak lupa mengejek dan mencaci maki lawannya sehingga Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.
Dengan matanya yang tajam dan pengalaman luas, Pengho si tokoh utama di Mongol segera melihat bahwa sesungguhnya Thian Ong memiliki dasar ilmu silat yang lebih hebat dari Pengemis Sakti Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka pemuda ini masih melayani tokoh lihay yang berasal dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena tingkahnya yang aneh dan gila-gilaan itulah yang membuat dia seolan-olah tak mau menurunkan tangan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.
"Kiat Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti" berseru Pengho setelah 20 jurus lagi berlalu tanpa kambratnya itu bisa melakukan sesuatu terhadap Thian Ong.
Kiat Bo Hosiang cabut tongkat bajanya dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!" teriak Wiro marah.
"Orang asing! Tutup mulutmu!" sentak Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri urusan orang lain! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kugebuk!"
"Eit enak betul memerintah orang. Kau kira aku ini kacungmukah?! Makan ini!" teriak Wiro sambil keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya.
Buah ini dilemparkannya dengan sebat. Pengho bergerak cepat tapi dia kecele karena Wiro sama sekali tidak menyerangnya, melainkan melemparkan buah apel itu ke arah Li Bwe Hun yang masih tegak tak berdaya karena ditotok.
"Buukkk...!"
Buah apel itu mengenai tepat di tengkuk Li Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai si gadis serta merta buyar karena memang disitulah sebelumnya Thian Ong telah menotok Bwe Hun yakni sewaktu gadis ini hendak melarikan diri dari Kiat Bo Hosiang yang hendak membunuhnya.
"Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.
Li Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Kemudian seolah-olah patuh, dia memungut sebilah golok milik bekas seorang prajurit Kerajaan dan tanpa banyak bicara terus ke kalangan pertempuran!
Sebenarnya Wiro merasa yakin kalau Thian Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun Pendekar 212 ini yang sudah gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam mendapat akal. Maka dilepaskannya totokan Bwe Hun lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian Ong.
Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong semakin sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya dua lawannyalah kini yang berada dalam kedudukan sulit! Dan hal ini diketahui oleh Pengho si tokoh lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan Kiat Bo Hosiang. Bahkan dia ingin sekali kakek-kakek bangsa Han yang sejak lama dibencinya itu mampus saat itu juga.
Namun dia sama sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera menyerbu pula ke dalam kancah pertempuran. Justru inilah yang dikehendaki Wiro!
"Tua bangka bermuka kepiting rebus!" teriak Wiro memaki Pengho yang memang memiliki tampang merah seperti kepiting rebus. "Aku lawanmu, jangan main keroyok!
Mendengar makian itu dan melihat Wiro berkelebat ke arahnya serta merta Pengho lepaskan pukulan saktinya yang tadi telah dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan Thian Ong di atas pohon. Sinar hitam menderu ganas ke arah Pendekar 212. Wiro kaget juga karena tak menyangka begitu mulai berkelahi lawan sudah lancarkan serangan pukulan sakti itu.
Memang Pengho tak mau kepalang tanggung menghadapi lawan yang sudah diduganya tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena petunjuk Wiro-lah sampai Thian Ong berhasil membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya dendam serta kebencian bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang kepalang.
Wiro keluarkan siulan melengking lalu lepaskan pukulan sinar matahari ke depan. Sedangkan sinar putih panas dan menyilaukan bergemuruh memapas sinar hitam serangan Pengho. Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti itu bentrokan di udara dengan mengeluarkan suara yang hebat!
Tubuh Pengho terhuyung sampai lima langkah ke belakang sedang tangan kanannya sampai sebatas pangkal bahu terasa sakit berdenyut-denyut. Di lain pihak sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal dan tubuhnya bergetar.
Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia mengalami bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas sudah bahwa pemuda rambut gondrong itu memiliki kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada disebelah bawah sobatnya si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka! Naga-naganya aku bakal mendapat kesulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak.
Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagaimana kambratnya Pengemis Sakti lengan Kidal yang membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang mempergunakan serulingnya sebagai senjata dan mainkan jurus-jurus silat aneh berhasil memukul mental tongkat kayu Pengemis Sakti!
"Tahan, seru Pengho tiba-tiba seraya melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa cukup sudah kita main-main dengan orang-orang ini. Kita masih ada urusan lain yang lebih penting harus diselesaikan. Lain hari saja kita layani mereka kembali. Mari...!"
Pengemis Sakti Tangar Kidal yang maklum apa arti kata-kata Pengho itu dan menyadari pula keadaan mereka yang sulit bahkan bakal celaka. Tanpa bicara lagi segera meninggalkan tempat itu menyusul Pengho yang telah berkelebat pergi lebih dulu tanpa memperdulikan Kiat Bo Hosiang. Kiat Bo Hosiang yang ditinggal sendirian, sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur keadaannya terjepit antara Thian Ong dan Bwe Hun.
Dan saat itu sambil menyeringai Thian Ong datang mendekati. "Kasihan kau tak mempunyai kesempatan kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena suhu telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan tobat adalah layak untuk dibunuh!"
Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong lantas kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun dia sempat berkelit tapi tak urung bahunya masih kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. Dengan menggembor marah Kiat Bo Hosiang mengirimkan serangan balasan. Tongkat bajanya bersuit-suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi bagaimana pun juga tingkat kepandaian Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak mengejek dan main-main, maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betul aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian berlangsung empat jurus tiba-tiba pendekar aneh berbaju gombrong dari Gunung Naga ini berteriak;
"Awas tongkat!" Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang sudah terlepas kena dirampas. "Lihat suling...!" terdengar lagi seruan Thian Ong.
Dan detik Itu pula suling di tangannya telah menyambar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi. Kiat Bo Hosiang hanya bisa mendelik kaget melihat datangnya maut. Sedetik lagi suling itu akan menusuk amblas leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan Bwe Hun;
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Thian Ong tersentak heran. Masih untung dia sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga benda ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo Hosiang. "Eh, apa-apaan kau Nona Li?!" bertanya Thian Ong.
Sedang Wiro juga heran sambil garuk-garuk kepala. Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang. Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
"Nona, tadi kau hendak dibunuhnya dan malah mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya. Sekarang kenapa kau mencegah aku membuat dia konyol?!" bertanya kembali Thian Ong. "Ingat, manusia sesat pengkhianat semacam ini amat berbahaya. Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.
Kiat Bo Hosiang terkesiap. Dadanya berdebar dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya kehendak Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya atau hendak turun tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki. Kurasa kau masih bisa keluar dari segala macam comberan busuk yang kau renangi selama ini. Jika kau sadar dan berjanji untuk kembali ke jalan yang benar, kurasa murid suheng mu ini pasti akan mengampuni mu. Bagaimana..."
Semakin pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba saja sepasang matanya berkaca-kaca. "Tak mungkin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam kesesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang. Aku tak akan melawan. ThianOng! Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek lalu jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, menangis tersedu-sedu.
"Suhu, tak ada dosa yang tak berampun. Kalaupun kau merasa telah berbuat dosa dan kesalahan besar kurasa masih ada jalan untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum penjajah Mongol yang selama ini mendatangkan malapetaka."
"Itu betul!" seru Thian Ong yang tiba-tiba saja kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi syaratnya satu," menyahuti Wiro. "Asal jangan dia menipu kita. Kalau tidak bisa berabe seumur-umur!"
"Kalau... kalau kalian memang bersedia memberikan pengampunan dan ingin berjuang bersama, aku rasa memang inilah kesempatan bagiku untuk menebus dosa..."
"Berdirilah suhu, mari kita atur rencana," kata Bwe Hun pula seraya memegang bahu Kiat Bo Hosiang dan memungut senjata kakek ini.
Menurut Kiat Bo Hosiang yang paling tahu seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah sulit untuk menumpas habis pasukan-pasukan Mongol yang kuat dan banyak disekitar perbatasan. Sebenarnya bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika saja mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang yang mengatur semua kekuatan itu, yang sekaligus menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan. Pusat kekuatan dan pengaturan ini terletak di kota Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan.
Di sini terdapat sebuah gedung besar yang merupakan markas daripada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari 'arsitek' dan 'pelaksana' pejajahan. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang jenderal bernama Karfi Khan, kemudian Penghu, sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti Tangan Kidal dan kira-kira selusin perwira-perwira tinggi yang lihay.
"Terus terang saja, sebelumnya aku pun menjadi salah seorang diantara mereka di sana. Namun syukur kalian telah membuka kedua mataku. Jika kita sanggup mengobrak-abrik markas mereka itu dan membunuh semua tokoh yang ada di situ kukira hancurlah induk kekuatan kaum penjajah Mongol. Balatentara Mongol yang banyak tak ada artinya. Tak lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa prajurit-prajurit Mongol telah muak dengan peperangan apalagi kekejaman-kekejaman yang lewat batas kemanusiaan yang selama ini diperlihatkan oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang diperhatikan, markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"
Sesaat semua orang terdiam setelah mendengar keterangan Kiat Bo Hosiang itu.
"Bagaimana...?" Bwe Hun bertanya.
"Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.
"Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
"Bagus! Sebaiknya kita berangkat sekarang juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh semua orang. Maka keempat manusia berkepandaian tinggi itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat itu suasananya hiruk-pikuk maka kini jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana sini bertebaran puluhan mayat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup sulit hampir selama dua minggu akhirnya mereka sampai juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan Tiongkok pertama yang direbut oleh bangsa Mongol sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah yang kini dikuasai bangsa Mongol maka suasananya tenang dan aman, tak banyak prajurit-prajurit yang kelihatan berkeliaran.
Namun adalah berbahaya bagi Thian Ong, Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota pada siang hari sekalipun mereka bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka mengatur rencana dan baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
Bila senja berganti dengan malam, gedung besar yang menjadi markas para tokoh Mongol kelihatan terang dan tenang. Di pintu depan lima orang pengawal asyik bercakap-cakap sedang lainnya melakukan perondaan sekeliling tembok halaman. Tadi sudah dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun untuk gedung penting seperti markas itu tentu saja harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.
Di dalam gedung, pada sebuah ruangan besar empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi meja. Mereka adalah Pengho di kepala meja, Jenderal Karfi Khan di kepala meja yang lain, lalu Penghu sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal ditambah sepuluh orang perwira tinggi bangsa Mongol.
Satu jam yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti baru saja kembali dan langsung mengumpulkan orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan. Yang jelas tentu saja Pengho menuturkan apa yang telah terjadi dua minggu lalu antara dia dan murid Ik Bo Hosiang.
"Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih bahaya adalah konconya, seorang pemuda asing berambut gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya Jenderal Karfi Khan.
"Entahlah, kami tinggalkan saja dia sendirian. Mungkin sudah mampus di tangan muridnya sendiri atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis Sakti.
"Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak begitu senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.
Setelah membicarakan susunan dan keadaan pasukan Mongol di beberapa tempat di selatan, Pengho kemudian berkata; "Dengan adanya pengacau-pengacau seperti Thian Ong dan pemuda asing serta gadis murid Kiat Bo Hosiang itu pasti akan banyak mempengaruhi keadaan kita. Dalam perjalanan kemari aku dan Pengemis Sakti telah membicarakan rencana untuk mendatangkan beberapa tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau sampai Ik Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita akan semakin sulit. Kita basmi dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan ratusan pasukan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh lihay seperti kita masakan Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dari puncak Liong-san?! Aku hanya menunggu persetujuan dari para hohan di sini saja." (Hohan artinya orang gagah).
"Kurasa semua kita di sini dengan menyetujui rencana Pengho Lo-enghiong dan Wanglie Lo-enghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima kasih kalau begitu aku dan Pengemis Sakti akan berangkat bes..."
Pengho tak meneruskan kata-katanya karena saat itu matanya melihat alat rahasia yang terletak di dinding bergerak-gerak.
"Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru Pengho.
Orang-orang yang ada dalam ruangan pertemuan itu serta merta melompat dari kursi masing-masing dan hunus senjata Pada saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Kiat Bo Hosiang.
"Eh, bukankah kau sudah mampus di tangan murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum, masih belum Pengho Lo- enghiong,"sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang muda lihay itu?!" Pengemis Sakti kini yang ajukan pertanyaan.
Sebelum Kiat Bo Hosiang sempat menjawab Pengho kembali buka mulut. "Apakah kau masih punya muka untuk kembali kemari?!"
"Ah soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini tidak lebih baik dari mukaku!"
"Wah kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!" tukas Jenderal Karfi Khan.
Sementara Pengho melirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat itu masih kelihatan bergerak sedikit.
"Ketahuilah aku datang bukan sebagai Kiat Bo Hosiang yang dulu. Selama ini kalian orang-orang Mongol telah memperdayaiku, membujuk dan merayu hingga aku lupa daratan dan menindas, memusnahkan bangsa sendiri!"
"Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa maumu sebenarnya," membentak Pengho.
"Kalian kaum penjajah terkutuk hari ini harus bertanggung jawab atas kejahatan dan kekejian apa yang telah kalian lakukan terhadap tanah air dan bangsaku!" Habis berkata begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru, "Kawan- kawan silahkan turuni"
Serentak dengan itu terdengar suara ribut di atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol dan tiga sosok tubuh melayang turun dalam gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang ajar!' teriak Pengho. Dia sudah maklum siapa-siapa adanya tiga manusia yang masuk menerobos itu karenanya segera saja dia hantamkan kedua tangannya ke atas. Dua larik sinar hitam menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro Sableng yang tengah melayang di udara.
Terdengar suara tertawa Thian Ong disusul dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke kiri dan laksana seekor naga dia menukik ke arah Pengho sambil lancarkan satu jotosan. Tokoh dari Mongol ini cepat membuang diri ke samping hingga serangan lawan mengenai tempat kosong.
Di atas sana pukulan sinar hitam Pengho telah menghancur leburkan atap ruangan, sementara Pendekar 212 Wiro Sableng yang membalas dengan pukulan sinar matahari telah membuat lantai ruangan hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!
"Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau danJenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi menghadapi bangsat berambut gondrong. Aku sendiri akan mencincang bangsat pengkhianat ular kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas kepung gadis binal baju hijau itu!"
Pengho sengaja mencari lawan dan menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia merasa jerih terhadap Thian Ong apalagi Wiro Sableng. Di dalam ruangan besar yang sudah porak poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat seru! Dengan sebilah pedang berwarna ungu, Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat Bo Hosiang dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus saja Kiat Bo Hosiang segera terdesak hebat!
Li Bwe Hun yang menghadapi lima pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-pengeroyoknya terdiri dari perwira-perwira berkepandaian tinggi namun dengan mainkan jurus-jurus ilmu tongkat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tempo enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok bergeletakan mandi darah.
Pada saat gadis ini hendak menolong suhunya yang tengah didesak hebat oleh Pengho, tiba-tiba dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpinoleh seorang perwira tinggi. Terpaksa Bwe Hun menghadapi mereka lebih dahulu. Setelah mengamuk hampir sepuluh jurus dan membuat lawan roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup ambil langkah seribu, maka Bwe Hun menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam keadaan terdesak tadi, Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu ilmu tongkat garuda sakti atau 'Sin-eng Thung-hoat'. Namun Pengho yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh ilmu tongkat itu. Di lain saat pedangnya sudah menggebu-gebu kembali melabrak ke arah lawan dan di satu kesempatan berhasil membabat bahu kiri Kiat Bo Hosiang hingga putus buntung dan darah menyerbu!
"Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan kalap gadis ini menyerbu ke arah Pengho.
Sementara Kiat Bo Hosiang menotok bahunya di beberapa tempat hingga darah berhenti memancur kemudian dengan gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahumembahu dengan muridnya.
"Bagus! Kalian datang berdua! Hingga aku tak susah-susah membunuh guru dan murid sekaligus!" seru Pengho dengan seringai maut lalu kiblatkan pedang ungunya menghadapi dua lawan yang dia yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.
Thian Ong yang dikeroyok oleh jago-jago lihay yakni Penghu (adik dari Pengho) dan Jenderal Karfi Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot. Hal ini terutama karena dia sesekali masih saja kejangkitan penyakit keblingernya hingga menghadapi lawan lebih banyak mempermainkan dan mengejek.
Tetapi ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di dadanya dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting aneh ini baru sadar. Serta merta dia cabut sulingnya dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liong-san yang dipelajarinya selama dua belas tahun dari Ik Bo Hosiang!
Menghadapi ilmu silat yang tak pernah dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya Penghu serta Jenderal Karfi Khan kebingungan. Betapapun lihaynya mereka namun jurus demi jurus keduanya mulai terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu tiba-tiba Thian Ong keluarkan pekik nyaring.
Serentak dengan itu tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu. Tubuhnya mencelat lima langkah. Keningnya kelihatan berlubang dan mengucurkan darah. Sekali lagi adik dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu roboh. Thian Ong telah menghantam keningnya dengan suling hingga berlobang dan membuat nyawanya lepas.
Melihat adiknya mati Pengho menggembor marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang hebat dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek ini terjungkal dihantam tendangannya dan selagi sempoyongan pedang Pengho cepat menebas lehernya hingga Kiat Bo mati dengan kepala menggelinding!
Li Bwe Hun terpekik ngeri melihat kematian suhunya itu. Dengan kalap tanpa mempertimbangkan lagi kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho seorang diri. Tapi sekali Pengho gerakkan pedangnya maka patah mentallah pedang di tangan si nona. Dilain saat senjata Pengho membacok ganas ke kepala si nona tanpa dapat dikelit lagi ataupun ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho yang tengah turun dengan deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa yang dilemparkan karena saking cepatnya lemparan dan di samping itu dia tak dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Crasss...!" Pedang Pengho membacok tepat di pertengahan tubuh yang terlempar.
Terdengar jeritan, tubuh itu terhampar ke lantai tak berkutik lagi dengan pinggang terbabat putus. Ketika diperhatikan ternyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan tertegun sedang Pengho dengan muka pucat berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu asyik 'menggebuki' perwira-perwira Mongol yang tengah mengeroyoknya!
Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Seperti diketahui sebelumnya Pengemis Sakti Tangan Kidal bersama dengan lima perwira tinggi Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima perwira ini adalah lebih lihay dari lima perwira lain yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin oleh Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro kalang kabut.
Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun maka dalam satu gebrakan saja dia berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia menendang mental perwira yang ketiga matanya yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho tengah melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala Bwe Hun tanpa si gadis bisa berkata apa-apa.
Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya kearah ulu hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama 'Lo-han Ciang-yau' atau 'Malaikat Menundukkan Siluman', Wiro sambar lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar di atas kepalanya lalu dilempar ke arah Pengho.
Seperti yang diperhitungkan oleh Wiro dan malang bagi Pengemis Sakti, tubuh kakek itu terlempar tepat antara kepala dan bacokan pedang hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho menghantamnya tepat di pinggang.
Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah kau sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek Pendekar Sableng ini lalu tertawa gelak-gelak.
Sementara Thian Ong mendengar suara tertawa kambratnya itu ikut-ikutan pula tertawa dan membuat gerakan yang bernama Koay-liong Hoan-in' atau Naga Aneh Berjumpalitan'. Tubuhnya seperti terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendangke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu suling di tangan kanan memburu dengan cepat.
Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian Ong hingga ususnya berbusaian keluar! Dengan matinya Jenderal Karfi Khan maka kini Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini membuat nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat ke pintu.
Wiro memburu disusul oleh Thian Ong. "Biang racun anjing penjajah kau mau kabur kemana!" teriak Thian Ong.
Saat itu, sebelum keluar ruangan menghambur lari, Pengho masih sempat pergunakan tangannya untuk memutar sebuah tapel (ukiran kayu) kepala manusia di dinding dekat pintu. Serta merta terdengarlah suara mendesir di seantero ruangan.
"Awas senjata rahasia!" teriak Wiro memperingatkan.
"Lekas tiarap!" seru Thian Ong.
Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan diri di lantai ruangan. Detik itu pula dari empat tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah seratus pisau terbang berwarna hijau gelap. Bagaimanapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah ruangan pastilah tak bakal dapat menyelamatkan jiwanya!
Begitu serangan pisau terbang berhenti, Wiro cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai di sana dalam waktu yang tepat karena masih sempat melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap gedung sebelah kiri. Wiro segera memburu dan dalam waktu singkat berhasil menyusul pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho sadar dia tak akan bisa menang menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak mungkin. Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan diatas genteng yakni Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si nona belum apa-apa lantas saja sudah menyerangnya dengan sebuah golok besar yang diketahuinya adalah milik Jenderal Karfi Khan.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pengho daripada melawan mati-matian. Sebenarnya dalam tingkat ilmu kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol itu. Namun saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau takut dan gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa mengintai kelengahan lawan untuk melarikan diri.
Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro meskipun tidak langsung turut pula ambil bagian dalam pertempuran. Setiap Pengho mendesak Bwe Hun atau lancarkan serangan berbahaya maka tahu-tahu pantatnya ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang Wiro menjambak rambutnya atau menarik turun celananya. Sambil berbuat begitu kedua pemuda sableng itu tertawa-tawa tiada henti.
Akhirnya dalam keadaan penasaran, Pengho pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya sendiri! Tokoh utama dari Mongol ini roboh, terguling dari atas genteng, jatuh ke tanah dengan pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan Thian Ong, Wiro Sableng, Li Bwe Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar pentolan-pentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul menggemparkan baik empat kalangan Pemerintah Mongol maupun Pemerintah Tiongkok. Kalau orang Mongol merasa sangat terpukul maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribuan tentara Tiongkok dua minggu kemudian menyerbu ke perbatasan.
Dan betullah seperti kata-kata mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas sumber kekuatan penjajah itu dihancurkan maka bala tentara Mongol meskipun berjumlah besar namun tak lebih dari anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Seluruh kekuatan Mongol disapu bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari kaum penjajah yang selama ini telah mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di kalangan rakyat.
Namun agaknya tugas Song Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum selesai karena di selatan masih banyak pemimpin-pemimpin yang tak tahu diri yang perlu disingkirkan. Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula melakukan petualangannya.
SATU
Lembah Merak Hijau yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah masak menguning hingga kemanapun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Dipagi yang cerah ini diantara desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut?
Tentunya seorang seniman pandai yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat hembusan napas yang disalurkannya kedalam lobang seruling. Tetapi adalah diluar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang seniman, bukan pula seorang dewasa.
Melainkan seorang anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap berbulu bersih dan berkilat. Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau, kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan.
Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya. Akan tetapi ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta merta si bocah menghentikan permainan serulingnya.
Mulutnya ternganga dan sepasang matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru. Adalah aneh... memikir anak itu... di tempat yang begini indah dan segar, ada orang berkelahi.
Memperhatikan dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka lagi.
Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling Kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya.
Dengan susah payah dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengankerbau tunggangannya. Di depan sana akibat kejadian yang tak di-sangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat denganjelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitamdan putih tadi. Di depan sebelah kanan tegak seorang kakek-kakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang kilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja. Namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot dan air muka menunjukkan kemarahan dia membentak pada kakek jubah hitam,
"Tua bangka botak! Kau telah membunuh kerbau ku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak..."
Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. Apalagi anak-anak yang masih ingusan pula. Tentu saja darahnya naik ke kepala.
"Pergi kau dari sini. Kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!"
"Bocah sundal! Kau mampuslah!" teriak kakek jubah hitam marah sekali.
Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam luar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu anginpukulan lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah. Ternyata kakek berpakaian putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut. Dengan marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi dan lari ke arah kakek berjubah hitam. "Tua bangka botak! Ku gebuk kau dengan suling-ku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
Anak yang berani ini tidak menyadari sama sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nyawa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah hitam memang sudah berniat membunuh anak itu.Tapi lagi-lagi orang tua berpakaian putih menyelamatkannya . Sekali bergerak, kakek yang satu ini tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanian mu luar biasa dan mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu! Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam. Kemudian dengan merengut dia berkata, "Kalian tua-tua bangka tak tahu diri. Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak garang dan menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi bayang-bayang hitam putih dan kembali pula si bocah menjadi sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan.
Namun dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat itu sambil tiada hentinya berteriak, "Janggut putih, ayo kau hajar kepala botak pembunuh kerbau ku itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala binatang gembalaan ku!"
Teriakan-teriakan anak ini seolah-olah memberi semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya membuat si botak jadi penasaran setengah mati. Dari batlk jubah hitamnya si botak ini keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu berwarna hitam legam dan memancarkan sinar menggidikkan.
Setelah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata dia tak dapat merubuhkan lawan dengan tangan kosong maka kini dengan senjata itu dia berharap bakal dapat mengalahkan kakek janggut putih.
Di lain pihak lawannya begitu melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian keduanya sudah bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian mereka yang putih dan hitam dibuntali oleh sinar dari senjata masing-masing dan menderu-deru dengan dahsyatnya.
Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua senjata tersebut membuat lututnya goyah dan tubuhnya bergetar menggigil. Terpaksa dia menjauh sampai satu tombak dari kalangan pertempuran. Sementara mata dan kepalanya semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan tusukan-tusukan gencar ke arah lawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan tongkat kayu mustika beradu dengan keras, mengeluarkan suara nyaring. Tongkat kayu mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan kakek janggut putih!
Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul sedikit dari lawannya. Selagi kakek janggut putih melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua tangan di depan dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan asap hitam itu sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan yang amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung garuda dan mulai menggapai-gapai ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan wajah berubah. (Hoatsut ilmu sihir hitam). Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar juga.
Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan. Dengan memutar tombak bajanya sekeliling tubuh, dia menyusup diantara kepulan asap hitam!
DUA
Akan tetapi sebelum tongkat baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam sampai jarak tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah berserabutan menyerang kakek janggut putih! Si kakek tersentak dan buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih memburunya dengan ganas.
Si kakek kiblatkan tombak bajanya, sekaligus melabrak empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil menghantam empat tangan mengerikan itu namun tombaknya lewat begitu saja seolah-olah menghantam udara kosong. Dan dalam pada itu salah satu tangan tersebut telah berkelebat dengancepat dan...
"Brettt...!"
Pakaian dibagian dada si kakek robek besar. Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat baret daging dadanya dan kontan orang tua ini merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru diasalurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit panas dingin berangsur-angsur berkurang.
Dalam pada itu di depan sana kakek jubah hitamkembali keluarkan suara tawa mengekeh dan delapan tangan siluman kembali menyerbu! Kakek janggut putih maklum bahwa segala pukulan sakti dan tombaknya tak akan mampu menghadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang sudah amat tinggi.
Tapi sampai berapa lama dia bisa berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka? Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu melaksanakannya? Cepat atau lambat dia bakal celaka juga!
Hal ini membuat dia nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betul-betul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja dia sudah didesak habis-habisan!
Bocah penggembala yang mengharapkan agar kakek janggut putih bisa menghajar si botak yang telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan bagaimana justru kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya karena saat itu beberapa kali tangan-tangan iblis berkuku panjang telah memukul dan mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah akibat luka-luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki itu mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan melempari kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batu-batu yang dilemparkan jangankan mengenai, mendekati tubuhnya saja pun tidak. Karena batu-batu itu mental kembali akibat hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala botak!
Hebatnya kakek janggut putih itu meskipun sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya sudah ditentukan saat itu, namun dia masih saja bertahan dan melawan mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu bakal menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala. Tetapi anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat ini. Malah untuk menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil serulingnya dan mulai meniup. Lagu yang dimainkannya sama sekali tak menentu.
Rasa takut dan khawatir melihat keselamatan si kakek janggut putih terancam membuat tiupan serulingnya melengking-lengking tak karuan. Tetapi justru tiupan seruling inilah yang mendadak sontak merubah keadaan didalam kalangan perkelahian hidup mati itu. Delapan tangan iblis yang mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau.
Semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap hitam. Kakek jubah hitam tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan pikirannya guna mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai berai namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua matanya.
Justru disaat itu musuhnya yang telah luka parah laksana banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang mendadak dan adanya kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan mematikan yang bernama 'Joan-hun Ki-gwat' atau 'Menyusup Awan Mengambil Rembulan'.
Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielakkan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat nyawanya ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan. "Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang akan dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya penuh luka-luka, dalam keadaan megap-megap segera bersila di tanah. Atur jalan darah dan napas serta salurkan hawa sakti tenaga dalam keseluruh bagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua macam obat yakni beberapa butir pil dan sebungkus obat bubuk. Pil itu ditelannya sampai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian kembali dia bersila.
Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahan-lahan orang tua ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski kini dia telah selamat dari kematian namun kesehatannya belum pulih keseluruhannya. Ternyata cakar dari jari-jari tangan siluman yang telah membuat dia cedera itu mengandung racun yang berbahaya.
Untung saja dia membawa persediaan obat, kalau tidak meskipun dia berhasil membunuh musuh namun racun, yang mengendap bukan mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka. Orang tua ini kemudian ingat pada anak gembala itu yang kini tengah duduk termangu-mangu dibawah sebatang pohon.
Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan karena kesalahannya dan si pembunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya pasti tak mau perduli. Masih mending kalau dia diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya tubuhnya laksana terbang. Memandang ke samping ternyata dia telah dipanggul oleh kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang dan ngeri.
"Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" serusi bocah dengan suara gemetar.
"Budak... kau diam sajalah. Tak usah banyak tanya!"
"Tapi aku harus kembali pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu..."
Si kakek tertawa. "Kau anak baik yang tahu apa artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan! Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat bagus sekali! Sayang... sayang kalau disia-siakan! Aku akan bawa kau ke puncak Liong-san! Kau dengar? Puncak Liong-san!"
"Aku... aku..."
Si kakek mempercepat larinya dan kerena ngerisi bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya 'terbang' itu!
Siapakah adanya kakek berambut putih ini?Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tujuannya sampai anak gembala tersebut hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang menemui ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dikenal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu diantara tokoh-tokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai pimpinan. Dengan sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu antara Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih yang membawa lari anak gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat sakit hati.
Selamat tiga tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka dicarinyalah kakek janggut putih tadi.
Ternyata Pak-san Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja dapat membunuh lawan. Namun tiada disangka-sangka, ilmu sihirnya musnah berantakan hanya karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau. Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh! Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?
TIGA
Kalau sebelumnya telah dijelaskan bahwa Pak-san Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan hitam yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari golonganputih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang menjadi tokoh kelas wahidnya. Dia dikenal dengan nama Kiat Bo Hosiang, berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang telah dianggap sebagai jago nomor satu pada masa itu, namun tokoh-tokoh persilatan bukan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya, yang sukar bahkan tak ada tandingnya diseluruh Tiongkok.
Namun sudah sejak lama orang ini mengundurkan diri dari urusan duniawi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas.
Diduga hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu berada. Sementara itu diketahui pula bahwa Ik Bo Ho-siang mempunyai dua orang pembantu masing-masing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat BoHosiang. Jika baru pembantunya saja sudah memiliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiangsendiri.
Sebagaimana lazimnya yang terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula terlepas dari diri Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak miring atau setengah gila!
Cuma untuk menyatakan pendapat atau anggapan itu secara tentu saja tak satu pun yang berani karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama saja dengan mengundang 'penyakit'. Setelah lari hampir seratus lie dan siang telah berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru berhenti.
Anak kecil yang didukungnya ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya ditanah. Dia sendiri kemudian menelan beberapa pil obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh daripada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong.
Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti setan yang berkelebat gentanyangan. Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia meneruskan perjalanan kembali.
Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga (Liong-san) yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap gunung itu angker, tak satu orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki gunung yang menjulang ini.
Sampai pertengahan lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mudah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit akan mati akibat bisanya yang jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak perduli akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek ini mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam hutan, sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan lereng, perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana menghadang batu-batu karang raksasa runcing menjulang langit, licin berlumut lembab. Disela batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari dijalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo Hosiang terus saja lari seenaknya. Melompat dari atas batu karang yang satu ke batu karang yang lainnya, melayang di atas jurang-jurang maut hingga akhirnya sampai di puncak Liong-san!
Saat itu di salah satu puncak Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih asyik bermain tioki (catur). Yang pertama berambut putih berbadan pendek. Usianya sekitar 60 tahun dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang seorang lagi kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan lain adalah pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara orang menyebut mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat mereka sebagai murid, sekalipun segala kepandaian silat yang didapat dari Ik BoHosiang sendiri. Disamping itu mereka dari sejak dulu memang bertugas melayani dan memenuhi apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti telah diterangkan sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang boleh di katakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan sendirinya menular pula pada kedua pembantunya, meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main tioki dan ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan berkata,
"Heh ada orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah mendengar. Sesaat keduanya saling memandang heran. Memang sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar yang naik ke puncak Liong-san. Jika hari itu ada orang yang datang ini merupakan suatu yang luar biasa. Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di depan mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut serba putih.
Di pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki berusia 7 tahun. Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liong-san hari ini akan kedatangan tetamu yang bukan lain adalah susiok kami sendiri!" (Susiok artinya paman guru).
Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang. Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai. "Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang ada?"
"Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liong-san ini" menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan hormat, "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
"Tentu... tentu saja."
Eh, susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosiang bertanya. Lo Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala"
Selama belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul membawa seorang anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang itu.
"Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia untuk urusan penting!"
Sekilas dua pembantu Ik Bo Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu susiok mereka dan memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek serta guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beritahu!"
Saat itu dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin memberikan jawaban. "Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak diganggu. Jelasnya siapapun yang datang beliau sekali-kali tak boleh diganggu karena saat ini sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut ToaSin.
Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga dalam yang luar biasa, dengan sendirinya suara tawanya dahsyat sekali. Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran. Keduanya saling pandang. Dan karena mereka memang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung Naga itu seolah-olah bergetar dilanda gelombang suara tertawa tiga manusia sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya. Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang matanya membeliak dan dari mulutnya keluar bentakan garang. "Kalian berdua kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui suheng ku sendiri?!"
Serta merta dua pembantu ini hentikan pula tawamereka. Toa Sin menyahut, "Bukan kami melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu. Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma menuruti perintan."
"Persetan dengan segala pesan dan perintah!Aku tidak mengenal segala aturan yang dibuat oleh suhu mu yang berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek! Jangan bikin aku marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi menahan marahnya.
"Ah, susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah tua bangka dan menjalankan perintah dengan segala tanggung jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai. "Jadi kalian kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. Satu gelombang angin menggebu dengan dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buru-buru menghindar ke samping. Namun tak urung sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang.
"Susiok, kau pun nyatanya sinting! Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun kami bakal hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!"
Yang bicara begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya. Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!
EMPAT
Meski cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari Liongsan itu memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika diukur maka kepandaian mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Kalau saat itu mereka maju berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan terdesak dan kalah.
Namun ada beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul dari kedua lawannya. Pertama sebagai pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan jarang sekali turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam pertempuran. Sekalipun memiliki kepandaian tinggi namun kurang pengalaman merupakan hal yang ikut menentukan.
Kedua, sepasang kakek-kakek dari Liong-san itu dikarenakan otaknya yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti main-main saja dan sambil tertawa-tawa haha-hihi!
Ketiga, sampai saat itu Kiat Bo Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala diatas pundak kirinya hingga dua kakek dari Liong-san tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena khawatir akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu teriakan keras dan serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat Bo Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu silat dari kakak seperguruannya.
Namun permainan silat yang dikeluarkan oleh dua lawannya saat itu aneh dan tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo Itu sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat Bo Hosiang membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua bangka-tua bangka Liong-san, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu silat kalian yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan penasaran.
Dari balik pinggang pakaiannya dia segera keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tongkat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar Sin-jiu Thung-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti itu mengamuk hebat.
Tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjatanya dalam tempo singkat dia sudah mendesak lawannya dengan hebat. Baik Toa Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau anggap musuh-musuhmu kah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup mulutmu manusia muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan...
"Kraakkk...!"
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil pegangi lengan kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah gilakah," teriak Toa Sin.
Namun kakek yang satu ini pun segera pula mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri remuk tulang kakinya sebelah kanan dan berguling ditanah sambil merintih. Tapi dasar gila, sekali dia masih bisa juga tertawa haha-hihi...!
"Tua bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang ku remukkan! Lain kali suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada kalian! Bagaimana menghormat seorang paman guru!"
"Paman guru sableng macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pantatnya dan kemudian kentut!
Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan beberapa kali lompatan kilat Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liong-san. Anak pengembala yang ada di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi sebelumnya! Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok kayu. Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping tengah bersemedi dengan cara yang luar biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di sebelah bawah pada batu hitam itu. Tubuhnya tak sedikitpun bergerak sedang dua tangannya dirangkapkan didepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang panjang, menjulai menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga melihat cara bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul diantara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak seperguruannyalah yang sanggup melakukan hal itu. Kalau tadi Kiat Bo ingin buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah bagaimana harus membangunkannya.
Tiba-tiba anak yang didukungnya menggeliat dan terbangun membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat di mana dia berada. Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki keatas kepala ke bawah.
"Hai... patung atau manusiakah ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo Hosiang.
"Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik keras-keras janggutnya. Jika dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah mendapat akal bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulurkan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi mendadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo Hosiang. Ketika tangan itu hampir hendak menjenggut jenggot, tiba-tiba janggut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
"Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya, namun tangan yang satu ini pun kemudian kena dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha berontak untuk melepaskan kedua tangannya tetapi sia-sia saja!
"Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru.
Jika janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari samadinya, demikian Kiat Bo berpikir. Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya telah terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget, untung masih sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh dengan keras di atas sebuah batu besar.
Untuk sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong. Membuat mental seseorang dengan menggerakkan janggut yang tentunya di aliri tenaga dalam betul-betul merupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah yang telah dilakukan oleh suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteraman puncak Liong-san ini saja!" terdengar suara halus yang bukan lain adalah suara Ik Bo Hosiang.
Me-mandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam diatas mana sebelumnya dia bersemedi. Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya. Pandangan ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan maksudku untuk mengganggu ketenteraman di puncak Liong-san ini. Tapi aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku keras..."
"Kekerasan itu memang harus ada. Tapi pada waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun dipuncak Liong-san ini mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu, siapa pun dia adanya. Di sini, di puncak Liong-san ini tuan rumah yang membuat aturan, bukan orang luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa keperluan mu datang kemari."
"Budak itu, suheng..."
"Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau melirik pada penggembala yang tegak di samping sutenya.
"Begini suheng..." lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak ada bocah penggembala yang pandai meniup suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak ini dan wajib membalasnya!"
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat BoHosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat itu di tempat tersebut tidak ada anak penggembala yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan seruling itu mengganggu pemusatan pikiran dan bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku tidak tertarik pada ceritamu. Tidak tertarik padamu ataupun budak tukang angon kerbau itu! Nah, sekarang silahkan angkat kaki dari puncak Liong-san ini!"
"Suheng...!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan menyanyi,
Puncak Liongsan tinggi sekali
Tapi lebih tinggi akal dan budi
Laut Selatan hijau dan dalam sekali
Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak berguna
Jika perasaan lebih menggelora.
Ik Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Di lain pihak, bocah penggembala yang mendengar merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi nyanyian si kakek. Mengetahui nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo Hosiang lantas saja mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali berturut-turut!
Tiba-tiba tokoh aneh dari Liong-san ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit dan tertawa gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup suling merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung jatuh ke tanah.
Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pastiakan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek! nyanyianmu bagus sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di atas batu di mana dia tadi bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas!
"Hai budak! Kenapa kau menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa kau kira aku ini tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah ngambek dan balik menyindir Ik Bo Hosiang.
Kiat Bo Sang khawatir kalau-kalau suhengnya bakai kumat otak miringnya marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru saja membuka mulut. "Suheng, kau tahu aku telah berhutang nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak ini. Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku berniat untuk mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!"
"Enak betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu asal-usulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku mengambilnya jadi murid! Kau sudah gila atau otakmu memang sudah rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari yang lain..."
"Apanya yang lain? Dia bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut satu, telinga dua.... Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanyabetul-betul sudah gila! Kasihan...!"
"Suheng, aku memohon padamu...!"
"Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
"Kau boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset! Dua tiga bulan di muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama berdebat begitu rupa Kiat Bo Ho-siang yang memang punya watak lekas jengkel jadi penasaran juga. Dia berkata, "Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi muridmu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau masih belum menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala itu berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata, "Kakek, kau punya tanggung jawab membawaku kemari. Sekarang kau punya kewajiban membawaku turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo Hosiang.
"Aku tak perlu segala balas budi. Kalaupun..."
"Thian Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil.
Tapi sibocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang keluar dari tubuh si kakek menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu.
"Aku sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada bagian-bagian yang tertutup. Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam merasa gembira mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya bocah yang bernama Song Thian Ong berkata marah,
"Kakek, kau betul-betul sudah gila, menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang ajar! Kualat kau!" teriak Ik BoHosiang. Dia mengulurkan kedua tangannya.
"Brettt...! Brettt...!
Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus... Kau memang boleh!"
Dan habis berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melempar-kannya ke udara, menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong tidak merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia ngeri. Dan anak ini tak henti-hentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan ToaSin Hosiang. Masing-masing mereka telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta mengganjalnya dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka 'bermain-main' begitu rupa keduanya tertawa gelak-gelak.
"Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh ikut main bersamamu?"
Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang berseru, "Pen-dek, kau sambutlah!"
Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakek-kakek ini dengan gembira menyambut tubuh yang terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira kakek yang seorang ini menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang ke arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya.
Tiga kakek-kakek keblinger dari gunung Naga itu telah asyik dengan permainan 'bolanya'. Tidak perduli lagiakan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat Bo Hosiang. Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Gila dasar manusia-manusia gila!" katanya dalam hati.
Namun diam-diam dia gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi-muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu. Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liong-san.
LIMA
Dua belas tahun kemudian... Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke dalam cengkeraman bangsa Mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun juga atas bangsa lain pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang paling sengsara seperti biasanya ialah rakyat jelata.
Di mana-mana kaum penjajah yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lainnya. Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah.
Selain selatan memang memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda pemerintahan pun sudah kacau-balau centang-perentang. Mulai dari kaisar sampai pada pejabat-pejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah.
Dalam pada itu mereka terlena pula dalam bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana pula akan terpikir untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah Mongol. Pedih sakitnya penderitaan yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di utara dan kedua untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya.
Pada masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang ditimbulkannya makin hari makin hebat dan membuat kaum penjajah merasa terancam.
Namun tidak jarang pula rakyat yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung ditempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!
Gerakan rakyat yang ingin membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekaligus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan memeras, dengan sendirinya menghadapi dua lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh dikalangan mereka, namun demikian semangat perjuangan mereka tak kunjung padam.
Jangankan orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun kedalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu hari di bulan kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin pasukan, salah seorang diantara anggotanya adalah mata-mata. Pemerintah selatan yang berhasil menyusup.
Selagi pasukan itu tengah beristirahat dikaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia dimana telah menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah yang terdiri dari lebih seratus orang.
Dalam waktu singkat pasukan rakyat yang tengah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka diserbu dengan sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali lipat disamping itu serangan datangnya mendadak sekali. Dalam waktu sebentar saja dua puluh orang anggota pasukan rakyat gugur.
Komandan pasukan seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak kepada anak buahnya untuk lari menyelamatkan diri dan membiarkan dia sendiri menghadapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan.
Akan tetapi mana ada diantara mereka yang mau mengikuti perintah Pouw Keng In. Malah pasukan rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10 orang lagi diantara mereka menjadi korban.
"Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak komandan pasukan Pemerintah.
Dia menyeringai puas melihat bagaimana musuh porak-poranda dan berguguran satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan pandangan matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara sewenang-wenang.
Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan hijau disertai gulungan sinar coklat. Terdengar pekik susul-menyusui.
Dalam waktu amat cepat enam anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya, remuk dada bobol perut dan sebagainya. Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun tak kurang kagetnya.
Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah turun tangan membantu mereka meskipun mereka belum melihat jelas siapa adanya orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi bersemangat dan menempur lawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis dari mana yang berani mencari mati disini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk tidak menya-huti malah berkelebat makin cepat. Delapan oranglagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar dan tak berani didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajurit-prajurit rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil ditewaskan.
"Setan alas." maki Cu La i Seng marah sekali.
Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya. Dengan tangan kanan dirampasnya pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Sengini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyambitkan berbagai macam senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah tak akan melesat!
Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah memporak-porandakan pasukan Pemerintah. Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus oleh pedang yang dilemparkannya.
Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyaksikan senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan dengan tangan kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si bayangan hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam waktu singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian amat tinggi dan memiliki gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa adanya bayangan hijau itu.
"Mundur semua" teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit Pemerintah yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln memberi isyarat agar anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat itu terluka parah, amat kagum melihat kehebatan bayangan hijau.
Dengan dipapah oleh seorang anak buahnya dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng tahu-tahu sudah berada lima langkah di hadapan bayangan hijau.
Dan ketika bayangan hijau ini menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua melengak kaget! Betapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang gadis berparas elok jelita.
Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas kepala dengan sepasang cambang halus meliuk dikedua pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis inibaru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda itu sudah memiliki kepandaian yang hebat, siapa orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan nada keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap aku...?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi CuLay Seng.
"Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah cantik. "Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut apakah?! Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu keakhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut. Selain memiliki ilmu tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang nona dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki pepesan kosong begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak buahnya sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan CuLay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!" Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia lihay sekali!"
Memang Pouw Keng In mengetahui betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah menyaksikan kehebatan si nona namun tetap saja dia khawatir. Karena kalau sampai Cu Lay Seng menang.
Bukan saja dia dan seluruh anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar pada masa itu, apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona baju hijau justru malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Kengin dan berkata, "Terima kasih atas peringatanmu. Kau lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia kecoak yang tidak berguna ini."
Sambil menjura tadi dengan tak acuh nona itu gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah melancarkan serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu ke arah lengannya.
Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu Lay Seng robah gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan serangan ruyung ke arah kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak menyamber ke bawah si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah yang sama. Selain tak menyangka kalau lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng pun kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh.
Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya terbuat dari kayu coklat. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat. Pada saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah dua dan mencelat mental!
Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun. Dalam keadaan sang Komandan masih kaget begitu rupa, nona baju hijau yang sampai saat itu ditangan kirinya masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu kedepan kirimkan satu tebasan kilat. Dan...
"Crasss...!" Cu Lay Seng menjerit keras. Darah mancur dari tangan kanannya yang kini sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosamu." berseru si nona seraya tusukkan pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si Komandan.
Hanya satu senti saja lagi ujung pedang akanmenembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar bentakan marah, "Bwe Hun! Lagi-lagi kau! Lagi-lagi kau!"
Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!
ENAM
Nona berbaju hijau palingkan muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak dihadapannya.
"Suhu...!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan melakukan pengacauan! Jangan berani menentang alat-alat kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama sekali tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang jahat dan sewenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan bangsa sendiri wajib dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas angkat kaki dari sini. Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan begini, aku akan jatuhkan hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li Bwe Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab, "Suhu hukuman berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan Suhu sendiri. Kau menetap di utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum penjajah untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai murid aku..."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan kata-katanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya, membuat gadis itu terhuyung ke belakang satu langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah mengelam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan merawati selama belasan tahun tega menamparnya seperti itu dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah berubah sejak masuk ke dalam bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi murid Kiat Bo Hosiang yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa adanya nama kakek di hadapan mereka saat itu.Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik Komandan pasukan Kaisar maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing merasa gelisah dan berdebar. Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang sejak beberapa waktu belakangan ini telah membantu kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang berkilat-kilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata muridnya itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak, "Li Bwe Hun. Mulai hari ini aku bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan darah Kian Le Hiat di dada dan jalan darah Gi Hay Hiat di punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupakan totokan maut akan tetapi amat berbahaya.
Jika totokan-totokan itu sampai menemui sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana suhu-nya melancarkan totokan yang jahat itu. Kini nyatalah kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak tedeng aling-aling untuk menurunkan tangan jahat. Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat menghindar selamatkan diri.
Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu dengan serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan senantiasa diserta totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan sialan! Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang kali.
"Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macam mu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan orang tua ku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh kau sekalian biar puas hatiku!"
Maka Kiat Bo Hosiang lantas mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya tinggal bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhu-nya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepandaiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui betul jurus-jurus silat yang dimainkan.
Termasuk tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya maka dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan dan seru sekali. Dalam hal Iweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah suhunya. Namun dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak kalah!
Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat apa-apa! Bagaimanakah asal mulanya sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan dan hendak membunuh muridnya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?
Seperti sudah sama dimaklumi jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam ragamnya itu. Salah seorang diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih memberi pelajaran silat pada Li Bwe Hun.
Kiat Bo Hosiang yang memang mempunyai dasar watak suka akan hidup mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk rayu orang-orang Mongol. Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak istana layaknya di Undur Khan. Harta benda dan uang berlimpah ruah.
Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya. Memang banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah.
Pertama, jika Kiat Bo berada dalam genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari pihak Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rakyat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-orang Pemerintah dan rakyat.
Dan kenyataannya memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan oleh bangsanya sendiri. Di satu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak dia menjadi momok kebencian rakyat dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari orang yang membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah digemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu memulai pengelanaannya di dunia kangouw telah dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang pengkhianat yang menjada kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri!
Sedangkan dia sendiri yang walaupun masih muda tapi dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, telah memilih untuk berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya, gadis ini berulang kali membantu pasukan rakyat dan disamping itu setiap dia mendengar ada pejabat-pejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji serta semena-mena, pastilah dia turun tangan untuk menghukum pejabat itu.
Sekali dua diberi peringatan, tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segan-segan untuk menebas batang lehernya. Dalam melakukan hal yang dianggapnya sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun mendapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri yakni Kiat Bo Hosiang.
Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah memberi peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia yakin apa yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau berlepas tangan ataupun melakukan perbuatan-perbuatan yang salah.
Tapi justru guna menolong orang-orang yang tertindas, untuk kebaikan dan membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya hari ini kembali dia dipergoki oleh suhunya ketika membela pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelakakan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua totokan ganas itu ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapan-ucapan Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam sesatnya Kiat Bo Hosiang memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya yang hebat yakni tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu...! Orang-orang Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat. Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi telah diselipkannya di pinggang. Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah amat luar biasa, dihadapan Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus.
Selewatnya 5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhu-nya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk menyelamatkan diri dari dua ujung tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa bagian pakaiannya telah robek disambar senjata sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka gadis ini akan menemui kematian secara mengenaskan.
Menyaksikan ini semua orang jadi gelisah. Lebih-lebih ketika satu sodokan ujung tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan."Kau yang lebih dulu layak mampus!" Dua orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng dan Pouw Keng In!"
TUJUH
Bagaimana pula sampai kedua Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepandaian mereka sendiri.
Pertama bagaimana pun juga Li Bwe Hun merupakan nona penolong bagi PouwKeng In sewaktu tadi dia luka parah menghadapi pasukan Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona celaka lebih baik merekalekas-lekas turun tangan menolong.
Ketiga Cu Lay Seng seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi dinegerinya selama ini memang membawa penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa berdosa telah melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini berjuang. Akan tetapi, meski dibantu oleh dua orang Komandan pasukan yang gagah berani Itu, keadaan Bwe Hun tidak lebih baik.
Malah setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak, memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln sebagai pelopornya.
Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan. Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang kematian terdengar setiap tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng menemui ajalnya pula dengan kepala pecah.
Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota pasukan yang mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya mengandalkan tangan kosong, tinggal sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya didepan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderu-deru untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu, lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang.
Serta merta kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan berpaling ke arah datangnya suara suling itu. Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gombrang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
Sambil bergantung dia meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo Hosiang hampir menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini telah berlalu demikian lama namun Kiat Bo Hosiang tak bisa pangling.
Pasti inilah bocah penggembala yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah dibawanya ke puncak Liong-san untuk diserahkan pada suhengnya. Ternyata kini dia telah dewasa.Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diam-diam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia telah pula mewariskan sifat gila suhengku! Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia berseru,
"Thian Ong Kau! Ayo lekas turun!" Pemuda berpakaian gornbrong yang berayun-ayun di cabang pohon sambil meniup suling itu memang adalah Song Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat Bo kepada suhengnya di puncak Liong-san.
Selama bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada diantara pembantu-pembantunya yang berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan Lo Sam Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta dua pembantu suhunya itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!"
Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah terus saja mainkan serulingnya. Seolah-olah dia tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara itu Li Bwe Hun yang begitu mendengar bahwa pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berkepandaian tinggi adalah murid keponakan dari Kiat Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit kedudukannya. Barusan dia hampir menemui kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang seorang diri.
Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya, pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar seruan,
"Nona baju hijau kau mau ke mana? Kenapa buru-buru? Aku belum puas melihat kecantikan wajahmu!" hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara acuh tak acuh.
Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiong-kok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya kaku tak sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikitpun. Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu diam-diam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihayan suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kalau murid suhengnya sehebat ini karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian dari atas pohon.
Menghormati memang satu kewajiban,
Dari yang muda kepada yang tua.
Kehormatan adalah satu yang berharga.
Terkadang lebih berharga dari nyawa.
Tetapi menghormat harus melihat orang dan tempat,
Karena terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,
Apakah wajib menghormat seorang pengkhianat,
Apakah wajib menghormat seorang sesat,
Apakah wajib menghormat penindas dan pembunuh rakyat?
Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa dipaksakan?
Siapakah orangnya yang bisa membendung arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah orangnya yang bisa memindahkah puncak gunung Thaysan?
Sekalipun, seorang Kaisar yang gila hormat?
Mendengar nyanyian itu berubahlah paras Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian yang dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran langsung atas dirinya. Tetapi dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat Bo Hosiang tertawa gelak-gelak lalu berkata,
"Bagus sekali nyanyianmu itu, Thian Ong! Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian suhumu, lahir dan bathin!"
Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata demikian, kembali terdengar Song Thian Ong bernyanyi;
Lahir dan bathin dua hal yang berbeda,
Karenanya sering tidak sama dan serupa,
Malah kerap bertolak belakang,
Yang satu memalsukan yang lainnya, lahir bagus belum tentu batinnya baik,
Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,
Di luar kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
Di luar culas di dalam mungkin bijaksana.
Menipu diri sendiri berarti tolol,
Menipu orang lain berarti jahat,
Menghormat orang lain adalah wajib,
Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!
Kalau tadi Kiat Bo Hosiang masih bisa menahan rasa dongkolnya maka kini sesudah sindiran Thian Ong berterang-terangan begitu rupa, marahlah kakek-kakek ini. Langsung dia membentak;
"Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?
Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara panas.
Lancang adalah perbuatan salah,
Tetapi masih bisa diperbaiki.
Tak ada yang terhina kalau semua bersih,
Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,
Hinanya si miskin hal yang lumrah.
Tapi hinanya mereka yang tersesat harus cepat diperbaiki,
Sudah tiba saatnya bertobat,
Sudah tiba saatnya mengambil pikiran sehat,
Atau apakah mau menunggu hari kiamat?
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah batang pohon di mana Thian bergelantungan seenaknya.
"Braakkk...!" Batang pohon besar itu patah, lalu tumbang dengan suara gemuruh.
Suara gemuruh ini disertai gelak tertawanya Thian Ong. Tubuhnya sesaat terlihat membuat beberapakali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di depan susioknya ini, Thian Ong memandang dengan kening berkernyit dan salah satu tangan diletakkan di atas alis, seolah-olah dia tengah memperhatikan sesuatu yang jauh dikesilauan sinar matahari.
Ditambah dengan bajunya serta celananya yang gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul menggelikan. Anggota-anggota pasukan kerajaan dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun tercekat tegang namun tak dapat menahan suara tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun kalau saja tidak dalam keadaan tertotok pastilah akan tertawa pula cekikikan.
"Ah, Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!" tiba-tiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah baru tahu kalau orang di depannya adalah susioknya!
Tentu saja Kiat Bo Hosiang jengkel setengah mati diperlakukan seperti itu. "Anak setan! Kalau kau tidak berlutut minta ampun atas semua kekurang ajaranmu ini, niscaya aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"
Air muka Song Thian Ong mendadak berubah pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang ketakutan setengah mati mendengar ancaman susioknya itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut. Anehnya begitu kedua lututnya menyentuh tanah itu jadi melesak dan merupakan lubang besar. Dan tubuh Thian Ong lantas roboh jatuh. Tapi diabangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang rata lalu jatuhkan berlutut lagi.
Namun begitu kedua lututnya mencium tanah hal seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh. Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan susioknya seraya berkata;
"Mohon maafmu, Susiok. Semua tanah di sini tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut terus jatuh. Aku tak dapat menghormatimu secara sempurna!"
Paras Kiat Bo Hosiang berubah mengejam. Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu bukanlah penghormatan melainkan kesengajaan untuk mengejek mempermainkannya. Dan sekaligus hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya karena saat itu semua tanah di tempat itu telah penuh dengan lobang-lobang dalam bekas hantaman lutut Thian Ong!
Tadipun Kiat Bo Hosiang merasakan betapa setiap kedua lutut pemuda itu menyentuh tanah, tanah jadi bergetar keras! "Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada Ik Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian sakti mandraguna dan berilmu silat tinggi! Dan sekarang ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"
"Ah, Susiok, budi yang bagaimanakah yang kau bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk mengharap suatu pamrih dikemudian hari seperti yang kau lakukan saat ini dalam kesempatanmu?"
Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat itu masih saja tegak terbungkuk-bungkuk. "Susiok sekarang ini zaman edan, banyak orang-orang sinting macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang berbahaya ialah orang-orang pandai tapi yang mempergunakan kepandaiannya untuk berbuat segala kesesatan yang gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah, aku diminta oleh suhu untuk membawamu ke jalan yang benar!"
"Bangsat rendah! Kau rupanya sudah lupa asal. Anak gembala jembel hina dina hendak memberi nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmu pun kau belum mampu menyekanya!"
"Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya sudah mulai buram!"
Saat itu Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi membendung kemarahannya. Dia berteriak dahsyat dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain kejap berkiblatlah sinar putih menyilaukan ke arahThian Ong.
DELAPAN
Ternyata Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid suhengnya itu dengan senjatanya yang paling dahsyat yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua. Sebelumnya 12 tahun yang lewat Thian Ong telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut, bahkan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah mempergunakannya melawan musuh-musuh tangguh serta hendak dipakai membunuh muridnya sendiri.
Dan kini senjata yang sama dipergunakan pula untuk menghadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda itu telah terkurung sinar tongkat namun dasar gendeng dia masih saja tertawa-tawa. Penasaran Kiat Bo Hosiang segera robah permainan tongkatnya. Kini senjata itu bergerak lebih cepat dan suaranya menderu dahsyat.
Selama 10 jurus dimuka Thian Ong masih melayani serangan-serangan susioknya dengan tangan kosong dan melancarkan serangan balasan dengan mengandalkan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya yang gombrangi. Karena tenaga dalamnya yang luar biasa, angin yang keluar dari ujung-ujung lengan pakaiannya itu sanggup membuat mental tongkat di tangan Kiat Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong.
Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai kerepotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkatnya yang terhebat dan bernama 'Sin-eng Thung-hoat' atau 'Ilmu Tongkat Garuda Sakti'. Serangan tongkat datang bertubi-tubi dan tidak beda seperti burung garuda yang menyambar-nyambar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadang-kadang menukik seperti hendak mematuk kepalanya, kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut atau dada dan tak jarang berkelebat menggempur tubuhnya sebelah bawah!
Diam-diam dalam marah dan penasarannya Kiat Bo Hosiang mengagumi pemuda ganteng itu. Selama ini jarang sekali dia mengeluarkan ilmu tongkatnya dalam jurus-jurus yang lihay itu, bahkan ketika menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya dipuncak Liongsan 12 tahun silam dia sama sekali tidak mengeluarkannya.
Kini menghadapi murid dari suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya yang paling diandalkan itu! Meskipun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si pemuda masih sanggup melayani 'Sin-eng Thong hoat' sampai sepuluh jurus. Padahal tokoh-tokoh silat ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua jurus sudah pasti konyol di tangannya!
Mendapati kenyataan bahwa susioknya kini berhasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang amat lihay, Song Thian Ong anehnya malah perdengarkan suara tertawa gelak-gelak.
"Brettt...!" ujung tongkat menyambar robek dada pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih kedepan dengan pasti dada pemuda ini akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak KiatBo Hosiang. "Sebentar lagi perutmu yang akan kurobek!"
"Enak betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang robek Tua bangka sesat!" balas berteriak Thian Ong. Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik diudara tiga kali berturut-turut.
Bagi orang yang tidak berpengalaman, saat lawan berjungkir balik seperti itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan mematikan. Tapi Kiat Bo Hosiang yang sudah berilmu amat tinggi dan berpengalaman luas, serta mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya, mengerti betul adalah bahaya besar jika dia melancarkan serangan saat itu.
Setelah jungkir balik Thian Ong melayang turun dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih dahulu. Sedetik kemudian dia sudah tegak lurus dengan kepala menempel tanah sedang kedua kaki dikeataskan. Kakinya yang di ke ataskan ini membuat gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin keras. Kadang-kadang turun naik seperti orang mengayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dahsyatnya, lalu berganti pula berputar-putar.
Dan lebih keblingernya lagi, sambil membuat gerakan aneh dengan kedua kakinya itu, Thian Ong keluarkan serulingnya lalu mulai meniup lagu-lagu yang tak karuan. Terkadang merdu lembut, terkadang melengking-lengking menyakitkan telinga.
Melihat bagaimana tingkah Thian Ong dalam pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mempermainkannya, semakin mendidihlah amarah Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun yang lalu ketika dia membawa Thian Ong ke puncak Liong-san lalu suhengnya dan dua orang pembantu-pembantunya membuat Thian Ong seperti bola, ditendang kian kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang main-main mereka tegak dengan kepala dibawah kaki ke atas!
"Pemuda keparat! Asal mu jembel tukang angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi serta merta saja dia tersurut kembali.
Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu merupakan benteng pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat menjalankan serangan berbahaya! Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar. Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah atas namun matanya yang tajam segera melihat bahwa ilmu silat aneh Thian Ong itu memiliki kelemahan di sebelah bawah.
Jika dia melancarkan serangan yang hebat antara pinggang sampai kebagian kepala lawan yang saat itu menempel di tanah pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian Ong, sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda itu!
Maka setelah menunggu kesempatan yang baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat gerakan yang bernama 'Sin-eng Tian-ci' atau Garuda Sakti Pentang Sayap. Kaki kirinya melesat menghantam ke arah selangkangan Thian Ong sedang dalam detik yang sama tongkat bajanya menunjuk deras ke arah tenggorokan si pemuda. Memang dua serangan yang dilancarkan oleh Kiat Bo Hosiang sekali ini betul-betul luar biasa.
Dua-duanya sulit dikelit saking cepatnya dan disamping itu merupakan serangan maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, terutama tusukan tongkat ke arah leher. Tetapi adalah kecele kalau Kiat Bo berpikir demikian.
Didahului oleh lengkingan seruling yang ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong sebatas pinggang ke kaki melejit ke samping. Ini membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai tempat kosong. Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong tiba-tiba membeset laksana kilat dan...
"Bret...!" Robeklah pakaian putih kakek-kakek itu di sebelah dada.
Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia cepat membuat gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang setengah melayang itu dari lawan. Namun masih kurang cepat karena saat itu tubuh Thian Ong sudah melejit lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah mendepak pantat si kekek! Tak ampun lagi Kiat BoHosiang mencelat mental sampai satu tombak.
Untung saja meskipun otaknya agak keblinger Song Thian Ong tidak bermaksud jahat terhadap paman gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi akan membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya cacat seumur hidup. Di lain pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di atas kedua kakinya kembali.
"Susiok! Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi dagingnya alias tulang melulu, pastilah aku tak akan menendang pantatmu itu!"
"Anjing jadah!" maki Kiat Bo Hosiang menggeledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!" Lalu kakek ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara tawa bergelak.
Kiat Bo Hosiang! Ada berapa nyawakah kau punya hingga hendak mengadu jiwa dengan pemuda itu?! Apa kau tak malu sudah dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang tadi asyik menonton pertempuran hebat luar biasa yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari ber-serabutan, ketakutan seolah-olah melihat setan kepala sebelas!
Li Bwe Hun dan Thian Ong jadi terheran-heran sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar kepala ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak tadi. Memandang ke jurusan itu mendadak wajahnya yang beringas gemas kelihatan gembira dan dia tertawa lebar. Kakek ini lalu menjura.
"Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira siapa.? Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku meringkus pemuda pengacau ini!"
"Cuma meringkusnya?"
"Eh... tidak! Membunuhnya" sahut Kiat Bo Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu meminta bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar suara tertawa kembali. "Ahai! Seorang tokoh ternama yang katanya paling lihay diseluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk menghadapi seorang pemuda otak miring! Percuma saja kami orang-orang Mongol memelihara mu, memberikan uang dan harta berlimpah, gedung mewah serta perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali tidak berguna bagi kami!"
Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengarkata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati kutu!
SEMBILAN
Saat itu di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri seorang kakek kakek berambut pirang dan bermuka merah macam kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan dia mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama Pengho. Di bandingkan dengan Kiat Bo Hosiang ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di samping Pengho tegak pula seorang berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia memegang sebuah tongkat di tangan kiri untuk menopang tubuhnya yang bungkuk tak seimbang itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho, bernama Wanglie dan bergelar Pengemis Sakti Tangan Kidal, dan merupakan salah seorang tokoh-tokoh ternama berasal dari Tibet.
Orang ketiga yang datang bersama dua tokoh terdahulu itu ialah seorang pendek bermata juling yang mukanya tembam selalu berkeringat. Yang hebat dari menusia ini ialah sepasang lengannya yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah. Dia juga seorang tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya masih satu tingkat di atas Kiat Bo Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!
Dengan hadirnya gembong-gembong besar pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa pasukan Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu begitu melihat dan mengenali mereka.
Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak mematung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok, yang juga mengenali siapa adanya ketiga manusia itu, diam-diam terkejut dan mengeluh. Dia sudah dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika menghadapi Pengho, apalagi jika dikeroyok bersama-sama!
Sambil rangkapkan tangan di muka dada, Pengho berpaling pada Thian Ong dan geleng-geleng kepala. "Hanya seorang pemuda gendeng begini kau tak sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat Bo!"
"Dia memang sedeng, Pengho Lo-enghiong," sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah. "Tapi kunasihatkan jangan terlalu dianggap remeh. Dia adalah murid suhengku Ik Bo Hosiang dari Liong-san!"
"Cuma muridnya saja? Itu toh lebih memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau suhunya yang jadi pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek Pengho pula.
Memang pada masa itu bukan rahasia lagi kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi bangsa Han yang dipelihara oleh Kaisar Mongol secara mewah berlebih-lebihan untuk mengharapkan imbal kepandaiannya dalam mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah pada kalangan orang-orang Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay. Dalam pada Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap orang-orang Han (Tiongkok) kelihatan menyolok berlebih-lebihan.
Ejekan Pengho tadi membuat dada Kiat Bo Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa berbuat lain dari pada berdiam diri. Pengho berpaling pada Sepasang Tangan Perenggut Jiwa. Di antara mereka bertiga memang yang satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang masih lebih tinggi satu tingkat.
"Sobatku Perenggut Jiwa, apakah kau bersedia mengotorkan tanganmu membunuh monyet baju gombrang yang katanya adalah murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka tembam Sepasang Tangan Parenggut Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan ujung lidah. Dia melirik dengan matanya yang juling kearah Li Bwe Hun, kemudian berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Kiat Bo Lo Jianpwe, apakah kau ingin aku membunuh murid suhengmu ini?" bertanya si Perenggut Jiwa.
"Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi; "Nona cantik ini kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"
Kiat Bo Hosiang mengangguk. "Ada satu syarat, Lotjianpwe. Jika kau ingin aku turun tangan, upahnya kau harus hadiahkan nona muridmu itu padaku!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa memang seorang tokoh silat Mongol yang terkenal hidung belang. Habis berkata demikian dia melirik pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih hebat oleh suara seorang lainnya ternyata adalah Song Thian Ong!
Dan mendengar suara pemuda itu, Pengho kernyitkan kening, Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa tertegun! Mereka sama terkesiap mendapatkan bagaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka rasakan membuat tanah bergetar. Masing-masing saling pandang sesaat, kemudian Pengho berbisik,
"Hanya pemuda edan macam dia apa pula artinya tak perlu ditakutkan!" Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang. "Bagaimana Lotjianpwe?"
Kiat Bo Hosiang memang sudah miring jalan pikirannya, ditambah pula saat itu dia disulut amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos saja jawabannya, "Terserah padamu kau mau buat apa atas diri gadis laknat itu! Tadi pun aku hendak membunuhnya!"
Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata puas.
"Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata Pengho seraya menepuk bahu kambratnya itu.
Si Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan ujung lidah. Sambil mengedipkan matanya yang juling pada Li Bwe Hun dia berkata; "Nonaku, kau tunggulah sebentar. Saksikanlah bagaimana aku menghajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua tinggalkan tempat ini, pergi bersenang-senang di atas ranjang."
Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah dayanya? Harapannya satu-satunya kini terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah pemuda berotak miring ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas apakah dia mampu pula melawan Pengemis Sakti Tangan Kidal serta Pengho?
Bagaimana kalau orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapapun lihaynya pemuda murid Ik Bo Hosiang itu namun adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi musuh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti celakalah dirinya sendiri!
"Ah, mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam hati dan air mata mulai menggenangi pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam pada itu dengan mengumbar suara tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah mendekati Thian Ong. Sebaliknya Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang datang mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo Hosiang dan dengan jari telunjuk tangan kirinya di acungkannya tepat ke hidung orang tua ini.
"Tua bangka sedeng! Kau betul lebih sinting dari manusia edan manapun di dunia ini. Hatimu bejat dan keji. Bukannya memberi hajaran malah menyerahkan bulat-bulat tubuh dan kehormatan murid sendiri pada si pendek juling ini!"
Paras Kiat Bo Hosiang jadi merah saga. Dia membentak. "Tutup mulutmu! Bwe Hun bukan muridku lagi! Kau hadapi saja musuh si Perenggut Jiwa untuk menerima mampusmu!"
"Kaulah yang lebih dulu layak mampus!" teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah dengan kaki kirinya hingga tanah itu tenggelam sampai satu jengkal. Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat.
Namun saat itu belakangnya terdengar deru yang deras. Ternyata Sepasang Tangan Perenggut Jiwa telah ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan kilat siap untuk menangkap batang leher Thian Ong yang telah lengah membelakangi. Sekali leher itu kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang yang agak berotak miring itu pastilah tak akan tertolong!
Memang sesuai dengan gelarnya yaitu Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh silat Mongol bermata juling itu memang memiliki sepasang tangan yang luar biasa hebatnya. Selain cepat dalam gerakan juga memiliki kekuatan atos dan ampuh.
Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie (Pengemis Sakti Tangan Kidal) serta Pengho sudah dapat memastikan bahwa dengan sekali gerakan kilat saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si Perenggut Jiwa betul-betul akan dapat merenggut lepas nyawa Thian Ong.
Pada saat itu, ketika merasakan sambaran angin di belakangnya, Song Thian Ong maklum kalau dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia menggerendeng dan rundukkan tubuh sedikit sambil memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo Hosiang kini dipakainya sebagai kemplangan menebas ke arah datangnya serangan!
"Buukkk...!"
Terdengar suara bergedebukan yang keras ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan lengan kanan si Perenggut Jiwa. Tokoh lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya terbanting ke kiri sampai empat langkah tapi lengannya sama sekali tidak cedera bahkan terasa sakitpun tidak! Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang tangan yang dimilikinya.
Padahal jangankan manusia, batang pohon pun kalau sampai kena digebuk lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga dalam luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
Kini Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak cidera namun tubuhnya yang terlempar sampai sejauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa Thian Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak bisa dibuat main.
Padahal sesungguhnya murid IkBo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat gerakan acuh tak acuh dan tidak pula disertai kekuatan tenaga dalam yang berarti. Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa merasa malu sekali karena lawan gila yang dianggapnya remeh dan gila itu ternyata tak dapat dibereskannya dalam satu gebrakan saja.
Didahului dengan bentakan galak dia sengaja keluarkan jurus silatnya yang terlihay untuk menebus rasa malunya yakni jurus yang bernama 'Siang-lui Gui-san' atau Sepasang Petir Membelah Gunung. Kehebatan jurus ini memang luar biasa. Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini hanya merupakan bayangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras setiap serangan dilancarkan.
Tampaknya Thian Ong kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan serangan balasan dengan kebutan ujung lengan pakaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaringdan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas, turun lagi dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Pemuda ini agaknya merobah permainan silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah dipergunakannya dalam menghadapi Kiat Bo.
Namun setiap tendangan yang dilancarkannya selalu dapat dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa. Thian Ong jadi penasaran. Dia jungkir balik kembali dan kini mainkan jurus silat baru. Memang, si Siperenggut Jiwa jadi terdesak hebat namun sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat mental selama dia masih sanggup mempergunakan sepasang tangannya yang benar-benar ampuh untuk menangkis maka dia sama sekali tak mengalami cidera.
Lama-lama Thian Ong jadi beringas. Murid Ik Bo Hosiang ini mencak-mencak macam orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya digerakkan, menghamburlah pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga dalam tinggi. Berkali-kali si Perenggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu mempergunakan kedua lengannya untuk menangkap maka setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas menyerang!
Dua puluh jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan mandi keringat, pakaian kusut masai dan muka celemongan karena berulang kali jatuh atau terguling-guling di tanah. Sebaliknya Thian Ong masih biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya keluar dari mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagaimana dapat merobohkan lawan yang memiliki sepasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang disusul dengan suara orang menyanyi.
Dua Puluh jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi buta
Dua tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?
Semua orang yang ada di situ terkejut, termasuk Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur dan mendongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon tampak duduk seorang pemuda asing tak dikenal, rambutnya gondrong dan mulutnya penuh berisi buah apel yang digerogotinya.
Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong tiba-tiba tertawa bergelak. "Gondrong! Tampang mu tolol dan lagakmu juga edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan dengan aku, silahkan turun beri petunjuk!"
Tapi orang di atas pohon tidak mau turun, malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi.
Segala sesuatunya tidak sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak gila
Untuk menduga dan me-reka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara yang keras ada yang lemah
Pada kelemahan terdapat kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka.
Orang di atas pohon kunyah terus buah apel dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ongikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang lagi pada si gondrong di atas pohon, lalu tertawa.
"Aku mengerti... aku mengerti sekarang cihuy terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobatku! Cihuyl"
Thian Ong kelihatan girang sekali dan sampai-sampai dia membuat gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, langsung dia menuding si pendek Perenggut Jiwa dan berkata keras, "Mata juling, ayo kita bertempur lagi."
Lalu dia berpaling pada Pengho, Pengemis Sakti Tangan Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia penjajah, sekarang kalian lihat bagaimana aku akan merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!" Thian Ong tertawa lagi gelak-gelak.
Selagi dia tertawa begini si Perenggut Jiwa menyerbunya dengan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama lima jurus. Di jurus keenam, Thian Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan serangan ganas dengan tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian rupa hingga tak bisa dikelit dan mau tak mau si Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk menangkis.
"Buukkk...!"
Lagi-lagi sepasang lengan mereka beradu. Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Perenggut Jiwa tidaklah mempunyai ilmu kebal seperti yang dimiliki kedua lengannya. Manusia ini menjerit setinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter, menggeletak tak berkutik lagi, mati dengan perut bobol!
"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih sahabatku?" teriak Thian Ong berulang kali sambil jingkrak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon dimana pemuda gondrong yang makan buah apel itu nongkrong.
"Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata si gondrong.
Thian Ong manggut-manggut, lantas saja dikeruk saku pakaian si gondrong dan sambar dua buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian asyik mengunyah buah-buah apel itu seolah-oleh tidak perduli di mana mereka berada, seolah-oleh tidak ada terjadi apa-apa di situ!
"Manusia-manusia sinting! Gila!" maki Pengho dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau tidak karena diberi tahu oleh si gondrong itu kambrat kita si Perenggut Jiwa tak bakal mati ditangannya! Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal siapa bangsat gila yang berambut gondrong itu?"
"Tak pernah kuketahui siapa dia adanya. Mungkin sute atau suheng dari keparat bernama Thian Ong itu?"
Kiat Bo Hosiang gelengkan kepala. Ik Bo Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari pada Thian Ong bocah penggembala hina dina itu. Pemuda yang gondrong ini jelas bukan orang Han!"
Sementara itu di atas pohon saking girangnya Thian Ong begitu makan habis dua buah apel lantas keluarkan serulingnya dan tiup benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah Sobat! Kau ternyata pandai sekali main suling. Boleh aku ikut menimpali?!" bertanya si gondrong.
"Tentu, tentu saja!" sahut Thian Ong gembira sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan! Silahkan!"
Si gondrong merogoh pinggang pakaiannya sesaat kemudian terlihatlah sinar menyilaukan. Ternyata pemuda ini keluarkan sebuah senjata berbentuk kapak bermata dua yang pada mata-matanya yang menyilaukan itu tertera angka 212. Kapak aneh ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran kepala naga pada sebelah bawahnya, sedangkan pada batang gagang terdapat lobang-lobang. Dan ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir naga-nagaan lantas meniup, maka membersitlah suara lengkingan seperti tiupan seruling, dahsyat luar biasa.
Kiat Bo Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing bergetar sakit. Buru-buru mereka tutup indera pendengaran. Tapi dada masing-masing masih saja terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan suling yang demikian luar biasa hingga menggetarkan tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi mereka.
Pengho, sebagai orang yang paling tinggi ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawannya masih merupakan jago silat kelas rendah pastilah telinga masing-masing telah rusak berdarah mendengar tiupan suling yang luar biasa karena disertai aliran tenaga dalam dahsyat itu!
"Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak dapat lagi menahan kejengkelannya. Amarahnya meluap karena dia merasa seolah dipermainkan. Disamping itu Thian Ong harus mati untuk menebus nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian Ong pemuda keparat! Turunlah untuk menerima kematian!" teriak Pengho menggelegar diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.
Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus meniup suling masing-masing dalam lagu tanpa nada tak karuan! Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari Mongol ini angkat tangan kanannya dan menghantam keatas pohon!
SEPULUH
Satu gelombang sinar hitam menggebu kearah cabang pohon di mana Thian Ong dan pemuda gondrong yang bukan lain adalah Wiro Sableng si Pendekar 212 tengah duduk ongkang-ongkang kaki enak-enakan sambil tiup suling. Terdengar suara keras hancurnya cabang pohon serta rontoknya dedaunan yang kemudian disusul oleh tumbangnya pohon besar itu.
Tapi suara tiupan dua suling sama sekali tidak berhenti dan baik Wiro maupun Thian Ong tidaklah menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja mereka tahu bahaya dan siang-siang sudah berkelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah enak saja mereka duduk menjelepok dan terus memainkan suling!
Kiat Bo Hosiang melengak, Pengemis Sakti Tangan Kidal naik turun tenggorokannya sedang Pengho kaget. Bwe Hun yang saat itu masih berad adalam keadaan tertotok meskipun hatinya cemas setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda yang agaknya sama-sama keblinger itu dalam hati jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitulihay keduanya masih saja gila-gilaan, padahal maut sudah di depan mata!
"Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk menerima kematian!" teriak Pengho.
"Ah, di sini banyak pengganggu. Bagaimana kalau kita main suling di tempat lain saja?" ujar Thian Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan sulingnya ke balik pinggang pakaiannya yang gombrong.
Wiro pun hentikan permainannya, masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. "Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri mengikuti Thian Ong.
"Bangsat! kau mau pergi ke mana?'" teriak Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan kidal dan memerintah. "Bunuh dia!"
Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit lalu tertawa melengking? Terima kasih Pengho-twako, memang aku sudah lama tak membunuh orang. Hari ini tanganku yang sudah gatal akan dapat bagian!"
Sambil melintangkan tongkat kayu yang dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal maju mendekati Thian Ong.
"Thian Ong, kau ditakdirkan mampus di tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh, Sobat," ujar Thian Ong sambil menepuk bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu seperti malaikat maut saja. Apakah begini tampangnya malaikat maut?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Entahlah, aku pun belum pernah melihat. Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan dari tua bangka keriputan ini" sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua anak geblek itu lantas tertawa terpingkal-pingkal.
"Wuuttt...!"
Entah kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat ditangan kiri Pengemis Sakti Tangan Kidal sudah membabat ganas ke batok kepala Thian Ong. Meskipun tadi kelihatannya acuh tak acuh namun begitu diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan lebih dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua kakinya telah melancarkan serangan balasan.
Satu mendepak ke arah perut sedang lainnya menendang ke tenggorokan lawan. Namun tingkat kepandaian si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si PerenggutJiwa. Ilmu tongkatnya lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua serangan itu dikelitkannya dengan mudah, bahkan kini tongkat di tangan kirinya menyapu-nyapu dahsyat sekali.
Song Thian Ong dalam tingkahnya yang gila-gilaan itu beberapa kali hampir kena dihantam senjata lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang bukan-bukan sambil tak lupa mengejek dan mencaci maki lawannya sehingga Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.
Dengan matanya yang tajam dan pengalaman luas, Pengho si tokoh utama di Mongol segera melihat bahwa sesungguhnya Thian Ong memiliki dasar ilmu silat yang lebih hebat dari Pengemis Sakti Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka pemuda ini masih melayani tokoh lihay yang berasal dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena tingkahnya yang aneh dan gila-gilaan itulah yang membuat dia seolan-olah tak mau menurunkan tangan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.
"Kiat Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti" berseru Pengho setelah 20 jurus lagi berlalu tanpa kambratnya itu bisa melakukan sesuatu terhadap Thian Ong.
Kiat Bo Hosiang cabut tongkat bajanya dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!" teriak Wiro marah.
"Orang asing! Tutup mulutmu!" sentak Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri urusan orang lain! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kugebuk!"
"Eit enak betul memerintah orang. Kau kira aku ini kacungmukah?! Makan ini!" teriak Wiro sambil keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya.
Buah ini dilemparkannya dengan sebat. Pengho bergerak cepat tapi dia kecele karena Wiro sama sekali tidak menyerangnya, melainkan melemparkan buah apel itu ke arah Li Bwe Hun yang masih tegak tak berdaya karena ditotok.
"Buukkk...!"
Buah apel itu mengenai tepat di tengkuk Li Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai si gadis serta merta buyar karena memang disitulah sebelumnya Thian Ong telah menotok Bwe Hun yakni sewaktu gadis ini hendak melarikan diri dari Kiat Bo Hosiang yang hendak membunuhnya.
"Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.
Li Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Kemudian seolah-olah patuh, dia memungut sebilah golok milik bekas seorang prajurit Kerajaan dan tanpa banyak bicara terus ke kalangan pertempuran!
Sebenarnya Wiro merasa yakin kalau Thian Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun Pendekar 212 ini yang sudah gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam mendapat akal. Maka dilepaskannya totokan Bwe Hun lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian Ong.
Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong semakin sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya dua lawannyalah kini yang berada dalam kedudukan sulit! Dan hal ini diketahui oleh Pengho si tokoh lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan Kiat Bo Hosiang. Bahkan dia ingin sekali kakek-kakek bangsa Han yang sejak lama dibencinya itu mampus saat itu juga.
Namun dia sama sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera menyerbu pula ke dalam kancah pertempuran. Justru inilah yang dikehendaki Wiro!
"Tua bangka bermuka kepiting rebus!" teriak Wiro memaki Pengho yang memang memiliki tampang merah seperti kepiting rebus. "Aku lawanmu, jangan main keroyok!
Mendengar makian itu dan melihat Wiro berkelebat ke arahnya serta merta Pengho lepaskan pukulan saktinya yang tadi telah dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan Thian Ong di atas pohon. Sinar hitam menderu ganas ke arah Pendekar 212. Wiro kaget juga karena tak menyangka begitu mulai berkelahi lawan sudah lancarkan serangan pukulan sakti itu.
Memang Pengho tak mau kepalang tanggung menghadapi lawan yang sudah diduganya tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena petunjuk Wiro-lah sampai Thian Ong berhasil membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya dendam serta kebencian bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang kepalang.
Wiro keluarkan siulan melengking lalu lepaskan pukulan sinar matahari ke depan. Sedangkan sinar putih panas dan menyilaukan bergemuruh memapas sinar hitam serangan Pengho. Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti itu bentrokan di udara dengan mengeluarkan suara yang hebat!
Tubuh Pengho terhuyung sampai lima langkah ke belakang sedang tangan kanannya sampai sebatas pangkal bahu terasa sakit berdenyut-denyut. Di lain pihak sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal dan tubuhnya bergetar.
Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia mengalami bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas sudah bahwa pemuda rambut gondrong itu memiliki kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada disebelah bawah sobatnya si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka! Naga-naganya aku bakal mendapat kesulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak.
Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagaimana kambratnya Pengemis Sakti lengan Kidal yang membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang mempergunakan serulingnya sebagai senjata dan mainkan jurus-jurus silat aneh berhasil memukul mental tongkat kayu Pengemis Sakti!
"Tahan, seru Pengho tiba-tiba seraya melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa cukup sudah kita main-main dengan orang-orang ini. Kita masih ada urusan lain yang lebih penting harus diselesaikan. Lain hari saja kita layani mereka kembali. Mari...!"
Pengemis Sakti Tangar Kidal yang maklum apa arti kata-kata Pengho itu dan menyadari pula keadaan mereka yang sulit bahkan bakal celaka. Tanpa bicara lagi segera meninggalkan tempat itu menyusul Pengho yang telah berkelebat pergi lebih dulu tanpa memperdulikan Kiat Bo Hosiang. Kiat Bo Hosiang yang ditinggal sendirian, sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur keadaannya terjepit antara Thian Ong dan Bwe Hun.
Dan saat itu sambil menyeringai Thian Ong datang mendekati. "Kasihan kau tak mempunyai kesempatan kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena suhu telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan tobat adalah layak untuk dibunuh!"
Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong lantas kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun dia sempat berkelit tapi tak urung bahunya masih kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. Dengan menggembor marah Kiat Bo Hosiang mengirimkan serangan balasan. Tongkat bajanya bersuit-suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi bagaimana pun juga tingkat kepandaian Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak mengejek dan main-main, maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betul aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian berlangsung empat jurus tiba-tiba pendekar aneh berbaju gombrong dari Gunung Naga ini berteriak;
"Awas tongkat!" Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang sudah terlepas kena dirampas. "Lihat suling...!" terdengar lagi seruan Thian Ong.
Dan detik Itu pula suling di tangannya telah menyambar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi. Kiat Bo Hosiang hanya bisa mendelik kaget melihat datangnya maut. Sedetik lagi suling itu akan menusuk amblas leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan Bwe Hun;
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Thian Ong tersentak heran. Masih untung dia sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga benda ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo Hosiang. "Eh, apa-apaan kau Nona Li?!" bertanya Thian Ong.
Sedang Wiro juga heran sambil garuk-garuk kepala. Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang. Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
"Nona, tadi kau hendak dibunuhnya dan malah mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya. Sekarang kenapa kau mencegah aku membuat dia konyol?!" bertanya kembali Thian Ong. "Ingat, manusia sesat pengkhianat semacam ini amat berbahaya. Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.
Kiat Bo Hosiang terkesiap. Dadanya berdebar dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya kehendak Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya atau hendak turun tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki. Kurasa kau masih bisa keluar dari segala macam comberan busuk yang kau renangi selama ini. Jika kau sadar dan berjanji untuk kembali ke jalan yang benar, kurasa murid suheng mu ini pasti akan mengampuni mu. Bagaimana..."
Semakin pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba saja sepasang matanya berkaca-kaca. "Tak mungkin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam kesesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang. Aku tak akan melawan. ThianOng! Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek lalu jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, menangis tersedu-sedu.
"Suhu, tak ada dosa yang tak berampun. Kalaupun kau merasa telah berbuat dosa dan kesalahan besar kurasa masih ada jalan untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum penjajah Mongol yang selama ini mendatangkan malapetaka."
"Itu betul!" seru Thian Ong yang tiba-tiba saja kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi syaratnya satu," menyahuti Wiro. "Asal jangan dia menipu kita. Kalau tidak bisa berabe seumur-umur!"
"Kalau... kalau kalian memang bersedia memberikan pengampunan dan ingin berjuang bersama, aku rasa memang inilah kesempatan bagiku untuk menebus dosa..."
"Berdirilah suhu, mari kita atur rencana," kata Bwe Hun pula seraya memegang bahu Kiat Bo Hosiang dan memungut senjata kakek ini.
Menurut Kiat Bo Hosiang yang paling tahu seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah sulit untuk menumpas habis pasukan-pasukan Mongol yang kuat dan banyak disekitar perbatasan. Sebenarnya bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika saja mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang yang mengatur semua kekuatan itu, yang sekaligus menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan. Pusat kekuatan dan pengaturan ini terletak di kota Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan.
Di sini terdapat sebuah gedung besar yang merupakan markas daripada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari 'arsitek' dan 'pelaksana' pejajahan. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang jenderal bernama Karfi Khan, kemudian Penghu, sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti Tangan Kidal dan kira-kira selusin perwira-perwira tinggi yang lihay.
"Terus terang saja, sebelumnya aku pun menjadi salah seorang diantara mereka di sana. Namun syukur kalian telah membuka kedua mataku. Jika kita sanggup mengobrak-abrik markas mereka itu dan membunuh semua tokoh yang ada di situ kukira hancurlah induk kekuatan kaum penjajah Mongol. Balatentara Mongol yang banyak tak ada artinya. Tak lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa prajurit-prajurit Mongol telah muak dengan peperangan apalagi kekejaman-kekejaman yang lewat batas kemanusiaan yang selama ini diperlihatkan oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang diperhatikan, markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"
Sesaat semua orang terdiam setelah mendengar keterangan Kiat Bo Hosiang itu.
"Bagaimana...?" Bwe Hun bertanya.
"Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.
"Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
"Bagus! Sebaiknya kita berangkat sekarang juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh semua orang. Maka keempat manusia berkepandaian tinggi itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat itu suasananya hiruk-pikuk maka kini jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana sini bertebaran puluhan mayat.
SEBELAS
Setelah melakukan perjalanan yang cukup sulit hampir selama dua minggu akhirnya mereka sampai juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan Tiongkok pertama yang direbut oleh bangsa Mongol sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah yang kini dikuasai bangsa Mongol maka suasananya tenang dan aman, tak banyak prajurit-prajurit yang kelihatan berkeliaran.
Namun adalah berbahaya bagi Thian Ong, Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota pada siang hari sekalipun mereka bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka mengatur rencana dan baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
Bila senja berganti dengan malam, gedung besar yang menjadi markas para tokoh Mongol kelihatan terang dan tenang. Di pintu depan lima orang pengawal asyik bercakap-cakap sedang lainnya melakukan perondaan sekeliling tembok halaman. Tadi sudah dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun untuk gedung penting seperti markas itu tentu saja harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.
Di dalam gedung, pada sebuah ruangan besar empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi meja. Mereka adalah Pengho di kepala meja, Jenderal Karfi Khan di kepala meja yang lain, lalu Penghu sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal ditambah sepuluh orang perwira tinggi bangsa Mongol.
Satu jam yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti baru saja kembali dan langsung mengumpulkan orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan. Yang jelas tentu saja Pengho menuturkan apa yang telah terjadi dua minggu lalu antara dia dan murid Ik Bo Hosiang.
"Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih bahaya adalah konconya, seorang pemuda asing berambut gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya Jenderal Karfi Khan.
"Entahlah, kami tinggalkan saja dia sendirian. Mungkin sudah mampus di tangan muridnya sendiri atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis Sakti.
"Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak begitu senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.
Setelah membicarakan susunan dan keadaan pasukan Mongol di beberapa tempat di selatan, Pengho kemudian berkata; "Dengan adanya pengacau-pengacau seperti Thian Ong dan pemuda asing serta gadis murid Kiat Bo Hosiang itu pasti akan banyak mempengaruhi keadaan kita. Dalam perjalanan kemari aku dan Pengemis Sakti telah membicarakan rencana untuk mendatangkan beberapa tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau sampai Ik Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita akan semakin sulit. Kita basmi dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan ratusan pasukan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh lihay seperti kita masakan Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dari puncak Liong-san?! Aku hanya menunggu persetujuan dari para hohan di sini saja." (Hohan artinya orang gagah).
"Kurasa semua kita di sini dengan menyetujui rencana Pengho Lo-enghiong dan Wanglie Lo-enghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima kasih kalau begitu aku dan Pengemis Sakti akan berangkat bes..."
Pengho tak meneruskan kata-katanya karena saat itu matanya melihat alat rahasia yang terletak di dinding bergerak-gerak.
"Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru Pengho.
Orang-orang yang ada dalam ruangan pertemuan itu serta merta melompat dari kursi masing-masing dan hunus senjata Pada saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Kiat Bo Hosiang.
"Eh, bukankah kau sudah mampus di tangan murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum, masih belum Pengho Lo- enghiong,"sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang muda lihay itu?!" Pengemis Sakti kini yang ajukan pertanyaan.
Sebelum Kiat Bo Hosiang sempat menjawab Pengho kembali buka mulut. "Apakah kau masih punya muka untuk kembali kemari?!"
"Ah soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini tidak lebih baik dari mukaku!"
"Wah kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!" tukas Jenderal Karfi Khan.
Sementara Pengho melirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat itu masih kelihatan bergerak sedikit.
"Ketahuilah aku datang bukan sebagai Kiat Bo Hosiang yang dulu. Selama ini kalian orang-orang Mongol telah memperdayaiku, membujuk dan merayu hingga aku lupa daratan dan menindas, memusnahkan bangsa sendiri!"
"Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa maumu sebenarnya," membentak Pengho.
"Kalian kaum penjajah terkutuk hari ini harus bertanggung jawab atas kejahatan dan kekejian apa yang telah kalian lakukan terhadap tanah air dan bangsaku!" Habis berkata begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru, "Kawan- kawan silahkan turuni"
Serentak dengan itu terdengar suara ribut di atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol dan tiga sosok tubuh melayang turun dalam gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang ajar!' teriak Pengho. Dia sudah maklum siapa-siapa adanya tiga manusia yang masuk menerobos itu karenanya segera saja dia hantamkan kedua tangannya ke atas. Dua larik sinar hitam menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro Sableng yang tengah melayang di udara.
Terdengar suara tertawa Thian Ong disusul dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke kiri dan laksana seekor naga dia menukik ke arah Pengho sambil lancarkan satu jotosan. Tokoh dari Mongol ini cepat membuang diri ke samping hingga serangan lawan mengenai tempat kosong.
Di atas sana pukulan sinar hitam Pengho telah menghancur leburkan atap ruangan, sementara Pendekar 212 Wiro Sableng yang membalas dengan pukulan sinar matahari telah membuat lantai ruangan hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!
"Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau danJenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi menghadapi bangsat berambut gondrong. Aku sendiri akan mencincang bangsat pengkhianat ular kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas kepung gadis binal baju hijau itu!"
Pengho sengaja mencari lawan dan menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia merasa jerih terhadap Thian Ong apalagi Wiro Sableng. Di dalam ruangan besar yang sudah porak poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat seru! Dengan sebilah pedang berwarna ungu, Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat Bo Hosiang dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus saja Kiat Bo Hosiang segera terdesak hebat!
Li Bwe Hun yang menghadapi lima pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-pengeroyoknya terdiri dari perwira-perwira berkepandaian tinggi namun dengan mainkan jurus-jurus ilmu tongkat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tempo enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok bergeletakan mandi darah.
Pada saat gadis ini hendak menolong suhunya yang tengah didesak hebat oleh Pengho, tiba-tiba dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpinoleh seorang perwira tinggi. Terpaksa Bwe Hun menghadapi mereka lebih dahulu. Setelah mengamuk hampir sepuluh jurus dan membuat lawan roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup ambil langkah seribu, maka Bwe Hun menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam keadaan terdesak tadi, Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu ilmu tongkat garuda sakti atau 'Sin-eng Thung-hoat'. Namun Pengho yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh ilmu tongkat itu. Di lain saat pedangnya sudah menggebu-gebu kembali melabrak ke arah lawan dan di satu kesempatan berhasil membabat bahu kiri Kiat Bo Hosiang hingga putus buntung dan darah menyerbu!
"Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan kalap gadis ini menyerbu ke arah Pengho.
Sementara Kiat Bo Hosiang menotok bahunya di beberapa tempat hingga darah berhenti memancur kemudian dengan gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahumembahu dengan muridnya.
"Bagus! Kalian datang berdua! Hingga aku tak susah-susah membunuh guru dan murid sekaligus!" seru Pengho dengan seringai maut lalu kiblatkan pedang ungunya menghadapi dua lawan yang dia yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.
Thian Ong yang dikeroyok oleh jago-jago lihay yakni Penghu (adik dari Pengho) dan Jenderal Karfi Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot. Hal ini terutama karena dia sesekali masih saja kejangkitan penyakit keblingernya hingga menghadapi lawan lebih banyak mempermainkan dan mengejek.
Tetapi ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di dadanya dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting aneh ini baru sadar. Serta merta dia cabut sulingnya dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liong-san yang dipelajarinya selama dua belas tahun dari Ik Bo Hosiang!
Menghadapi ilmu silat yang tak pernah dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya Penghu serta Jenderal Karfi Khan kebingungan. Betapapun lihaynya mereka namun jurus demi jurus keduanya mulai terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu tiba-tiba Thian Ong keluarkan pekik nyaring.
Serentak dengan itu tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu. Tubuhnya mencelat lima langkah. Keningnya kelihatan berlubang dan mengucurkan darah. Sekali lagi adik dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu roboh. Thian Ong telah menghantam keningnya dengan suling hingga berlobang dan membuat nyawanya lepas.
Melihat adiknya mati Pengho menggembor marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang hebat dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek ini terjungkal dihantam tendangannya dan selagi sempoyongan pedang Pengho cepat menebas lehernya hingga Kiat Bo mati dengan kepala menggelinding!
Li Bwe Hun terpekik ngeri melihat kematian suhunya itu. Dengan kalap tanpa mempertimbangkan lagi kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho seorang diri. Tapi sekali Pengho gerakkan pedangnya maka patah mentallah pedang di tangan si nona. Dilain saat senjata Pengho membacok ganas ke kepala si nona tanpa dapat dikelit lagi ataupun ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho yang tengah turun dengan deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa yang dilemparkan karena saking cepatnya lemparan dan di samping itu dia tak dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Crasss...!" Pedang Pengho membacok tepat di pertengahan tubuh yang terlempar.
Terdengar jeritan, tubuh itu terhampar ke lantai tak berkutik lagi dengan pinggang terbabat putus. Ketika diperhatikan ternyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan tertegun sedang Pengho dengan muka pucat berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu asyik 'menggebuki' perwira-perwira Mongol yang tengah mengeroyoknya!
Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Seperti diketahui sebelumnya Pengemis Sakti Tangan Kidal bersama dengan lima perwira tinggi Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima perwira ini adalah lebih lihay dari lima perwira lain yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin oleh Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro kalang kabut.
Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun maka dalam satu gebrakan saja dia berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia menendang mental perwira yang ketiga matanya yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho tengah melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala Bwe Hun tanpa si gadis bisa berkata apa-apa.
Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya kearah ulu hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama 'Lo-han Ciang-yau' atau 'Malaikat Menundukkan Siluman', Wiro sambar lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar di atas kepalanya lalu dilempar ke arah Pengho.
Seperti yang diperhitungkan oleh Wiro dan malang bagi Pengemis Sakti, tubuh kakek itu terlempar tepat antara kepala dan bacokan pedang hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho menghantamnya tepat di pinggang.
Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah kau sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek Pendekar Sableng ini lalu tertawa gelak-gelak.
Sementara Thian Ong mendengar suara tertawa kambratnya itu ikut-ikutan pula tertawa dan membuat gerakan yang bernama Koay-liong Hoan-in' atau Naga Aneh Berjumpalitan'. Tubuhnya seperti terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendangke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu suling di tangan kanan memburu dengan cepat.
Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian Ong hingga ususnya berbusaian keluar! Dengan matinya Jenderal Karfi Khan maka kini Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini membuat nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat ke pintu.
Wiro memburu disusul oleh Thian Ong. "Biang racun anjing penjajah kau mau kabur kemana!" teriak Thian Ong.
Saat itu, sebelum keluar ruangan menghambur lari, Pengho masih sempat pergunakan tangannya untuk memutar sebuah tapel (ukiran kayu) kepala manusia di dinding dekat pintu. Serta merta terdengarlah suara mendesir di seantero ruangan.
"Awas senjata rahasia!" teriak Wiro memperingatkan.
"Lekas tiarap!" seru Thian Ong.
Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan diri di lantai ruangan. Detik itu pula dari empat tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah seratus pisau terbang berwarna hijau gelap. Bagaimanapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah ruangan pastilah tak bakal dapat menyelamatkan jiwanya!
Begitu serangan pisau terbang berhenti, Wiro cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai di sana dalam waktu yang tepat karena masih sempat melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap gedung sebelah kiri. Wiro segera memburu dan dalam waktu singkat berhasil menyusul pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho sadar dia tak akan bisa menang menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak mungkin. Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan diatas genteng yakni Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si nona belum apa-apa lantas saja sudah menyerangnya dengan sebuah golok besar yang diketahuinya adalah milik Jenderal Karfi Khan.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pengho daripada melawan mati-matian. Sebenarnya dalam tingkat ilmu kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol itu. Namun saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau takut dan gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa mengintai kelengahan lawan untuk melarikan diri.
Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro meskipun tidak langsung turut pula ambil bagian dalam pertempuran. Setiap Pengho mendesak Bwe Hun atau lancarkan serangan berbahaya maka tahu-tahu pantatnya ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang Wiro menjambak rambutnya atau menarik turun celananya. Sambil berbuat begitu kedua pemuda sableng itu tertawa-tawa tiada henti.
Akhirnya dalam keadaan penasaran, Pengho pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya sendiri! Tokoh utama dari Mongol ini roboh, terguling dari atas genteng, jatuh ke tanah dengan pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan Thian Ong, Wiro Sableng, Li Bwe Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar pentolan-pentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul menggemparkan baik empat kalangan Pemerintah Mongol maupun Pemerintah Tiongkok. Kalau orang Mongol merasa sangat terpukul maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribuan tentara Tiongkok dua minggu kemudian menyerbu ke perbatasan.
Dan betullah seperti kata-kata mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas sumber kekuatan penjajah itu dihancurkan maka bala tentara Mongol meskipun berjumlah besar namun tak lebih dari anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Seluruh kekuatan Mongol disapu bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari kaum penjajah yang selama ini telah mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di kalangan rakyat.
Namun agaknya tugas Song Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum selesai karena di selatan masih banyak pemimpin-pemimpin yang tak tahu diri yang perlu disingkirkan. Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula melakukan petualangannya.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar