WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : BAJINGAN DARI SUSUKAN
LELAKI berpakaian merah itu berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam tubuhnya beberapa kali membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan kulitnya penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat. Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa dilakukannya walau nafasnya mulai menyesak dan lidahnya terjulur-julur seperti anjing gila. Di tangan kirinya ada kantung kain.
Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke arah timur. Saat demi saat langit di jurusan itu tampak menjadi terang. Hal inilah yang agaknya ditakuti orang berpakaian merah itu. Sebentar-sebentar dari mulutnya terlontar kata-kata,
“Celaka...! Celaka diriku! Tak mungkin aku mencapai tempat itu sebelum matahari terbit! Celaka! Mati...! Aku akan mati!”
Orang ini berlari terus. Berusaha lebih kecang. Namun tenaganya hampir punah. Kedua kakinya seperti diberati batu besar. Beberapa kali dia terserandung jatuh tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling kembali ke timur, langit di sana tampak semakin terang.
“Celaka! Celaka diriku...!” Sekali lagi dia tersungkur di tanah. Kantung kain yang dibawanya terlepas. Cepat-cepat benda ini diambilnya lalu dia bangkit dan lari lagi.
Di pepohonan mulai terdengar kicau burung. Jalan mendaki yang dilaluinya mulai terang. Seperti ada semangat dan kekuatan baru dalam tubuh orang itu, dia mampu lari lebih kencang. Pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu, yang kelihatan di kejauhan, itulah yang seolah memberi kekuatan padanya. Akan tetapi maksudnya untuk mencapai pondok itu tidak pernah kesampaian.
Ketika di timur matahari memancarkan cahayanya yang kuning kemerahan dan berangsur memutih, ketika rambasan cahaya sang surya ini menimpa tubuh orang yang berlari itu, kontan dari mulutnya terdengar suara jeritan. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum. Lalu seperti ada api yang memanggang. Tubuhnya mengepulkan asap. Dia menjerit lagi. Tapi masih berusaha lari.
Sejarak lima belas langkah dari pondok kayu di ujung jalan mendaki, orang ini jatuh terguling. Sekali ini dia tak sanggup lagi untuk bangkit. Matanya membeliak. Kakinya melejang-lejang. Darah tampak mengucur dari telinga, hidung dan sela bibirnya.
“Pangeran... Pangeran... tol... tolong aku...” Orang itu memanggil diantara suara erangannya. “Pangeran...!”
Tiba-tiba pintu pondok yang sejak tadi tertutup terpentang lebar. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan gambar matahari serta gunung di bagian dada dan berikat kepala merah keluar dai dalam pondok. Sesaat dia memandang pada lelaki yang melingkar di tanah, melejang-lejang sambil tiada hentinya mengerang. Si baju hitam bertampang angkuh mendengus dingin.
“Manusia tolol!” teriaknya. “Mengapa kau kembali dalam keadaan terlambat! Melanggar pantang!”
“Pangeran... Aduh... tubuhku! Tubuhku seperti dibakar!”
“Bangsat! Jawab pertanyaanku!” hardik si baju hitam yang jelas-jelas adalah Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi dan memiliki kesaktian dari puncak Merapi. Yang sejak beberapa waktu lalu mengacau dan menimbulkan malapetaka bukan saja dalam rimba persilatan tetapi juga dalam kalangan Kerajaan bahkan menembus sampai ke dalam istana!
“Katakan mengapa kau datang terlambat!”
“Mo… mohon ampunmu Pangeran. Aku tergoda nafsu… Aku bermain-main dengan seorang janda muda dan kesiangan!”
“Keparat! Kau memang tidak pantas jadi Bajingan Dari Susukan!” Pangeran Matahari ulurkan kaki kanannya. Dengan jari-jari kaki dibetotnya kantong kain yang masih berada di tangan kanan lelaki di hadapannya. Kantong kain ini melayang ke udara dan cepat ditangkapnya dengan tangan kiri.
“Pangeran… tolong…”
Pangeran Matahari tidak perdulikan erangan orang. Dia membuka kantong kain dan memeriksa isinya. Tampak beberapa potong perhiasan, beberapa bongkah perak lalu kepingan uang logam.
“Setan! Hasilmu tidak seberapa!”
“Pangeran! Tolong… Tubuhku seperti dipanggang…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Nafsu sama dekatnya dengan darah dalam tubuh manusia! Nafsu menjadi sahabat manusia sejak langit dan bumi diciptakan! Tetapi dalam hal yang bersifat pantangan bila manusia sampai lupa diri, dia akan musnah!”
“Aku mohon ampunmu Pangeran. Tolong... Selamatkan selembar nyawaku…”
“Tak ada yang bisa menyelamatkanmu manusia tolol! Tidak setan tidak juga malaikat!”
Pangeran Matahari melangkah menuju pintu pondok. Di balakangnya terdengar lolong lelaki yang tubuhnya tampak mengepulkan asap dan mulai berubah kehitaman seperti kayu gosong. Dia berguling-guling di tanah.
“Pangeran. Tolong… Hanya kau yang bisa menolongku! Tolong…!”
“Tubuhmu telah tersiram sinar matahari! Mati adalah lebih baik bagimu!” ujar Pangeran Matahari. Di depan pintu pondok dia berhenti lalu berseru.
“Gajah Rimbun! Kemari kau!”
Dari dalam pondok melompat keluar seorang pemuda bermuka bulat, berkulit hitam legam, berkumis dan berjengot tipis. Sikapnya tangkas, gerakannya gesit. Dia memberi hormat pada Pangeran Matahari seraya berkata, “Saya sudah di hadapanmu Pangeran!”
“Kau lihat manusia tolol itu?!”
Si muka bulat bernama Gajah Rimbun berpaling ke arah lelaki yang masih melejang-lejang di tanah, tapi lejangannya makin lama makin perlahan. Suara teriakannya minta tolong semakin sember dan hanya tinggal erangan parau.
“Saya melihatnya Pangeran…” Kata Gajah Rimbun.
“Apakah kau mau jadi manusia tolol seperti dia?”
“Tidak Pangeran. Saya tidak ingin…”
“Kalau begitu ingat semua pesan dan pantangan. Selalu kembali kemari sebelum matahari terbit!”
“Saya akan ingat semua pesan dan pantangan, Pangeran.”
“Mulai hari ini kau akan bergelar Bajingan Dari Susukan! Ingat hal itu baik-baik. Kemanapun kau pergi perkenalkan dirimu dengan julukan itu…!”
“Akan saya lakukan Pangeran.”
“Dari semua yang kupesankan untuk dilakukan, yang paling penting adalah menyelidiki di mana beradanya dua manusia bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan seorang lagi entah lelaki entah perempuan, tapi dulu dikenal dengan nama Ni Luh Tua Dari Klungkung, muncul dengan sosok tubuh seorang nenek!”
“Saya akan menyelidiki Pangeran!”
“Jangan lupa mengeduk harta dan uang sebanyak mungkin!”
“Saya tidak lupa Pangeran.”
“Kau tahu di mana harus memusatkan pekerjaan?”
“Pangeran sudah mengatakan sebelumnya. Di Kotaraja dan desa-desa kaya…!”
“Bagus! Sekarang mendekatlah padaku!”
Gajah Rimbun melangkah mendekati Pangeran Marahari. Pada jarak satu langkah Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dan letakkan di atas kedua bahu Gajah Rimbun. Pemuda ini merasakan ada hawa panas dari telapak tangan Pangeran Matahari, masuk ke dalam tubuhnya lewat bahu.
“Sekarang kau boleh pergi! Ingat perintah, ingat larangan, ingat pantangan! Dalam tubuhmu ada satu kekuatan yang membuat kau mampu melakukan tugas dan mampu menghancurkan siapapun yang berani menghalangimu!”
“Saya pergi Pangeran…”
“Pergilah. Bawa mayat manusia tolol itu! Lemparkan ke dalam jurang!”
“Akan saya bawa Pangeran.” Lalu Gajah Rimbun memanggul mayat hangus yang sejak tadi tergeletak di tanah dan tinggalkan tempat itu melalui jalan tanah menurun.
Di iringi alunan gamelan pengantin lelaki keluar dari dari pintu sebelah kanan ruangan besar, melangkah bersama para pengiring lalu duduk di atas kasur tertutup permadani. Di sebelah kanan penghulu berjubah dan bersorban putih siap memimpin jalannya upacara akad nikah.
Dari pintu sebelah kiri, diapit oleh para pengiring, keluarlah pengantin perempuan yang kemudian mengambil tempat duduk berhadap-hadapan dengan pengantin lelaki.
Melihat pada keadaan kedua mempelai, maka ini adalah satu perkawinan yang benar-benar tidak serasi. Pengantin lelaki, seorang lelaki tua yang pantas disebut seorang kakek. Bertubuh kurus, berwajah cekung keriput, berambut putih dan berkumis jarang yang juga sudah berwarna putih.
Sebaliknya sang mempelai perempuan belum lagi berusia enam belas tahun, berparas cantik jelita tapi jelas masih kekanak-kanakan. Kepalanya selalu tertunduk, seolah-olah menyembunyikan sepasang matanya yang balut karena terlalu banyak menangis.
Ketika penghulu mulai membuka upacara, alunan gamelan terdengar menjadi perlahan lalu berhenti sama sekali. Di antara para tamu yang hadir pada sore menjelang malam itu tampak dan terasa adanya sesuatu yang tidak enak. Tidak enak bukan saja karena menyaksikan upacara pernikahan si kakek dengan si gadis yang pantas menjadi cucunya, melainkan disebabkan oleh polah tingkah seorang tetamu muda bermuka hitam, berjenggot dan berkumis tipis.
Saat itu tuan rumah masih belum mempersilahkan para tetamu untuk mencicipi minuman ataupun hidangan. Tapi tamu yang satu ini justru dengan seenaknya melahap makanan yang ada di depannya, meneguk minuman sepuasnya dan duduk sambil senyum-senyum cengengesan. Padahal sekian banyak wajah dan pandangan mata menatapnya dengan asam bahkan ada yang berang.
Seorang lelaki mendekati pemuda itu. dia adalah salah seorang anggota keluarga pihak pengantin lelaki yang punya hajat. Orang ini menegur dengan berbisik.
“Saudara, harap kau berhenti makan minum. Jika upacara pernikahan sudah selesai kau boleh makan sekenyangmu dan minum sampai mabuk…”
Pemuda yang ditegur kelihatan bersikap acuh. Tenpa berpaling dia malah menjawab. “Perutku lapar. Makanan dan minuman dihidangkan untuk disantap tetamu. Dan aku adalah tetamu di tempat ini. jika kau tuan rumah, mengapa tidak menghormati tetamu…?”
Lelaki yang tadi menegur tampak tak enak mendengar kata-kata itu. maka dia berkata lagi, kini bukan berbisik tapi dengan suara keras hingga terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. “Jika sebagai undangan di situ tidak mau menghormati upacara ini, saya persilahkan saudara meninggalkan tempat ini. Pesta ini diadakan bukan untuk orang-orang rakus dan kelaparan!”
“Oooo begitu…?” Si pemuda kembali menyahuti dan lagi-lagi tanpa berpaling pada orang yang menegurnya. “Baiklah, aku akan meninggalkan tempat ini sebentar. Tapi harap kau ikut bersamaku!”
Lalu pemuda itu berdiri. Dia menyentuh bahu orang yang menegurnya. Anehnya orang ini seperti bahu seekor kerbau yang dicucuk hidung kemudian melangkah mengikuti si pemuda meninggalkan ruangan. Para tetamu yang hadir menyangka pihak tuan rumah itu sengaja mengantarkan si pemuda keluar ruangan.
Mereka merasa lega karena kini pemuda yang menyebalkan itu sudah keluar. Namun tak seorangpun tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan anggota keluarga tuan rumah itu.
Tak selang berapa lama, pemuda tadi nampak muncul kembali. Seorang diri. Dan dia kembali duduk di tempatnya semula. Seperti tadi diapun kembali pula melahap makanan yang ada di hadapannya.
Sementara itu upacara pernikahan sampai pada mempersembahkan dan mempertunjukkan emas kawin lelaki untuk mempelai perempuan. Emas kawin itu terletak di atas sebuah nampan perak besar, berupa tiga buah kotak kayu kecil berisi emas perhiasan dan beberapa di antaranya bertahtakan batu-batu permata yang sangat mahal.
Ketika tiga buah kotak itu dibuka, tiba-tiba pemuda yang asyik menggerogoti paha ayam bangkit berdiri. Dua kali membuat lompatan dia telah berada di hadapan penghulu.
“Perkawinan gila ini tidak perlu diteruskan! Kalian harus membayar semua kegilaan ini dengan tiga kotak berisi perhiasan itu!” Pemuda itu berteriak lantang. Sekali dia berkelebat maka tiga kotak kayu berisi perhiasan sudah berada dalam kempitan tangan kirinya.
Serta merta pesta besar itu menjadi geger. Semua orang terkejut. Penghulu terbeliak. Pengantin lelaki dan para pengiringnya tegak melompat. Beberapa perempuan pengiring pengantin perempuan terpekik sementara pengantin perempuan sendiri untuk pertama kali angkat wajahnya dan menyaksikan kejadian itu dengan terheran-heran.
Penghulu berjubah putih setelah lenyap kagetnya kini berganti marah. Namun sebelum dia membentak, seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengenakan jas tutup coklat gelap sudah lebih dulu menghardik. Dia adalah paman pengantin perempuan.
“Orang gila kesasar! Lekas letakkan kembali tiga kotak kayu itu! Dan cepat minggat dari sini!”
Si pemuda tertawa lebar. “Aku tahu sampean adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan! Aku juga tahu sampeanlah yang mengatur secara paksa perkawinan ini. karena sampean mengharapkan imbalan harta dan uang serta jabatan dari pengantin lelaki, seekor kambing tua itu!”
"Plaakkk!" Tamparan keras melabrak pipi si pemuda. Yang menampar adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan.
Yang ditampar usap pipinya yang tampak merah. Tak kelihatan bayangan rasa sakit pada air mukanya, malah pemuda ini menyeringai. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya.
"Bukkk...!"
Sentono Puro terpental ketika dada kirinya ditumbuk jotosan si pemuda. Tubuhnya terguling di atas permadani. Dia mencoba bangkit kembali. Tapi matanya tampak mendelik dan detik itu pula tubuhnya tersungkur kembali. Kali ini tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya. Darah mengucur di sela bibirnya!
“Kurang ajar! Kembalikan perhiasan milikku itu!” Pengantin lelaki tiba-tiba berteriak. Dua orang perngiringnya tempak mencabut keris.
Si pemuda kembali tertawa lebar. “Masih untung aku hanya mengambil perhiasan milikmu, bandot tua. Apakah kau mau aku juga mengambil jiwamu seperti yang kulakukan pada Sentono Puro barusan?! Bandot tua tak bermalu! Memaksa kawin anak orang yang pantas jadi cucunya!”
Dua orang pengiring pengantin yang sudah tidak sabar, langsung saja melompati pemuda itu sambil tusukkan keris.
“Kalian cecunguk-cecunguk pengiring kambing tua memang layak mampus dahulu!” Si pemuda membentak. Tangan dan kakinya bergerak. Dua penyerang terlempar ke belakang. Yang satu melolong setinggi langit karena hancur selangkangannya, satunya lagi remuk dadanya. Keduanya menyusul Sentono Puro.
Jerit pekik terdengar di sana-sini. Pengantin perempuan dilarikan ke ruangan lain. Para tetamu menjauh ketakutan. Namun seseorang menyeruak ke depan seraya membentak,
“Pemuda iblis. Lehermu layak ditebas!”
Pemuda itu berpaling. Di hadapannya tegak seorang pemuda berpakaian ungu, sikapnya keren dan di tangan kanannya ada sebilah golok panjang.
“Hem… Lagakmu boleh juga sobat. Siapa kau?” tanya pemuda yang merampas tiga kotak perhiasan.
“Aku Suto Anget. Perwira Ketiga pada jajaran Pasukan Kotaraja!” Pemuda yang memegang golok kenalkan diri. “Kau sendiri siapa? Mengapa berani mengacau perjamuan orang? Malah menggarong emas kawin?!”
“Aku bukan menggarong! Tapi menghukum bandot tua yang pergunakan kekayaan dan kekuasaan untuk mengawini seorang gadis cilik!”
“Lagakmu seperti pahlawan saja!” dengus Suto Anget. “Kau belum menerangkan siapa dirimu!”
“Dengan senang hati aku perkenalkan. Aku Bajingan Dari Susukan!”
“Seorang bajingan rupanya! Memang gelar yang tepat sekali!” ujar Suto Anget. Goloknya diangkat setinggi bahu, siap membabat. “Jika kau tidak segera mengembalikan tiga kotak perhiasan itu, putus lehermu!”
“Aku mau lihat bagaimana kau memutus leherku!” dengus Bajingan Dari Susukan.
“Bagus kalau kau memang sudah siap untuk mati! Ingat, kau berhadapan dengan Perwira Kerajaan!”
“Suto Anget! Jangan kau bawa-bawa nama Kerajaan! Ayo bergeraklah!”
Golok di tangan Perwira Ketiga itu berkelebat mengeluarkan suara angin bersiuran, menebas ke arah batang leher pemuda bermuka hitam. Tapi serangan maut ini hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat jotosan tangan kanan Bajingan Dari Susukan menghantam dada sang Perwira lebih dulu.
Tubuh Suto Anget mencelat mental, pedangnya terlepas, dia terjengkang di lantai semburkan darah segar lalu rebah tak berkutik lagi. Sebelum tubuh itu mencium lantai Bajingan Dari Susukan sudah menyambar kembali tiga kotak kayu yang tadi diletakkannya di atas nampan perak. Tepat di saat yang sama pengantin tua bangka itu hendak mengambilnya. Penasaran didahului orang, kakek tua itu serta merta melompati si pemuda. Satu tangan coba merampas kotak-kotak berisi perhiasan, satunya lagi mencakar kearah wajah.
"Traakkk...!"
Pengantin tua menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil pegangi tangan kanannya yang patah akibat dipukul Bajingan Dari Susukan. Pemuda ini menyeringai.
“Masih untung cuma lenganmu yang kupatahkan! Bukan lehermu!”
Habis berkata begitu pemuda ini melangkah ke pintu sebelah kiri. Sesaat kemudian terdengar pekik jerit orang banyak.
“Pengantin perempuan dilarikan!”
“Pengantin perempuan diculik!”
Kekacauan di tempat perhelatan itu tidak terkirakan lagi. Pengantin lelaki terduduk di pelaminan, tidak henti-hentinya berteriak seperti orang kurang waras.
“Perhiasanku! Tolong! Emas kawin itu... Istriku... Istriku... Mana istriku...?”
Di langit bulan setengah lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi tambah gelap. Udara tambah dingin karena menjelang dini hari. Di dalam pondok kayu di ujung jalan yang mendaki, Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan duduk menghadap Pangeran Matahari yang duduk bersila tiada hentinya tersenyum dan memuji.
“Kau memang pantas menyandang julukan Bajingan Dari Susukan itu Gajah Rimbun. Hasilmu yang pertama sangat memuaskan. Bukan saja tiga kotak berisi barang-barang perhiasan ini, tapi kau malah juga membawakan seorang gadis cantik untukku…”
“Itu jika Pangeran berkenan padanya. Kalau tidak, sayapun tak akan menampik…” Menjawab Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
“Ketika saya bawa lari gadis ini tidak melawan atau menjerit. Katika saya tanyakan, katanya dia pasrah hendak diapakan asal bebas kawin paksa dengan bandot tua bermuka kambing itu…”
“Hemm... Beegitu? Siapa namanya Gajah Rimbun?” bertanya Pangeran Matahari.
“Katakan nama mu pada Pangeran…” Berkata Gajah Rimbun pada gadis yang masih berpakaian pengantin dan duduk di sudut ruangan. Tak ada bayangan rasa takut padanya. Hanya dalam hati dia bertanya-tanya, mengapa pemuda yang menculiknya itu memanggil pemuda berpakaian hitam dengan sebutan Pangeran. Apakah dia benar-benar seorang Pangeran?
“Nama saya Sri Andini…” Menerangkan si gadis enam belas tahun.
“Namamu bagus. Apakah kau menyukai si pemuda yang menculikmu ini…?”
Ditanya begitu Sri Andini tak bisa menjawab. “Kau bebas memilih aku atau dia. Tak ada paksaan…” Berkata Pangeran Matahari, membuat si gadis tambah bingung.
Jika dibandingkan antara dua pemuda itu, tentu saja yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari jauh lebih gagah dan tampan.
“Jika saya memilih salah satu di antara kalian, lantas apakah yang hendak kalian lakukan…?” Sri Andini yang memang masih kekanak-kanakan itu bertanya polos, membuat Pangeran Matahari tertawa lebar sedang Gajah Rimbun senyum-senyum kecut. Dia hampir dapat memastikan kalau gadis itu akan memilih Pangeran Matahari.
“Siapa saja yang kau pilih di antara kami, maka kau akan mendapatkan malam pengantinmu di sini…” Berkata Pangeran Matahari.
“Pengantin…? Pengantin tanpa nikah…?”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. “Nikah itu hanya dilakukan oleh orang-orang tolol! Nah katakan pilihanmu!”
“Saya… saya memilih kakak ini…” kata Sri Andini sambil berpaling pada Gajah rimbun membuat pemuda ini terkesiap hampir tak percaya namun diam-diam merasa takut kalau-kalau Pangeran Matahari menjadi marah.
“Gajah rimbun rezekimu besar!” kata sang Pangeran. Lalu berdiri dan melangkah ke pintu. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh. Tangan kanannya digerakkan perlahan. Di seberangnya terdengar jeritan Sri Andini. Tubuhnya terpental menghantam dinding. Wajah yang tadi putih, tubuh yang tadinya berkulit mulus kini tampak gosong menghitam.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun tersentak kaget hingga melompat dari duduknya. “Mengapa kau membunuh gadis itu…?”
“Manusia tak berbudi layak disingkirkan…!”
“Tak berbudi bagaimana maksudmu Pangeran?”
“Kalau tidak aku yang memerintahkanmu mengadakan perjalanan, tidak nantinya dia selamat dari kawin paksa itu. Kini setelah selamat dia melupakan budi orang!”
“Tapi mana dia tahu kalau saya menyelamatkannya bertalian dengan tugas yang Pangeran berikan…?”
“Manusia berbudi selalu berusaha mencari tahu, Gajah Rimbun!” sahut Pangeran Matahari.
“Tapi, gadis ini masih kanak-kanak…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Tubuhnya matang montok. Payudaranya besar. Kerlingan matanya menikam. Itukah yang kau sebut kanak-kanak… Atau inginkan kau berdebat dengan aku, Gajah Rimbun?”
“Tidak… Saya tidak bermaksud begitu Pangeran. Hanya sayang…”
“Apa yang sayang…?"
“Sebetulnya dia bisa kita manfaatkan…”
“Sebaiknya kau lupakan dia Gajah Rirmbun. Kau telah menyelesaikan tugas dengan baik. Tapi hanya sebahagian. Berita apa yang kau dapat tentang dua manusia bernama Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung…?”
“Mohon maafmu Pangeran. Tak satupun saya menyirap kabar tentang orang-orang itu. tapi saya punya berita lain yang tak kalah pentingnya…”
“Lekas katakan. Jika tidak cukup penting nyawamu imbalannya!”
Pucatlah paras Gajah Rimbun. Tapi orang ini sangat yakin berita yang didapatnya sangat berguna bagi Pangeran Matahari. Maka diapun menjelaskan.
“Kalangan istana saat ini tengah mengamati bahkan boleh dikatakan mencurigai istri Sri baginda yang ketiga…”
“Hemmmm…” Pangeran Matahari keluarkan suara bergumam. Sepasang alis matanya yang tebal mencuat ke atas. Setengah acuh ia bertanya. “Apa yang menjadi dasar kecurigaan itu. Dan kecurigaan tentang apa?”
“Kecurigaan bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga itu, mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran…”
Diam-diam Pangeran Matahari semakin tertarik akan cerita Gajah Rimbun. Namun sikap dan air mukanya di luar tetap seperti tak acuh. “Mengapa orang-orang itu bersikap demikian? Aneh…!”
“Menurut penuturan, sewaktu Pangeran menyerbu Istana beberapa bulan yang silam, mereka mengenali cincin emas bergambar burung rajawali yang Pangeran pakai itu. Menurut mereka, cincin itu dikenal sebagai milik Raden Ayu Puji Lestari. Jika ibu dan puterinya itu tidak dapat menerangkan apa hubungan mereka dengan Pangeran, besar kemungkinan Sri baginda sendiri akan mengambil tindakan hukum. Memenjarakan istri dan puterinya itu…”
“Raja tolol!” kertak Pangeran Matahari. “Ibu dan anak itu juga tolol! Tidak bisa memberikan jawaban…”
“Mereka tidak bisa membela diri. Karena tidak bisa memperlihatkan mana cincin milik puteri pemberian Sri Baginda...”
Pangeran Matahari terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. “Kau berangkatlah ke Kotaraja. Serahkan cincin itu pada Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Dengan demikian dia dan ibunya akan dapat mementahkan kecurigaan orang-orang itu…”
“Jadi... jadi benar cincin itu milik Raden Ayu Pauji Lestari?” bertanya Gajah Rimbun.
“Aku tidak menyuruhmu banyak bertanya Gajah Rimbun. Tugasmu adalah menyerahkan cincin ini pada puteri itu!” sentak Pangeran Matahari dengan mata mendelik, membuat Gajah Rimbun ketakutan dan buru-buru meminta maaf atas kelancangannya, lalu cepat mengambil cincin emas yang diangsurkan Pangeran Matahari.
“Kau tahu siapa-siapa saja yang bersikap curiga pada ibu dan puterinya itu?”
“Yang pertama Patih Kerajaan. Lalu Panglima Kotaraja Raden Kertopati. Kalau saya tidak salah Panglima Balatentara Kerajaanpun bersikap sama. Malah dia yang mula-mula sekali minta Sri Baginda mangusut istri ketiga dan puterinya itu…”
“Gajah Rimbun, kau pergilah cepat. Ingat baik-baik satu hal. Siapa saja yang akan mencelakai kedua perempuan itu aku perintahkan kau untuk membunuhnya!”
Tentu saja Gajah Rimbun terkejut mendengar kata-kata itu. “Saya siap menjalankan perintah Pangeran. Tapi jika harus berhadapan dengan orang-orang seperti Raden Kertopati Panglima Kotaraja dan Raden Mas Jayengrono Panglima Kerajaan, mana mungkin saya punya kemampuan?”
“Tak perlu kawatir. Kau akan punya kemampuan. Mendekatlah!”
Gajah Rimbun maju mendekati Pangeran Matahari. Sang Pangeran angkat kedua tangannya. Telapak kiri kanan ditempelkannya ke dada Gajah Rimbun. Mulutnya tampak berkomat-kamit.
“Sekarang kau sudah punya kemampuan Gajah Rimbun. Pergilah! Dan ingat, jangan lupa memperkenalkan siapa namamu!”
“Saya ingat Pangeran. Nama saya adalah Bajingan Dari Susukan!” jawab Gajah Rimbun.
Ponggawa berkuda hitam itu memasuki halaman rumah besar kediaman R.A. Siti Hinggil. Sesaat dia bicara dengan perajurit yang tengah bertugas di pintu. Perajurit ini masuk ke dalam. Tak selang berapa lama dia keluar kembali dan mempersilakan ponggawa tadi masuk mengikutinya. Kedua orang ini duduk bersila di depan sebuah kasur tinggi berselimutkan permadani. Duduk menunggu tanpa ada satupun yang bicara.
Tak berapa lama kemudian istri Sri Baginda yang ketiga keluar diiringi seorang anak lelaki berusia enam tahun, berwajah cakap dan berpakaian bagus. Inilah Pangeran Sabrang, putera bungsu R.A.Siti Hinggil, adik Puji Lestari Ambarwati yang juga merupakan adik Pangeran Anom alias Pangeran Matahari. Anak ini duduk seenaknya disamping ibunya yang duduk di atas kasur tinggi.
“Kau membawa berita atau pesan dari Keraton...?” R.A. Siti Hinggil bertanya.
Ponggawa itu memberi hormat sebelum menjawab. “Betul sekali Raden Ajeng... Bisakah saya sampaikan sekarang?”
“Katakanlah…”
“Raden Ajeng dan Raden Ayu Puji Lestari diminta Patih Haryo Unggul untuk menghadap siang nanti sehabis Ba’dal Asar.”
“Apakah Patih mengatakan mengapa dia memanggil kami?”
“Tidak Raden Ajeng. Rasa rasa tentunya Raden Ajeng lebih tahu…”
“Apakah Sri Baginda mengetahui kalau kami berdua harus menghadap?”
“Sudah tahu Raden Ajeng. Justru dalam pertemuan nanti Sri Baginda akan ikut hadir,” menjelaskan ponggawa itu.
“Kalau begitu ini adalah kehendak Sri Baginda. Patih hanya dipakai sebagai penyambung lidah. Kau boleh pergi. Katakan kami berdua akan datang menghadap sehabis sembahyang Asar.”
Ponggawa itu memberi hormat lalu dengan terbungkuk-bungkuk meninggalkan tempat itu, diikuti perajurit yang tadi menemaninya. Ketika dia melangkah ke tempat kuda hitamnya ditambatkan, ponggawa itu terkejut. Di atas kuda itu tampak duduk seorang pemuda tak dikenal berkulit hitam bermuka bundar. Menyangka orang hendak mencuri kudanya, ponggawa itu segera menghunus pedangnya.
“Bangsat pencuri! Besar sekali nyalimu!” Pedang di tangan ponggawa menderu. Namun sesaat kemudian terdengar pekiknya. Bersamaan dengan pekik dan terlepasnya pedang, terdengar pula suara kraak! Ternyata tulang siku tangan kanannya remuk dihantam tendangan pemuda di atas kuda.
Perajurit di sebelahnya mengangkat tangan, siap untuk menusukkan tombaknya. Tapi diapun bernasib sama. Tombak yang hendak dihantamkannya ke perut orang patah dua dan mental ke udara begitu dilabrak tendangan pemuda di atas kuda.
“Ponggawa! Kau kembali ke Keraton! Katakan pada orang-orang di sana bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya tidak akan datang menghadap ke sana! Juga katakan jika mereka masih berani mengganggu ketentraman ibu dan anak itu, jika mereka masih menaruh curiga terhadap keduanya, mereka bakal menemui kesulitan. Bahkan kematian!”
“Kau… kau siapa…?!” bertanya si ponggawa.
“Namaku Bajingan Dari Susukan. Berani malawan kehendakku berarti minta mampus! Pergi lekas…!”
“Tapi… Kudaku…”
“Kudamu tetap di sini! Kau bisa jalan kaki…”
“Tidak bisa. Itu kuda istana. Aku harus kembali bersamanya…”
“Begitu? Baiklah! Kau boleh menungganginya. Berarti kedua kakimu tak ada gunanya!”
Pemuda di atas kuda hitam melompat turun. Begitu menjejakkan tanah dia melompati si ponggawa. Kaki kanannya menabas. Terdengar dua kali suara 'kraak'. Ponggawa itu tersungkur ke tanah, menjerit kesakitan. Kedua tulang kakinya kiri kanan patah. Dalam keadaan menjerit-jerit kesakitan, Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun angkat tubuhnya dan naikkan ke atas punggung kuda hitam. Kuda ini digebraknya, membuatnya lari kencang membawa ponggawa yang masih terus berteriak-teriak.
Suara jerit ribut-ribut di halaman membuat Siti Hinggil dan Puji Lestari keluar dari dalam gedung diikuti Pangeran Sabrang. Mereka masih sempat melihat ponggawa yang tadi menghadap terbujur melintang di atas punggung kuda yang berlari meninggalkan halaman rumah besar.
“Apa yang terjadi dengan ponggawa itu…?” bertanya Siti Hinggil.
Perajurit yang ada di tangga rumah tak berani membuka mulut. Ketika pandangan Siti Hinggil membentur Gajah Rimbun dia segera menegur, “Kau siapa?”
Gajah Rimbun menjura hormat tapi matanya sesaat mengerling pada Puji Lestari Ambarwati. Hatinya berdesir. Tak pernah dia melihat gadis secantik ini. Rambutnya yang hitam. Kulitnya yang kuning mulus. Sepasang mata yang berkilat-kilat dan tubuh yang begitu besar montok. Apakah sebenarnya hubungan Pangeran Matahari dengan kedua perempuan ini?
Hatinya benar-benar terpikat pada Puji Lestari. Jika Pangeran Matahari mengizinkan, sangat beruntung kalau dia dapat memiliki gadis ini. Tapi memiliki puteri raja? Gajah Rimbun mentertawai dirinya sendiri. Heh, apa salahnya?!
“Orang bertanya kau tak menjawab! Apakah bisu? Atau tuli?!” Yang membentak adalah Puji Lestari. Membuat Gajah Rimbun gugup.
“Saya… Ga… eh, saya Bajingan Dari Susukan…”
“Nama apa itu?!” ujar Puji Lestari. “Apa betul itu namamu?”
“Betul sekali Raden Ayu. Nama saya memang jelek…”
“Mungkin sifatmu lebih jelek!” kata Puji Lestari ketus. Sekali melihat pemuda bermuka hitam itu dia langsung merasa tidak senang.
Siti Hinggil bersikap lebih wajar. “Ada apa kau di sini. Mengapa ponggawa itu terbujur dan menjerit-jerit di atas kudanya?”
“Saya di sini menjalankan tugas, Raden Ajeng. Ponggawa itu mendapat celaka karena ulahnya sendiri!”
“Kau bukan perajurit istana atau perajurit Kerajaan. Tugas apa yang kau lakukan di sini?!”
“Menjaga keselamatan Raden Ajeng dan puteri sehubungan dengan adanya niat buruk orang-orang Keraton mencurigai Raden Ajeng berdua…”
Siti Hinggil terkejut. Puji Lestari mengerenyit. “Maksudmu apa?” bertanya Siti Hinggil.
“Maksud saya sehubungan dengan tuduhan bahwa Raden Ajeng dan Raden Ayu berdua mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari. Saya diperintahkan membunuh siapa saja yang berani menyulitkan orang-orang di rumah ini…”
“Siapa yang memerintahkanmu?” tanya Puji Lestari.
“Saya tidak berani mengatakannya, Raden Ayu,” jawab Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun.
“Siapapun kau adanya dan perintah apapun yang sedang kau jalankan, aku tidak senang melihatmu di sini. Keselamatan rumah ini adalah dalam tanggung jawab Raja…”
“Namamu saja Bajingan Dari Susukan! Siapa percaya padamu!” manyambung Puji Lestari. “Jangan-jangan kau bangsa maling atau garong yang hendak berbuat jahat terhadap kami!”
Gajah Rimbun tersenyum tawar. Dan menjawab, “Jika saya ingin berbuat jahat, sudah dari tadi dapat saya lakukan. Semudah saya membalikkan telapak tangan!” berkata pemuda itu. “Lihat apa yang ada dalam tangan saya!” katanya demikian.
Tangan kirinya yang tadi terkepal dibukanya. Siti Hinggil dan Puji Lestar sama-sama memandang ke arah tangan kiri itu. Dan keduanya sama-sama terkejut. Di atas telapak tangan si pemuda bermuka hitam mereka melihat sebuah tusuk kundai emas.
“Astaga!” Raden Ajeng Siti Hinggil berseru seraya memegang rambutnya. Tusuk kundai yang ada di tangan si pemuda adalah tusuk kundai yang sebelumnya menancap di gelungan kondenya! Bagaimana benda itu tahu-tahu berada dalam tangan pemuda ini tanpa dia melihat kapan orang mengambilnya bahkan tanpa merasa sama sekali?
“Kau punya ilmu hitam!” sentak Puji Lestari. Gajah Rimbun tersenyum.
“Saya tidak punya ilmu apa-apa, Raden Ayu,” jawab pemuda itu. Lalu mengembalikan tusuk kundai emas pada Siti Hinggil.
“Lebih cepat kau pergi dari sini, lebih baik!” kata istri Sri Baginda yang ketiga itu.
“Saya memang akan pergi Raden Ajeng. Tapi tidak terlalu jauh. Satu hal perlu diketahui. Justru Sri Baginda sendiri sangat menaruh curiga pada kalian ibu dan anak. Kalangan istana menduga keras kalian punya sangkut paut tertentu dengan Pangeran Matahari. Berniat menumbangkan tahta Raja. Ini semua gara-gara cincin milik Raden Ayu yang diberikan dan dipakai oleh Pangeran Matahari waktu menyerbu keraton tempo hari…”
“Jadi! Kalau begitu Pangeran itulah yang memerintahkanmu!” ujar Sri Puji Lestari.
“Saya tidak berani membenarkan hal itu,” jawab Gajah Rimbun.
“Katakan di mana Pangeran itu sekarang?” ujar sang dara.
“Saya tidak tahu dia ada di mana Raden Ayu. Saya ditugaskan untuk menyerahkan barang ini…” Lalu Gajah Rimbun mengeluarkan cincin emas bergambar burung rajawali pada Puji Lestari.
Dalam terkejut Puji Lestari mengambil cincin itu, mengamatinya sebentar lalu memandang pada ibunya. “Saya yakin, Pangeran Matahari yang menyuruhnya!”
Siti Hinggil mengangguk dan membuka mulut hendak menanyakan sesuatu. Tapi Bajingan Dari Susukan sudah berkelebat pergi.
Belum lama Gajah Rimbun berlalu, belum lama Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya serta Pangeran Sabrang masuk ke dalam rumah besar, serombongan orang berkuda muncul. Mereka berjumlah lima orang. Dari pakaian dan senjata yang tersisip di pinggang masing-masing jelas mereka adalah abdi-abdi atau pasukan Kerajaan.
Bertindak sebagai pemimpin seorang perwira muda bertubuh tinggi kurus yang memiliki sepasang mata sangat merah. Di kalangan pasukan dia dikenal dengan julukan Si Mata Api. Pandangannya memang angker dan ilmu silatnya cukup tinggi.
Baru saja kelima orang itu turun dari kuda masing-masing, bahkan belum sempat bicara dengan perajurit pengawal yang datang menyongsong. Gajah Rimbun tahu-tahu sudah berdiri di tangga rumah besar. Sikapnya jelas menghalangi siapa saja yang hendak masuk. Sementara itu sebuah kereta kecil kelihatan memasuki pintu halaman.
Perwira muda berjuluk si Mata Api memandang tak berkesip pada Gajah Rimbun, membuat Bajingan Dari Susukan ini tergetar juga hatinya.
“Tampangmu baru hari ini kulihat! Aku tahu pasti kau bukan perajurit Kerajaan atau pengawal gedung kediaman istri Sri Baginda! Mengapa kau berani menjual lagak kurang ajar di hadapan kami pasukan Kerajaan?!”
Gajah Rimbun seperti tak acuh. Sambil memandang ke kiri dia bertanya, “Perwira, apakah kau mencari orang bernama Bajingan Dari Susukan?”
“Bukan saja mencarinya, tapi akan mematahkan batang lehernya!” sahut Si Mata Api. “Dia telah menganiaya seorang anak buahku!”
“Ah, kalau begitu kau datang tepat pada waktunya.” Habis berkata begitu Gajah Rimbun ulurkan lehernya. “Akulah orang yang kalian cari. Silakan mematahkan batang leherku!”
“Bangsat! Memang minta mampus!” teriak Si Mata Api marah. Tapi dia tak mau turun tangan sendiri. Seraya berpaling pada empat orang anak buahnya dia berikan perintah, “Cincang keparat muka hitam ini!”
Empat buah pedang berkeresekan keluar dari sarung masing-masing lalu serentak diayunkan ke arah Gajah Rimbun. Dua menabas pundak, satu membacok kepala, satunya lagi membabat leher yang masih diulurkan!
Apa yang terjadi kemudian membuat Si Mata Api yang terkenal buas menjadi bergidik. Ketika empat buah pedang itu dilihatnya hanya tinggal sejengkal mencapai sasaran, tiba-tiba pemuda bermuka hitam gerakkan kedua tangannya. Dua buah pedang mencelat ke udara bersamaan dengan jeritan dua perajurit.
Tangan masing-masing patah dan tampak berubah menjadi hitam. Dua perajurit lagi terhempas ke tanah dan berguling-guling sambil menggerung. Tubuh mereka tampak mengeluarkan asap. Sesaat kemudian keduanya melingkar tak berkutik lagi dalam keadaan tubuh gosong seperti dibakar!
Ketika pemuda itu hendak bergerak ke arahnya, Si Mata Api cepat berseru “Tahan!”
“Eh, kau takut mampus...?” tanya Gajah Rimbun sambil menyeringai. Membuat Si Mata Api merinding.
“Jika kau menyerah hidup-hidup, hukuman atasmu akan kuperingan!”
“Kalau kau mau pergi dari sini, nyawamu akan kuampunkan!” balas Bajingan Dari Susukan.
“Kurang ajar! Kau kira aku takut padamu!” bentak Si Mata Api. Tinju kanannya menderu deras ke arah muka Gajah Rimbun. Yang diserang merunduk tapi...
"Bukkk!" Tinju yang tadi mengarah muka tahu-tahu berubah cepat menghantam dada dan mengenai dada kiri Gajah Rimbun dengan keras hingga pemuda ini terjengkang.
Melihat lawan dapat dipukul rubuh dalam satu jurus saja, Si Mata Api timbul keberanian dan rasa percaya diri. “Hanya begitu saja kehebatan keparat ini!” katanya dalam hati. Lalu dia melompat seraya kirimkan tendangan kaki kanan ke muka Gajah Rimbun. “Hancur kepalamu!” teriak Si Mata Api.
Tapi sekali ini dia kecele. Bukan kepala lawan yang hancur tapi kaki kanannya yang kena ditangkap. Sebelum dia sempat menarik kaki yang tertangkap sambil menghujamkan tumit kirinya ke dada lawan, tahu-tahu dia merasakan sekujur tubuhnya panas seperti dipanggang api. Sesaat kemudian tubuhnya terlempar ke atas.
Karena sakit, terkejut dan bingung, walaupun sudah jungkir balik agar dapat jatuh di atas kedua kakinya, namun tetap saja perwira muda itu jatuh bergedebuk, jatuh punggung di tanah. Sekujur tubuhnya tampak merah seperti terseduh. Dari mulutnya keluar suara mengerang menahan sakit yang luar biasa. Ketika dia mencoba bangkit, sebuah kaki yang kuat dan berat meninjak dadanya. Memandang ke atas ternyata pemuda bermuka hitam itu yang menginjaknya!
“Nyawamu kuampunkan! Kembali ke istana dan sampaikan pesanku pada semua orang di sana! Jangan sekali-kali mengganggu dan membuat kesulitan atas diri Raden Ajeng Siti Hinggil serta puterinya. Ibu dan anak itu tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Siapa berani mengabaikan pesanku ini akan berhadapan dengan malaikat maut! Katakan namaku adalah Bajingan Dari Susukan!”
Gajah Rimbun angkat kakinya dari atas dada Si Mata Api. Dengan menanggung sakit amat sangat perwira muda ini bangkit berdiri. Dalam keadaan seperti itu dia melihat sebilah pedang tergeletak di tanah tiga jengkal dari tangan kanannya. Secepat kilat perwira ini menyambar senjata itu, lalu sambil membalikkan tubuh dia ayunkan pedang tepat pada batasan pinggang Bajingan Dari Susukan.
“Diberi ampun malah minta racun!” rutuk Gajah Rimbun. Kaki kanannya bergerak lebih cepat melabrak dada Si Mata Api.
Tubuh perwira itu terpental bersama pedang yang terlepas dari pegangannya. Dia melingkar dekat roda kereta, mengerang beberapa kali, muntah darah lalu pingsan. Di atas kereta, kusir tua berkumis putih gemetar ketakutan setengah mati ketik Bajingan Dari Susukan melangkah mendatangi.
“Angkat tubuh perwira itu. Bawa ke istana! Jika dia mampus di perjalanan maka kau yang harus menyampaikan apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar di tempat ini! mengerti?!”
“Sa... saya mengerti...” Kusir tua cepat turun lalu mengangkat tubuh Si Mata Api dengan susah payah. Tanpa menunggu lebih lama dia segera membedal kuda penarik kereta.
Ketika Gajah Ribun melangkah meninggalkan tempat itu, di tangga rumah tampak tegak Raden Ajeng Siti Hinggil dan Puji Lestari Ambarwati.
“Lagi-lagi kau berani membuat onar di sini!” terdengar ucapan Puji Lesatri disertai air muka sangat tidak senang.
Gajah Rimbun membungkuk hormat. “Maafkan saya Raden Ayu. Bajingan Dari Susukan hanya menjalankan perintah...”
“Kau tunggulah! Orang-orang dari istana pasti akan menangkapmu hidup atau mati!”
Gajah Rimbun tersenyum. Dengan ilmu hebat yang diberikan Pangeran Matahari secara aneh, tak satu orangpun ditakutinya. Dia yakin sekali hal ini. Yang dipikirkannya justru bagaimana kalau nanti setelah Pangeran Matahari mengambil kembali kepandaiannya itu. sekali lagi pemuda bermuka bundar itu melayangkan senyumnya pada Puji Lestari, menjura dan meninggalkan tempat itu.
Ketika kusir tua menceritakan apa yang terjadi. Ruang sidang istana menjadi gempar.
“Apakah kejadian ini perlu segera diberitahu pada Sri Baginda?” tanya Raden Kertopati, Panglima Pasukan Kotaraja.
“Sebaiknya kita periksa dulu keadaan perwira itu. Mungkin dia bisa memberi keterangan lebih banyak!” menjawab Raden Mas Jayengrono, Kepala Balatentara Kerajaan.
Lalu bersama-sama Patih Haryo Unggul, diiringi belasan perwira tinggi dan perwira muda mereka meninggalkan ruangan sidang, menuju halaman istana. Ketika diperiksa ternyata perwira muda berjuluk Si Mata Api itu sudah tak bernyawa lagi.
“Melihat keadaan tubuhnya yang merah seperti terpanggang, perwira ini menemui ajal akibat ilmu kesaktian yang bukan sembarangan…” ujar Patih Haryo Unggul setelah memeriksa dengan teliti.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Kertopati.
“Siapkan selusin perwira. Bawa seratus perajurit! Kurung rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil dari jarak lima tombak!” Yang berkata adalah Raden Mas Jayengrono.
“Ada baiknya dimas Kertopati ikut berangkat ke sana…” berkata patih Kerajaan. “Salah satu dari kami akan menyusul. Jangan melakukan apa-apa sebelum kami datang...”
Maka Raden Kertopati segera jalankan perintah atasannya itu. Setelah rombongan itu pergi Patih Haryo Unggul berpaling pada Raden Mas Jayengrono dan bertanya, “Apakah Raden Mas pernah mendengar orang berjuluk Bajingan Dari Susukan itu sebelumnya?”
Yang ditanya menggeleng. Patih haryo Unggul usap-usap dagunya. “Aneh,” desisnya. “Seorang dengan julukan seperti itu, tak dikenal sebelumnya, tapi memiliki ilmu luar biasa. Bertindak sebagai pelindung dan pembela Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya... Sungguh aneh!”
“Saya rasa ada baiknya paman patih memberi tahukan Sri Baginda. Biar saya menyusul Raden Kertopati untuk melihat sampai di mana kehebatan orang itu...”
“Saya setuju hal itu,” sahut Patih Haryo Unggul. “Yang penting menyelidiki. Kita harus tahu apa hubungan Bajingan Dari Susukan ini dengan istri Sri Baginda. Ingat keterangan kusir tua itu…? Dia sempat mendengar ketika Bajingan Dari Susukan berkata bahwa dia hanya menjalankan tugas. Nah, kita harus tahu siapa di belakangnya. Siapa yang menugaskannya! Jika tidak dapat dari orangnya langsung, istri Sri Baginda itu pasti mengetahui…”
“Saya berangkat sekarang Paman patih...”
“Pergilah. Walaupun manusia itu tidak terkenal, tapi jangan Raden Mas menganggapnya enteng. Saya lebih suka kalau dia dapat ditangkap hidup-hidup...”
“Itu memang keinginan saya paman patih,” jawab Raden Mas Jayengrono. Namun dalam hatinya diapun punya keinginan untuk menyaksikan bahkan hendak menjajal sampai di mana kehebatan manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai Bajingan Dari Susukan itu.
Ketika Kepala Balatentara Kerajaan Raden Mas Jayengrono sampai di tempat kediaman istri Raja yang ketiga maka dia menyaksikan satu pemandangan luar biasa. Halaman rumah yang cukup luas itu dikurung rapat oleh puluhan perajurit. Sekitar enam perajurit, dua perwira muda dan seorang perwira tinggi tampak tergeletak di tanah.
Kebanyakan dari mereka sudah tak berkutik lagi alias mati. Yang masih hidup terdengar mengerang megap-megap tanda umurnya pun tak bakal lama. Rata-rata mereka menderita patah tulang tangan atau kaki, atau hancur tulang-tulang iganya. Yang menemui kematian rata-rata kelihatan kehitaman kulit tubuhnya, seperti hangus dipanggang api.
Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Lestari dan Pangeran Sabrang tegak di tangga rumah, menyaksikan Raden Kertopati yang dibantu oleh seorang perwira tinggi dan tiga orang perwira muda mengeroyok seorang pemuda berkulit hitam, berwajah bundar. Melihat pada ilmu silat yang dimainkan pemuda tak dikenal ini, jelas dia tidak memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Bahkan boleh dikatakan hampir tak ada sama sekali jurus-jurus ilmu silat yang dimainkannya.
Akan tetapi, setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan deru angin tanda dia memiliki tenaga dalam yang kuat. Dan setiap dia menggerakkan tangan dan kakinya, para pengeroyok cepat bertindak mundur atau menyelamatkan diri. Yang terlambat kalau tidak menemui ajal pastilah cidera berat!
Beberapa kali Jayengrono melihat para pengeroyok berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke tubuh pemuda itu. Namun seperti kebal pukulan, si pemuda seolah-olah tidak merasakannya. Dia terus merangsak menyerang para pengeroyoknya.
Ada satu hal yang sempat diperhatikan Kepala Balatentara Kerajaan itu. betapapun hebatnya tenaga dalam dan berbahayanya setiap gerakan tangan atau kaki si pemuda namun dia tidak memiliki nafas yang panjang. Dadanya turun naik, tenggorokannya bergerak-gerak dan hidungnya mengembang-kempis tanda nafasnya mulai memburu.
“Hentikan pertempuran!” Tiba-tiba Raden Mas Jayengrono berteriak keras.
Pihak Kerajaan yang mengenali suara Kepala Balatentara itu segera berhenti menyerang. Masing-masing melompat dua langkah ke belakang. Mereka semua memandang dengan heran pada Raden Mas Jayengrono.
“Ada apakah? Mengapa kangmas menghendaki perkelahian ini dihentikan...?” bertanya Kertopati. Tubuhnya tampak mandi keringat tanda tenaganya terkuras.
“Biarkan aku bicara dulu dengan pemuda berkulit hitam itu,” jawab Jayengrono. Lalu dengan suara lebih perlahan hingga hanya Kertopati yang mendengar, dia menegur. “Bukankah Patih sudah memberi ingat. Jangan melakukan apa-apa sebelum salah satu dari kami datang ke tempat ini?”
“Saya ingat sekali pesan itu kangmas. Tapi pemuda itu tiba-tiba muncul dan mengusir kami dari tempat ini...” menjawab Kertopati.
Jayengrono berdehem beberapa kali lalu palingkan kepalanya ke arah Gajah Rimbun. “Kau orangnya yang bernama Bajingan Dari Susukan?” tanya Kepala Balatentara Kerajaan dari atas punggung kuda.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan mengangguk. Dia tegak di tengah kalangan dengan sikap pongah sambil bertolak pinggang. Dengan tenang meskipun hatinya mulai jengkel, Jayengrono kembali bertanya,
“Mengapa kau membuat keonaran di tempat kediaman istri Sri Baginda?”
“Bukan aku yang membuat keonaran tapi kalian yang datang menimbulkan kerusuhan” sahut Bajingan Dari Susukan.
“Namamu cocok dengan sifatmu! Kau pandai bersilat lidah! Apa hakmu melarang abdi Kerajaan yang diperintah Raja untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil?” bertanya Jayengrono dengan mata melotot.
“Raja menyuruh menyelidik istrinya sendiri! Ini adalah aneh!” tukas bajingan Dari Susukan. “Jika kalian hendak menyelidik orang lain, mengapa Raden Ajeng dan puterinya yang kalian curigai?!”
“Karena cincin emas milik Raden Ayu Puji Lestari dipakai oleh seorang pengacau mengaku bernama Pangeran Matahari! Kalau tak ada sangkut paut dengan orang itu mana mungkin cincin tersebut ada padanya? Raden Ayu telah memberikannya karena ada hubungan tertentu! Bukan begitu...?” Jayengrono berkata sambil berpaling dan memandang tajam pada Puji Lestari Ambarwati, membuat gadis ini sesaat gugup dan pucat wajahnya.
Saat itu terdengar suara Bajingan Dari Susukan kembali. “Sungguh kecurigaan keji! Menuduh tanpa bukti! Raden Ayu perlihatkan bahwa cincin itu tak pernah kau berikan pada siapapun!”
Puji Lestari ulurkan tangan kirinya. Pada jari manis tangan kiri sang puteri kelihatan cinicn emas bergambar burung rajawali melingkar di jari manisnya.
Sesaat Raden Jayengrono jadi terpaku. Penuh heran tak mengerti. Bagaimana cincin yang beberapa waktu lalu jelas dilihatnya berada di tangan Pangeran Matahari kini tahu-tahu sudah ada lagi di jari Raden Ayu Puji Lestari. Padahal beberapa hari lalu ketika ditanya, sang puteri tidak dapat memperlihatkan benda itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres di sini!” ujar Jayengrono. Dia memandang berkeliling lalu memerintah, “Tangkap pemuda ini!”
Teriakan ini membuat beberapa orang yang ada di sekeliling Bajingan Dari Susukan segera melompat menyerbu. Mereka adalah Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja, tiga orang perwira muda dan dua orang perwira tinggi. Dalam waktu sekejapan saja pemuda berkulit hitam itu sudah dilanda hujan serangan. Bukan serangan biasa tapi serangan mengandung tenaga dalam tinggi. Jangankan manusia, seekor kerbau besarpun akan babak belur dihantam pukulan dan tendangan orang-orang itu.
Terdengar suara gedebak-gedebuk ketika tinju dan kaki mendarat di tubuh Bajingan Dari Susukan. Tubuhnya terbanting kian kemari. Tapi anehnya dia seperti tidak merasakan apa-apa. Jangankan menjerit, meringis pun tidak.
Melihat kejadian ini dengan beringas Raden Kertopati merangsak ke depan, lancarkan serangan-serangan dalam jurus-jurus ganas. Raden Mas Jayengrono tampak tertegun. Hampir tak pernah dilihatnya bawahannya itu menggempur lawan seperti itu. Kenyataannya memang Bajingan Dari Susukan dibuat terpental dan bergulingan di tanah sewaktu kaki kanan Raden Kertopati tepat menghantam lambungnya.
Belum sempat bangun, dua perwira muda dan dua perwira tinggi berkelebat berebut cepat mengirimkan serangan. Kalau tidak mati dalam keadaan mengerikan pastilah pemuda berkulit hitam itu akan menderita luka parah dan cacat seumur hidupnya. Demikian orang-orang yang ada di tempat itu memastikan. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang terkejut bahkan Jayengrono keluarkan seruan tertahan.
Didahului bentakan keras tubuh Bajingan Dari Susukan melesat setinggi satu tombak. Tangan dan kakinya bergerak. Empat perwira Kerajaan yang tadi menggempurnya mental berpelantingan. Masing-masing keluarkan jeritan mengerikan. Tubuh keempatnya kemudian jatuh ke tanah tak berkutik kagi dalam keadaan hangus hitam!
“Manusia ini bukan saja memiliki kekebalan tapi kesaktian mematikan...” Desis Raden Mas Jayengrono sementara Raden Kertopati tegak tak bergerak dengan muka pucat!
“Pembunuh biadab! Siapa kau sebenarnya?!” membentak Jayengrono.
“Sudah diberitahu masih saja bertanya! Bukankah lebih baik kalian pergi semua dari tempat ini dan jangan ganggu Raden Ajeng Stiti Hinggil serta puterinya!”
“Kentut busuk!” maki Jayengrono. Memandang pada keadaan mayat yang hangus hitam itu, Kepala Balatentara Kerajaan ini tiba-tiba saja ingat sesuatu dan curiga besar. Ketika beberapa waktu lalu Pangeran Matahari menyerbu istana, lawan-lawan yang mati di tangannya pun mengalami nasib seperti keempat perwira itu. mati dengan tubuh hangus hitam seperti dipanggang. Ilmu pemuda mengaku Bajingan Dari Susukan ini serupa dengan yang dimiliki Pangeran Matahari. Maka Jayengronopun kembali membentak, “Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
“Masih saja mengajukan pertanyaan! Jika kalian tidak cepat minggat dari sini, jangan menyesal kalau cuma arwah kalian yang meninggalkan tempat ini!” Berkata Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun sambil menyeringai dan berkacak pinggang.
“Sombong dan menghina sekali!” kertak Jayengrono yang saat itu masih duduk di atas punggung kudanya. Dia berpaling pada Raden Kertopati dan berkata memberi perintah “Dimas, tangkap keparat itu hidup atau mati!”
Menerima perintah seperti itu Kepala Pasukan Kotaraja itu menjadi agak terkesiap. Melihat kehebatan pemuda kulit hitam hatinya jadi meragu apakah kepandaian silat dan kesaktiannya akan mampu menghadapi orang itu.
Melihat bawahannya itu tidak bergerak dari tempatnya Jayengrono cabut keris berhulu gading gajah di pinggangnya dan melemparkan senjata ini pada Raden Kertopati seraya berkata,
“Pergunakan Kiyai Gajah Putih ini! Masakan tubuhnya tidak akan tertembus sekalipun dia punya kesaktian seperti malaikat!”
Kiyai Gajah Putih adalah sebilah keris berhulu gading berbadan putih karena terbuat dari perak yang diramu dengan sejenis racun jahat berwarna putih. Senjata sakti mandraguna ini didapat Raden Mas Jayengrono dari gurunya almarhum. Untuk mendapatkan keris itu Jayengrono harus menempuh ujian sangat berat. Yaitu berpuasa selama 100 hari dengan hanya minum air embun yang ada di dedaunan serta hanya sekepal nasi putih setiap malam Jum’at.
Setelah itu dia harus pula bersamadi di tujuh tempat selama 7 hari untuk setiap tempat. Ketika sang guru menyerahkan keris itu kepadanya, disebutkan pula satu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh Jayengrono setelah memiliki senjata itu yakni larangan menggauli perempuan yang bukan istrinya alias berzina.
Raden Kertopati menyambut Kiyai Gajah Putih yang dilemparkan Jayengrono kepadanya. Jelas dia tak bisa berbuat lain maka Kepala Pasukan Kotaraja ini segera mencabut senjata itu. Begitu keris keluar dari sarungnya memancarlah cahaya putih. Cahaya ini menjadi lebih terang karena saat itu matahari hampir tenggelam dan udara mulai gelap.
Sesaat Bajingan Dari Susukan merasa keder juga melihat cahaya angker keris di tangan Kertopati. Namuan dia begitu yakin akan kehebatan ilmu titipan yang diberikan Pangeran Matahari padanya. Maka dengan tetap berkacak pinggang, pemuda berkulit hitam ini sunggingkan seraingai mengejek.
“Kalau kau memang hendak mencoba kehebatan keris butut itu, mengapa tidak lekas menyerang?!”
Jayengrono panas sekali hatinya mendengar keris saktinya diejek dan dilecehkan begitu saja oleh Bajingan Dari Susukan. Dia berteriak marah “Dimas! Lekas bunuh bangsat itu!”
Maka Kertopati pun melompat menyergap lawannya sambil tikamkan Kiyai Gajah Putih. Sinar putih berkiblat disertai desingan angin. Bajingan Dari Susukan berkelit sambil menuju ke depan. Gerakannya menjotos terasa seperti tertahan oleh angin yang datang menyambar dari badan keris. Maka dia ganti pergunakan kaki untuk menendang kaki musuh. Kertopati melompat sambil tikamkan keris di tangan kanannya sekali lagi. Kali ini ke arah tenggorokan lawan.
"Bukkk...!"
Tendangan Bajingan Dari Susukan meskipun agak meleset masih sempat menghajar betis kanan Raden Kertopati hingga orang ini kehilangan keseimbangan, limbung dan jatuh tersungkur. Walaupun tusukan keris ke arah tenggorokan meleset namun dalam jatuhnya Raden Kertopati masih berkesempatan membabatkan Kiyai Gajah Putih ke arah kedua kaki lawan.
"Breettt...!"
Kaki celana kiri Bajingan Dari Susukan robek besar. Salah satu bagian pahanya tergurat ujung keris. Untuk pertama kalinya terdengar suara pekik kesakitan keluar dari mulut Bajingan Dari Susukan. Meskipun pahanya hanya tergurat sedikit dan sama sekali tidak mengeluarkan darah namun tubuhnya terasa menjadi sangat dingin hingga gigi-giginya bergemeletakan.
“Celaka! Apakah kesaktian yang diberikan Pangeran Matahari tidak sanggup menghadapi keris putih itu?!” Bajingan Dari Susukan merasa khawatir sekali. Rasa kecut membayangi hatinya. Apakah dia akan terus berkelahi di situ atau sebaiknya pergi saja, kembali dan melapor pada Pangeran Matahari?
Sementara itu Raden Kertopati yang tadi terjatuh berusaha bangun. Alangkah kagetnya Kepala Pasukan Kotaraja ini ketika mendapatkan dirinya tak sanggup lagi bangkit. Disingsingkannya kaki celananya. Betisnya yang tersingkap kelihatan menghitam. Pucatlah paras Kertopati. Dia cepat menotok pangkal paha dan bagian dada di dekat jantung untuk mencegat aliran racun jahat. Lalu masih dengan menggenggam keris Kiyai Gajah Putih di tangan Kepala Pasukan Kotaraja ini gulingkan tubuh menajuhi Bajingan Dari Susukan. Beberapa orang perwira segera menolongnya dan menggotongnya ke dekat tangga rumah besar.
Menyaksikan kejadian itu Raden Mas Jaengrono melompat urun dari kudanya. Dia akan turun tangan sendiri untuk menghajar Bajingan Dari Susukan. Namun di saat yang sama pula pemuda berkulit hitam itu sudah melompat dari kalangan pertempuran. Berkelebat ke arah pintu halaman.
“Tangkap! Jangan biarkan dia lari!” teriak Jayengrono seraya mengangkat tangan kanan untuk menghantam dengan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun serangan ini terpaska di batalkan karena belasan perajurit dan para perwira saat itu telah berserabutan mengejar Bajingan Dari Susukan hingga menutup alur pukulan. Kalau diteruskan hanya akan mencelakai orang-orang sendiri.
Jayengrono semakin gemas dalam hati. Terlebih lagi ketika kemudian dilihatnya di depan sana perajurit-perajurit dan para perwira yang berusaha menangkap Bajingan Dari Susukan terlempar dan rubuh ke tanah. Empat di antaranya menemui ajal dengan tubuh menghitam hangus!
“Manusia laknat!” kertak Jayengrono. Karena tak bisa berbuat lain akhirnya Kepala Balatentara Kerajaan ini melangkah cepat ke langkan rumah besar. Saat itu Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Puji Lestari dan Pangeran Sabrang masih berada di sana.
“Raden Ajeng,” tegur Jayengrono seraya membungkuk. “Izinkan saya bicara denganmu di dalam.”
Lalu tanpa menunggu jawaban orang Jayengrono mendahului memasuki rumah besar, langsung menuju ke sebuah ruangan berpintu kayu berukir-ukir di mana biasanya dipakai Sri Baginda beristirahat bilamana sedang mengunjungi istrinya yang ketiga ini.
Sewaktu Bajingan Dari Susukan melarikan diri dikejar oleh para perajurit dan perwira Kerajaan, di pinggir jalan, di seberang rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil, terlindung di balik kerapatan pohon-pohon bambu tampak dua orang pemuda secara diam-diam menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka.
Pemuda pertama berpakaian serba putih, berambut gondrong. Sesekali tampak dia menggaruk-garuk kepala, entah gemas melihat pertempuran yang tengah berlangsung entah memang kepalanya gatal. Kawan di sebelahnya seorang pemuda bertampang cakap, berbadan langsing berambut pendek dan mengenakan pakaian warna abu-abu.
“Bagaimana, kita tangkap pemuda bermuka bundar itu?” bertanya si abu-abu ketika melihat Bajingan Dari Susukan hendak melarikan diri.
“Enggg...” si gondrong garuk-garuk kepalanya sesaat. “Aku punya rencana lain,” katanya kemudian. “Ingat, tadi kita sudah sama menduga, pemuda itu memiliki ilmu aneh. Keanehan itu dapat dihubungkan dengan ilmu kesaktian Pangeran Matahari. Setiap lawan yang mereka bunuh, menemui kematian dengan cara sama. Tubuh hangus hitam. Kalau kita tangkap dia sekarang, berarti kita tidak dapat mengetahui sumber semua keanehan ini. Jika benar dia ada sangkut paut dengan Pangeran sialan itu, berarti kita tidak dapat mencari jejaknya. Justru inilah kesempatan paling baik untuk mencari tahu di mana biang kerok itu berada lalu membekuknya!”
“Lalu, apa yang ada di benakmu?” tanya si abu-abu.
“Aku akan menguntit si hitam muka bundar itu...”
“Kalau cuma itu serahkan saja padaku...”
“Tidak. Kau harus menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan bicara dengan Jayengrono...” Menyahuti pemuda gondrong.
“Aku kawatir kalau-kalau Jayengrono dapat menerka siapa aku sebenarnya. Maksud menolong bisa jadi berantakan. Lagi pula sejak aku memutuskan untuk tidak kembali mengabdi pada Sri Baginda aku akan merasa kikuk menghadapi orang-orang itu. Kau saja yang bicara dengan mereka. Aku biar menguntit si hitam bernama Bajingan Dari Susukan itu... Lagi pula aku masih punya hutang piutang yang harus aku selesaikan dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si hitam tadi memang benggolan cecunguknya!”
“Kalau itu sukamu baiklah. Tapi bagaimana aku nanti mencari dan menyusulmu...?” Tanya si gondrong sambil memegang bahu pemuda berpakaian abu-abu.
“Nah, tanganmu lagi-lagi menggerayang seenaknya. Ingat, aku bukan lelaki sepertimu...!” Pemuda berpakaian abu-abu itu mengomel cemberut sambil menepiskan tangan yang memegang bahunya.
Si gondrong tertawa geli. “Aku lupa! Seharusnya kau tidak menyamar seperti ini sahabat! Bangsat itu sudah lari jauh, bagaimana aku menyusul dan mencarimu?”
“Gampang saja! Aku akan mematahkan ranting-ranting pepohonan yang kulalui...”
“Kau cerdik! Pergilah. Tapi hati-hati...!” Dan si gondrong ini kembali lupa. Sambil menyuruh pergi tangannya menepuk pantat pemuda bertubuh ramping itu.
“Brengsek!” teriak si pemuda berpakaian abu-abu.
Raden Mas Jayengrono menunggu sampai Raden Ajeng Siti Hinggil duduk dikursi besar lalu menutup pintu ruangan. Hanya mereka berdua saja ada di tempat itu. Di ruangan itu masih terdapat beberapa buah kursi namun Kepala Balatentara Kerajaan itu memilih berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap wajah Siti Hinggil hingga akhirnya perempuan ini menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah.
“Ada apakah saya dibawa ke ruangan ini?” terdengar kemudian suara Siti Hinggil, perlahan tapi cukup jelas.
“Saya hanya ingin jawaban jujur,” berkata Jayengrono. “Apa hubungan Raden Ajeng dengan orang bernama Pangeran Matahari itu? Lalu mengapa sampai ada seorang pemuda yang muncul serta bertindak selaku pelindung Raden Ajeng dan anak-anak...”
“Sebelum saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan lebih dahulu...” Kata Siti Hinggil pula yang membuat Raden Mas Jayengrono agak terkejut.
“Apa pertanyaan itu?”
“Betul Raden Mas yang telah mengambil langkah untuk mencurigai kami anak beranak serta melakukan pengusutan?”
“Saya hanya menjalankan tugas, Raden Ajeng. Demi keselamatan kita semua. Demi keselamatan Kerajaan...”
Siti Hinggil tersenyum lalu menggelengkan kepala. “Saya tahu apa sebab sebenarnya...”
“Hemmm...” Raden Mas Jayengrono mengusap dagunya.
“Raden Mas mendendam kepada saya...”
“Apa yang perlu kudendamkan Raden Ajeng?”
“Karena sejak Pangeran Anom lahir saya tidak mau lagi mengikuti keinginan Raden Mas...”
“Kau keliru Siti...” Tiba-tiba saja Jayengrono menyebut nama istri Sri Baginda itu secara langsung.
Dan anehnya Siti Hinggil pun melakukan yang sama. “Tidak Jayeng. Saya tidak keliru. Saya tahu benar hatimu...”
“Jika kau tahu mengapa kau bersikap lain...?”
Air muka Siti Hinggil nampak redup menggelap. Kedua matanya berkaca-kaca. “Apakah tidak cukup kita membuat kesalahan dengan melahirkan Puji Lestari dan Pangeran Anom? Apakah kita akan menambah dengan satu jiwa manusia lagi, lagi dan lagi? Bukankah saya katakan saya sudah bertobat dan tak akan mengulanginya lagi yaitu setelah Anom lahir? Juga bukankah sebulan setelah Anom lahir kau mendapatkan keris sakti itu dan harus mematuhi larangan untuk tidak menggauli perempuan lain selain istrimu...”
Jayengrono diam sejenak. Kemudian jawabnya, “Kau tahu istri tunggalku selain sakit-sakitan dan aku tidak punya selir atau istri peliharaan. Semua itu karena aku masih mengharapkan kau dan hubungan kita kembali seperti dulu. Delapan belas tahun aku menunggu Siti. Delapan belas tahun aku tak pernah merasakan kehangatan kasih sayang dan tubuhmu seperti dulu...”
“Saya sudah bertobat Jayeng dan kau punya larangan. Cukup hubungan kita yang berlumuran dosa itu hanya menghasilkan Puji dan Anom. Jangan ditambah lagi...”
“Persetan dengan larangan itu Siti! Apakah kau menyuruh aku harus meracun Sri Baginda agar dapat menikah dan memilikimu secara syah...?"
“Kau akan terkutuk dunia akhirat jika kau melakukan itu Jayeng!”
“Kalau begitu... berarti apa yang kuinginkan lebih baik dari pada membunuh Sri Baginda dan mengambilmu jadi istri...”
“Keduanya sama-sama besar dosanya. Sekalipun kau membunuh Sri baginda, tidak akan aku mau diperistrikan olehmu! Pembunuh dari suami anak-anakku!”
“Puji dan Anom bukan anakmu dan anak Raja! Tapi anak kita!” ujar Jayengrono dengan mata membesar.
“Saya ingin keluar dari ruangan ini Jayeng. Bukakan pintu itu...” kata Siti Hinggil sambil bergerak bangkit dari kursi.
Tapi Jayengrono memberi isyarat agar dia duduk kembali. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi!”
“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Juga tidak tahu mengapa ada pemuda yang muncul mengaku hendak melindungi kami...”
“Siti, jangan dusta! Sangat jelas ceritanya bagiku! Cincin emas bergambar burung rajawali milik puterimu, milik anak kita pernah terlihat dipakai Pangeran Matahari waktu keparat itu menyerbu Istana! Setelah sekian lama lenyap tahu-tahu cincin itu dikabarkan berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin hal itu bisa terjadi!”
Siti Hinggil duduk terpaku di kursinya. “Sebaiknya kukatakan saja bagaimana kejadiannya...?” Hati kecil perempuan ini bertanya-tanya. Namun sebelum dia sempat membuka mulut, di hadapannya Raden Mas Jayengrono melangkah mendekati dan berkata setengah berbisik seraya merunduk.
“Dengar Siti. Aku sudah mengatur satu rencana hingga kita bisa berhubungan seperti dulu tanpa satu orang pun tahu atau curiga, termasuk Sri baginda...”
Siti Hinggil tercengang mendengar kata-kata Jayengrono itu. “Apa maksudmu Jayeng?”
“Kau akan kutangkap dan dimasukkan dalam kamar penyekapan di salah satu bagian istana. Di situ aku telah membuat sebuah pintu rahasia hingga bisa keluar masuk tanpa ada yang mengetahui. Kita bisa bertemu setiap saat. Kita bisa melakukan apa yang dulu pernah kita lakukan delapan belas tahun lalu. Bukankah ini yang sama-sama kita tunggu Siti? Delapan belas tahun! Gila! Waktu yang sangat lama!”
“Tidak!” Siti Hinggil bangkit dari kursi besar. Wajahnya menyatakan perasaan hatinya yang sangat marah. “Aku sudah bertobat! Apapun yang terjadi aku tidak akan mengulang perbuatan terkutuk itu lagi! Yang sudah ya sudah! Cukup kita mempunyai dua orang anak haram. Puji dan Anom...”
“Tapi sekali ini kita tak perlu menjalin hubungan yang menghasilkan keturunan!”
“Keluarlah dari ruangan ini!” ujar Siti Hinggil dengan suara mendesis.
“Kalau begitu aku betul-betul akan menyuruh tangkapmu! Dengan tuduhan mempunyai hubungan dengan perusuh dan pembunuh bernama Pangeran Matahari itu!”
“Kau boleh melakukan apa saja. Aku tidak takut!" jawab Siti Hinggil.
Ketika dia hendak melangkah ke pintu tiba-tiba dari luar terdengar pintu diketuk. “Panglima Jayengrono harap segera keluar untuk memberikan pertolongan!”
“Keparat!” maki Jayengrono dalam hati. Seperti hendak ditendangnya pintu itu berikut orang yang ada di luar karena geramnya. Namun mau tak mau dia terpaksa membuka pintu seraya membentak, “Ada apa berani mengganggu kami yang sedang melakukan pembicaraan penting?!”
Perwira muda yang tegak di depan pintu dengan muka pucat ketakutan cepat membungkuk. “Raden Kertopati gawat. Racun pukulan Bajingan Dari Susukan agaknya tak terbendung oleh totokan. Darah mulai keluar dari hidung, telinga dan mulutnya!”
“Lalu kalau sudah begitu apa kau kira aku bisa menolong?! Apa kau kira aku dukun patah ahli pengobatan?!” sentak Jayengrono.
Perwira muda itu semakin ketakutan. “Maafkan saya Panglima. Saya hanya melapor karena kawatir...”
“Di mana dia sekarang?”
“Masih terbaring di tangga depan...”
“Pergilah! Aku akan menyusul ke sana!” kata Jayengrono. Setelah perwira muda itu berlalu Jayengrono berpaling ada Siti Hinggil. “Kau tak ingin merubah keputusanmu?”
“Tidak.” Jawab Siti Hinggil. “Sekalipun kepalaku kau pancung!”
“Hatimu terlalu keras. Mana cinta kasih yang dulu selalu kau berikan untuk kehangatan kita berdua...?”
“Masa lalu tak perlu diungkit dan tak akan terulang lagi. Apa masih belum jelas bagimu Jayeng?”
“Kau akan menyesal Siti...”
“Mudah-mudahan tidak!” habis berkata begitu Siti Hinggil melangkah keluar pintu.
Marah dan jengkel Raden mas Jayengrono meninggalkan ruangan itu menuju serambi rumah. Dalam hati dia merutuk. “Mengapa si Kertopati itu tidak mampus saja! Kalau tidak oleh keadaannya mungkin aku masih bisa membujuk perempuan itu. Ah Siti... Delapan belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak terlalu cepat untuk mengikis cinta gelap kita”
Sewaktu Jayengrono sampai di tangga depan rumah besar itu dia terkejut mendapatkan seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah duduk bersimpuh di samping tubuh Kertopati yang tergeletak di lantai serambi, dekat tangga. Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan tertimpa cahaya sang surya yang hendak tenggelam. Salah satu mata kapak ditempelkannya di betis Kertopati yang berwarna hitam seperti hangus yakni akibat tendangan Bajingan Dari Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam keadaan pingsan.
“Hai! Siapa kau! Apa yang kau lakukan?!” hardik Jayengrono. Dalam kemarahan dia tidak sempat mengingat atau mengenali pemuda gondrong itu.
Yang ditanya karena sedang berusaha mengobati Kertopati dengan menghimpun kekuatan tenaga dalam dan mengosongkan pikiran dari segala cipta dan rasa tentu saja tidak menjawab.
Hal ini membuat Jayengrono menjadi tambah marah. Sambil menggereng dia ulurkan tangan untuk menjambak rambut pemuda itu. Rambut itu berhasil disentuhnya. Namun jari-jari tangannya terasa panas dan dia tak mampu menggerakkan apalagi menyentak menjambak. Perlahan-lahan Jayengrono lepaskan jambakannya.
Pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih yang duduk bersila dengan menempelkan kapak berkilat ke betis Raden Kertopati nampak menggigil sekujur tubuhnya ketika dia mengerahkan tenaga dalam untuk mulai menyedot racun jahat mematikan yang telah menjalari sebagian tubuh Kepala Pasukan Kotaraja itu. Butir-butir keringat memercik ke keningnya sebesar-besar jagung.
Perlahan-lahan, mata kapak yang tadi berkilat tampak meredup oleh cairan darah kehitaman yang tersedot keluar dari betis Kertopati. Si gondrong terengah-engah napasnya namun dia terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menyedot hingga semakin banyak darah hitam yang keluar. Ketika darah hitam berangsur-angsur berubah menjadi merah, pertanda racun maut yang mendekam di tubuh Kertopati telah tersedot keluar semuanya maka si pemuda memperkendur sedotan tenaga dalamnya.
Sepasang kaki Kertopati tampak bergerak. Sedotan yag dilakukan si pemuda sekaligus telah memusnahkan dua totokan yang dibuat sendiri oleh Kertopati. Kepala Pasukan Kerajaan ini terdengar mulai mengerang pertanda telah sadarkan diri meski kedua matanya masih tertutup.
Ketika si gondrong mengangkat kapaknya dan meniupnya, secata aneh noda darah hitam pada mata kapak itu sirna sementara Kertopati telah pula membuka sepasang matanya. Sesaat dia menatap wajah si gondrong, lalu memandang berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang terjadi, mengapa dia berada dalam keadaan terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah memejamkan mata beberapa ketika dan memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai dapat menduga apa yang dialaminya.
“Kau...” desisnya ketika kembali matanya memandang wajah pemuda berambut gondrong.
Yang ditegur menyeringai dan menyisipkan senjatanya ke pinggang. Saat itu Raden mas Jayengrono melangkah berputar hingga dia dapat melihat wajah si pemuda dengan jelas.
“Bukankah kau yang beberapa hari lalu bersama kawanmu membantu kami orang-orang Kerajaan menghadapi Pangeran Matahari...?” Jayengrono menegur.
“Ah, kau masih ingat pada kami Raden Mas...” menyahuti si pemuda.
Raden Kertopati dengan bantuan dua orang perwira bangkit dan bersila di lantai serambi. “Pendekar 212... Kau muncul lagi menyelamatkan diriku. Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih...”
Si gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng kembali menyeringai. “Jangan berterima kasih pada saya, semua adalah atas keredohan Yang Maha Kuasa”
Kertopati hanya bisa geleng-gelengkan kepala. “Kau dulu pergi secara diam-diam dalam kabut asap sewaktu istana terbakar. Kini kau muncul secara aneh. Jangan-jangan kaupun sebenarnya ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari...”
Yang bicara adalah Raden Mas Jayengrono. Entah dari mana Kepala Balatentara Kerajaan ini mempunyai jalan pikiran seperti itu hingga mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang yang ada di situ. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede sendiri dicurigai seperti itu tetap duduk bersila dan tenang, malah masih sunggingkan senyum.
“Raden Mas, orang telah menolong kita, mengapa menuduh yang tidak pada tempatnya?” menegur Raden Kertopati
“Pertolongan bisa saja menyembunyikan sesuatu!” jawab Jayengrono. “Banyak masalah yang harus kuusut. Soal hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum tuntas. Kini muncul pemuda ini dengan masalah baru. Sebaiknya kita berjaga-jaga dimas Kertopati!” lalu tiba-tiba sekali Kepala Balatentara Kerajaan itu menusukkan dua jari tangannya ke arah dada kiri Pendekar 212.
Wiro Sableng cepat menangkis. Tapi totokan Jayengrono mendarat di dadanya lebih dulu hingga tak ampun lagi tubuhnya menjadi kaku kejang. Seharusnya jalan suaranyapun ikut tertutup. Namun karena gerakan menangkisnya tadi, totokan Jayengrono hanya sempat membuat auratnya saja yang kaku sedang jalan suara masih membuka.
“Jadi begini balasan kalian orang-orang Kerajaan...?!” Wiro Sableng keluarkan ucapan. “Sungguh kalian manusia-manusia tidak berbudi!”
“Raden Mas, saya minta pemuda itu dibebaskan...” Yang bicara adalah Raden Kertopati sementara semua orang yang ada di tempat itu sama tidak mengerti mengapa Jayengrono menotok pemuda gondrong yang telah menyelamatkan jiwa Raden Kertopati.
“Serahkan saja urusan ini padaku dimas. Kau harus istirahat agar kesehatanmu pulih kembali. Jika dia ternyata memang tidak menyembunyikan niat jahat terhadap kita, pasti akan kubebaskan. Aku ada satu pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau muncul bersama kawanmu pemuda langsing berpakaian abu-abu itu. Di mana dia sekarang?”
“Dia justru menguntit pemuda kulit hitam yang kabur itu!” jawab Wiro polos. “Nah, apa kataku. Temanmu itu bukan menguntit mungkin sakali tengah menolongnya dari luka akibat goresan Kiyai Gajah Putih!”
“Heran, bagaimana orang sepertimu punya pikiran buruk dan picik seperi itu!” tukas Wiro Sableng yang membuat wajah Jayengrono bersemu merah.
Dia lalu cepat-cepat memberi perintah pada orang-orangnya untuk menaikkan pendekar itu ke atas punggung seekor kuda. Dia juga memerintahkan para bawahannya untuk menangkap Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Di atas punggung kuda, dalam keadaan tertotok Pendekar 212 Wiro Sableng terdengar keluarkan ucapan.
“Bawa pemuda itu!” teriak Jayengrono pada bawahannya.
Sesaat setelah kuda yang membawa Pendekar 212 berlalu, Kepala Balatentara Kerajaan ini masih tegak termangu. “Apa maksud keparat itu dengan tembok ruangan punya seribu telinga...?” dia membatin dalam hati, namun tak bisa menjawab ataupun menduga.
Di dalam ruangan batu yang terletak di bawah tanah pada ujung timur kawansan istana, Pendekar 212 Wiro Sableng tergeletak di atas lantai dingin berlumut. Dia merasa bersyukur karena Jayengrono tidak merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggangnya. Berkali-kali dia mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam merutuk habis-habisan perbuatan panglima Balatentara Kerajaan itu, Wiro tenggelam dalam satu kekawatiran yang amat sangat.
Seperti dituturkan di muka, antara dia dan pemuda berpakaian kelabu sahabatnya itu telah diatur rencana. Wiro akan menolong Raden Ajeng Siti hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari dari tuduhan Jayengrono sedang si kelabu akan menguntit pemuda berkulit hitam (Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik siapa pemuda itu sebenarnya dan kemana dia melarikan diri.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yang berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi telah dijelaskan bahwa pemuda berbaju kelabu itu bukan lain adalah seorang gadis jelita berkepandaian tinggi bernama Ni Luh Tua Klungkung. Selama beberapa tahun dia menyamar sebagai seorang nenek yang selalu mengenakan pakaian biru dan mengabdi pada Kerajaan.
Sampai pada suatu hari dia menjadi putus asa ketika dirinya dikalahkan oleh Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung rasa malu dan merasa tak layak kembali mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh Tua Klungkung terbujuk oleh hasutan setan, menjadi mata gelap dan hampir bunuh diri jika tidak tertolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Keduanya kemudian jadi bersahabat.
Keadaan sahabatnya inilah yang sangat dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh Tua Klungkung menguntit dan mengejar Bajingan Dari Susukan. Kalau benar dugaan bahwa pemuda berkulit hitam itu ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari dan kalau sampai sahabatnya itu berhadapan degan Pangeran keparat itu, berarti Ni Luh Tua Klungkung akan menemui bahaya besar tanpa dia sendiri dapat menolong.
“Jayengrono keparat! Kau akan menerima pembalasanku!” begitu Wiro memaki tiada henti. Lalu pendekar ini menyesali diri sendiri. Mangapa dia menyetujui usul gadis itu untuk menguntit Bajingan Dari Susukan, bukan dia sendiri yang melakukannya? Wiro menarik nafas dalam. “Kalau sampai terjadi apa-apa dengan sahabatku itu, sampai ke nerakapun aku akan mencari Pangeran keparat itu...” Wiro berjanji pada diri sendiri. “Apa yang bisa kulakukan saat ini? Sialan betul! Apakah aku harus berteriak seperti orang gila?! Sialan! Benar-benar sialan!”
Matahari yang mulai tenggelam, malam yang mulai turun membuat udara mulai gelap. Meskipun pemandangan dalam jarak jauh agak tertutup kini namun pendengaran yang tajam membuat Ni Luh Tua Klungkung tetap dapat mengetahui ke mana arah lari orang yang dikuntitnya.
Sambil berlari dia tidak lupa untuk mematahkan setiap ujung ranting dri pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai janjinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Sebagai petunjuk jika pendekar itu menyusul dan mencarinya. Dia sama sekali tidak tahu kalau kini Wiro tengah mendapatkan kesulitan, ditotok dan disekap di sebuah ruangan bawah tanah.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan berusaha mempercepat larinya. Goresan luka keris sakti Kiyai Gajah Putih terasa sangat perih dan sekujur tubuhnya saat demi saat semakin dingin. Demikian dinginnya hingga walaupun dia berlari sejauh itu namun tak setetes keringatpun keluar dari pori-pori tubuhnya. Nafasnya mulai menyesak. Lidahnya terjulur dan kepalanya terasa pening. Namun semangatnya menjadi besar ketika di kajauhan dia mulai melihat jalan lurus mendaki. Di antara kegelapan turunnya malam, dia bahkan dapat melihat pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu.
Begitu dia sampai di depan bangunan langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke tanah, mengengah-engah dan keluarkan seruan tercekik, “Pangeran, saya Gajah Rimbun telah kembali!”
Tak ada jawaban. “Agaknya Pangeran tak ada di rumah...” Membatin Gajah Rimbun. Kreekek... Terdengar suara berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam muncul. Ada gambar gunung dan matahari di dada pakaian hitam itu.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun.
“Bajingan Dari Susukan! Kau kembali lebih cepat dari perkiraan! Apakah kau berhasil menjalankan tugas sesuai perintah?!”
“Saya berusaha melakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah! Namun mohon maafmu Pangeran. Saya menemui kesulitan” jawab Gajah Rimbun. Ada bayangan rasa takut tersembunyi di antara kata-katanya.
Paras Pangeran Matahari tampak berubah. “Katakan apa yang terjadi” katanya perlahan tapi uaranya bernada angker.
Gajah Rimbun lalu menerangkan pengalamannya di Kotaraja. Dia juga memperliatkan goresan luka yang kini tampak seperti membusuk di pahanya. Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli dengan luka itu. Menolehpun dia tidak. Sementara itu karena rasa dingin yang semakin menggila, Gajah Rimbun kini tak sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti beku. Tubuhnya terduduk ke tanah.
“Sayang... sayang sekali” kata Pangeran Matahari sambil melangkah mundar-mandir di depan pondok. “Kehebatan yang telah kau perlihatkan sehari sebelumnya menjadi pupus dengan kegagalan hari ini!”
“Saya telah melakukan apa yang saya bisa, Pangeran”
“Diam!” hardik Pangerarn Matahari. “Kau bukan melakukan apa yang kau bisa. Tapi harus melakukan apa yang ditugaskan! Kau tahu artinya kegagalan ini?!”
Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya yang pucat semakin pucat. “Saya mohon pertimbanganmu Pangeran. Beri kesempatan sekali lagi” Meminta Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari mendengus lalu tertawa hambar. “Bagiku kesalahan dan kegagalan bukanlah satu hal yang bisa diperbaiki. Karena itu sudah terjadi! Penyesalanpun tiada arti! Namun aku masih bermurah hati memberikan satu kesempaan padamu”
“Terima kasih Pangeran! Terima kasih! Apa yang harus saya lakukan Pangeran tinggal mengatakan. Saya akan mengerjakannya!”
“Begitu?” ujar Pangeran Matahari tak acuh. “Apakah kau sadar waktu kau melarikan diri kembali ke mari ada orang yang menguntitmu?!”
Terkejutlah Gajah Rimbun mendengar pertanyaan itu. Dia memandang berkeliling dengan mata dibesarkan tapi tak melihat orang lain berada di tempat itu.
“Manusia tolol! Percuma kau menyandang nama Bajingan Dari Susukan!” memaki Pangeran Matahari. Dia berpaling ke arah semak belukar lebat di sebelah kiri jalan yang menurun lalu berseru.
“Penguntit! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!”
Ni Luh Tua Klungkung yang berada di balik rerumpunan semak belukar itu, menyadari kehadirannya di situ sudah diketahui orang tak bisa berbuat lain kecuali keluar perlihatkan diri. Ketika melihat siapa yang muncul itu, Pangeran Matahari kaget sesaat kemudian langsung saja dia mengumbar tawa panjang.
“Ha-ha-ha...! Cicak kurus berpakain kelabu ini rupanya! Mana kawanmu satu lagi! Pemuda gendeng itu!”
Ni Luh Tua Klungkung tak mau kalah. Dia ikut mengumbar tawa melengking. “Aku memang sudah menduga! Manusia bernama bajingan Dari Susukan itu pasti cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti memang benar! Meminjam tangan orang lain untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak kabur dari Kotaraja tempo hari kau tak punya nyali lagi untuk turun tangan sendiri!”
“Keparat sombong! Mendekatlah biar aku dapat melihat tampangmu lebih jelas! Jangan sembunyi di balik bayangan pohon dan kegelapan!”
“Jika kau ingin melihat lebih jelas silahkan datang mendekat ke hadapanku!” sahut Ni Luh Tua Klungkung.
Rahang Pangeran Matahari yang memang berbentuk menonjol jadi tambah menggembung. Dia berpaling pada Gajah Rimbun. “Tugasmu Bajingan Dari Susukan! Bunuh pemuda itu!”
Mendengar perintah Pangeran Matahari, meskipun berdiri saja sudah sangat susah bagi Gajah Rimbun, namun demi harapan pengampunan maka dia kerahkan seluruh sisa tenaga dan melompat ke hadapan Ni Luh Tua Klungkung,langsung menghantamkan jotosan ke muka pemuda berpakian kelabu itu.
Ni Luh Tua Klungkung tak berani menangkis. Dia berkelit ke samping lalu angkat kaki kanannya mengirimkan tendangan ke arah tulang rusuk lawan. Gajah Rimbun yang saat itu memang tak berdaya lagi karena racun keris Kiyai Gajah Putih tak sanggup mengelak.
“Kraakkk...!”
Tiga baris tulang-ulang iganya patah. Tubuhnya terpental menghantam dinding pondok. Matanya mendelik dan nafasnya minggat. Orang ini sebenarnya bukan mati karena tendangan Ni Luh Tua Klungkung, tapi lebih banyak diakibatkan oleh racun keris sakti yang telah mempengaruhi sekujur tubuhnya.
Pada titik puncak rasa dingin yang tak tertahankan nyawanya pun lepas, berbarengan dengan datangnya tendangan lawan tadi! Hal inipun diketahui oleh Pangeran Matahari. Selain memang tak ada rasa takut terhadap pemuda berpakaian kelabu ini, sejak peristiwa kekalahannya dalam pertempuran di Kotaraja beberapa waktu lalu, maka sang pangeran telah menanam dendam kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga terhadap Wiro Sableng.
Itulah sebabnya Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari Susukan untuk menyelidik. Meskipun Bajingan Dari Susukan gagal menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya namun sebenarnya untuk tugas menyelidik dua musuh besar itu sebagian sudah dijalankan oleh Bajingan Dari Susukan tanpa sadarnya. Yaitu membawa Ni Luh Tua Klungnkung ke tempat Pangeran Matahari.
Sampai saat itu Ni Luh Tua Klungkung tetap tegak di bagian gelap bayangan pohon. Dia sengaja mendekam di situ karena kawatir di tempat terang lawan dapat mengetahui siapa dia adanya.
“Hem... Kau membunuh orangku! Berarti bertambah lagi hutangmu padaku! Berarti tak bakal ada pengampunan untukmu pemuda kerempeng!”
Ni Luh Tua Klungkung mendengus. “Aku datang ke mari bukan untuk minta pengampunan! Justru untuk menyingkirkan kejahatan yang disebabkan oleh manusia sesat macammu!”
“Bagus sekali kalau begitu! Rupanya kau masih belum tahu dalamnya lautan, tingginya Merapi! Umurmu hanya tinggal tujuh hitungan!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari gerakkan tangan kanannya. Perlahan saja.
Ni Luh Tua Klungkung yang sudah mengetahui benar kehebatan lawan, cepat berkelebat lenyap sebelum sang pangeran lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan yang dilakukan mendahului serangan lawan memang menyelamatkannya dari serangan. Di bawah kakinya sesiur angin panas menyambar ganas. Gadis yang menyamar seperti seorang pemuda itu merasakan kedua kakinya seperti disambar api. Secepat kilat jungkir balik di udara.
Ketika tubuhnya membentuk garis sama datar dengan tanah maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Tangan kiri memegang perut. Tangan kanan diluruskan ke arah lawan. Mulut ditiupkan keras-keras. Serangkum angin berwarna kekuningan yang menebar bau harum kayu cendana mambuntal menerpa Pangeran Matahari!
Sebelumnya sang pangeran telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian pemuda berpakaian kelabu itu ketika terjadi pertempuran hebat disaat itu dia berdampingan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau lawan ternyata memiliki kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng, namun tentu saja Pangeran Matahari yang congkak itu tidak merasa kecut sama sekali. Apalagi si pemuda hanya sendirian.
Sebelum buntalan sinar kuning menyentuh dan mencelakinya, Pangeran Matahari langsung menghantam dengan pukulan sakti bernama Merapi Meletus. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Lima jari tangan membentuk tinju. Tiba-tiba tangan itu disentakkan ke bawah lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari yang tadi mengepal dibuka serentak.
Terdengar suara berdentum laksana gunung meletus. Hawa panas menyambar. Ranting-ranting dan daun-daun pepohonan meranggas hangus. Buntalan sinar kuning yang jadi andalan pemuda baju kelabu buyar sirna.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia kerahkan tenaga dalam sambil dorongkan kedua telapak tangan ke depan, bertahan agar tidak jatuh. Namun sewaktu Pangeran Matahari balas mendorong, tak ampun gadis ini terpental jungkir balik. Kain pembungkus kepalanya tanggal. Rambut samaran pendek terlepas dan kini tambut aslinya yang panjang hitam tergerai sampai ke punggung.
“Hai!” seru Pangeran Matahari kaget. “Kau ini pemuda banci atau perempuan sungguhan! Pasti wajah aslimu kau sembunyikan di balik sehelai topeng! Ha-ha-ha! Jika wajahmu nanti kulihat cukup cantik, malam ini berarti aku akan mendapat kawan tidur dalam pondok!”
“Manusia dajal! Maut sudah di depan mata masih saja bicara ngacok!” hardik Ni Luh Tua Klungkung.
Pangeran Matahari kembali tertawa bergelak. Tubuhnya berkelebat lenyap. Di lain kejap si gadis sudah terkurung dalam serangan dahsyat yang membuatnya bertahan mati-matian. Beberapa kali dia terpental ketika berusaha menangkis hantaman lawan. Biasanya siapa saja yang berani bentrokan lengan dengan Pangeran Matahari akan menemui celaka bahkan maut. Tangan akan hitam hangus oleh racun jahat yang dimiliki sang pangeran.
Tapi anehnya Ni Luh Tua Klungkung tidak mengalami cidera apa-apa kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam gadis ini jadi merinding. Tak bisa tidak musuh memang sengaja tidak ingin mencelakainya karena punya maksud tertentu yaitu menangkapnya hidup-hidup agar dapat melakukan niat kejinya!
"Brettt...!"
Ni Luh Tua Klungkung terpekik. Topeng tipis yang menutupi wajahnya kena disambar hingga wajah aslinya kini tersingkap jelas!
“Nah... nah! ternyata kau memang cantik jelita! Kau pantas jadi teman tidurku. Besar nian rezekiku malam ini!”
“Keparat! Mampuslah!” teriak Ni Luh Tua Klungkung. Tiga jari tangannya menusuk ke tenggorokan lawan.
Pangeran Matahari berkelebat lenyap. Sebelum gadis itu sempat mengetahui di mana lawannya berada tiba-tiba pakaiannya terasa ditarik.
"Brettt! Brettt! Brettt...!"
Ni Luh Tua Klungkung kembali terpekik. Pakaiannya robek besar di beberapa bagian hingga auratnya tersingkap. Selagi dia sibuk berusaha menutupi tubuhnya yang hampir telanjang itu, satu remasan keras mencengkam payudaranya sebelah kiri. Gadis itu menjerit. Setelah itu tubuhnya kaku. Suaranya pun lenyap! Dia tak kuasa menyelamatkan diri. Tak dapat berteriak minta tolong.
Dengan nafas menyeringai dan nafsu berkobar Pangeran Matahari memeluk tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke arah pondok kayu.
Orang itu melangkah sepanjang lorong batu yang hanya diterangi sebuah pelita yang hampir padam karena kehabisan minyak. Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau tidak ditolong oleh sebatang tongkat yang digenggamnya di tangan kanan, mungkin dia tak sanggup berjalan. Sesekali dia berhenti melangkah, bersandar ke dinding batu sambil mengurut dada, mengaur jalan nafas, mengumpulkan tenaga, baru melangkah lagi.
Di depan sana lorong yang dilaluinya membelok ke kiri. Lalu tampaklah sebuah pintu besar dijaga oleh dua orang perajurit bertubuh kekar bertampang galak. Masing-masing membekal sebilah golok dan sebatang tombak.
“Siapa di sana!” Salah seorang pengawal pintu membentak begitu melihat ada orang bertongkat mendatangi.
Yang ditegur tidak menjawab. “Hai! Mengapa tidak menjawab! Lekas bicara atau akan kutembus dengan tombak ini!” Pengawal tadi mengangkat tombak di tangan kanannya tinggi-tinggi. Kawan disebelahnya melakukan hal yang sama.
“Aku Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja!”
Kedua perajurit pengawal cepat turunkan tombak, membungkuk memberi hormat dan salah seorang dari mereka buru-buru meminta maaf.
“Kami tidak tahu kalau Raden yang datang”
“Pemuda tawanan itu masih ada didalam?”
“Masih ada di dalam Raden...”
“Buka pintu! Aku ingin bicara dengannya!” memerintah Kertopati.
“Maaf Raden! Kami menerima perintah agar tidak memperkenankan siapapun masuk ke dalam menemui tawanan!”
“Siapa yang membei perintah?” tanya Raden Kertopati.
“Raden Mas Jayengrono. Panglima Balatentara Kerajaan...”
Raden Kertopati menggeram “Di Kotaraja ini aku adalah atasan kalian. Berarti kalian ikut perintahku! Buka pintu besi itu!”
“Kami tak berani melakukannya Raden”
“Kalian tidak mentaati perintahku?!” hardik Raden Kertopati marah.
“Kami hanya taat pada perintah Panglima Raden Mas Jayengrono!”
Raden Kertopati diam sejenak. “Baiklah...” katanya kemudian. Dia memutar tubuh seperti hendak berlalu. Namun tiba-tiba tongkat kayu di tangan kanannya berdesing ke udara.
"Praakk! Praakk...!"
Kepala dua perajurit pengawal yang tegak di kiri kanan pintu rengkah! Keduanya tersungkur ke lantai batu. Raden Kertopati cepat mengambil kunci dari pinggang salah seorang pengawal itu lalu membuka gembok besi yang membuhul rantai besar pengunci pintu. Dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam. Di dalam ternyata gelap sekali. Tak ada lampu, tak ada cahaya. Kertopati terpaksa mengambil pelita yang ada dilorong.
“Pendekar 212 kau berada di sebelah mana?” Kertopati berseru seraya mengangkat lampu minyak tinggi-tinggi.
Wiro Sableng yang terbujur di salah satu sudut ruangan tak segera menjawab. Dia tak dapat mengenali suara itu karena gaungan yang memantul pada empat dinding batu. Kertopati memanggil sekali lagi. Baru kali ini Wiro mengenali suara Kepala Pasukan Kotaraja itu.
“Raden, aku di sudut kiri di belakangmu!”
Kertopati membalik lalu melangkah cepat ketika dilihatnya pemuda itu di sudut ruangan dalam keadaan tak berdaya. Lampu minyak diletakkannya di lantai. Dia sendiri kemudian berlutut di samping Pendekar 212.
“Aku datang untuk menolongmu. Membayar budi dengan budi...”
“Terima kasih Raden. Aku sebenarnya tidak mengawatirkan keselamatan diriku. Yang kucemaskan adalah sahabatku pemuda berbaju kelabu itu. Kalau dia sampai tertangkap Pangeran Matahari... Tolong lepaskan totokan di dadaku...”
“Jangan kawatir. Jayengrono memang ahli ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi aku tahu cara membebaskanmu!” kata Kertopati.
Pakaian Wiro di bagian dada disingkapkannya lalu dia mendekatkan mulut dan meniup dada itu. Dengan ujung tongkat dia membuat tusukan cukup keras pada dada yang ditotok hingga Pendekar dari Gunung Gede itu merintih kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada si pemuda. Setelah itu dia membuat tiga kali usapan, barulah totokan di tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terlepas musnah. Wiro cepat duduk bersila mengatur jalan nafas dan aliran darah.
“Terima kasih Raden. Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi sebelum pergi ada satu permintaanku. Maukah kau menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya?”
“Kalau bisa mengapa tidak?”
“Dua perempuan itu hanya korban hati busuk Jayengrono. Kebetulan saja sang puteri pernah memberikan cincin emas burung rajawali itu pada Pangeran Matahari” Lalu Wiro menceritakan apa yang diketahuinya tentang riwayat cincin itu. “Nah jelas bagi Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut apa-apa dengan Pangeran Matahari...”
“Saya akan menghadap raja dan meminta agar ibu dan anak itu dibebaskan. Tapi saya tetap merasa aneh mengapa Jayengrono bertindak terlalu jauh seperti itu”
“Karena ada satu rahasia Raden...”
“Rahasia??“ Kertopati kerenyitkan kening.
“Saya akan ceritakan rahasia itu padamu. Saya mendengar secara kebetulan ketika datang ke rumah Raden Ajeng Siti Hinggil sore tadi...”
Lalu Wiro Sableng menuturkan percakapan antara Jayengrono dan Siti Hinggil yang sempat didengarnya meskipun dia berada di luar ruangan. Tentu saja Raden Kertopati terbelalak hampir tak percaya mendengar penuturan Wiro Sableng itu.
“Nah kau sudah tahu Raden. Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu...”
Selagi Raden Kertopati masih terkesiap oleh cerita yang disampaikan Wiro, Pendekar 212 sudah melompat ke pintu dan mencari jalan sendiri menuju tembok timur istana. Dalam kegelapan malam ternyata tidak mudah bagi Wiro untuk mencari jejak sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Meskipun tanda-tanda patahan ranting pepohonan yang dibuat gadis itu dapat ditemuinya namun gerakannya menjadi lambat karena terhalang oleh kepekatan malam.
Di dalam kamar yang luas Raden Mas Jayengrono merasa sangat gelisah. Sebentar dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu berdiri, melangkah mundar mandir atau duduk di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan sesekali memandang ke dalam taman lewat jendela kamar. Demikian terus menerus keadaannya. Hatinya risau karena tidak dapat menerka apa sebenarnya yang dimaksud oleh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan ucapannya 'tembok ruangan punya seribu telinga'.
“Teka-teki apa yang dilontarkan pemuda keparat itu padaku sebenarnya...?” merutuk Kepala Balatentara Kerajaan itu.
Dia kembali melangkah mondar-mandir lalu membantingkan diri di atas tempat tidur. Memandang ke langit-langit kemar yang penuh ruangan. Memejamkan mata. Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini membuka kedua matanya besar-besar.
“Jangan-jangan...”desisnya. Tubuhnya melompat dari atas tempat tidur. Dia menyambar keris Kyai Gajah Putih dari atas meja batu mar-mar.
Tanpa pengiring dia menuju ke istana lewat pintu sebelah timur. Setengah berlari dia memasuki lorong menuju pintu ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng disekap. Tidak dapat tidak, dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu telah sempat mencuri dengar pembicaraannya dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu.
“Kalau tidak kubunuh, ulahnya nanti bisa berekor panjang!” kertak Jayengrono.
Dia sampai di depan pintu besi itu. Dan terperangah! Pintu terbuka lebar. Dua orang perajurit pengawal telah jadi mayat dengan kepala pecah. Ketika dia memeriksa ke dalam, ruangan penyekapan itu ternyata kosong melompong. Pemuda yang dijebloskan di tempat itu ternyata telah lenyap!
“Celaka aku!” keluh Jayengrono. “Siapa yang punya pekerjaan ini! Siapa yang menolong membebaskan pemuda keparat itu! Pasti hanya satu orang! Si keparat Kertopati! Ya, siapa lagi!”
Raden Mas Jayengrono segera mendatangi rumah kediaman Raden Kertopati. Di sana didapatinya Kepala Pasukan Kotaraja itu tengah tidur nyenyak mendengkur. Dari seorang pengawal dia mendapat keterangan kalau sejak sore tadi Raden Kertopati tak pernah meninggalkan kamar tidurnya.
“Aku yakin hanya manusia satu ini yang mampu dan mau menolong si gondrong itu! Tapi ternyata dia tidur sejak sore... Ah, semua urusan bisa jadi gila! Bagaimana bisa jadi begini...!”
Jayengrono sama sekali tidak tahu kalau Kertopati sudah menduga kira-kira apa yang bakal terjadi kalau lenyapnya tawanan itu sampai diketahui. Maka Kertopati siang-siang sudah menyusun rencana, memberi kisikan pada seluruh anak buahnya dan berpura-pura tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika Jayengrono meninggalkan halaman rumahnya, dia memperhatikan lewat jendela dengan sesungging senyum.
“Riwayatmu akan berakhir tak lama lagi Jayeng...” katanya masih terus tersenyum penuh arti.
Seumur hidupnya Pangeran Matahari belum pernah melihat aurat terlarang orang perempuan, apalagi menyentuhnya. Mendapatkan seorang gadis cantik dalam keadaan tak berdaya di bawah kekuasaannya sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta terbakar oleh nafsu terkutuk.
Setelah menotok tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara aneh yakni dengan jalan meremas payudaranya, Pangeran Matahari mendukung tubuh gadis itu ke dalam pondok kayu. Sambil mendukung tangannya bebas tiada hentinya menggerayang kian kemari.
Meski tubuhnya penuh gelegak marah namun sang gadis tidak mampu berbuat apa untuk membebaskan diri, apalagi menolak kehendak keji Pangeran Matahari. Dalam hatinya sudah tekad bulat untuk bunuh diri jika kelak dia masih dibiarkan hidup setelah dirusak kehormatannya.
Sekarang mari kita ikuti kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yang saling kejar dengan waktu karena sudah mendapat firasat kalau sahabatnya gadis yang sampai saat itu tidak diketahuinya nama aslinya tengah mengalami bahaya besar. Malam makin gelap dan bertampah sulit baginya untuk meneliti secara cepat rerantingan patah yang ditinggalkan sang dara sebagai jejak.
Di sebuah bukit patahan ranting berakhir. Tak ada lagi ranting lain yang patah padahal memandang berkeliling pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-apa. Tak ada tanda-tanda terjadi perkelahian di tempat itu. tak ada pula bangunan di sekitar situ.
“Tak mungkin gadis itu lenyap menembus tanah bebukitan ini atau terbang ke langit...” ujar Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Dia meneliti ke jurusan kiri, ke sebelah kanan, tetap saja tidak menemui apa-apa. Ketika dia coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan kecil mendaki terbentang di hadapannya. Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan mendaki ini. di depan sana di kegelapan malam dilihatnya sebuah bangunan kayu.
Sepuluh langkah sebelum dia sampai ke bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya tergelimpang di jalan kecil itu. ketika ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda bermuka bundar berkulit hitam yang dikenal sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu hanya merupakan mayat dingin.
Murid Eyang Sinto Gendeng memandang berkeliling. Sunyi yang aneh terasa membungkus tempat itu. pintu pondok tampak tertutup. Tak ada nyala lampu di sebelah dalam. Tapi bagi sang pendekar yang sudah berpengalaman tidak ada nyala lampu belum tentu berarti tidak ada seorangpun di dalam sana. Jika seorang lelaki hendak berbuat bejat terhadap seorang gadis maka tentunya dia akan mencari tempat yang sedap.
Wiro hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa suara melangkah mendekati pintu pondok kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk mencari dengar setiap gerakan. Suara nyamuk yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas dari pendengarannya.
"Braakkk...!"
Wiro Sableng tendang pintu pondok hingga hancur dan terpentang lebar. Keadaan di dalam pondok yang tak seberapa besar itu gelap pekat. Wiro memasang telinga. Tak ada seorangpun di dalam sana. Tapi tak mungkin pondok ini dibangun kalau hanya ditinggal kosong melompong. Atau pemiliknya sedang keluar?
Tapi Ni Luh Tua Klungkung lenyap di sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata mustikanya lebih erat. Dengan langkah tetap dia masuk melalui pintu. Baru saja kakinya menginjak lantai papan di sebelah dalam mendadak telinganya mendengar suara berdesir dari empat jurusan!
“Senjata rahasia!” seru Wiro dalam hati seraya kertakkan rahang. Kapak Naga Geni 212 diputar membentuk lingkaran. Sinar terang berkiblat disertai gaungan seperti ribuan tawon mengamuk.
"Tringg-Tringg-Tringg-Tringg...!"
Empat buah benda yang berdesing ternyata adalah empat buah pisau terbang kecil, hancur mental berantakan.
“Pembokong pengecut! Unjukkan tampangmu!” teriak Pendekar 212 marah.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Jelas senjata rahasia itu dipasang untuk menjebak lawan yang lengah. Bukan mustahil masih ada senjata-senjata rahasia lainnya tersembunyi di tempat itu. Dari pada mendapat serangan konyol begitu rupa Wiro memutuskan untuk menghancurkan pondok kayu itu. Maka dia hantamkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera ke arah atap.
Bersamaan dengan mental hancurnya atap dan runtuhnya empat dinding kayu, Wiro melesat keluar bangunan. Dari kejauhan dia memperhatikan bangunan yang kini hanya merupakan keping-keping hampir sama rata dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak ada gerakan. Tapi ketika dia melangkah mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar membuat pendekar dari Gunung Gede itu jatuh duduk ke tanah.
Letusan yang terjadi membuat lantai bangunan terbongkar. Di situ Wiro melihat sebuah lobang batu berbentuk tangga menurun yang sebelumnya tersembunyi di bawah lantai kayu bangunan. Kuduk pendekar ini menjadi dingin. Bulu romanya berdiri. Kalau tadi dia sempat menginjak lantai di atas lobang itu, ledakan dahsyat tadi pasti akan menghancur luluhkan seluruh tubuhnya.
Dengan hancurnya pondok kayu tersebut maka tak ada lagi senjata rahasia yang tersembunyi. Wiro memutuskan untuk menyelinap memasuki lobang batu itu. namun dia cepat melesat ke atas cabang sebuah pohon ketika lapat-lapat telinganya mendengar ada orang yang melangkah cepat menaiki tangga batu.
Sesaat kemudian sebuah kepala gondrong berikat kain merah muncul dari dalam lobang. Kepala ini bergerak berputar seperti meneliti keadaan. Ketika merasa aman, kepala ini segera bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah sosok tubuh mengenakan pakaian hitam bergambar matahari dan puncak gunung.
“Pangeran Matahari...” desis Wiro tercekat. Lalu dia melihat sosok tubuh siapa yang dipanggul di bahu kiri sang pangeran. Sosok tubuh itu hampir tidak tertutup karena seluruh pakaian yan masih melekat hanya tinggal cabikan-cabikan belaka.
“Keparat haram jadah! Kalau dia sampai telah memperkosa sahabatku itu akan kucincang tubuhnya, kuhisap darahnya!” Geraham Pendekar 212 bergemeletakan.
“Manusia iblis! Kau hendak lari ke mana?!” teriak Pendekar 212 menggeledek. Ketika dilihatnya Pangeran Matahari hendak berkelebat kabur sambil mendukung tubuh Ni Luh Tua Klungkung.
Kagetnya sang pangeran bukan kepalang. Sambil meneruskan larinya dia hantamkan tangan kiri ke atas pohon di mana Pendekar 212 berada.
"Wussss...!"
Cabang, ranting dan dedaunan pohon besar iru hangus dan luruh sementara Wiro sudah melayang turun lebih dahulu. Kapak Naga Geni 212 menderu dalam kegelapan malam. Melihat sinar menyilaukan berkiblat dan mendengar suara seperti tawon mengamuk Pangeran Matahari maklum siapa yang menyerangnya. Satu-satunya senjata yang mempunyai cirri-ciri serangan seperti itu adalah Kapak Maut Naga Geni 212. Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 dari Gunung Gede.
“Dicari-cari ternyata kau datang sendiri mengantar nyawa! Hutang lamamu rupanya hendak kau bayar hari ini bersama bunganya!” Pangeran Matahari menegur keren dengan kaki terkembang, tangan kiri di pinggang dan tubuh Ni Luh Tua Klungkung masih di atas bahu kanannya.
“Manusia congkak takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari ini kau tambah lagi dengan satu kekejian!” bentak Wiro.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Rupanya kaupun berhasrat mendapatkan perawan ini! Ha-ha-ha! Kau memang belum terlambat Pendekar 212! Tapi jangan harap kau bisa membebaskan gadis ini dari tanganku!”
Gembira mendengar pengakuan Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng hampir bertindak lengah ketika musuh di hadapannyaitu tiba-tiba menyerbu sambil lepaskan pukulan maha ganas yang dimilikinya yakni pukulan Gerhana Matahari!
Sinar kuning, hitam dan merah mencuat panas melanda ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro tak berani membalas karena kawatir akan mencelakai Ni Luh Tua Klungkung. Didahului bentakan nyaring pendekar ini melesat tiga tombak ke udara. Dari atas dia menukik sambil babatkan Kapak Naga Geni 212. Tapi Pangeran Matahari berlaku cerdik. Dia tidak menangkis ataupun balas menyerang melainkan angsurkan tubuh gadis yang ada di bahunya, memotong tabasan senjata lawan.
Wiro berseru kaget dan buru-buru tarik pulang serangannya. Saat itulah kembali Pangeran Matahari menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Kali ini lebih dahsyat lagi karena mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Wiro kembali melompat sambil lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212. Pohon besar di belakangnya terdengar berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar!
“Iblis keparat!” maki Pendekar 212. Dadanya terasa sesak. Dia melompat turun ke tanah langsung sisipkan Kapak Naga Geni 212 di pinggang lalu angkat kadua tangan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawan. Perlahan-lahan dua telapak tangan itu diputar, mulut terkancing dan sepasang mata memandang tak berkesip ke arah Pangeran Matahari.
Sikap tegak Wiro yang sama sekali tidak terlindung itu di mata Pangeran Matahari merupakan suatu sasaran empuk. Maka dia segera siapkan pukulan Gerhana Matahari untuk ketiga kalinya. Tapi mendadak sontak saat itu dirasakannya udara menjadi sangat dingin, sepuluh kali lebih dingin dari udara di puncak Merapi di mana dia pernah tinggal sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran seperti dilapisi es. Rahangnya menggembung, hembusan nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya mulai goyah!
“Ilmu apa yang tengah dikeluarkan setan ini untuk menyerangku!” gumam Pangeran Matahari dengan gigi-gigi bergemeletakkan. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, merah dan hitam memang berkiblat. Namun sebelum mencapai tubuh Wiro, hawanya yang panas membakar berubah menjadi dingin hingga ketika serangan itu melanda Pandekar 212, dia hanya merasakan seperti disapu angin sejuk!
Kaget Pangeran Matahari bukan kepalang. Diam-diam nyalinya mulai menciut. Namun manusia congkak ini tak mau mangalah begitu saja. Sekali lagi dia hendak mencoba. Bahu kanannya digerakkan. Tubuh Ni Luh Tua Klungkung mencelat mental ke arah semak belukar dan tersangkut di sana. Sang pangeran kemudian membuat kedudukan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Wiro. Kedua kakinya mengangkang. Tangan diangkat ke atas. Mulut komat kamit. Telapak tangan digerakkan perlahan. Didorong ke arah Wiro. Terdengar suara berdesir. Menyusul deru angin panas keluar dari masing-masing telapak tangan.
Di seberang Pangeran Matahari, Wiro tetap tegak di tempatnya dan lipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya. Tubuhnya bergetar keras dan keringatnya bercucuran padahal udara di tempat itu dingin bukan kepalang!
Deru angin panas yang keluar dari dua telapak tangan Pangeran Matahari, yang disesrtai kekuatan tenaga dalam penuh mula-mula tertahan seolah terbendung oleh tembok baja yang sangat atos. Begitulah kehebatan ilmu Angin Es yang jarang-jarang dikeluarkan oleh Pendekar 212. Namun ternyata murid Sinto Gendeng ini tak bisa bertahan lama. Karena begitu Pangeran Matahari mendorong sambil maju selangkah demi selangkah Wiro meraskan dadanya menjadi panas.
Ketika dia merasa tak sanggup bertahan maka sambil berteriak keras Wiro menekuk lutut dan menghantam ke depan dengan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti ini didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas. Terdengar suaa menggemuruh yang mengingatkan Pangeran Matahari pada meletusnya Gunung Merapi belasan tahun silam. Pukulan Merapi Meletus yang terus dilancarkannya dan diharapkan dapat merobohkan lawan ternyata kini mulai menjadi kendur.
“Gila!” maki Pangeran Matahari.
Sementara tangan kiri masih terus bertahan dari serangan pukulan Merapi Meletus, tangan kanan tiba-tiba diturunkan dan dengan tangan ini dia kembali lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa dia kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
Letusan dahsyat menggelegar di tempat itu. tanah puncak bukit longsor di beberapa bagian. Pohon-pohon bertumbangan. Ni Luh Tua Klungkung yang menyangsrang di semak belukar jatuh terguling dan secara aneh totokan yang menguasai tubuhnya mendadak terlepas buyar!
Pendekar 212 Wiro Sableng terpental sampai enam langkah. Sebaliknya Pangeran Matahari jatuh duduk lalu terbanting ke tanah. Mulutnya terasa panas dan asin pertanda ada darah yang melesat lewat tenggorokannya, melesat ke mulut. Dadanya mendenyut sakit. Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga dalamnya walaupun sangat tipis, tapi masih berada di bawah lawannya.
Ketika dapatkan dirinya terbebas dari totokan, tanpa sadar akan keadaan dirinya, Ni Luh Tua Klungkung langsung melompat ke arah Pangeran Matahari sambil ayunkan kepalan menghantam batok kepala orang yang tadi hampir menodainya. Meskipun masih dicekam rasa kaget, sakit dan kecut namun Pangeran Matahari masih sempat melihat datangnya serangan itu.
Kalau tadi dia tengah berusaha bangkit, diserang begitu rupa maka dia jatuhkan diri kembali ke tanah sambil hantamkan tangan kanan ke atas melepas tangkisan dan juga sekaligus totokan karena sang pangeran masih menginginkan gadis itu tertawan hidup-hidup.
Namun di saat yang sama dari jurusan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng menyerbu melompatinya dan lepaskan pukulan tangan kosong jarak pendek. Hingga mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa batalkan serangan terhadap Ni Luh Tua Klungkung sambil mengelak lalu pusatkan perhatian untuk menangkis serangan Wiro.
Perkelahian jarak pendek iu tidak dapat menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Justru inilah yang diharapkan Pangeran Matahari karena dia percaya dengan terjadinya bentrokan dia dapat mengirimkan racun jahat hitam panas dan menghanguskan ke tubuh lawan.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang yakin akan keampuhan Kapak Naga Geni 212 untuk menolak segala macam racun jahat tidak ingin menghindari bentrokan itu. Maka ketika dua lengan saling beradu kedua pemuda itu sama-sama terlempar.
Pangeran Matahari karena sebelumnya telah terluka di dalam berada pada keadaan cukup parah. Tubuhnya terguling sambil mulutnya muntahkan darah segar. Wiro memang terlepas dari keganasan racun manghanguskan sang pangeran tapi tulang lengan kanannya terasa sakit tanda ada bagian yang retak.
“Ah, untuk kedua kalinya aku terpaksa mengalah! Keparat betul!” mengeluh dan memaki Pangeran Matahari dalam hati.
Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni Luh Tua Klungkung kembali namun keselamatan diri lebih diutamakannya. Maka tanpa pikir panjang dan menunggu lebih lama Pangeran Matahari segera berkelebat larikan diri kea ah kanan, ke bagian paling gelap di sekitar tempat itu.
Ni Luh Tua Klungkung nekad hendak mengejar tapi Wiro cepat mencegah sambil berseru,
“Jangan kejar!” Dia kawatir gadis ini justru bakal mengalami malapetaka baru.
Sang dara hentakkan kakinya ke tanah. “Kau melarangku mengejar manusia terkutuk yang hendak merusak kerhormatanku! Apa hak mu!” Si gadis berbalik dan menghardik marah.
Wiro buka bajunya dan melemparkan pakaian ini ke arah Ni Luh Tua Klungkung. “Kau pakailah baju itu. Tubuhmu terbuka tak karuan!”
Mendengar ucapan Wiro baru sadar sang dara akan keadaan dirinya. Sambil memungut baju yang dilemparkan itu dia berkata, “Aku bersumpah untuk membunuh manusia satu itu!” Ni Luh mengenakan baju itu di balik pohon besar yang tumbang. Karena dia lebih pendek dari Wiro maka baju putih yang cukup dalam itu dapat menutupi tubuhnya sampai sebatas lutut.
“Kau tak kurang suatu apa sahabat?” tanya Wiro ketika Ni Luh Tua Klungkung keluar dari balik pohon.
“Untung kau cepat datang. Terlambat sedikit saja aib besar pasti sudah menimpa diriku! Pangeran keparat itu terhalang maksud kejinya ketika atap pondok bobol dan dinding-dinding runtuh. Disusul letusan peledak yang agaknya memang sengaja ditanamnya di lantai pondok. Dia membawaku lari keluar sekalian untuk menyelidiki siapa yang jadi korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini mengapa dingin sekali seperti di punca gunung!”
“Itu karena kau memakai baju pinjaman!” sahut Wiro seraya tersenyum. “Aku yang bertelanjang dada tidak merasa dingin apa-apa!”
“Uh! Kalau tidak terpaksa siapa sudi mengenakan baju busuk dan basah oleh keringat ini!” jawab sang dara merengut.
Wiro kembali tertawa. “Kurasa kau lebih bagus muncul dengan wajah aslimu dari pada memakai segala macam topeng penyamaran!”
Ni Luh Tua Klungkung mengusap wajahnya. “Sebaiknya kita pergi saja dari tempat celaka ini! Makin cepat aku mendapatkan pakaian pengganti akan lebih baik bagiku!”
Lalu dara itu tinggalkan puncak bukit gelap tersebut. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang.
SATU
LELAKI berpakaian merah itu berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam tubuhnya beberapa kali membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan kulitnya penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat. Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa dilakukannya walau nafasnya mulai menyesak dan lidahnya terjulur-julur seperti anjing gila. Di tangan kirinya ada kantung kain.
Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke arah timur. Saat demi saat langit di jurusan itu tampak menjadi terang. Hal inilah yang agaknya ditakuti orang berpakaian merah itu. Sebentar-sebentar dari mulutnya terlontar kata-kata,
“Celaka...! Celaka diriku! Tak mungkin aku mencapai tempat itu sebelum matahari terbit! Celaka! Mati...! Aku akan mati!”
Orang ini berlari terus. Berusaha lebih kecang. Namun tenaganya hampir punah. Kedua kakinya seperti diberati batu besar. Beberapa kali dia terserandung jatuh tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling kembali ke timur, langit di sana tampak semakin terang.
“Celaka! Celaka diriku...!” Sekali lagi dia tersungkur di tanah. Kantung kain yang dibawanya terlepas. Cepat-cepat benda ini diambilnya lalu dia bangkit dan lari lagi.
Di pepohonan mulai terdengar kicau burung. Jalan mendaki yang dilaluinya mulai terang. Seperti ada semangat dan kekuatan baru dalam tubuh orang itu, dia mampu lari lebih kencang. Pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu, yang kelihatan di kejauhan, itulah yang seolah memberi kekuatan padanya. Akan tetapi maksudnya untuk mencapai pondok itu tidak pernah kesampaian.
Ketika di timur matahari memancarkan cahayanya yang kuning kemerahan dan berangsur memutih, ketika rambasan cahaya sang surya ini menimpa tubuh orang yang berlari itu, kontan dari mulutnya terdengar suara jeritan. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum. Lalu seperti ada api yang memanggang. Tubuhnya mengepulkan asap. Dia menjerit lagi. Tapi masih berusaha lari.
Sejarak lima belas langkah dari pondok kayu di ujung jalan mendaki, orang ini jatuh terguling. Sekali ini dia tak sanggup lagi untuk bangkit. Matanya membeliak. Kakinya melejang-lejang. Darah tampak mengucur dari telinga, hidung dan sela bibirnya.
“Pangeran... Pangeran... tol... tolong aku...” Orang itu memanggil diantara suara erangannya. “Pangeran...!”
Tiba-tiba pintu pondok yang sejak tadi tertutup terpentang lebar. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan gambar matahari serta gunung di bagian dada dan berikat kepala merah keluar dai dalam pondok. Sesaat dia memandang pada lelaki yang melingkar di tanah, melejang-lejang sambil tiada hentinya mengerang. Si baju hitam bertampang angkuh mendengus dingin.
“Manusia tolol!” teriaknya. “Mengapa kau kembali dalam keadaan terlambat! Melanggar pantang!”
“Pangeran... Aduh... tubuhku! Tubuhku seperti dibakar!”
“Bangsat! Jawab pertanyaanku!” hardik si baju hitam yang jelas-jelas adalah Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi dan memiliki kesaktian dari puncak Merapi. Yang sejak beberapa waktu lalu mengacau dan menimbulkan malapetaka bukan saja dalam rimba persilatan tetapi juga dalam kalangan Kerajaan bahkan menembus sampai ke dalam istana!
“Katakan mengapa kau datang terlambat!”
“Mo… mohon ampunmu Pangeran. Aku tergoda nafsu… Aku bermain-main dengan seorang janda muda dan kesiangan!”
“Keparat! Kau memang tidak pantas jadi Bajingan Dari Susukan!” Pangeran Matahari ulurkan kaki kanannya. Dengan jari-jari kaki dibetotnya kantong kain yang masih berada di tangan kanan lelaki di hadapannya. Kantong kain ini melayang ke udara dan cepat ditangkapnya dengan tangan kiri.
“Pangeran… tolong…”
Pangeran Matahari tidak perdulikan erangan orang. Dia membuka kantong kain dan memeriksa isinya. Tampak beberapa potong perhiasan, beberapa bongkah perak lalu kepingan uang logam.
“Setan! Hasilmu tidak seberapa!”
“Pangeran! Tolong… Tubuhku seperti dipanggang…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Nafsu sama dekatnya dengan darah dalam tubuh manusia! Nafsu menjadi sahabat manusia sejak langit dan bumi diciptakan! Tetapi dalam hal yang bersifat pantangan bila manusia sampai lupa diri, dia akan musnah!”
“Aku mohon ampunmu Pangeran. Tolong... Selamatkan selembar nyawaku…”
“Tak ada yang bisa menyelamatkanmu manusia tolol! Tidak setan tidak juga malaikat!”
Pangeran Matahari melangkah menuju pintu pondok. Di balakangnya terdengar lolong lelaki yang tubuhnya tampak mengepulkan asap dan mulai berubah kehitaman seperti kayu gosong. Dia berguling-guling di tanah.
“Pangeran. Tolong… Hanya kau yang bisa menolongku! Tolong…!”
“Tubuhmu telah tersiram sinar matahari! Mati adalah lebih baik bagimu!” ujar Pangeran Matahari. Di depan pintu pondok dia berhenti lalu berseru.
“Gajah Rimbun! Kemari kau!”
Dari dalam pondok melompat keluar seorang pemuda bermuka bulat, berkulit hitam legam, berkumis dan berjengot tipis. Sikapnya tangkas, gerakannya gesit. Dia memberi hormat pada Pangeran Matahari seraya berkata, “Saya sudah di hadapanmu Pangeran!”
“Kau lihat manusia tolol itu?!”
Si muka bulat bernama Gajah Rimbun berpaling ke arah lelaki yang masih melejang-lejang di tanah, tapi lejangannya makin lama makin perlahan. Suara teriakannya minta tolong semakin sember dan hanya tinggal erangan parau.
“Saya melihatnya Pangeran…” Kata Gajah Rimbun.
“Apakah kau mau jadi manusia tolol seperti dia?”
“Tidak Pangeran. Saya tidak ingin…”
“Kalau begitu ingat semua pesan dan pantangan. Selalu kembali kemari sebelum matahari terbit!”
“Saya akan ingat semua pesan dan pantangan, Pangeran.”
“Mulai hari ini kau akan bergelar Bajingan Dari Susukan! Ingat hal itu baik-baik. Kemanapun kau pergi perkenalkan dirimu dengan julukan itu…!”
“Akan saya lakukan Pangeran.”
“Dari semua yang kupesankan untuk dilakukan, yang paling penting adalah menyelidiki di mana beradanya dua manusia bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan seorang lagi entah lelaki entah perempuan, tapi dulu dikenal dengan nama Ni Luh Tua Dari Klungkung, muncul dengan sosok tubuh seorang nenek!”
“Saya akan menyelidiki Pangeran!”
“Jangan lupa mengeduk harta dan uang sebanyak mungkin!”
“Saya tidak lupa Pangeran.”
“Kau tahu di mana harus memusatkan pekerjaan?”
“Pangeran sudah mengatakan sebelumnya. Di Kotaraja dan desa-desa kaya…!”
“Bagus! Sekarang mendekatlah padaku!”
Gajah Rimbun melangkah mendekati Pangeran Marahari. Pada jarak satu langkah Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dan letakkan di atas kedua bahu Gajah Rimbun. Pemuda ini merasakan ada hawa panas dari telapak tangan Pangeran Matahari, masuk ke dalam tubuhnya lewat bahu.
“Sekarang kau boleh pergi! Ingat perintah, ingat larangan, ingat pantangan! Dalam tubuhmu ada satu kekuatan yang membuat kau mampu melakukan tugas dan mampu menghancurkan siapapun yang berani menghalangimu!”
“Saya pergi Pangeran…”
“Pergilah. Bawa mayat manusia tolol itu! Lemparkan ke dalam jurang!”
“Akan saya bawa Pangeran.” Lalu Gajah Rimbun memanggul mayat hangus yang sejak tadi tergeletak di tanah dan tinggalkan tempat itu melalui jalan tanah menurun.
********************
DUA
Di iringi alunan gamelan pengantin lelaki keluar dari dari pintu sebelah kanan ruangan besar, melangkah bersama para pengiring lalu duduk di atas kasur tertutup permadani. Di sebelah kanan penghulu berjubah dan bersorban putih siap memimpin jalannya upacara akad nikah.
Dari pintu sebelah kiri, diapit oleh para pengiring, keluarlah pengantin perempuan yang kemudian mengambil tempat duduk berhadap-hadapan dengan pengantin lelaki.
Melihat pada keadaan kedua mempelai, maka ini adalah satu perkawinan yang benar-benar tidak serasi. Pengantin lelaki, seorang lelaki tua yang pantas disebut seorang kakek. Bertubuh kurus, berwajah cekung keriput, berambut putih dan berkumis jarang yang juga sudah berwarna putih.
Sebaliknya sang mempelai perempuan belum lagi berusia enam belas tahun, berparas cantik jelita tapi jelas masih kekanak-kanakan. Kepalanya selalu tertunduk, seolah-olah menyembunyikan sepasang matanya yang balut karena terlalu banyak menangis.
Ketika penghulu mulai membuka upacara, alunan gamelan terdengar menjadi perlahan lalu berhenti sama sekali. Di antara para tamu yang hadir pada sore menjelang malam itu tampak dan terasa adanya sesuatu yang tidak enak. Tidak enak bukan saja karena menyaksikan upacara pernikahan si kakek dengan si gadis yang pantas menjadi cucunya, melainkan disebabkan oleh polah tingkah seorang tetamu muda bermuka hitam, berjenggot dan berkumis tipis.
Saat itu tuan rumah masih belum mempersilahkan para tetamu untuk mencicipi minuman ataupun hidangan. Tapi tamu yang satu ini justru dengan seenaknya melahap makanan yang ada di depannya, meneguk minuman sepuasnya dan duduk sambil senyum-senyum cengengesan. Padahal sekian banyak wajah dan pandangan mata menatapnya dengan asam bahkan ada yang berang.
Seorang lelaki mendekati pemuda itu. dia adalah salah seorang anggota keluarga pihak pengantin lelaki yang punya hajat. Orang ini menegur dengan berbisik.
“Saudara, harap kau berhenti makan minum. Jika upacara pernikahan sudah selesai kau boleh makan sekenyangmu dan minum sampai mabuk…”
Pemuda yang ditegur kelihatan bersikap acuh. Tenpa berpaling dia malah menjawab. “Perutku lapar. Makanan dan minuman dihidangkan untuk disantap tetamu. Dan aku adalah tetamu di tempat ini. jika kau tuan rumah, mengapa tidak menghormati tetamu…?”
Lelaki yang tadi menegur tampak tak enak mendengar kata-kata itu. maka dia berkata lagi, kini bukan berbisik tapi dengan suara keras hingga terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. “Jika sebagai undangan di situ tidak mau menghormati upacara ini, saya persilahkan saudara meninggalkan tempat ini. Pesta ini diadakan bukan untuk orang-orang rakus dan kelaparan!”
“Oooo begitu…?” Si pemuda kembali menyahuti dan lagi-lagi tanpa berpaling pada orang yang menegurnya. “Baiklah, aku akan meninggalkan tempat ini sebentar. Tapi harap kau ikut bersamaku!”
Lalu pemuda itu berdiri. Dia menyentuh bahu orang yang menegurnya. Anehnya orang ini seperti bahu seekor kerbau yang dicucuk hidung kemudian melangkah mengikuti si pemuda meninggalkan ruangan. Para tetamu yang hadir menyangka pihak tuan rumah itu sengaja mengantarkan si pemuda keluar ruangan.
Mereka merasa lega karena kini pemuda yang menyebalkan itu sudah keluar. Namun tak seorangpun tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan anggota keluarga tuan rumah itu.
Tak selang berapa lama, pemuda tadi nampak muncul kembali. Seorang diri. Dan dia kembali duduk di tempatnya semula. Seperti tadi diapun kembali pula melahap makanan yang ada di hadapannya.
Sementara itu upacara pernikahan sampai pada mempersembahkan dan mempertunjukkan emas kawin lelaki untuk mempelai perempuan. Emas kawin itu terletak di atas sebuah nampan perak besar, berupa tiga buah kotak kayu kecil berisi emas perhiasan dan beberapa di antaranya bertahtakan batu-batu permata yang sangat mahal.
Ketika tiga buah kotak itu dibuka, tiba-tiba pemuda yang asyik menggerogoti paha ayam bangkit berdiri. Dua kali membuat lompatan dia telah berada di hadapan penghulu.
“Perkawinan gila ini tidak perlu diteruskan! Kalian harus membayar semua kegilaan ini dengan tiga kotak berisi perhiasan itu!” Pemuda itu berteriak lantang. Sekali dia berkelebat maka tiga kotak kayu berisi perhiasan sudah berada dalam kempitan tangan kirinya.
Serta merta pesta besar itu menjadi geger. Semua orang terkejut. Penghulu terbeliak. Pengantin lelaki dan para pengiringnya tegak melompat. Beberapa perempuan pengiring pengantin perempuan terpekik sementara pengantin perempuan sendiri untuk pertama kali angkat wajahnya dan menyaksikan kejadian itu dengan terheran-heran.
Penghulu berjubah putih setelah lenyap kagetnya kini berganti marah. Namun sebelum dia membentak, seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengenakan jas tutup coklat gelap sudah lebih dulu menghardik. Dia adalah paman pengantin perempuan.
“Orang gila kesasar! Lekas letakkan kembali tiga kotak kayu itu! Dan cepat minggat dari sini!”
Si pemuda tertawa lebar. “Aku tahu sampean adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan! Aku juga tahu sampeanlah yang mengatur secara paksa perkawinan ini. karena sampean mengharapkan imbalan harta dan uang serta jabatan dari pengantin lelaki, seekor kambing tua itu!”
"Plaakkk!" Tamparan keras melabrak pipi si pemuda. Yang menampar adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan.
Yang ditampar usap pipinya yang tampak merah. Tak kelihatan bayangan rasa sakit pada air mukanya, malah pemuda ini menyeringai. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya.
"Bukkk...!"
Sentono Puro terpental ketika dada kirinya ditumbuk jotosan si pemuda. Tubuhnya terguling di atas permadani. Dia mencoba bangkit kembali. Tapi matanya tampak mendelik dan detik itu pula tubuhnya tersungkur kembali. Kali ini tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya. Darah mengucur di sela bibirnya!
“Kurang ajar! Kembalikan perhiasan milikku itu!” Pengantin lelaki tiba-tiba berteriak. Dua orang perngiringnya tempak mencabut keris.
Si pemuda kembali tertawa lebar. “Masih untung aku hanya mengambil perhiasan milikmu, bandot tua. Apakah kau mau aku juga mengambil jiwamu seperti yang kulakukan pada Sentono Puro barusan?! Bandot tua tak bermalu! Memaksa kawin anak orang yang pantas jadi cucunya!”
Dua orang pengiring pengantin yang sudah tidak sabar, langsung saja melompati pemuda itu sambil tusukkan keris.
“Kalian cecunguk-cecunguk pengiring kambing tua memang layak mampus dahulu!” Si pemuda membentak. Tangan dan kakinya bergerak. Dua penyerang terlempar ke belakang. Yang satu melolong setinggi langit karena hancur selangkangannya, satunya lagi remuk dadanya. Keduanya menyusul Sentono Puro.
Jerit pekik terdengar di sana-sini. Pengantin perempuan dilarikan ke ruangan lain. Para tetamu menjauh ketakutan. Namun seseorang menyeruak ke depan seraya membentak,
“Pemuda iblis. Lehermu layak ditebas!”
Pemuda itu berpaling. Di hadapannya tegak seorang pemuda berpakaian ungu, sikapnya keren dan di tangan kanannya ada sebilah golok panjang.
“Hem… Lagakmu boleh juga sobat. Siapa kau?” tanya pemuda yang merampas tiga kotak perhiasan.
“Aku Suto Anget. Perwira Ketiga pada jajaran Pasukan Kotaraja!” Pemuda yang memegang golok kenalkan diri. “Kau sendiri siapa? Mengapa berani mengacau perjamuan orang? Malah menggarong emas kawin?!”
“Aku bukan menggarong! Tapi menghukum bandot tua yang pergunakan kekayaan dan kekuasaan untuk mengawini seorang gadis cilik!”
“Lagakmu seperti pahlawan saja!” dengus Suto Anget. “Kau belum menerangkan siapa dirimu!”
“Dengan senang hati aku perkenalkan. Aku Bajingan Dari Susukan!”
“Seorang bajingan rupanya! Memang gelar yang tepat sekali!” ujar Suto Anget. Goloknya diangkat setinggi bahu, siap membabat. “Jika kau tidak segera mengembalikan tiga kotak perhiasan itu, putus lehermu!”
“Aku mau lihat bagaimana kau memutus leherku!” dengus Bajingan Dari Susukan.
“Bagus kalau kau memang sudah siap untuk mati! Ingat, kau berhadapan dengan Perwira Kerajaan!”
“Suto Anget! Jangan kau bawa-bawa nama Kerajaan! Ayo bergeraklah!”
Golok di tangan Perwira Ketiga itu berkelebat mengeluarkan suara angin bersiuran, menebas ke arah batang leher pemuda bermuka hitam. Tapi serangan maut ini hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat jotosan tangan kanan Bajingan Dari Susukan menghantam dada sang Perwira lebih dulu.
Tubuh Suto Anget mencelat mental, pedangnya terlepas, dia terjengkang di lantai semburkan darah segar lalu rebah tak berkutik lagi. Sebelum tubuh itu mencium lantai Bajingan Dari Susukan sudah menyambar kembali tiga kotak kayu yang tadi diletakkannya di atas nampan perak. Tepat di saat yang sama pengantin tua bangka itu hendak mengambilnya. Penasaran didahului orang, kakek tua itu serta merta melompati si pemuda. Satu tangan coba merampas kotak-kotak berisi perhiasan, satunya lagi mencakar kearah wajah.
"Traakkk...!"
Pengantin tua menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil pegangi tangan kanannya yang patah akibat dipukul Bajingan Dari Susukan. Pemuda ini menyeringai.
“Masih untung cuma lenganmu yang kupatahkan! Bukan lehermu!”
Habis berkata begitu pemuda ini melangkah ke pintu sebelah kiri. Sesaat kemudian terdengar pekik jerit orang banyak.
“Pengantin perempuan dilarikan!”
“Pengantin perempuan diculik!”
Kekacauan di tempat perhelatan itu tidak terkirakan lagi. Pengantin lelaki terduduk di pelaminan, tidak henti-hentinya berteriak seperti orang kurang waras.
“Perhiasanku! Tolong! Emas kawin itu... Istriku... Istriku... Mana istriku...?”
********************
TIGA
Di langit bulan setengah lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi tambah gelap. Udara tambah dingin karena menjelang dini hari. Di dalam pondok kayu di ujung jalan yang mendaki, Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan duduk menghadap Pangeran Matahari yang duduk bersila tiada hentinya tersenyum dan memuji.
“Kau memang pantas menyandang julukan Bajingan Dari Susukan itu Gajah Rimbun. Hasilmu yang pertama sangat memuaskan. Bukan saja tiga kotak berisi barang-barang perhiasan ini, tapi kau malah juga membawakan seorang gadis cantik untukku…”
“Itu jika Pangeran berkenan padanya. Kalau tidak, sayapun tak akan menampik…” Menjawab Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
“Ketika saya bawa lari gadis ini tidak melawan atau menjerit. Katika saya tanyakan, katanya dia pasrah hendak diapakan asal bebas kawin paksa dengan bandot tua bermuka kambing itu…”
“Hemm... Beegitu? Siapa namanya Gajah Rimbun?” bertanya Pangeran Matahari.
“Katakan nama mu pada Pangeran…” Berkata Gajah Rimbun pada gadis yang masih berpakaian pengantin dan duduk di sudut ruangan. Tak ada bayangan rasa takut padanya. Hanya dalam hati dia bertanya-tanya, mengapa pemuda yang menculiknya itu memanggil pemuda berpakaian hitam dengan sebutan Pangeran. Apakah dia benar-benar seorang Pangeran?
“Nama saya Sri Andini…” Menerangkan si gadis enam belas tahun.
“Namamu bagus. Apakah kau menyukai si pemuda yang menculikmu ini…?”
Ditanya begitu Sri Andini tak bisa menjawab. “Kau bebas memilih aku atau dia. Tak ada paksaan…” Berkata Pangeran Matahari, membuat si gadis tambah bingung.
Jika dibandingkan antara dua pemuda itu, tentu saja yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari jauh lebih gagah dan tampan.
“Jika saya memilih salah satu di antara kalian, lantas apakah yang hendak kalian lakukan…?” Sri Andini yang memang masih kekanak-kanakan itu bertanya polos, membuat Pangeran Matahari tertawa lebar sedang Gajah Rimbun senyum-senyum kecut. Dia hampir dapat memastikan kalau gadis itu akan memilih Pangeran Matahari.
“Siapa saja yang kau pilih di antara kami, maka kau akan mendapatkan malam pengantinmu di sini…” Berkata Pangeran Matahari.
“Pengantin…? Pengantin tanpa nikah…?”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. “Nikah itu hanya dilakukan oleh orang-orang tolol! Nah katakan pilihanmu!”
“Saya… saya memilih kakak ini…” kata Sri Andini sambil berpaling pada Gajah rimbun membuat pemuda ini terkesiap hampir tak percaya namun diam-diam merasa takut kalau-kalau Pangeran Matahari menjadi marah.
“Gajah rimbun rezekimu besar!” kata sang Pangeran. Lalu berdiri dan melangkah ke pintu. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh. Tangan kanannya digerakkan perlahan. Di seberangnya terdengar jeritan Sri Andini. Tubuhnya terpental menghantam dinding. Wajah yang tadi putih, tubuh yang tadinya berkulit mulus kini tampak gosong menghitam.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun tersentak kaget hingga melompat dari duduknya. “Mengapa kau membunuh gadis itu…?”
“Manusia tak berbudi layak disingkirkan…!”
“Tak berbudi bagaimana maksudmu Pangeran?”
“Kalau tidak aku yang memerintahkanmu mengadakan perjalanan, tidak nantinya dia selamat dari kawin paksa itu. Kini setelah selamat dia melupakan budi orang!”
“Tapi mana dia tahu kalau saya menyelamatkannya bertalian dengan tugas yang Pangeran berikan…?”
“Manusia berbudi selalu berusaha mencari tahu, Gajah Rimbun!” sahut Pangeran Matahari.
“Tapi, gadis ini masih kanak-kanak…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Tubuhnya matang montok. Payudaranya besar. Kerlingan matanya menikam. Itukah yang kau sebut kanak-kanak… Atau inginkan kau berdebat dengan aku, Gajah Rimbun?”
“Tidak… Saya tidak bermaksud begitu Pangeran. Hanya sayang…”
“Apa yang sayang…?"
“Sebetulnya dia bisa kita manfaatkan…”
“Sebaiknya kau lupakan dia Gajah Rirmbun. Kau telah menyelesaikan tugas dengan baik. Tapi hanya sebahagian. Berita apa yang kau dapat tentang dua manusia bernama Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung…?”
“Mohon maafmu Pangeran. Tak satupun saya menyirap kabar tentang orang-orang itu. tapi saya punya berita lain yang tak kalah pentingnya…”
“Lekas katakan. Jika tidak cukup penting nyawamu imbalannya!”
Pucatlah paras Gajah Rimbun. Tapi orang ini sangat yakin berita yang didapatnya sangat berguna bagi Pangeran Matahari. Maka diapun menjelaskan.
“Kalangan istana saat ini tengah mengamati bahkan boleh dikatakan mencurigai istri Sri baginda yang ketiga…”
“Hemmmm…” Pangeran Matahari keluarkan suara bergumam. Sepasang alis matanya yang tebal mencuat ke atas. Setengah acuh ia bertanya. “Apa yang menjadi dasar kecurigaan itu. Dan kecurigaan tentang apa?”
“Kecurigaan bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga itu, mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran…”
Diam-diam Pangeran Matahari semakin tertarik akan cerita Gajah Rimbun. Namun sikap dan air mukanya di luar tetap seperti tak acuh. “Mengapa orang-orang itu bersikap demikian? Aneh…!”
“Menurut penuturan, sewaktu Pangeran menyerbu Istana beberapa bulan yang silam, mereka mengenali cincin emas bergambar burung rajawali yang Pangeran pakai itu. Menurut mereka, cincin itu dikenal sebagai milik Raden Ayu Puji Lestari. Jika ibu dan puterinya itu tidak dapat menerangkan apa hubungan mereka dengan Pangeran, besar kemungkinan Sri baginda sendiri akan mengambil tindakan hukum. Memenjarakan istri dan puterinya itu…”
“Raja tolol!” kertak Pangeran Matahari. “Ibu dan anak itu juga tolol! Tidak bisa memberikan jawaban…”
“Mereka tidak bisa membela diri. Karena tidak bisa memperlihatkan mana cincin milik puteri pemberian Sri Baginda...”
Pangeran Matahari terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. “Kau berangkatlah ke Kotaraja. Serahkan cincin itu pada Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Dengan demikian dia dan ibunya akan dapat mementahkan kecurigaan orang-orang itu…”
“Jadi... jadi benar cincin itu milik Raden Ayu Pauji Lestari?” bertanya Gajah Rimbun.
“Aku tidak menyuruhmu banyak bertanya Gajah Rimbun. Tugasmu adalah menyerahkan cincin ini pada puteri itu!” sentak Pangeran Matahari dengan mata mendelik, membuat Gajah Rimbun ketakutan dan buru-buru meminta maaf atas kelancangannya, lalu cepat mengambil cincin emas yang diangsurkan Pangeran Matahari.
“Kau tahu siapa-siapa saja yang bersikap curiga pada ibu dan puterinya itu?”
“Yang pertama Patih Kerajaan. Lalu Panglima Kotaraja Raden Kertopati. Kalau saya tidak salah Panglima Balatentara Kerajaanpun bersikap sama. Malah dia yang mula-mula sekali minta Sri Baginda mangusut istri ketiga dan puterinya itu…”
“Gajah Rimbun, kau pergilah cepat. Ingat baik-baik satu hal. Siapa saja yang akan mencelakai kedua perempuan itu aku perintahkan kau untuk membunuhnya!”
Tentu saja Gajah Rimbun terkejut mendengar kata-kata itu. “Saya siap menjalankan perintah Pangeran. Tapi jika harus berhadapan dengan orang-orang seperti Raden Kertopati Panglima Kotaraja dan Raden Mas Jayengrono Panglima Kerajaan, mana mungkin saya punya kemampuan?”
“Tak perlu kawatir. Kau akan punya kemampuan. Mendekatlah!”
Gajah Rimbun maju mendekati Pangeran Matahari. Sang Pangeran angkat kedua tangannya. Telapak kiri kanan ditempelkannya ke dada Gajah Rimbun. Mulutnya tampak berkomat-kamit.
“Sekarang kau sudah punya kemampuan Gajah Rimbun. Pergilah! Dan ingat, jangan lupa memperkenalkan siapa namamu!”
“Saya ingat Pangeran. Nama saya adalah Bajingan Dari Susukan!” jawab Gajah Rimbun.
********************
EMPAT
Ponggawa berkuda hitam itu memasuki halaman rumah besar kediaman R.A. Siti Hinggil. Sesaat dia bicara dengan perajurit yang tengah bertugas di pintu. Perajurit ini masuk ke dalam. Tak selang berapa lama dia keluar kembali dan mempersilakan ponggawa tadi masuk mengikutinya. Kedua orang ini duduk bersila di depan sebuah kasur tinggi berselimutkan permadani. Duduk menunggu tanpa ada satupun yang bicara.
Tak berapa lama kemudian istri Sri Baginda yang ketiga keluar diiringi seorang anak lelaki berusia enam tahun, berwajah cakap dan berpakaian bagus. Inilah Pangeran Sabrang, putera bungsu R.A.Siti Hinggil, adik Puji Lestari Ambarwati yang juga merupakan adik Pangeran Anom alias Pangeran Matahari. Anak ini duduk seenaknya disamping ibunya yang duduk di atas kasur tinggi.
“Kau membawa berita atau pesan dari Keraton...?” R.A. Siti Hinggil bertanya.
Ponggawa itu memberi hormat sebelum menjawab. “Betul sekali Raden Ajeng... Bisakah saya sampaikan sekarang?”
“Katakanlah…”
“Raden Ajeng dan Raden Ayu Puji Lestari diminta Patih Haryo Unggul untuk menghadap siang nanti sehabis Ba’dal Asar.”
“Apakah Patih mengatakan mengapa dia memanggil kami?”
“Tidak Raden Ajeng. Rasa rasa tentunya Raden Ajeng lebih tahu…”
“Apakah Sri Baginda mengetahui kalau kami berdua harus menghadap?”
“Sudah tahu Raden Ajeng. Justru dalam pertemuan nanti Sri Baginda akan ikut hadir,” menjelaskan ponggawa itu.
“Kalau begitu ini adalah kehendak Sri Baginda. Patih hanya dipakai sebagai penyambung lidah. Kau boleh pergi. Katakan kami berdua akan datang menghadap sehabis sembahyang Asar.”
Ponggawa itu memberi hormat lalu dengan terbungkuk-bungkuk meninggalkan tempat itu, diikuti perajurit yang tadi menemaninya. Ketika dia melangkah ke tempat kuda hitamnya ditambatkan, ponggawa itu terkejut. Di atas kuda itu tampak duduk seorang pemuda tak dikenal berkulit hitam bermuka bundar. Menyangka orang hendak mencuri kudanya, ponggawa itu segera menghunus pedangnya.
“Bangsat pencuri! Besar sekali nyalimu!” Pedang di tangan ponggawa menderu. Namun sesaat kemudian terdengar pekiknya. Bersamaan dengan pekik dan terlepasnya pedang, terdengar pula suara kraak! Ternyata tulang siku tangan kanannya remuk dihantam tendangan pemuda di atas kuda.
Perajurit di sebelahnya mengangkat tangan, siap untuk menusukkan tombaknya. Tapi diapun bernasib sama. Tombak yang hendak dihantamkannya ke perut orang patah dua dan mental ke udara begitu dilabrak tendangan pemuda di atas kuda.
“Ponggawa! Kau kembali ke Keraton! Katakan pada orang-orang di sana bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya tidak akan datang menghadap ke sana! Juga katakan jika mereka masih berani mengganggu ketentraman ibu dan anak itu, jika mereka masih menaruh curiga terhadap keduanya, mereka bakal menemui kesulitan. Bahkan kematian!”
“Kau… kau siapa…?!” bertanya si ponggawa.
“Namaku Bajingan Dari Susukan. Berani malawan kehendakku berarti minta mampus! Pergi lekas…!”
“Tapi… Kudaku…”
“Kudamu tetap di sini! Kau bisa jalan kaki…”
“Tidak bisa. Itu kuda istana. Aku harus kembali bersamanya…”
“Begitu? Baiklah! Kau boleh menungganginya. Berarti kedua kakimu tak ada gunanya!”
Pemuda di atas kuda hitam melompat turun. Begitu menjejakkan tanah dia melompati si ponggawa. Kaki kanannya menabas. Terdengar dua kali suara 'kraak'. Ponggawa itu tersungkur ke tanah, menjerit kesakitan. Kedua tulang kakinya kiri kanan patah. Dalam keadaan menjerit-jerit kesakitan, Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun angkat tubuhnya dan naikkan ke atas punggung kuda hitam. Kuda ini digebraknya, membuatnya lari kencang membawa ponggawa yang masih terus berteriak-teriak.
Suara jerit ribut-ribut di halaman membuat Siti Hinggil dan Puji Lestari keluar dari dalam gedung diikuti Pangeran Sabrang. Mereka masih sempat melihat ponggawa yang tadi menghadap terbujur melintang di atas punggung kuda yang berlari meninggalkan halaman rumah besar.
“Apa yang terjadi dengan ponggawa itu…?” bertanya Siti Hinggil.
Perajurit yang ada di tangga rumah tak berani membuka mulut. Ketika pandangan Siti Hinggil membentur Gajah Rimbun dia segera menegur, “Kau siapa?”
Gajah Rimbun menjura hormat tapi matanya sesaat mengerling pada Puji Lestari Ambarwati. Hatinya berdesir. Tak pernah dia melihat gadis secantik ini. Rambutnya yang hitam. Kulitnya yang kuning mulus. Sepasang mata yang berkilat-kilat dan tubuh yang begitu besar montok. Apakah sebenarnya hubungan Pangeran Matahari dengan kedua perempuan ini?
Hatinya benar-benar terpikat pada Puji Lestari. Jika Pangeran Matahari mengizinkan, sangat beruntung kalau dia dapat memiliki gadis ini. Tapi memiliki puteri raja? Gajah Rimbun mentertawai dirinya sendiri. Heh, apa salahnya?!
“Orang bertanya kau tak menjawab! Apakah bisu? Atau tuli?!” Yang membentak adalah Puji Lestari. Membuat Gajah Rimbun gugup.
“Saya… Ga… eh, saya Bajingan Dari Susukan…”
“Nama apa itu?!” ujar Puji Lestari. “Apa betul itu namamu?”
“Betul sekali Raden Ayu. Nama saya memang jelek…”
“Mungkin sifatmu lebih jelek!” kata Puji Lestari ketus. Sekali melihat pemuda bermuka hitam itu dia langsung merasa tidak senang.
Siti Hinggil bersikap lebih wajar. “Ada apa kau di sini. Mengapa ponggawa itu terbujur dan menjerit-jerit di atas kudanya?”
“Saya di sini menjalankan tugas, Raden Ajeng. Ponggawa itu mendapat celaka karena ulahnya sendiri!”
“Kau bukan perajurit istana atau perajurit Kerajaan. Tugas apa yang kau lakukan di sini?!”
“Menjaga keselamatan Raden Ajeng dan puteri sehubungan dengan adanya niat buruk orang-orang Keraton mencurigai Raden Ajeng berdua…”
Siti Hinggil terkejut. Puji Lestari mengerenyit. “Maksudmu apa?” bertanya Siti Hinggil.
“Maksud saya sehubungan dengan tuduhan bahwa Raden Ajeng dan Raden Ayu berdua mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari. Saya diperintahkan membunuh siapa saja yang berani menyulitkan orang-orang di rumah ini…”
“Siapa yang memerintahkanmu?” tanya Puji Lestari.
“Saya tidak berani mengatakannya, Raden Ayu,” jawab Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun.
“Siapapun kau adanya dan perintah apapun yang sedang kau jalankan, aku tidak senang melihatmu di sini. Keselamatan rumah ini adalah dalam tanggung jawab Raja…”
“Namamu saja Bajingan Dari Susukan! Siapa percaya padamu!” manyambung Puji Lestari. “Jangan-jangan kau bangsa maling atau garong yang hendak berbuat jahat terhadap kami!”
Gajah Rimbun tersenyum tawar. Dan menjawab, “Jika saya ingin berbuat jahat, sudah dari tadi dapat saya lakukan. Semudah saya membalikkan telapak tangan!” berkata pemuda itu. “Lihat apa yang ada dalam tangan saya!” katanya demikian.
Tangan kirinya yang tadi terkepal dibukanya. Siti Hinggil dan Puji Lestar sama-sama memandang ke arah tangan kiri itu. Dan keduanya sama-sama terkejut. Di atas telapak tangan si pemuda bermuka hitam mereka melihat sebuah tusuk kundai emas.
“Astaga!” Raden Ajeng Siti Hinggil berseru seraya memegang rambutnya. Tusuk kundai yang ada di tangan si pemuda adalah tusuk kundai yang sebelumnya menancap di gelungan kondenya! Bagaimana benda itu tahu-tahu berada dalam tangan pemuda ini tanpa dia melihat kapan orang mengambilnya bahkan tanpa merasa sama sekali?
“Kau punya ilmu hitam!” sentak Puji Lestari. Gajah Rimbun tersenyum.
“Saya tidak punya ilmu apa-apa, Raden Ayu,” jawab pemuda itu. Lalu mengembalikan tusuk kundai emas pada Siti Hinggil.
“Lebih cepat kau pergi dari sini, lebih baik!” kata istri Sri Baginda yang ketiga itu.
“Saya memang akan pergi Raden Ajeng. Tapi tidak terlalu jauh. Satu hal perlu diketahui. Justru Sri Baginda sendiri sangat menaruh curiga pada kalian ibu dan anak. Kalangan istana menduga keras kalian punya sangkut paut tertentu dengan Pangeran Matahari. Berniat menumbangkan tahta Raja. Ini semua gara-gara cincin milik Raden Ayu yang diberikan dan dipakai oleh Pangeran Matahari waktu menyerbu keraton tempo hari…”
“Jadi! Kalau begitu Pangeran itulah yang memerintahkanmu!” ujar Sri Puji Lestari.
“Saya tidak berani membenarkan hal itu,” jawab Gajah Rimbun.
“Katakan di mana Pangeran itu sekarang?” ujar sang dara.
“Saya tidak tahu dia ada di mana Raden Ayu. Saya ditugaskan untuk menyerahkan barang ini…” Lalu Gajah Rimbun mengeluarkan cincin emas bergambar burung rajawali pada Puji Lestari.
Dalam terkejut Puji Lestari mengambil cincin itu, mengamatinya sebentar lalu memandang pada ibunya. “Saya yakin, Pangeran Matahari yang menyuruhnya!”
Siti Hinggil mengangguk dan membuka mulut hendak menanyakan sesuatu. Tapi Bajingan Dari Susukan sudah berkelebat pergi.
********************
LIMA
Belum lama Gajah Rimbun berlalu, belum lama Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya serta Pangeran Sabrang masuk ke dalam rumah besar, serombongan orang berkuda muncul. Mereka berjumlah lima orang. Dari pakaian dan senjata yang tersisip di pinggang masing-masing jelas mereka adalah abdi-abdi atau pasukan Kerajaan.
Bertindak sebagai pemimpin seorang perwira muda bertubuh tinggi kurus yang memiliki sepasang mata sangat merah. Di kalangan pasukan dia dikenal dengan julukan Si Mata Api. Pandangannya memang angker dan ilmu silatnya cukup tinggi.
Baru saja kelima orang itu turun dari kuda masing-masing, bahkan belum sempat bicara dengan perajurit pengawal yang datang menyongsong. Gajah Rimbun tahu-tahu sudah berdiri di tangga rumah besar. Sikapnya jelas menghalangi siapa saja yang hendak masuk. Sementara itu sebuah kereta kecil kelihatan memasuki pintu halaman.
Perwira muda berjuluk si Mata Api memandang tak berkesip pada Gajah Rimbun, membuat Bajingan Dari Susukan ini tergetar juga hatinya.
“Tampangmu baru hari ini kulihat! Aku tahu pasti kau bukan perajurit Kerajaan atau pengawal gedung kediaman istri Sri Baginda! Mengapa kau berani menjual lagak kurang ajar di hadapan kami pasukan Kerajaan?!”
Gajah Rimbun seperti tak acuh. Sambil memandang ke kiri dia bertanya, “Perwira, apakah kau mencari orang bernama Bajingan Dari Susukan?”
“Bukan saja mencarinya, tapi akan mematahkan batang lehernya!” sahut Si Mata Api. “Dia telah menganiaya seorang anak buahku!”
“Ah, kalau begitu kau datang tepat pada waktunya.” Habis berkata begitu Gajah Rimbun ulurkan lehernya. “Akulah orang yang kalian cari. Silakan mematahkan batang leherku!”
“Bangsat! Memang minta mampus!” teriak Si Mata Api marah. Tapi dia tak mau turun tangan sendiri. Seraya berpaling pada empat orang anak buahnya dia berikan perintah, “Cincang keparat muka hitam ini!”
Empat buah pedang berkeresekan keluar dari sarung masing-masing lalu serentak diayunkan ke arah Gajah Rimbun. Dua menabas pundak, satu membacok kepala, satunya lagi membabat leher yang masih diulurkan!
Apa yang terjadi kemudian membuat Si Mata Api yang terkenal buas menjadi bergidik. Ketika empat buah pedang itu dilihatnya hanya tinggal sejengkal mencapai sasaran, tiba-tiba pemuda bermuka hitam gerakkan kedua tangannya. Dua buah pedang mencelat ke udara bersamaan dengan jeritan dua perajurit.
Tangan masing-masing patah dan tampak berubah menjadi hitam. Dua perajurit lagi terhempas ke tanah dan berguling-guling sambil menggerung. Tubuh mereka tampak mengeluarkan asap. Sesaat kemudian keduanya melingkar tak berkutik lagi dalam keadaan tubuh gosong seperti dibakar!
Ketika pemuda itu hendak bergerak ke arahnya, Si Mata Api cepat berseru “Tahan!”
“Eh, kau takut mampus...?” tanya Gajah Rimbun sambil menyeringai. Membuat Si Mata Api merinding.
“Jika kau menyerah hidup-hidup, hukuman atasmu akan kuperingan!”
“Kalau kau mau pergi dari sini, nyawamu akan kuampunkan!” balas Bajingan Dari Susukan.
“Kurang ajar! Kau kira aku takut padamu!” bentak Si Mata Api. Tinju kanannya menderu deras ke arah muka Gajah Rimbun. Yang diserang merunduk tapi...
"Bukkk!" Tinju yang tadi mengarah muka tahu-tahu berubah cepat menghantam dada dan mengenai dada kiri Gajah Rimbun dengan keras hingga pemuda ini terjengkang.
Melihat lawan dapat dipukul rubuh dalam satu jurus saja, Si Mata Api timbul keberanian dan rasa percaya diri. “Hanya begitu saja kehebatan keparat ini!” katanya dalam hati. Lalu dia melompat seraya kirimkan tendangan kaki kanan ke muka Gajah Rimbun. “Hancur kepalamu!” teriak Si Mata Api.
Tapi sekali ini dia kecele. Bukan kepala lawan yang hancur tapi kaki kanannya yang kena ditangkap. Sebelum dia sempat menarik kaki yang tertangkap sambil menghujamkan tumit kirinya ke dada lawan, tahu-tahu dia merasakan sekujur tubuhnya panas seperti dipanggang api. Sesaat kemudian tubuhnya terlempar ke atas.
Karena sakit, terkejut dan bingung, walaupun sudah jungkir balik agar dapat jatuh di atas kedua kakinya, namun tetap saja perwira muda itu jatuh bergedebuk, jatuh punggung di tanah. Sekujur tubuhnya tampak merah seperti terseduh. Dari mulutnya keluar suara mengerang menahan sakit yang luar biasa. Ketika dia mencoba bangkit, sebuah kaki yang kuat dan berat meninjak dadanya. Memandang ke atas ternyata pemuda bermuka hitam itu yang menginjaknya!
“Nyawamu kuampunkan! Kembali ke istana dan sampaikan pesanku pada semua orang di sana! Jangan sekali-kali mengganggu dan membuat kesulitan atas diri Raden Ajeng Siti Hinggil serta puterinya. Ibu dan anak itu tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Siapa berani mengabaikan pesanku ini akan berhadapan dengan malaikat maut! Katakan namaku adalah Bajingan Dari Susukan!”
Gajah Rimbun angkat kakinya dari atas dada Si Mata Api. Dengan menanggung sakit amat sangat perwira muda ini bangkit berdiri. Dalam keadaan seperti itu dia melihat sebilah pedang tergeletak di tanah tiga jengkal dari tangan kanannya. Secepat kilat perwira ini menyambar senjata itu, lalu sambil membalikkan tubuh dia ayunkan pedang tepat pada batasan pinggang Bajingan Dari Susukan.
“Diberi ampun malah minta racun!” rutuk Gajah Rimbun. Kaki kanannya bergerak lebih cepat melabrak dada Si Mata Api.
Tubuh perwira itu terpental bersama pedang yang terlepas dari pegangannya. Dia melingkar dekat roda kereta, mengerang beberapa kali, muntah darah lalu pingsan. Di atas kereta, kusir tua berkumis putih gemetar ketakutan setengah mati ketik Bajingan Dari Susukan melangkah mendatangi.
“Angkat tubuh perwira itu. Bawa ke istana! Jika dia mampus di perjalanan maka kau yang harus menyampaikan apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar di tempat ini! mengerti?!”
“Sa... saya mengerti...” Kusir tua cepat turun lalu mengangkat tubuh Si Mata Api dengan susah payah. Tanpa menunggu lebih lama dia segera membedal kuda penarik kereta.
Ketika Gajah Ribun melangkah meninggalkan tempat itu, di tangga rumah tampak tegak Raden Ajeng Siti Hinggil dan Puji Lestari Ambarwati.
“Lagi-lagi kau berani membuat onar di sini!” terdengar ucapan Puji Lesatri disertai air muka sangat tidak senang.
Gajah Rimbun membungkuk hormat. “Maafkan saya Raden Ayu. Bajingan Dari Susukan hanya menjalankan perintah...”
“Kau tunggulah! Orang-orang dari istana pasti akan menangkapmu hidup atau mati!”
Gajah Rimbun tersenyum. Dengan ilmu hebat yang diberikan Pangeran Matahari secara aneh, tak satu orangpun ditakutinya. Dia yakin sekali hal ini. Yang dipikirkannya justru bagaimana kalau nanti setelah Pangeran Matahari mengambil kembali kepandaiannya itu. sekali lagi pemuda bermuka bundar itu melayangkan senyumnya pada Puji Lestari, menjura dan meninggalkan tempat itu.
Ketika kusir tua menceritakan apa yang terjadi. Ruang sidang istana menjadi gempar.
“Apakah kejadian ini perlu segera diberitahu pada Sri Baginda?” tanya Raden Kertopati, Panglima Pasukan Kotaraja.
“Sebaiknya kita periksa dulu keadaan perwira itu. Mungkin dia bisa memberi keterangan lebih banyak!” menjawab Raden Mas Jayengrono, Kepala Balatentara Kerajaan.
Lalu bersama-sama Patih Haryo Unggul, diiringi belasan perwira tinggi dan perwira muda mereka meninggalkan ruangan sidang, menuju halaman istana. Ketika diperiksa ternyata perwira muda berjuluk Si Mata Api itu sudah tak bernyawa lagi.
“Melihat keadaan tubuhnya yang merah seperti terpanggang, perwira ini menemui ajal akibat ilmu kesaktian yang bukan sembarangan…” ujar Patih Haryo Unggul setelah memeriksa dengan teliti.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Kertopati.
“Siapkan selusin perwira. Bawa seratus perajurit! Kurung rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil dari jarak lima tombak!” Yang berkata adalah Raden Mas Jayengrono.
“Ada baiknya dimas Kertopati ikut berangkat ke sana…” berkata patih Kerajaan. “Salah satu dari kami akan menyusul. Jangan melakukan apa-apa sebelum kami datang...”
Maka Raden Kertopati segera jalankan perintah atasannya itu. Setelah rombongan itu pergi Patih Haryo Unggul berpaling pada Raden Mas Jayengrono dan bertanya, “Apakah Raden Mas pernah mendengar orang berjuluk Bajingan Dari Susukan itu sebelumnya?”
Yang ditanya menggeleng. Patih haryo Unggul usap-usap dagunya. “Aneh,” desisnya. “Seorang dengan julukan seperti itu, tak dikenal sebelumnya, tapi memiliki ilmu luar biasa. Bertindak sebagai pelindung dan pembela Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya... Sungguh aneh!”
“Saya rasa ada baiknya paman patih memberi tahukan Sri Baginda. Biar saya menyusul Raden Kertopati untuk melihat sampai di mana kehebatan orang itu...”
“Saya setuju hal itu,” sahut Patih Haryo Unggul. “Yang penting menyelidiki. Kita harus tahu apa hubungan Bajingan Dari Susukan ini dengan istri Sri Baginda. Ingat keterangan kusir tua itu…? Dia sempat mendengar ketika Bajingan Dari Susukan berkata bahwa dia hanya menjalankan tugas. Nah, kita harus tahu siapa di belakangnya. Siapa yang menugaskannya! Jika tidak dapat dari orangnya langsung, istri Sri Baginda itu pasti mengetahui…”
“Saya berangkat sekarang Paman patih...”
“Pergilah. Walaupun manusia itu tidak terkenal, tapi jangan Raden Mas menganggapnya enteng. Saya lebih suka kalau dia dapat ditangkap hidup-hidup...”
“Itu memang keinginan saya paman patih,” jawab Raden Mas Jayengrono. Namun dalam hatinya diapun punya keinginan untuk menyaksikan bahkan hendak menjajal sampai di mana kehebatan manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai Bajingan Dari Susukan itu.
********************
ENAM
Ketika Kepala Balatentara Kerajaan Raden Mas Jayengrono sampai di tempat kediaman istri Raja yang ketiga maka dia menyaksikan satu pemandangan luar biasa. Halaman rumah yang cukup luas itu dikurung rapat oleh puluhan perajurit. Sekitar enam perajurit, dua perwira muda dan seorang perwira tinggi tampak tergeletak di tanah.
Kebanyakan dari mereka sudah tak berkutik lagi alias mati. Yang masih hidup terdengar mengerang megap-megap tanda umurnya pun tak bakal lama. Rata-rata mereka menderita patah tulang tangan atau kaki, atau hancur tulang-tulang iganya. Yang menemui kematian rata-rata kelihatan kehitaman kulit tubuhnya, seperti hangus dipanggang api.
Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Lestari dan Pangeran Sabrang tegak di tangga rumah, menyaksikan Raden Kertopati yang dibantu oleh seorang perwira tinggi dan tiga orang perwira muda mengeroyok seorang pemuda berkulit hitam, berwajah bundar. Melihat pada ilmu silat yang dimainkan pemuda tak dikenal ini, jelas dia tidak memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Bahkan boleh dikatakan hampir tak ada sama sekali jurus-jurus ilmu silat yang dimainkannya.
Akan tetapi, setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan deru angin tanda dia memiliki tenaga dalam yang kuat. Dan setiap dia menggerakkan tangan dan kakinya, para pengeroyok cepat bertindak mundur atau menyelamatkan diri. Yang terlambat kalau tidak menemui ajal pastilah cidera berat!
Beberapa kali Jayengrono melihat para pengeroyok berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke tubuh pemuda itu. Namun seperti kebal pukulan, si pemuda seolah-olah tidak merasakannya. Dia terus merangsak menyerang para pengeroyoknya.
Ada satu hal yang sempat diperhatikan Kepala Balatentara Kerajaan itu. betapapun hebatnya tenaga dalam dan berbahayanya setiap gerakan tangan atau kaki si pemuda namun dia tidak memiliki nafas yang panjang. Dadanya turun naik, tenggorokannya bergerak-gerak dan hidungnya mengembang-kempis tanda nafasnya mulai memburu.
“Hentikan pertempuran!” Tiba-tiba Raden Mas Jayengrono berteriak keras.
Pihak Kerajaan yang mengenali suara Kepala Balatentara itu segera berhenti menyerang. Masing-masing melompat dua langkah ke belakang. Mereka semua memandang dengan heran pada Raden Mas Jayengrono.
“Ada apakah? Mengapa kangmas menghendaki perkelahian ini dihentikan...?” bertanya Kertopati. Tubuhnya tampak mandi keringat tanda tenaganya terkuras.
“Biarkan aku bicara dulu dengan pemuda berkulit hitam itu,” jawab Jayengrono. Lalu dengan suara lebih perlahan hingga hanya Kertopati yang mendengar, dia menegur. “Bukankah Patih sudah memberi ingat. Jangan melakukan apa-apa sebelum salah satu dari kami datang ke tempat ini?”
“Saya ingat sekali pesan itu kangmas. Tapi pemuda itu tiba-tiba muncul dan mengusir kami dari tempat ini...” menjawab Kertopati.
Jayengrono berdehem beberapa kali lalu palingkan kepalanya ke arah Gajah Rimbun. “Kau orangnya yang bernama Bajingan Dari Susukan?” tanya Kepala Balatentara Kerajaan dari atas punggung kuda.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan mengangguk. Dia tegak di tengah kalangan dengan sikap pongah sambil bertolak pinggang. Dengan tenang meskipun hatinya mulai jengkel, Jayengrono kembali bertanya,
“Mengapa kau membuat keonaran di tempat kediaman istri Sri Baginda?”
“Bukan aku yang membuat keonaran tapi kalian yang datang menimbulkan kerusuhan” sahut Bajingan Dari Susukan.
“Namamu cocok dengan sifatmu! Kau pandai bersilat lidah! Apa hakmu melarang abdi Kerajaan yang diperintah Raja untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil?” bertanya Jayengrono dengan mata melotot.
“Raja menyuruh menyelidik istrinya sendiri! Ini adalah aneh!” tukas bajingan Dari Susukan. “Jika kalian hendak menyelidik orang lain, mengapa Raden Ajeng dan puterinya yang kalian curigai?!”
“Karena cincin emas milik Raden Ayu Puji Lestari dipakai oleh seorang pengacau mengaku bernama Pangeran Matahari! Kalau tak ada sangkut paut dengan orang itu mana mungkin cincin tersebut ada padanya? Raden Ayu telah memberikannya karena ada hubungan tertentu! Bukan begitu...?” Jayengrono berkata sambil berpaling dan memandang tajam pada Puji Lestari Ambarwati, membuat gadis ini sesaat gugup dan pucat wajahnya.
Saat itu terdengar suara Bajingan Dari Susukan kembali. “Sungguh kecurigaan keji! Menuduh tanpa bukti! Raden Ayu perlihatkan bahwa cincin itu tak pernah kau berikan pada siapapun!”
Puji Lestari ulurkan tangan kirinya. Pada jari manis tangan kiri sang puteri kelihatan cinicn emas bergambar burung rajawali melingkar di jari manisnya.
Sesaat Raden Jayengrono jadi terpaku. Penuh heran tak mengerti. Bagaimana cincin yang beberapa waktu lalu jelas dilihatnya berada di tangan Pangeran Matahari kini tahu-tahu sudah ada lagi di jari Raden Ayu Puji Lestari. Padahal beberapa hari lalu ketika ditanya, sang puteri tidak dapat memperlihatkan benda itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres di sini!” ujar Jayengrono. Dia memandang berkeliling lalu memerintah, “Tangkap pemuda ini!”
Teriakan ini membuat beberapa orang yang ada di sekeliling Bajingan Dari Susukan segera melompat menyerbu. Mereka adalah Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja, tiga orang perwira muda dan dua orang perwira tinggi. Dalam waktu sekejapan saja pemuda berkulit hitam itu sudah dilanda hujan serangan. Bukan serangan biasa tapi serangan mengandung tenaga dalam tinggi. Jangankan manusia, seekor kerbau besarpun akan babak belur dihantam pukulan dan tendangan orang-orang itu.
Terdengar suara gedebak-gedebuk ketika tinju dan kaki mendarat di tubuh Bajingan Dari Susukan. Tubuhnya terbanting kian kemari. Tapi anehnya dia seperti tidak merasakan apa-apa. Jangankan menjerit, meringis pun tidak.
Melihat kejadian ini dengan beringas Raden Kertopati merangsak ke depan, lancarkan serangan-serangan dalam jurus-jurus ganas. Raden Mas Jayengrono tampak tertegun. Hampir tak pernah dilihatnya bawahannya itu menggempur lawan seperti itu. Kenyataannya memang Bajingan Dari Susukan dibuat terpental dan bergulingan di tanah sewaktu kaki kanan Raden Kertopati tepat menghantam lambungnya.
Belum sempat bangun, dua perwira muda dan dua perwira tinggi berkelebat berebut cepat mengirimkan serangan. Kalau tidak mati dalam keadaan mengerikan pastilah pemuda berkulit hitam itu akan menderita luka parah dan cacat seumur hidupnya. Demikian orang-orang yang ada di tempat itu memastikan. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang terkejut bahkan Jayengrono keluarkan seruan tertahan.
Didahului bentakan keras tubuh Bajingan Dari Susukan melesat setinggi satu tombak. Tangan dan kakinya bergerak. Empat perwira Kerajaan yang tadi menggempurnya mental berpelantingan. Masing-masing keluarkan jeritan mengerikan. Tubuh keempatnya kemudian jatuh ke tanah tak berkutik kagi dalam keadaan hangus hitam!
“Manusia ini bukan saja memiliki kekebalan tapi kesaktian mematikan...” Desis Raden Mas Jayengrono sementara Raden Kertopati tegak tak bergerak dengan muka pucat!
“Pembunuh biadab! Siapa kau sebenarnya?!” membentak Jayengrono.
“Sudah diberitahu masih saja bertanya! Bukankah lebih baik kalian pergi semua dari tempat ini dan jangan ganggu Raden Ajeng Stiti Hinggil serta puterinya!”
“Kentut busuk!” maki Jayengrono. Memandang pada keadaan mayat yang hangus hitam itu, Kepala Balatentara Kerajaan ini tiba-tiba saja ingat sesuatu dan curiga besar. Ketika beberapa waktu lalu Pangeran Matahari menyerbu istana, lawan-lawan yang mati di tangannya pun mengalami nasib seperti keempat perwira itu. mati dengan tubuh hangus hitam seperti dipanggang. Ilmu pemuda mengaku Bajingan Dari Susukan ini serupa dengan yang dimiliki Pangeran Matahari. Maka Jayengronopun kembali membentak, “Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
“Masih saja mengajukan pertanyaan! Jika kalian tidak cepat minggat dari sini, jangan menyesal kalau cuma arwah kalian yang meninggalkan tempat ini!” Berkata Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun sambil menyeringai dan berkacak pinggang.
“Sombong dan menghina sekali!” kertak Jayengrono yang saat itu masih duduk di atas punggung kudanya. Dia berpaling pada Raden Kertopati dan berkata memberi perintah “Dimas, tangkap keparat itu hidup atau mati!”
Menerima perintah seperti itu Kepala Pasukan Kotaraja itu menjadi agak terkesiap. Melihat kehebatan pemuda kulit hitam hatinya jadi meragu apakah kepandaian silat dan kesaktiannya akan mampu menghadapi orang itu.
Melihat bawahannya itu tidak bergerak dari tempatnya Jayengrono cabut keris berhulu gading gajah di pinggangnya dan melemparkan senjata ini pada Raden Kertopati seraya berkata,
“Pergunakan Kiyai Gajah Putih ini! Masakan tubuhnya tidak akan tertembus sekalipun dia punya kesaktian seperti malaikat!”
Kiyai Gajah Putih adalah sebilah keris berhulu gading berbadan putih karena terbuat dari perak yang diramu dengan sejenis racun jahat berwarna putih. Senjata sakti mandraguna ini didapat Raden Mas Jayengrono dari gurunya almarhum. Untuk mendapatkan keris itu Jayengrono harus menempuh ujian sangat berat. Yaitu berpuasa selama 100 hari dengan hanya minum air embun yang ada di dedaunan serta hanya sekepal nasi putih setiap malam Jum’at.
Setelah itu dia harus pula bersamadi di tujuh tempat selama 7 hari untuk setiap tempat. Ketika sang guru menyerahkan keris itu kepadanya, disebutkan pula satu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh Jayengrono setelah memiliki senjata itu yakni larangan menggauli perempuan yang bukan istrinya alias berzina.
Raden Kertopati menyambut Kiyai Gajah Putih yang dilemparkan Jayengrono kepadanya. Jelas dia tak bisa berbuat lain maka Kepala Pasukan Kotaraja ini segera mencabut senjata itu. Begitu keris keluar dari sarungnya memancarlah cahaya putih. Cahaya ini menjadi lebih terang karena saat itu matahari hampir tenggelam dan udara mulai gelap.
Sesaat Bajingan Dari Susukan merasa keder juga melihat cahaya angker keris di tangan Kertopati. Namuan dia begitu yakin akan kehebatan ilmu titipan yang diberikan Pangeran Matahari padanya. Maka dengan tetap berkacak pinggang, pemuda berkulit hitam ini sunggingkan seraingai mengejek.
“Kalau kau memang hendak mencoba kehebatan keris butut itu, mengapa tidak lekas menyerang?!”
Jayengrono panas sekali hatinya mendengar keris saktinya diejek dan dilecehkan begitu saja oleh Bajingan Dari Susukan. Dia berteriak marah “Dimas! Lekas bunuh bangsat itu!”
Maka Kertopati pun melompat menyergap lawannya sambil tikamkan Kiyai Gajah Putih. Sinar putih berkiblat disertai desingan angin. Bajingan Dari Susukan berkelit sambil menuju ke depan. Gerakannya menjotos terasa seperti tertahan oleh angin yang datang menyambar dari badan keris. Maka dia ganti pergunakan kaki untuk menendang kaki musuh. Kertopati melompat sambil tikamkan keris di tangan kanannya sekali lagi. Kali ini ke arah tenggorokan lawan.
"Bukkk...!"
Tendangan Bajingan Dari Susukan meskipun agak meleset masih sempat menghajar betis kanan Raden Kertopati hingga orang ini kehilangan keseimbangan, limbung dan jatuh tersungkur. Walaupun tusukan keris ke arah tenggorokan meleset namun dalam jatuhnya Raden Kertopati masih berkesempatan membabatkan Kiyai Gajah Putih ke arah kedua kaki lawan.
"Breettt...!"
Kaki celana kiri Bajingan Dari Susukan robek besar. Salah satu bagian pahanya tergurat ujung keris. Untuk pertama kalinya terdengar suara pekik kesakitan keluar dari mulut Bajingan Dari Susukan. Meskipun pahanya hanya tergurat sedikit dan sama sekali tidak mengeluarkan darah namun tubuhnya terasa menjadi sangat dingin hingga gigi-giginya bergemeletakan.
“Celaka! Apakah kesaktian yang diberikan Pangeran Matahari tidak sanggup menghadapi keris putih itu?!” Bajingan Dari Susukan merasa khawatir sekali. Rasa kecut membayangi hatinya. Apakah dia akan terus berkelahi di situ atau sebaiknya pergi saja, kembali dan melapor pada Pangeran Matahari?
Sementara itu Raden Kertopati yang tadi terjatuh berusaha bangun. Alangkah kagetnya Kepala Pasukan Kotaraja ini ketika mendapatkan dirinya tak sanggup lagi bangkit. Disingsingkannya kaki celananya. Betisnya yang tersingkap kelihatan menghitam. Pucatlah paras Kertopati. Dia cepat menotok pangkal paha dan bagian dada di dekat jantung untuk mencegat aliran racun jahat. Lalu masih dengan menggenggam keris Kiyai Gajah Putih di tangan Kepala Pasukan Kotaraja ini gulingkan tubuh menajuhi Bajingan Dari Susukan. Beberapa orang perwira segera menolongnya dan menggotongnya ke dekat tangga rumah besar.
Menyaksikan kejadian itu Raden Mas Jaengrono melompat urun dari kudanya. Dia akan turun tangan sendiri untuk menghajar Bajingan Dari Susukan. Namun di saat yang sama pula pemuda berkulit hitam itu sudah melompat dari kalangan pertempuran. Berkelebat ke arah pintu halaman.
“Tangkap! Jangan biarkan dia lari!” teriak Jayengrono seraya mengangkat tangan kanan untuk menghantam dengan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun serangan ini terpaska di batalkan karena belasan perajurit dan para perwira saat itu telah berserabutan mengejar Bajingan Dari Susukan hingga menutup alur pukulan. Kalau diteruskan hanya akan mencelakai orang-orang sendiri.
Jayengrono semakin gemas dalam hati. Terlebih lagi ketika kemudian dilihatnya di depan sana perajurit-perajurit dan para perwira yang berusaha menangkap Bajingan Dari Susukan terlempar dan rubuh ke tanah. Empat di antaranya menemui ajal dengan tubuh menghitam hangus!
“Manusia laknat!” kertak Jayengrono. Karena tak bisa berbuat lain akhirnya Kepala Balatentara Kerajaan ini melangkah cepat ke langkan rumah besar. Saat itu Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Puji Lestari dan Pangeran Sabrang masih berada di sana.
“Raden Ajeng,” tegur Jayengrono seraya membungkuk. “Izinkan saya bicara denganmu di dalam.”
Lalu tanpa menunggu jawaban orang Jayengrono mendahului memasuki rumah besar, langsung menuju ke sebuah ruangan berpintu kayu berukir-ukir di mana biasanya dipakai Sri Baginda beristirahat bilamana sedang mengunjungi istrinya yang ketiga ini.
Sewaktu Bajingan Dari Susukan melarikan diri dikejar oleh para perajurit dan perwira Kerajaan, di pinggir jalan, di seberang rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil, terlindung di balik kerapatan pohon-pohon bambu tampak dua orang pemuda secara diam-diam menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka.
Pemuda pertama berpakaian serba putih, berambut gondrong. Sesekali tampak dia menggaruk-garuk kepala, entah gemas melihat pertempuran yang tengah berlangsung entah memang kepalanya gatal. Kawan di sebelahnya seorang pemuda bertampang cakap, berbadan langsing berambut pendek dan mengenakan pakaian warna abu-abu.
“Bagaimana, kita tangkap pemuda bermuka bundar itu?” bertanya si abu-abu ketika melihat Bajingan Dari Susukan hendak melarikan diri.
“Enggg...” si gondrong garuk-garuk kepalanya sesaat. “Aku punya rencana lain,” katanya kemudian. “Ingat, tadi kita sudah sama menduga, pemuda itu memiliki ilmu aneh. Keanehan itu dapat dihubungkan dengan ilmu kesaktian Pangeran Matahari. Setiap lawan yang mereka bunuh, menemui kematian dengan cara sama. Tubuh hangus hitam. Kalau kita tangkap dia sekarang, berarti kita tidak dapat mengetahui sumber semua keanehan ini. Jika benar dia ada sangkut paut dengan Pangeran sialan itu, berarti kita tidak dapat mencari jejaknya. Justru inilah kesempatan paling baik untuk mencari tahu di mana biang kerok itu berada lalu membekuknya!”
“Lalu, apa yang ada di benakmu?” tanya si abu-abu.
“Aku akan menguntit si hitam muka bundar itu...”
“Kalau cuma itu serahkan saja padaku...”
“Tidak. Kau harus menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan bicara dengan Jayengrono...” Menyahuti pemuda gondrong.
“Aku kawatir kalau-kalau Jayengrono dapat menerka siapa aku sebenarnya. Maksud menolong bisa jadi berantakan. Lagi pula sejak aku memutuskan untuk tidak kembali mengabdi pada Sri Baginda aku akan merasa kikuk menghadapi orang-orang itu. Kau saja yang bicara dengan mereka. Aku biar menguntit si hitam bernama Bajingan Dari Susukan itu... Lagi pula aku masih punya hutang piutang yang harus aku selesaikan dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si hitam tadi memang benggolan cecunguknya!”
“Kalau itu sukamu baiklah. Tapi bagaimana aku nanti mencari dan menyusulmu...?” Tanya si gondrong sambil memegang bahu pemuda berpakaian abu-abu.
“Nah, tanganmu lagi-lagi menggerayang seenaknya. Ingat, aku bukan lelaki sepertimu...!” Pemuda berpakaian abu-abu itu mengomel cemberut sambil menepiskan tangan yang memegang bahunya.
Si gondrong tertawa geli. “Aku lupa! Seharusnya kau tidak menyamar seperti ini sahabat! Bangsat itu sudah lari jauh, bagaimana aku menyusul dan mencarimu?”
“Gampang saja! Aku akan mematahkan ranting-ranting pepohonan yang kulalui...”
“Kau cerdik! Pergilah. Tapi hati-hati...!” Dan si gondrong ini kembali lupa. Sambil menyuruh pergi tangannya menepuk pantat pemuda bertubuh ramping itu.
“Brengsek!” teriak si pemuda berpakaian abu-abu.
TUJUH
Raden Mas Jayengrono menunggu sampai Raden Ajeng Siti Hinggil duduk dikursi besar lalu menutup pintu ruangan. Hanya mereka berdua saja ada di tempat itu. Di ruangan itu masih terdapat beberapa buah kursi namun Kepala Balatentara Kerajaan itu memilih berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap wajah Siti Hinggil hingga akhirnya perempuan ini menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah.
“Ada apakah saya dibawa ke ruangan ini?” terdengar kemudian suara Siti Hinggil, perlahan tapi cukup jelas.
“Saya hanya ingin jawaban jujur,” berkata Jayengrono. “Apa hubungan Raden Ajeng dengan orang bernama Pangeran Matahari itu? Lalu mengapa sampai ada seorang pemuda yang muncul serta bertindak selaku pelindung Raden Ajeng dan anak-anak...”
“Sebelum saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan lebih dahulu...” Kata Siti Hinggil pula yang membuat Raden Mas Jayengrono agak terkejut.
“Apa pertanyaan itu?”
“Betul Raden Mas yang telah mengambil langkah untuk mencurigai kami anak beranak serta melakukan pengusutan?”
“Saya hanya menjalankan tugas, Raden Ajeng. Demi keselamatan kita semua. Demi keselamatan Kerajaan...”
Siti Hinggil tersenyum lalu menggelengkan kepala. “Saya tahu apa sebab sebenarnya...”
“Hemmm...” Raden Mas Jayengrono mengusap dagunya.
“Raden Mas mendendam kepada saya...”
“Apa yang perlu kudendamkan Raden Ajeng?”
“Karena sejak Pangeran Anom lahir saya tidak mau lagi mengikuti keinginan Raden Mas...”
“Kau keliru Siti...” Tiba-tiba saja Jayengrono menyebut nama istri Sri Baginda itu secara langsung.
Dan anehnya Siti Hinggil pun melakukan yang sama. “Tidak Jayeng. Saya tidak keliru. Saya tahu benar hatimu...”
“Jika kau tahu mengapa kau bersikap lain...?”
Air muka Siti Hinggil nampak redup menggelap. Kedua matanya berkaca-kaca. “Apakah tidak cukup kita membuat kesalahan dengan melahirkan Puji Lestari dan Pangeran Anom? Apakah kita akan menambah dengan satu jiwa manusia lagi, lagi dan lagi? Bukankah saya katakan saya sudah bertobat dan tak akan mengulanginya lagi yaitu setelah Anom lahir? Juga bukankah sebulan setelah Anom lahir kau mendapatkan keris sakti itu dan harus mematuhi larangan untuk tidak menggauli perempuan lain selain istrimu...”
Jayengrono diam sejenak. Kemudian jawabnya, “Kau tahu istri tunggalku selain sakit-sakitan dan aku tidak punya selir atau istri peliharaan. Semua itu karena aku masih mengharapkan kau dan hubungan kita kembali seperti dulu. Delapan belas tahun aku menunggu Siti. Delapan belas tahun aku tak pernah merasakan kehangatan kasih sayang dan tubuhmu seperti dulu...”
“Saya sudah bertobat Jayeng dan kau punya larangan. Cukup hubungan kita yang berlumuran dosa itu hanya menghasilkan Puji dan Anom. Jangan ditambah lagi...”
“Persetan dengan larangan itu Siti! Apakah kau menyuruh aku harus meracun Sri Baginda agar dapat menikah dan memilikimu secara syah...?"
“Kau akan terkutuk dunia akhirat jika kau melakukan itu Jayeng!”
“Kalau begitu... berarti apa yang kuinginkan lebih baik dari pada membunuh Sri Baginda dan mengambilmu jadi istri...”
“Keduanya sama-sama besar dosanya. Sekalipun kau membunuh Sri baginda, tidak akan aku mau diperistrikan olehmu! Pembunuh dari suami anak-anakku!”
“Puji dan Anom bukan anakmu dan anak Raja! Tapi anak kita!” ujar Jayengrono dengan mata membesar.
“Saya ingin keluar dari ruangan ini Jayeng. Bukakan pintu itu...” kata Siti Hinggil sambil bergerak bangkit dari kursi.
Tapi Jayengrono memberi isyarat agar dia duduk kembali. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi!”
“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Juga tidak tahu mengapa ada pemuda yang muncul mengaku hendak melindungi kami...”
“Siti, jangan dusta! Sangat jelas ceritanya bagiku! Cincin emas bergambar burung rajawali milik puterimu, milik anak kita pernah terlihat dipakai Pangeran Matahari waktu keparat itu menyerbu Istana! Setelah sekian lama lenyap tahu-tahu cincin itu dikabarkan berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin hal itu bisa terjadi!”
Siti Hinggil duduk terpaku di kursinya. “Sebaiknya kukatakan saja bagaimana kejadiannya...?” Hati kecil perempuan ini bertanya-tanya. Namun sebelum dia sempat membuka mulut, di hadapannya Raden Mas Jayengrono melangkah mendekati dan berkata setengah berbisik seraya merunduk.
“Dengar Siti. Aku sudah mengatur satu rencana hingga kita bisa berhubungan seperti dulu tanpa satu orang pun tahu atau curiga, termasuk Sri baginda...”
Siti Hinggil tercengang mendengar kata-kata Jayengrono itu. “Apa maksudmu Jayeng?”
“Kau akan kutangkap dan dimasukkan dalam kamar penyekapan di salah satu bagian istana. Di situ aku telah membuat sebuah pintu rahasia hingga bisa keluar masuk tanpa ada yang mengetahui. Kita bisa bertemu setiap saat. Kita bisa melakukan apa yang dulu pernah kita lakukan delapan belas tahun lalu. Bukankah ini yang sama-sama kita tunggu Siti? Delapan belas tahun! Gila! Waktu yang sangat lama!”
“Tidak!” Siti Hinggil bangkit dari kursi besar. Wajahnya menyatakan perasaan hatinya yang sangat marah. “Aku sudah bertobat! Apapun yang terjadi aku tidak akan mengulang perbuatan terkutuk itu lagi! Yang sudah ya sudah! Cukup kita mempunyai dua orang anak haram. Puji dan Anom...”
“Tapi sekali ini kita tak perlu menjalin hubungan yang menghasilkan keturunan!”
“Keluarlah dari ruangan ini!” ujar Siti Hinggil dengan suara mendesis.
“Kalau begitu aku betul-betul akan menyuruh tangkapmu! Dengan tuduhan mempunyai hubungan dengan perusuh dan pembunuh bernama Pangeran Matahari itu!”
“Kau boleh melakukan apa saja. Aku tidak takut!" jawab Siti Hinggil.
Ketika dia hendak melangkah ke pintu tiba-tiba dari luar terdengar pintu diketuk. “Panglima Jayengrono harap segera keluar untuk memberikan pertolongan!”
“Keparat!” maki Jayengrono dalam hati. Seperti hendak ditendangnya pintu itu berikut orang yang ada di luar karena geramnya. Namun mau tak mau dia terpaksa membuka pintu seraya membentak, “Ada apa berani mengganggu kami yang sedang melakukan pembicaraan penting?!”
Perwira muda yang tegak di depan pintu dengan muka pucat ketakutan cepat membungkuk. “Raden Kertopati gawat. Racun pukulan Bajingan Dari Susukan agaknya tak terbendung oleh totokan. Darah mulai keluar dari hidung, telinga dan mulutnya!”
“Lalu kalau sudah begitu apa kau kira aku bisa menolong?! Apa kau kira aku dukun patah ahli pengobatan?!” sentak Jayengrono.
Perwira muda itu semakin ketakutan. “Maafkan saya Panglima. Saya hanya melapor karena kawatir...”
“Di mana dia sekarang?”
“Masih terbaring di tangga depan...”
“Pergilah! Aku akan menyusul ke sana!” kata Jayengrono. Setelah perwira muda itu berlalu Jayengrono berpaling ada Siti Hinggil. “Kau tak ingin merubah keputusanmu?”
“Tidak.” Jawab Siti Hinggil. “Sekalipun kepalaku kau pancung!”
“Hatimu terlalu keras. Mana cinta kasih yang dulu selalu kau berikan untuk kehangatan kita berdua...?”
“Masa lalu tak perlu diungkit dan tak akan terulang lagi. Apa masih belum jelas bagimu Jayeng?”
“Kau akan menyesal Siti...”
“Mudah-mudahan tidak!” habis berkata begitu Siti Hinggil melangkah keluar pintu.
Marah dan jengkel Raden mas Jayengrono meninggalkan ruangan itu menuju serambi rumah. Dalam hati dia merutuk. “Mengapa si Kertopati itu tidak mampus saja! Kalau tidak oleh keadaannya mungkin aku masih bisa membujuk perempuan itu. Ah Siti... Delapan belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak terlalu cepat untuk mengikis cinta gelap kita”
Sewaktu Jayengrono sampai di tangga depan rumah besar itu dia terkejut mendapatkan seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah duduk bersimpuh di samping tubuh Kertopati yang tergeletak di lantai serambi, dekat tangga. Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan tertimpa cahaya sang surya yang hendak tenggelam. Salah satu mata kapak ditempelkannya di betis Kertopati yang berwarna hitam seperti hangus yakni akibat tendangan Bajingan Dari Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam keadaan pingsan.
“Hai! Siapa kau! Apa yang kau lakukan?!” hardik Jayengrono. Dalam kemarahan dia tidak sempat mengingat atau mengenali pemuda gondrong itu.
Yang ditanya karena sedang berusaha mengobati Kertopati dengan menghimpun kekuatan tenaga dalam dan mengosongkan pikiran dari segala cipta dan rasa tentu saja tidak menjawab.
Hal ini membuat Jayengrono menjadi tambah marah. Sambil menggereng dia ulurkan tangan untuk menjambak rambut pemuda itu. Rambut itu berhasil disentuhnya. Namun jari-jari tangannya terasa panas dan dia tak mampu menggerakkan apalagi menyentak menjambak. Perlahan-lahan Jayengrono lepaskan jambakannya.
DELAPAN
Pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih yang duduk bersila dengan menempelkan kapak berkilat ke betis Raden Kertopati nampak menggigil sekujur tubuhnya ketika dia mengerahkan tenaga dalam untuk mulai menyedot racun jahat mematikan yang telah menjalari sebagian tubuh Kepala Pasukan Kotaraja itu. Butir-butir keringat memercik ke keningnya sebesar-besar jagung.
Perlahan-lahan, mata kapak yang tadi berkilat tampak meredup oleh cairan darah kehitaman yang tersedot keluar dari betis Kertopati. Si gondrong terengah-engah napasnya namun dia terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menyedot hingga semakin banyak darah hitam yang keluar. Ketika darah hitam berangsur-angsur berubah menjadi merah, pertanda racun maut yang mendekam di tubuh Kertopati telah tersedot keluar semuanya maka si pemuda memperkendur sedotan tenaga dalamnya.
Sepasang kaki Kertopati tampak bergerak. Sedotan yag dilakukan si pemuda sekaligus telah memusnahkan dua totokan yang dibuat sendiri oleh Kertopati. Kepala Pasukan Kerajaan ini terdengar mulai mengerang pertanda telah sadarkan diri meski kedua matanya masih tertutup.
Ketika si gondrong mengangkat kapaknya dan meniupnya, secata aneh noda darah hitam pada mata kapak itu sirna sementara Kertopati telah pula membuka sepasang matanya. Sesaat dia menatap wajah si gondrong, lalu memandang berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang terjadi, mengapa dia berada dalam keadaan terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah memejamkan mata beberapa ketika dan memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai dapat menduga apa yang dialaminya.
“Kau...” desisnya ketika kembali matanya memandang wajah pemuda berambut gondrong.
Yang ditegur menyeringai dan menyisipkan senjatanya ke pinggang. Saat itu Raden mas Jayengrono melangkah berputar hingga dia dapat melihat wajah si pemuda dengan jelas.
“Bukankah kau yang beberapa hari lalu bersama kawanmu membantu kami orang-orang Kerajaan menghadapi Pangeran Matahari...?” Jayengrono menegur.
“Ah, kau masih ingat pada kami Raden Mas...” menyahuti si pemuda.
Raden Kertopati dengan bantuan dua orang perwira bangkit dan bersila di lantai serambi. “Pendekar 212... Kau muncul lagi menyelamatkan diriku. Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih...”
Si gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng kembali menyeringai. “Jangan berterima kasih pada saya, semua adalah atas keredohan Yang Maha Kuasa”
Kertopati hanya bisa geleng-gelengkan kepala. “Kau dulu pergi secara diam-diam dalam kabut asap sewaktu istana terbakar. Kini kau muncul secara aneh. Jangan-jangan kaupun sebenarnya ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari...”
Yang bicara adalah Raden Mas Jayengrono. Entah dari mana Kepala Balatentara Kerajaan ini mempunyai jalan pikiran seperti itu hingga mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang yang ada di situ. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede sendiri dicurigai seperti itu tetap duduk bersila dan tenang, malah masih sunggingkan senyum.
“Raden Mas, orang telah menolong kita, mengapa menuduh yang tidak pada tempatnya?” menegur Raden Kertopati
“Pertolongan bisa saja menyembunyikan sesuatu!” jawab Jayengrono. “Banyak masalah yang harus kuusut. Soal hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum tuntas. Kini muncul pemuda ini dengan masalah baru. Sebaiknya kita berjaga-jaga dimas Kertopati!” lalu tiba-tiba sekali Kepala Balatentara Kerajaan itu menusukkan dua jari tangannya ke arah dada kiri Pendekar 212.
Wiro Sableng cepat menangkis. Tapi totokan Jayengrono mendarat di dadanya lebih dulu hingga tak ampun lagi tubuhnya menjadi kaku kejang. Seharusnya jalan suaranyapun ikut tertutup. Namun karena gerakan menangkisnya tadi, totokan Jayengrono hanya sempat membuat auratnya saja yang kaku sedang jalan suara masih membuka.
“Jadi begini balasan kalian orang-orang Kerajaan...?!” Wiro Sableng keluarkan ucapan. “Sungguh kalian manusia-manusia tidak berbudi!”
“Raden Mas, saya minta pemuda itu dibebaskan...” Yang bicara adalah Raden Kertopati sementara semua orang yang ada di tempat itu sama tidak mengerti mengapa Jayengrono menotok pemuda gondrong yang telah menyelamatkan jiwa Raden Kertopati.
“Serahkan saja urusan ini padaku dimas. Kau harus istirahat agar kesehatanmu pulih kembali. Jika dia ternyata memang tidak menyembunyikan niat jahat terhadap kita, pasti akan kubebaskan. Aku ada satu pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau muncul bersama kawanmu pemuda langsing berpakaian abu-abu itu. Di mana dia sekarang?”
“Dia justru menguntit pemuda kulit hitam yang kabur itu!” jawab Wiro polos. “Nah, apa kataku. Temanmu itu bukan menguntit mungkin sakali tengah menolongnya dari luka akibat goresan Kiyai Gajah Putih!”
“Heran, bagaimana orang sepertimu punya pikiran buruk dan picik seperi itu!” tukas Wiro Sableng yang membuat wajah Jayengrono bersemu merah.
Dia lalu cepat-cepat memberi perintah pada orang-orangnya untuk menaikkan pendekar itu ke atas punggung seekor kuda. Dia juga memerintahkan para bawahannya untuk menangkap Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Di atas punggung kuda, dalam keadaan tertotok Pendekar 212 Wiro Sableng terdengar keluarkan ucapan.
“Bawa pemuda itu!” teriak Jayengrono pada bawahannya.
Sesaat setelah kuda yang membawa Pendekar 212 berlalu, Kepala Balatentara Kerajaan ini masih tegak termangu. “Apa maksud keparat itu dengan tembok ruangan punya seribu telinga...?” dia membatin dalam hati, namun tak bisa menjawab ataupun menduga.
Di dalam ruangan batu yang terletak di bawah tanah pada ujung timur kawansan istana, Pendekar 212 Wiro Sableng tergeletak di atas lantai dingin berlumut. Dia merasa bersyukur karena Jayengrono tidak merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggangnya. Berkali-kali dia mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam merutuk habis-habisan perbuatan panglima Balatentara Kerajaan itu, Wiro tenggelam dalam satu kekawatiran yang amat sangat.
Seperti dituturkan di muka, antara dia dan pemuda berpakaian kelabu sahabatnya itu telah diatur rencana. Wiro akan menolong Raden Ajeng Siti hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari dari tuduhan Jayengrono sedang si kelabu akan menguntit pemuda berkulit hitam (Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik siapa pemuda itu sebenarnya dan kemana dia melarikan diri.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yang berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi telah dijelaskan bahwa pemuda berbaju kelabu itu bukan lain adalah seorang gadis jelita berkepandaian tinggi bernama Ni Luh Tua Klungkung. Selama beberapa tahun dia menyamar sebagai seorang nenek yang selalu mengenakan pakaian biru dan mengabdi pada Kerajaan.
Sampai pada suatu hari dia menjadi putus asa ketika dirinya dikalahkan oleh Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung rasa malu dan merasa tak layak kembali mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh Tua Klungkung terbujuk oleh hasutan setan, menjadi mata gelap dan hampir bunuh diri jika tidak tertolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Keduanya kemudian jadi bersahabat.
Keadaan sahabatnya inilah yang sangat dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh Tua Klungkung menguntit dan mengejar Bajingan Dari Susukan. Kalau benar dugaan bahwa pemuda berkulit hitam itu ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari dan kalau sampai sahabatnya itu berhadapan degan Pangeran keparat itu, berarti Ni Luh Tua Klungkung akan menemui bahaya besar tanpa dia sendiri dapat menolong.
“Jayengrono keparat! Kau akan menerima pembalasanku!” begitu Wiro memaki tiada henti. Lalu pendekar ini menyesali diri sendiri. Mangapa dia menyetujui usul gadis itu untuk menguntit Bajingan Dari Susukan, bukan dia sendiri yang melakukannya? Wiro menarik nafas dalam. “Kalau sampai terjadi apa-apa dengan sahabatku itu, sampai ke nerakapun aku akan mencari Pangeran keparat itu...” Wiro berjanji pada diri sendiri. “Apa yang bisa kulakukan saat ini? Sialan betul! Apakah aku harus berteriak seperti orang gila?! Sialan! Benar-benar sialan!”
********************
SEMBILAN
Matahari yang mulai tenggelam, malam yang mulai turun membuat udara mulai gelap. Meskipun pemandangan dalam jarak jauh agak tertutup kini namun pendengaran yang tajam membuat Ni Luh Tua Klungkung tetap dapat mengetahui ke mana arah lari orang yang dikuntitnya.
Sambil berlari dia tidak lupa untuk mematahkan setiap ujung ranting dri pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai janjinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Sebagai petunjuk jika pendekar itu menyusul dan mencarinya. Dia sama sekali tidak tahu kalau kini Wiro tengah mendapatkan kesulitan, ditotok dan disekap di sebuah ruangan bawah tanah.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan berusaha mempercepat larinya. Goresan luka keris sakti Kiyai Gajah Putih terasa sangat perih dan sekujur tubuhnya saat demi saat semakin dingin. Demikian dinginnya hingga walaupun dia berlari sejauh itu namun tak setetes keringatpun keluar dari pori-pori tubuhnya. Nafasnya mulai menyesak. Lidahnya terjulur dan kepalanya terasa pening. Namun semangatnya menjadi besar ketika di kajauhan dia mulai melihat jalan lurus mendaki. Di antara kegelapan turunnya malam, dia bahkan dapat melihat pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu.
Begitu dia sampai di depan bangunan langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke tanah, mengengah-engah dan keluarkan seruan tercekik, “Pangeran, saya Gajah Rimbun telah kembali!”
Tak ada jawaban. “Agaknya Pangeran tak ada di rumah...” Membatin Gajah Rimbun. Kreekek... Terdengar suara berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam muncul. Ada gambar gunung dan matahari di dada pakaian hitam itu.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun.
“Bajingan Dari Susukan! Kau kembali lebih cepat dari perkiraan! Apakah kau berhasil menjalankan tugas sesuai perintah?!”
“Saya berusaha melakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah! Namun mohon maafmu Pangeran. Saya menemui kesulitan” jawab Gajah Rimbun. Ada bayangan rasa takut tersembunyi di antara kata-katanya.
Paras Pangeran Matahari tampak berubah. “Katakan apa yang terjadi” katanya perlahan tapi uaranya bernada angker.
Gajah Rimbun lalu menerangkan pengalamannya di Kotaraja. Dia juga memperliatkan goresan luka yang kini tampak seperti membusuk di pahanya. Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli dengan luka itu. Menolehpun dia tidak. Sementara itu karena rasa dingin yang semakin menggila, Gajah Rimbun kini tak sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti beku. Tubuhnya terduduk ke tanah.
“Sayang... sayang sekali” kata Pangeran Matahari sambil melangkah mundar-mandir di depan pondok. “Kehebatan yang telah kau perlihatkan sehari sebelumnya menjadi pupus dengan kegagalan hari ini!”
“Saya telah melakukan apa yang saya bisa, Pangeran”
“Diam!” hardik Pangerarn Matahari. “Kau bukan melakukan apa yang kau bisa. Tapi harus melakukan apa yang ditugaskan! Kau tahu artinya kegagalan ini?!”
Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya yang pucat semakin pucat. “Saya mohon pertimbanganmu Pangeran. Beri kesempatan sekali lagi” Meminta Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari mendengus lalu tertawa hambar. “Bagiku kesalahan dan kegagalan bukanlah satu hal yang bisa diperbaiki. Karena itu sudah terjadi! Penyesalanpun tiada arti! Namun aku masih bermurah hati memberikan satu kesempaan padamu”
“Terima kasih Pangeran! Terima kasih! Apa yang harus saya lakukan Pangeran tinggal mengatakan. Saya akan mengerjakannya!”
“Begitu?” ujar Pangeran Matahari tak acuh. “Apakah kau sadar waktu kau melarikan diri kembali ke mari ada orang yang menguntitmu?!”
Terkejutlah Gajah Rimbun mendengar pertanyaan itu. Dia memandang berkeliling dengan mata dibesarkan tapi tak melihat orang lain berada di tempat itu.
“Manusia tolol! Percuma kau menyandang nama Bajingan Dari Susukan!” memaki Pangeran Matahari. Dia berpaling ke arah semak belukar lebat di sebelah kiri jalan yang menurun lalu berseru.
“Penguntit! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!”
Ni Luh Tua Klungkung yang berada di balik rerumpunan semak belukar itu, menyadari kehadirannya di situ sudah diketahui orang tak bisa berbuat lain kecuali keluar perlihatkan diri. Ketika melihat siapa yang muncul itu, Pangeran Matahari kaget sesaat kemudian langsung saja dia mengumbar tawa panjang.
“Ha-ha-ha...! Cicak kurus berpakain kelabu ini rupanya! Mana kawanmu satu lagi! Pemuda gendeng itu!”
Ni Luh Tua Klungkung tak mau kalah. Dia ikut mengumbar tawa melengking. “Aku memang sudah menduga! Manusia bernama bajingan Dari Susukan itu pasti cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti memang benar! Meminjam tangan orang lain untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak kabur dari Kotaraja tempo hari kau tak punya nyali lagi untuk turun tangan sendiri!”
“Keparat sombong! Mendekatlah biar aku dapat melihat tampangmu lebih jelas! Jangan sembunyi di balik bayangan pohon dan kegelapan!”
“Jika kau ingin melihat lebih jelas silahkan datang mendekat ke hadapanku!” sahut Ni Luh Tua Klungkung.
Rahang Pangeran Matahari yang memang berbentuk menonjol jadi tambah menggembung. Dia berpaling pada Gajah Rimbun. “Tugasmu Bajingan Dari Susukan! Bunuh pemuda itu!”
Mendengar perintah Pangeran Matahari, meskipun berdiri saja sudah sangat susah bagi Gajah Rimbun, namun demi harapan pengampunan maka dia kerahkan seluruh sisa tenaga dan melompat ke hadapan Ni Luh Tua Klungkung,langsung menghantamkan jotosan ke muka pemuda berpakian kelabu itu.
Ni Luh Tua Klungkung tak berani menangkis. Dia berkelit ke samping lalu angkat kaki kanannya mengirimkan tendangan ke arah tulang rusuk lawan. Gajah Rimbun yang saat itu memang tak berdaya lagi karena racun keris Kiyai Gajah Putih tak sanggup mengelak.
“Kraakkk...!”
Tiga baris tulang-ulang iganya patah. Tubuhnya terpental menghantam dinding pondok. Matanya mendelik dan nafasnya minggat. Orang ini sebenarnya bukan mati karena tendangan Ni Luh Tua Klungkung, tapi lebih banyak diakibatkan oleh racun keris sakti yang telah mempengaruhi sekujur tubuhnya.
Pada titik puncak rasa dingin yang tak tertahankan nyawanya pun lepas, berbarengan dengan datangnya tendangan lawan tadi! Hal inipun diketahui oleh Pangeran Matahari. Selain memang tak ada rasa takut terhadap pemuda berpakaian kelabu ini, sejak peristiwa kekalahannya dalam pertempuran di Kotaraja beberapa waktu lalu, maka sang pangeran telah menanam dendam kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga terhadap Wiro Sableng.
Itulah sebabnya Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari Susukan untuk menyelidik. Meskipun Bajingan Dari Susukan gagal menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya namun sebenarnya untuk tugas menyelidik dua musuh besar itu sebagian sudah dijalankan oleh Bajingan Dari Susukan tanpa sadarnya. Yaitu membawa Ni Luh Tua Klungnkung ke tempat Pangeran Matahari.
Sampai saat itu Ni Luh Tua Klungkung tetap tegak di bagian gelap bayangan pohon. Dia sengaja mendekam di situ karena kawatir di tempat terang lawan dapat mengetahui siapa dia adanya.
“Hem... Kau membunuh orangku! Berarti bertambah lagi hutangmu padaku! Berarti tak bakal ada pengampunan untukmu pemuda kerempeng!”
Ni Luh Tua Klungkung mendengus. “Aku datang ke mari bukan untuk minta pengampunan! Justru untuk menyingkirkan kejahatan yang disebabkan oleh manusia sesat macammu!”
“Bagus sekali kalau begitu! Rupanya kau masih belum tahu dalamnya lautan, tingginya Merapi! Umurmu hanya tinggal tujuh hitungan!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari gerakkan tangan kanannya. Perlahan saja.
Ni Luh Tua Klungkung yang sudah mengetahui benar kehebatan lawan, cepat berkelebat lenyap sebelum sang pangeran lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan yang dilakukan mendahului serangan lawan memang menyelamatkannya dari serangan. Di bawah kakinya sesiur angin panas menyambar ganas. Gadis yang menyamar seperti seorang pemuda itu merasakan kedua kakinya seperti disambar api. Secepat kilat jungkir balik di udara.
Ketika tubuhnya membentuk garis sama datar dengan tanah maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Tangan kiri memegang perut. Tangan kanan diluruskan ke arah lawan. Mulut ditiupkan keras-keras. Serangkum angin berwarna kekuningan yang menebar bau harum kayu cendana mambuntal menerpa Pangeran Matahari!
Sebelumnya sang pangeran telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian pemuda berpakaian kelabu itu ketika terjadi pertempuran hebat disaat itu dia berdampingan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau lawan ternyata memiliki kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng, namun tentu saja Pangeran Matahari yang congkak itu tidak merasa kecut sama sekali. Apalagi si pemuda hanya sendirian.
Sebelum buntalan sinar kuning menyentuh dan mencelakinya, Pangeran Matahari langsung menghantam dengan pukulan sakti bernama Merapi Meletus. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Lima jari tangan membentuk tinju. Tiba-tiba tangan itu disentakkan ke bawah lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari yang tadi mengepal dibuka serentak.
Terdengar suara berdentum laksana gunung meletus. Hawa panas menyambar. Ranting-ranting dan daun-daun pepohonan meranggas hangus. Buntalan sinar kuning yang jadi andalan pemuda baju kelabu buyar sirna.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia kerahkan tenaga dalam sambil dorongkan kedua telapak tangan ke depan, bertahan agar tidak jatuh. Namun sewaktu Pangeran Matahari balas mendorong, tak ampun gadis ini terpental jungkir balik. Kain pembungkus kepalanya tanggal. Rambut samaran pendek terlepas dan kini tambut aslinya yang panjang hitam tergerai sampai ke punggung.
“Hai!” seru Pangeran Matahari kaget. “Kau ini pemuda banci atau perempuan sungguhan! Pasti wajah aslimu kau sembunyikan di balik sehelai topeng! Ha-ha-ha! Jika wajahmu nanti kulihat cukup cantik, malam ini berarti aku akan mendapat kawan tidur dalam pondok!”
“Manusia dajal! Maut sudah di depan mata masih saja bicara ngacok!” hardik Ni Luh Tua Klungkung.
Pangeran Matahari kembali tertawa bergelak. Tubuhnya berkelebat lenyap. Di lain kejap si gadis sudah terkurung dalam serangan dahsyat yang membuatnya bertahan mati-matian. Beberapa kali dia terpental ketika berusaha menangkis hantaman lawan. Biasanya siapa saja yang berani bentrokan lengan dengan Pangeran Matahari akan menemui celaka bahkan maut. Tangan akan hitam hangus oleh racun jahat yang dimiliki sang pangeran.
Tapi anehnya Ni Luh Tua Klungkung tidak mengalami cidera apa-apa kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam gadis ini jadi merinding. Tak bisa tidak musuh memang sengaja tidak ingin mencelakainya karena punya maksud tertentu yaitu menangkapnya hidup-hidup agar dapat melakukan niat kejinya!
"Brettt...!"
Ni Luh Tua Klungkung terpekik. Topeng tipis yang menutupi wajahnya kena disambar hingga wajah aslinya kini tersingkap jelas!
“Nah... nah! ternyata kau memang cantik jelita! Kau pantas jadi teman tidurku. Besar nian rezekiku malam ini!”
“Keparat! Mampuslah!” teriak Ni Luh Tua Klungkung. Tiga jari tangannya menusuk ke tenggorokan lawan.
Pangeran Matahari berkelebat lenyap. Sebelum gadis itu sempat mengetahui di mana lawannya berada tiba-tiba pakaiannya terasa ditarik.
"Brettt! Brettt! Brettt...!"
Ni Luh Tua Klungkung kembali terpekik. Pakaiannya robek besar di beberapa bagian hingga auratnya tersingkap. Selagi dia sibuk berusaha menutupi tubuhnya yang hampir telanjang itu, satu remasan keras mencengkam payudaranya sebelah kiri. Gadis itu menjerit. Setelah itu tubuhnya kaku. Suaranya pun lenyap! Dia tak kuasa menyelamatkan diri. Tak dapat berteriak minta tolong.
Dengan nafas menyeringai dan nafsu berkobar Pangeran Matahari memeluk tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke arah pondok kayu.
********************
SEPULUH
Orang itu melangkah sepanjang lorong batu yang hanya diterangi sebuah pelita yang hampir padam karena kehabisan minyak. Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau tidak ditolong oleh sebatang tongkat yang digenggamnya di tangan kanan, mungkin dia tak sanggup berjalan. Sesekali dia berhenti melangkah, bersandar ke dinding batu sambil mengurut dada, mengaur jalan nafas, mengumpulkan tenaga, baru melangkah lagi.
Di depan sana lorong yang dilaluinya membelok ke kiri. Lalu tampaklah sebuah pintu besar dijaga oleh dua orang perajurit bertubuh kekar bertampang galak. Masing-masing membekal sebilah golok dan sebatang tombak.
“Siapa di sana!” Salah seorang pengawal pintu membentak begitu melihat ada orang bertongkat mendatangi.
Yang ditegur tidak menjawab. “Hai! Mengapa tidak menjawab! Lekas bicara atau akan kutembus dengan tombak ini!” Pengawal tadi mengangkat tombak di tangan kanannya tinggi-tinggi. Kawan disebelahnya melakukan hal yang sama.
“Aku Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja!”
Kedua perajurit pengawal cepat turunkan tombak, membungkuk memberi hormat dan salah seorang dari mereka buru-buru meminta maaf.
“Kami tidak tahu kalau Raden yang datang”
“Pemuda tawanan itu masih ada didalam?”
“Masih ada di dalam Raden...”
“Buka pintu! Aku ingin bicara dengannya!” memerintah Kertopati.
“Maaf Raden! Kami menerima perintah agar tidak memperkenankan siapapun masuk ke dalam menemui tawanan!”
“Siapa yang membei perintah?” tanya Raden Kertopati.
“Raden Mas Jayengrono. Panglima Balatentara Kerajaan...”
Raden Kertopati menggeram “Di Kotaraja ini aku adalah atasan kalian. Berarti kalian ikut perintahku! Buka pintu besi itu!”
“Kami tak berani melakukannya Raden”
“Kalian tidak mentaati perintahku?!” hardik Raden Kertopati marah.
“Kami hanya taat pada perintah Panglima Raden Mas Jayengrono!”
Raden Kertopati diam sejenak. “Baiklah...” katanya kemudian. Dia memutar tubuh seperti hendak berlalu. Namun tiba-tiba tongkat kayu di tangan kanannya berdesing ke udara.
"Praakk! Praakk...!"
Kepala dua perajurit pengawal yang tegak di kiri kanan pintu rengkah! Keduanya tersungkur ke lantai batu. Raden Kertopati cepat mengambil kunci dari pinggang salah seorang pengawal itu lalu membuka gembok besi yang membuhul rantai besar pengunci pintu. Dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam. Di dalam ternyata gelap sekali. Tak ada lampu, tak ada cahaya. Kertopati terpaksa mengambil pelita yang ada dilorong.
“Pendekar 212 kau berada di sebelah mana?” Kertopati berseru seraya mengangkat lampu minyak tinggi-tinggi.
Wiro Sableng yang terbujur di salah satu sudut ruangan tak segera menjawab. Dia tak dapat mengenali suara itu karena gaungan yang memantul pada empat dinding batu. Kertopati memanggil sekali lagi. Baru kali ini Wiro mengenali suara Kepala Pasukan Kotaraja itu.
“Raden, aku di sudut kiri di belakangmu!”
Kertopati membalik lalu melangkah cepat ketika dilihatnya pemuda itu di sudut ruangan dalam keadaan tak berdaya. Lampu minyak diletakkannya di lantai. Dia sendiri kemudian berlutut di samping Pendekar 212.
“Aku datang untuk menolongmu. Membayar budi dengan budi...”
“Terima kasih Raden. Aku sebenarnya tidak mengawatirkan keselamatan diriku. Yang kucemaskan adalah sahabatku pemuda berbaju kelabu itu. Kalau dia sampai tertangkap Pangeran Matahari... Tolong lepaskan totokan di dadaku...”
“Jangan kawatir. Jayengrono memang ahli ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi aku tahu cara membebaskanmu!” kata Kertopati.
Pakaian Wiro di bagian dada disingkapkannya lalu dia mendekatkan mulut dan meniup dada itu. Dengan ujung tongkat dia membuat tusukan cukup keras pada dada yang ditotok hingga Pendekar dari Gunung Gede itu merintih kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada si pemuda. Setelah itu dia membuat tiga kali usapan, barulah totokan di tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terlepas musnah. Wiro cepat duduk bersila mengatur jalan nafas dan aliran darah.
“Terima kasih Raden. Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi sebelum pergi ada satu permintaanku. Maukah kau menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya?”
“Kalau bisa mengapa tidak?”
“Dua perempuan itu hanya korban hati busuk Jayengrono. Kebetulan saja sang puteri pernah memberikan cincin emas burung rajawali itu pada Pangeran Matahari” Lalu Wiro menceritakan apa yang diketahuinya tentang riwayat cincin itu. “Nah jelas bagi Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut apa-apa dengan Pangeran Matahari...”
“Saya akan menghadap raja dan meminta agar ibu dan anak itu dibebaskan. Tapi saya tetap merasa aneh mengapa Jayengrono bertindak terlalu jauh seperti itu”
“Karena ada satu rahasia Raden...”
“Rahasia??“ Kertopati kerenyitkan kening.
“Saya akan ceritakan rahasia itu padamu. Saya mendengar secara kebetulan ketika datang ke rumah Raden Ajeng Siti Hinggil sore tadi...”
Lalu Wiro Sableng menuturkan percakapan antara Jayengrono dan Siti Hinggil yang sempat didengarnya meskipun dia berada di luar ruangan. Tentu saja Raden Kertopati terbelalak hampir tak percaya mendengar penuturan Wiro Sableng itu.
“Nah kau sudah tahu Raden. Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu...”
Selagi Raden Kertopati masih terkesiap oleh cerita yang disampaikan Wiro, Pendekar 212 sudah melompat ke pintu dan mencari jalan sendiri menuju tembok timur istana. Dalam kegelapan malam ternyata tidak mudah bagi Wiro untuk mencari jejak sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Meskipun tanda-tanda patahan ranting pepohonan yang dibuat gadis itu dapat ditemuinya namun gerakannya menjadi lambat karena terhalang oleh kepekatan malam.
********************
Di dalam kamar yang luas Raden Mas Jayengrono merasa sangat gelisah. Sebentar dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu berdiri, melangkah mundar mandir atau duduk di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan sesekali memandang ke dalam taman lewat jendela kamar. Demikian terus menerus keadaannya. Hatinya risau karena tidak dapat menerka apa sebenarnya yang dimaksud oleh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan ucapannya 'tembok ruangan punya seribu telinga'.
“Teka-teki apa yang dilontarkan pemuda keparat itu padaku sebenarnya...?” merutuk Kepala Balatentara Kerajaan itu.
Dia kembali melangkah mondar-mandir lalu membantingkan diri di atas tempat tidur. Memandang ke langit-langit kemar yang penuh ruangan. Memejamkan mata. Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini membuka kedua matanya besar-besar.
“Jangan-jangan...”desisnya. Tubuhnya melompat dari atas tempat tidur. Dia menyambar keris Kyai Gajah Putih dari atas meja batu mar-mar.
Tanpa pengiring dia menuju ke istana lewat pintu sebelah timur. Setengah berlari dia memasuki lorong menuju pintu ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng disekap. Tidak dapat tidak, dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu telah sempat mencuri dengar pembicaraannya dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu.
“Kalau tidak kubunuh, ulahnya nanti bisa berekor panjang!” kertak Jayengrono.
Dia sampai di depan pintu besi itu. Dan terperangah! Pintu terbuka lebar. Dua orang perajurit pengawal telah jadi mayat dengan kepala pecah. Ketika dia memeriksa ke dalam, ruangan penyekapan itu ternyata kosong melompong. Pemuda yang dijebloskan di tempat itu ternyata telah lenyap!
“Celaka aku!” keluh Jayengrono. “Siapa yang punya pekerjaan ini! Siapa yang menolong membebaskan pemuda keparat itu! Pasti hanya satu orang! Si keparat Kertopati! Ya, siapa lagi!”
Raden Mas Jayengrono segera mendatangi rumah kediaman Raden Kertopati. Di sana didapatinya Kepala Pasukan Kotaraja itu tengah tidur nyenyak mendengkur. Dari seorang pengawal dia mendapat keterangan kalau sejak sore tadi Raden Kertopati tak pernah meninggalkan kamar tidurnya.
“Aku yakin hanya manusia satu ini yang mampu dan mau menolong si gondrong itu! Tapi ternyata dia tidur sejak sore... Ah, semua urusan bisa jadi gila! Bagaimana bisa jadi begini...!”
Jayengrono sama sekali tidak tahu kalau Kertopati sudah menduga kira-kira apa yang bakal terjadi kalau lenyapnya tawanan itu sampai diketahui. Maka Kertopati siang-siang sudah menyusun rencana, memberi kisikan pada seluruh anak buahnya dan berpura-pura tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika Jayengrono meninggalkan halaman rumahnya, dia memperhatikan lewat jendela dengan sesungging senyum.
“Riwayatmu akan berakhir tak lama lagi Jayeng...” katanya masih terus tersenyum penuh arti.
SEBELAS
Seumur hidupnya Pangeran Matahari belum pernah melihat aurat terlarang orang perempuan, apalagi menyentuhnya. Mendapatkan seorang gadis cantik dalam keadaan tak berdaya di bawah kekuasaannya sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta terbakar oleh nafsu terkutuk.
Setelah menotok tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara aneh yakni dengan jalan meremas payudaranya, Pangeran Matahari mendukung tubuh gadis itu ke dalam pondok kayu. Sambil mendukung tangannya bebas tiada hentinya menggerayang kian kemari.
Meski tubuhnya penuh gelegak marah namun sang gadis tidak mampu berbuat apa untuk membebaskan diri, apalagi menolak kehendak keji Pangeran Matahari. Dalam hatinya sudah tekad bulat untuk bunuh diri jika kelak dia masih dibiarkan hidup setelah dirusak kehormatannya.
Sekarang mari kita ikuti kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yang saling kejar dengan waktu karena sudah mendapat firasat kalau sahabatnya gadis yang sampai saat itu tidak diketahuinya nama aslinya tengah mengalami bahaya besar. Malam makin gelap dan bertampah sulit baginya untuk meneliti secara cepat rerantingan patah yang ditinggalkan sang dara sebagai jejak.
Di sebuah bukit patahan ranting berakhir. Tak ada lagi ranting lain yang patah padahal memandang berkeliling pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-apa. Tak ada tanda-tanda terjadi perkelahian di tempat itu. tak ada pula bangunan di sekitar situ.
“Tak mungkin gadis itu lenyap menembus tanah bebukitan ini atau terbang ke langit...” ujar Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Dia meneliti ke jurusan kiri, ke sebelah kanan, tetap saja tidak menemui apa-apa. Ketika dia coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan kecil mendaki terbentang di hadapannya. Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan mendaki ini. di depan sana di kegelapan malam dilihatnya sebuah bangunan kayu.
Sepuluh langkah sebelum dia sampai ke bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya tergelimpang di jalan kecil itu. ketika ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda bermuka bundar berkulit hitam yang dikenal sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu hanya merupakan mayat dingin.
Murid Eyang Sinto Gendeng memandang berkeliling. Sunyi yang aneh terasa membungkus tempat itu. pintu pondok tampak tertutup. Tak ada nyala lampu di sebelah dalam. Tapi bagi sang pendekar yang sudah berpengalaman tidak ada nyala lampu belum tentu berarti tidak ada seorangpun di dalam sana. Jika seorang lelaki hendak berbuat bejat terhadap seorang gadis maka tentunya dia akan mencari tempat yang sedap.
Wiro hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa suara melangkah mendekati pintu pondok kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk mencari dengar setiap gerakan. Suara nyamuk yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas dari pendengarannya.
"Braakkk...!"
Wiro Sableng tendang pintu pondok hingga hancur dan terpentang lebar. Keadaan di dalam pondok yang tak seberapa besar itu gelap pekat. Wiro memasang telinga. Tak ada seorangpun di dalam sana. Tapi tak mungkin pondok ini dibangun kalau hanya ditinggal kosong melompong. Atau pemiliknya sedang keluar?
Tapi Ni Luh Tua Klungkung lenyap di sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata mustikanya lebih erat. Dengan langkah tetap dia masuk melalui pintu. Baru saja kakinya menginjak lantai papan di sebelah dalam mendadak telinganya mendengar suara berdesir dari empat jurusan!
“Senjata rahasia!” seru Wiro dalam hati seraya kertakkan rahang. Kapak Naga Geni 212 diputar membentuk lingkaran. Sinar terang berkiblat disertai gaungan seperti ribuan tawon mengamuk.
"Tringg-Tringg-Tringg-Tringg...!"
Empat buah benda yang berdesing ternyata adalah empat buah pisau terbang kecil, hancur mental berantakan.
“Pembokong pengecut! Unjukkan tampangmu!” teriak Pendekar 212 marah.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Jelas senjata rahasia itu dipasang untuk menjebak lawan yang lengah. Bukan mustahil masih ada senjata-senjata rahasia lainnya tersembunyi di tempat itu. Dari pada mendapat serangan konyol begitu rupa Wiro memutuskan untuk menghancurkan pondok kayu itu. Maka dia hantamkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera ke arah atap.
Bersamaan dengan mental hancurnya atap dan runtuhnya empat dinding kayu, Wiro melesat keluar bangunan. Dari kejauhan dia memperhatikan bangunan yang kini hanya merupakan keping-keping hampir sama rata dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak ada gerakan. Tapi ketika dia melangkah mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar membuat pendekar dari Gunung Gede itu jatuh duduk ke tanah.
Letusan yang terjadi membuat lantai bangunan terbongkar. Di situ Wiro melihat sebuah lobang batu berbentuk tangga menurun yang sebelumnya tersembunyi di bawah lantai kayu bangunan. Kuduk pendekar ini menjadi dingin. Bulu romanya berdiri. Kalau tadi dia sempat menginjak lantai di atas lobang itu, ledakan dahsyat tadi pasti akan menghancur luluhkan seluruh tubuhnya.
Dengan hancurnya pondok kayu tersebut maka tak ada lagi senjata rahasia yang tersembunyi. Wiro memutuskan untuk menyelinap memasuki lobang batu itu. namun dia cepat melesat ke atas cabang sebuah pohon ketika lapat-lapat telinganya mendengar ada orang yang melangkah cepat menaiki tangga batu.
Sesaat kemudian sebuah kepala gondrong berikat kain merah muncul dari dalam lobang. Kepala ini bergerak berputar seperti meneliti keadaan. Ketika merasa aman, kepala ini segera bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah sosok tubuh mengenakan pakaian hitam bergambar matahari dan puncak gunung.
“Pangeran Matahari...” desis Wiro tercekat. Lalu dia melihat sosok tubuh siapa yang dipanggul di bahu kiri sang pangeran. Sosok tubuh itu hampir tidak tertutup karena seluruh pakaian yan masih melekat hanya tinggal cabikan-cabikan belaka.
“Keparat haram jadah! Kalau dia sampai telah memperkosa sahabatku itu akan kucincang tubuhnya, kuhisap darahnya!” Geraham Pendekar 212 bergemeletakan.
“Manusia iblis! Kau hendak lari ke mana?!” teriak Pendekar 212 menggeledek. Ketika dilihatnya Pangeran Matahari hendak berkelebat kabur sambil mendukung tubuh Ni Luh Tua Klungkung.
Kagetnya sang pangeran bukan kepalang. Sambil meneruskan larinya dia hantamkan tangan kiri ke atas pohon di mana Pendekar 212 berada.
"Wussss...!"
Cabang, ranting dan dedaunan pohon besar iru hangus dan luruh sementara Wiro sudah melayang turun lebih dahulu. Kapak Naga Geni 212 menderu dalam kegelapan malam. Melihat sinar menyilaukan berkiblat dan mendengar suara seperti tawon mengamuk Pangeran Matahari maklum siapa yang menyerangnya. Satu-satunya senjata yang mempunyai cirri-ciri serangan seperti itu adalah Kapak Maut Naga Geni 212. Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 dari Gunung Gede.
“Dicari-cari ternyata kau datang sendiri mengantar nyawa! Hutang lamamu rupanya hendak kau bayar hari ini bersama bunganya!” Pangeran Matahari menegur keren dengan kaki terkembang, tangan kiri di pinggang dan tubuh Ni Luh Tua Klungkung masih di atas bahu kanannya.
“Manusia congkak takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari ini kau tambah lagi dengan satu kekejian!” bentak Wiro.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Rupanya kaupun berhasrat mendapatkan perawan ini! Ha-ha-ha! Kau memang belum terlambat Pendekar 212! Tapi jangan harap kau bisa membebaskan gadis ini dari tanganku!”
Gembira mendengar pengakuan Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng hampir bertindak lengah ketika musuh di hadapannyaitu tiba-tiba menyerbu sambil lepaskan pukulan maha ganas yang dimilikinya yakni pukulan Gerhana Matahari!
Sinar kuning, hitam dan merah mencuat panas melanda ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro tak berani membalas karena kawatir akan mencelakai Ni Luh Tua Klungkung. Didahului bentakan nyaring pendekar ini melesat tiga tombak ke udara. Dari atas dia menukik sambil babatkan Kapak Naga Geni 212. Tapi Pangeran Matahari berlaku cerdik. Dia tidak menangkis ataupun balas menyerang melainkan angsurkan tubuh gadis yang ada di bahunya, memotong tabasan senjata lawan.
Wiro berseru kaget dan buru-buru tarik pulang serangannya. Saat itulah kembali Pangeran Matahari menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Kali ini lebih dahsyat lagi karena mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Wiro kembali melompat sambil lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212. Pohon besar di belakangnya terdengar berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar!
“Iblis keparat!” maki Pendekar 212. Dadanya terasa sesak. Dia melompat turun ke tanah langsung sisipkan Kapak Naga Geni 212 di pinggang lalu angkat kadua tangan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawan. Perlahan-lahan dua telapak tangan itu diputar, mulut terkancing dan sepasang mata memandang tak berkesip ke arah Pangeran Matahari.
Sikap tegak Wiro yang sama sekali tidak terlindung itu di mata Pangeran Matahari merupakan suatu sasaran empuk. Maka dia segera siapkan pukulan Gerhana Matahari untuk ketiga kalinya. Tapi mendadak sontak saat itu dirasakannya udara menjadi sangat dingin, sepuluh kali lebih dingin dari udara di puncak Merapi di mana dia pernah tinggal sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran seperti dilapisi es. Rahangnya menggembung, hembusan nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya mulai goyah!
“Ilmu apa yang tengah dikeluarkan setan ini untuk menyerangku!” gumam Pangeran Matahari dengan gigi-gigi bergemeletakkan. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, merah dan hitam memang berkiblat. Namun sebelum mencapai tubuh Wiro, hawanya yang panas membakar berubah menjadi dingin hingga ketika serangan itu melanda Pandekar 212, dia hanya merasakan seperti disapu angin sejuk!
Kaget Pangeran Matahari bukan kepalang. Diam-diam nyalinya mulai menciut. Namun manusia congkak ini tak mau mangalah begitu saja. Sekali lagi dia hendak mencoba. Bahu kanannya digerakkan. Tubuh Ni Luh Tua Klungkung mencelat mental ke arah semak belukar dan tersangkut di sana. Sang pangeran kemudian membuat kedudukan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Wiro. Kedua kakinya mengangkang. Tangan diangkat ke atas. Mulut komat kamit. Telapak tangan digerakkan perlahan. Didorong ke arah Wiro. Terdengar suara berdesir. Menyusul deru angin panas keluar dari masing-masing telapak tangan.
Di seberang Pangeran Matahari, Wiro tetap tegak di tempatnya dan lipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya. Tubuhnya bergetar keras dan keringatnya bercucuran padahal udara di tempat itu dingin bukan kepalang!
Deru angin panas yang keluar dari dua telapak tangan Pangeran Matahari, yang disesrtai kekuatan tenaga dalam penuh mula-mula tertahan seolah terbendung oleh tembok baja yang sangat atos. Begitulah kehebatan ilmu Angin Es yang jarang-jarang dikeluarkan oleh Pendekar 212. Namun ternyata murid Sinto Gendeng ini tak bisa bertahan lama. Karena begitu Pangeran Matahari mendorong sambil maju selangkah demi selangkah Wiro meraskan dadanya menjadi panas.
Ketika dia merasa tak sanggup bertahan maka sambil berteriak keras Wiro menekuk lutut dan menghantam ke depan dengan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti ini didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas. Terdengar suaa menggemuruh yang mengingatkan Pangeran Matahari pada meletusnya Gunung Merapi belasan tahun silam. Pukulan Merapi Meletus yang terus dilancarkannya dan diharapkan dapat merobohkan lawan ternyata kini mulai menjadi kendur.
“Gila!” maki Pangeran Matahari.
Sementara tangan kiri masih terus bertahan dari serangan pukulan Merapi Meletus, tangan kanan tiba-tiba diturunkan dan dengan tangan ini dia kembali lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa dia kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
Letusan dahsyat menggelegar di tempat itu. tanah puncak bukit longsor di beberapa bagian. Pohon-pohon bertumbangan. Ni Luh Tua Klungkung yang menyangsrang di semak belukar jatuh terguling dan secara aneh totokan yang menguasai tubuhnya mendadak terlepas buyar!
Pendekar 212 Wiro Sableng terpental sampai enam langkah. Sebaliknya Pangeran Matahari jatuh duduk lalu terbanting ke tanah. Mulutnya terasa panas dan asin pertanda ada darah yang melesat lewat tenggorokannya, melesat ke mulut. Dadanya mendenyut sakit. Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga dalamnya walaupun sangat tipis, tapi masih berada di bawah lawannya.
Ketika dapatkan dirinya terbebas dari totokan, tanpa sadar akan keadaan dirinya, Ni Luh Tua Klungkung langsung melompat ke arah Pangeran Matahari sambil ayunkan kepalan menghantam batok kepala orang yang tadi hampir menodainya. Meskipun masih dicekam rasa kaget, sakit dan kecut namun Pangeran Matahari masih sempat melihat datangnya serangan itu.
Kalau tadi dia tengah berusaha bangkit, diserang begitu rupa maka dia jatuhkan diri kembali ke tanah sambil hantamkan tangan kanan ke atas melepas tangkisan dan juga sekaligus totokan karena sang pangeran masih menginginkan gadis itu tertawan hidup-hidup.
Namun di saat yang sama dari jurusan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng menyerbu melompatinya dan lepaskan pukulan tangan kosong jarak pendek. Hingga mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa batalkan serangan terhadap Ni Luh Tua Klungkung sambil mengelak lalu pusatkan perhatian untuk menangkis serangan Wiro.
Perkelahian jarak pendek iu tidak dapat menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Justru inilah yang diharapkan Pangeran Matahari karena dia percaya dengan terjadinya bentrokan dia dapat mengirimkan racun jahat hitam panas dan menghanguskan ke tubuh lawan.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang yakin akan keampuhan Kapak Naga Geni 212 untuk menolak segala macam racun jahat tidak ingin menghindari bentrokan itu. Maka ketika dua lengan saling beradu kedua pemuda itu sama-sama terlempar.
Pangeran Matahari karena sebelumnya telah terluka di dalam berada pada keadaan cukup parah. Tubuhnya terguling sambil mulutnya muntahkan darah segar. Wiro memang terlepas dari keganasan racun manghanguskan sang pangeran tapi tulang lengan kanannya terasa sakit tanda ada bagian yang retak.
“Ah, untuk kedua kalinya aku terpaksa mengalah! Keparat betul!” mengeluh dan memaki Pangeran Matahari dalam hati.
Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni Luh Tua Klungkung kembali namun keselamatan diri lebih diutamakannya. Maka tanpa pikir panjang dan menunggu lebih lama Pangeran Matahari segera berkelebat larikan diri kea ah kanan, ke bagian paling gelap di sekitar tempat itu.
Ni Luh Tua Klungkung nekad hendak mengejar tapi Wiro cepat mencegah sambil berseru,
“Jangan kejar!” Dia kawatir gadis ini justru bakal mengalami malapetaka baru.
Sang dara hentakkan kakinya ke tanah. “Kau melarangku mengejar manusia terkutuk yang hendak merusak kerhormatanku! Apa hak mu!” Si gadis berbalik dan menghardik marah.
Wiro buka bajunya dan melemparkan pakaian ini ke arah Ni Luh Tua Klungkung. “Kau pakailah baju itu. Tubuhmu terbuka tak karuan!”
Mendengar ucapan Wiro baru sadar sang dara akan keadaan dirinya. Sambil memungut baju yang dilemparkan itu dia berkata, “Aku bersumpah untuk membunuh manusia satu itu!” Ni Luh mengenakan baju itu di balik pohon besar yang tumbang. Karena dia lebih pendek dari Wiro maka baju putih yang cukup dalam itu dapat menutupi tubuhnya sampai sebatas lutut.
“Kau tak kurang suatu apa sahabat?” tanya Wiro ketika Ni Luh Tua Klungkung keluar dari balik pohon.
“Untung kau cepat datang. Terlambat sedikit saja aib besar pasti sudah menimpa diriku! Pangeran keparat itu terhalang maksud kejinya ketika atap pondok bobol dan dinding-dinding runtuh. Disusul letusan peledak yang agaknya memang sengaja ditanamnya di lantai pondok. Dia membawaku lari keluar sekalian untuk menyelidiki siapa yang jadi korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini mengapa dingin sekali seperti di punca gunung!”
“Itu karena kau memakai baju pinjaman!” sahut Wiro seraya tersenyum. “Aku yang bertelanjang dada tidak merasa dingin apa-apa!”
“Uh! Kalau tidak terpaksa siapa sudi mengenakan baju busuk dan basah oleh keringat ini!” jawab sang dara merengut.
Wiro kembali tertawa. “Kurasa kau lebih bagus muncul dengan wajah aslimu dari pada memakai segala macam topeng penyamaran!”
Ni Luh Tua Klungkung mengusap wajahnya. “Sebaiknya kita pergi saja dari tempat celaka ini! Makin cepat aku mendapatkan pakaian pengganti akan lebih baik bagiku!”
Lalu dara itu tinggalkan puncak bukit gelap tersebut. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar