WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : CINCIN WARISAN SETAN
HUJAN turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran. Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit seolah-olah hendak runtuh!
“Hujan keparat!” maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan lebat itu.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di dalam rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila!” makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang telinganya yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak ke langit.
“Setan atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?” tanyanya pada diri sendiri. “Kalau memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada malam buta...?”
Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat itu! Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang sangat ramai itu. Beberapa pohon kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya dengan tangan kiri atau tangan kanan.
“Krakk! Krakkk!”
Batang-batang pohon itu patah bertumbangan! Makin cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan.
Samar-samar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di bawah hujan lebat. Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara pemuda tadi menyelinap di balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh yang ada di depannya.
Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa bergelak. Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya.
Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang itu mengenakan pakaian serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah panjang, semula disangka seorang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan raut wajahnya ternyata dia seorang lelaki bermuka cekung, berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar.
Kilat menyambar dan Orang yang mengintai dari balik pohon merasakan jantungnya seperti copot! Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang benderang sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon. Semua tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan di mana-mana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman.
“Pembunuhan masal! Siapa yang melakukannya?!” membatin pemuda yang mengintai.
Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa goyah. Selama hidupnya dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka hancur, benar-benar satu hal luar biasa.
Dari pakaian yang dikenakan manusia-manusia malang itu, dari tombak, pedang dan perisai yang bergelimpangan di sela-sela tubuh manusia, jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan. Entah pasukan dari kadipaten atau keraton mana.
Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya. Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam pada batang pohon!
“Dua puluh sembilan hari menguntit dan mengurung!” Tiba-tiba orang berpakaian hitam berambut panjang itu hentikan tawa dan keluarkan ucapan. “Semua berakhir pada kematian! Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian mengantar nyawa di dalam rimba belantara ini! Ha-ha-ha...”
Orang di tengah gelimpangan mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. Seperti tengah memperhatikan sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke kiri. Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahaya sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu mengeluarkan suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan kekuatan tiupan dahsyat.
“Siuttt-Siuttt-Siuttt! Brakkk...!”
Batang pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu roboh dengan suara bergemuruh!
“Keparat setan alas!” maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik pohon besar itu. “Bangsat berjangut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!”
Secepat kilat orang itu jatuhkan diri ke tanah, menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping kanan dan berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking. Tanda orang berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga garis cahaya putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur dan tumbang.
Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu sudah berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan bersembunyi di atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun. Ternyata manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada di atas pohon.
Sebaliknya dari atas pohon dia dapat melihat jelas gerak gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini berpikir-pikir, apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah menimbang akhirnya dia memutuskan untuk menunda.
Di bawah pohon orang tadi kembali tertawa gelak-gelak. Lalu berteriak, “Ada yang lolos rupanya! Tidak apa... Biar dia lari dan memberitahu pada pangerannya! Ha-ha-ha!”
Suara tawa itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah saatnya dia harus melepaskan pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana. Tetapi. Astaga! Ketika memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang berambut panjang berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana!
“Sialan! Aku terlambat!” maki pemuda di atas pohon.
Setelah meneliti keadaan di bawah pohon sekali lagi sementara hujan lebat masih terus turun, maka diapun melompat turun. Ketika masih melayang di udara itulah mendadak telinganya mendengar suara seperti tiupan seruling. Tiga larik cahaya putih yang sangat terang menyilaukan berkiblat, menyambar ke arahnya.
“Celaka! Bangsat itu belum pergi rupanya. Dan kini dia kembali menyerangku!”
Orang yang melompat turun terkejut dan memaki. Secepat kilat dia jungkir balik di udara lalu membuang diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga cahaya datangnya cepat luar biasa. Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan telak. Orang ini keluarkan seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah, di antara gelimpangan mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!
“Ha-ha-ha!” Terdengar tawa bergelak dari belakang batang pohon besar. “Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi terus lari tentu tak akan mampus percuma! Sayang! Kini tak ada yang akan memberi laporan pada sang pangeran! Ha-ha-ha!”
Suara tawa lenyap. Keadaan di tempat itu kini hanya dihantui oleh deru air hujan, desau angin dan gemerisik daun-daun pepohonan. Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi dihantam tiga larik sinar dan terhempas ke tanah, perlahan-lahan tampak bergerak bahkan kini coba berdiri sambil pegangi perutnya. Ternyata manusia satu ini tidak mati. Dia tidak sampai menjadi korban tiga larik sinar maut yang dilepaskan oleh orang berpakaian serba hitam tadi.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jangankan tubuh manusia. Batang pohon yang besar dan keras hancur tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu. Pemuda itu pegangi pakaiannya di bagian perut yang tampak bolong besasr. Bagian tepi yang bolong itu seperti hangus terbakar berwarna kehitaman. Pada bagian pakaian yang berlubang itu tampak tersembul sebuah benda putih yang berkilauan setiap sinar kilat menyambar terang.
Mukanya yang tadi pucat seperti kain kafan berangsur-angsur berdarah kembali dan dari mulutnya pemuda ini tak henti-hentinya memaki. Dia pegangi benda putih berkilat yang tersembul di depan perutnya, garuk-garuk kepalanya dengan tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke balik semak belukar. Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya masih berada di tempat itu atau muncul kembali.
“Kapak ini telah menyelamatkan nyawaku...” kata lelaki berakaian putih yang kini pakaiannya penuh lumpur bercampur darah.
Tengkuknya masih terasa dingin. Bukan oleh karena dinginnya udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru saja menyadari, kalau senjata mustikanya itu tidak tersisip melindungi perutnya, pastilah perutnya akan bobol amblas dihantam sinar ganas tadi. Dia segera pula menyadari bahwa senjatanya itu memiliki keampuhan yang tinggi dan tak sanggup dihantam pukulan sinar aneh dan mematikan itu.
Ketika dipastikannya keadaaan di tempat itu benar-benar telah aman maka diapun segera keluar dari balik rerimbunan semak belukar. Dia coba meneliti sekian puluh mayat yang terkapar mengerikan.
“Pasukan yang malang... Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari mati di tempat ini?” Orang itu geleng-geleng kepala. “Tak habis pikir bagaimana orang berjanggut tadi sanggup membunuh puluhan manusia ini dengan sinar mautnya itu? Sinar maut hebat luar biasa, tapi ganas mengerikan... Heh, apa yang harus aku lakukan? Tolol!”
Orang itu memaki dirinya sendiri. Lalu menjaab pertanyaan sendiri. “Yang paling baik aku harus pergi dari sini. Rimba belantara ini lebih seram dari neraka! Tempat celaka apa ini! Gila!”
Maka diapun bergerak pergi. Namun baru dua kali menindak melangkahi mayat-mayat di tanah, mendadak terdengar bentakan garang.
“Berhenti...!”
"Bangsat! Siapa pula yang membentak! Setan rimba belantara?! Eh, mungkin orang berjanggut tadi?!”
Dengan sikap waspada dan mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan siap untuk mengahantam, dia memandang ke arah kegelapan dari mana suara bentakan tadi datang. Dia melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu sosok tubuh kedua. Ketiga dan keempat. Ketika dia memandang berkeliling, ternyata dia telah dikurung oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang kelewang panjang.
“Siapa kalian?!” Lelaki berpakaian serba putih balik membentak.
“Randu Ireng! Dua kali bulan pernama kami menguntitmu! Sekarang tak mungkin lepas!” terdengar jawaban dari kegelapan.
“Randu Ireng...?” Desis orang yang dikurung. “Siapa yang kalian maksudkan?”
Terdengar suara batuk-batuk di sebelah kanan, menyusul suara berkata “Kami tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar seribu kali dalam semalam. Tapi kami berenam tak mungkin kau tipu!”
“Gila! Malam-malam buta, hujan lebat begini rupa dan disaksikan puluhan mayat celaka kalian ini bicara apa sebenarnya?!”
“Dengar Randu Ireng...”
“Setan alas! Namaku bukan Randu Ireng!” Hardik orang yang dikurung.
Keluar jawaban. “Terserah kau mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau sudah kami kurung. Tak mungkin lolos walaupun kau bisa merubah diri menjadi seekor tuma! Kawan-kawan, apakah kalian lihat benda itu di jari telunjuk kanannya?”
Lima suara menyahut. “Kami tidak melihatnya!”
“Dia pasti menyembunyikannya di balik pakaiannya!”
“Keparat! Benda apa yang dimaksudkan enam jahanam gila ini?” ujar pemuda yang dikurung lalu meneliti jari telunjuk tangannya sendiri. Jari telunjuk tangan kanan itu memang tidak ada apa-apanya. Mengapa orang-orang itu sengaja memperhatikan jari telunjuk tangan kanannya? Siapa mereka sebenarnya dan siapa pula orang bernama Randu Ireng itu?
Selagi dia bertanya-tanya seperti itu, kembali orang yang tegak di hadapannya dalam kegelapan membuka suara sementara hujan masih terus turun walau sekarang mulai mereda.
“Radu Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!”
“Betul! Serahkan lekas. Dan kami akan mengampuni selembar nyawamu!”
Orang di samping kiri ikut bersuara. Pemuda yang tegak di antara tebaran mayat kembali memaki dalam hati. Kemudian dia tertawa gelak-gelak. Namun hatinya tetap saja jengkel.
“Kalian orang-orang gila kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan dengar ucapanku. Aku bukan Randu Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak mengerti cincin apa yang kalian minta. Aku sama sekali tidak memiliki cinicn, atau kalung atau gelang. Ha-ha-ha!”
“Dusta!”
“Bohong besar!”
“Rupanya dia tidak sayang nyawa!”
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita bantai saja!”
Enam sosok tubuh bergerak maju, mendekar dan memperapat pengurungan. Enam batang kelewang panjang tergenggam erat dalan enam tangan kukuh, melintang di depan dada. Sejarak lima langkah, keenam orang itu berhenti. Orang yang dikurung memandangi wajah mereka satu persatu. Tak seroangpun yang dikenalnya.
“Kami masih memberi kesempatan terakhir!” kata orang di samping kanan. “Lekas serahkan cincin itu!”
“Cincin apa?!” tanya lelaki yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan lumpur dan darah.
“Jangan pura-pura tidak tahu!”
“Cincin apa lagi kalau bukan Cincin Kepala Ular Kobra Baja!” jawab orang yang tepat berdiri di depan lelaki tadi.
Kini berubahlah paras pemuda ini. dia pernah mendengar tentang benda itu, tapi tak pernah melihatnya. Cincin baja yang merupakan senjata mustika ganas. Tiba-tiba dia ingat pada orang berpakaian serba hitam yang tadi menyerangnya.
“Kalau begitu...” desisnya.
“Kalau begitu apa?!” ucapannya langsung dipotong.
“Kalau begitu orang berjanggut dan berkumis lebat tadi yang kalian maksudkan...”
“Jangan coba mengalihkan pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan manusia berjanggut dan berkumis itu?!”
“Manusia yang membunuh puluhan perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki senjata ampuh luar biasa mana mungkin dia sanggup membunuh lawan sebegini banyak….”
“Dusta! Bukankah kau sendiri yang telah membunuh balatentara dari Demak ini? Dan tentunya dengan mempergunakan cincin keramat itu!”
“Aku tidak memiliki benda itu. Bahkan aku sendiri tadi diserang bangsat itu. lihat pakaianku yang hangus dan berlubang besar di bagian perut ini…”
Enam orang di depannya menyeringai mengejek. Tak percaya tentunya. Yang di samping kiri berkata. “Kalau diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau bukan manusia lagi. Tapi sudah jadi bangkai dengan perut bobol!”
“Mungkin! Tapi… Ah, percuma saja aku menerangkan. Kalian tentu tak akan percaya…” kata pemuda yang tegak di antara tebaran mayat. Dia merasa tak perlu menjelaskan bahwa senjata sakti yang dimilikinya telah menyelamatkannya dari hantaman tiga cahaya putih yang melesat keluar dari jari telunjuk orang berpakaian serba hitam itu.
“Ayo, mana cincin itu. Lekas serahkan!”
“Aku tak mau lagi bicara dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan Randu Ireng. Aku tidak memiliki benda yang kalian cari! Sekarang beri jalan, Aku mau lewat. Aku mau pergi dari tempat celaka ini!”
“Ragamu boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!”
Enam kelewang bergerak naik ke atas. “Kau akan mampus percuma! Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang tercincang!”
Orang yang terkurung dan hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan suara bersiul. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Enam lelaki bertubuh besar dan bermuka garang serentak mundur dua langkah ketika menyaksikan senjata berbentuk kapak yang memiliki dua buah mata terlihat tergenggam di tangan kanan orang yang mereka sangka Randu Ireng itu.
Yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat sinar menggetarkan yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di situ gelap sama sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan kapak.
“Siapa kau sebenarnya?!” Salah seorang dari enam pengurung bertanya.
“Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu coba katakan siapa kau adanya!”
“Kau tidak perlu tahu!”
“Jika tak berani memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!”
“Kentut busuk!”
“Senjata apa yang ada di tanganmu itu?!”
“Kapak Naga Geni 212!”
Enam pengurung tersentak kaget. Mereka saling pandang. “Kalau begitu kau adalah pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng nenek sakti dari Gunung Gede!”
Orang yang memegang kapak tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan orang di depannya memang benar adanya.
“Kalau begitu kami telah salah sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini. Hanya saja, apakah kau dapat menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini….?”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, orang yang tadi hendak dikeroyok sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam diapun ingin mengetahui siapa adanya manusia bernama Randu Ireng dan apa sebenarnya cincin baja berkepala ular itu.
“Aku bersedia menerangkan apa yang kulihat di sini walaupun tak banyak, tapi harap kalian mau mengatakan siapa kalian adanya…”
“Kami berenam kakak beradik. Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal dengan julukan Enam Kelewang Maut…”
Wiro Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya kembali ke pinggang lalu berkata “Setahuku kalian adalah para pendekar dari golongan putih. Tapi gerak gerik kalian malam ini tidak beda dengan bangsa gerombolan rampok atau rombongan maling. Tidak disangka kalian selama ini disenangi ternyata bertindak tanduk memalukan…”
“Kami mengakui telah kesalahan tangan,” kata Sebrang Lor. “Semua terjadi karena kejengkelan kami sudah sampai di puncaknya. Kami telah menguntit manusia bernama Randu Ireng itu hampir selama enam puluh hari. Malam ini ternyata kami menemui kegagalan lagi… Nah, apakah kau mau menerangkan apa yang kau ketahui…?”
Wiro menjelaskan tidak banyak. Mulai dari dia mendengarkan suara jeritan-jeritan, sampai dia mendapat serangan, lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki berpakaian serba hitam, berjanggut dan berkumis.
“Mungkin manusia yang menyerangku itulah Randu Ireng, orang yang kalian cari…”
“Barangkali... Manusia bernama Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak memiliki kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu kesaktian. Namun ada satu kehebatannya. Yaitu dapat menyamar secara lihay dan cepat. Lalu karena cincin keramat itu berada di tangannya, maka tak ada satu orangpun yang mampu mengahadapinya. Jangankan satu orang, seluruh pasukan kerajaan sanggup dihancurkannya dengan benda keramat itu…“
“Kau berulang kali menyebut cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin itu….?”
Sebrang Lor lalu memberi penuturan;
Dua belas tahun silam, seorang nelayan muda yang diam di sebuah desa di pantai selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok mahluk tinggi besar berjubah putih yang berjalan tanpa menjejak bumi. Wajah mahluk ini seram sekali. Memiliki sepasang kuping panjang mencuat ke atas, berambut gondrong dan bermata cekung dengan sepasang bola mata putih sedang bagian mayang seharusnya putih tampak sangat merah seperti api.
Bagian hidungnya hanya merupakan sebuah lobang menjijikkan. Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar serta bertaring panjang. Semua gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah darah. Lidahnya juga panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari tangannya yang ternyata hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku panjang.
“Nelayan muda…” kata mahluk dalam mimpi itu. suaranya membahana, bumi seolah-olah bergetar. “Besok malam kau harus turun ke laut!”
“Mana mungkin.” Sahut nelayan itu ketakutan. “Sudah sejak seminggu ini hujan turun terus setiap malam. Tak mungkin menangkap ikan dalam hujan dan angin kencang...”
“Aku memerintahkan kau turun ke laut bukan untuk menangkap ikan!”
“La… lalu…?”
Mahluk itu menyeringai. Saat demi saat tubuhnya tampak bertambah besar dan tinggi. Ketika si nelayan mendongak mahluk itu sudah setinggi pohon kelapa! “Turun ke laut. Kayuh perahumu ke pulau Pangiri dan berhenti di sebelah timur, kira-kira seratus kayuhan dari pulau. Kau sama sekali tidak boleh membawa jala. Hanya membawa sebuah pancingan dan umpan tunggal seekor ikan teri basah. Lemparkan kalimu ke dalam laut dan tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah terasa ada sentuhan, sentak kail itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh berwarna hitam. Ikan itu kau belah perutnya. Di dalam perut ikan akan kau temui sebuah cincin terbuat dari baja putih, berbentuk kepala ular kobra. Jika cincin itu kau kenakan di jari telunjukmu lalu jarimu kau acungkan ke depan sambil menggigit bibirmu sebelah bawah maka tiga cahaya putih menyilaukan akan melesat keluar dari sepasang mata dan mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu merupakan kekuatan dahsyat yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba belantara. Kau boleh menyimpan dan memiliki cincin itu sampai aku datang lagi memberi petunjuk lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual. Karena selain merupakan warisan, tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak sanggup membayar nilainya! Kau dengar itu nelayan muda…?”
“Kudengar tapi…”
“Tidak ada tetapi-tetapian. Besok malam turun ke laut. Ada satu hal harus kau ingat. Setelah cincin kau dapatkan dari perut ikan, bakar ikan itu sampai hancur dan cemplungkan abu serta tulang belulangnya ke dalam laut. Jika kau sampai melupakan hal itu maka penjaga dan pemilik laut selatan akan menelan mu lumat-lumat. Kau tahu siapa penjaga dan penguasa laut selatan itu…?”
“Tahu… Nyi Roro Kidul…”
“Hemmm…” Mahluk setan dalam mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap.
Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda itu terbangun dari tidurnya lalu terduduk di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk termangu. Apakah akan dibangunkannya istrinya dan menceritakan mimpinya pada perempuan yang tengah hamil muda itu? Akhirnya setelah menganggap mimpi itu hanya mimpi biasa saja yang bisa terjadi pada diri setiap orang, nelayan itu kembali tidur.
Keesokan harinya dia memang teringat kembali pada mimpi itu, namun karena tak mau memperdulikan maka menjelang siang segera saja dilupakannya. Dan pada malam harinya dia sama sekali tidak turun ke laut melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan tertidur sambil berpelukan.
Lewat tengah malam, dalam kenyenyakan tidur mendadak mahluk berjubah putih berwajah setan itu muncul kembali. Kedua matanya berapi-api, taringnya mencuat, lidahnya terjulur dan meneteskan cairan merah darah. Lima jari tangannya menggapai ke depan seperti hendak merobek muka nelayan muda itu, membuat si nelayan menjerit dalam tidurnya hingga istrinya terbangun dan mengguncang tubuhnya.
“Ada apa…?” tanya sang istri. “Kau bermimpi…?"
“Entahlah... Mungkin. Tapi aku tak ingat mimpi apa… Ah sudahlah. Tidur saja kembali. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Sudah janji dengan paklikmu untuk membantunya mengolah ladang..."
Kedua suami istri itu tidur kembali. Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu muncul lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh amarah mahluk ini bertanya
“Malam ini sesuai perintahku kau harus turun ke laut. Mengapa tidak kau laksanakan…?”
“Aku... aku lup...lupa...” jawab si nelayan.
“Dengar, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan terakhir. Malam besok kau turun ke laut. Jika tidak kau laksanakan maka anakmu kelak akan lahir cacat. Wajahnya akan seburuk wajahku...”
Habis berkata begitu mahluk berwajah setan itupun lenyap. Kembali si nelayan terbangun dan tak dapat tidur sampai keesokan paginya. Sepanjang hari sampai sore dia lebih banyak duduk melamun sambil menghisap rokok, duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan memandang ke tengah laut sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri kini dalam hati nelayan ini. Takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk seram itu, kelak anaknya lahir benar-benar akan cacat.
Akhirnya malam itu, meskipun istrinya bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan perahu dan turun ke laut, nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para tetangganya juga tampak keheranan menyaksikan. Tanpa peduli dia mengayuhkan perahunya ke tengah laut. Pulau Pangiri cukup jauh. Ombak agak besar dan hujan rintik-rintik yang turun saat itu setiap saat bisa berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah begitu badaipun datang menyongsong!
Makin jauh ke tengah laut ombak terasa makin besar dan laut menjadi ganas. Perahu kecil itu laksana sebuah sabut yang dipermainkan dan dihantam gelombang tiada henti. Air laut memenuhi lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar kalau tak mau tenggelam. Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu.
Dia mulai berpikir-pikir apakah tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di lanun ombak dan mati jadi santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat kenyataan kalau anaknya benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat nelayan ini lebih baik meneruskan merancah laut menuju pulau Pangiri.
Hampir menjelang tengah malam, dalam keadaan basah kuyup dan tubuh letih kehabisan tenaga akhirnya dia sampai juga ke pulau tujuan. Sesuai pesan mahluk setan itu dia hentikan perahu sekitar seratus kayuhan dari pulau Pangiri. Anehnya saat itu laut di tempat dia berhenti tampak tenang sekali, tak ada ombak apalagi gelombang. Sedang hujan pun tiba-tiba saja berhenti.
Dengan tanagn gemetar nelayan itu mengambil kailnya lalu memasang umpan pada mata kali yakni seekor teri basah. Lalu kail dilemparkannya ke dalam laut. Tali pancingan diulur sampai habis. Dan dia menunggu dengan hati berdebar.
Nelayan muda itu tidak tahu entah sudah berapa lama dia duduk di atas perahunya memegangi pancing. Tapi sampai tubuhnya jadi tambah letih dan tanagnnya pegal serta matanya terkantuk-kantuk masih belum terasa ikan atau apapun yang menyentuh mata kailnya. Dia mulai berpikir mungkin mimpi yang dialaminya itu benar-benar hanya mimpi biasa atau mimpi gila!
Dia memutuskan untuk menunggu beberapa lama lagi dan berusaha mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak ada juga terjadi apa-apa maka dia akan kembali pulang. Tak lama kemudian selagi kesabarannya hampir habis dan dia siap untuk pulang saja, mendadak nelayan ini merasakan sesuatu menyambar mata kailnya, keras sekali. Secepat kilat kayu pancingannya disentakkan lalu dibetot ke atas dengan hati berdebar.
Seekor ikan berbentuk aneh berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya sebelumnya menggelepar di mata kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke dalam perahu, ditangkapnya dengan tangan kiri agar jangan sampai mencemplung lagi ke dalam laut.
Diperhatikan dekat-dekat, binatang ini memiliki kepala yang seram. Kedua matanya menonjol lebar, ada sebentuk taring yang menonjol keluar. Lalu pada bagian atas depan di antara kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi kiri kanan di bawah mata terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan hitam ini mengingatkan nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam mimpinya. Jangan-jangan binatang ini penjelmaan mahluk itu.
Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya maka dari balik pinggang celananya dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar ditorehnya perut ikan itu. Aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali. Dengan susah payah bahkan sampai keringatan baru dia akhirnya dapat memotong bagian perutnya. Dengan ujung pisau dikoreknya isi perut binatang itu. Di antara isi perut yang berbusaian terlihat sebuah benda putih.
Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran kepala ular sendok. Tangannya gemetar ketika menyentuh cincin itu. Sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Si nelayan merasakan tubuhnya menjadi sangat enteng. Pemandangannya menjadi tajam dan pendengarannya pun demikian pula. Cepat-cepat cincin itu dimasukkannya ke dalam saku celana dan saku itu diikatnya dengan seutas tali.
Sesuai perintah dalam mimpi, ikan hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa pembakarannya dibuangnya ke dalam laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar dan hujan lebat turun. Laut mengganas, ombak menggila. Ketakutan nelayan itu segera kayuh perahunya meninggalkan tempat tersebut. Menjelang pagi dia sampai ke pantai.
Di pantai dilihatnya istrinya sudah menunggu dengan cemas. Beberapa tetangga dan teman-temannya ikut menjemput ke pantai. Mereka semula heran ketika melihat perahu miliki nelayan muda itu penuh dengan ikan-ikan besar. Padahal si nelayan sama sekali tidak membawa jala. Tentu saja semuanya bertanya bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian banyaknya!
Selain itu bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus menerus sepanjang malam? Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi melaut seorang diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia juga merasa heran bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak ikan? Tanpa berniat untuk memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang lengan istrinya langsung mengajaknya pulang ke rumah.
Selama tiga hari tiga malam nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas yang membuatnya mengigau dan meracau sepanjang saat. Hari keempat baru sakitnya lenyap dan sepanjang hari dia duduk di depan rumah, memandang jauh ke tengah laut. Cincin baja putih berkepala ular yang ada dalam saku pakaiannya senantiasa digenggamnya erat-erat.
Dia menjenguk ke dalam rumah. Istrinya sibuk di belakang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memandang berkeliling. Takut ada seseorang atau istrinya tiba-tiba muncul. Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin ular kobra itu dimasukkannya ke jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diacungkannya lurus-lurus ke depan. Lalu dicobanya menggigit bibirnya sebelah bawah.
Mendadak terdengar suara bersuit, seperti suara seruling, kencang dan menusuk liang telinga. Suara aneh itu disusul dengan melesatnya tiga cahaya putih, dua kecil, satu agak besar. Cahaya ini menyambar ujung atap rumahnya. Langsung atap rumah itu hancur berantakan. Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat wajahnya tapi sang istri yang sedang bekerja di belakang bergegas lari ke depan rumah untuk melihar apa yang terjadi.
Sore harinya dengan alasan hendak memeriksa perahu, nelayan itu meninggalkan rumah. Diam-diam dia pergi ke bukit yang terletak tak jauh di selatan perkampungan. Di hadapan sebuah pohon besar dia berhenti dan mengeluarkan cincin kepala ular kobra itu. Cincin dimasukkannya ke jari telunjuk. Jari ini diluruskannya, diarahkan ke batang pohon besar.
Bersamaaan dengan itu digigitnya bibinya. Terdengar suara bersuit. Tiga cahaya putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam batang pohon. Batang yang dua kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan pohon tumbang dengan suara gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa tidak percayanya. Dengan perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu menuruni bukit.
Di tengah jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar hitam. Dia ingin mencoba dan membuktikan keampuhan cincin sakti itu kembali. Cincin dikeluarkannya dipakainya lagi pada jari telunjuk. Ketika diacungkan ke arah batu sambil menggigit bibir, melengking suara seruling lalu sinar yang melesat keluar menghancur leburkan batu besar itu.
Sejak dia memiliki cincin sakti tersebut si nelayan menunjukkan perubahan sikap. Hampir setiap hari dia selalu mengurung diri dalam rumah atau duduk termenung di bawah atap memandang ke tengah laut. Perubahan dirinya ini bukan saja mengherankan istrinya, tetapi juga para tetangga dan kawan-kawan. Namun sampai sebegitu jauh tak seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah terjadi dengan dirinya, termasuk istrinya.
Pada masa itu umumnya kampung-kampung nelayan dan desa-desa di sekitar pantai banyak yang berada dalam keadaan tidak aman. Para perompak atau bajak laut, jika tidak mendapatkan hasil jarahan di laut banyak yang turun ke darat melakukan perampokan, merampas harta benda penduduk termasuk bahan makanan serta melakukan penculikan. Kampung di mana nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari bencana itu.
Sejak setahun belakangan ini sudah dua kali bajak laut mendarat melakukan perampokan, perampasan penculikan dan pembunuhan. Sore itu, menjelang malam hujan baru saja mulai berhenti setelah turun seharian. Laut tampak tenang tak seorangpun nelayanpun berani turun menangkap ikan. Menurut pengalaman meskipun laut tampak tenang namun sewaktu-waktu udara atau cuaca bisa berubah mendadak.
Selewatnya tengah malam kampung yang diselimuti kesunyian dan dibungkus udara dingin berembun yang mengandung garam itu tiba-tiba diramaikan oleh suara kentongan. Mula-mula suara kentongan ini terdengar dari pantai sebelah timur. Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan dengan kentongan di dalam kampung sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar teriakan-teriakan...
“Perompak... perompak!”
“Bajak laut datang! Bajak laut datang!”
“Semua orang lekas lari! Tinggalkan rumah kalian!”
“Selamatkan diri!"
Serta merta kampung nelayan itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang perempuan berpekikan. Anak-anak bertangisan. Orang-orang lelaki segera mengumpulkan anak istri mereka dan melarikannya ke tempat yang aman jauh di balik bukit. Beberapa pemuda bersenjatakan golok, kelewang dan tombak berkumpul membentuk barisan pertahanan, siap berjibaku. Tapi kepala kampung segera menemui mereka.
“Tak ada gunanya melawan perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita! Di samping itu mereka banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga meriam besar! Kalian semua ikut kami menyelamatkan diri!”
Salah seorang pemuda menjawab. “Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi kami tidak takut! Kami rela mati demi kampung halaman, kalau bajak itu tidak diberi perlawanan, mereka akan selalu datang mengganggu!”
“Soal perlawanan kita bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini! Tak ada artinya jadi pahlawan sia-sia!”
Baru saja kepala kampung itu berkata begitu, dari tengah laut tampak kilatan api. Sesaat kemudian didahului oleh letusan menggelegar sebuah benda bulat bercahaya melayang menuju perkampungan.
“Mereka menembakkan meriam!” teriak kepala kampung. “Lekas menyingkir!”
“Bajak laut keparat! Dari mana mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!” maki seorang pemuda.
Tapi saat itu nyalinya sudah lumer dan buru-buru dia melarikan diri mengikuti kawan-kawannya yang telah menyingkir lebih dahulu bersama kepala kampung. Di tengah laut tampak sebuah kapal kayu besar menurunkan lebih dari selusin perahu kecil yang masing-masing berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu serentak mulai mengayuh menuju pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi senyap ditinggalkan seluruh penduduknya.
Soma, nelayan muda itu memegang lengan istrinya erat-erat. Perempuan yang hamil muda ini tak bisa berlari cepat karena takut jabang bayi dalam kandungannya mengalami cidera. Sekali dia terjatuh bayi itu bisa cacat. Hal itu juga yang dikhawatirkan Soma. Karenanya mereka tertinggal jauh dari penduduk kampung yang telah lari lebih dulu.
Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan cincin sakti baja putih berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya. Jika cincin itu sanggup menghancurkan batang kayu dan batu besar, berarti terlalu mudah baginya untuk menghantam lumat tubuh manusia. Selintas pikiran muncul dalam benak Soma. Maka diapun berkata pada istrinya.
“Istriku, aku akan antarkan kau sampai ke balik bukit itu bergabung dengan orang-orang sekampung...”
“Lalu, kau sendiri hendak ke mana?” tanya sang istri heran.
“Aku akan kembali ke kampung...”
“Kembali ke kampung? Perompak-perompak itu akan membunuhmu!”
“Aku harus kembali. Ada sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan menemuimu lagi dalam waktu cepat. Kau tak usah kawatir”
“Tentu saja aku sangat kawatir. Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?”
“Tidak... tidak apa-apa. Aku hanya sebentar.”
Sang istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk kembali. Begitu sampai di bali bukit, nelayan muda ini tinggalkan istrinya. Telinganya seperti tidak perduli akan jeritan sang istri yang tiada henti memanggil.
Ketika Soma sampai di kampungnya kembali dilihatnya puluhan bajak tengah menjarah isi rumah penduduk. Mereka membawa apa saja yang dianggap berharga termasuk ternak. Bajak-bajak laut ini tampaknya marah sekali tidak menemukan seorang pendudukpun di perkampungan itu. Padahal sebelumnya mereka sudah berniat untuk menculik anak gadis dan istri orang.
Kemarahan kini ditumpahkan pada rumah-rumah penduduk yang segera mereka bakar dan hancurkan. Soma bersembunyi di balik sebatang pohon yang bagian bawahnya penuh dengan semak belukar. Cincin baja putih dikeluarkan dari saku dan cepat dikenakan ke telunjuk tangan kanan.
Perompak yang terdekat berada sekitar delapan tombak di seberangnya, tengah melangkah sambil menggiring seekor kambing. Soma kertakkan rahang. Dia tahu betul kambing itu adalah kambing mertuanya. Nelayan muda ini gigit bibir sebelah bawah. Suara seperti seruling melengking tinggi. Tiga cahaya putih melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu.
Anggota bajak yang tengah menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa mengeluarkan jeritan dengan kepala hancur. Kambing yang barusan dicurinya mengembik tiada henti dan lari dalam kegelapan malam.
Nelayan muda itu tegak dengan lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk dingin. Keringat mericik di keningnya. Wajahnya seputih kertas. Seumur hidup dia tak pernah membunuh manusia. Malam itu dia melakukannya. Dan dia menyaksikan kematian perompak itu begitu mengerikan. Semula hendak ditinggalkannya tempat itu dan lari ke bukit saking takutnya.
Namun ketika di bagian lain dia menyaksikan para anggota bajak menghancurkan dan membakar rumah-rumah penduduk, darahnya terbakar kembali. Soma menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya dekat surau kampung, siap membakar bangunan itu.
Soma angkat tangan kanannya, diacungkan lurus-lurus ke arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap surau yang terbuat dari rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling melengking. Tiga cahaya putih berkiblat. Bajak itu keluarkan pekikan maut. Tubuhnya terpental menghantam dinding surau lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. Bajak yang satu lagi tentu saja kaget bukan kepalang.
“Hai! Kau kenapa?!” tanyanya berseru lalu membungkuk meneliti keadaan kawannya ini. Mukanya kontan mengerenyit ngeri ketika melihat punggung kawannya yang berlobang hancur dan darah menyembur! Dia berdiri kembali sambil memandang berkeliling.
Pada saat itulah ada tiga larik cahaya putih menyilaukan menderu ke arahnya. Cepat dia melompat ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu menghantam lebih cepat, tepat pada keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas hancur. Tubuhnya tergelimpang tanpa nyawa! Tiga orang kawannya yang kemudian muncul di tempat itu sangat terkejut serta merta melakukan pemeriksaan. Salah seorang menyuruh kawannya memberi tahu pemimpin mereka.
“Dia dibokong dari belakang. Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini bukan seperti bekas tusukan pisau atau pedang. Mungkin ditusuk dengan tombak besar... gila! Siapa yang melakukan.”
Bajak yang satu berdiri dengan muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Seperti tiupan suling yang sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya suara itu. Justru saat itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya. Anggota bajak ini menjerit dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol. Darah dan usus memberurai keluar.
Kawannya yang satu lagi berteriak tegang dan melompat. Dia melihat jelas ada cahaya putih yang menyambar, menghantam perut kawannya. Namun dia tidak tahu pasti cahaya apa. Dia memandang ke arah kegelapan. Rasa takut menggerayangi dirinya. Serta merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu. Namun dia baru lari tiga langkah ketika suara seruling kembali menggema dan sinar putih menghantam pinggangnya sampai putus!
Soma kepalkan tangan kirinya. Lima bajak laut yang ganas-ganas telah dibunuhnya. Seperti kesetanan dia menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggota-anggota bajak lainnya. Siap untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin baja ular kobra yang ada di jari telunjuk tangan kanannya. Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di tempat tersebut bersama dua orang anak buahnya, membeliak matanya.
“Mereka... Gila! Mereka mati... Mereka dibunuh!” teriaknya marah. Baru saja dia berteriak, di kejauhan terdengar jeritan beberapa kali berturut-turut.
“Hai! Ada cahaya putih berkelebat di sebelah sana!” seru salah seorang bajak.
“Mungkin sambaran petir...?” kawannya menduga.
“Jangan ngacok!” sentak Boga Damar, marah dalam keterkejutannya. “Malam ini memang mendung, tapi tak ada hujan yang akan turun. Lagi pula mana ada peitr tanpa geledek?!”
Si anak buah terdiam tak berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja dia heran dan bertanya-tanya. “Dengar... Ada jeritan lagi! Susul menyusul!” kata bajak satunya lagi.
“Setan alas! Apa yang sebenarnya terjadi!” Boga Damar mendadak menjadi tegang.
Dia memberi isyarat agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya meninggalkan empat bajak yang telah menemui kematian itu tanpa melakukan pemeriksaan. Mereka lari ke jurusan timur kampung, dari arah mana jeritan-jeritan itu tadi terdengar dan cahaya-cahaya aneh tampak berkiblat.
Sampai di sebuah lapangan kecil di mana para anggota bajak mengumpulkan barang-barang jarahannya sebelum diangkat ke atas kapal, Boga Damar menyaksikan pemandangan yang sangat mengejutkan dan hampir tak dapat dipercayainya. Bulu kuduknya merinding.
Sembilan anak buahnya menggeletak malang melintang di tanah. Mereka menemui ajal dengan salah satu bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi terlihat mati dengan cara sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di bawah pohon dan dua lagi di antara tumpukan barang-barang rampasan.
Rahang menggelembung, pelipis bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal serta merta mendelik Boga Damar membentak. “Siapa yang melakukan ini semua? Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Tentu saja tak seorang pun anak buahnya dapat memberikan jawaban. “Ada yang tak beres di tempat ini...!” sentaknya lagi.
“Mungkin... mungkin ada setan atau jin...!”
“Aku tak percaya segala macam setan ataupun jin!” memotong kepala bajak ketika anak buahnya coba membuka mulut.
“Tapi Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat ini. atau mungkin seorang sakti...”
“Kalau memang ada akan kupatahkan batang lehernya!” tukas Boga Damar garang. Mendadak terdengar suara melengking.
“Hai! Tiupan seruling itu!” seru salah seorang bajak. “Tadi kudengar berulang kali sebelum disusul jeritan. Ada cahaya menyambar ke mari...!”
Bajak itu cepat melompat ke samping. Tiga larik sinar putih melesat dan di belakang sana seorang perompak tubuhnya terpental jauh lalu tergelimpang mati dengan dada berlubang hancur!
Boga Damar dan yang lain-lainnya lari memburu namun gerakan mereka tertahan dan semuanya terpaksa selamatkan diri cerai berai ketika sinar putih aneh kembali berkiblat dan dua orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh tergelimpang. Satu menemui ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi merintih sesaat sambil pegangi perutnya yang memburai lalu kaku tak bergerak lagi!
“Bangsat! Siapa yang melancarkan serangan gelap ini!” rutuk Boga Damar sambil bertiarap.
Namun mulutnya serta merta terkancing dan lidahnya menjadi kaku ketika anak buahnya yang ikut bertiarap di sebelah kanannya kembali menemui kematian dengan cara mengerikan, batok kepala hancur disambar tiga larik sinar putih mengerikan itu! Boga Damar adalah seorang kepala bajak berhati ganas dan tidak kenal takut. Membunuh manusia sama mudahnya baginya dengan membalikkan telapak tangan. Berbagai lawan telah dihadapinya tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya tak dapat lagi dikendalikan. Dia tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa sebenarnya dia tengah berhadapan. Dan musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana mungkin dia menghadapinya.
“Kalian semua lari ke perahu!” kata Boga Damar masih tetap tiarap. “Kembali ke kapal! Bawa barang rampasan yang bisa dibawa! Lekas!”
Enam anggota bajak yang tadi sama-sama bertiarap di tanah cepat berdiri. Namun dua di antaranya segera roboh kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba muncul lagi dan menyambar tubuh mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga Damar yang melihat kejadian itu dan semula hendak merangkak bangun cepat jatuhkan diri lalu berguling beberapa kali sampai akhirnya dia dapat berlindung di balik reruntuhan rumah.
Dari sini dia memandang tajam menembus kegelapan di arah sederetan pohon waru di ujung timur lapangan. Suara lengkingan aneh seperti seruling serta sambaran cahaya putih yang menyebar maut itu datangnya dari balik deretan pohon-pohon waru itu. Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu berkelebat cepat ke balik rumah-rumah penduduk, melompat ke arah semak belukar hingga akhirnya dia sampai ke dekat pepohonan waru.
Sejak saat dia mulai melakukan penyelinapan itu sampai akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru lima anak buahnya telah menemui ajal pula dihantam tiga larik sinar maut.
“Ini pasti biang keparatnya!” serapah Boga Damar ketika dia melihat sesosok tubuh tegak di balik pohon waru paling ujung kanan sambil mengangkat tangan dan acungkan jari telunjuk.
Dari jari telunjuk inilah kepala bajak itu mendengar ada suara seruling aneh melengking menusuk telinga yang disusul oleh semburan tiga larik sinar terang. Lalu di kajauhan sana terdengar suara anak buahnya menjerit meregang nyawa. Dengan golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah melakukan pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang leher!
Seperti diketahui Soma adalah seorang nelayan yang sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian silat apalagi kesaktian dan tenaga dalam. Namun dengan adanya cincin keramat baja putih berbentuk kepala ular kobra atau ular sendok itu maka dia berubah menjadi seorang luar biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi sangat tajam.
Karenanya, sebelum Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah mendengar kedatangan kepala bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan diri ke tanah ketika golok menyambar, mengenai tempat kosong dan menghantam pohon waru hingga batang pohon ini hampir terbabat putus.
“Bangsat! Manusia atau jin! Kau tak akan bisa lolos dari golokku!” teriak Boga Damar.
Dia menyergap ke arah Soma. Golok besarnya meluncur lebih dulu. Senjata ini seperti buntut ikan yang menggelepar, bergetar kian ke mari seolah-olah berubah menjadi banyak. Jelas kepala bajak laut ini sengaja mengeluarkan kepandaiannya memainkan golok karena ingin mencincang Soma saat itu juga.
Melihat golok datang menderu sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda itu. Tetapi cincin keramat yang ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya diri sendiri dan tidak memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok hanya tinggal tiga jengkal dari kepala Soma ketika nelayan ini acungkan jari telunjuknya ke arah Boga Damar, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga Damar seperti mendengar angin puting beliung melabrak kedua telinganya. Selagi serangan goloknya mengendur karena terkejut dan terpengaruh oleh bunyi yang nyaring tadi, saat itu pula tiga sinar halus menyilaukan datang menyambar dari depan. Boga Damar tahu betul, sinar aneh inilah yang telah membunuh lebih dari dua lusin anak buahnya.
Maka kepala bajak ini lemparkan goloknya ke arah dada Soma. Di saat yang sama serentak dia menghantam dengan tangan kiri. Ternyata golok Boga Damar tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental berantakan disambar tiga larik sinar putih.
Lalu sebelum pukulan tangan kirinya sempat mengenai Soma, tiga sinar yang keluar dari dua mata dan mulut cincin ular kobra menghantam mukanya dengan telak. Kepala bajak ini hanya sempat keluarkan pekik pendek. Tubuhnya mental ke balakang. Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan anggota bajak yang masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui pimpinan mereka telah menemui ajal. Enam orang di antara mereka dengan marah dan kalap, memegang berbagai macam senjata segera mengurung dan menyerbu Soma. Namun mereka semuah hanya menjadi sasaran empuk sambaran tiga larik sinar putih, mati bergelimpangan dengan badan dan kepala hancur!
Melihat hal ini anggota bajak yang masih hidup menjadi lumer nyali masing-masing dan mereka bersirebut cepat lari ke pantai memasuki perahu-perahu kecil. Soma yang sudah sejak lama mendendam oleh keganasan para bajak itu mengejar sampai ke tepi pasir. Dari sini, dengan sinar putih yang keluar dari cincin baja keramat itu dihancurkannya satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun yang tinggal utuh.
Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun mereka tidak menemukan selamat karena sinar putih yang datang menghantam mereka semua terjengkang mati dalam air!
Ketika Soma kembali ke balik bukit di ujung kampung, istrinya masih menangis ditemani oleh kepala kampung bersama istrinya. Begitu Soma datang sang istri langsung memeluknya.
“Soma! Dari mana kau?!” Kepala kampung nelayan bertanya.
“Sa... saya barusan dari kampung kita...”
“Kau mencari mampus Soma! Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa yang kau lakukan di tempat itu...?!”
“Melihat perampok itu mati terbunuh.”
“Mati dibunuh? Jangan melantur Soma! Siapa yang membunuh mereka...?”
“Saya tidak tahu...” sahut Soma.
Sementara penduduk kampung nelayan itu semakin banyak mengelilingi Soma dan kepala kampung, mereka ikut mendengarkan pembicaraan.
“Perahu-perahu mereka hancur. Saya lihat juga banyak bajak itu yang menemui ajal di laut. Kapal kayu milik mereka melarikan diri dengan sisa-sisa bajak yang tidak seberapa jumlahnya”
Kepala kampung memandang berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu. semua jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Soma memegang tangan istrinya. Lalu berkata,
“Jika kalian tidak percaya, lihat saja ke kampung. Mayat-mayat perompak itu harus disingkirkan sebelum menjadi busuk. Aku dan istriku akan kembali ke kampung...”
Sesaat setelah Soma dan istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang berkeliling. “Bagaimana menurut kalian?” Tanyanya.
“Kami rasa Soma tidak berdusta...” seorang nelayan menjawab. “Kalau bajak masih gentayangan di kampung kita masakan ia mau kembali bersama istrinya...”
“Kalau begitu...” Kepala Kampung itu berpikir-pikir sejenak. “Kita kembali. Aku dan lima orang di atara kalian pergi lebih dahulu. Yang lain-lain mengikuti agak jauh di belakang. Hingga kalau terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat menyelamatkan diri...”
Ketika kepala kampung dan lima orang penduduk yang kemudian disusul oleh seluruh pengungsi itu sampai dan kembali ke kampung mereka, selain sedih melihat rumah mereka banyak yang dirusak serta dibakari sedang harta benda juga banyak rusak dan hanyut di laut, penduduk juga heran bercampur gembira menyaksikan puluhan anggota bajak menemui kematiannya.
Gembira karena kini manusia-manusia jahat penimbul malapetaka itu mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit menerka siapa yang telah melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak anggota bajak laut bahkan pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan belasan perahu. Di antara penduduk ada yang menaruh wasangka bahwa Soma-lah yang melakukan itu semua. Tetapi tentu saja lebih banyak yang tidak bisa mempercayainya.
Soma, seorang nelayan muda yang masih harus banyak belajar tentang bagaimana menangkap ikan dengan segala kesederhanaannya itu, mana mungkin dia mampu melakukann itu. Seorang diri pula? Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah dimilikinya? Sewaktu ditanyai dan didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab.
“Ketika saya kembali ke kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu sudah bergelimpangan mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuh mereka. Mungkin Tuhan telah mengirimkan uluran tanganNya untuk menolong kita yang selama ini selalu ditimpa bencana...”
Adapun Soma sendiri sejak kejadian itu hampir selalu mengurung diri dalam rumah. Cincin keramat baja putih senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan diikatnya erat-erat. Setiap saat peristiwa malam itu seolah-olah terbayang terus di ruang kepalanya, membuatnya sulit tidur dan sukar makan.
Membunuh sekian puluh manusia menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan muda ini. Dia lebih banyak bermenung dan jarang bicara dengan istrinya sendiri, apalagi dengan para tetangga.
Perobahan sikap tabiat Soma ini tentu saja membuat heran sang istri dan juga tetangga-tetangga. Hingga mau tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan bahwa pasti ada hubungan tertentu antara Soma dengan peristiwa yang menggemparkan malam itu.
Peristiwa tersebut akhirnya tersiar pula ke desa-desa dan kampung-kampung terdekat. Banyak di antara penduduk yang sengaja datang untuk melihat sendiri sisa-sisa kejadian itu. Dan karena desas-desus yang dipergunjingkan selalu membawa-bawa nama Soma maka tentu saja banyak orang datang mengunjunginya. Lama-lama hal ini membuat nelayan itu merasa sangat terganggu.
Selain itu dia khawatir rahasianya akan terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak mengucilkan diri ke dalam rimba belantara di balik bukit. Menjelang malam dia baru kembali ke rumah. Apa yang telah terjadi di kampung nelayan itu sampai pula ke telinga seorang abdi dalam keraton yang dia di Bantul.
Bersama beberapa orang sahabatnya abdi dalem ini mendatangi kampung nelayan guna mencari keterangan lebih jelas. Atas saran penduduk mereka juga berusaha menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih dulu melenyapkan diri ke tempat persembunyiannya dalam hutan.
Selama berada dalam tempat persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma merenung. Dengan memiliki cincin keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi seorang berkepandaian tinggi, berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan kemampuan seperti itu mungkin tak satu orang lainpun memilikinya.
Bukan saja para adipati atau tumenggung, atau patih kerajaan, bahkan Sultan sendiripun mungkin tidak mempunyai kehebatan seperti itu. Kemudian memikir kalau dia jadi nelayan terus menerus, apa yang bakal didapatnya dalam masa hidup mendatang?
Apa salahnya kalau dia kini berusaha mencari kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan pengawal raja atau kepala pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara kerajaan? Jadi tumenggung atau adipati atau mapatih kerajaan?
Membayangkan kedudukan yang tinggi itu serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya, bulatlah tekad Soma untuk pergi ke kotaraja. Di sana dia kenal seorang tumenggung yang ketika ayahnya masih hidup mempunyai hubungan baik dengan sang tumenggung.
Malam harinya begitu sampai di rumah Soma segera mengatakan pada istrinya bahwa besok dia akan berangkat ke ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak diceritakannya pada perempuan itu. Tentu saja sang istri terheran-heran mendengar maksud suaminya.
Namun menyadari bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang istri hanya bisa meminta agar Soma lekas kembali. Yang penting kalau dia melahirkan beberapa bulan di muka Soma harus ada di sampingnya. Soma berjanji akan kembali sebelum istrinya melahirkan.
Tumenggung Cokro Buwono tentu saja gembira mendapat kunjungan anak bekas sahabatnya di masa muda. Namun dia jadi terkejut ketika mendengar permintaan Soma agar dia membantu mendapatkan pekerjaan sebagai kepala pengawal istana di kotaraja.
“Soma,” kata sang tumenggung. “Hidup dan bekerja sebagai nelayan hampir tidak ada bedanya dengan seorang anggota pasukan keraton. Malah bagiku yang sudah tua ini jika harus memilih, aku akan lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih tenang, dekat dengan alam ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab yang besar...”
Ketika Soma mendesak agar Cokro Buwono membantunya mendapatkan kedudukan yang diinginkannya itu, sebenarnya tumenggung ini ingin mengatakan bahwa untuk jadi kepala pengawal, jangankan kepala pengawal, kepala regu pengawal sajapun sangat berat ujiannya. Dan dia tahu sebagai seorang nelayan di sebuah kampung pantai selatan Soma tidak memiliki kepandaian apa-apa yang dapat dijadikan dasar keprajuritan. Dan jadi kepala pengawal bukan main-main karena harus mempertanggung jawabkan keselamatan raja beserta keluarganya.
“Jika kau memang sudah tidak suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan hidup, aku bisa memberikan pekerjaan padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi perajurit…”
“Terima kasih tumenggung. Saya tak ingin cari pekerjaan lain, selain jabatan seorang perwira di istana. Kalau tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa. Hanya bisakah tumenggung membuat sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada mapatih kerajaan…?”
Tentu saja Cokro Buwono tidak mau meluluskan permintaan Soma itu. dia tahu siapa adanya Soma dan tak mau mendapat malu mengirimkan seorang pemuda yang mungkin bisa dianggap kurang waras menemui patih kerajaan.
“Kau pulang sajalah Soma. Aku akan memikirkan permintaanmu itu dan memberi tahu kalau memang ada kemungkinan satu jabatan bagimu dalam lingkungan istana…” Kata Cokro Buwono akhirnya.
“Saya tahu…” kata Soma dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala. “Saya memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang perajurit. Tetapi jika saja tumenggung dapat memberikan satu ujian, niscaya saya akan dapat melakukannya…"
“Ujian untuk jadi seorang perajurit, apalagi yang bertugas dalam lingkungan istana tidak ringan. Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri bahkan kematian!”
“Apapun akibatnya akan saya tanggung,” jawab Soma dengan masih terus menundukkan kepala.
Tumenggung Cokro Buwono tak tahu apa lagi yang harus diucapkannya. “Apakah kau sanggup berkelahi empat puluh jurus melawan perwira penguji? Apakah kau sanggup menunggang kuda dan membalap binatang ini ke puncak bukit sambil melemparkan tombak ke sasaran yang sudah ditentukan dan harus kembali ke kaki bukit pada hitungan ke seratus? Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor raja hutan…?”
“Menurut hemat saya yang bodoh ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu sudah kuno...”
Terbelalak Tumenggung Cokro Buwono mendengar ucapan Soma itu. “Lantas ujian mana yang menurut mu lebih pantas?!” Tumenggung ini mulai kehilangan kesabaran. Apalagi saat itu dia harus menghadiri satu pertemuan penting.
“Mohon maafkan saya tumenggung,” ujar Soma yang melihat kekesalan orang. “Kalau saya tidak salah dengar saat ini para pemberontak yang datang dari utara semakin menunjukkan gerakan-gerakan yang berbahaya. Terlebih setelah mereka merasa mendapat dukungan dari beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau menghancurkan sarang-sarang pemberontak itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi saya…?”
“Maksudmu kau akan memimpin sejumlah pasukan untuk menumpas mereka…?”
Soma menggeleng. “Saya hanya perlu petunjuk di mana letak sarang mereka, siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu saya akan menumpasnya seorang diri!”
Tumenggung Cokor Buwono tertawa gelak-gelak sampai kedua matanya berair. Ingin sekali dia menampar mulut pemuda yang lancang itu. Kalau tidak ingat dia adalah putera almarhum sahabatnya di masa muda pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya. Apa yang diucapkan Soma tentu saja sangat menghina dan merendahkan kewibawaan apra perwira istana, para adipati dan tumenggung dan mapatih kerajaan!
“Soma… Soma. Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati, puluhan perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan petunjuk raja sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa yang harus dilakukan dan bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku kau berkata sanggup menghancurkan mereka seorang diri. Dewa apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara demikian kerennya?”
Soma tersenyum kecil. “Tumenggung Cokro,” katanya. “Tentu sudah mendengar peristiwa menggemparkan kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang bernama Boga Damar di kampung kami…”
Tumenggung berjanggut putih itu mengangguk. “Seorang abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu. Hanya aku tidak tahu kalau kau berasal dari kampung yang sama… Sampai saat ini tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan gerombolan perompak itu!”
“Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, apakah tumenggung mau merahasiakannya dan berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun…?” Bertanya Soma.
“Aha… Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang menggemparkan itu. Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu…” kata Tumenggung Cokro Buwono pula.
“Bagus kalau begitu…”
“Bagus bagaimana?”
“Tumenggung mau berjanji memegang rahasia?”
Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala. “Baik, aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada siapapun!”
“Yang melakukannya adalah saya.”
Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma. “Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan petinggi kerajaan…?"
“Saya tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya hormati.” Jawab Soma pula. “Apa yang saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin mereka…”
“Seorang diri?!”
“Seorang diri tumenggung…”
“Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara yang tidak-tidak...”
“Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada dalam keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta. Bahwa saya benar-benar waras dan mampu untuk melakukannya demi tantangan jabatan yang saya pertaruhkan…”
Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit baginya untuk mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini kelihatannya bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur ruangan besar itu, kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono kembali menemui Soma.
“Baiklah Soma, aku akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara wates ada segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan keganasan rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri yang telah membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah gerombolan rampok itu jika memang kau mampu. Setelah berhasil melakukan ujian itu baru kita bicarakan lagi…”
“Terima kasih tumenggung…” kata Soma seraya menjura hampir berlutut. “Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa kepala Warok Grindil!”
Tidak sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di gedung kediaman Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh debu. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu tumenggung muncul di ambang pintu sebelah dalam.
“Ujian telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya,” ucap Soma.
Saat itu Cokro Buwono diiringi oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang sahabat dari kadipaten Sleman. “Apa isi bungkusan itu Soma?” tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka kelihatanlah sepotong kepala manusia yang sebagian sudah hancur dan tertutup darah yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan bau busuk!
“Kepala siapa itu?!” tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik dan sambil menutup hidungnya.
“Itu kepala Warok Grindil!” Yang menjawab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung.
“Ooladalah…!” Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi gedung menjadi gempar. “Singkirkan kepala itu. Buang jauh-jauh…” perintahnya kemudian.
Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai. “Soma, benar kau yang membunuh kepala rampok itu?” tanya tumenggung kemudian. “Saya bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira selusin anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang berhasil lolos…”
Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi matanya menyaksikan sendiri. “Kalau begitu…” Kata tumenggung kemudian, “Sementara kau boleh tinggal di sini. Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan orang-orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri dengan menghancurkan kaum pemberontak itu tentu bakal dikabulkan.”
“Terima kasih tumenggung. Terima kasih…” jawab Soma berulang kali, haru dan gembira.
“Kalau aku boleh bertanya,” Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut, “Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan dapat membunuh pimpinannya?”
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab, “Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya ceritakan.”
Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun Tumenggung Cokro Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa Soma ke balakang dan memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini.
Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu apa yang disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah mendapat petunjuk dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan sepengetahuan mapatih maka pada tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma diizinkan untuk melakukan penumpasan terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal berarti dia akan menerima kematian di tangan pemberontak.
Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan istana akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan bukan kepala pengawal apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata nelayan itu hanya omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting istana maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya.
Dalam pada itu tanpa setahu Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang di bawah pimpinan seorang pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak gerik serta apa yang akan dilakukan nelayan bernama Soma itu. Ketika kepada Soma disampaikan bahwa istana menyetujui rencananya untuk menjalani ujian dengan cara menumpas kaum pemberontak, nelayan ini gembira sekali.
Sang tumenggung yang masih mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu berkata, “Soma, kau boleh mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit. Percayalah bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi kaum pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka terdiri dari orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian tinggi…”
“Terima kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau diizinkan biarkan saya pergi sendiri…”
“Terserah padamu...” jawab Cokro Buwono.
Pagi harinya ketika dia menyuruh pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi, ternyata nelayan itu sudah tak ada lagi di kamarnya. Berdasarkan peta yang diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro Buwono, Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para pemberontak. Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak mempergunakan perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai menunggang kuda) maka perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama.
Hampir tiga puluh hari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan orang-orangnya telah menguntit perjalanannya. Dengan hati-hati Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum pemberontak itu dan pada kemah-kemah mana mereka berdiam.
Setelah seluk beluk di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan perundingan penting antara pucuk pimpinan para pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan mereka mengatur waktu untuk menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa kota kadipaten sebelum melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan dalam kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak barang yang terletak tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para pengawal itu terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar dari cincin ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari kain tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada di dalam.
Membayangkan kedudukan tinggi yang bakal didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja ular kobra dan cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-hati. Ketika dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking. Tiga larik sinar putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya semula. Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah segera pula keluar berhamburan.
“Ada apa…?” salah seorang bertanya.
Para pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya menunjuk dengan ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga larik halus sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, perutnya berlobang besar. Darah mengucur, usus membusai!
Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali tampak sinar putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak kembali menjadi korban! Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak dengan senjata terhunus berdatangan, tapi mereka tak tahu hendak berbuat apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin mereka sama sekali tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah perundingan secara tak sengaja sempat melihat asal datangnya sambaran sinar putih yang membawa maut itu. Dia segera berteriak,
“Lihat! Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!”
“Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!”
Puluhan perajurit segera menghambur. Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi gugup dan keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan para pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke arahnya. Sebuah tombak, walaupun tidak telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan luka cukup parah.
“Celaka! Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!” kata Soma dalam hati dan mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap. Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi, menunggu di balik kerapatan semak belukar. Begitu para pengejar muncul di kegelapan, dia segera acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus. Sinar putih berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti. Sosok-sosok tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh bergelimpangan setumpuk demi setumpuk.
Para pengejar sebelah belakang hentikan pengejaran mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai berai. Sampai Soma lari jauh meninggalkan tempat itu tak seorangpun yang berani bergerak. Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya membuat tubunya makin lama makin letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan markas kaum pemberontak ketika kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan. Tubuhnya roboh ke tanah, setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar berkata, “Naikkan dia ke atas kuda cadangan!”
Dua orang melompat turun dari kuda masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu memacu kuda masing-masing tinggalkan tempat tersebut.
“Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di sini. Aku harus memeriksa keadaan orang itu!”
Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma mengacungkan telunujuk tangan kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan tinggi yang disusul dengan melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar biasa.
Apapun adanya ilmu yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada jari telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin putih yang melingkar di jari telunjuk orang itu. Arga Kusumo tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin aneh berbentuk kepala ular itu.
Namun dia adalah seorang pangeran yang cerdik. Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat dia meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan sangat lemah, karena terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan untuk menggerakkan tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir tak sanggup.
“Ja... jangan am... jangan ambil cin... cincin itu...”suara Soma perlahan dan tersendat.
“Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu Soma. Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan jabatan tinggi padamu...”
Paras Soma sesaat tampak seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin itu, kembali dia berkata, “Kembalikan cin... cin itu. Masukkan ke... ke jariku...”
“Soma, kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan melesatkan sinar putih... Katakan apa manteranya...” Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti yakin kalau memang cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma. Kalau tidak mengapa dia begitu mementingkan benda tersebut.
“Jangan kawatir Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. Tapi yang penting kau harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya...”
“Tak ada mantera apa-apa...” Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa. Mati?
Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih terdengar degupan jantung meskipun perlahan. “Soma, dengar... Kau tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami kembalikan pada istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau jelaskan bagaimana menggunakannya...”
Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya semakin tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
“Soma, lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup pada istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada gunanya rahasia itu kau bawa ke liang kubur...”
Soma tetap diam. Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu, guncangan ini membuat Soma mengeluh kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti dicopot satu demi satu.
“Ayo Soma. Lekas katakan...”
Akhirnya Soma membuka mulut juga. “Kau... kau hanya memasukkan cincin itu ke jari telunjukmu. Lalu... lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah bawah. Sesudah itu... ada suara melengking. Lalu... lalu....”
Soma tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi wajah sang istri tiba-tiba lenyap dan mendadak digantikan oleh wajah setan, mahluk berjubah putih yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak marah sekali. Dia mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian nelayan itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini."
“Bagaimana dengan jenazah orang ini...?" tanya salah seorang pengikut.
“Bagaimana apa maksudmu?” balik bertanya sang pangeran.
“Bukankah jenazahanya harus kita urus? Bukankah dia layak mendapat penghargaan karena telah menumpas kaum pemberontak?"
Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai. “Jika kau merasa begitu, kau uruslah sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!”
Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya. Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya dia merasa sedih melihat nasib Soma. Seringai yang masih mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam.
Lima kuda tunggangan meringkik keras, langsung berhenti berlari dan melonjak-lonjak liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang tinggi melayang turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit sehelai selendang merah dan di balik punggungnya orang ini membekal sebilah golok besar tanpa sarung!
Hebat dan ganasnya, sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung hantamkan kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut sang pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa!
“Orang tak dikenal! Siapa kau yang berani menyerang kami!” teriak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning menjawab bentakan itu dengan gelak tawa berderai, membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada keempat pengikutnya.
“Bunuh pengacau itu!”
Empat orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan mengurung orang berbaju kuning.
“Pangeran Arga! Tunggu dulu...!” Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
“Hemm... jadi kau tahu berhadapan dengan siapa? Mengapa tidak lekas minta ampun?!” memotong sang pangeran.
“Justru karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh. Sebagian dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang tejadi di markas pemberontak telah kusaksikan. Aku juga mengetahui apa yang kau lakukan dengan Soma...”
“Apa urusanmu dengan semua ini?!”
“Tentu saja ada...! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu. Kedua sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri milik orang lain...!”
“Mencuri milik orang lain?! Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek mulutmu!” Pangeran Arga Kusumo tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang ini sebelumnya dan berusaha menduga-duga siapa adanya.
Si baju kuning tertawa. “Aku tak punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk mengambil cincin milik Soma yang tadi kau ambil!”
“Hemmm... Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di malam buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!”
Orang berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. “Siapa yang tidak kenal Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah Blorok!”
Empat orang pengikut sang pangeran menjadi pucat mendengar orang itu memperkenalkan diri. Sedang sang pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar hatinya ketika mengetahui siapa adanya manusia berpakaian kuning yang menghadang. Tapi dia tak mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai pangeran muda yang memang memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata,
“Orang lain mungkin takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan kami orang-orang keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari hadapanku!”
“Pangeran, jika kau tak mau mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin keramat itu dari tanganmu secara kurang ajar!”
“Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!”
Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian silat dan ilmu perang. Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat jurusan. Empat senjata berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok, termasuk satu yang membabat ke arah kepalanya.
Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke punggung. Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing aneh.
“Trangg-Trangg-Trangg...!"
Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari mereka melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan tangannya menyebur darah, hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil pegangi dada. Senjatanya telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah. Ada darah keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini mati karena sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit jantungnya.
“Kurang ajar!” bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Tubuhnya melayang ke bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah memegang pedang pendek milik anak buahnya yang barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini saja jelas pangeran muda itu memiliki kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah Blorok tidak gentar.
“Pangeran, haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan cincin itu secara baik-baik?”
Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil melintangkan golok tipis di depan dada. Sebagai jawaban sang pangeran langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan berantai, deras dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia merobah kedudukan kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
“Trangg...!”
Pedang pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya dia sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan sakit amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap menyeringai.
“Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?”
“Tidak!” sahut Arga Kusumo tandas.
Dia lemparkan patahan pedang ke tanah lalu menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang yang memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong dia cepat sisipkan goloknya ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran Arga.
Setelah tujuh jurus berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang pangeran masih jauh di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-bulanan pukulan akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah.
Ketika dia berusaha bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya yang robek itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia menyimpan cincin baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya astaga! Ternyata cincin itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning Lembah Blorok saat itu telah lenyap!
Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang Lor, orang tertua dari Enam kelewang Maut.
“Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tentu ada kelanjutan ceritanya. Kalau tidak, bagaimana kemudian kau muncul mengatakan bahwa manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda itu...?”
Lor Sebrang mengangguk. “Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik merenggut jiwa manusia lebih dari dua puluh orang...”
“Kalau kau mengetahui cincin itu mengundang maut bagi pemiliknya dan orang lain, mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin memilikinya?” bertanya Wiro.
“Aku sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,” menyahuti Sebrang Lor. “Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk memilikinya...”
“Lantas?”
“Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-orang pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh beberapa ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari cincin itu dan mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu jauh tidak satupun di antara kami berhasil...”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk kebajikan pasti banyak manfaatnya...”
“Kau benar.” Ujar Sebrang Lor pula. “Tetapi lebih banyak malapetakanya daripada manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya cenderung mempergunakan untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan pribadi walaupun jalan yang ditempuh menimbulkan bencana bagi orang lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng...”
“Tadi aku mendengar manusia berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang pangeran. Agaknya pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk mengejar dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah pangeran itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam penuturanmu tadi...?"
“Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja yang aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mempergunakan pasukan Demak untuk melakukan hal itu. Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak dengan Kotagede. Atau sang pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak ingin orang dalam mengetahui rahasia cincin sakti itu.”
“Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah selanjutnya benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu Ireng?” Bertanya Wiro.
“Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi, mohon maaf saja. Sebentar lagi pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin jauh. Kami tak punya waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami sampaikan...”
“Amanat apa?”
“Dalam pertemuan di danau Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan orang segolongan wajib memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan cincin itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka yang mengerikan...”
Wiro merenung sejenak sambil menggaruk rambut. “Yang aku kawatirkan,” katanya kemudian “Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki cincin keramat itu jadi berubah pikiran!”
“Kau benar Pendekar 212,” menyahuti Sebrang Lor. “Karena itulah, begitu bertemu cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami harus pergi sekarang. Kau mau membantu?”
Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk.
Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro tak dapat melihat wajah orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga kepala dan keseluruhan wajahnya tertutup.
Beberapa kali Wiro sengaja menggeser duduknya untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat sebahagian janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun demikian dia sudah cukup puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang ditemuinya dua malam lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi riwayat puluhan perajurit Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng.
Manusia yang kini memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu. Tapi di mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di masing-masing tangannya? Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu Ireng tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia memiliki satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat cepat. Bukan mustahil si baju hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang menyerangnya di bawah hujan lebat, dalam rimba belantara di malam buta dua hari lalu.
Wiro memutuskan untuk melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu. kalaupun tenyata parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya malam itu, maka dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu bertindak aneh. Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau tidak ingin menyembunyikan maka apa maksudnya?
Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya ketika dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis disantapnya lalu melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan orang ini, semakin curiga pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi langkahnya yang cepat dan sikapnya yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang sembarangan.
Di luar hujan turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung jalan. Sebelum menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari kini. Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping lebar itu tak kelihatan lagi.
Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya jalan, lurus tanpa tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah kanan sungai kecil berair kuning. Pendekar kita garuk-garuk kepala. "Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!” maki Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap saja orang yang tadi dikuntitnya tidak tampak. “Kalaupun dia menyeberang kali, pasti masih sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia menyelam ke dalam kali atau...?”
Wiro memutar tubuhnya. Pada saat itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara perempuan. “Orang berambut gondrong, kau mencariku...?!"
Wiro putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua. Ketika dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya menunduk hingga wajahnya tetap sulit dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng membetot lepas caping lebar itu.
“Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang...?!”
Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya tertangkap basah mengiuti orang. “Aku tidak mencarimu!” sahut Wiro.
“Hemmm...” si baju hitam bergumam. “Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu. Tapi jelas kau mengikutiku bukan...?”
Wiro menyeringai. “Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan ucapanku walau malu mengakui!”
Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212. “Terus terang, aku mencurigaimu...” kata Wiro akhirnya.
“Sama! Akupun mencurigaimu!” sahut si baju hitam bercaping lebar.
“Kenapa kau mencurigaiku?” tanya Wiro penasaran.
Mulut di balik caping lebar itu tertawa. “Kau menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu tidak cukup alasan untuk mencurigaimu?!”
“Aku bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?” tukas murid Sinto Gendeng.
“Mungkin kau lebih jahat dari maling atau rampok!” ganti menukas si baju hitam.
Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek. Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan. Makin lama makin keras.
“Selain lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras. Kalau tidak mengapa kau tertawa tanpa alasan?!”
Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak menembus caping bambu itu. “Sobat, kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk menghajarmu!”
“Hebat betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini?!”
“Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!” maki Wiro. “Dua malam lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku maling rampok. Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut busuk! Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!”
“Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku menyerangmu, hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran dua malam lalu hingga orang inginkan jiwamu?! Kini hebatnya menawarkan segala macam syarat! Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan perjalanan!”
“Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia persilatan! Bukankah itu tujuanmu...?”
Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak dapat melihat wajah lelaki berjanggut ini.
“Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah mimpi hendak menguasai persilatan!”
Wiro menyeringai. “Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah membunuh puluhan perajurit Demak dua malam lalu? Kau hendak berdusta. Padahal aku sendiri berada di tempat kejadian itu...!”
“Ternyata otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang perajurit-perajurit Demak itu!”
“Apa yang kuketahui...?” Wiro tertawa panjang. “Kau membunuh habis mereka semua!”
“Aku tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!”
“Nada pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat menyembunyikan bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian malam itu...”
“Ada sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-perajurit Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Pangeran Arga Kusumo?!”
“Heh... Kau menyebut nama pangeran itu!” ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang dituturkan Sebrang Lor. “Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo?!”
“Justru aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau kawanmu?!” balik menyentak si caping lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut juga dengan kasar dan jengkel. “Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran. Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu orang tua!”
Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang berjanggut berpakaian hitam itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah. Jelas gerakannya mengandung kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang bisa melakukannya.
“Berani menghadang berani menerima hajaran!” mengancam Wiro.
“Bagus! Jika saat ini kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin kugebuk dulu baru kau mau bicara!”
“Kampret hitam berjanggut buruk!” ujar Wiro “Kau ini siapa sebenarnya? Bukankah kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut? Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?”
“Ah, semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau rupanya ada sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh itu!”
Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu manggut-manggut. “Tidak ada kisikan tak ada alasan tiba-tiba saja kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu. maksudmu tentunya untuk menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu Ireng yang kini memiliki cincin hasil rampasan itu!”
“Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu kau siapa?!”
“Siapa aku apa perdulimu!”
“Kampret brengsek!” semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu.
Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang gerakannya. Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya. Dengan jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang. Maksudnya hendak menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan. Karena itu dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras, ditambah sedikit tekanan tenaga dalam.
Namun hampir tangan kirinya menyentuh lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat, mengelak ke samping kiri. Dari arah ini dia lepaskan serangan balasan berupa tusukan dua jari ke arah leher Wiro. Entah mau menotok entah mau menusuk tembus batang leher pendekar muda itu!
Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas itu Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si baju hitam berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke arah batok kepala Wiro. Setelah berkelahi sampai sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam lawannya jauh berada di bawahnya.
Tetapi satu hal membuat orang itu sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat lalu balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya bukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju hitam ini berhasil menggebuk sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu merupakan seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka Wiropun mulai lancarkan serangan-serangan tipuan. Ketika lawan kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam.
“Bukkk...!”
Jotosan melanda dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil menahan sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat wajahnya sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya, tapi yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya melentik keluar tanda dia dijalari rasa sakit.
Di saat itulah pendekar dari gunung Gede ini menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang lawan, tetapi tidak terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik lepas caping lebar di kepala si baju hitam!
Orang itu keluarkan seruan tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari kepalanya. Kedua tangannya membuat gerakan seperti hendak menutupi wajahnya. Dan seruan tadi itu?! Sesaat membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
“Sialan! Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!” ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya memang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan paras orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu. rambutnya kelihatan telah memutih dan digelung ke belakang seperti rambut perajurit. Kulit mukanya klimis dan sepasang matanya mengandung daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk mata seorang lelaki yang berhati keji.
“Kembalikan caping bambuku!” seru si baju hitam.
Wiro Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini dipakainya. “Jika kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau tidak silahkan ambil sendiri!”
“Bedebah!” si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi anehnya, setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan diri.
“Hai!” seru Wiro mengejar. “Tunggu dulu!”
Si baju hitam tambah mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin dia akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya dan lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya.
Entah disengaja entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang kepala orang, tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga bukan saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke tanah sedang kepala itu kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai sebatas pinggang.
Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu. “Kampret apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang hitam!” ujar Wiro dalam hati.
Di depan sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan diri tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak belukar tinggi. Kawatir orang hendak menipu lalu membokongnya, Wiro dekati semak belukar dengan hati-hati. Siap untuk memukulkan tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-segala kemungkinan.
Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara orang menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan! Begitu sampai di balik semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah lelaki berjanggut dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu.
“Kampret jantan ini kenapa menangis seperti betina?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala memandang keheranan. “Hai! Kenapa kau menangis!” tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin jelas kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan!
“Eh, orang ini lelaki atau perempuan...?” bertanya-tanya murid Sinto Gendeng dalam hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak menipunya, Wiro melangkah lebih mendekat. “Kalau dia memang perempuan mengapa berjanggut dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi terlepas. Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng?! Si ahli menyamar yang menguasai cincin baja kepala ular kobra!”
Maka memikir sampai ke situ Wiro tak mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah. Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro ajukan pertanyaan “Kau ini, sebenarnya siapa? Laki-laki atau perempuan?”
“Pergilah! Buat apa mengurusi diriku lagi!” kata si baju hitam. Suaranya kini jelas sekali suara perempuan. Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia tidak dapat lagi menyaru suaranya sebagai suara lelaki.
“Hai! Jadi kau perempuan!” ujar Wiro. Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro merasa iba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata. “Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang yang hendak membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih jauh. Ini capingmu...”
Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang telah dipungutnya. Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu pada ujung sebuah ranting.
“Sebaiknya aku tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalau kau suka menerangkan siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana?”
“Mungkin... Aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu menguntit...?” berkata perempuan itu di antara sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga. “Namaku Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak membunuhku dalam rimba belantara...”
“Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu...?”
“Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab, “Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu. Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu. Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu Ireng. Manusia terakhir yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja berkepala ular itu...”
“Cincin itu...” kata si baju hitam, “Tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka...”
“Kau tahu banyak tentang cincin keramat itu...?” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. “Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?” Wiro mendesak. Lalu cepat menyambung, “Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau apa...?!”
Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya tiba-tiba bergerak menanggalkan janggut dan kumis lebatnya dan astaga! Kini berubahlah wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia kurang dari tiga puluhan, bermata bening dan teramat ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu sambil senyum-senyum dia bertanya, “Apa perlumu melakukan penyamaran seperti ini...?”
“Jika kau seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa...”
“Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan ke mana...?”
“Aku datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam perjalanan ke Kotaraja...”
“Lalu namamu...?”
“Ningrum...” Wiro manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong. “Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?”
“Mencari seorang pangeran bernama Arga Kusumo...”
“Pangeran Arga Kusumo...? Dia masih sanak kerabatmu?"
“Justru aku ingin membunuhnya!” Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget.
“Membunuh seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke kediamannya, para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!”
Perempuan ayu itu menyeringai. “Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa dilakukan...”
“Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?”
“Dia membunuh suamiku!”
“Ah, urusan dendam kesumat rupanya,” kata Wiro pula. “Tapi mengapa sampai pangeran itu membunuh suamimu?”
“Dia merampas milik suamiku.”
“Apa?”
Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab. “Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu padaku...”
Wiro berpura-pura kecewa. Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut. “Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku...”
Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng. “Kalau begitu suamimu adalah Soma!” katanya.
Kini perempuan itu yang ganti terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu...?”
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam Kelewang Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih berkepala ular kobra itu. “Menurut Sebrang Lor kau tidak tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki suamimu itu. Soma tewas dalam hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau mengetahui kematiannya?" Bertanya Wiro.
“Sejak musnahnya gerombolan bajak yang menyerang kampung, semua orang-orang termasuk aku menaruh wasangka bahwa Soma-lah yang melakukan itu semua. Jika dia yang berbuat berarti dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa. Dalam pada itu, tak lama setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan seorang pembantunya datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang telah menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, hendak mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku sengaja dibiarkan mati dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnya pun tidak diurusnya...”
Sebagai seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak memiliki kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup mengherankan kalau kini dia menjadi seorang perempuan muda berkepandaian tinggi. Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan itu menuturkan lebih lanjut.
“Setelah berita itu kuterima, ditemani oleh beberapa orang pembantu Tumenggung Cokro Buwono aku coba mencari jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya tinggal tulang belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil menemukan jenazah ataupun tulang belulangnya...”
“Tunggu dulu,” ujar Wiro ketika dia ingat sesuatu. “Menurut penuturan Sebrang Lor, ketika Soma pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua...”
Ningrum mengangguk. “Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku melahirkan. Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah dilahirkan..." Kedua mata Nignrum kembali tampak basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa kali dia meneruskan. “Dalam perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-orang Tumenggung Cokro Buwono bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak memperkosaku beramai-ramai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, muncul seorang kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup. Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya. Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah meninggal. Kematiannya tidak wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan. Ada dugaan bahwa dia dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin rahasia kematian dan kepahlawanan Soma terbuka...”
“Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu...” Walau tak menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
“Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat ini tentu dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!”
“Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku,” sahut Ningrum.
Wiro garuk-garuk kepala. “Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?” tanya Wiro.
“Kalaupun aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut...”
Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. “Tidak mudah mendapatkan cincin itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang kini menguasainya...”
“Tapi orang-orang sepertimu tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat ratusan korban lagi akan menemui ajalnya!” kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro. Setelah berpikir sebentar kemudian dia berkata, “Bagiku tugas kita paling utama saat ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu...”
“Kita katamu?” ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. “Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali? Kurasa itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja mencari penyakit”
“Kalau kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah tidak akan menyusahkanmu?"
“Berjalan dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya. Kau sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu...”
Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap memakai caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut.
Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Empat hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga sampai ke tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram.
Entah karena keletihan mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka. Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian dia berpikir. Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik.
“Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!” kata Ningrum.
Wiro tersenyum. “Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan. Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana...?” Wiro menunjuk ke arah barat.
“Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih?”
“Itulah bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari.”
“Sebenarnya siapa yang kita cari ini?” tanya Ningrum.
“Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara kerontangan kaleng, beri tahu aku...”
Keduanya terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak ada tumbuhan di situ masih belum terdengar suara apapun, termasuk suara kerontang kaleng.
“Aku tak mendengar suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang kita cari tak ada di sini!” Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiro pun mulai merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai ke puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam keadaan kosong.
“Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih baik tinggalkan tempat ini...”
“Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini,” sahut Wiro.
“Siapa yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya, disedot udara panas?”
“Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun usianya tinggal di bukit ini...”
Habis berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan menyeramkan.
“Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!”
Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang. Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti.
“Kita pergi saja,” mengajak Ningrum.
“Tunggu. Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul...” Wiro hentikan kata-katanya. “Aku mendengar sesuatu.”
“Aku tak mendengar apa-apa...” kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat kepandaian dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi.
“Dia muncul!” Wiro tertawa gembira. “Ikuti aku...!” katanya lalu lari ke jurusan selatan bukit.
Setelah lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar suara aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan dalam kaleng, lalu digoncang-goncang terus menerus.
“Lihat! Itu dia!” seru Wiro seraya menunjuk ke depan.
Memandang ke muka, Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus, berpakaian penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah mereka. Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang dibuatnya sama dengan lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan bantuan tongkat kayu di tangan kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang kaleng rombeng di tangan kanannya.
“Kakek Segala Tahu!” panggil Wiro Sableng. “Aku datang lagi! Apakah kau baik-baik saja selama ini...?”
Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya dan menyeringai. “Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak baik bukan? Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah menjadi mayat!”
“Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itulah aku datang mencarimu ke mari!”
“Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal dunia persilatan apa soal jodohmu...?” si kakek tertawa gelak-gelak.
“Kek, kau tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut itu...”
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum kempot dia berkata, “Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang kau bawa ke mari ini...?"
Wiro garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak kemerahan wajahnya. “Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan,” jawab Wiro.
“Perempuan biasanya memakai pupur dan bergincu. Kalau perlu menghitamkan sedikit alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan saat ini, sahabatmu ini memakai kumis dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh namanya? Atau mungkin dia pemain wayang wong!” si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah Ningrum semakin merah. Tapi dalam hati perempuan ini jelas sangat terkejut. Kakek itu jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya adalah seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala?! Kemudian didengarnya Wiro berkata,
“Ningrum, kau jangan tersinggung. Kakek ini memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih tajam penglihatannya dari kita.”
Ningrum tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
“Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?”
Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya. “Terakhir sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di tangan seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin itu dia bisa menjadi orang nomor satu dalam dunia persilatan!”
“Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar nasihatmu bagaimana caranya mencari dan menemui Randu Ireng...”
Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang memegang kaleng. “Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa sebelum kau dapat berhadapan dengan dia...”
Wiro garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek buta itu merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban yang mereka dapat hanya seperti itu.
“Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu...” Kata Wiro pula.
“Ya... ya... ya...! Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan sangat cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran juga mengikutinya!” Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali berturut-turut lalu meneruskan, “Mencari langsung manusia bernama Randu Ireng itu sulit sekali. Sampai kiamat kurasa kalian tak akan berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu bisa mencari seorang perempuan cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa menangkap Randu Ireng hidup-hidup.”
“Siapa Ratu Mesum ini kek?” membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
“Ah, bagus kau bertanya begitu...” Sahut si kakek. “Nah, membuat urusan dengan si Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan cantik jelita, berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis pakaiannya itu hingga lekuk liku tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu sekujur tubuhnya menebar bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki. Akupun yang sudah tua bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan...” kata Si Segala Tahu lalu tertawa panjang.
“Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?” bertanya Wiro setelah si kakek hentikan tawanya.
“Ratu Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering berada di sebuah danau...” Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu memberitahukannya pada Wiro. Lalu menyambung, “Satu hal yang membuat sulit berurusan dengan perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar biasa. Setiap lelaki yang disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika sudah puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!” (Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya)
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala mendengar keterangan itu sementara Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat reaksi si pemuda.
“Ingin sekali aku menemui sang ratu itu...” kata Wiro perlahan.
“Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin keramat itu, benda itu akan dirampasnya!”
“Sialan! Berabe juga urusan ini!” ujar Wiro. “Apakah tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?” tanya Ningrum.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu kerontangan kaleng berhenti diapun berkata, “Ratu Mesum adalah yang paling mungkin memberikan bantuan. Apalagi kalau lelaki muda seperti sahabatmu itu yang memintanya. Lain dari itu kukira Randu Ireng hanya bisa dipikat dengan paras cantik dan tubuh bagus. Selagi dia lengah rampas cincin itu... Hanya saja, kalian harus dapat membaca situasi...”
“Membaca situasi bagaimana?” tanya Wiro.
“Jika cincin itu berada dalam jari telunjuk, sekali-kali jangan dekati Randu Ireng. Jadi kalian harus melakukan sesuatu sebelum dia sempat memakai cincin tersebut di jari telunjuk... Nah, kurasa aku sudah memberikan semua keterangan yang kalian minta...”
“Kek,” Wiro cepat berkata ketika dilihatnya Si Segala Tahu hendak melangkah pergi.
“Apalagi anak muda?”
“Apakah tak ada cara lain menghadapi pikatan Ratu Mesum? Maksudku meminta bantuannya tanpa mau melayaninya di atas ranjang... lalu lolos dari ancaman mautnya?!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Selama dunia terkembang...” katanya dibarengi dengan menggoyangi kaleng rombengnya, “Belum pernah kudengar ada kucing menolak daging. Begitu juga kaum lelaki. Belum pernah kuketahui tak ada lelaki yang tidak tertarik pada wajah cantik dan tubuh mulus merangsang. Nah... buntut-buntutnya hanya terserah padamu anak muda. Putar otakmu bagaimana menundukkan rangsangan yang ada dalam dirimu sendiri. Sekali kau jatuh di atas perutnya, berarti maut sudah menunggu di puncak hidungmu. Ha-ha-ha...!"
Wiro garuk-garuk kepala. Ningrum merasa jengkel mendengar ucapan si kakek, membuang muka memandang ke lain jurusan.
“Manusia bernama Randu Ireng ini, kek...” Kata Wiro. “Mohon petunjukmu bagaimana mengetahui dirinya sebenarnya mengingat kepandaiannnya menyamar.”
“Soal samar menyamar kawan seperjalananmu ini mungkin bisa membantu. Hanya satu hal yang kuketahui. Manusia bisa menyamar sejuta rupa, seribu kali dalam semalam. Tapi satu hal dia tidak bisa merubah. Yakni sepasang matanya, nah, si Randu Ireng itu menurut kabar yang aku dengar, dia memiliki tanda titik hitam sebesar jagung pada bagian putih matanya sebelah kanan! Dia bisa merubah tampang dan pakaiannya. Tapi dia tidak bisa menghilangkan tanda pada matanya itu. Jika kau bertemu Ratu Mesum, harus kau terangkan hal itu...”
“Kek, sekali lagi kau berhutang budi padamu. Entah kapan dapat membayar. Kami berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas segala petunjukmu”
Kakek Segala Tahu cuma tertawa. Mendeongak ke langit lalu goyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Sebelum mereka berpisah Ningrum tanggalkan caping lebarnya dan berkata,
“Kek, kau ambillah caping bambuku ini. Kulihat topi pandanmu sudah banyak lubangnya...” Lalu tanpa menunggu jawaban apakah orang setuju atau tidak, Ningrum sudah ambil topi pandan butut dari kepala si kakek, memakaikannya ke kepalanya sendiri sedang caping bambunya dipakaikan ke kepala orang tua itu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang. “Terima kasih... terima kasih perempuan cantik. Kelak kau akan mendapatkan jodoh baru. Seorang suami yang baik pengganti suamimu yang hilang itu!”
“Kek!” Ningrum berseru seraya melirik pada Wiro Sableng.
Si kakek buru-buru berkata, “Jangan salah sangka Ningrum. Calon pengganti suamimu bukan pemuda tolol bernama Wiro Sableng ini Ha-ha-ha...!" Kaleng di tangannya kembali berkerontangan.
Bulaksari merupakan kota pasar tempat penduduk sekitarnya mengirimkan hasil pertanian maupun ternak untuk dijual pada setiap hari Kamis. Karenanya kota ini lebih dikenal dengan sebutan Pasar Kamis. Sebagaimana biasa setiap Kamis pagi, di tanah lapang yang menjadi pusat pasar telah penuh dengan tumpukan sayur mayur, padi, ternak dan lain sebagainya yang siap menunggu pembeli.
Para tengkulak berkeliaran menawar sana menawar sini. Bila harga cocok barang dagangan pun diangkat, bertukar dengan uang. Para pemilik barang biasanya adalah para petani pulang dengan kantung penuh. Sebelum pulang biasanya mereka membeli dulu beberapa keperluan dapur. Hari Kamis itu, pasar hampir usai ketika sebuah gerobak besar ditarik dua ekor kuda yang tampak keletihan dan berhenti di tepi tanah lapang.
Siapa pula yang membawa barang dagangan ketika pasar sudah bubar seperti ini. Demikian banyak orang yang ada di sekitar situ bertanya-tanya. Kusir gerobak, seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower turun dari gerobaknya. Sesaat dia memandang berkeliling. Lalu seperti tak acuh ditinggalkannya gerobaknya. Seorang pedagang bertanya,
“Hai! Barang dagangan apa yang kau bawa ke mari? Apa tidak tahu kalau pasar sudah bubar?!”
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu. Sambil melangkah dia berkata, “Sebentar lagi majikanku yang punya barang segera datang. Barang dagangan yang dibawanya bukan barang sembarangan. Walau pasar sudah bubar pasti kalian semua akan tertarik...!”
Kusir itu kemudian lenyap di tikungan jalan. Orang banyak yang masih ada di pasar itu dengan rasa ingin tahu tegak di sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-tunggu tak seorangpun muncul. Baik yang katanya majikan pemilik batang dalam gerobak, maupun sang kusir. Orang-orang yang ada di tempat itu kini jadi ingin tahu barang dagangan apa yang ada dalam gerobak tersebut.
Mereka menyingkap dua lapis karung tebal yang menutupi bagian belakang gerobak. Ketika karung itu tersibak, orang yang tadi menyingkapkan terpekik dan mencelat mental dengan muka pucat. Yang lain-lainnyapun berseru kaget, memandang ke dalam gerobak dengan mata melotot. Yang berkerumun di sebelah belakang coba mendesak ke depan. Tapi begitu ada yang berteriak,
“Mayat manusia!” mereka urung mendekat. Dan pasar itupun menjadi gempar!
Kini tak ada yang berani mendekati gerobak. Semua memandang dari kejauhan dengan perasaan takut dan ngeri. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum sampai ke Pasar Kamis justru ketika kegemparan itu berlangsung.
“Hai! Jangan mendekat!” Seseorang berteriak ketika Wiro melangkah menuju gerobak.
“Ada mayat di dalamnya!” seru seorang lainnya.
Wiro tidak perduli. Dia melangkah terus bersama Ningrum. Karung tebal yang baru sebagian tersingkap ditariknya dan dicampakkannya ke tanah. Kini dalam gerobak, terpentang pemandangan yang mengerikan. Bukan cuma satu mayat yang ada di situ. Tapi enam! Kalau tadi Wiro Sableng tidak menunjukkan rasa takut, namun setelah mengenali enam sosok mayat dalam gerobak, pemuda ini mau tak mau bersurut mundur dua langkah dan berpaling pada Ningrum. Suaranya perlahan sekali ketika berkata,
“Mereka... Enam Kelewang Maut!”
Kini Ningrum ikut terkejut. “Siapa yang membunuh mereka. Aku curiga...?”
“Pasti Randu Ireng. Kulihat mayat-mayat itu berada dalam keadaan rusak. Ada yang hancur kepalanya. Belubang dada atau perutnya atau hampir putus lehernya. Kematian dengan luka mengerikan seperti itu hanya bisa disebabkan oleh cincin baja putih ular kobra!”
“Kalau begitu orang yang kita cari tak berada jauh dari sini...”
Wiro membenarkan. Lalu cepat mencari keterangan dari orang-orang yang ada di situ. Mereka mengejar ke arah lenyapnya kusir gerobak. Namun tak mungkin untuk menemukan orang itu lagi.
“Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Ningrum.
“Kita harus segera meneruskan perjalanan ke danau Karang Kates,” sahut Wiro.
Dia memandang sekali lagi ke arah mayat-mayat malan dalam gerobak itu lalu cepat-cepat mengikuti Ningrum yang sudah melangkah pergi lebih dulu.
Danau Karang Kates merupakan danau luas tetapi sunyi. Anehnya tak ada satu rumah penduduk pun terlihat di sapanjang tepi danau. Tak ada seorangpun dapat ditemui untuk mendapatkan keterangan.
“Aneh,” kata Ningrum. “Mengapa tak ada rumah di sepanjang tepi danau. Padahal menurutku danau ini pasti banyak ikannya. Yang dapat dijadikan mata pencaharian...”
“Tentu ada apa-apanya. Jika Ratu Mesum memang tinggal di sini, siapa yang berani ikut-ikutan diam di tempat ini...”
“Tapi di mana bangunan kediaman perempuan itu. Kita sudah mengelilingi tepi danau satu hari suntuk. Tak ada satu bangunanpun yang kelihatan!” kata Ningrum pula.
“Kalau saja aku tahu suasananya seperti ini, pasti aku akan lebih banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu itu...”
keduanya lalu duduk di atas batang kayu tumbang. Memandang ke tengah danau. Tiba-tiba Ningrum menunjuk.
“Lihat! Ada orang berperahu di tengah danau!”
Wiro cepat berdiri. Memandang ke tengah danau memang dilihatnya ada sebuah perahu meluncur cepat menuju tepi sebelah timur. Dari kejauhan terlihat hanya ada satu orang di atas perahu itu. Orang ini mendayung perahu dengan mempergunakan kedua tangannya kiri kanan.
“Orang itu mengenakan pakaian merah...” kata Wiro. “Kita kejar ke arah Timur! Pasti itu Ratu Mesum!”
Maka kedua orang itupun berkelebat menuju ke timur. Ternyata perahu lebih cepat dan lebih dahulu mencapai tepi danau sebelah timur dari pada kedua orang itu. Dan pada jurusan dari mana sebelumnya mereka melihat perahu merapat, justru mereka tidak menemukan apa-apa.
“Aneh, kemana perginya orang tadi?!’ ujar Wiro Sableng sambil memandang berkeliling.
“Perahunyapun ikut lenyap!” menyahuti Ningrum. “Mungkinkah tadi kita hanya melihat bayangan hantu?”
Keduanya memeriksa dengan teliti tepian danau di jurusan mana tadi mereka melihat perahu terakhir kali. Tepian itu, tidak seperti tepian lainnya penuh ditumbuhi rumput air, semak belukar dan pohon-pohon lurus tinggi seperti lalang.
“Aku akan turun ke air,” kata Wiro. “Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat dari darat.”
Tanpa tunggu lebih lama Wiro turun ke air. Air danau di bagian tepi itu ternyata hanya sampai sepinggang. Wiro menyibakkan rumput dan alang-alang air, memperhatikan setiap bagian tepi danau dengan teliti. Dekat sebuah pohon waru yang tumbuh menjorok miring ke danau tiba-tiba Wiro dapatkan sebuah lobang setinggi kepala dan cukup lebar untuk dimasuki dua orang sekaligus. Wiro lambaikan tangannya ke arah Ningrum, memberi isyarat agar perempuan itu turun ke air. Begitu Ningrum di sebelahnya Wiro menunjuk ke arah lobang.
“Apa pendapatmu...?” Tanya Pendekar 212.
"Orang dan perahu tadi kurasa pasti masuk ke dalam lobang ini. Kalau tidak masakan bisa lenyap begitu saja...”
“Kalau begitu mari kita menyelidik ke dalam.”
Keduanya lalu masuk ke dalam lobang di tepi danau itu. Di sebelah dalam ternyata lobang ini merupakan sebuah terowongan panjang. Makin ke dalam air yang mengalir dari danau semakin dangkal dan bersibak ke arah dua terowongan lain yang terletak di kiri kanan terowongan utama.
Di persimpangan tiga terowongan ini mereka menemukan sebuah perahu yang masih basah. Wiro melangkah terus memasuki terowongan utama diikuti oleh Ningrum. Memasuki terowongan sejauh dua puluh tombak, tanah terowongan tampak kering dan makin ke dalam makin menurun hingga akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah pintu gerbang aneh terbuat dari akar pohon bakau.
Pada bagian atas pintu gerbang ini terdapat dua rangkaian tulisan berbunyi 'PINTU SORGA PINTU NERAKA'. Dari sebuah belakang pintu gerbang tampak lapisan asap tipis. Dari arah ini pula tercium bau harum.
“Aku kawatir asap itu mengandung racun berbahaya,” bisik Wiro. “Bisakah kau berjalan dengan menutup penciuman?”
Ningrum mengangguk. Sebelum melangkah melewati pintu gerbang aneh itu Wiro kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memberi isyarat agar Ningrum segera mengikutinya. Selewat pintu gerbang, tanah terowongan itu ternyata dilapisi batu pualam berwarna putih berkilat.
Di kiri kanan dinding, pada jarak-jarak tertentu terdapat obor aneh yang terbuat dari kayu hitam kecil tanpa minyak. Tak lama kemudian asap putih tipis yang menabur bau harum tadi lenyap. Wiro dan Ningrum buka jalan pernafasan dan penciuman masing-masing. Keduanya sempat tersenggal-senggal karena menutup pernafasan begitu lama.
“Ada ruangan besar di depan sana...” Bisik Wiro. “Hati-hatilah...” Katanya kemudian memperingatkan. “Tulisan di pintu kayu tadi mengundang kesenangan berbau maut!”
Ruangan yang kemudian mereka masuki keseluruhannya dilapisi batu pualam, mulai dari lantai sampai dinding dan langit-langit. Memandang berkeliling kedua orang itu mendapati ruangan tersebut tak ada jendela tak ada pintu. Buntu?
“Aku merasa gerak-gerik kita diawasi...” Bisik Wiro.
“Ya, aku juga merasa begitu. Pasti!” sahut Ningrum. Lalu tanyanya “Kemana lenyapnya orang berpakain merah yang kita lihat di atas perahu tadi?”
Tiba-tiba dari baigan ruangan arah mana mereka masuk tadi terdengar suara bersiur amat halus dan dari atas mendadak turun sangat cepat sebuah lapisan dinding yang langsung menutup mulat ruangan!
“Kita terjebak!” bisik Ningrum tegang.
“Tenang saja. Pasang mata dan telinga baik-baik,” balas berbisik Wiro. “Aku akan memanggil tuan rumah...” katanya kemudian. Setelah memandang berkeliling Wiro lantas beseru,
“Ratu Mesum apakah kami berada di tempat kediamanmu...?”
Tak ada jawaban. Suara seruan Wiro menggema menggidikkan dalam ruangan batu pualam itu.
“Ratu Mesum! Apakah kau ada di sini...? Keluarlah. Kami datang membawa maksud baik! Hanya untuk minta bantuan!”
Mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Mesti tegang namun kedua orang itu maklum kalau mereka saat itu memang memasuki tempat kediaman Ratu Mesum karena suara tawa itu adalah suara tawa perempuan. Terdengar lagi suara bersiur seperti tadi. Menyusul secara tiba-tiba dinding di hadapan mereka membuka dan kelihatan sebuah lobang berukuran satu kali satu tombak.
Bagian dalam lobang ini memiliki lantai yang meninggi di sebelah belakang. Dari lantai yang miring ke atas ini mendadak meluncur sebuah benda. Ketika benda itu jatuh dan tergelimpang di hadapan mereka, kaget Wiro dan Ningrum bukan kepalang. Perempuan ini malah sampai membuang muka.
Benda yang tergelimpang di lantai itu ternyata adalah sesosok tubuh lelaki dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Melihat kepada wajahnya jelas dia masih sangat muda dan berparas cakap. Pada lehernya terdapat luka besar yang masih mengucurkan darah segar!
Wiro Sableng memaki panjang pendek dalam hati sementara Ningrum seperti menyesali mengapa dia sampai berada di tempat celaka seperti itu.
Mendadak terdengar lagi suara bersiur. Lantai batu pualam dimana mayat pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri dan ke kanan, meninggalkan lobang di sebelah tengah. Sosok tubuh telanjang itu jatuh ke dalam lobang dan kedua sisi lantai menutup kembali. Anehnya noda-noda darah yang tadi jelas terlihat menggenangi lantai kini lenyap bersih entah ke mana!
Di saat yang sama kembali terdengar suara tertawa panjang. Begitu tawa lenyap, dalam ruangan itu tercium bau harum. Lalu langit-langit yang terbuka secara aneh, melayang turun sesosok tubuh berpakaian merah. Dengan gerakan sangat ringan, tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, seolah-olah menginjak kapas, sosok tubuh ini memijakkan kedua kakinya di atas lantai batu pualam.
Wiro Sableng terkesiap tak berkedip menyaksikan orang yang tegak di hadapannya sedang Ningrum merasakan wajahnya menjadi merah. Meskipun dia ingin memalingkan muka namun tetap saja diapun ikut-ikutan memandang lekat ke arah orang yang ada di hadapannya itu.
Orang ini ternyata adalah seorang perempuan berparas sangat cantik, berkulit putih. Rambutnya disanggul ke belakang dan pada bagian kepala di atas keningnya ada sebentuk mahkota kecil. Dia tersenyum smbail memain-mainkan ujung lidah di sela bibir. Lidah yang basah itu tampak merah segar sedang deretan gigi-giginya tampak putih rata.
Si jelita ini mengenakan sehelai pakaian panjang menjela lantai berwarna merah, terbuat dari kain tipis, mungkin sutera. Demikian tipisnya pakaian ini hingga tubuhnya di sebelah dalam yang tidak berpenutup apa-apa terlihat dengan jelas. Wiro garuk-garuk kepala. Namun begitu ingat dia segera menjura.
“Tentunya kami berhadapan dengan Ratu Mesum yang terkenal itu...?”
Yang ditegur tidak menjawab, malah terus memainkan ujung lidahnya.
“Kami datang dari jauh untuk memohon bantuan Ratu...” kata Wiro lagi.
Kini sepasang mata perempuan cantik itu memperhatikan pemuda di hadapannya mulai dari ujung rambut sampai ujung jari. Dia sama sekali tidak memperdulikan Ningrum yang sapai saat itu masih mengenakan pakaian serba hitam, bertopi pandan butut, menutupi wajah perempuannya dengan kumis dan janggut tebal. Mendapatkan tegur sapanya tidak dibalas orang, diam-diam Wiro kembali memaki dalam hati.
“Ah, kami tahu Ratu barusan sampai. Tentunya masih letih dan tak ingin diganggu. Kalau memang begitu biar kami pergi saja. Nanti baru kembali lagi...”
Perempuan berpakaian merah tipis itu usap rambutnya, rapikan pakaiannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan yang menyebabkan pahanya sampai pinggul sebelah kiri tersingkap lebar, memutih mulus berkilau.
“Sialan, apa sebenarnya yang diinginkan perempuan ini!” kata Wiro dalam hati. Meski sikap si jelita tidak menyenangkan namun matanya tak habisnya melirik paha dan pinggul yang putih itu.
Tiba-tiba si jelita tertawa panjang sambil mendongak ke langit-langit ruangan. “Kalian baca tulisan di pintu masuk tadi...?!” Perempuan itu bertanya.
“Kami membacanya,” sahut Wiro.
“Bagus! Berarti kalian menyadari sepenuhnya nasib kalian akan seperti itu pula!” habis berkata begitu perempuan berpakaian merah ini tertawa panjang. Karena sudah pasti sekali perempuan di hadapannya itu adalah Ratu Mesum maka Wiro segera menyebut namanya,
“Ratu Mesum, kami datang membawa persahabatan...”
“Seumur hidup aku tak punya sahabat. Dan tak ingin punya sahabat! Kalian dengar itu?!”
“Susah juga bicara dengan manusia ini!” pikir Wiro. Lalu dia menyahuti, “Jika Ratu tak mau menganggap kami sahabat tak jadi apa. Hanya apakah Ratu sudi membantu, itulah yang kami harapkan...”
“Seumur hidup aku tak pernah kedatangan tamu. Kecuali orang-orang yang kubawa sendiri untuk mendapatkan sorga dan menerima neraka di tempat ini! bagaimana kau bisa tahu tempat ini?”
“Kami mendapat petunjuk dari Kakek Segala Tahu...” Menerangkan Wiro.
“Hemm... tua bangka rongsokan itu. Belum mampus dia rupanya! Kenapa kalian mencariku... Eh, kawanmu yang satu itu apakah dia bisu. Atau tuli? Dari tadi dia hanya melengos-melengos saja memandang ke jurusan lain!”
“Kawanku ini sudah cukup lanjut usianya. Jadi harap dimaklumi kalau dia merasa kikuk menghadapi Ratu...”
“Rambut gondrong! Kau pandai bicara! Katakan apa yang kalian mau?!” tanya sang ratu.
“Kami perlu bantuanmu untuk menangkap hidup atau mati seorang manusia bernama Randu Ireng. Kami mewakili para sahabat dari dunia persilatan. Menurut Si Segala Tahu hanya kau yang sanggup menghadapi Randu Ireng”
“Mengapa kalian menginginkan orang itu?” tanya Ratu Mesum.
Semula Wiro tak mau berterus terang. Dia melirik pada Ningrum. Ketika mendapat isyarat maka diapun menjawab, “Randu Ireng kini menguasai sebuah cincin keramat. Jika benda itu tidak segera dirampas dan dilenyapkan dari atas dunia ini, rimba persilatan akan dilanda bahaya besar! Maut akan bertebaran di delapan penjuru angin”
“Kalau semua orang pada mampus, apa perduliku?” tukas Ratu Mesum.
“Kau betul. Apa perdulimu!” Wiro mulai jengkel.
“Gondrong! Apakah kau sadar kalau kau dan kawanmu itu tak bakal keluar hidup-hidup dari tempat ini?!”
Ningrum semakin tegang. Tenaga dalam dilipat gandakannya ke tangan kanan. Didengarnya Wiro berkata, “Kalau takdir mengatakan kami memang harus mati di tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi apakah kau tak mau memberikan sedikit keringanan. Kami mendengar selain wajahmu yang cantik luar biasa, tak ada duanya di dunia ini, selain tubuhmu yang bagus dan mulus tak ada perempuan lain yang bisa menandinginya, tidak juga permaisuri atau selir raja, tidak juga Nyai Rara Kidul dari pantai selatan, kami tahu kau juga seorang pemurah. Nyawa kami berdua tentu tak ada harganya di hadapanmu. Aku rela mati setiap saat asal kau berjanji mendapatkan cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Cincin itu... apakah yang terbuat dari baja dan bergambar kepala ular sendok?” bertanya Ratu Mesum.
“Betul sekali Ratu...” Sahut Wiro. Dia maklum kalau ucapannya yang serba memuji tadi kini berhasil melunakkan hati sang ratu. Maka diapun menambahkan. “Semua para tokoh silat di luar sana menganggap hanya Ratu-lah yang mampu melakukan hal itu”
Ratu Mesum tertawa. “Semua tokoh silat itu tokoh tolol! Apakah mereka mengira aku suka terhadap semua lelaki? Kudengar manusia bernama Randu Ireng itu punya seribu muka!”
“Betul Ratu. Hanya saja menurut Kakek Segala Tahu dia punya tanda hitam pada matanya sebelah kanan”
Ratu Mesum mengangguk beberapa kali sambil tangan kirinya mengusapi pahanya sendiri. “Kita harus membuat perjanjian!” sang ratu kemudian berkata.
“Perjanjian apa Ratu?”
“Pertama kau dan aku, kita berdua melakukan perundingan di ruangan dalam. Kedua, jika cincin itu berhasil didapat, maka cincin itu akan menjadi milikku...”
“Mana bisa begitu!” Ningrum membuka mulut untuk pertama kali. “Benda itu adalah milik mendiang...”
Wiro sodokkan sikutnya ke rusuk Ningrum hingga perempuan yang menyamar sebagai lelaki ini terhenti ucapannya.
“Hai, ternyata kawanmu itu tidak tuli dan bisu!” kata Ratu Mesum. “Bagamana, kau setuju dengan perjanjian itu?!”
“Perjanjian kedua kami setuju,” sahut Wiro. “Mengenai perjanjian pertama bagaimana kalau kita laksanakan setalah cincin didapat. Percayalah aku tidak akan mengingkari janji. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Ratu Mesum menyeringai. “Siapa percaya mulut lelaki!” katanya.
“Kalau begitu terpaksa kami mencari orang lain yang dapat membantu. Kami minta diri sekarang. Tempat ini panas sekali...” kata Wiro lalu kedua tangannya membuka dada pakaiannya lebar-lebar dan mengipas-ngipas seperti orang sedang kepanasan.
Sepasang mata Ratu Mesum melirik ke balik pakaian Wiro. Hatinya tercekat. Belum pernah dia melihat lelaki memiliki dada bidang penuh otot seperti pemuda berambut gondrong itu.
“Ratu, sudikah kau membukakan pintu keluar bagi kami?”
“Kalau kau sudi tidur denganku, segala keinginanmu aku penuhi!” Tanpa malu-malu Ratu Mesum berkata seperti itu.
“Bagaimana kalau temanku ini saja yang melayanimu?” ujar Wiro pura-pura jual mahal.
“Si buruk itu? Janggut dan kumisnya memuakkan. Tubuhnya kecil dan parasnya pucat seperti kurang darah. Gerak geriknya seperti ayam sakit!”
“Kalau kau memang tidak suka padanya biarkan dia pergi... Nanti kita bisa berunding lebih leluasa!”
Mendengar kata-kata Wiro, Ratu Mesum gerakkan tangan kanannya. Dinding tipis yang tadi turun menutupi bagian depan ruangan itu naik ke atas. Wiro memegang bahu Ningrum dan berkata, “Kau tunggu kami di luar. Tak usah kawatir. Ratu cantik ini akan menolong kita. Cincin itu pasti akan kita dapatkan kembali...”
Sejak tadi Ningrum sebenarnya ingin meninggalkan tempat ini. Tapi kini disuruh pergi sendirian dia ingin menolak.
“Pergilah,” bisik Wiro. “Kurasa sesuai petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup mengatur si cantik ganas ini”
“Dia akan menipumu, lalu membunuhmu!” kata Ningrum.
“Tidak. Aku bukan macam lelaki tolol yang bisa disuguhinya sorga lalu dihantamnya dengan neraka. Lihat saja nanti. Nah, pergilah!”
Akhirnya terpaksa juga Ningrum meninggalkan ruangan itu. Keluar dari terowongan dan menunggu di tepi danau.
Begitu Ningrum keluar, dinding yang tadi naik ke atas turun menutup kembali. Kini tinggal Wiro Sableng dan Ratu Mesum berduaan. Mengira pemuda itu sudah terpikat, sang ratu langsung saja hendak merangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng cepat berkelit. Sambil menjaga jarak dia berkata,
“Aku tahu apa artinya sorga dan neraka seperti tertulis di pintu masuk. Semua orang mau sorga tapi tidak suka neraka. Termasuk Aku. Aku tidak menganggap buruk kau mempunyai sifat suka mencari kesenangan duniawi. Setiap manusia sudah punya takdir hidup sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan. Nah, bagaimana kalau kita membuat perjanjian...”
“Perjanjian apa?” tanya Ratu Mesum. Tubuhnya terasa panas keringatan. Dadanya turun naik dan cuping hidungnya kembang kempis. Sepasang matanya memandang pada Wiro hampir tak berkedip. Jelas perempuan cantik ini tidak dapat menahan hasratnya yang berkobar-kobar.
“Terus terang aku bukan manusia turunan alim,” kata Wiro Sableng. “Aku bersedia memenuhi apa kemauanmu, tapi aku tidak mau berakhir dengan kematian!”
“Aku telah bersumpah! Setiap lelaki yang jatuh dalam pelukanku harus mati!” kata Ratu Mesum dan sepasang matanya tetap tak berkedip, memandang tajam ke arah Wiro.
“Sumpah teramat berat!” ujar Wiro. “Sumpah seperti itu bisa membunuh dirimu sendiri Ratu! Kenapa kau sampai mengangkat sumpah seperti itu?”
“Kau tak berhak bertanya!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Lekas katakan apa perjanjian yang kamu maksudkan tadi!”
“Aku mengikuti apa maumu, tapi kau juga harus berjanji untuk membantu merampas cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Jika aku tak sudi?!”
“Lebih baik aku angkat kaki dari sini sekarang juga!”
“Tidak pernah satu lelakipun keluar hidup-hidup dar ruangan ini!”
“Kalau begitu mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui ajal!”
Ratu Mesum tertawa panjang mendengar tantangan itu. “Kulihat kau memang memiliki tenaga dan otot. Kulihat kau memang ada membekal senjata di balik pakaianmu. Tapi kepandaian apa yang kau miliki hingga berani menantang aku?!”
“Aku memang berani tapi kau?!” balas Wiro.
“Jangan kira aku pengecut!” teriak Ratu Mesum marah.
Begitu teriakannya lenyap tubuhnya berkelebat menjadi bayang-bayang merah. Wiro merasakan ada angin deras menghantam ke arah tenggorokan dan ke bawah selangkangan. Ternyata sang ratu lancarkan serangan berupa jotosan maut ke leher dan tendangan mematikan ke bawah perut. Perempuan itu yakin benar salah satu dari serangan kilatnya itu pasti akan menemui sasaran.
Namun betapa kagetnya ketika kedua serangannya hanya mengenai tempat kosong. Sebaliknya jika dia tidak lekas menyingkir, pinggangnya hampir kena ditelikung si pemuda! Ratu Mesum tegak di sudut ruangan. Matanya berkilat-kilat memandang Wiro.
Pendekar 212 menyeringai. “Bagaimana, kau kecapaian atau tak punya nyali lagi meneruskan perkelahian ini?!”
“Mampuslah!” teriak Ratu Mesum. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Selarik sinar merah menderu. Meski baru berkelahi dua jurus tetapi saking marahnya perempuan ini langsung keluarkan pukulan sakti pada jurus ketiga.
Murid Sinto Gendeng yang memang sudah berjaga-jaga sambut pukulan dengan pukulan 'Dinding Angin Berhembus Tindih menindih'. Ratu Mesum tersentak kaget ketika mendengar ada suara angin menderu, menerpa ke arahnya. Dan dia jadi lebih kaget lagi ketika melihat sinar merah pukulannya buyar berantakan dan tiba-tiba saja tubuhnya seperti dilabrak angin punting beliung, terbanting ke belakang, terseret ke samping.
Ketika dia berhasil mengimbangi diri dan melompat ke samping, dinding batu pualam di belakangnya terdengar mengeluarkan suara berderak! Ratu Mesum berpaling. Dinding tebal itu ternyata retak besar, sebagian batu pualamnya hancur dan tanggal berjatuhan.
“Pemuda keparat! Kau merusak tempat kediamanku!” teriak Ratu Mesum marah. Tubuhnya melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak menyingkapkan pakaian merahnya tinggi-tinggi. Saat itu pula bertabur bau sangat harum yang menusuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sesaat pendekar ini seperti gelagapan ketika bau harum aneh itu merasuk jalan pernafasannya. Namun tak selang beberapa lama dia dapat mengatur jalan nafasnya kembali dan cepat memasang kuda-kuda baru. Turun ke lantai Ratu Mesum terkejut bukan main. Ketika melompat tadi dia telah keluarkan hawa harum yang merupakan senjata andalannya.
Hawa harum itu mengandung racun jahat yang dapat membuat lawan menjadi lemas dan jatuh pingsan. Selama ini tak satu orangpun sanggup mempertahankan diri dari kehebatan ilmunya itu. Namun sekali ini dia melihat kenyataan yang hampir tak dapat dipercaya. Jangankan pingsan, lemas pun pemuda itu tidak sama sekali.
Perlahan-lahan kemarahan sang ratu jadi mengendur malah berubah menjadi kagum. Dalam hati kecilnya dia berkata, kalau saja pemuda lihay ini dapat menjadi kawan hidupnya, mungkin dia mau mempertimbangkan untuk meninggalkan jalan sesat yang selama ini ditempuhnya, hidup menjadi perempuan baik-baik.
“Orang muda, siapa kau sebenarnya?!” bertanya Ratu Mesum.
Wiro Sableng tersenyum. “Penting sekalikah namaku bagimu?” tanya Wiro.
“Aku bersedia membantu mendapatkan cincin mustika itu.” kata Ratu Mesum seperti tidak acuh akan pertanyaan Wiro tadi.
Wiro yang maklum apa maksud kata-kata perempuan itu tersenyum lebar dan berkata, “Kalau tadi-tadi kau jelaskan hal itu tak perlu kita sampai berkelahi segala”
“Hebat berkelahi belum tentu hebat di tempat lain. Aku perlu mengujimu. Jika kau nanti mengecawakan sumpahku akan berlaku!”
Habis berkata begitu Ratu Mesum tekan dinding di belakangnya dengan siku kanan. Dinding batu itu terbuka. Di belakang dinding kini terpampang sebuah ruangan tidur yang sangat indah. Ratu Mesum melangkah berlenggak lenggok lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar. Tangan kanannya melambai memanggil Wiro.
“Ratu keparat!” kata Wiro dalam hati, “Kau akan lihat. Aku bukannya ayam aduan yang hebat dalam persabungan, tapi keok di tangan ayam betina!”
Sekali lompat saja pendekar ini sudah berada di atas tempat tidur. Ratu Mesum menggeliat. Entah kapan tangannya bergerark tahu-tahu buhul-buhul ikatan pakaian merahnya di sebelah depan terbuka. Wiro kini melihat sosok tubuh yang sangat elok menakjubkan, yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Sesaat dia seperti mendengar ucapan Kakek Segala Tahu. "Mana ada kucing menolak daging...”
Ketika hari mulai gelap, Ningrum yang menunggu di mulut lobang dekat perahu kayu menjadi gelisah. “Pemuda keparat! Aku disuruhnya menjadi patung di sini! Dia sendiri bersenang-senang di dalam sana!” maki perempuan itu. Dia tak tahu hendak berbuat apa selain melangkah mundar mandir. Sekali karena sangat kesalnnya dia tendang perahu milik Ratu Mesum. Untung tidak rusak.
Malam tiba. Udara dalam terowongan itu ternyata dingin sekali. Keletihan, Ningrum membaringkan tubuhnya dalam perahu. Sampai tengah malam Pendeakar 212 Wiro Sableng tak kunjung muncul. Ningrum menunggu terus terkantuk-kantuk. Akhirnya perempuan ini jatuh tidur. Dia terbangun ketika dirasakannya ada orang yang menepuk-nepuk bahunya.
Dibukanya kedua matanya dan duduk. Di hadapannya tegak pemuda itu yang kini telah mengganti pakaian putihnya dengan pakaian merah. Tegak sambil tersenyum-senyum.
“Kukira kau sudah mati di dalam sana!” kata Ningrum saking marahnya, lalu turun dari perahu. Ratu Mesum tampak tenang-tenang saja.
“Pakaian merah itu, tentu kau dapat dari dia” Ningrum membuka mulut kembali.
“Apa kau ingin pakaian seperti itu?” Ratu Mesum bertanya.
Ningrum tak menyahut. Ratu Mesum menggelungkan tangannya ke tangan Wiro. “Kita berangkat sekarang?” tanyanya.
Wiro mengangguk “Makin cepat makin baik...”
“Tapi ingat janjimu. Setelah urusan kita selesai, kau dan aku kembali kemari...”
Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Ningrum. “Itu bisa diatur Ratu,” sahut Murid Sinto Gendeng. “Ke mana tujuan kita yang pertama? Air terjun Banyu Abang atau Bukit Merak Biru?”
“Bukit Merak Biru lebih dekat. Sebaiknya kita menyelidik ke sana dulu. Kalau orang yang kita cari tidak ada di situ, kita baru ke air terjun itu. Kita harus bergerak cepat. Bisakah kawanmu yang seperti ayam sakit ini berlari cepat?!”
Dikatakan ayam sakit membuat Ningrum jengkel sekali. Ingin dia menampar mulut perempuan itu. Tapi sadar kalau dia membutuhkan bantuannya maka dengan menahan hati perempuan yang menyamar jadi laki-laki ini berusaha mempersabar diri.
Sambil melangkah ke mulut goa Wiro menerangkan pada Ningrum bahwa menurut pengetahuan Ratu Mesum orang yang mereka cari yakni Randu Ireng sering berada di Bukit Merak Biru atau air terjun Banyu Abang. Mereka akan menyelidik di kedua tempat itu. Mereka tidak mempergunakan perahu, melainkan langsung naik ke darat dan mengandalkan kepandaian berlari cepat.
Ratu Mesum tampak agak heran juga ketika melihat Ningrum mampu berlari walau tertinggal beberapa langkah di belakang. Kembali sang ratu membuka mulut mengejek.
“Tidak sangka kawanmu yang jelek itu memiliki ilmu lari...”
Ningrum berbuat seolah-olah tidak mendengar. Yang saat ini dikawatirkannya ialah kalau cincin baja putih berhasil dirampas dari tangan Randu Ireng, apa tidak mustahil Ratu Mesum akan melarikannya?
Sementara itu pagi yang cerah menjadi panas ketika sang surya mulai menebarkan sinar teriknya. Menjelang sore mereka sampai di tujuan pertama yakni Bukit Merak Biru. Di puncak bukit, di bagian yang berbatu-batu terdapat sebuah rumah yang keseluruhan dinding, lantai, dan atap terbuat dari rotan. Setelah diperiksa rumah itu ternyata kosong.
“Dia tak ada di sini...“ kata Ratu Mesum.
“Kalau begitu kita terus ke air terjun Banyu Abang.” Berkata Ningrum.
“Betul.” Menyetujui Wiro.
Ratu Mesum tertawa lebar sambil geleng-gelengkan kepala.
“Mengapa kau menggeleng. Kau tidak suka kita segera meneruskan perjalanan?” Tanya Wiro pula.
“Tidak kalian lihatkah matahari sudah hampir lenyap, tenggelam di sebelah barat sana? Sebentar lagi malam tiba. Malam sepi dan dingin. Aku tidak suka mengadakan perjalanan pada malam hari. Malam adalah saat untuk istirahat dan berhangat-hangat...”
Jijik sekali Ningrum mendengar ucapan Ratu Mesum itu. kejengkelannya semakin bertumpuk. Wiro Sableng sendiri maklum apa maksud tujuan kata-kata Ratu Mesum tadi. Perempuan itu memandang sesaat padanya lalu masuk ke dalam rumah rotan tanpa menutupkan pintu.
“Mari kita masuk...” mengajak Wiro.
Ningrum menggeleng. “Aku tak akan masuk. Lebih baik mati kedinginan di luar sini!”
“Kenapa tak mau masuk?” tanya Wiro heran.
“Kalau kau mau masuk, masuklah. Bukankah perempuan itu tadi jelas hendak mengajakmu berhangat-hangat?”
Menyadari bahwa orang yang menyamar seperti laki-laki itu sebenarnya adalah perempuan membuat Wiro tertawa. Maka diapun berkata, “Semua ini terjadi karena maksudku menolongmu. Jika kau memang tak ingin mendapatkan cincin mustika itu serta tak ada rencana hendak membalas dendam terhadap Pangean Arga Kusumo lebih baik aku pergi saja dari sini!”
Ningrum terdiam. Lalu pergi duduk di atas sebuah batu besar.
“Jika sahabatmu itu tidak mau masuk, buat apa dipaksa?!” Terdengar suara Ratu Mesum dari dalam rumah rotan. “Bukankah malah lebih baik kalau dia tidak ikut masuk ke dalam sini?”
Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia memandang sekali lagi ke arah Ningrum lalu masuk ke dalam rumah.
“Jangan lupa menutup pintu Wiro,” kata Ratu Mesum sambil lontarkan senyum memikat.
Sesaat setelah Wiro menutup pintu perempuan ini langsung memeluknya. Nafasnya terasa panas tanda nafsunya berkobar-kobar.
Air terjun Banyu Abang terletak di gunung berapi yang telah mati. Tingginya sekitar empat tombak, tidak terlalu lebar namun bentuknya yang melengkung membuat indah sekali. Apalagi bagian belakang air terjun itu merupakan batu-batu padas berwarna merah gelap hingga dari depan dan dari samping jika diperhatikan air terjun itu kelihatan kemerah-merahan.
Suasana di tempat itu sunyi dan redup. Yang terdengar hanya deru air terjun yang mengalir dan jatuh di atas batu-batu besar di sebelah bawah, kemudian membentuk sungai kecil dangkal berair sangat jernih. Sesekali terdengar suara burung hutan berkicau, lalu terbang dan berkicau lagi di tempat lain.
“Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di sini...” kata Ningrum sambil memandang berkeliling. “Apakah manusia bernama Randu Ireng itu betul bisa ditemui di sini...?”
“Kau tahu apa tentang orang itu...” kata Ratu Mesum ketika jelas merasa orang tidak mempercayainya. Perempuan ini memegang lengan Wiro dan menunjuk ke atas sebuah pohon tinggi besar berdaun lebat.
“Lihat rumah kayu di atas sana...!"
Di antara beberapa cabang pohon besar yang ditunjuk Ratu Mesum ternyata memang terdapat sebuah rumah papan, lengkap dengan tangga kecil.
“Itu rumah Randu Ireng...” Bisik Ratu Mesum.
“Sekarang bagaimana kita mengatur rencana?”
“Serahkan padaku!” jawab sang ratu. “Kalian berdua harus bersembunyi. Jangan terlihat Randu Ireng. Sekali dia sempat melihat kalian, berantakan rencanaku!”
“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro Sableng ingin tahu.
Ratu Mesum pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu menciumnya seraya berkata, “Kau lihat saja. Jangan cemburu. Apa yang aku berikan padamu tak akan kuberikan pada manusia itu...”
“Kau harus hati-hati,” ujar Wiro. “Dan yang penting cincin itu harus kau dapat!”
“Jangan kawatir!” jawab Ratu Mesum.
Sekali lagi dia mencium jari-jari Wiro lalu dengan gerakan cepat ditinggalkannya tempat itu, lari menuruni tebing batu-batu cadas licin. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi seseorang tak dapat menuruni tebing itu apalagi sambil berlari seperti yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali kaki terpeleset, tubuh akan jatuh ke bawah, disambut batu cadas keras.
Beberapa saat lamanya tubuh Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama kemudian tampak sosok bayangan merah di belakang air terjun. Ternyata perempuan itu sudah ada di bawah air terjun.
“Apa yang dilakukannya di situ. Mengapa dia justru menuju air terjun. Bukan ke rumah di atas pohon sana?” bisik Ningrum.
“Akupun tidak mengerti. Kita lihat saja. Manusia seperti dia punya seribu satu akal. Berkepandaian tinggi, cerdik dan berbahaya”
“Dan memiliki nafsu menjijikkan!” sambung Ningrum.
Wiro tak menjawab. Makian Ningrum yang ditujukan pada Ratu Mesum sama saja dengan makian yang ditujukan padanya. Karena diapun telah menjadi korban nafsu sang ratu. Wiro memandang ke arah air terjun. Ningrum pun tak berkata apa-apa lagi. Ikut memandang ke jurusan yang sama.
“Eh...?” Wiro berseru kecil. Di bawah sana, Ratu Mesum dilihatnya melangkah di atas batu-batu cadas basah, keluar dari belakang air terjun, menuju ke sebelah depannya. Dan saat itu perempuan ini sama sekali tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya yang bugil putih dan mulus elok itu tampak seolah-olah berkilau disiram sinar matahari.
“Gila! Ternyata dia mau enak-enakan mandi di air terjun!” kembali terdengar suara Ningrum.
“Diam sajalah!” tukas Wiro. “Terlalu keras bicara, salah-salah suara mu akan terdengar oleh Randu Ireng...”
Dari arah air terjun di mana Ratu Mesum saat itu berada dan duduk di sebuah batu besar sambil menjulurkan sepasang kakinya yang bagus, lalu menyiram-nyiramkan air sungai sedikit-sedikit ke tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu. Yang menyanyi ternyata sang ratu sendiri.
Air terjun Banyu Abang
Banyu Abang banyu yang sejuk
Nikmatnya mandi bersiram air dan matahari
Sayang hanya seorang diri
Banyu Abang banyu yang sejuk
Tempat yang indah untuk merajuk
Pesinggahan yang menyenangkan bagi pengelana
Berpolos diri saling menggoda
Nyanyian itu dinyanyikan berulang kali oleh Ratu Mesum. Dan Wiro maklum kalau perempuan tersebut telah mengerahkan tenaga dalamnya. Kalau tidak suara nyanyiannya tak mungkin terdengar keras, menggema sampai ke atas tebing, hampir mengalahkan deru air terjun.
Sudut mata Ningrum menangkap satu gerakan. Dia cepat berpaling, menoleh ke arah pohon besar lalu cepat-cepat menggamit Wiro dan berbisik,
“Ada orang keluar dari rumah di atas pohon!"
Wiro cepat berpaling, memandang ke arah pohon. Memang benar. Saat itu pintu rumah kayu di atas pohon tampak sudah terbuka dan seorang lelaki berpakaian putih nampak tegak di atas cabang besar. Orang ini mengenakan pakaian serba putih dengan ikat pinggang kulit besar melilit di pinggangnya.
Di kepalanya ada sapu tangan besar putih yang dilipat berbentuk segitiga, diikatkan membentuk topi. Orang ini tegak bekacak pinggang, memandang lurus-lurus ke arah iar terjun di mana saat itu Ratu Mesum masih terus duduk berselunjur, memain-mainkan air sambil terus bernyanyi.
“Itu manusianya yang bernama Randu Ireng?” tanya Ningrum.
Wiro tak segera bisa menjawab. Tampang dan pakaian orang itu jauh berbeda dengan manusia yang ditemuinya pada malam hujan lebat di mana terjadi pembunuhan atas puluhan perajurit Demak.
“Tak dapat kupastikan. Jarak kita dengan dia terlalu jauh. Kalau pakaian dan tampangnya jelas berbeda dengan orang yang kulihat malam itu. Kalau saja aku bisa melihat matanya...”
Tiba-tiba, seperti seekor burung besar, orang di atas pohon melompat, melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di atas batu cadas sejauh delapan tombak dari tempat Wiro dan Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat memberi isyarat dengan tangan pada Ningrum agar tidak bergerak dan jangan bicara.
Di bawah sana Ratu Mesum masih terus menyanyi. Lelaki di atas batu cadas sekali lagi tampak melompat, melompat dan melompat. Tubuhnya kini seperti bola karet. Empat kali lompatan akhirnya dia sampai di depan Ratu Mesum.
Perempuan itu tampak terkejut. Mengeluarkan pekik kecil lalu berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya. Lelaki berpakaian putih terdengar tertawa.
“Bidadari dari mana yang kesasar turun ke bumi dan mandi di air terjun Banyu Abang?”
“Siapa kau! Laki-laki lancang! Barani mengintip perempuan mandi!” teriak Ratu Mesum. Wajahnya menunjukkan mimik marah.
“Aku adalah aku! Kau siapa bidadariku?!”
“Pergi!” Ratu Mesum cepat berdiri.
Tapi orang di depannya lebih cepat menekan bahunya. Kedua matanya berkilat-kilat. Seumur hidup belum pernah dia melihat perempuan secantik ini dan dalam keadaan bugil begini rupa. Sepasang payudara yang putih kencang, pinggang ramping yang berakhir pada pinggul yang besar. Perut yang licin mulus, sepasang paha dan kaki yang sangat indah. Sekujur tubuh lelaki itu mendadak menjadi kencang.
“Selain cantik kau juga pandai menyanyi!” Lelaki tadi memuji. “Aku senang sekali bila bisa ikut mandi bersamamu!” Lalu orang itu membuat gerakan hendak membuka bajunya.
“Lelaki kurang ajar! Pergi atau aku akan menjerit!”
“Kalau kau menjerit lalu kenapa?”
“Tidak disangka. Aku sengaja lari dari rumah karena hendak dipaksa kawin dengan kakek-kakek tua keparat itu. Tahu-tahu kini bertemu dengan lelaki jahat!”
“Ah, rupanya kau dewi yang minggat dari rumah. Dengar, aku bukan orang jahat. Dan aku masih muda. Tampangku tentu tidak sejelek kakek tua itu bukan? Ha-ha-ha...!”
“Pergi sana! Lelaki gila!” teriak Ratu Mesum. Dia berusaha meneliti mata kanan orang di depannya. Untuk melihat apakah ada bintik hitam pada bagian putih mata itu. Tetapi karena dia duduk di bawah sedang orang berdiri agak sulit baginya untuk memperhatikan.
“Dewiku, mungkin benar hari ini aku tiba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila padamu! Hai, tahukah kau aturan kehidupan di tempat ini?"
“Tidak! Dan perduli amat segala macam aturan! Memangnya kau yang memiliki tempat ini?!” tukas Ratu Mesum.
“Tentu saja memang aku yang menjadi penguasa di tempat ini. Aturanku, siapa yang berani mandi di air terjun Banyu Abang tanpa seizinku, jika dia lelaki akan kubunuh. Jika dia seorang perempuan yang aku tidak berkenan juga akan kubunuh. Tetapi jika dia soerang perempuan cantik sepertimu maka dia harus tunduk pada perintahku!”
“Tunduk pada perintahmu?! Hik-hik-hik...!” Ratu Mesum tertawa panjang sambil mainkan lidahnya yang merah dan perlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata. Membuat orang di hadapannya semakin blingsatan.
“Tunduk padamu katamu?! Memangnya kau sultan atau raja... Tampang adipati pun kau tak punya!”
Diejek seperti itu orang tadi tidak tampak marah malah ikut-ikutan tertawa, “Sultan atau Raja, apalagi adipati bukan apa-apa bagiku! Aku jauh lebih hebat dari pada mereka semua!”
“Walah! Ternyata kau hanya seorang yang tidak waras! Kau pasti turunan orang hutan. Eh, apakah kau punya nama...?”
“Kau boleh menyebut namaku apa saja!”
“Monyet, begitu! Atau lutung...?!” ujar Ratu Mesum. Kedua tangannya masih menutupi dada sedang kedua paha dilipat dan dinaikkan ke atas.
“Boleh-boleh saja kau menyebut aku begitu!”
“Kau betul-betul hebat,” kata Ratu Mesum pula. “Tapi aku tidak suka pada lelaki berotak miring dan bicara ngacok sepertimu. Menyingkirlah!”
“Tidak! Kau telah mandi di Banyu Abang. Berarti kau berada dalam kekuasaanku. Kau harus ikut aku!”
“Ikut kau? Ikut ke mana?”
“Ke rumahku di atas pohon sana!”
“Ah, ternyata kau bangsa tikus pohon atau tupai!”
“Jika kau menurut baik-baik kau akan kuperlakukan dengan baik. Jika membantah tubuh dan wajahmu yang cantik akan kubuat cacat!” lelaki itu mengancam.
“Aku mau lihat apakah kau sanggup dan berani melakukannya!” kata Ratu Mesum. Lalu dia turunkan kedua tangannya, busungkan dada, pejamkan mata dan angsurkan wajahnya!
Melihat ini tentu saja lelaki itu menjadi salah tingkah, bergeletar sekujur tubuhnya, hampir tak dapat menahan rangsangan. Kemudian dilihatnya mulut dengan bibir yang basah itu mengeluarkan suara,
“Jika kau memberitahu namamu, mungkin aku mau ikut denganmu.”
“Sebut saja namaku Danupaya...” kata lelaki itu.
“Danupaya...?” Desis Ratu Mesum.
“Berlututlah biar dekat. Aku ingin melihat wajahmu agar tahu apakah kau betul bernama Daupaya?”
Seperti terkena sihir lelaki itu perlahan-lahan berlutut di depan Ratu Mesum. Sepasang mata sang ratu terbuka sedikit. Senyum bermain di mulutnya. “Kau berdusta. Namamu bukan Danupaya...”
“Heh... Lalu kau mau nama apa? Kau boleh panggil Singgil Manik atau sebut aku Tunggul Ambang atau...”
“Dengar, aku mulai suka padamu. Ternyata wajahmu cukup tampan juga. Tetapi aku tidak suka pada lelaki yang berbohong. Hanya lelaki pengecut yang sengaja menyembunyikan namanya!”
“Baiklah, kukatakan namaku sebenarnya. Aku Randu Ireng...”
Kedua mata Ratu Mesum membuka lebih lebar. Perhatiannya tertuju pada mata kanan orang yang berlutut di depannya. Dalam jarak sedekat itu kini dia dapat melihat jelas lelaki itu memiliki bintik hitam pada matanya sebelah kanan. Tanda pasti yang ditunjukkan oleh Kakek Segala Tahu danyang telah disampaikan Wiro padanya! Tanda bahwa orang itu memang Randu Ireng!
“Kau masih saja mau berdusta. Kau bukan Randu Ireng. Katakan namamu sebenarnya...!” Kata Ratu Mesum pula.
“Demi segala setan penghuni air terjun ini, aku bersumpah tidak berdusta. Aku memang Randu Ireng!”
Ratu Mesum geleng-gelengkan kepala. Basahi bibirnya dengan ujung lidah, turunkan kedua kakinya yang membuat lelaki di depannya tambah membeliak tak berkesip.
“Tidak mungkin... tidak mungkin kau Randu Ireng. Randu Ireng yang sebenarnya lebih hebat dari raja, lebih tinggi dari sultan. Aku mendengar manusia bernama Randu Ireng itu adalah turunan penguasa laut selatan dan luat utara. Memiliki kekuatan hebat yang sanggup menghancuran gunung dan meleburkan bukit. Jangankan gunung dan bukit, batu di depan sana itupun kau tak sanggup menghancurkannya!”
Lelaki yang berlutut di hadapan Ratu Mesum jadi tercekat. Dengan tangan kosong memang tak mungkin baginya menghancurkan batu itu. Tapi...
“Kau betul-betul mau melihat aku menghancurkan batu itu...?”
“Sudahlah! Jangan mimpi. Menyingkirlah. Aku harus pergi...” Ratu Mesum berdiri dan karena lelaki itu masih berlutut, perut perempuan itu tepat di depan kepalanya, hampir menempel ke hidungnya. Tak sanggup lagi menahan rangsangan yang membakar dirinya, lelaki itu langsung memagut pinggul Ratu Mesum, menciumi perutnya.
“Lelaki kurang ajar!” Ratu Mesum dorong tubuh orang itu kuat-kuat hingga terjengkang tapi tak sampai jatuh ke dalam air.
“Jangan pergi! Aku akan buktikan padamu aku sanggup menghancurkan batu itu. Kalau tidak jangan panggil aku Randu Ireng!”
Lalu orang ini susupkan tangannya ke balik pakaian. Dia mengeluarkan sebuah kantong kulit berwarna hitam yang diikat erat-erat ke tali pinggang celananya. Dari dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah benda putih berkilat-ilat yang langsung disusupkannya ke jari telunjuknya.
“Lihat batu itu!” katanya seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya. Giginya bergerak menggigit bibir sebelah bawah. Satu suara aneh seperti seruling mencuat menyakitkan telinga Ratu Mesum. Detik itu juga tiga larik sinar putih halus menyilaukan melesat, menghantam batu besar, membuat batu itu hancur berantakan.
“Sudah kau saksikan?!”
Ratu Mesum kedip-kedipkan mata. “Mungkin kau hanya menyihirku. Membalik pemandangan mataku. Coba kau hancurkan lagi batu yang disebelah sana kalau bisa!”
“Kenapa tidak bisa!” Seperti tadi orang itu acungkan jari telunjuk tangan kanannya.
Saat itu Ratu Mesum segera dapat melihat bahwa cincin yang dipakainya memang adalah cincin keramat yang tengah mereka cari. Cincin baja putih dengan hiasan kepala ular kobra. Cincin warisan setan yang telah menggemparkan dunia persilatan, dicari dan dikejar orang, mulai dari paar tokoh silat sampai orang-orang istana.
“Lihat!” kata lelaki itu lagi. Dia anggukkan kepala sedikit, gigit lagi bibirnya. Seperti tadi terdengar kembali bunyi seruling melengking, disusul oleh kiblatan tiga larik sinar menyilaukan. Sesat kemudian batu besar yang satu itupun hancur pula berkeping-keping.
“Ah, sekarang aku percaya kau adalah Randu Ireng. Orang terhebat di delapan penjuru angin. Kau tidak berdusta bahwa kau memang lebih hebat dari sultan maupun raja. Cuma, aku minta bukti sekali lagi. Kau lihat pohon besar di atas tebing sana? Coba kau hancurkan bagian batang sebelah bawah, dekat akarnya...”
Randu Ireng tertawa lebar. “Kalau batu saja hancur lebur apalagi batang kayu. Lihat!”
Lelaki itu acungkan jarinya, gigit bibir. Dan untuk ketiga kalinya kembali terdengar suara bersuit. Sinar putih berkiblat tiga larik. Melesat ke arah pohon besar di atas tebing di belakang mana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum bersembunyi.
Ketika melihat datangnya sinar maut menyambar ke arah pohon Ningrum terpekik. Kaget dan marah. Wiro cepat mendorong tubuh perempuan itu keras-keras ke samping. Dia sendiri menyusul berguling selamatkan diri.
“Blusss! Brakkk...!” Pohon besar hancur. Batangnya patah di sebelah bawah dan akarnya terbongkar dari tanah.
“Perempuan keparat itu hendak membunuh kita!” ujar Ningrum.
Di bawah sana, Randu Ireng tersentak kaget. Bukan karena tumbangnya pohon, melainkan ketika mengetahui ada orang di atas tebing. “Hei! Ada orang di atas sana! Keparat! Siapa mereka! Kawan-kawanmu?!”
“Aku datang kemari sendirian. Sipapun mereka pasti bermaksud tidak baik!” jawab Ratu Mesum. “Mari kita menyelidik ke atas sana. Tapi aku berpakaian dulu!” Lalu dia melangkah ke arah air terjun. Tapi begitu sampai di belakang Randu Ireng, perempuan ini hantamkan pinggiran tangan kanannya ke leher orang itu.
“Kraakkk...!”
Terdengar suara patahnya tulang leher Randu Ireng. Tubuhnya terhuyung sesaat, tangan kirinya menggapai-gapai mencari keseimbangan. Perlahan-lahan Randu Ireng coba memutar tubuh menghadapi ke arah Ratu Mesum.
“Perempuan keparat! Penipu laknat! Mampuslah!”
Randu Ireng acungkan jari telunjuknya ke arah Ratu Mesum. Tapi lehernya yang patah membuat tubuhnya hilang kekuatan. Tangan kanan itu bergetar bergoyang-goyang. Randu Ireng gigit bibirnya. Namun sebelum hal ini sempat dilakukannya tendangan kaki kanan Ratu Mesum mendarat tepat di mukanya. Mulut dan hidung Randu Ireng hancur. Darah kental mengucur. Kepala dan tubuhnya mencelat dan segera jatuh ke dalam air.
Ratu Mesum cepat menyergap untuk meloloskan cincin baja putih dari telunjuk Randu Ireng, namun saat itu entah dari mana datangnya bekelebat sesosok tubuh. Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh Randu Ireng pun tak ada lagi di tempat itu. Ratu Mesum berteriak hendak mengejar. Namun segera disadarinya orang yang berkelebat tadi telah menotok jalan darahnya di dada kiri hingga dia hanya mampu bersuara tapi sama sekali tak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya!
Semula Ratu Mesum mengira yang melakukan itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun ketika dia memandang ke arah tebing batu di jurusan tumbangnya pohon besar, dilihatnya orang yang melarikan tubuh Randu Ireng ternyata berpakaian rombeng, memakai caping bambu lebar. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat dan sebuah kaleng rombeng.
Di atas tebing, orang yang melarikan tubuh Randu Ireng berhenti. Dia menarik lepas cincin pembawa malapetaka dari jari telunjuk Randu Ireng. Lalu tubuh yang sudah tak bernyawa itu dilemparkannya ke bawah tebing, menggelinding ke bawah, masuk ke dalam sungai. Mengambang lalu hanyut ke hilir.
Wiro Sableng dan Ningrum yang melihat kejadian yang serba cepat dan serba tak terduga itu tegak terkesiap.
“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro ketika dia kenali orang tua di depannya.
Si kakek tertawa lebar. Dia pindahkan kaleng butut ke tangan kanan lalu kerontang-kerontangkan benda itu tiga kali. “Tunggu apa lagi, lekas ikut aku!” katanya.
Ningrum, yang mengetahui cincin sakti milik suaminya telah beada di tangan si kakek, langsung saja melompat mengikuti. Tapi Wiro sesaat tampak bingung. Akan mengikuti orang tua itu atau turun ke air terjun.
“Hai!” si kakek memanggil. Ketika Wiro masih tegak tak bergerak, kakek itu kembali, lalu menyeret lengannya. Wiro berusaha mempertahankan diri. Tapi astaga! Tenaga si kakek ternyata tidak berada di bawahnya. Bagaimana pun dia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tertarik. Akhirnya pendekar ini terpaksa mengikuti.
“Kek, apa yang kau lakukan dengan perempuan itu?” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. Di suatu tempat akhirnya Kakek Segala Tahu hentikan larinya dan memandang pada kedua orang itu sambil acungkan cincin baja putih. “Kalian tahu, kalau cincin ini tidak kurampas lebih dulu, perempuan bugil itu akan menguasainya. Sekali benda ini berada di tangannya kiamatlah dunia persilatan!”
“Akupun sudah menduga seperti itu kek,” sahut Ningrum. “Perempuan jahat itu tak bisa dipercaya. Tapi kawanmu ini sudah tergila-gila padanya hingga tak bisa diingatkan!”
Wiro hanya garuk-garuk kepala. Ningrum membuka mulut kembali. “Mengingat cincin itu adalah milik suamiku, berarti aku harus menerimanya kembali.”
Tapi perempuan yang menyamar jadi laki-laki ini jadi kaget ketika dilihatnya si kakek gelengkan kepala.
“Tidak. Tidak satu manusia pun di muka bumi ini boleh memiliki cincin warisan setan ini. Benda ini harus dikembalikan ke asalnya. Dari laut kembali ke dalam laut. Aku akan membawanya ke pantai selatan dan membuangnya di sana...”
“Tapi...” potong Ningrum.
“Tidak ada tapi-tapian perempuan berkumis! Sebaiknya kau melupakan cincin ini. Dengan demikian arwah suamimu akan tenteram di alam baka. Kau kembalilah ke tempat gurumu...”
“Aku harus ke Kotaraja!” jawab Ningrum.
“Mencari pangeran bernama Arga Kusumo itu dan membalaskan dendam suamimu?” tanya si kakek.
“Apalagi. Itu kewajibanku untuk melakukannya.”
“Dengar. Pangeran Arga Kusumo telah meninggal satu bulan lalu. Mati terkena penyakit menular. Penyakit sampar! Nah, bukankah lebih baik bagimu kembali ke tempat gurumu dari pada memaksakan diri ke Kotaraja?”
Ningrum terdiam. Kedua matanya tampak basah. Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Ayo, buat apa berlama-lama di sini. Mari kita pergi!” kata Si Segala Tahu.
“Kalau kalian mau pergi, pergilah,” kata Wiro.
“Heh, apa yang ada dalam benak mu orang muda?” tanya si kakek.
“Aku harus kembali ke air terjun itu. kulihat kau telah menotok perempuan itu! aku tidak tega membiarkannya seperti itu. Paling tidak baru besok pagi totokanmu lepas...”
Si kakek tertawa. “Pemuda aneh,” katanya. “Apa kau tidak sadar kalau tadi perempuan itu sengaja menyuruh Randu Ireng menghantam ke arah pohon adalah karena dia bermaksud membunuhmu dan kawanmu ini?!”
“Aku tidak tahu kek. Mungkin dia tidak tahu kalau kami sembunyi di balik pohon... Kini aku harus menolongnya!”
“Pemuda tolol! Kau bukan cuma ingin menolong. Kau benar-benar telah jadi kucing yang tak pernah menolak daging!”
“Kalau begitu biar kau saja yang menolongnya. Siapa tahu dia tertarik padamu...”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. “Aku cuma seekor kucing tua yang sudah tak bergigi lagi. Mana sanggup melahap daging... Ha-ha-ha!"
Setelah puas tertawa kakek itu menarik tangan Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan Wiro. Pendekar 212 Wiro Sableng menarik nafas panjang lalu berlari, kembali menuju air terjun Banyu Abang.
SATU
HUJAN turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran. Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit seolah-olah hendak runtuh!
“Hujan keparat!” maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan lebat itu.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di dalam rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila!” makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang telinganya yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak ke langit.
“Setan atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?” tanyanya pada diri sendiri. “Kalau memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada malam buta...?”
Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat itu! Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang sangat ramai itu. Beberapa pohon kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya dengan tangan kiri atau tangan kanan.
“Krakk! Krakkk!”
Batang-batang pohon itu patah bertumbangan! Makin cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan.
Samar-samar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di bawah hujan lebat. Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara pemuda tadi menyelinap di balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh yang ada di depannya.
Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa bergelak. Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya.
Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang itu mengenakan pakaian serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah panjang, semula disangka seorang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan raut wajahnya ternyata dia seorang lelaki bermuka cekung, berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar.
Kilat menyambar dan Orang yang mengintai dari balik pohon merasakan jantungnya seperti copot! Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang benderang sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon. Semua tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan di mana-mana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman.
“Pembunuhan masal! Siapa yang melakukannya?!” membatin pemuda yang mengintai.
Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa goyah. Selama hidupnya dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka hancur, benar-benar satu hal luar biasa.
Dari pakaian yang dikenakan manusia-manusia malang itu, dari tombak, pedang dan perisai yang bergelimpangan di sela-sela tubuh manusia, jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan. Entah pasukan dari kadipaten atau keraton mana.
Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya. Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam pada batang pohon!
“Dua puluh sembilan hari menguntit dan mengurung!” Tiba-tiba orang berpakaian hitam berambut panjang itu hentikan tawa dan keluarkan ucapan. “Semua berakhir pada kematian! Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian mengantar nyawa di dalam rimba belantara ini! Ha-ha-ha...”
Orang di tengah gelimpangan mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. Seperti tengah memperhatikan sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke kiri. Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahaya sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu mengeluarkan suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan kekuatan tiupan dahsyat.
“Siuttt-Siuttt-Siuttt! Brakkk...!”
Batang pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu roboh dengan suara bergemuruh!
“Keparat setan alas!” maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik pohon besar itu. “Bangsat berjangut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!”
Secepat kilat orang itu jatuhkan diri ke tanah, menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping kanan dan berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking. Tanda orang berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga garis cahaya putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur dan tumbang.
Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu sudah berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan bersembunyi di atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun. Ternyata manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada di atas pohon.
Sebaliknya dari atas pohon dia dapat melihat jelas gerak gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini berpikir-pikir, apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah menimbang akhirnya dia memutuskan untuk menunda.
Di bawah pohon orang tadi kembali tertawa gelak-gelak. Lalu berteriak, “Ada yang lolos rupanya! Tidak apa... Biar dia lari dan memberitahu pada pangerannya! Ha-ha-ha!”
Suara tawa itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah saatnya dia harus melepaskan pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana. Tetapi. Astaga! Ketika memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang berambut panjang berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana!
“Sialan! Aku terlambat!” maki pemuda di atas pohon.
Setelah meneliti keadaan di bawah pohon sekali lagi sementara hujan lebat masih terus turun, maka diapun melompat turun. Ketika masih melayang di udara itulah mendadak telinganya mendengar suara seperti tiupan seruling. Tiga larik cahaya putih yang sangat terang menyilaukan berkiblat, menyambar ke arahnya.
“Celaka! Bangsat itu belum pergi rupanya. Dan kini dia kembali menyerangku!”
Orang yang melompat turun terkejut dan memaki. Secepat kilat dia jungkir balik di udara lalu membuang diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga cahaya datangnya cepat luar biasa. Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan telak. Orang ini keluarkan seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah, di antara gelimpangan mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!
“Ha-ha-ha!” Terdengar tawa bergelak dari belakang batang pohon besar. “Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi terus lari tentu tak akan mampus percuma! Sayang! Kini tak ada yang akan memberi laporan pada sang pangeran! Ha-ha-ha!”
Suara tawa lenyap. Keadaan di tempat itu kini hanya dihantui oleh deru air hujan, desau angin dan gemerisik daun-daun pepohonan. Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi dihantam tiga larik sinar dan terhempas ke tanah, perlahan-lahan tampak bergerak bahkan kini coba berdiri sambil pegangi perutnya. Ternyata manusia satu ini tidak mati. Dia tidak sampai menjadi korban tiga larik sinar maut yang dilepaskan oleh orang berpakaian serba hitam tadi.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jangankan tubuh manusia. Batang pohon yang besar dan keras hancur tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu. Pemuda itu pegangi pakaiannya di bagian perut yang tampak bolong besasr. Bagian tepi yang bolong itu seperti hangus terbakar berwarna kehitaman. Pada bagian pakaian yang berlubang itu tampak tersembul sebuah benda putih yang berkilauan setiap sinar kilat menyambar terang.
Mukanya yang tadi pucat seperti kain kafan berangsur-angsur berdarah kembali dan dari mulutnya pemuda ini tak henti-hentinya memaki. Dia pegangi benda putih berkilat yang tersembul di depan perutnya, garuk-garuk kepalanya dengan tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke balik semak belukar. Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya masih berada di tempat itu atau muncul kembali.
“Kapak ini telah menyelamatkan nyawaku...” kata lelaki berakaian putih yang kini pakaiannya penuh lumpur bercampur darah.
Tengkuknya masih terasa dingin. Bukan oleh karena dinginnya udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru saja menyadari, kalau senjata mustikanya itu tidak tersisip melindungi perutnya, pastilah perutnya akan bobol amblas dihantam sinar ganas tadi. Dia segera pula menyadari bahwa senjatanya itu memiliki keampuhan yang tinggi dan tak sanggup dihantam pukulan sinar aneh dan mematikan itu.
Ketika dipastikannya keadaaan di tempat itu benar-benar telah aman maka diapun segera keluar dari balik rerimbunan semak belukar. Dia coba meneliti sekian puluh mayat yang terkapar mengerikan.
“Pasukan yang malang... Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari mati di tempat ini?” Orang itu geleng-geleng kepala. “Tak habis pikir bagaimana orang berjanggut tadi sanggup membunuh puluhan manusia ini dengan sinar mautnya itu? Sinar maut hebat luar biasa, tapi ganas mengerikan... Heh, apa yang harus aku lakukan? Tolol!”
Orang itu memaki dirinya sendiri. Lalu menjaab pertanyaan sendiri. “Yang paling baik aku harus pergi dari sini. Rimba belantara ini lebih seram dari neraka! Tempat celaka apa ini! Gila!”
Maka diapun bergerak pergi. Namun baru dua kali menindak melangkahi mayat-mayat di tanah, mendadak terdengar bentakan garang.
“Berhenti...!”
DUA
"Bangsat! Siapa pula yang membentak! Setan rimba belantara?! Eh, mungkin orang berjanggut tadi?!”
Dengan sikap waspada dan mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan siap untuk mengahantam, dia memandang ke arah kegelapan dari mana suara bentakan tadi datang. Dia melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu sosok tubuh kedua. Ketiga dan keempat. Ketika dia memandang berkeliling, ternyata dia telah dikurung oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang kelewang panjang.
“Siapa kalian?!” Lelaki berpakaian serba putih balik membentak.
“Randu Ireng! Dua kali bulan pernama kami menguntitmu! Sekarang tak mungkin lepas!” terdengar jawaban dari kegelapan.
“Randu Ireng...?” Desis orang yang dikurung. “Siapa yang kalian maksudkan?”
Terdengar suara batuk-batuk di sebelah kanan, menyusul suara berkata “Kami tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar seribu kali dalam semalam. Tapi kami berenam tak mungkin kau tipu!”
“Gila! Malam-malam buta, hujan lebat begini rupa dan disaksikan puluhan mayat celaka kalian ini bicara apa sebenarnya?!”
“Dengar Randu Ireng...”
“Setan alas! Namaku bukan Randu Ireng!” Hardik orang yang dikurung.
Keluar jawaban. “Terserah kau mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau sudah kami kurung. Tak mungkin lolos walaupun kau bisa merubah diri menjadi seekor tuma! Kawan-kawan, apakah kalian lihat benda itu di jari telunjuk kanannya?”
Lima suara menyahut. “Kami tidak melihatnya!”
“Dia pasti menyembunyikannya di balik pakaiannya!”
“Keparat! Benda apa yang dimaksudkan enam jahanam gila ini?” ujar pemuda yang dikurung lalu meneliti jari telunjuk tangannya sendiri. Jari telunjuk tangan kanan itu memang tidak ada apa-apanya. Mengapa orang-orang itu sengaja memperhatikan jari telunjuk tangan kanannya? Siapa mereka sebenarnya dan siapa pula orang bernama Randu Ireng itu?
Selagi dia bertanya-tanya seperti itu, kembali orang yang tegak di hadapannya dalam kegelapan membuka suara sementara hujan masih terus turun walau sekarang mulai mereda.
“Radu Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!”
“Betul! Serahkan lekas. Dan kami akan mengampuni selembar nyawamu!”
Orang di samping kiri ikut bersuara. Pemuda yang tegak di antara tebaran mayat kembali memaki dalam hati. Kemudian dia tertawa gelak-gelak. Namun hatinya tetap saja jengkel.
“Kalian orang-orang gila kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan dengar ucapanku. Aku bukan Randu Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak mengerti cincin apa yang kalian minta. Aku sama sekali tidak memiliki cinicn, atau kalung atau gelang. Ha-ha-ha!”
“Dusta!”
“Bohong besar!”
“Rupanya dia tidak sayang nyawa!”
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita bantai saja!”
Enam sosok tubuh bergerak maju, mendekar dan memperapat pengurungan. Enam batang kelewang panjang tergenggam erat dalan enam tangan kukuh, melintang di depan dada. Sejarak lima langkah, keenam orang itu berhenti. Orang yang dikurung memandangi wajah mereka satu persatu. Tak seroangpun yang dikenalnya.
“Kami masih memberi kesempatan terakhir!” kata orang di samping kanan. “Lekas serahkan cincin itu!”
“Cincin apa?!” tanya lelaki yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan lumpur dan darah.
“Jangan pura-pura tidak tahu!”
“Cincin apa lagi kalau bukan Cincin Kepala Ular Kobra Baja!” jawab orang yang tepat berdiri di depan lelaki tadi.
Kini berubahlah paras pemuda ini. dia pernah mendengar tentang benda itu, tapi tak pernah melihatnya. Cincin baja yang merupakan senjata mustika ganas. Tiba-tiba dia ingat pada orang berpakaian serba hitam yang tadi menyerangnya.
“Kalau begitu...” desisnya.
“Kalau begitu apa?!” ucapannya langsung dipotong.
“Kalau begitu orang berjanggut dan berkumis lebat tadi yang kalian maksudkan...”
“Jangan coba mengalihkan pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan manusia berjanggut dan berkumis itu?!”
“Manusia yang membunuh puluhan perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki senjata ampuh luar biasa mana mungkin dia sanggup membunuh lawan sebegini banyak….”
“Dusta! Bukankah kau sendiri yang telah membunuh balatentara dari Demak ini? Dan tentunya dengan mempergunakan cincin keramat itu!”
“Aku tidak memiliki benda itu. Bahkan aku sendiri tadi diserang bangsat itu. lihat pakaianku yang hangus dan berlubang besar di bagian perut ini…”
Enam orang di depannya menyeringai mengejek. Tak percaya tentunya. Yang di samping kiri berkata. “Kalau diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau bukan manusia lagi. Tapi sudah jadi bangkai dengan perut bobol!”
“Mungkin! Tapi… Ah, percuma saja aku menerangkan. Kalian tentu tak akan percaya…” kata pemuda yang tegak di antara tebaran mayat. Dia merasa tak perlu menjelaskan bahwa senjata sakti yang dimilikinya telah menyelamatkannya dari hantaman tiga cahaya putih yang melesat keluar dari jari telunjuk orang berpakaian serba hitam itu.
“Ayo, mana cincin itu. Lekas serahkan!”
“Aku tak mau lagi bicara dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan Randu Ireng. Aku tidak memiliki benda yang kalian cari! Sekarang beri jalan, Aku mau lewat. Aku mau pergi dari tempat celaka ini!”
“Ragamu boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!”
Enam kelewang bergerak naik ke atas. “Kau akan mampus percuma! Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang tercincang!”
Orang yang terkurung dan hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan suara bersiul. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Enam lelaki bertubuh besar dan bermuka garang serentak mundur dua langkah ketika menyaksikan senjata berbentuk kapak yang memiliki dua buah mata terlihat tergenggam di tangan kanan orang yang mereka sangka Randu Ireng itu.
Yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat sinar menggetarkan yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di situ gelap sama sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan kapak.
“Siapa kau sebenarnya?!” Salah seorang dari enam pengurung bertanya.
“Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu coba katakan siapa kau adanya!”
“Kau tidak perlu tahu!”
“Jika tak berani memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!”
“Kentut busuk!”
“Senjata apa yang ada di tanganmu itu?!”
“Kapak Naga Geni 212!”
Enam pengurung tersentak kaget. Mereka saling pandang. “Kalau begitu kau adalah pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng nenek sakti dari Gunung Gede!”
Orang yang memegang kapak tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan orang di depannya memang benar adanya.
“Kalau begitu kami telah salah sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini. Hanya saja, apakah kau dapat menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini….?”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, orang yang tadi hendak dikeroyok sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam diapun ingin mengetahui siapa adanya manusia bernama Randu Ireng dan apa sebenarnya cincin baja berkepala ular itu.
“Aku bersedia menerangkan apa yang kulihat di sini walaupun tak banyak, tapi harap kalian mau mengatakan siapa kalian adanya…”
“Kami berenam kakak beradik. Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal dengan julukan Enam Kelewang Maut…”
Wiro Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya kembali ke pinggang lalu berkata “Setahuku kalian adalah para pendekar dari golongan putih. Tapi gerak gerik kalian malam ini tidak beda dengan bangsa gerombolan rampok atau rombongan maling. Tidak disangka kalian selama ini disenangi ternyata bertindak tanduk memalukan…”
“Kami mengakui telah kesalahan tangan,” kata Sebrang Lor. “Semua terjadi karena kejengkelan kami sudah sampai di puncaknya. Kami telah menguntit manusia bernama Randu Ireng itu hampir selama enam puluh hari. Malam ini ternyata kami menemui kegagalan lagi… Nah, apakah kau mau menerangkan apa yang kau ketahui…?”
Wiro menjelaskan tidak banyak. Mulai dari dia mendengarkan suara jeritan-jeritan, sampai dia mendapat serangan, lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki berpakaian serba hitam, berjanggut dan berkumis.
“Mungkin manusia yang menyerangku itulah Randu Ireng, orang yang kalian cari…”
“Barangkali... Manusia bernama Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak memiliki kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu kesaktian. Namun ada satu kehebatannya. Yaitu dapat menyamar secara lihay dan cepat. Lalu karena cincin keramat itu berada di tangannya, maka tak ada satu orangpun yang mampu mengahadapinya. Jangankan satu orang, seluruh pasukan kerajaan sanggup dihancurkannya dengan benda keramat itu…“
“Kau berulang kali menyebut cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin itu….?”
Sebrang Lor lalu memberi penuturan;
********************
Dua belas tahun silam, seorang nelayan muda yang diam di sebuah desa di pantai selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok mahluk tinggi besar berjubah putih yang berjalan tanpa menjejak bumi. Wajah mahluk ini seram sekali. Memiliki sepasang kuping panjang mencuat ke atas, berambut gondrong dan bermata cekung dengan sepasang bola mata putih sedang bagian mayang seharusnya putih tampak sangat merah seperti api.
Bagian hidungnya hanya merupakan sebuah lobang menjijikkan. Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar serta bertaring panjang. Semua gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah darah. Lidahnya juga panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari tangannya yang ternyata hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku panjang.
“Nelayan muda…” kata mahluk dalam mimpi itu. suaranya membahana, bumi seolah-olah bergetar. “Besok malam kau harus turun ke laut!”
“Mana mungkin.” Sahut nelayan itu ketakutan. “Sudah sejak seminggu ini hujan turun terus setiap malam. Tak mungkin menangkap ikan dalam hujan dan angin kencang...”
“Aku memerintahkan kau turun ke laut bukan untuk menangkap ikan!”
“La… lalu…?”
Mahluk itu menyeringai. Saat demi saat tubuhnya tampak bertambah besar dan tinggi. Ketika si nelayan mendongak mahluk itu sudah setinggi pohon kelapa! “Turun ke laut. Kayuh perahumu ke pulau Pangiri dan berhenti di sebelah timur, kira-kira seratus kayuhan dari pulau. Kau sama sekali tidak boleh membawa jala. Hanya membawa sebuah pancingan dan umpan tunggal seekor ikan teri basah. Lemparkan kalimu ke dalam laut dan tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah terasa ada sentuhan, sentak kail itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh berwarna hitam. Ikan itu kau belah perutnya. Di dalam perut ikan akan kau temui sebuah cincin terbuat dari baja putih, berbentuk kepala ular kobra. Jika cincin itu kau kenakan di jari telunjukmu lalu jarimu kau acungkan ke depan sambil menggigit bibirmu sebelah bawah maka tiga cahaya putih menyilaukan akan melesat keluar dari sepasang mata dan mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu merupakan kekuatan dahsyat yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba belantara. Kau boleh menyimpan dan memiliki cincin itu sampai aku datang lagi memberi petunjuk lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual. Karena selain merupakan warisan, tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak sanggup membayar nilainya! Kau dengar itu nelayan muda…?”
“Kudengar tapi…”
“Tidak ada tetapi-tetapian. Besok malam turun ke laut. Ada satu hal harus kau ingat. Setelah cincin kau dapatkan dari perut ikan, bakar ikan itu sampai hancur dan cemplungkan abu serta tulang belulangnya ke dalam laut. Jika kau sampai melupakan hal itu maka penjaga dan pemilik laut selatan akan menelan mu lumat-lumat. Kau tahu siapa penjaga dan penguasa laut selatan itu…?”
“Tahu… Nyi Roro Kidul…”
“Hemmm…” Mahluk setan dalam mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap.
Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda itu terbangun dari tidurnya lalu terduduk di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk termangu. Apakah akan dibangunkannya istrinya dan menceritakan mimpinya pada perempuan yang tengah hamil muda itu? Akhirnya setelah menganggap mimpi itu hanya mimpi biasa saja yang bisa terjadi pada diri setiap orang, nelayan itu kembali tidur.
Keesokan harinya dia memang teringat kembali pada mimpi itu, namun karena tak mau memperdulikan maka menjelang siang segera saja dilupakannya. Dan pada malam harinya dia sama sekali tidak turun ke laut melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan tertidur sambil berpelukan.
Lewat tengah malam, dalam kenyenyakan tidur mendadak mahluk berjubah putih berwajah setan itu muncul kembali. Kedua matanya berapi-api, taringnya mencuat, lidahnya terjulur dan meneteskan cairan merah darah. Lima jari tangannya menggapai ke depan seperti hendak merobek muka nelayan muda itu, membuat si nelayan menjerit dalam tidurnya hingga istrinya terbangun dan mengguncang tubuhnya.
“Ada apa…?” tanya sang istri. “Kau bermimpi…?"
“Entahlah... Mungkin. Tapi aku tak ingat mimpi apa… Ah sudahlah. Tidur saja kembali. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Sudah janji dengan paklikmu untuk membantunya mengolah ladang..."
Kedua suami istri itu tidur kembali. Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu muncul lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh amarah mahluk ini bertanya
“Malam ini sesuai perintahku kau harus turun ke laut. Mengapa tidak kau laksanakan…?”
“Aku... aku lup...lupa...” jawab si nelayan.
“Dengar, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan terakhir. Malam besok kau turun ke laut. Jika tidak kau laksanakan maka anakmu kelak akan lahir cacat. Wajahnya akan seburuk wajahku...”
Habis berkata begitu mahluk berwajah setan itupun lenyap. Kembali si nelayan terbangun dan tak dapat tidur sampai keesokan paginya. Sepanjang hari sampai sore dia lebih banyak duduk melamun sambil menghisap rokok, duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan memandang ke tengah laut sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri kini dalam hati nelayan ini. Takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk seram itu, kelak anaknya lahir benar-benar akan cacat.
Akhirnya malam itu, meskipun istrinya bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan perahu dan turun ke laut, nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para tetangganya juga tampak keheranan menyaksikan. Tanpa peduli dia mengayuhkan perahunya ke tengah laut. Pulau Pangiri cukup jauh. Ombak agak besar dan hujan rintik-rintik yang turun saat itu setiap saat bisa berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah begitu badaipun datang menyongsong!
Makin jauh ke tengah laut ombak terasa makin besar dan laut menjadi ganas. Perahu kecil itu laksana sebuah sabut yang dipermainkan dan dihantam gelombang tiada henti. Air laut memenuhi lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar kalau tak mau tenggelam. Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu.
Dia mulai berpikir-pikir apakah tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di lanun ombak dan mati jadi santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat kenyataan kalau anaknya benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat nelayan ini lebih baik meneruskan merancah laut menuju pulau Pangiri.
Hampir menjelang tengah malam, dalam keadaan basah kuyup dan tubuh letih kehabisan tenaga akhirnya dia sampai juga ke pulau tujuan. Sesuai pesan mahluk setan itu dia hentikan perahu sekitar seratus kayuhan dari pulau Pangiri. Anehnya saat itu laut di tempat dia berhenti tampak tenang sekali, tak ada ombak apalagi gelombang. Sedang hujan pun tiba-tiba saja berhenti.
Dengan tanagn gemetar nelayan itu mengambil kailnya lalu memasang umpan pada mata kali yakni seekor teri basah. Lalu kail dilemparkannya ke dalam laut. Tali pancingan diulur sampai habis. Dan dia menunggu dengan hati berdebar.
TIGA
Nelayan muda itu tidak tahu entah sudah berapa lama dia duduk di atas perahunya memegangi pancing. Tapi sampai tubuhnya jadi tambah letih dan tanagnnya pegal serta matanya terkantuk-kantuk masih belum terasa ikan atau apapun yang menyentuh mata kailnya. Dia mulai berpikir mungkin mimpi yang dialaminya itu benar-benar hanya mimpi biasa atau mimpi gila!
Dia memutuskan untuk menunggu beberapa lama lagi dan berusaha mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak ada juga terjadi apa-apa maka dia akan kembali pulang. Tak lama kemudian selagi kesabarannya hampir habis dan dia siap untuk pulang saja, mendadak nelayan ini merasakan sesuatu menyambar mata kailnya, keras sekali. Secepat kilat kayu pancingannya disentakkan lalu dibetot ke atas dengan hati berdebar.
Seekor ikan berbentuk aneh berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya sebelumnya menggelepar di mata kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke dalam perahu, ditangkapnya dengan tangan kiri agar jangan sampai mencemplung lagi ke dalam laut.
Diperhatikan dekat-dekat, binatang ini memiliki kepala yang seram. Kedua matanya menonjol lebar, ada sebentuk taring yang menonjol keluar. Lalu pada bagian atas depan di antara kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi kiri kanan di bawah mata terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan hitam ini mengingatkan nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam mimpinya. Jangan-jangan binatang ini penjelmaan mahluk itu.
Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya maka dari balik pinggang celananya dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar ditorehnya perut ikan itu. Aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali. Dengan susah payah bahkan sampai keringatan baru dia akhirnya dapat memotong bagian perutnya. Dengan ujung pisau dikoreknya isi perut binatang itu. Di antara isi perut yang berbusaian terlihat sebuah benda putih.
Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran kepala ular sendok. Tangannya gemetar ketika menyentuh cincin itu. Sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Si nelayan merasakan tubuhnya menjadi sangat enteng. Pemandangannya menjadi tajam dan pendengarannya pun demikian pula. Cepat-cepat cincin itu dimasukkannya ke dalam saku celana dan saku itu diikatnya dengan seutas tali.
Sesuai perintah dalam mimpi, ikan hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa pembakarannya dibuangnya ke dalam laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar dan hujan lebat turun. Laut mengganas, ombak menggila. Ketakutan nelayan itu segera kayuh perahunya meninggalkan tempat tersebut. Menjelang pagi dia sampai ke pantai.
Di pantai dilihatnya istrinya sudah menunggu dengan cemas. Beberapa tetangga dan teman-temannya ikut menjemput ke pantai. Mereka semula heran ketika melihat perahu miliki nelayan muda itu penuh dengan ikan-ikan besar. Padahal si nelayan sama sekali tidak membawa jala. Tentu saja semuanya bertanya bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian banyaknya!
Selain itu bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus menerus sepanjang malam? Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi melaut seorang diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia juga merasa heran bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak ikan? Tanpa berniat untuk memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang lengan istrinya langsung mengajaknya pulang ke rumah.
Selama tiga hari tiga malam nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas yang membuatnya mengigau dan meracau sepanjang saat. Hari keempat baru sakitnya lenyap dan sepanjang hari dia duduk di depan rumah, memandang jauh ke tengah laut. Cincin baja putih berkepala ular yang ada dalam saku pakaiannya senantiasa digenggamnya erat-erat.
Dia menjenguk ke dalam rumah. Istrinya sibuk di belakang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memandang berkeliling. Takut ada seseorang atau istrinya tiba-tiba muncul. Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin ular kobra itu dimasukkannya ke jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diacungkannya lurus-lurus ke depan. Lalu dicobanya menggigit bibirnya sebelah bawah.
Mendadak terdengar suara bersuit, seperti suara seruling, kencang dan menusuk liang telinga. Suara aneh itu disusul dengan melesatnya tiga cahaya putih, dua kecil, satu agak besar. Cahaya ini menyambar ujung atap rumahnya. Langsung atap rumah itu hancur berantakan. Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat wajahnya tapi sang istri yang sedang bekerja di belakang bergegas lari ke depan rumah untuk melihar apa yang terjadi.
Sore harinya dengan alasan hendak memeriksa perahu, nelayan itu meninggalkan rumah. Diam-diam dia pergi ke bukit yang terletak tak jauh di selatan perkampungan. Di hadapan sebuah pohon besar dia berhenti dan mengeluarkan cincin kepala ular kobra itu. Cincin dimasukkannya ke jari telunjuk. Jari ini diluruskannya, diarahkan ke batang pohon besar.
Bersamaaan dengan itu digigitnya bibinya. Terdengar suara bersuit. Tiga cahaya putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam batang pohon. Batang yang dua kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan pohon tumbang dengan suara gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa tidak percayanya. Dengan perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu menuruni bukit.
Di tengah jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar hitam. Dia ingin mencoba dan membuktikan keampuhan cincin sakti itu kembali. Cincin dikeluarkannya dipakainya lagi pada jari telunjuk. Ketika diacungkan ke arah batu sambil menggigit bibir, melengking suara seruling lalu sinar yang melesat keluar menghancur leburkan batu besar itu.
Sejak dia memiliki cincin sakti tersebut si nelayan menunjukkan perubahan sikap. Hampir setiap hari dia selalu mengurung diri dalam rumah atau duduk termenung di bawah atap memandang ke tengah laut. Perubahan dirinya ini bukan saja mengherankan istrinya, tetapi juga para tetangga dan kawan-kawan. Namun sampai sebegitu jauh tak seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah terjadi dengan dirinya, termasuk istrinya.
Pada masa itu umumnya kampung-kampung nelayan dan desa-desa di sekitar pantai banyak yang berada dalam keadaan tidak aman. Para perompak atau bajak laut, jika tidak mendapatkan hasil jarahan di laut banyak yang turun ke darat melakukan perampokan, merampas harta benda penduduk termasuk bahan makanan serta melakukan penculikan. Kampung di mana nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari bencana itu.
Sejak setahun belakangan ini sudah dua kali bajak laut mendarat melakukan perampokan, perampasan penculikan dan pembunuhan. Sore itu, menjelang malam hujan baru saja mulai berhenti setelah turun seharian. Laut tampak tenang tak seorangpun nelayanpun berani turun menangkap ikan. Menurut pengalaman meskipun laut tampak tenang namun sewaktu-waktu udara atau cuaca bisa berubah mendadak.
Selewatnya tengah malam kampung yang diselimuti kesunyian dan dibungkus udara dingin berembun yang mengandung garam itu tiba-tiba diramaikan oleh suara kentongan. Mula-mula suara kentongan ini terdengar dari pantai sebelah timur. Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan dengan kentongan di dalam kampung sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar teriakan-teriakan...
“Perompak... perompak!”
“Bajak laut datang! Bajak laut datang!”
“Semua orang lekas lari! Tinggalkan rumah kalian!”
“Selamatkan diri!"
Serta merta kampung nelayan itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang perempuan berpekikan. Anak-anak bertangisan. Orang-orang lelaki segera mengumpulkan anak istri mereka dan melarikannya ke tempat yang aman jauh di balik bukit. Beberapa pemuda bersenjatakan golok, kelewang dan tombak berkumpul membentuk barisan pertahanan, siap berjibaku. Tapi kepala kampung segera menemui mereka.
“Tak ada gunanya melawan perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita! Di samping itu mereka banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga meriam besar! Kalian semua ikut kami menyelamatkan diri!”
Salah seorang pemuda menjawab. “Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi kami tidak takut! Kami rela mati demi kampung halaman, kalau bajak itu tidak diberi perlawanan, mereka akan selalu datang mengganggu!”
“Soal perlawanan kita bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini! Tak ada artinya jadi pahlawan sia-sia!”
Baru saja kepala kampung itu berkata begitu, dari tengah laut tampak kilatan api. Sesaat kemudian didahului oleh letusan menggelegar sebuah benda bulat bercahaya melayang menuju perkampungan.
“Mereka menembakkan meriam!” teriak kepala kampung. “Lekas menyingkir!”
“Bajak laut keparat! Dari mana mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!” maki seorang pemuda.
Tapi saat itu nyalinya sudah lumer dan buru-buru dia melarikan diri mengikuti kawan-kawannya yang telah menyingkir lebih dahulu bersama kepala kampung. Di tengah laut tampak sebuah kapal kayu besar menurunkan lebih dari selusin perahu kecil yang masing-masing berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu serentak mulai mengayuh menuju pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi senyap ditinggalkan seluruh penduduknya.
EMPAT
Soma, nelayan muda itu memegang lengan istrinya erat-erat. Perempuan yang hamil muda ini tak bisa berlari cepat karena takut jabang bayi dalam kandungannya mengalami cidera. Sekali dia terjatuh bayi itu bisa cacat. Hal itu juga yang dikhawatirkan Soma. Karenanya mereka tertinggal jauh dari penduduk kampung yang telah lari lebih dulu.
Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan cincin sakti baja putih berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya. Jika cincin itu sanggup menghancurkan batang kayu dan batu besar, berarti terlalu mudah baginya untuk menghantam lumat tubuh manusia. Selintas pikiran muncul dalam benak Soma. Maka diapun berkata pada istrinya.
“Istriku, aku akan antarkan kau sampai ke balik bukit itu bergabung dengan orang-orang sekampung...”
“Lalu, kau sendiri hendak ke mana?” tanya sang istri heran.
“Aku akan kembali ke kampung...”
“Kembali ke kampung? Perompak-perompak itu akan membunuhmu!”
“Aku harus kembali. Ada sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan menemuimu lagi dalam waktu cepat. Kau tak usah kawatir”
“Tentu saja aku sangat kawatir. Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?”
“Tidak... tidak apa-apa. Aku hanya sebentar.”
Sang istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk kembali. Begitu sampai di bali bukit, nelayan muda ini tinggalkan istrinya. Telinganya seperti tidak perduli akan jeritan sang istri yang tiada henti memanggil.
Ketika Soma sampai di kampungnya kembali dilihatnya puluhan bajak tengah menjarah isi rumah penduduk. Mereka membawa apa saja yang dianggap berharga termasuk ternak. Bajak-bajak laut ini tampaknya marah sekali tidak menemukan seorang pendudukpun di perkampungan itu. Padahal sebelumnya mereka sudah berniat untuk menculik anak gadis dan istri orang.
Kemarahan kini ditumpahkan pada rumah-rumah penduduk yang segera mereka bakar dan hancurkan. Soma bersembunyi di balik sebatang pohon yang bagian bawahnya penuh dengan semak belukar. Cincin baja putih dikeluarkan dari saku dan cepat dikenakan ke telunjuk tangan kanan.
Perompak yang terdekat berada sekitar delapan tombak di seberangnya, tengah melangkah sambil menggiring seekor kambing. Soma kertakkan rahang. Dia tahu betul kambing itu adalah kambing mertuanya. Nelayan muda ini gigit bibir sebelah bawah. Suara seperti seruling melengking tinggi. Tiga cahaya putih melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu.
Anggota bajak yang tengah menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa mengeluarkan jeritan dengan kepala hancur. Kambing yang barusan dicurinya mengembik tiada henti dan lari dalam kegelapan malam.
Nelayan muda itu tegak dengan lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk dingin. Keringat mericik di keningnya. Wajahnya seputih kertas. Seumur hidup dia tak pernah membunuh manusia. Malam itu dia melakukannya. Dan dia menyaksikan kematian perompak itu begitu mengerikan. Semula hendak ditinggalkannya tempat itu dan lari ke bukit saking takutnya.
Namun ketika di bagian lain dia menyaksikan para anggota bajak menghancurkan dan membakar rumah-rumah penduduk, darahnya terbakar kembali. Soma menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya dekat surau kampung, siap membakar bangunan itu.
Soma angkat tangan kanannya, diacungkan lurus-lurus ke arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap surau yang terbuat dari rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling melengking. Tiga cahaya putih berkiblat. Bajak itu keluarkan pekikan maut. Tubuhnya terpental menghantam dinding surau lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. Bajak yang satu lagi tentu saja kaget bukan kepalang.
“Hai! Kau kenapa?!” tanyanya berseru lalu membungkuk meneliti keadaan kawannya ini. Mukanya kontan mengerenyit ngeri ketika melihat punggung kawannya yang berlobang hancur dan darah menyembur! Dia berdiri kembali sambil memandang berkeliling.
Pada saat itulah ada tiga larik cahaya putih menyilaukan menderu ke arahnya. Cepat dia melompat ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu menghantam lebih cepat, tepat pada keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas hancur. Tubuhnya tergelimpang tanpa nyawa! Tiga orang kawannya yang kemudian muncul di tempat itu sangat terkejut serta merta melakukan pemeriksaan. Salah seorang menyuruh kawannya memberi tahu pemimpin mereka.
“Dia dibokong dari belakang. Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini bukan seperti bekas tusukan pisau atau pedang. Mungkin ditusuk dengan tombak besar... gila! Siapa yang melakukan.”
Bajak yang satu berdiri dengan muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Seperti tiupan suling yang sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya suara itu. Justru saat itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya. Anggota bajak ini menjerit dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol. Darah dan usus memberurai keluar.
Kawannya yang satu lagi berteriak tegang dan melompat. Dia melihat jelas ada cahaya putih yang menyambar, menghantam perut kawannya. Namun dia tidak tahu pasti cahaya apa. Dia memandang ke arah kegelapan. Rasa takut menggerayangi dirinya. Serta merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu. Namun dia baru lari tiga langkah ketika suara seruling kembali menggema dan sinar putih menghantam pinggangnya sampai putus!
Soma kepalkan tangan kirinya. Lima bajak laut yang ganas-ganas telah dibunuhnya. Seperti kesetanan dia menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggota-anggota bajak lainnya. Siap untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin baja ular kobra yang ada di jari telunjuk tangan kanannya. Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di tempat tersebut bersama dua orang anak buahnya, membeliak matanya.
“Mereka... Gila! Mereka mati... Mereka dibunuh!” teriaknya marah. Baru saja dia berteriak, di kejauhan terdengar jeritan beberapa kali berturut-turut.
“Hai! Ada cahaya putih berkelebat di sebelah sana!” seru salah seorang bajak.
“Mungkin sambaran petir...?” kawannya menduga.
“Jangan ngacok!” sentak Boga Damar, marah dalam keterkejutannya. “Malam ini memang mendung, tapi tak ada hujan yang akan turun. Lagi pula mana ada peitr tanpa geledek?!”
Si anak buah terdiam tak berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja dia heran dan bertanya-tanya. “Dengar... Ada jeritan lagi! Susul menyusul!” kata bajak satunya lagi.
“Setan alas! Apa yang sebenarnya terjadi!” Boga Damar mendadak menjadi tegang.
Dia memberi isyarat agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya meninggalkan empat bajak yang telah menemui kematian itu tanpa melakukan pemeriksaan. Mereka lari ke jurusan timur kampung, dari arah mana jeritan-jeritan itu tadi terdengar dan cahaya-cahaya aneh tampak berkiblat.
Sampai di sebuah lapangan kecil di mana para anggota bajak mengumpulkan barang-barang jarahannya sebelum diangkat ke atas kapal, Boga Damar menyaksikan pemandangan yang sangat mengejutkan dan hampir tak dapat dipercayainya. Bulu kuduknya merinding.
Sembilan anak buahnya menggeletak malang melintang di tanah. Mereka menemui ajal dengan salah satu bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi terlihat mati dengan cara sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di bawah pohon dan dua lagi di antara tumpukan barang-barang rampasan.
Rahang menggelembung, pelipis bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal serta merta mendelik Boga Damar membentak. “Siapa yang melakukan ini semua? Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Tentu saja tak seorang pun anak buahnya dapat memberikan jawaban. “Ada yang tak beres di tempat ini...!” sentaknya lagi.
“Mungkin... mungkin ada setan atau jin...!”
“Aku tak percaya segala macam setan ataupun jin!” memotong kepala bajak ketika anak buahnya coba membuka mulut.
“Tapi Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat ini. atau mungkin seorang sakti...”
“Kalau memang ada akan kupatahkan batang lehernya!” tukas Boga Damar garang. Mendadak terdengar suara melengking.
“Hai! Tiupan seruling itu!” seru salah seorang bajak. “Tadi kudengar berulang kali sebelum disusul jeritan. Ada cahaya menyambar ke mari...!”
Bajak itu cepat melompat ke samping. Tiga larik sinar putih melesat dan di belakang sana seorang perompak tubuhnya terpental jauh lalu tergelimpang mati dengan dada berlubang hancur!
Boga Damar dan yang lain-lainnya lari memburu namun gerakan mereka tertahan dan semuanya terpaksa selamatkan diri cerai berai ketika sinar putih aneh kembali berkiblat dan dua orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh tergelimpang. Satu menemui ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi merintih sesaat sambil pegangi perutnya yang memburai lalu kaku tak bergerak lagi!
“Bangsat! Siapa yang melancarkan serangan gelap ini!” rutuk Boga Damar sambil bertiarap.
Namun mulutnya serta merta terkancing dan lidahnya menjadi kaku ketika anak buahnya yang ikut bertiarap di sebelah kanannya kembali menemui kematian dengan cara mengerikan, batok kepala hancur disambar tiga larik sinar putih mengerikan itu! Boga Damar adalah seorang kepala bajak berhati ganas dan tidak kenal takut. Membunuh manusia sama mudahnya baginya dengan membalikkan telapak tangan. Berbagai lawan telah dihadapinya tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya tak dapat lagi dikendalikan. Dia tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa sebenarnya dia tengah berhadapan. Dan musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana mungkin dia menghadapinya.
“Kalian semua lari ke perahu!” kata Boga Damar masih tetap tiarap. “Kembali ke kapal! Bawa barang rampasan yang bisa dibawa! Lekas!”
Enam anggota bajak yang tadi sama-sama bertiarap di tanah cepat berdiri. Namun dua di antaranya segera roboh kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba muncul lagi dan menyambar tubuh mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga Damar yang melihat kejadian itu dan semula hendak merangkak bangun cepat jatuhkan diri lalu berguling beberapa kali sampai akhirnya dia dapat berlindung di balik reruntuhan rumah.
Dari sini dia memandang tajam menembus kegelapan di arah sederetan pohon waru di ujung timur lapangan. Suara lengkingan aneh seperti seruling serta sambaran cahaya putih yang menyebar maut itu datangnya dari balik deretan pohon-pohon waru itu. Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu berkelebat cepat ke balik rumah-rumah penduduk, melompat ke arah semak belukar hingga akhirnya dia sampai ke dekat pepohonan waru.
Sejak saat dia mulai melakukan penyelinapan itu sampai akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru lima anak buahnya telah menemui ajal pula dihantam tiga larik sinar maut.
“Ini pasti biang keparatnya!” serapah Boga Damar ketika dia melihat sesosok tubuh tegak di balik pohon waru paling ujung kanan sambil mengangkat tangan dan acungkan jari telunjuk.
Dari jari telunjuk inilah kepala bajak itu mendengar ada suara seruling aneh melengking menusuk telinga yang disusul oleh semburan tiga larik sinar terang. Lalu di kajauhan sana terdengar suara anak buahnya menjerit meregang nyawa. Dengan golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah melakukan pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang leher!
Seperti diketahui Soma adalah seorang nelayan yang sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian silat apalagi kesaktian dan tenaga dalam. Namun dengan adanya cincin keramat baja putih berbentuk kepala ular kobra atau ular sendok itu maka dia berubah menjadi seorang luar biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi sangat tajam.
Karenanya, sebelum Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah mendengar kedatangan kepala bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan diri ke tanah ketika golok menyambar, mengenai tempat kosong dan menghantam pohon waru hingga batang pohon ini hampir terbabat putus.
“Bangsat! Manusia atau jin! Kau tak akan bisa lolos dari golokku!” teriak Boga Damar.
Dia menyergap ke arah Soma. Golok besarnya meluncur lebih dulu. Senjata ini seperti buntut ikan yang menggelepar, bergetar kian ke mari seolah-olah berubah menjadi banyak. Jelas kepala bajak laut ini sengaja mengeluarkan kepandaiannya memainkan golok karena ingin mencincang Soma saat itu juga.
Melihat golok datang menderu sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda itu. Tetapi cincin keramat yang ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya diri sendiri dan tidak memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok hanya tinggal tiga jengkal dari kepala Soma ketika nelayan ini acungkan jari telunjuknya ke arah Boga Damar, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga Damar seperti mendengar angin puting beliung melabrak kedua telinganya. Selagi serangan goloknya mengendur karena terkejut dan terpengaruh oleh bunyi yang nyaring tadi, saat itu pula tiga sinar halus menyilaukan datang menyambar dari depan. Boga Damar tahu betul, sinar aneh inilah yang telah membunuh lebih dari dua lusin anak buahnya.
Maka kepala bajak ini lemparkan goloknya ke arah dada Soma. Di saat yang sama serentak dia menghantam dengan tangan kiri. Ternyata golok Boga Damar tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental berantakan disambar tiga larik sinar putih.
Lalu sebelum pukulan tangan kirinya sempat mengenai Soma, tiga sinar yang keluar dari dua mata dan mulut cincin ular kobra menghantam mukanya dengan telak. Kepala bajak ini hanya sempat keluarkan pekik pendek. Tubuhnya mental ke balakang. Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan anggota bajak yang masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui pimpinan mereka telah menemui ajal. Enam orang di antara mereka dengan marah dan kalap, memegang berbagai macam senjata segera mengurung dan menyerbu Soma. Namun mereka semuah hanya menjadi sasaran empuk sambaran tiga larik sinar putih, mati bergelimpangan dengan badan dan kepala hancur!
Melihat hal ini anggota bajak yang masih hidup menjadi lumer nyali masing-masing dan mereka bersirebut cepat lari ke pantai memasuki perahu-perahu kecil. Soma yang sudah sejak lama mendendam oleh keganasan para bajak itu mengejar sampai ke tepi pasir. Dari sini, dengan sinar putih yang keluar dari cincin baja keramat itu dihancurkannya satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun yang tinggal utuh.
Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun mereka tidak menemukan selamat karena sinar putih yang datang menghantam mereka semua terjengkang mati dalam air!
LIMA
Ketika Soma kembali ke balik bukit di ujung kampung, istrinya masih menangis ditemani oleh kepala kampung bersama istrinya. Begitu Soma datang sang istri langsung memeluknya.
“Soma! Dari mana kau?!” Kepala kampung nelayan bertanya.
“Sa... saya barusan dari kampung kita...”
“Kau mencari mampus Soma! Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa yang kau lakukan di tempat itu...?!”
“Melihat perampok itu mati terbunuh.”
“Mati dibunuh? Jangan melantur Soma! Siapa yang membunuh mereka...?”
“Saya tidak tahu...” sahut Soma.
Sementara penduduk kampung nelayan itu semakin banyak mengelilingi Soma dan kepala kampung, mereka ikut mendengarkan pembicaraan.
“Perahu-perahu mereka hancur. Saya lihat juga banyak bajak itu yang menemui ajal di laut. Kapal kayu milik mereka melarikan diri dengan sisa-sisa bajak yang tidak seberapa jumlahnya”
Kepala kampung memandang berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu. semua jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Soma memegang tangan istrinya. Lalu berkata,
“Jika kalian tidak percaya, lihat saja ke kampung. Mayat-mayat perompak itu harus disingkirkan sebelum menjadi busuk. Aku dan istriku akan kembali ke kampung...”
Sesaat setelah Soma dan istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang berkeliling. “Bagaimana menurut kalian?” Tanyanya.
“Kami rasa Soma tidak berdusta...” seorang nelayan menjawab. “Kalau bajak masih gentayangan di kampung kita masakan ia mau kembali bersama istrinya...”
“Kalau begitu...” Kepala Kampung itu berpikir-pikir sejenak. “Kita kembali. Aku dan lima orang di atara kalian pergi lebih dahulu. Yang lain-lain mengikuti agak jauh di belakang. Hingga kalau terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat menyelamatkan diri...”
Ketika kepala kampung dan lima orang penduduk yang kemudian disusul oleh seluruh pengungsi itu sampai dan kembali ke kampung mereka, selain sedih melihat rumah mereka banyak yang dirusak serta dibakari sedang harta benda juga banyak rusak dan hanyut di laut, penduduk juga heran bercampur gembira menyaksikan puluhan anggota bajak menemui kematiannya.
Gembira karena kini manusia-manusia jahat penimbul malapetaka itu mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit menerka siapa yang telah melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak anggota bajak laut bahkan pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan belasan perahu. Di antara penduduk ada yang menaruh wasangka bahwa Soma-lah yang melakukan itu semua. Tetapi tentu saja lebih banyak yang tidak bisa mempercayainya.
Soma, seorang nelayan muda yang masih harus banyak belajar tentang bagaimana menangkap ikan dengan segala kesederhanaannya itu, mana mungkin dia mampu melakukann itu. Seorang diri pula? Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah dimilikinya? Sewaktu ditanyai dan didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab.
“Ketika saya kembali ke kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu sudah bergelimpangan mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuh mereka. Mungkin Tuhan telah mengirimkan uluran tanganNya untuk menolong kita yang selama ini selalu ditimpa bencana...”
Adapun Soma sendiri sejak kejadian itu hampir selalu mengurung diri dalam rumah. Cincin keramat baja putih senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan diikatnya erat-erat. Setiap saat peristiwa malam itu seolah-olah terbayang terus di ruang kepalanya, membuatnya sulit tidur dan sukar makan.
Membunuh sekian puluh manusia menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan muda ini. Dia lebih banyak bermenung dan jarang bicara dengan istrinya sendiri, apalagi dengan para tetangga.
Perobahan sikap tabiat Soma ini tentu saja membuat heran sang istri dan juga tetangga-tetangga. Hingga mau tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan bahwa pasti ada hubungan tertentu antara Soma dengan peristiwa yang menggemparkan malam itu.
Peristiwa tersebut akhirnya tersiar pula ke desa-desa dan kampung-kampung terdekat. Banyak di antara penduduk yang sengaja datang untuk melihat sendiri sisa-sisa kejadian itu. Dan karena desas-desus yang dipergunjingkan selalu membawa-bawa nama Soma maka tentu saja banyak orang datang mengunjunginya. Lama-lama hal ini membuat nelayan itu merasa sangat terganggu.
Selain itu dia khawatir rahasianya akan terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak mengucilkan diri ke dalam rimba belantara di balik bukit. Menjelang malam dia baru kembali ke rumah. Apa yang telah terjadi di kampung nelayan itu sampai pula ke telinga seorang abdi dalam keraton yang dia di Bantul.
Bersama beberapa orang sahabatnya abdi dalem ini mendatangi kampung nelayan guna mencari keterangan lebih jelas. Atas saran penduduk mereka juga berusaha menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih dulu melenyapkan diri ke tempat persembunyiannya dalam hutan.
Selama berada dalam tempat persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma merenung. Dengan memiliki cincin keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi seorang berkepandaian tinggi, berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan kemampuan seperti itu mungkin tak satu orang lainpun memilikinya.
Bukan saja para adipati atau tumenggung, atau patih kerajaan, bahkan Sultan sendiripun mungkin tidak mempunyai kehebatan seperti itu. Kemudian memikir kalau dia jadi nelayan terus menerus, apa yang bakal didapatnya dalam masa hidup mendatang?
Apa salahnya kalau dia kini berusaha mencari kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan pengawal raja atau kepala pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara kerajaan? Jadi tumenggung atau adipati atau mapatih kerajaan?
Membayangkan kedudukan yang tinggi itu serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya, bulatlah tekad Soma untuk pergi ke kotaraja. Di sana dia kenal seorang tumenggung yang ketika ayahnya masih hidup mempunyai hubungan baik dengan sang tumenggung.
Malam harinya begitu sampai di rumah Soma segera mengatakan pada istrinya bahwa besok dia akan berangkat ke ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak diceritakannya pada perempuan itu. Tentu saja sang istri terheran-heran mendengar maksud suaminya.
Namun menyadari bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang istri hanya bisa meminta agar Soma lekas kembali. Yang penting kalau dia melahirkan beberapa bulan di muka Soma harus ada di sampingnya. Soma berjanji akan kembali sebelum istrinya melahirkan.
********************
Tumenggung Cokro Buwono tentu saja gembira mendapat kunjungan anak bekas sahabatnya di masa muda. Namun dia jadi terkejut ketika mendengar permintaan Soma agar dia membantu mendapatkan pekerjaan sebagai kepala pengawal istana di kotaraja.
“Soma,” kata sang tumenggung. “Hidup dan bekerja sebagai nelayan hampir tidak ada bedanya dengan seorang anggota pasukan keraton. Malah bagiku yang sudah tua ini jika harus memilih, aku akan lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih tenang, dekat dengan alam ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab yang besar...”
Ketika Soma mendesak agar Cokro Buwono membantunya mendapatkan kedudukan yang diinginkannya itu, sebenarnya tumenggung ini ingin mengatakan bahwa untuk jadi kepala pengawal, jangankan kepala pengawal, kepala regu pengawal sajapun sangat berat ujiannya. Dan dia tahu sebagai seorang nelayan di sebuah kampung pantai selatan Soma tidak memiliki kepandaian apa-apa yang dapat dijadikan dasar keprajuritan. Dan jadi kepala pengawal bukan main-main karena harus mempertanggung jawabkan keselamatan raja beserta keluarganya.
“Jika kau memang sudah tidak suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan hidup, aku bisa memberikan pekerjaan padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi perajurit…”
“Terima kasih tumenggung. Saya tak ingin cari pekerjaan lain, selain jabatan seorang perwira di istana. Kalau tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa. Hanya bisakah tumenggung membuat sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada mapatih kerajaan…?”
Tentu saja Cokro Buwono tidak mau meluluskan permintaan Soma itu. dia tahu siapa adanya Soma dan tak mau mendapat malu mengirimkan seorang pemuda yang mungkin bisa dianggap kurang waras menemui patih kerajaan.
“Kau pulang sajalah Soma. Aku akan memikirkan permintaanmu itu dan memberi tahu kalau memang ada kemungkinan satu jabatan bagimu dalam lingkungan istana…” Kata Cokro Buwono akhirnya.
“Saya tahu…” kata Soma dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala. “Saya memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang perajurit. Tetapi jika saja tumenggung dapat memberikan satu ujian, niscaya saya akan dapat melakukannya…"
“Ujian untuk jadi seorang perajurit, apalagi yang bertugas dalam lingkungan istana tidak ringan. Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri bahkan kematian!”
“Apapun akibatnya akan saya tanggung,” jawab Soma dengan masih terus menundukkan kepala.
Tumenggung Cokro Buwono tak tahu apa lagi yang harus diucapkannya. “Apakah kau sanggup berkelahi empat puluh jurus melawan perwira penguji? Apakah kau sanggup menunggang kuda dan membalap binatang ini ke puncak bukit sambil melemparkan tombak ke sasaran yang sudah ditentukan dan harus kembali ke kaki bukit pada hitungan ke seratus? Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor raja hutan…?”
“Menurut hemat saya yang bodoh ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu sudah kuno...”
Terbelalak Tumenggung Cokro Buwono mendengar ucapan Soma itu. “Lantas ujian mana yang menurut mu lebih pantas?!” Tumenggung ini mulai kehilangan kesabaran. Apalagi saat itu dia harus menghadiri satu pertemuan penting.
“Mohon maafkan saya tumenggung,” ujar Soma yang melihat kekesalan orang. “Kalau saya tidak salah dengar saat ini para pemberontak yang datang dari utara semakin menunjukkan gerakan-gerakan yang berbahaya. Terlebih setelah mereka merasa mendapat dukungan dari beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau menghancurkan sarang-sarang pemberontak itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi saya…?”
“Maksudmu kau akan memimpin sejumlah pasukan untuk menumpas mereka…?”
Soma menggeleng. “Saya hanya perlu petunjuk di mana letak sarang mereka, siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu saya akan menumpasnya seorang diri!”
Tumenggung Cokor Buwono tertawa gelak-gelak sampai kedua matanya berair. Ingin sekali dia menampar mulut pemuda yang lancang itu. Kalau tidak ingat dia adalah putera almarhum sahabatnya di masa muda pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya. Apa yang diucapkan Soma tentu saja sangat menghina dan merendahkan kewibawaan apra perwira istana, para adipati dan tumenggung dan mapatih kerajaan!
“Soma… Soma. Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati, puluhan perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan petunjuk raja sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa yang harus dilakukan dan bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku kau berkata sanggup menghancurkan mereka seorang diri. Dewa apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara demikian kerennya?”
Soma tersenyum kecil. “Tumenggung Cokro,” katanya. “Tentu sudah mendengar peristiwa menggemparkan kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang bernama Boga Damar di kampung kami…”
Tumenggung berjanggut putih itu mengangguk. “Seorang abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu. Hanya aku tidak tahu kalau kau berasal dari kampung yang sama… Sampai saat ini tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan gerombolan perompak itu!”
“Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, apakah tumenggung mau merahasiakannya dan berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun…?” Bertanya Soma.
“Aha… Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang menggemparkan itu. Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu…” kata Tumenggung Cokro Buwono pula.
“Bagus kalau begitu…”
“Bagus bagaimana?”
“Tumenggung mau berjanji memegang rahasia?”
Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala. “Baik, aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada siapapun!”
“Yang melakukannya adalah saya.”
Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma. “Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan petinggi kerajaan…?"
“Saya tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya hormati.” Jawab Soma pula. “Apa yang saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin mereka…”
“Seorang diri?!”
“Seorang diri tumenggung…”
“Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara yang tidak-tidak...”
“Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada dalam keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta. Bahwa saya benar-benar waras dan mampu untuk melakukannya demi tantangan jabatan yang saya pertaruhkan…”
Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit baginya untuk mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini kelihatannya bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur ruangan besar itu, kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono kembali menemui Soma.
“Baiklah Soma, aku akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara wates ada segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan keganasan rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri yang telah membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah gerombolan rampok itu jika memang kau mampu. Setelah berhasil melakukan ujian itu baru kita bicarakan lagi…”
“Terima kasih tumenggung…” kata Soma seraya menjura hampir berlutut. “Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa kepala Warok Grindil!”
********************
ENAM
Tidak sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di gedung kediaman Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh debu. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu tumenggung muncul di ambang pintu sebelah dalam.
“Ujian telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya,” ucap Soma.
Saat itu Cokro Buwono diiringi oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang sahabat dari kadipaten Sleman. “Apa isi bungkusan itu Soma?” tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka kelihatanlah sepotong kepala manusia yang sebagian sudah hancur dan tertutup darah yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan bau busuk!
“Kepala siapa itu?!” tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik dan sambil menutup hidungnya.
“Itu kepala Warok Grindil!” Yang menjawab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung.
“Ooladalah…!” Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi gedung menjadi gempar. “Singkirkan kepala itu. Buang jauh-jauh…” perintahnya kemudian.
Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai. “Soma, benar kau yang membunuh kepala rampok itu?” tanya tumenggung kemudian. “Saya bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira selusin anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang berhasil lolos…”
Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi matanya menyaksikan sendiri. “Kalau begitu…” Kata tumenggung kemudian, “Sementara kau boleh tinggal di sini. Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan orang-orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri dengan menghancurkan kaum pemberontak itu tentu bakal dikabulkan.”
“Terima kasih tumenggung. Terima kasih…” jawab Soma berulang kali, haru dan gembira.
“Kalau aku boleh bertanya,” Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut, “Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan dapat membunuh pimpinannya?”
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab, “Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya ceritakan.”
Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun Tumenggung Cokro Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa Soma ke balakang dan memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini.
********************
Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu apa yang disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah mendapat petunjuk dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan sepengetahuan mapatih maka pada tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma diizinkan untuk melakukan penumpasan terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal berarti dia akan menerima kematian di tangan pemberontak.
Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan istana akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan bukan kepala pengawal apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata nelayan itu hanya omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting istana maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya.
Dalam pada itu tanpa setahu Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang di bawah pimpinan seorang pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak gerik serta apa yang akan dilakukan nelayan bernama Soma itu. Ketika kepada Soma disampaikan bahwa istana menyetujui rencananya untuk menjalani ujian dengan cara menumpas kaum pemberontak, nelayan ini gembira sekali.
Sang tumenggung yang masih mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu berkata, “Soma, kau boleh mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit. Percayalah bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi kaum pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka terdiri dari orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian tinggi…”
“Terima kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau diizinkan biarkan saya pergi sendiri…”
“Terserah padamu...” jawab Cokro Buwono.
Pagi harinya ketika dia menyuruh pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi, ternyata nelayan itu sudah tak ada lagi di kamarnya. Berdasarkan peta yang diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro Buwono, Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para pemberontak. Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak mempergunakan perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai menunggang kuda) maka perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama.
Hampir tiga puluh hari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan orang-orangnya telah menguntit perjalanannya. Dengan hati-hati Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum pemberontak itu dan pada kemah-kemah mana mereka berdiam.
Setelah seluk beluk di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan perundingan penting antara pucuk pimpinan para pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan mereka mengatur waktu untuk menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa kota kadipaten sebelum melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan dalam kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak barang yang terletak tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para pengawal itu terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar dari cincin ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari kain tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada di dalam.
Membayangkan kedudukan tinggi yang bakal didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja ular kobra dan cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-hati. Ketika dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking. Tiga larik sinar putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya semula. Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah segera pula keluar berhamburan.
“Ada apa…?” salah seorang bertanya.
Para pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya menunjuk dengan ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga larik halus sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, perutnya berlobang besar. Darah mengucur, usus membusai!
Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali tampak sinar putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak kembali menjadi korban! Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak dengan senjata terhunus berdatangan, tapi mereka tak tahu hendak berbuat apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin mereka sama sekali tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah perundingan secara tak sengaja sempat melihat asal datangnya sambaran sinar putih yang membawa maut itu. Dia segera berteriak,
“Lihat! Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!”
“Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!”
Puluhan perajurit segera menghambur. Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi gugup dan keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan para pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke arahnya. Sebuah tombak, walaupun tidak telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan luka cukup parah.
“Celaka! Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!” kata Soma dalam hati dan mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap. Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi, menunggu di balik kerapatan semak belukar. Begitu para pengejar muncul di kegelapan, dia segera acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus. Sinar putih berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti. Sosok-sosok tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh bergelimpangan setumpuk demi setumpuk.
Para pengejar sebelah belakang hentikan pengejaran mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai berai. Sampai Soma lari jauh meninggalkan tempat itu tak seorangpun yang berani bergerak. Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya membuat tubunya makin lama makin letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan markas kaum pemberontak ketika kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan. Tubuhnya roboh ke tanah, setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar berkata, “Naikkan dia ke atas kuda cadangan!”
Dua orang melompat turun dari kuda masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu memacu kuda masing-masing tinggalkan tempat tersebut.
“Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di sini. Aku harus memeriksa keadaan orang itu!”
Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma mengacungkan telunujuk tangan kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan tinggi yang disusul dengan melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar biasa.
Apapun adanya ilmu yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada jari telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin putih yang melingkar di jari telunjuk orang itu. Arga Kusumo tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin aneh berbentuk kepala ular itu.
Namun dia adalah seorang pangeran yang cerdik. Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat dia meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan sangat lemah, karena terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan untuk menggerakkan tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir tak sanggup.
“Ja... jangan am... jangan ambil cin... cincin itu...”suara Soma perlahan dan tersendat.
“Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu Soma. Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan jabatan tinggi padamu...”
Paras Soma sesaat tampak seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin itu, kembali dia berkata, “Kembalikan cin... cin itu. Masukkan ke... ke jariku...”
“Soma, kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan melesatkan sinar putih... Katakan apa manteranya...” Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti yakin kalau memang cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma. Kalau tidak mengapa dia begitu mementingkan benda tersebut.
“Jangan kawatir Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. Tapi yang penting kau harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya...”
“Tak ada mantera apa-apa...” Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa. Mati?
Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih terdengar degupan jantung meskipun perlahan. “Soma, dengar... Kau tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami kembalikan pada istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau jelaskan bagaimana menggunakannya...”
Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya semakin tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
“Soma, lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup pada istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada gunanya rahasia itu kau bawa ke liang kubur...”
Soma tetap diam. Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu, guncangan ini membuat Soma mengeluh kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti dicopot satu demi satu.
“Ayo Soma. Lekas katakan...”
Akhirnya Soma membuka mulut juga. “Kau... kau hanya memasukkan cincin itu ke jari telunjukmu. Lalu... lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah bawah. Sesudah itu... ada suara melengking. Lalu... lalu....”
Soma tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi wajah sang istri tiba-tiba lenyap dan mendadak digantikan oleh wajah setan, mahluk berjubah putih yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak marah sekali. Dia mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian nelayan itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini."
“Bagaimana dengan jenazah orang ini...?" tanya salah seorang pengikut.
“Bagaimana apa maksudmu?” balik bertanya sang pangeran.
“Bukankah jenazahanya harus kita urus? Bukankah dia layak mendapat penghargaan karena telah menumpas kaum pemberontak?"
Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai. “Jika kau merasa begitu, kau uruslah sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!”
Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya. Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya dia merasa sedih melihat nasib Soma. Seringai yang masih mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam.
Lima kuda tunggangan meringkik keras, langsung berhenti berlari dan melonjak-lonjak liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang tinggi melayang turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit sehelai selendang merah dan di balik punggungnya orang ini membekal sebilah golok besar tanpa sarung!
Hebat dan ganasnya, sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung hantamkan kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut sang pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa!
“Orang tak dikenal! Siapa kau yang berani menyerang kami!” teriak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning menjawab bentakan itu dengan gelak tawa berderai, membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada keempat pengikutnya.
“Bunuh pengacau itu!”
TUJUH
Empat orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan mengurung orang berbaju kuning.
“Pangeran Arga! Tunggu dulu...!” Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
“Hemm... jadi kau tahu berhadapan dengan siapa? Mengapa tidak lekas minta ampun?!” memotong sang pangeran.
“Justru karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh. Sebagian dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang tejadi di markas pemberontak telah kusaksikan. Aku juga mengetahui apa yang kau lakukan dengan Soma...”
“Apa urusanmu dengan semua ini?!”
“Tentu saja ada...! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu. Kedua sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri milik orang lain...!”
“Mencuri milik orang lain?! Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek mulutmu!” Pangeran Arga Kusumo tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang ini sebelumnya dan berusaha menduga-duga siapa adanya.
Si baju kuning tertawa. “Aku tak punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk mengambil cincin milik Soma yang tadi kau ambil!”
“Hemmm... Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di malam buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!”
Orang berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. “Siapa yang tidak kenal Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah Blorok!”
Empat orang pengikut sang pangeran menjadi pucat mendengar orang itu memperkenalkan diri. Sedang sang pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar hatinya ketika mengetahui siapa adanya manusia berpakaian kuning yang menghadang. Tapi dia tak mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai pangeran muda yang memang memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata,
“Orang lain mungkin takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan kami orang-orang keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari hadapanku!”
“Pangeran, jika kau tak mau mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin keramat itu dari tanganmu secara kurang ajar!”
“Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!”
Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian silat dan ilmu perang. Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat jurusan. Empat senjata berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok, termasuk satu yang membabat ke arah kepalanya.
Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke punggung. Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing aneh.
“Trangg-Trangg-Trangg...!"
Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari mereka melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan tangannya menyebur darah, hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil pegangi dada. Senjatanya telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah. Ada darah keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini mati karena sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit jantungnya.
“Kurang ajar!” bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Tubuhnya melayang ke bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah memegang pedang pendek milik anak buahnya yang barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini saja jelas pangeran muda itu memiliki kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah Blorok tidak gentar.
“Pangeran, haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan cincin itu secara baik-baik?”
Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil melintangkan golok tipis di depan dada. Sebagai jawaban sang pangeran langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan berantai, deras dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia merobah kedudukan kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
“Trangg...!”
Pedang pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya dia sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan sakit amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap menyeringai.
“Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?”
“Tidak!” sahut Arga Kusumo tandas.
Dia lemparkan patahan pedang ke tanah lalu menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang yang memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong dia cepat sisipkan goloknya ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran Arga.
Setelah tujuh jurus berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang pangeran masih jauh di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-bulanan pukulan akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah.
Ketika dia berusaha bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya yang robek itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia menyimpan cincin baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya astaga! Ternyata cincin itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning Lembah Blorok saat itu telah lenyap!
********************
Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang Lor, orang tertua dari Enam kelewang Maut.
“Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tentu ada kelanjutan ceritanya. Kalau tidak, bagaimana kemudian kau muncul mengatakan bahwa manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda itu...?”
Lor Sebrang mengangguk. “Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik merenggut jiwa manusia lebih dari dua puluh orang...”
“Kalau kau mengetahui cincin itu mengundang maut bagi pemiliknya dan orang lain, mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin memilikinya?” bertanya Wiro.
“Aku sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,” menyahuti Sebrang Lor. “Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk memilikinya...”
“Lantas?”
“Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-orang pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh beberapa ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari cincin itu dan mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu jauh tidak satupun di antara kami berhasil...”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk kebajikan pasti banyak manfaatnya...”
“Kau benar.” Ujar Sebrang Lor pula. “Tetapi lebih banyak malapetakanya daripada manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya cenderung mempergunakan untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan pribadi walaupun jalan yang ditempuh menimbulkan bencana bagi orang lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng...”
“Tadi aku mendengar manusia berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang pangeran. Agaknya pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk mengejar dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah pangeran itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam penuturanmu tadi...?"
“Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja yang aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mempergunakan pasukan Demak untuk melakukan hal itu. Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak dengan Kotagede. Atau sang pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak ingin orang dalam mengetahui rahasia cincin sakti itu.”
“Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah selanjutnya benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu Ireng?” Bertanya Wiro.
“Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi, mohon maaf saja. Sebentar lagi pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin jauh. Kami tak punya waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami sampaikan...”
“Amanat apa?”
“Dalam pertemuan di danau Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan orang segolongan wajib memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan cincin itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka yang mengerikan...”
Wiro merenung sejenak sambil menggaruk rambut. “Yang aku kawatirkan,” katanya kemudian “Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki cincin keramat itu jadi berubah pikiran!”
“Kau benar Pendekar 212,” menyahuti Sebrang Lor. “Karena itulah, begitu bertemu cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami harus pergi sekarang. Kau mau membantu?”
Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk.
DELAPAN
Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro tak dapat melihat wajah orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga kepala dan keseluruhan wajahnya tertutup.
Beberapa kali Wiro sengaja menggeser duduknya untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat sebahagian janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun demikian dia sudah cukup puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang ditemuinya dua malam lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi riwayat puluhan perajurit Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng.
Manusia yang kini memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu. Tapi di mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di masing-masing tangannya? Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu Ireng tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia memiliki satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat cepat. Bukan mustahil si baju hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang menyerangnya di bawah hujan lebat, dalam rimba belantara di malam buta dua hari lalu.
Wiro memutuskan untuk melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu. kalaupun tenyata parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya malam itu, maka dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu bertindak aneh. Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau tidak ingin menyembunyikan maka apa maksudnya?
Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya ketika dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis disantapnya lalu melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan orang ini, semakin curiga pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi langkahnya yang cepat dan sikapnya yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang sembarangan.
Di luar hujan turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung jalan. Sebelum menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari kini. Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping lebar itu tak kelihatan lagi.
Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya jalan, lurus tanpa tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah kanan sungai kecil berair kuning. Pendekar kita garuk-garuk kepala. "Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!” maki Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap saja orang yang tadi dikuntitnya tidak tampak. “Kalaupun dia menyeberang kali, pasti masih sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia menyelam ke dalam kali atau...?”
Wiro memutar tubuhnya. Pada saat itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara perempuan. “Orang berambut gondrong, kau mencariku...?!"
Wiro putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua. Ketika dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya menunduk hingga wajahnya tetap sulit dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng membetot lepas caping lebar itu.
“Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang...?!”
Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya tertangkap basah mengiuti orang. “Aku tidak mencarimu!” sahut Wiro.
“Hemmm...” si baju hitam bergumam. “Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu. Tapi jelas kau mengikutiku bukan...?”
Wiro menyeringai. “Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan ucapanku walau malu mengakui!”
Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212. “Terus terang, aku mencurigaimu...” kata Wiro akhirnya.
“Sama! Akupun mencurigaimu!” sahut si baju hitam bercaping lebar.
“Kenapa kau mencurigaiku?” tanya Wiro penasaran.
Mulut di balik caping lebar itu tertawa. “Kau menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu tidak cukup alasan untuk mencurigaimu?!”
“Aku bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?” tukas murid Sinto Gendeng.
“Mungkin kau lebih jahat dari maling atau rampok!” ganti menukas si baju hitam.
Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek. Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan. Makin lama makin keras.
“Selain lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras. Kalau tidak mengapa kau tertawa tanpa alasan?!”
Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak menembus caping bambu itu. “Sobat, kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk menghajarmu!”
“Hebat betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini?!”
“Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!” maki Wiro. “Dua malam lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku maling rampok. Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut busuk! Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!”
“Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku menyerangmu, hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran dua malam lalu hingga orang inginkan jiwamu?! Kini hebatnya menawarkan segala macam syarat! Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan perjalanan!”
“Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia persilatan! Bukankah itu tujuanmu...?”
Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak dapat melihat wajah lelaki berjanggut ini.
“Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah mimpi hendak menguasai persilatan!”
Wiro menyeringai. “Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah membunuh puluhan perajurit Demak dua malam lalu? Kau hendak berdusta. Padahal aku sendiri berada di tempat kejadian itu...!”
“Ternyata otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang perajurit-perajurit Demak itu!”
“Apa yang kuketahui...?” Wiro tertawa panjang. “Kau membunuh habis mereka semua!”
“Aku tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!”
“Nada pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat menyembunyikan bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian malam itu...”
“Ada sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-perajurit Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Pangeran Arga Kusumo?!”
“Heh... Kau menyebut nama pangeran itu!” ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang dituturkan Sebrang Lor. “Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo?!”
“Justru aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau kawanmu?!” balik menyentak si caping lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut juga dengan kasar dan jengkel. “Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran. Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu orang tua!”
Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang berjanggut berpakaian hitam itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah. Jelas gerakannya mengandung kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang bisa melakukannya.
“Berani menghadang berani menerima hajaran!” mengancam Wiro.
“Bagus! Jika saat ini kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin kugebuk dulu baru kau mau bicara!”
“Kampret hitam berjanggut buruk!” ujar Wiro “Kau ini siapa sebenarnya? Bukankah kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut? Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?”
“Ah, semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau rupanya ada sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh itu!”
Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu manggut-manggut. “Tidak ada kisikan tak ada alasan tiba-tiba saja kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu. maksudmu tentunya untuk menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu Ireng yang kini memiliki cincin hasil rampasan itu!”
“Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu kau siapa?!”
“Siapa aku apa perdulimu!”
“Kampret brengsek!” semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu.
Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang gerakannya. Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya. Dengan jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang. Maksudnya hendak menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan. Karena itu dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras, ditambah sedikit tekanan tenaga dalam.
Namun hampir tangan kirinya menyentuh lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat, mengelak ke samping kiri. Dari arah ini dia lepaskan serangan balasan berupa tusukan dua jari ke arah leher Wiro. Entah mau menotok entah mau menusuk tembus batang leher pendekar muda itu!
Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas itu Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si baju hitam berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke arah batok kepala Wiro. Setelah berkelahi sampai sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam lawannya jauh berada di bawahnya.
Tetapi satu hal membuat orang itu sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat lalu balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya bukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju hitam ini berhasil menggebuk sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu merupakan seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka Wiropun mulai lancarkan serangan-serangan tipuan. Ketika lawan kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam.
“Bukkk...!”
Jotosan melanda dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil menahan sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat wajahnya sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya, tapi yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya melentik keluar tanda dia dijalari rasa sakit.
Di saat itulah pendekar dari gunung Gede ini menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang lawan, tetapi tidak terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik lepas caping lebar di kepala si baju hitam!
Orang itu keluarkan seruan tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari kepalanya. Kedua tangannya membuat gerakan seperti hendak menutupi wajahnya. Dan seruan tadi itu?! Sesaat membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
“Sialan! Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!” ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya memang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan paras orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu. rambutnya kelihatan telah memutih dan digelung ke belakang seperti rambut perajurit. Kulit mukanya klimis dan sepasang matanya mengandung daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk mata seorang lelaki yang berhati keji.
“Kembalikan caping bambuku!” seru si baju hitam.
Wiro Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini dipakainya. “Jika kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau tidak silahkan ambil sendiri!”
“Bedebah!” si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi anehnya, setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan diri.
“Hai!” seru Wiro mengejar. “Tunggu dulu!”
Si baju hitam tambah mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin dia akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya dan lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya.
Entah disengaja entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang kepala orang, tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga bukan saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke tanah sedang kepala itu kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai sebatas pinggang.
SEMBILAN
Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu. “Kampret apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang hitam!” ujar Wiro dalam hati.
Di depan sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan diri tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak belukar tinggi. Kawatir orang hendak menipu lalu membokongnya, Wiro dekati semak belukar dengan hati-hati. Siap untuk memukulkan tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-segala kemungkinan.
Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara orang menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan! Begitu sampai di balik semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah lelaki berjanggut dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu.
“Kampret jantan ini kenapa menangis seperti betina?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala memandang keheranan. “Hai! Kenapa kau menangis!” tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin jelas kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan!
“Eh, orang ini lelaki atau perempuan...?” bertanya-tanya murid Sinto Gendeng dalam hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak menipunya, Wiro melangkah lebih mendekat. “Kalau dia memang perempuan mengapa berjanggut dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi terlepas. Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng?! Si ahli menyamar yang menguasai cincin baja kepala ular kobra!”
Maka memikir sampai ke situ Wiro tak mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah. Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro ajukan pertanyaan “Kau ini, sebenarnya siapa? Laki-laki atau perempuan?”
“Pergilah! Buat apa mengurusi diriku lagi!” kata si baju hitam. Suaranya kini jelas sekali suara perempuan. Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia tidak dapat lagi menyaru suaranya sebagai suara lelaki.
“Hai! Jadi kau perempuan!” ujar Wiro. Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro merasa iba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata. “Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang yang hendak membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih jauh. Ini capingmu...”
Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang telah dipungutnya. Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu pada ujung sebuah ranting.
“Sebaiknya aku tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalau kau suka menerangkan siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana?”
“Mungkin... Aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu menguntit...?” berkata perempuan itu di antara sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga. “Namaku Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak membunuhku dalam rimba belantara...”
“Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu...?”
“Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab, “Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu. Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu. Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu Ireng. Manusia terakhir yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja berkepala ular itu...”
“Cincin itu...” kata si baju hitam, “Tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka...”
“Kau tahu banyak tentang cincin keramat itu...?” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. “Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?” Wiro mendesak. Lalu cepat menyambung, “Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau apa...?!”
Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya tiba-tiba bergerak menanggalkan janggut dan kumis lebatnya dan astaga! Kini berubahlah wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia kurang dari tiga puluhan, bermata bening dan teramat ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu sambil senyum-senyum dia bertanya, “Apa perlumu melakukan penyamaran seperti ini...?”
“Jika kau seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa...”
“Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan ke mana...?”
“Aku datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam perjalanan ke Kotaraja...”
“Lalu namamu...?”
“Ningrum...” Wiro manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong. “Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?”
“Mencari seorang pangeran bernama Arga Kusumo...”
“Pangeran Arga Kusumo...? Dia masih sanak kerabatmu?"
“Justru aku ingin membunuhnya!” Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget.
“Membunuh seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke kediamannya, para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!”
Perempuan ayu itu menyeringai. “Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa dilakukan...”
“Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?”
“Dia membunuh suamiku!”
“Ah, urusan dendam kesumat rupanya,” kata Wiro pula. “Tapi mengapa sampai pangeran itu membunuh suamimu?”
“Dia merampas milik suamiku.”
“Apa?”
Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab. “Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu padaku...”
Wiro berpura-pura kecewa. Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut. “Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku...”
Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng. “Kalau begitu suamimu adalah Soma!” katanya.
Kini perempuan itu yang ganti terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu...?”
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam Kelewang Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih berkepala ular kobra itu. “Menurut Sebrang Lor kau tidak tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki suamimu itu. Soma tewas dalam hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau mengetahui kematiannya?" Bertanya Wiro.
“Sejak musnahnya gerombolan bajak yang menyerang kampung, semua orang-orang termasuk aku menaruh wasangka bahwa Soma-lah yang melakukan itu semua. Jika dia yang berbuat berarti dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa. Dalam pada itu, tak lama setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan seorang pembantunya datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang telah menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, hendak mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku sengaja dibiarkan mati dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnya pun tidak diurusnya...”
Sebagai seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak memiliki kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup mengherankan kalau kini dia menjadi seorang perempuan muda berkepandaian tinggi. Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan itu menuturkan lebih lanjut.
“Setelah berita itu kuterima, ditemani oleh beberapa orang pembantu Tumenggung Cokro Buwono aku coba mencari jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya tinggal tulang belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil menemukan jenazah ataupun tulang belulangnya...”
“Tunggu dulu,” ujar Wiro ketika dia ingat sesuatu. “Menurut penuturan Sebrang Lor, ketika Soma pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua...”
Ningrum mengangguk. “Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku melahirkan. Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah dilahirkan..." Kedua mata Nignrum kembali tampak basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa kali dia meneruskan. “Dalam perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-orang Tumenggung Cokro Buwono bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak memperkosaku beramai-ramai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, muncul seorang kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup. Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya. Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah meninggal. Kematiannya tidak wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan. Ada dugaan bahwa dia dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin rahasia kematian dan kepahlawanan Soma terbuka...”
“Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu...” Walau tak menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
“Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat ini tentu dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!”
“Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku,” sahut Ningrum.
Wiro garuk-garuk kepala. “Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?” tanya Wiro.
“Kalaupun aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut...”
Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. “Tidak mudah mendapatkan cincin itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang kini menguasainya...”
“Tapi orang-orang sepertimu tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat ratusan korban lagi akan menemui ajalnya!” kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro. Setelah berpikir sebentar kemudian dia berkata, “Bagiku tugas kita paling utama saat ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu...”
“Kita katamu?” ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. “Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali? Kurasa itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja mencari penyakit”
“Kalau kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah tidak akan menyusahkanmu?"
“Berjalan dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya. Kau sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu...”
Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap memakai caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut.
SEPULUH
Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Empat hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga sampai ke tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram.
Entah karena keletihan mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka. Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian dia berpikir. Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik.
“Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!” kata Ningrum.
Wiro tersenyum. “Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan. Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana...?” Wiro menunjuk ke arah barat.
“Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih?”
“Itulah bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari.”
“Sebenarnya siapa yang kita cari ini?” tanya Ningrum.
“Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara kerontangan kaleng, beri tahu aku...”
Keduanya terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak ada tumbuhan di situ masih belum terdengar suara apapun, termasuk suara kerontang kaleng.
“Aku tak mendengar suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang kita cari tak ada di sini!” Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiro pun mulai merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai ke puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam keadaan kosong.
“Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih baik tinggalkan tempat ini...”
“Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini,” sahut Wiro.
“Siapa yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya, disedot udara panas?”
“Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun usianya tinggal di bukit ini...”
Habis berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan menyeramkan.
“Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!”
Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang. Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti.
“Kita pergi saja,” mengajak Ningrum.
“Tunggu. Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul...” Wiro hentikan kata-katanya. “Aku mendengar sesuatu.”
“Aku tak mendengar apa-apa...” kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat kepandaian dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi.
“Dia muncul!” Wiro tertawa gembira. “Ikuti aku...!” katanya lalu lari ke jurusan selatan bukit.
Setelah lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar suara aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan dalam kaleng, lalu digoncang-goncang terus menerus.
“Lihat! Itu dia!” seru Wiro seraya menunjuk ke depan.
Memandang ke muka, Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus, berpakaian penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah mereka. Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang dibuatnya sama dengan lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan bantuan tongkat kayu di tangan kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang kaleng rombeng di tangan kanannya.
“Kakek Segala Tahu!” panggil Wiro Sableng. “Aku datang lagi! Apakah kau baik-baik saja selama ini...?”
Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya dan menyeringai. “Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak baik bukan? Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah menjadi mayat!”
“Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itulah aku datang mencarimu ke mari!”
“Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal dunia persilatan apa soal jodohmu...?” si kakek tertawa gelak-gelak.
“Kek, kau tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut itu...”
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum kempot dia berkata, “Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang kau bawa ke mari ini...?"
Wiro garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak kemerahan wajahnya. “Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan,” jawab Wiro.
“Perempuan biasanya memakai pupur dan bergincu. Kalau perlu menghitamkan sedikit alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan saat ini, sahabatmu ini memakai kumis dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh namanya? Atau mungkin dia pemain wayang wong!” si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah Ningrum semakin merah. Tapi dalam hati perempuan ini jelas sangat terkejut. Kakek itu jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya adalah seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala?! Kemudian didengarnya Wiro berkata,
“Ningrum, kau jangan tersinggung. Kakek ini memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih tajam penglihatannya dari kita.”
Ningrum tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
“Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?”
Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya. “Terakhir sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di tangan seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin itu dia bisa menjadi orang nomor satu dalam dunia persilatan!”
“Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar nasihatmu bagaimana caranya mencari dan menemui Randu Ireng...”
Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang memegang kaleng. “Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa sebelum kau dapat berhadapan dengan dia...”
Wiro garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek buta itu merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban yang mereka dapat hanya seperti itu.
“Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu...” Kata Wiro pula.
“Ya... ya... ya...! Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan sangat cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran juga mengikutinya!” Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali berturut-turut lalu meneruskan, “Mencari langsung manusia bernama Randu Ireng itu sulit sekali. Sampai kiamat kurasa kalian tak akan berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu bisa mencari seorang perempuan cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa menangkap Randu Ireng hidup-hidup.”
“Siapa Ratu Mesum ini kek?” membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
“Ah, bagus kau bertanya begitu...” Sahut si kakek. “Nah, membuat urusan dengan si Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan cantik jelita, berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis pakaiannya itu hingga lekuk liku tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu sekujur tubuhnya menebar bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki. Akupun yang sudah tua bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan...” kata Si Segala Tahu lalu tertawa panjang.
“Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?” bertanya Wiro setelah si kakek hentikan tawanya.
“Ratu Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering berada di sebuah danau...” Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu memberitahukannya pada Wiro. Lalu menyambung, “Satu hal yang membuat sulit berurusan dengan perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar biasa. Setiap lelaki yang disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika sudah puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!” (Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya)
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala mendengar keterangan itu sementara Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat reaksi si pemuda.
“Ingin sekali aku menemui sang ratu itu...” kata Wiro perlahan.
“Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin keramat itu, benda itu akan dirampasnya!”
“Sialan! Berabe juga urusan ini!” ujar Wiro. “Apakah tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?” tanya Ningrum.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu kerontangan kaleng berhenti diapun berkata, “Ratu Mesum adalah yang paling mungkin memberikan bantuan. Apalagi kalau lelaki muda seperti sahabatmu itu yang memintanya. Lain dari itu kukira Randu Ireng hanya bisa dipikat dengan paras cantik dan tubuh bagus. Selagi dia lengah rampas cincin itu... Hanya saja, kalian harus dapat membaca situasi...”
“Membaca situasi bagaimana?” tanya Wiro.
“Jika cincin itu berada dalam jari telunjuk, sekali-kali jangan dekati Randu Ireng. Jadi kalian harus melakukan sesuatu sebelum dia sempat memakai cincin tersebut di jari telunjuk... Nah, kurasa aku sudah memberikan semua keterangan yang kalian minta...”
“Kek,” Wiro cepat berkata ketika dilihatnya Si Segala Tahu hendak melangkah pergi.
“Apalagi anak muda?”
“Apakah tak ada cara lain menghadapi pikatan Ratu Mesum? Maksudku meminta bantuannya tanpa mau melayaninya di atas ranjang... lalu lolos dari ancaman mautnya?!”
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Selama dunia terkembang...” katanya dibarengi dengan menggoyangi kaleng rombengnya, “Belum pernah kudengar ada kucing menolak daging. Begitu juga kaum lelaki. Belum pernah kuketahui tak ada lelaki yang tidak tertarik pada wajah cantik dan tubuh mulus merangsang. Nah... buntut-buntutnya hanya terserah padamu anak muda. Putar otakmu bagaimana menundukkan rangsangan yang ada dalam dirimu sendiri. Sekali kau jatuh di atas perutnya, berarti maut sudah menunggu di puncak hidungmu. Ha-ha-ha...!"
Wiro garuk-garuk kepala. Ningrum merasa jengkel mendengar ucapan si kakek, membuang muka memandang ke lain jurusan.
“Manusia bernama Randu Ireng ini, kek...” Kata Wiro. “Mohon petunjukmu bagaimana mengetahui dirinya sebenarnya mengingat kepandaiannnya menyamar.”
“Soal samar menyamar kawan seperjalananmu ini mungkin bisa membantu. Hanya satu hal yang kuketahui. Manusia bisa menyamar sejuta rupa, seribu kali dalam semalam. Tapi satu hal dia tidak bisa merubah. Yakni sepasang matanya, nah, si Randu Ireng itu menurut kabar yang aku dengar, dia memiliki tanda titik hitam sebesar jagung pada bagian putih matanya sebelah kanan! Dia bisa merubah tampang dan pakaiannya. Tapi dia tidak bisa menghilangkan tanda pada matanya itu. Jika kau bertemu Ratu Mesum, harus kau terangkan hal itu...”
“Kek, sekali lagi kau berhutang budi padamu. Entah kapan dapat membayar. Kami berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas segala petunjukmu”
Kakek Segala Tahu cuma tertawa. Mendeongak ke langit lalu goyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Sebelum mereka berpisah Ningrum tanggalkan caping lebarnya dan berkata,
“Kek, kau ambillah caping bambuku ini. Kulihat topi pandanmu sudah banyak lubangnya...” Lalu tanpa menunggu jawaban apakah orang setuju atau tidak, Ningrum sudah ambil topi pandan butut dari kepala si kakek, memakaikannya ke kepalanya sendiri sedang caping bambunya dipakaikan ke kepala orang tua itu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang. “Terima kasih... terima kasih perempuan cantik. Kelak kau akan mendapatkan jodoh baru. Seorang suami yang baik pengganti suamimu yang hilang itu!”
“Kek!” Ningrum berseru seraya melirik pada Wiro Sableng.
Si kakek buru-buru berkata, “Jangan salah sangka Ningrum. Calon pengganti suamimu bukan pemuda tolol bernama Wiro Sableng ini Ha-ha-ha...!" Kaleng di tangannya kembali berkerontangan.
********************
SEBELAS
Bulaksari merupakan kota pasar tempat penduduk sekitarnya mengirimkan hasil pertanian maupun ternak untuk dijual pada setiap hari Kamis. Karenanya kota ini lebih dikenal dengan sebutan Pasar Kamis. Sebagaimana biasa setiap Kamis pagi, di tanah lapang yang menjadi pusat pasar telah penuh dengan tumpukan sayur mayur, padi, ternak dan lain sebagainya yang siap menunggu pembeli.
Para tengkulak berkeliaran menawar sana menawar sini. Bila harga cocok barang dagangan pun diangkat, bertukar dengan uang. Para pemilik barang biasanya adalah para petani pulang dengan kantung penuh. Sebelum pulang biasanya mereka membeli dulu beberapa keperluan dapur. Hari Kamis itu, pasar hampir usai ketika sebuah gerobak besar ditarik dua ekor kuda yang tampak keletihan dan berhenti di tepi tanah lapang.
Siapa pula yang membawa barang dagangan ketika pasar sudah bubar seperti ini. Demikian banyak orang yang ada di sekitar situ bertanya-tanya. Kusir gerobak, seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower turun dari gerobaknya. Sesaat dia memandang berkeliling. Lalu seperti tak acuh ditinggalkannya gerobaknya. Seorang pedagang bertanya,
“Hai! Barang dagangan apa yang kau bawa ke mari? Apa tidak tahu kalau pasar sudah bubar?!”
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu. Sambil melangkah dia berkata, “Sebentar lagi majikanku yang punya barang segera datang. Barang dagangan yang dibawanya bukan barang sembarangan. Walau pasar sudah bubar pasti kalian semua akan tertarik...!”
Kusir itu kemudian lenyap di tikungan jalan. Orang banyak yang masih ada di pasar itu dengan rasa ingin tahu tegak di sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-tunggu tak seorangpun muncul. Baik yang katanya majikan pemilik batang dalam gerobak, maupun sang kusir. Orang-orang yang ada di tempat itu kini jadi ingin tahu barang dagangan apa yang ada dalam gerobak tersebut.
Mereka menyingkap dua lapis karung tebal yang menutupi bagian belakang gerobak. Ketika karung itu tersibak, orang yang tadi menyingkapkan terpekik dan mencelat mental dengan muka pucat. Yang lain-lainnyapun berseru kaget, memandang ke dalam gerobak dengan mata melotot. Yang berkerumun di sebelah belakang coba mendesak ke depan. Tapi begitu ada yang berteriak,
“Mayat manusia!” mereka urung mendekat. Dan pasar itupun menjadi gempar!
Kini tak ada yang berani mendekati gerobak. Semua memandang dari kejauhan dengan perasaan takut dan ngeri. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum sampai ke Pasar Kamis justru ketika kegemparan itu berlangsung.
“Hai! Jangan mendekat!” Seseorang berteriak ketika Wiro melangkah menuju gerobak.
“Ada mayat di dalamnya!” seru seorang lainnya.
Wiro tidak perduli. Dia melangkah terus bersama Ningrum. Karung tebal yang baru sebagian tersingkap ditariknya dan dicampakkannya ke tanah. Kini dalam gerobak, terpentang pemandangan yang mengerikan. Bukan cuma satu mayat yang ada di situ. Tapi enam! Kalau tadi Wiro Sableng tidak menunjukkan rasa takut, namun setelah mengenali enam sosok mayat dalam gerobak, pemuda ini mau tak mau bersurut mundur dua langkah dan berpaling pada Ningrum. Suaranya perlahan sekali ketika berkata,
“Mereka... Enam Kelewang Maut!”
Kini Ningrum ikut terkejut. “Siapa yang membunuh mereka. Aku curiga...?”
“Pasti Randu Ireng. Kulihat mayat-mayat itu berada dalam keadaan rusak. Ada yang hancur kepalanya. Belubang dada atau perutnya atau hampir putus lehernya. Kematian dengan luka mengerikan seperti itu hanya bisa disebabkan oleh cincin baja putih ular kobra!”
“Kalau begitu orang yang kita cari tak berada jauh dari sini...”
Wiro membenarkan. Lalu cepat mencari keterangan dari orang-orang yang ada di situ. Mereka mengejar ke arah lenyapnya kusir gerobak. Namun tak mungkin untuk menemukan orang itu lagi.
“Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Ningrum.
“Kita harus segera meneruskan perjalanan ke danau Karang Kates,” sahut Wiro.
Dia memandang sekali lagi ke arah mayat-mayat malan dalam gerobak itu lalu cepat-cepat mengikuti Ningrum yang sudah melangkah pergi lebih dulu.
********************
Danau Karang Kates merupakan danau luas tetapi sunyi. Anehnya tak ada satu rumah penduduk pun terlihat di sapanjang tepi danau. Tak ada seorangpun dapat ditemui untuk mendapatkan keterangan.
“Aneh,” kata Ningrum. “Mengapa tak ada rumah di sepanjang tepi danau. Padahal menurutku danau ini pasti banyak ikannya. Yang dapat dijadikan mata pencaharian...”
“Tentu ada apa-apanya. Jika Ratu Mesum memang tinggal di sini, siapa yang berani ikut-ikutan diam di tempat ini...”
“Tapi di mana bangunan kediaman perempuan itu. Kita sudah mengelilingi tepi danau satu hari suntuk. Tak ada satu bangunanpun yang kelihatan!” kata Ningrum pula.
“Kalau saja aku tahu suasananya seperti ini, pasti aku akan lebih banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu itu...”
keduanya lalu duduk di atas batang kayu tumbang. Memandang ke tengah danau. Tiba-tiba Ningrum menunjuk.
“Lihat! Ada orang berperahu di tengah danau!”
Wiro cepat berdiri. Memandang ke tengah danau memang dilihatnya ada sebuah perahu meluncur cepat menuju tepi sebelah timur. Dari kejauhan terlihat hanya ada satu orang di atas perahu itu. Orang ini mendayung perahu dengan mempergunakan kedua tangannya kiri kanan.
“Orang itu mengenakan pakaian merah...” kata Wiro. “Kita kejar ke arah Timur! Pasti itu Ratu Mesum!”
Maka kedua orang itupun berkelebat menuju ke timur. Ternyata perahu lebih cepat dan lebih dahulu mencapai tepi danau sebelah timur dari pada kedua orang itu. Dan pada jurusan dari mana sebelumnya mereka melihat perahu merapat, justru mereka tidak menemukan apa-apa.
“Aneh, kemana perginya orang tadi?!’ ujar Wiro Sableng sambil memandang berkeliling.
“Perahunyapun ikut lenyap!” menyahuti Ningrum. “Mungkinkah tadi kita hanya melihat bayangan hantu?”
Keduanya memeriksa dengan teliti tepian danau di jurusan mana tadi mereka melihat perahu terakhir kali. Tepian itu, tidak seperti tepian lainnya penuh ditumbuhi rumput air, semak belukar dan pohon-pohon lurus tinggi seperti lalang.
“Aku akan turun ke air,” kata Wiro. “Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat dari darat.”
Tanpa tunggu lebih lama Wiro turun ke air. Air danau di bagian tepi itu ternyata hanya sampai sepinggang. Wiro menyibakkan rumput dan alang-alang air, memperhatikan setiap bagian tepi danau dengan teliti. Dekat sebuah pohon waru yang tumbuh menjorok miring ke danau tiba-tiba Wiro dapatkan sebuah lobang setinggi kepala dan cukup lebar untuk dimasuki dua orang sekaligus. Wiro lambaikan tangannya ke arah Ningrum, memberi isyarat agar perempuan itu turun ke air. Begitu Ningrum di sebelahnya Wiro menunjuk ke arah lobang.
“Apa pendapatmu...?” Tanya Pendekar 212.
"Orang dan perahu tadi kurasa pasti masuk ke dalam lobang ini. Kalau tidak masakan bisa lenyap begitu saja...”
“Kalau begitu mari kita menyelidik ke dalam.”
Keduanya lalu masuk ke dalam lobang di tepi danau itu. Di sebelah dalam ternyata lobang ini merupakan sebuah terowongan panjang. Makin ke dalam air yang mengalir dari danau semakin dangkal dan bersibak ke arah dua terowongan lain yang terletak di kiri kanan terowongan utama.
Di persimpangan tiga terowongan ini mereka menemukan sebuah perahu yang masih basah. Wiro melangkah terus memasuki terowongan utama diikuti oleh Ningrum. Memasuki terowongan sejauh dua puluh tombak, tanah terowongan tampak kering dan makin ke dalam makin menurun hingga akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah pintu gerbang aneh terbuat dari akar pohon bakau.
Pada bagian atas pintu gerbang ini terdapat dua rangkaian tulisan berbunyi 'PINTU SORGA PINTU NERAKA'. Dari sebuah belakang pintu gerbang tampak lapisan asap tipis. Dari arah ini pula tercium bau harum.
“Aku kawatir asap itu mengandung racun berbahaya,” bisik Wiro. “Bisakah kau berjalan dengan menutup penciuman?”
Ningrum mengangguk. Sebelum melangkah melewati pintu gerbang aneh itu Wiro kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memberi isyarat agar Ningrum segera mengikutinya. Selewat pintu gerbang, tanah terowongan itu ternyata dilapisi batu pualam berwarna putih berkilat.
Di kiri kanan dinding, pada jarak-jarak tertentu terdapat obor aneh yang terbuat dari kayu hitam kecil tanpa minyak. Tak lama kemudian asap putih tipis yang menabur bau harum tadi lenyap. Wiro dan Ningrum buka jalan pernafasan dan penciuman masing-masing. Keduanya sempat tersenggal-senggal karena menutup pernafasan begitu lama.
“Ada ruangan besar di depan sana...” Bisik Wiro. “Hati-hatilah...” Katanya kemudian memperingatkan. “Tulisan di pintu kayu tadi mengundang kesenangan berbau maut!”
Ruangan yang kemudian mereka masuki keseluruhannya dilapisi batu pualam, mulai dari lantai sampai dinding dan langit-langit. Memandang berkeliling kedua orang itu mendapati ruangan tersebut tak ada jendela tak ada pintu. Buntu?
“Aku merasa gerak-gerik kita diawasi...” Bisik Wiro.
“Ya, aku juga merasa begitu. Pasti!” sahut Ningrum. Lalu tanyanya “Kemana lenyapnya orang berpakain merah yang kita lihat di atas perahu tadi?”
Tiba-tiba dari baigan ruangan arah mana mereka masuk tadi terdengar suara bersiur amat halus dan dari atas mendadak turun sangat cepat sebuah lapisan dinding yang langsung menutup mulat ruangan!
“Kita terjebak!” bisik Ningrum tegang.
“Tenang saja. Pasang mata dan telinga baik-baik,” balas berbisik Wiro. “Aku akan memanggil tuan rumah...” katanya kemudian. Setelah memandang berkeliling Wiro lantas beseru,
“Ratu Mesum apakah kami berada di tempat kediamanmu...?”
Tak ada jawaban. Suara seruan Wiro menggema menggidikkan dalam ruangan batu pualam itu.
“Ratu Mesum! Apakah kau ada di sini...? Keluarlah. Kami datang membawa maksud baik! Hanya untuk minta bantuan!”
Mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Mesti tegang namun kedua orang itu maklum kalau mereka saat itu memang memasuki tempat kediaman Ratu Mesum karena suara tawa itu adalah suara tawa perempuan. Terdengar lagi suara bersiur seperti tadi. Menyusul secara tiba-tiba dinding di hadapan mereka membuka dan kelihatan sebuah lobang berukuran satu kali satu tombak.
Bagian dalam lobang ini memiliki lantai yang meninggi di sebelah belakang. Dari lantai yang miring ke atas ini mendadak meluncur sebuah benda. Ketika benda itu jatuh dan tergelimpang di hadapan mereka, kaget Wiro dan Ningrum bukan kepalang. Perempuan ini malah sampai membuang muka.
Benda yang tergelimpang di lantai itu ternyata adalah sesosok tubuh lelaki dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Melihat kepada wajahnya jelas dia masih sangat muda dan berparas cakap. Pada lehernya terdapat luka besar yang masih mengucurkan darah segar!
DUA BELAS
Wiro Sableng memaki panjang pendek dalam hati sementara Ningrum seperti menyesali mengapa dia sampai berada di tempat celaka seperti itu.
Mendadak terdengar lagi suara bersiur. Lantai batu pualam dimana mayat pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri dan ke kanan, meninggalkan lobang di sebelah tengah. Sosok tubuh telanjang itu jatuh ke dalam lobang dan kedua sisi lantai menutup kembali. Anehnya noda-noda darah yang tadi jelas terlihat menggenangi lantai kini lenyap bersih entah ke mana!
Di saat yang sama kembali terdengar suara tertawa panjang. Begitu tawa lenyap, dalam ruangan itu tercium bau harum. Lalu langit-langit yang terbuka secara aneh, melayang turun sesosok tubuh berpakaian merah. Dengan gerakan sangat ringan, tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, seolah-olah menginjak kapas, sosok tubuh ini memijakkan kedua kakinya di atas lantai batu pualam.
Wiro Sableng terkesiap tak berkedip menyaksikan orang yang tegak di hadapannya sedang Ningrum merasakan wajahnya menjadi merah. Meskipun dia ingin memalingkan muka namun tetap saja diapun ikut-ikutan memandang lekat ke arah orang yang ada di hadapannya itu.
Orang ini ternyata adalah seorang perempuan berparas sangat cantik, berkulit putih. Rambutnya disanggul ke belakang dan pada bagian kepala di atas keningnya ada sebentuk mahkota kecil. Dia tersenyum smbail memain-mainkan ujung lidah di sela bibir. Lidah yang basah itu tampak merah segar sedang deretan gigi-giginya tampak putih rata.
Si jelita ini mengenakan sehelai pakaian panjang menjela lantai berwarna merah, terbuat dari kain tipis, mungkin sutera. Demikian tipisnya pakaian ini hingga tubuhnya di sebelah dalam yang tidak berpenutup apa-apa terlihat dengan jelas. Wiro garuk-garuk kepala. Namun begitu ingat dia segera menjura.
“Tentunya kami berhadapan dengan Ratu Mesum yang terkenal itu...?”
Yang ditegur tidak menjawab, malah terus memainkan ujung lidahnya.
“Kami datang dari jauh untuk memohon bantuan Ratu...” kata Wiro lagi.
Kini sepasang mata perempuan cantik itu memperhatikan pemuda di hadapannya mulai dari ujung rambut sampai ujung jari. Dia sama sekali tidak memperdulikan Ningrum yang sapai saat itu masih mengenakan pakaian serba hitam, bertopi pandan butut, menutupi wajah perempuannya dengan kumis dan janggut tebal. Mendapatkan tegur sapanya tidak dibalas orang, diam-diam Wiro kembali memaki dalam hati.
“Ah, kami tahu Ratu barusan sampai. Tentunya masih letih dan tak ingin diganggu. Kalau memang begitu biar kami pergi saja. Nanti baru kembali lagi...”
Perempuan berpakaian merah tipis itu usap rambutnya, rapikan pakaiannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan yang menyebabkan pahanya sampai pinggul sebelah kiri tersingkap lebar, memutih mulus berkilau.
“Sialan, apa sebenarnya yang diinginkan perempuan ini!” kata Wiro dalam hati. Meski sikap si jelita tidak menyenangkan namun matanya tak habisnya melirik paha dan pinggul yang putih itu.
Tiba-tiba si jelita tertawa panjang sambil mendongak ke langit-langit ruangan. “Kalian baca tulisan di pintu masuk tadi...?!” Perempuan itu bertanya.
“Kami membacanya,” sahut Wiro.
“Bagus! Berarti kalian menyadari sepenuhnya nasib kalian akan seperti itu pula!” habis berkata begitu perempuan berpakaian merah ini tertawa panjang. Karena sudah pasti sekali perempuan di hadapannya itu adalah Ratu Mesum maka Wiro segera menyebut namanya,
“Ratu Mesum, kami datang membawa persahabatan...”
“Seumur hidup aku tak punya sahabat. Dan tak ingin punya sahabat! Kalian dengar itu?!”
“Susah juga bicara dengan manusia ini!” pikir Wiro. Lalu dia menyahuti, “Jika Ratu tak mau menganggap kami sahabat tak jadi apa. Hanya apakah Ratu sudi membantu, itulah yang kami harapkan...”
“Seumur hidup aku tak pernah kedatangan tamu. Kecuali orang-orang yang kubawa sendiri untuk mendapatkan sorga dan menerima neraka di tempat ini! bagaimana kau bisa tahu tempat ini?”
“Kami mendapat petunjuk dari Kakek Segala Tahu...” Menerangkan Wiro.
“Hemm... tua bangka rongsokan itu. Belum mampus dia rupanya! Kenapa kalian mencariku... Eh, kawanmu yang satu itu apakah dia bisu. Atau tuli? Dari tadi dia hanya melengos-melengos saja memandang ke jurusan lain!”
“Kawanku ini sudah cukup lanjut usianya. Jadi harap dimaklumi kalau dia merasa kikuk menghadapi Ratu...”
“Rambut gondrong! Kau pandai bicara! Katakan apa yang kalian mau?!” tanya sang ratu.
“Kami perlu bantuanmu untuk menangkap hidup atau mati seorang manusia bernama Randu Ireng. Kami mewakili para sahabat dari dunia persilatan. Menurut Si Segala Tahu hanya kau yang sanggup menghadapi Randu Ireng”
“Mengapa kalian menginginkan orang itu?” tanya Ratu Mesum.
Semula Wiro tak mau berterus terang. Dia melirik pada Ningrum. Ketika mendapat isyarat maka diapun menjawab, “Randu Ireng kini menguasai sebuah cincin keramat. Jika benda itu tidak segera dirampas dan dilenyapkan dari atas dunia ini, rimba persilatan akan dilanda bahaya besar! Maut akan bertebaran di delapan penjuru angin”
“Kalau semua orang pada mampus, apa perduliku?” tukas Ratu Mesum.
“Kau betul. Apa perdulimu!” Wiro mulai jengkel.
“Gondrong! Apakah kau sadar kalau kau dan kawanmu itu tak bakal keluar hidup-hidup dari tempat ini?!”
Ningrum semakin tegang. Tenaga dalam dilipat gandakannya ke tangan kanan. Didengarnya Wiro berkata, “Kalau takdir mengatakan kami memang harus mati di tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi apakah kau tak mau memberikan sedikit keringanan. Kami mendengar selain wajahmu yang cantik luar biasa, tak ada duanya di dunia ini, selain tubuhmu yang bagus dan mulus tak ada perempuan lain yang bisa menandinginya, tidak juga permaisuri atau selir raja, tidak juga Nyai Rara Kidul dari pantai selatan, kami tahu kau juga seorang pemurah. Nyawa kami berdua tentu tak ada harganya di hadapanmu. Aku rela mati setiap saat asal kau berjanji mendapatkan cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Cincin itu... apakah yang terbuat dari baja dan bergambar kepala ular sendok?” bertanya Ratu Mesum.
“Betul sekali Ratu...” Sahut Wiro. Dia maklum kalau ucapannya yang serba memuji tadi kini berhasil melunakkan hati sang ratu. Maka diapun menambahkan. “Semua para tokoh silat di luar sana menganggap hanya Ratu-lah yang mampu melakukan hal itu”
Ratu Mesum tertawa. “Semua tokoh silat itu tokoh tolol! Apakah mereka mengira aku suka terhadap semua lelaki? Kudengar manusia bernama Randu Ireng itu punya seribu muka!”
“Betul Ratu. Hanya saja menurut Kakek Segala Tahu dia punya tanda hitam pada matanya sebelah kanan”
Ratu Mesum mengangguk beberapa kali sambil tangan kirinya mengusapi pahanya sendiri. “Kita harus membuat perjanjian!” sang ratu kemudian berkata.
“Perjanjian apa Ratu?”
“Pertama kau dan aku, kita berdua melakukan perundingan di ruangan dalam. Kedua, jika cincin itu berhasil didapat, maka cincin itu akan menjadi milikku...”
“Mana bisa begitu!” Ningrum membuka mulut untuk pertama kali. “Benda itu adalah milik mendiang...”
Wiro sodokkan sikutnya ke rusuk Ningrum hingga perempuan yang menyamar sebagai lelaki ini terhenti ucapannya.
“Hai, ternyata kawanmu itu tidak tuli dan bisu!” kata Ratu Mesum. “Bagamana, kau setuju dengan perjanjian itu?!”
“Perjanjian kedua kami setuju,” sahut Wiro. “Mengenai perjanjian pertama bagaimana kalau kita laksanakan setalah cincin didapat. Percayalah aku tidak akan mengingkari janji. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Ratu Mesum menyeringai. “Siapa percaya mulut lelaki!” katanya.
“Kalau begitu terpaksa kami mencari orang lain yang dapat membantu. Kami minta diri sekarang. Tempat ini panas sekali...” kata Wiro lalu kedua tangannya membuka dada pakaiannya lebar-lebar dan mengipas-ngipas seperti orang sedang kepanasan.
Sepasang mata Ratu Mesum melirik ke balik pakaian Wiro. Hatinya tercekat. Belum pernah dia melihat lelaki memiliki dada bidang penuh otot seperti pemuda berambut gondrong itu.
“Ratu, sudikah kau membukakan pintu keluar bagi kami?”
“Kalau kau sudi tidur denganku, segala keinginanmu aku penuhi!” Tanpa malu-malu Ratu Mesum berkata seperti itu.
“Bagaimana kalau temanku ini saja yang melayanimu?” ujar Wiro pura-pura jual mahal.
“Si buruk itu? Janggut dan kumisnya memuakkan. Tubuhnya kecil dan parasnya pucat seperti kurang darah. Gerak geriknya seperti ayam sakit!”
“Kalau kau memang tidak suka padanya biarkan dia pergi... Nanti kita bisa berunding lebih leluasa!”
Mendengar kata-kata Wiro, Ratu Mesum gerakkan tangan kanannya. Dinding tipis yang tadi turun menutupi bagian depan ruangan itu naik ke atas. Wiro memegang bahu Ningrum dan berkata, “Kau tunggu kami di luar. Tak usah kawatir. Ratu cantik ini akan menolong kita. Cincin itu pasti akan kita dapatkan kembali...”
Sejak tadi Ningrum sebenarnya ingin meninggalkan tempat ini. Tapi kini disuruh pergi sendirian dia ingin menolak.
“Pergilah,” bisik Wiro. “Kurasa sesuai petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup mengatur si cantik ganas ini”
“Dia akan menipumu, lalu membunuhmu!” kata Ningrum.
“Tidak. Aku bukan macam lelaki tolol yang bisa disuguhinya sorga lalu dihantamnya dengan neraka. Lihat saja nanti. Nah, pergilah!”
Akhirnya terpaksa juga Ningrum meninggalkan ruangan itu. Keluar dari terowongan dan menunggu di tepi danau.
TIGA BELAS
Begitu Ningrum keluar, dinding yang tadi naik ke atas turun menutup kembali. Kini tinggal Wiro Sableng dan Ratu Mesum berduaan. Mengira pemuda itu sudah terpikat, sang ratu langsung saja hendak merangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng cepat berkelit. Sambil menjaga jarak dia berkata,
“Aku tahu apa artinya sorga dan neraka seperti tertulis di pintu masuk. Semua orang mau sorga tapi tidak suka neraka. Termasuk Aku. Aku tidak menganggap buruk kau mempunyai sifat suka mencari kesenangan duniawi. Setiap manusia sudah punya takdir hidup sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan. Nah, bagaimana kalau kita membuat perjanjian...”
“Perjanjian apa?” tanya Ratu Mesum. Tubuhnya terasa panas keringatan. Dadanya turun naik dan cuping hidungnya kembang kempis. Sepasang matanya memandang pada Wiro hampir tak berkedip. Jelas perempuan cantik ini tidak dapat menahan hasratnya yang berkobar-kobar.
“Terus terang aku bukan manusia turunan alim,” kata Wiro Sableng. “Aku bersedia memenuhi apa kemauanmu, tapi aku tidak mau berakhir dengan kematian!”
“Aku telah bersumpah! Setiap lelaki yang jatuh dalam pelukanku harus mati!” kata Ratu Mesum dan sepasang matanya tetap tak berkedip, memandang tajam ke arah Wiro.
“Sumpah teramat berat!” ujar Wiro. “Sumpah seperti itu bisa membunuh dirimu sendiri Ratu! Kenapa kau sampai mengangkat sumpah seperti itu?”
“Kau tak berhak bertanya!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Lekas katakan apa perjanjian yang kamu maksudkan tadi!”
“Aku mengikuti apa maumu, tapi kau juga harus berjanji untuk membantu merampas cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!”
“Jika aku tak sudi?!”
“Lebih baik aku angkat kaki dari sini sekarang juga!”
“Tidak pernah satu lelakipun keluar hidup-hidup dar ruangan ini!”
“Kalau begitu mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui ajal!”
Ratu Mesum tertawa panjang mendengar tantangan itu. “Kulihat kau memang memiliki tenaga dan otot. Kulihat kau memang ada membekal senjata di balik pakaianmu. Tapi kepandaian apa yang kau miliki hingga berani menantang aku?!”
“Aku memang berani tapi kau?!” balas Wiro.
“Jangan kira aku pengecut!” teriak Ratu Mesum marah.
Begitu teriakannya lenyap tubuhnya berkelebat menjadi bayang-bayang merah. Wiro merasakan ada angin deras menghantam ke arah tenggorokan dan ke bawah selangkangan. Ternyata sang ratu lancarkan serangan berupa jotosan maut ke leher dan tendangan mematikan ke bawah perut. Perempuan itu yakin benar salah satu dari serangan kilatnya itu pasti akan menemui sasaran.
Namun betapa kagetnya ketika kedua serangannya hanya mengenai tempat kosong. Sebaliknya jika dia tidak lekas menyingkir, pinggangnya hampir kena ditelikung si pemuda! Ratu Mesum tegak di sudut ruangan. Matanya berkilat-kilat memandang Wiro.
Pendekar 212 menyeringai. “Bagaimana, kau kecapaian atau tak punya nyali lagi meneruskan perkelahian ini?!”
“Mampuslah!” teriak Ratu Mesum. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Selarik sinar merah menderu. Meski baru berkelahi dua jurus tetapi saking marahnya perempuan ini langsung keluarkan pukulan sakti pada jurus ketiga.
Murid Sinto Gendeng yang memang sudah berjaga-jaga sambut pukulan dengan pukulan 'Dinding Angin Berhembus Tindih menindih'. Ratu Mesum tersentak kaget ketika mendengar ada suara angin menderu, menerpa ke arahnya. Dan dia jadi lebih kaget lagi ketika melihat sinar merah pukulannya buyar berantakan dan tiba-tiba saja tubuhnya seperti dilabrak angin punting beliung, terbanting ke belakang, terseret ke samping.
Ketika dia berhasil mengimbangi diri dan melompat ke samping, dinding batu pualam di belakangnya terdengar mengeluarkan suara berderak! Ratu Mesum berpaling. Dinding tebal itu ternyata retak besar, sebagian batu pualamnya hancur dan tanggal berjatuhan.
“Pemuda keparat! Kau merusak tempat kediamanku!” teriak Ratu Mesum marah. Tubuhnya melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak menyingkapkan pakaian merahnya tinggi-tinggi. Saat itu pula bertabur bau sangat harum yang menusuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sesaat pendekar ini seperti gelagapan ketika bau harum aneh itu merasuk jalan pernafasannya. Namun tak selang beberapa lama dia dapat mengatur jalan nafasnya kembali dan cepat memasang kuda-kuda baru. Turun ke lantai Ratu Mesum terkejut bukan main. Ketika melompat tadi dia telah keluarkan hawa harum yang merupakan senjata andalannya.
Hawa harum itu mengandung racun jahat yang dapat membuat lawan menjadi lemas dan jatuh pingsan. Selama ini tak satu orangpun sanggup mempertahankan diri dari kehebatan ilmunya itu. Namun sekali ini dia melihat kenyataan yang hampir tak dapat dipercaya. Jangankan pingsan, lemas pun pemuda itu tidak sama sekali.
Perlahan-lahan kemarahan sang ratu jadi mengendur malah berubah menjadi kagum. Dalam hati kecilnya dia berkata, kalau saja pemuda lihay ini dapat menjadi kawan hidupnya, mungkin dia mau mempertimbangkan untuk meninggalkan jalan sesat yang selama ini ditempuhnya, hidup menjadi perempuan baik-baik.
“Orang muda, siapa kau sebenarnya?!” bertanya Ratu Mesum.
Wiro Sableng tersenyum. “Penting sekalikah namaku bagimu?” tanya Wiro.
“Aku bersedia membantu mendapatkan cincin mustika itu.” kata Ratu Mesum seperti tidak acuh akan pertanyaan Wiro tadi.
Wiro yang maklum apa maksud kata-kata perempuan itu tersenyum lebar dan berkata, “Kalau tadi-tadi kau jelaskan hal itu tak perlu kita sampai berkelahi segala”
“Hebat berkelahi belum tentu hebat di tempat lain. Aku perlu mengujimu. Jika kau nanti mengecawakan sumpahku akan berlaku!”
Habis berkata begitu Ratu Mesum tekan dinding di belakangnya dengan siku kanan. Dinding batu itu terbuka. Di belakang dinding kini terpampang sebuah ruangan tidur yang sangat indah. Ratu Mesum melangkah berlenggak lenggok lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar. Tangan kanannya melambai memanggil Wiro.
“Ratu keparat!” kata Wiro dalam hati, “Kau akan lihat. Aku bukannya ayam aduan yang hebat dalam persabungan, tapi keok di tangan ayam betina!”
Sekali lompat saja pendekar ini sudah berada di atas tempat tidur. Ratu Mesum menggeliat. Entah kapan tangannya bergerark tahu-tahu buhul-buhul ikatan pakaian merahnya di sebelah depan terbuka. Wiro kini melihat sosok tubuh yang sangat elok menakjubkan, yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Sesaat dia seperti mendengar ucapan Kakek Segala Tahu. "Mana ada kucing menolak daging...”
********************
Ketika hari mulai gelap, Ningrum yang menunggu di mulut lobang dekat perahu kayu menjadi gelisah. “Pemuda keparat! Aku disuruhnya menjadi patung di sini! Dia sendiri bersenang-senang di dalam sana!” maki perempuan itu. Dia tak tahu hendak berbuat apa selain melangkah mundar mandir. Sekali karena sangat kesalnnya dia tendang perahu milik Ratu Mesum. Untung tidak rusak.
Malam tiba. Udara dalam terowongan itu ternyata dingin sekali. Keletihan, Ningrum membaringkan tubuhnya dalam perahu. Sampai tengah malam Pendeakar 212 Wiro Sableng tak kunjung muncul. Ningrum menunggu terus terkantuk-kantuk. Akhirnya perempuan ini jatuh tidur. Dia terbangun ketika dirasakannya ada orang yang menepuk-nepuk bahunya.
Dibukanya kedua matanya dan duduk. Di hadapannya tegak pemuda itu yang kini telah mengganti pakaian putihnya dengan pakaian merah. Tegak sambil tersenyum-senyum.
“Kukira kau sudah mati di dalam sana!” kata Ningrum saking marahnya, lalu turun dari perahu. Ratu Mesum tampak tenang-tenang saja.
“Pakaian merah itu, tentu kau dapat dari dia” Ningrum membuka mulut kembali.
“Apa kau ingin pakaian seperti itu?” Ratu Mesum bertanya.
Ningrum tak menyahut. Ratu Mesum menggelungkan tangannya ke tangan Wiro. “Kita berangkat sekarang?” tanyanya.
Wiro mengangguk “Makin cepat makin baik...”
“Tapi ingat janjimu. Setelah urusan kita selesai, kau dan aku kembali kemari...”
Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Ningrum. “Itu bisa diatur Ratu,” sahut Murid Sinto Gendeng. “Ke mana tujuan kita yang pertama? Air terjun Banyu Abang atau Bukit Merak Biru?”
“Bukit Merak Biru lebih dekat. Sebaiknya kita menyelidik ke sana dulu. Kalau orang yang kita cari tidak ada di situ, kita baru ke air terjun itu. Kita harus bergerak cepat. Bisakah kawanmu yang seperti ayam sakit ini berlari cepat?!”
Dikatakan ayam sakit membuat Ningrum jengkel sekali. Ingin dia menampar mulut perempuan itu. Tapi sadar kalau dia membutuhkan bantuannya maka dengan menahan hati perempuan yang menyamar jadi laki-laki ini berusaha mempersabar diri.
Sambil melangkah ke mulut goa Wiro menerangkan pada Ningrum bahwa menurut pengetahuan Ratu Mesum orang yang mereka cari yakni Randu Ireng sering berada di Bukit Merak Biru atau air terjun Banyu Abang. Mereka akan menyelidik di kedua tempat itu. Mereka tidak mempergunakan perahu, melainkan langsung naik ke darat dan mengandalkan kepandaian berlari cepat.
Ratu Mesum tampak agak heran juga ketika melihat Ningrum mampu berlari walau tertinggal beberapa langkah di belakang. Kembali sang ratu membuka mulut mengejek.
“Tidak sangka kawanmu yang jelek itu memiliki ilmu lari...”
Ningrum berbuat seolah-olah tidak mendengar. Yang saat ini dikawatirkannya ialah kalau cincin baja putih berhasil dirampas dari tangan Randu Ireng, apa tidak mustahil Ratu Mesum akan melarikannya?
Sementara itu pagi yang cerah menjadi panas ketika sang surya mulai menebarkan sinar teriknya. Menjelang sore mereka sampai di tujuan pertama yakni Bukit Merak Biru. Di puncak bukit, di bagian yang berbatu-batu terdapat sebuah rumah yang keseluruhan dinding, lantai, dan atap terbuat dari rotan. Setelah diperiksa rumah itu ternyata kosong.
“Dia tak ada di sini...“ kata Ratu Mesum.
“Kalau begitu kita terus ke air terjun Banyu Abang.” Berkata Ningrum.
“Betul.” Menyetujui Wiro.
Ratu Mesum tertawa lebar sambil geleng-gelengkan kepala.
“Mengapa kau menggeleng. Kau tidak suka kita segera meneruskan perjalanan?” Tanya Wiro pula.
“Tidak kalian lihatkah matahari sudah hampir lenyap, tenggelam di sebelah barat sana? Sebentar lagi malam tiba. Malam sepi dan dingin. Aku tidak suka mengadakan perjalanan pada malam hari. Malam adalah saat untuk istirahat dan berhangat-hangat...”
Jijik sekali Ningrum mendengar ucapan Ratu Mesum itu. kejengkelannya semakin bertumpuk. Wiro Sableng sendiri maklum apa maksud tujuan kata-kata Ratu Mesum tadi. Perempuan itu memandang sesaat padanya lalu masuk ke dalam rumah rotan tanpa menutupkan pintu.
“Mari kita masuk...” mengajak Wiro.
Ningrum menggeleng. “Aku tak akan masuk. Lebih baik mati kedinginan di luar sini!”
“Kenapa tak mau masuk?” tanya Wiro heran.
“Kalau kau mau masuk, masuklah. Bukankah perempuan itu tadi jelas hendak mengajakmu berhangat-hangat?”
Menyadari bahwa orang yang menyamar seperti laki-laki itu sebenarnya adalah perempuan membuat Wiro tertawa. Maka diapun berkata, “Semua ini terjadi karena maksudku menolongmu. Jika kau memang tak ingin mendapatkan cincin mustika itu serta tak ada rencana hendak membalas dendam terhadap Pangean Arga Kusumo lebih baik aku pergi saja dari sini!”
Ningrum terdiam. Lalu pergi duduk di atas sebuah batu besar.
“Jika sahabatmu itu tidak mau masuk, buat apa dipaksa?!” Terdengar suara Ratu Mesum dari dalam rumah rotan. “Bukankah malah lebih baik kalau dia tidak ikut masuk ke dalam sini?”
Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia memandang sekali lagi ke arah Ningrum lalu masuk ke dalam rumah.
“Jangan lupa menutup pintu Wiro,” kata Ratu Mesum sambil lontarkan senyum memikat.
Sesaat setelah Wiro menutup pintu perempuan ini langsung memeluknya. Nafasnya terasa panas tanda nafsunya berkobar-kobar.
********************
EMPAT BELAS
Air terjun Banyu Abang terletak di gunung berapi yang telah mati. Tingginya sekitar empat tombak, tidak terlalu lebar namun bentuknya yang melengkung membuat indah sekali. Apalagi bagian belakang air terjun itu merupakan batu-batu padas berwarna merah gelap hingga dari depan dan dari samping jika diperhatikan air terjun itu kelihatan kemerah-merahan.
Suasana di tempat itu sunyi dan redup. Yang terdengar hanya deru air terjun yang mengalir dan jatuh di atas batu-batu besar di sebelah bawah, kemudian membentuk sungai kecil dangkal berair sangat jernih. Sesekali terdengar suara burung hutan berkicau, lalu terbang dan berkicau lagi di tempat lain.
“Aku tidak melihat sebuah bangunan pun di sini...” kata Ningrum sambil memandang berkeliling. “Apakah manusia bernama Randu Ireng itu betul bisa ditemui di sini...?”
“Kau tahu apa tentang orang itu...” kata Ratu Mesum ketika jelas merasa orang tidak mempercayainya. Perempuan ini memegang lengan Wiro dan menunjuk ke atas sebuah pohon tinggi besar berdaun lebat.
“Lihat rumah kayu di atas sana...!"
Di antara beberapa cabang pohon besar yang ditunjuk Ratu Mesum ternyata memang terdapat sebuah rumah papan, lengkap dengan tangga kecil.
“Itu rumah Randu Ireng...” Bisik Ratu Mesum.
“Sekarang bagaimana kita mengatur rencana?”
“Serahkan padaku!” jawab sang ratu. “Kalian berdua harus bersembunyi. Jangan terlihat Randu Ireng. Sekali dia sempat melihat kalian, berantakan rencanaku!”
“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro Sableng ingin tahu.
Ratu Mesum pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu menciumnya seraya berkata, “Kau lihat saja. Jangan cemburu. Apa yang aku berikan padamu tak akan kuberikan pada manusia itu...”
“Kau harus hati-hati,” ujar Wiro. “Dan yang penting cincin itu harus kau dapat!”
“Jangan kawatir!” jawab Ratu Mesum.
Sekali lagi dia mencium jari-jari Wiro lalu dengan gerakan cepat ditinggalkannya tempat itu, lari menuruni tebing batu-batu cadas licin. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi seseorang tak dapat menuruni tebing itu apalagi sambil berlari seperti yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali kaki terpeleset, tubuh akan jatuh ke bawah, disambut batu cadas keras.
Beberapa saat lamanya tubuh Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama kemudian tampak sosok bayangan merah di belakang air terjun. Ternyata perempuan itu sudah ada di bawah air terjun.
“Apa yang dilakukannya di situ. Mengapa dia justru menuju air terjun. Bukan ke rumah di atas pohon sana?” bisik Ningrum.
“Akupun tidak mengerti. Kita lihat saja. Manusia seperti dia punya seribu satu akal. Berkepandaian tinggi, cerdik dan berbahaya”
“Dan memiliki nafsu menjijikkan!” sambung Ningrum.
Wiro tak menjawab. Makian Ningrum yang ditujukan pada Ratu Mesum sama saja dengan makian yang ditujukan padanya. Karena diapun telah menjadi korban nafsu sang ratu. Wiro memandang ke arah air terjun. Ningrum pun tak berkata apa-apa lagi. Ikut memandang ke jurusan yang sama.
“Eh...?” Wiro berseru kecil. Di bawah sana, Ratu Mesum dilihatnya melangkah di atas batu-batu cadas basah, keluar dari belakang air terjun, menuju ke sebelah depannya. Dan saat itu perempuan ini sama sekali tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya yang bugil putih dan mulus elok itu tampak seolah-olah berkilau disiram sinar matahari.
“Gila! Ternyata dia mau enak-enakan mandi di air terjun!” kembali terdengar suara Ningrum.
“Diam sajalah!” tukas Wiro. “Terlalu keras bicara, salah-salah suara mu akan terdengar oleh Randu Ireng...”
Dari arah air terjun di mana Ratu Mesum saat itu berada dan duduk di sebuah batu besar sambil menjulurkan sepasang kakinya yang bagus, lalu menyiram-nyiramkan air sungai sedikit-sedikit ke tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu. Yang menyanyi ternyata sang ratu sendiri.
Air terjun Banyu Abang
Banyu Abang banyu yang sejuk
Nikmatnya mandi bersiram air dan matahari
Sayang hanya seorang diri
Banyu Abang banyu yang sejuk
Tempat yang indah untuk merajuk
Pesinggahan yang menyenangkan bagi pengelana
Berpolos diri saling menggoda
Nyanyian itu dinyanyikan berulang kali oleh Ratu Mesum. Dan Wiro maklum kalau perempuan tersebut telah mengerahkan tenaga dalamnya. Kalau tidak suara nyanyiannya tak mungkin terdengar keras, menggema sampai ke atas tebing, hampir mengalahkan deru air terjun.
Sudut mata Ningrum menangkap satu gerakan. Dia cepat berpaling, menoleh ke arah pohon besar lalu cepat-cepat menggamit Wiro dan berbisik,
“Ada orang keluar dari rumah di atas pohon!"
Wiro cepat berpaling, memandang ke arah pohon. Memang benar. Saat itu pintu rumah kayu di atas pohon tampak sudah terbuka dan seorang lelaki berpakaian putih nampak tegak di atas cabang besar. Orang ini mengenakan pakaian serba putih dengan ikat pinggang kulit besar melilit di pinggangnya.
Di kepalanya ada sapu tangan besar putih yang dilipat berbentuk segitiga, diikatkan membentuk topi. Orang ini tegak bekacak pinggang, memandang lurus-lurus ke arah iar terjun di mana saat itu Ratu Mesum masih terus duduk berselunjur, memain-mainkan air sambil terus bernyanyi.
“Itu manusianya yang bernama Randu Ireng?” tanya Ningrum.
Wiro tak segera bisa menjawab. Tampang dan pakaian orang itu jauh berbeda dengan manusia yang ditemuinya pada malam hujan lebat di mana terjadi pembunuhan atas puluhan perajurit Demak.
“Tak dapat kupastikan. Jarak kita dengan dia terlalu jauh. Kalau pakaian dan tampangnya jelas berbeda dengan orang yang kulihat malam itu. Kalau saja aku bisa melihat matanya...”
Tiba-tiba, seperti seekor burung besar, orang di atas pohon melompat, melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di atas batu cadas sejauh delapan tombak dari tempat Wiro dan Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat memberi isyarat dengan tangan pada Ningrum agar tidak bergerak dan jangan bicara.
Di bawah sana Ratu Mesum masih terus menyanyi. Lelaki di atas batu cadas sekali lagi tampak melompat, melompat dan melompat. Tubuhnya kini seperti bola karet. Empat kali lompatan akhirnya dia sampai di depan Ratu Mesum.
Perempuan itu tampak terkejut. Mengeluarkan pekik kecil lalu berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya. Lelaki berpakaian putih terdengar tertawa.
“Bidadari dari mana yang kesasar turun ke bumi dan mandi di air terjun Banyu Abang?”
“Siapa kau! Laki-laki lancang! Barani mengintip perempuan mandi!” teriak Ratu Mesum. Wajahnya menunjukkan mimik marah.
“Aku adalah aku! Kau siapa bidadariku?!”
“Pergi!” Ratu Mesum cepat berdiri.
Tapi orang di depannya lebih cepat menekan bahunya. Kedua matanya berkilat-kilat. Seumur hidup belum pernah dia melihat perempuan secantik ini dan dalam keadaan bugil begini rupa. Sepasang payudara yang putih kencang, pinggang ramping yang berakhir pada pinggul yang besar. Perut yang licin mulus, sepasang paha dan kaki yang sangat indah. Sekujur tubuh lelaki itu mendadak menjadi kencang.
“Selain cantik kau juga pandai menyanyi!” Lelaki tadi memuji. “Aku senang sekali bila bisa ikut mandi bersamamu!” Lalu orang itu membuat gerakan hendak membuka bajunya.
“Lelaki kurang ajar! Pergi atau aku akan menjerit!”
“Kalau kau menjerit lalu kenapa?”
“Tidak disangka. Aku sengaja lari dari rumah karena hendak dipaksa kawin dengan kakek-kakek tua keparat itu. Tahu-tahu kini bertemu dengan lelaki jahat!”
“Ah, rupanya kau dewi yang minggat dari rumah. Dengar, aku bukan orang jahat. Dan aku masih muda. Tampangku tentu tidak sejelek kakek tua itu bukan? Ha-ha-ha...!”
“Pergi sana! Lelaki gila!” teriak Ratu Mesum. Dia berusaha meneliti mata kanan orang di depannya. Untuk melihat apakah ada bintik hitam pada bagian putih mata itu. Tetapi karena dia duduk di bawah sedang orang berdiri agak sulit baginya untuk memperhatikan.
“Dewiku, mungkin benar hari ini aku tiba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila padamu! Hai, tahukah kau aturan kehidupan di tempat ini?"
“Tidak! Dan perduli amat segala macam aturan! Memangnya kau yang memiliki tempat ini?!” tukas Ratu Mesum.
“Tentu saja memang aku yang menjadi penguasa di tempat ini. Aturanku, siapa yang berani mandi di air terjun Banyu Abang tanpa seizinku, jika dia lelaki akan kubunuh. Jika dia seorang perempuan yang aku tidak berkenan juga akan kubunuh. Tetapi jika dia soerang perempuan cantik sepertimu maka dia harus tunduk pada perintahku!”
“Tunduk pada perintahmu?! Hik-hik-hik...!” Ratu Mesum tertawa panjang sambil mainkan lidahnya yang merah dan perlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata. Membuat orang di hadapannya semakin blingsatan.
“Tunduk padamu katamu?! Memangnya kau sultan atau raja... Tampang adipati pun kau tak punya!”
Diejek seperti itu orang tadi tidak tampak marah malah ikut-ikutan tertawa, “Sultan atau Raja, apalagi adipati bukan apa-apa bagiku! Aku jauh lebih hebat dari pada mereka semua!”
“Walah! Ternyata kau hanya seorang yang tidak waras! Kau pasti turunan orang hutan. Eh, apakah kau punya nama...?”
“Kau boleh menyebut namaku apa saja!”
“Monyet, begitu! Atau lutung...?!” ujar Ratu Mesum. Kedua tangannya masih menutupi dada sedang kedua paha dilipat dan dinaikkan ke atas.
“Boleh-boleh saja kau menyebut aku begitu!”
“Kau betul-betul hebat,” kata Ratu Mesum pula. “Tapi aku tidak suka pada lelaki berotak miring dan bicara ngacok sepertimu. Menyingkirlah!”
“Tidak! Kau telah mandi di Banyu Abang. Berarti kau berada dalam kekuasaanku. Kau harus ikut aku!”
“Ikut kau? Ikut ke mana?”
“Ke rumahku di atas pohon sana!”
“Ah, ternyata kau bangsa tikus pohon atau tupai!”
“Jika kau menurut baik-baik kau akan kuperlakukan dengan baik. Jika membantah tubuh dan wajahmu yang cantik akan kubuat cacat!” lelaki itu mengancam.
“Aku mau lihat apakah kau sanggup dan berani melakukannya!” kata Ratu Mesum. Lalu dia turunkan kedua tangannya, busungkan dada, pejamkan mata dan angsurkan wajahnya!
Melihat ini tentu saja lelaki itu menjadi salah tingkah, bergeletar sekujur tubuhnya, hampir tak dapat menahan rangsangan. Kemudian dilihatnya mulut dengan bibir yang basah itu mengeluarkan suara,
“Jika kau memberitahu namamu, mungkin aku mau ikut denganmu.”
“Sebut saja namaku Danupaya...” kata lelaki itu.
“Danupaya...?” Desis Ratu Mesum.
“Berlututlah biar dekat. Aku ingin melihat wajahmu agar tahu apakah kau betul bernama Daupaya?”
Seperti terkena sihir lelaki itu perlahan-lahan berlutut di depan Ratu Mesum. Sepasang mata sang ratu terbuka sedikit. Senyum bermain di mulutnya. “Kau berdusta. Namamu bukan Danupaya...”
“Heh... Lalu kau mau nama apa? Kau boleh panggil Singgil Manik atau sebut aku Tunggul Ambang atau...”
“Dengar, aku mulai suka padamu. Ternyata wajahmu cukup tampan juga. Tetapi aku tidak suka pada lelaki yang berbohong. Hanya lelaki pengecut yang sengaja menyembunyikan namanya!”
“Baiklah, kukatakan namaku sebenarnya. Aku Randu Ireng...”
Kedua mata Ratu Mesum membuka lebih lebar. Perhatiannya tertuju pada mata kanan orang yang berlutut di depannya. Dalam jarak sedekat itu kini dia dapat melihat jelas lelaki itu memiliki bintik hitam pada matanya sebelah kanan. Tanda pasti yang ditunjukkan oleh Kakek Segala Tahu danyang telah disampaikan Wiro padanya! Tanda bahwa orang itu memang Randu Ireng!
“Kau masih saja mau berdusta. Kau bukan Randu Ireng. Katakan namamu sebenarnya...!” Kata Ratu Mesum pula.
“Demi segala setan penghuni air terjun ini, aku bersumpah tidak berdusta. Aku memang Randu Ireng!”
Ratu Mesum geleng-gelengkan kepala. Basahi bibirnya dengan ujung lidah, turunkan kedua kakinya yang membuat lelaki di depannya tambah membeliak tak berkesip.
“Tidak mungkin... tidak mungkin kau Randu Ireng. Randu Ireng yang sebenarnya lebih hebat dari raja, lebih tinggi dari sultan. Aku mendengar manusia bernama Randu Ireng itu adalah turunan penguasa laut selatan dan luat utara. Memiliki kekuatan hebat yang sanggup menghancuran gunung dan meleburkan bukit. Jangankan gunung dan bukit, batu di depan sana itupun kau tak sanggup menghancurkannya!”
Lelaki yang berlutut di hadapan Ratu Mesum jadi tercekat. Dengan tangan kosong memang tak mungkin baginya menghancurkan batu itu. Tapi...
“Kau betul-betul mau melihat aku menghancurkan batu itu...?”
“Sudahlah! Jangan mimpi. Menyingkirlah. Aku harus pergi...” Ratu Mesum berdiri dan karena lelaki itu masih berlutut, perut perempuan itu tepat di depan kepalanya, hampir menempel ke hidungnya. Tak sanggup lagi menahan rangsangan yang membakar dirinya, lelaki itu langsung memagut pinggul Ratu Mesum, menciumi perutnya.
“Lelaki kurang ajar!” Ratu Mesum dorong tubuh orang itu kuat-kuat hingga terjengkang tapi tak sampai jatuh ke dalam air.
“Jangan pergi! Aku akan buktikan padamu aku sanggup menghancurkan batu itu. Kalau tidak jangan panggil aku Randu Ireng!”
Lalu orang ini susupkan tangannya ke balik pakaian. Dia mengeluarkan sebuah kantong kulit berwarna hitam yang diikat erat-erat ke tali pinggang celananya. Dari dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah benda putih berkilat-ilat yang langsung disusupkannya ke jari telunjuknya.
“Lihat batu itu!” katanya seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya. Giginya bergerak menggigit bibir sebelah bawah. Satu suara aneh seperti seruling mencuat menyakitkan telinga Ratu Mesum. Detik itu juga tiga larik sinar putih halus menyilaukan melesat, menghantam batu besar, membuat batu itu hancur berantakan.
“Sudah kau saksikan?!”
Ratu Mesum kedip-kedipkan mata. “Mungkin kau hanya menyihirku. Membalik pemandangan mataku. Coba kau hancurkan lagi batu yang disebelah sana kalau bisa!”
“Kenapa tidak bisa!” Seperti tadi orang itu acungkan jari telunjuk tangan kanannya.
Saat itu Ratu Mesum segera dapat melihat bahwa cincin yang dipakainya memang adalah cincin keramat yang tengah mereka cari. Cincin baja putih dengan hiasan kepala ular kobra. Cincin warisan setan yang telah menggemparkan dunia persilatan, dicari dan dikejar orang, mulai dari paar tokoh silat sampai orang-orang istana.
“Lihat!” kata lelaki itu lagi. Dia anggukkan kepala sedikit, gigit lagi bibirnya. Seperti tadi terdengar kembali bunyi seruling melengking, disusul oleh kiblatan tiga larik sinar menyilaukan. Sesat kemudian batu besar yang satu itupun hancur pula berkeping-keping.
“Ah, sekarang aku percaya kau adalah Randu Ireng. Orang terhebat di delapan penjuru angin. Kau tidak berdusta bahwa kau memang lebih hebat dari sultan maupun raja. Cuma, aku minta bukti sekali lagi. Kau lihat pohon besar di atas tebing sana? Coba kau hancurkan bagian batang sebelah bawah, dekat akarnya...”
Randu Ireng tertawa lebar. “Kalau batu saja hancur lebur apalagi batang kayu. Lihat!”
Lelaki itu acungkan jarinya, gigit bibir. Dan untuk ketiga kalinya kembali terdengar suara bersuit. Sinar putih berkiblat tiga larik. Melesat ke arah pohon besar di atas tebing di belakang mana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum bersembunyi.
Ketika melihat datangnya sinar maut menyambar ke arah pohon Ningrum terpekik. Kaget dan marah. Wiro cepat mendorong tubuh perempuan itu keras-keras ke samping. Dia sendiri menyusul berguling selamatkan diri.
“Blusss! Brakkk...!” Pohon besar hancur. Batangnya patah di sebelah bawah dan akarnya terbongkar dari tanah.
“Perempuan keparat itu hendak membunuh kita!” ujar Ningrum.
Di bawah sana, Randu Ireng tersentak kaget. Bukan karena tumbangnya pohon, melainkan ketika mengetahui ada orang di atas tebing. “Hei! Ada orang di atas sana! Keparat! Siapa mereka! Kawan-kawanmu?!”
“Aku datang kemari sendirian. Sipapun mereka pasti bermaksud tidak baik!” jawab Ratu Mesum. “Mari kita menyelidik ke atas sana. Tapi aku berpakaian dulu!” Lalu dia melangkah ke arah air terjun. Tapi begitu sampai di belakang Randu Ireng, perempuan ini hantamkan pinggiran tangan kanannya ke leher orang itu.
“Kraakkk...!”
Terdengar suara patahnya tulang leher Randu Ireng. Tubuhnya terhuyung sesaat, tangan kirinya menggapai-gapai mencari keseimbangan. Perlahan-lahan Randu Ireng coba memutar tubuh menghadapi ke arah Ratu Mesum.
“Perempuan keparat! Penipu laknat! Mampuslah!”
Randu Ireng acungkan jari telunjuknya ke arah Ratu Mesum. Tapi lehernya yang patah membuat tubuhnya hilang kekuatan. Tangan kanan itu bergetar bergoyang-goyang. Randu Ireng gigit bibirnya. Namun sebelum hal ini sempat dilakukannya tendangan kaki kanan Ratu Mesum mendarat tepat di mukanya. Mulut dan hidung Randu Ireng hancur. Darah kental mengucur. Kepala dan tubuhnya mencelat dan segera jatuh ke dalam air.
Ratu Mesum cepat menyergap untuk meloloskan cincin baja putih dari telunjuk Randu Ireng, namun saat itu entah dari mana datangnya bekelebat sesosok tubuh. Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh Randu Ireng pun tak ada lagi di tempat itu. Ratu Mesum berteriak hendak mengejar. Namun segera disadarinya orang yang berkelebat tadi telah menotok jalan darahnya di dada kiri hingga dia hanya mampu bersuara tapi sama sekali tak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya!
Semula Ratu Mesum mengira yang melakukan itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun ketika dia memandang ke arah tebing batu di jurusan tumbangnya pohon besar, dilihatnya orang yang melarikan tubuh Randu Ireng ternyata berpakaian rombeng, memakai caping bambu lebar. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat dan sebuah kaleng rombeng.
Di atas tebing, orang yang melarikan tubuh Randu Ireng berhenti. Dia menarik lepas cincin pembawa malapetaka dari jari telunjuk Randu Ireng. Lalu tubuh yang sudah tak bernyawa itu dilemparkannya ke bawah tebing, menggelinding ke bawah, masuk ke dalam sungai. Mengambang lalu hanyut ke hilir.
Wiro Sableng dan Ningrum yang melihat kejadian yang serba cepat dan serba tak terduga itu tegak terkesiap.
“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro ketika dia kenali orang tua di depannya.
Si kakek tertawa lebar. Dia pindahkan kaleng butut ke tangan kanan lalu kerontang-kerontangkan benda itu tiga kali. “Tunggu apa lagi, lekas ikut aku!” katanya.
Ningrum, yang mengetahui cincin sakti milik suaminya telah beada di tangan si kakek, langsung saja melompat mengikuti. Tapi Wiro sesaat tampak bingung. Akan mengikuti orang tua itu atau turun ke air terjun.
“Hai!” si kakek memanggil. Ketika Wiro masih tegak tak bergerak, kakek itu kembali, lalu menyeret lengannya. Wiro berusaha mempertahankan diri. Tapi astaga! Tenaga si kakek ternyata tidak berada di bawahnya. Bagaimana pun dia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tertarik. Akhirnya pendekar ini terpaksa mengikuti.
“Kek, apa yang kau lakukan dengan perempuan itu?” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. Di suatu tempat akhirnya Kakek Segala Tahu hentikan larinya dan memandang pada kedua orang itu sambil acungkan cincin baja putih. “Kalian tahu, kalau cincin ini tidak kurampas lebih dulu, perempuan bugil itu akan menguasainya. Sekali benda ini berada di tangannya kiamatlah dunia persilatan!”
“Akupun sudah menduga seperti itu kek,” sahut Ningrum. “Perempuan jahat itu tak bisa dipercaya. Tapi kawanmu ini sudah tergila-gila padanya hingga tak bisa diingatkan!”
Wiro hanya garuk-garuk kepala. Ningrum membuka mulut kembali. “Mengingat cincin itu adalah milik suamiku, berarti aku harus menerimanya kembali.”
Tapi perempuan yang menyamar jadi laki-laki ini jadi kaget ketika dilihatnya si kakek gelengkan kepala.
“Tidak. Tidak satu manusia pun di muka bumi ini boleh memiliki cincin warisan setan ini. Benda ini harus dikembalikan ke asalnya. Dari laut kembali ke dalam laut. Aku akan membawanya ke pantai selatan dan membuangnya di sana...”
“Tapi...” potong Ningrum.
“Tidak ada tapi-tapian perempuan berkumis! Sebaiknya kau melupakan cincin ini. Dengan demikian arwah suamimu akan tenteram di alam baka. Kau kembalilah ke tempat gurumu...”
“Aku harus ke Kotaraja!” jawab Ningrum.
“Mencari pangeran bernama Arga Kusumo itu dan membalaskan dendam suamimu?” tanya si kakek.
“Apalagi. Itu kewajibanku untuk melakukannya.”
“Dengar. Pangeran Arga Kusumo telah meninggal satu bulan lalu. Mati terkena penyakit menular. Penyakit sampar! Nah, bukankah lebih baik bagimu kembali ke tempat gurumu dari pada memaksakan diri ke Kotaraja?”
Ningrum terdiam. Kedua matanya tampak basah. Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Ayo, buat apa berlama-lama di sini. Mari kita pergi!” kata Si Segala Tahu.
“Kalau kalian mau pergi, pergilah,” kata Wiro.
“Heh, apa yang ada dalam benak mu orang muda?” tanya si kakek.
“Aku harus kembali ke air terjun itu. kulihat kau telah menotok perempuan itu! aku tidak tega membiarkannya seperti itu. Paling tidak baru besok pagi totokanmu lepas...”
Si kakek tertawa. “Pemuda aneh,” katanya. “Apa kau tidak sadar kalau tadi perempuan itu sengaja menyuruh Randu Ireng menghantam ke arah pohon adalah karena dia bermaksud membunuhmu dan kawanmu ini?!”
“Aku tidak tahu kek. Mungkin dia tidak tahu kalau kami sembunyi di balik pohon... Kini aku harus menolongnya!”
“Pemuda tolol! Kau bukan cuma ingin menolong. Kau benar-benar telah jadi kucing yang tak pernah menolak daging!”
“Kalau begitu biar kau saja yang menolongnya. Siapa tahu dia tertarik padamu...”
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. “Aku cuma seekor kucing tua yang sudah tak bergigi lagi. Mana sanggup melahap daging... Ha-ha-ha!"
Setelah puas tertawa kakek itu menarik tangan Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan Wiro. Pendekar 212 Wiro Sableng menarik nafas panjang lalu berlari, kembali menuju air terjun Banyu Abang.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar