WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : BENCANA DI KUTO GEDE
KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali.
“Turunkan aku di sini!” teriak gadis di atas panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tenang sajalah dan jangan banyak bicara. Berhenti di tempat ini masih cukup besar bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!”
“Aku tidak takut pada mereka!” sahut Nawang Suri.
Dia adalah gadis yang baru saja diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di atas bahu sang pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok sementara tangan kanannya patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata, “Jika kau tak mau menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!”
“Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?” bertanya Wiro.
Semula Nawang Suri tak mau menjawab. Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia menerangkan, “Aku harus menemui pasukanku di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah kubunuh, tapi sebelum tahta berada di tanganku belum puas hatiku!”
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon besar.
“Lepaskan totokanku!” meminta Nawang Suri.
Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk menjelepok di tanah di hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata mereka saling memandang tak berkedip.
“Seumur hidup baru kali ini aku menemui gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula.
Ucapan itu membuat sang dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras. “Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta kerajaan yang mereka rampas! Demi masa depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!”
“Siapa bilang aku menghalangi!” sahut Wiro sambil garuk kepala. “Kau sudah membunuh raja! Apa itu tidak cukup?!”
“Memang tidak cukup! Tujuan utamaku adalah tahta kerajaan!”
“Mungkin itu memang belum jadi rejekimu.
“Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak...”
“Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
“Jangan bersyair di depanku!” bentak Nawang Suri.
Wiro menyeringai kecut. Dan berkata, “Dalam keadaan terluka begini, tangan patah, kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja. Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta panglima perang yang tangguh?”
“Aku dan orang-orangku memiliki semangat...”
“Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup untuk memenangkan peperangan.
“Pemuda tolol macam mu mana tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi pelajaran dan latihan untuk perang!”
“Tapi kau bukan mau perang!” kata Wiro dengan pandangan mengejek.
“Maksudmu aku ini mau apa?”
“Mau bunuh diri!”
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli atau menampar Wiro Sableng saat itu.
“Bunuh diri atau apapun aku tak takut mati...”
“Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya berdiri dan pura-pura hendak pergi.
“Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
“Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau dijadikan mangsa mereka!” Lalu Wiro melangkah.
“Hai! Jangan tinggalkan aku!” seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
“Nah, nah... Kau harus begitu. Harus mengikuti apa yang aku bilang.
“Tapi kau bukan ayah atau majikanku! Jangan anggap budi pertolonganmu membuat dirimu merasa berkuasa atas diriku!” kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
“Apa untungku menguasaimu...?”
“Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa kau melarikan diriku?”
“Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya menelungkup sama rata dengan tanah.
“Jangan keluarkan suara” bisik Wiro yang mendengar suara orang mendekat.
Baru saja pendekar itu selesai bicara, dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan dan berhenti sejarak beberapa langkah dari pohon besar di mana mereka sebelumnya berada.
“Heran!” terdengar salah seorang pendatang berkata pada temannya. Dia mengenakan pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan kanannya ada sebilah golok besar. Wiro maupun Nawang Suri segera mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
“Aku yakin sekali mereka pasti kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak menemukan keduanya?! Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa beban sosok tubuh gadis pemberontak!”
Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
“Bagiku sama sekali tidak mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya. Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang aku tak percaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!”
“Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke dalam istana.
“Ya, akupun melihat. Gerakannya agak mencurigakan”
“Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia tak lebih dari seorang penjilat nomor satu! Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!”
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di balik rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
“Kenapa tidak kau hantam kedua bangsat itu?”
Wiro geleng-gelengkan kepala dan menjawab, “Aku tak punya permusuhan dengan mereka.”
“Gila!”
“Eh, siapa yang gila...?” tanya Wiro melotot tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Kowe!” sahut Nawang Suri setengah berteriak.
Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Hanya orang gila yang masih bisa ketawa dalam keadaan seperti ini...!” menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air muka sangat jengkel.
“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?”
“Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku harus bergabung dengan pasukanku sebelum terlambat!”
“Benakmu masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas dengan kematian raja yang tanganmu sendiri membunuhnya?!”
“Tidak!” jawab Nawang Suri.
“Nawang Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah, kau akan celaka!”
“Biar, aku memang sudah celaka!” suara sang dara tersendat lalu terdengar sesunggukannya.
“Eh, tidak kusangka dara dengan hati sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga menangis...” ujar Wiro Sableng menggoda.
“Pemuda edan! Aku bersumpah menampar mulutmu seratus kali!”
“Sumpah edan!” tukas Wiro. Lalu dia beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
“Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang hendak kau perbuat?!”
“Pertama, aku akan menolong mengobati lengan kananmu yang patah. Setelah itu totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu... terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan pergi!”
Lalu dengan gerakan cepat, yang membuat Nawang Suri terpekik. Wiro Sableng merobek ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan kain.
“Beres...” ujar Wiro. Lalu tangannya bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal leher Nawang Suri beberapa kali mengurut gadis itu merasakan totokan yang membuat tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
“Nah, kau sudah bebas sekarang,” kata Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-dekat ke hadapan sang dara.
“Pemuda gila! Apa mau mu...?”
“Eh, bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali? Mengapa tidak segera kau lakukan?!”
Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya siap untuk menampar. Namun tamparan itu tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak kuasa untuk melakukan hal itu.
“Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Wiro.
“Benci itu ada dua arti...” terdengar suara sang pendekar. “Benar-benar benci atau benar-benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?”
“Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga ceriwis! Siapa yang cinta padamu!”
Habis berkata begitu Nawang Suri dorong dada si pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu? Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Kuto Gede saja.
Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu bintang itu seperti dikejar setan, karena memang dia harus sampai di lembah sebelum tengah malam. Namun gadis itu terperangah ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia dapati hanya bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu.
“Celaka, aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran berada di antara mereka...?” Nawang Suri berpikir sesaat. “Aku harus kembali ke Kotaraja...” katanya dalam hati mengambil keputusan.
Lalu kuda yang sudah letih itu diputar dan dibedalnya menuju ke utara. Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan pasukan yang akan menyerbu istana, lalu mencari dan mendapatkan kembali Keris Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya.
Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta kerajaan dirampas, Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh Empu Andiko Pamesworo. Mereka bersembunyi di sebuah pondok kayu di hutan dekat teluk yang sangat sepi.
Di tempat itu sang Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo menyusun perebutan kekuasaan. Dengan mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur untuk mendekati orang-orang penting istana. Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing akan segera dihabisi.
Sasaran paling utama dan paling penting tentunya adalah Sri Baginda sendiri. Dengan berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar sang dara dan berhasil menghadangnya di daerah pesawahan.
Dengan keris sakti di tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang Datuk berhasil membuat mental keris di tangan Nawang Suri. Penyamarannya terbuka. Nyawanya terancam. Saat itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko Geni sempat pula terhindar dari rampasan Datuk Tongkat.
Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti orang kurang waras itu membuat Nawang Suri tidak mempercayainya. Dara itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede. Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-barang perak dengan memakai nama Gama Manyar.
Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota raja. Orang yang pertama menjadi korban adalah Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di sebuah telaga sepi.
Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri sengaja datang melayat. Perangkap mereka mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara. Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran. Maka diatur gerak cepat.
Sementera Nawang Suri dibawa ke istana malam harinya, sang Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang Suri, Datuk Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum pemberontak.
Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka sementara Datuk Tongkat menemui ajal di tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri melihat tak ada jalan lain dari pada harus membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah, ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya menyongsong kedatangannya di tangga istana Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu juga!
Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi bulan-bulanan, ditangkap hidup atau mati sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede. Beberapa orang perwira termasuk kepada Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak memisahkan diri ketika melihat patih Wulung Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua.
Kejadian yang serba cepat ini masih sempat terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia hendak mengajak kambratnya Imo Gantra untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri. Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan khusus di mana disimpan barang-barang dan senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia mencari sarung keris yang dapat dipergunakan untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang dan masih berlumuran darah Sri Baginda. Karena di situ memang banyak disimpan berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang patih telah mendapatkan sarung yang cocok untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
“Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang kau perbuat di sini?”
Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak di ambang pintu ruangan dengan pandangan mata penuh selidik.
“Raden Cokro, bukankah seharusnya kau menolong Sri Baginda?”
“Orang yang sudah mati tak mungkin lagi ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa Keris Mustiko Geni...?"
Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun dia maklum, ketika berhasil menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi hampir semua orang tahu kalau senjata mustika lambang tahta Kerajaan itu ada padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso sekaligus coba menempelak.
“Raden, tak seharusnya kau berada dalam ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah mata-mata kita memberi tahu bahwa ada serombongan pasukan tak dikenal bergerak menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan pemberontak yang datang untuk menyerbu. Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum pemberontak yang muncul setiap saat…”
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti. “Soal pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak usah dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan Keris Mustiko Geni itu, paman patih?”
“Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah khawatir...”
“Mengapa paman yang harus menyimpan senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat yang aman...”
Patih Wulung Kerso tersenyum tawar mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. “Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata itu tak akan muncul sebelum Raja baru diangkat!”
“Dengar paman patih,” kata Cokro Ningrat pula. “Saya tahu dengan kepandaian yang paman miliki, paman bisa menyimpan dan menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan lupa. Istana penuh dengan musuh dalam selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di mana-mana. Keselamatan paman dan senjata itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar Mustiko Geni diserahkan pada saya…”
“Hal itu tak bisa kukabulkan Raden Cokro. Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja baru yang diangkat dan duduk di kursi besar sana…”
Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang. Namun dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu. Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata,
“Baiklah, kalau paman menganggap mampu menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman yang menyimpan…”
Lalu Kepala Pasukan Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan sementara kepala dan mukanya berlumuran darah mengerikan.
“Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya juga seorang musuh dalam selimut...”
Dari balik pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke kepala Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terluka parah di kepala, patih yang juga memiliki kepandaian silat dan kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah begitu saja. Sambil merundukkan kepala menghindarkan hantaman patung batu, Wulung Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun tidak begitu telak dan keras akibat luka yang dideritanya namun jotosan tersebut cukup membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke belakan dengan perut mual dan dada terasa sesak sakit.
Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada lalu menyergap dengan dua tangan terpentang. Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan kanannya hanya mampu merobek pakaian kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan tertolong!
Darah yang membasahi kepala dan muka Wulung Kerso menutup pemandangan kedua matanya. Berulang kali dia mengusap wajah dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan.
Dari mulut Wulung Kerso keluar suara rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang memancarkan sinar merah angker itu. Namun darah yang terlalu banyak tertumpah membuat Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya goyah, pemandangannya semakin kabur, tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai, darah dan cairan otak berceceran.
Keris Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan tercampak di lantai. Raden Cokro Ningrat cepat mengambil senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung Kerso, lalu meninggalkan ruangan itu. Pintu kamar sengaja dikuncinya dari luar. Ketika dia sampai di bagian depan istana, Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut.
Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga ratus orang tampak berada di seberang sana, siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda dan tak dikenal sedang yang seorang lagi dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua yang diketahui sebagai juru ukur barang-barang perak.
“Pemberontak keparat! Datang juga mereka akhirnya!” serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang ada di situ dia segera berteriak memberi perintah. Sejumlah pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk menyambut serangan. Namun karena pasukan yang ada di situ hanya merupakan pengawal istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan pemberontak tidak tertahankan.
“Kurang ajar!” kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana. “Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!”
“Siap Raden!” jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu.
Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini segera menuruni tangga istana menyongsong serbuan pasukan dengan sebilah pedang di tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan taman istana, dua penunggang kuda yang bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu menghadangnya.
“Bangsat pemberontak! Kalian mencari mampus!” teriak Cokro Ningrat.
“Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau ganti dengan darahmu sendiri!” Balas berteriak salah seorang penunggang kuda. Sekali goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke arah kepala Cokro Ningrat.
Tampaknya lelaki muda yang menyerang Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, meskipun dia menggempur bersama seorang kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kuda tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa melompat ke tanah.
Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat pada pangkal lehernya.
“Bangsat pemberontak! Kalian mundur kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan senjata dan menyerah!” teriak Cokro Ningrat.
Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di antara mereka sudah mendekati tangga istana sementara puluhan prajurit di kedua belah pihak tampak berkaparan di taman dan tangga istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan yang berjumlah hampir dua ratus orang muncul dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu tertahan. Semangat balatentara Kerajaan yang tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro terdengar kembali berteriak.
“Jika kalian tidak menyerah kalian akan mampus percuma! Kalian sudah terkurung!”
“Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah saatnya ditutup!” Terdengar suara membentak.
Satu bayangan putih berkelebat. Angin serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar dan cepat bertindak mundur, memandang ke depan dia melihat orang itu itu tegak dengan sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
“Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau adalah seorang gembong pemberontak!” bentak Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya.
Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip. “Namaku bukan Gama Manyar. Akulah yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!” berkata orang tua itu dengan suara lantang lalu...
"Wuttt! Wuttt...!"
Tongkat besi kuning di tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak mau memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah seorang ahli pembuat barang-barang ukiran istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi dan kesaktian mengagumkan.
“Kau terkejut setelah mengetahui siapa aku? Takut...?! Lalu mengapa tak lekas menyerah?!” mengejek Empu Soka Panaran.
“Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk mencapai tujuan kotor!”
Soka Panaran tertawa mengekeh. “Buka matamu lebar-lebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor! Siapa di antara kita yang telah menumpahkan darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan? Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan ratusan pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu yang syah hanya untuk mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu yang penuh lumuran darah itu...?”
Merah padam wajah Raden Cokro dan berdesing panas telinganya mendengar kata-kata Empu Soka Panaran itu. “Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan mata masih saja bicara tak karuan!”
Habis membentak begitu Cokro Ningrat menyerang dengan pedangnya. Sementara itu pasukan Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha prajurit dan beberapa perwira mengelilingi kalangan pertempuran antara pemimpin mereka melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum orang tua itu memiliki kepandaian tinggi karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan mereka mengalami cidera atau sampai tumbang di tangan orang tua itu.
Ternyata memang Empu Soka Panaran bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. Setelah menggempur habis-habisan selama enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro Ningrat mendapat serangan balik yang gencar. Tongkat besi kuning di tangan sang empu menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan berseru keras sewaktu akhirnya pedang di tangannya dihantam mental oleh pukulan keras ujung tongkat.
Raden Cokro Ningrat melompat mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro Ningrat sempat membuang diri ke samping kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam tongkat. Meskipun selamat namun ujung senjata lawan menoreh pelipis dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka yang cukup dalam dan mengucurkan darah.
Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa perwira segera bertindak maju. Menyaksikan hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak mengejek. “Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan kalian agar tidak mampus lebih cepat!”
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada orang-orangnya. “Semua mundur! Menghadapi tikus tua macam ini aku tak butuh bantuan kalian!” Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar merah berkiblat dalam gelapnya malam di taman istana itu.
Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat. Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri Baginda?
"Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin mati lebih cepat?” membentak Cokro Ningrat.
“Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas! Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan padaku...!”
“Ha-ha-ha...! Kau takut menemui kematian di tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat.
“Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu Soka Panaran.
"Wuttt...!" Sinar kuning berkiblat ketika tongkat besinya diputar sebat. Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran tongkat lawan.
"Trangg! Kliingg...!"
Empu Soka Panaran berseru kaget dan melompat mundur. Tongkat besi kuningnya putung sewaktu keris sakti itu membabat hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya bergetar dan terasa panas.
“Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa berada di tangan musuh...” keluh Empu Soka Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam dan akal untuk menghadapi lawan.
“Tua bangka pemberontak!” Cokro Ningrat berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni tinggi-tinggi ke atas. “Jika kau bersedia menyerah maka kau akan digantung secara terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu akan gosong oleh keris sakti ini!”
“Aku lebih suka mati di ujung Mustiko Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah pinggang dan lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis.
Gerakan yang serba cepat membuat Cokro Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan adalah tegak di kalangan pertempuran dan melindungi diri dari setiap serangan dengan Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia kirimkan serangan balasan.
Setelah berkelahi lebih dari dua puluh jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan serangannya akan mengendur. Hal ini disadari sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia berusaha menghantam tubuh, kepala atau bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini serangannya dipusatkan pada tangan kanan lawan.
Apapun yang terjadi dia harus dapat membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya apa yang ada dalam benak si orang tua, diketahui pula oleh lawan!
Kini tampak Cokro Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil mengelakkan satu serangan dia langsung tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa ganas yang ada pada senjata itu akan menewaskannya.
Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka mereka yang hidup hanya ada satu pilihan. Menyerah atau melarikan diri!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor kuda menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran sambil meringkik keras. Dua orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam suasana yang bertambah kacau terdengar seruan.
“Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan manusia-manusia perampok tahta dan pengkhianat busuk!”
Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas punggung binatang ini tampak menyambar sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini dalam kejutnya untuk melompat mundur. Begitu selamat dari tebasa pedang dengan beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke arah penunggang kuda.
Namun dari samping Empu Soka Panaran datang membabatkan tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat. Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang perwira.
Memandang ke depan Cokro Ningrat segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu. Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas dan ikat kepala warna merah.
“Bagus! Aku tak perlu susah payah mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk menyerahkan nyawa!” kertak Cokro Ningrat. Dia memberi isyarat pada para pembantunya.
Dua perwira yang barusan menolongnya bersama-sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang Suri yang masih tetap berada di punggung kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain sedang tangan kiri memegang pedang rampasan.
Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya dari serangan lawan, namun Empu Soka Panaran merasa sangat kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang Sari yang cedera tangan kanan dan hanya mengandalkan tangan kiri. Sementara itu jumlah pasukan kerajaan semakin banyak. Sulita bagi mereka untuk memenangkan pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru mengkhawatirkan keselamatan putri junjungannya itu!
“Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya! Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu! berseru Empu Soka Panaran.
“Tidak!” sahut Nawang Suri tegas dan tanpa takut. “Bukankah kita sudah memilih mati dari pada hidup dinista?!”
Cokro Ningrat tertawa bergolak. “Kalau sudah masuk ke sarang harimau mana mungkin keluar dengan selamat?! Bersiaplah menerima kematian!”
Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko Geni berkiblat ke arah sang empu sementara Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua perwira dan tujuh prajurit.
“Bunuh dulu kudanya!” teriak salah seorang perwira.
Lebih dari selusin prajurit datang menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu memusatkan serangan pada kuda tunggangan sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri berusaha menyelamatkan kudanya namun akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah, penuh luka.
“Bangsat rendah! Mampus kalian semua!” teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung kuda sebelum binatang ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh mandi darah.
Dua perwira cepat berteriak memberi aba-aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu. Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat banyak.
Beberapa kali tongkat besi kuningnya buntung di babat keris Mustiko Geni hingga potongan kecil yang masih tersisa di tangannya tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearah Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun potongan tongkat ini melesat dan menancap di leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!
Perwira yang kedua terkejur dan tercekat melihat kematian kawannya yang berlaku lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal. Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus, belasan prajurit yang mengeroyok Nawang Srri menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar serangan maut dengan leluasa.
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban keganasan pedang sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan kedua kakek ini membuat sang dara seperti terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa melompat mundur dan memandang dengan beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri segera mengenali mereka yakni bukan lain adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua hulubalang utama istana.
“Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siap untuk mampus?!” mengejek Nawang Suri sementara sepasang matanya bergerak liar memperhatikan gerakan belasan prajurit yang kini mengurungnya dengan rapat.
Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor memandang dingin tak berkesip. “Gadis tolol!” mengejek Imo Gantra. “Setelah lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah kembali muncul mencari kematian!”
“Akan kita lihat siapa yang mampus duluan, kau atau aku!” sahut Nawang Suri.
“Pasti kau! Bukankah kau ingin lekas-lekas menyusul kedua orang tuamu...?!” mengejek Imo Gantra.
Mendengar orang tuanya disebut-sebut, Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya tinggal menunggu kematian di ujung Keris Mustiko Geni.
Bala tentara yang tadi hampir tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga istana kini terpukul dan didesak mundur sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru. Dan nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan. Dengan tangan kanan patah, hanya dengan mengandalkan pedang di tangan kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor.
Meskipun kedua kakek itu tidak memegang senjata namun dalam beberapa jurus saja sudah berhasil mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan pedang di tangan kirinya.
"Bukkk...!" Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata menemui kegagalan karena sambil menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini selamat dari kematian!
Nawang Suri terhuyung-huyung kebelakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk mendekap dadanya yang sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan. Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh terduduk di tanah.
Saat itulah dilihatnya di kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas ditangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya tapi justru dia sendiri yang menemui kematian di ujung keris itu. Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam hangus!
“Bagus! Pemberontak tua sudah mampus! Sekarang giliran gadis tolol ini menemui ajalnya!” teriak Ki Rawe Jembor.
Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat itu pemandangannya menjadi kabur namun Nawang Suri masih sempat melihat datangnya bahaya maut.
Sambil jatuhkan diri ke tanah gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda dengan batu besar hingga dadanya yang sakit semakin terasa sakit seperti remuk berantakan.
Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan membunuh Empu Soka Panaran.
“Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu mendadak menjadi sunyi sementara pasukan penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
“Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak bagimu! Kau akan kami gantung di tanah lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!” berkata Cokro Ningrat.
“Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis perkara. Semua urusan beres sudah!”
Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor. Raden Cokro Ningrat menyeringai mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju. Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro Ningrat membungkuk dan tusukkan keris Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang Suri.
Saat itulah terdengar satu suitan nyaring. Disusul dengan deru angin laksana topan prahara datang menyambar dari langit malam yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu merasakan tubuh masing-masing bergetar. Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar. Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko Geni hampir terlepas dari tangannya.
Dengan sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit dengan cepat tapi bahu kanannya tampak bengkak besar. Seseorang telah melepaskan tendangan kilat. Masih untung tendangan itu meleset.
“Keparat! Dia lagi!” terdengar teriakan Imo Gantra.
“Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe Jembor.
Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat melihat seorang pemuda berambut gondrong sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan kaki merenggang. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot tampak tersebul barisan tiga angka yang telah menggetarkan rimba persilatan.
“Pendekar 212...” desis Cokro Ningrat. Lidahnya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram embun pagi!
“Aku sudah memberi peringatan pada semua. Kalian di sini. Jangan berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan peringatan itu...”
Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang jelas-jelas menantang dan sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia maju satu langkah dan membuka mulut dengan suara lantang.
“Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa neraka...?!”
“Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu apakah kau bisa menunjukkan jalan ke neraka?!” Habis berkata begitu Wiro Sableng lalu umbar tawa bergelak. Karena suara tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang tinggi maka semua orang yang ada di sana merasakan telinga masing-masing mengiang memekakkan sedang jantung seperti berguncang!
Wiro melangkah mendekati Nawang Suri. “Sahabat, kau tak apa-apa...?” Pendekar ini menegur.
Dalam hatinya sang dara memaki panjang pendek. “Aku sudah hampir mampus dikatakan tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar sableng!”
Walaupun dalam hati memaki, namun entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad dan siap menerima kematian, kini muncul harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu, seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang berkeliling.
Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata, “Jangan harap kali ini kami memberi ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi hidup-hidup!”
“Begitu...?” tukas Wiro. “Kita akan lihat. Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!” Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini gerakkan tangan kanannya kepinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212.
Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
“Manusia tolol!” teriak Wiro. Tubuhnya dirundukkan. Keris Mustiko Geni menukik mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong. Nawang Suri terpekik dan semburkan darah dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa. Orang lain menderita luka seperti itu mungkin sudah pingsan.
Gerakan tangan Wiro untuk mencabut Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu pemandangan yang luar biasa. Dengan masih memanggul tubuh Nawang Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari dua serangan tangan kosong dan satu tikaman keris yang disusulkan oleh Raden Cokro Ningrat.
Tanpa perdulikan keadaan sang dara, Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara. Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang ke bawah perut lawan.
Selagi Cokro Ningrat melompat mundur selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, maka Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung memanggulnya kembali di bahu kanan!
Para prajurit kerajaan yang menyaksikan kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa bahwa pendekar yang mereka kagumi itu adalah musuh besar mereka!
Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap dia telah menggenggam sebilah tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak berkilat.
Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra kemudian tampak pula meloloskan senjatanya dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi pendek yang ujungnya diganduli lima keping mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada kepingan pisau yang bisa menyerang serentak sekaligus pada satu sasaran atau menebar menghantam lima sasaran!
Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212 sudah berada dalam genggamannya. Sinar perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya malam.
“Kalian semua memang minta mampus! Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak Wiro.
Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih menyambar. Rantai besi berpisau lima mata bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu, namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya.
Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di depan dada. Suara seperti ribuan tawon mengamuk terdengar menderu disertai kilauan sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan ngeri.
Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo Gantra sama melompat mundur. Rantai besi berpisau lima bergoyang-goyang. Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni 212.
Melihat tiga lawannya jelas bergeming menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan untuk mundur segera meninggalkan tempat itu karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan. Tetapi celakanya atas perinta Cokro Ningrat, puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak merapatkan kurungan sementara itu Kepala Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat pada dua hulubalang istana.
Bersama Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya menyusun taktik yakni walaupun tampak bergerak berbarengan namun serangan tidak dilancarkan secara bersamaan. Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe Jembor dengan tombak berkepala tiganya. Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang tua ini cepat melompat mundur, begitu hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke depan sambil hantamkan rantai besi bergandul lima pisau berkilat.
Sekali lagi Pendekar 212 babatkan kapaknya untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke dalam kalangan dengan menyusupkan satu tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng. Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai dua sasaran. Pertama memang dada wiro, namun jika terpaksa meleset maka ujung keris akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari Gunung Gede itu!
“Wong edan!” maki Pendekar 212. Terpaksa dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang Suri dan pergunakan tangan kiri untuk melepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk garis lurus lima jari terkembang membuka. Serangkum angin dahsyat menggebu.
Kepala Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada batu besar yang menggelinding menghantam ke arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad menruskan tusukan ke arah kepala Nawang Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret dia terpaksa menarik pulang tusukannya, melompat ke samping menghindari angin pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap dadanya yang terasa sakit dan sesak, di belakang sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang perwira yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat bermentalan.
Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di dekat tembok depan halaman istana, empat orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi. Dua lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul empat kawannya, sementara si perwira terduduk sambil memuntahkan darah kental
Kejadian yang menggemparkan ini membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah. Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan tombak dan lima pisau berantai mereka lipat gandakan dengan pengerahan tenaga dalam penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang dalam gelapnya malam sedang tombak tiga mata mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan.
Ketika Wiro dengan kertakkan rahang memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis dua serangan yang datang, celakanya Nawang Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe Jembor, padahal saat itu dari samping lima pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat sebat tepat membelintang di arah pertengahan lengan Nawang Suri yang memukul!
Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor namun ke dudukannya tidak memungkinkan menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra. Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata.
Namun baru saja dia menggerakkan kapak ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro Sableng benar-benar menghadapi kesulitan yang membahayakan jiwanya!
Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa ber-gelak. “Pendekar sableng! Akhirnya kau harus tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu akan menemui kematian dihantam tusukan tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni.
Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa terancam tapi tetap saja menyahuti dengan nada menantang. “Mana mau aku mati sendirian! Salah satu dari kalian harus ikut bersama!”
Lalu Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk dekat sekali ke wajah pendekar ini. Di saat yang menegangkan di mana Wiro sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasakan ada yang berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya. Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor kuda melenjangkan kaki belakangnya. Justru saat itu terdengar suara seseorang seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
“Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!”
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo Gantra yang seharusnya membabat lengan Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras tadi, tetap saja salah satu matanya sempat mengiris pipi kanan pemuda itu.
Dengan pipi mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul menarik gadis itu dari bahunya. Di samping kanan terdengar teriakan Cokro Ningrat.
“Kejar bangsat penculik berpakaian hitam itu!”
Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga orang kepala regu dan dua orang perwira bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan, dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit kematian. Dari sekian banyak yang melakukan pengejaran, dua orang kembali ke halaman istana. Yang pertama seorang kepala regu, datang terseok-seok karena salah satu tulang kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi perwira berwajah penuh darah karena sebuah matanya tampak pecah!
“Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak hendak mengejar meskipun tangannya masih terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata dengan Kapak Naga Geni 212 tadi.
Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu kawannya ini dan berbisik. “Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki kepandaian seperti dewa!”
“Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra.
“Kataku jangan dimas!” Ki Rawe Jembor Akhirnya membentak. “Kau tahu siapa orang berpakaian hitam itu?!”
Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki. Rawe Jembor. “Kangmas Jembor. Ternyata manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun rencana menumpasnya habis-habisan...”
“Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat ini yang penting adalah menamatkan riwayat pemuda sableng satu ini!”
Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-garuk kepala. Setelah mengusap darah yang keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat tangan kiri seraya berkata, “Orang yang kalian ingin tangkap atau bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku mau pergi...”
Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa gelak-gelak. “Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat kami akan menangkap gadis pemberontak itu. Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih dulu!” berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
“Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali karena senjata rantai berpisau lima miliknya musnah di hantam kappa Naga Geni 212. Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah halaman istana berlobang besar. Bongkahan tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup pemandangan.
“Keparat! Jangan biarkan dia lolos!” teriak Imo Gantra.
Tapi orang-orang di situ tak dapat melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan kanan ke dalam sebuah kantong yang tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika dia memukulkan tangannya ke depan maka berhamburanlah lebih dari selusin senjata rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini melesat di udara hampir tanpa suara dan mengandung racun sangat jahat.
Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu. Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala. Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa di antaranya sempat menerpa anggota pasukan yang ada di dekat situ.
Meskipun mereka tidak terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang jahat membuat merasakan nyeri di seluruh peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karena tak kuat menahan rasa sakit.
Sewaktu tadi menghantam luruh serangan paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus menekan sebuah tombol rahasia pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-merta dari lubang-lubang pada gagang kapak yang berjumlah enam buah mencuat keluar enam buah jarum halus yang meskipun malam masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya menyambar ke arah Imo Gantra.
“Dimas awas senjata rahasia!” teriak Ki Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan pukulan tangan kosong.
Imo Gantra sendiri cepat membuang diri ke samping namun kasip. Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu lalu berteriak agar beberapa orang menolong menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor tidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap bengitu saja?
Wiro Sableng tidak tahu di mana letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri.
Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti tentang orang itu. Yakni dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para tokoh silat istana kelihatannya agak gentar terhadapnya.
Benarkah dia sesepuh kerajaan lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi mempunyai hubungan sangat dekat dengan Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia muncul menyelamatkan gadis itu. Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa Selarong?
Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari dia berusaha mengobati luka pada pipinya dengan obat bubuk yang selalu di bawanya. Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun tampak angker ternyata tidak mengandung racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan pendekar itu menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur.
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah batu-batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa. Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
“Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu luar biasa hingga orang lain tak dapat mendengar. Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud mempermainkan...”
Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
“Gila!” kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya pemuda ini mendapat akal. Dari pada susah-susah mencari mengapa tidak berteriak saja? Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan berteriak keras-keras.
“Resi Mandra Gotama! Aku Wiro, orang yang kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana kau berada!”
Suara teriakan Wiro membahana di lembah batu kapur itu. Bergema panjang berulang-ulang membuat sang pendekar merasa ngeri sendiri mendengarnya. Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
“Sialan!” maki pemuda ini. Dia memutuskan menunggu selama sepeminuman teh di tempat itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu menukik laksana sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap tak kelihatan lagi.
“Aneh...” membatin Wiro. “Bagaimana burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi? Mungkin...”
Wiro Melompat dari duduknya. Lalu pendekar ini lari ke pertengahan lembah, kearah mana tadi dilihatnya burung menukik turun dari udara dan lenyap. Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana sebelumnya dengan pasti tampak burung menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala dan memaki.
Di situ memang terdapat sebuah lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi memang ada dalam lobang itu. Binatang ini segera terbang ke udara ketika Wiro datang lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu ditendangnya.
Tiba-tiba tiga buah lobang seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar. Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan, membawa tombak dan perisai.
Tombak dan perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam ukuran sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa tombak panjang dan perisai besar itu.
“Kalian bertiga keluar dari dalam tanah! Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau manusia benar ?!” bertanya Wiro keheranan.
Anak perempuan di samping kanan tampak membesarkan bola matanya. “Tua bangka tidak tahu peradatan!” Anak perempuan itu membentak. “Sebagai tamu kau tak layak bertanya tapi justru harus memperkenalkan diri!”
“Aha... Ini baru hebat!” seru Wiro lalu dia berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si anak perempuan. Setengah melucu Wiro berkata, “Nah, sekarang kita sama-sama tinggi kawan! Bagaimana pendapatmu?”
Anak perempuan itu tidak menjawab apalagi tertawa. Matanya memandang tak berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit. Terdengar suaranya mendesis. “Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk menerima kematian?”
“Heh...?” Wiro berpaling dan jadi terkejut ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah tegak di samping kanannya dengan ujung tombak hampir melekat di batang lehernya! “Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat gerakannya dan tahu-tahu kini sudah membokong?”
“Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!” Si anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua ternyata juga sudah menodongkan ujung tombak besarnya ke batang leher bagian kiri! “Hai! Apa-apaan ini?!” tanya Wiro Sableng.
Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga dia tidak bisa bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak kecil begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan adu kekuatan.
Namun Wiro tak tega kalau dua anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun hanya diam dan berteriak bertanya. Anak perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
“Lekas katakan siapa namamu. Datang dari mana dan apa kepentinganmu datang ke lembah ini!”
“Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Wiro sambil menyengir. “Namaku Wiro Sableng! Aku barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa diterima?!”
“Soal kau haus atau lapar bukan urusan kami! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa Selarong?” Anak perempuan itu bertanya. Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia memang tidak main-main.
“Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,” menjelaskan Wiro.
“Seseorang siapa? Setan? Hantu... Tuyul? Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak perempuan yang membuat Pendekar 212 mengulum senyum menahan tawa.
“Orang itu bernama Resi Mandra Botama…”
“Ada apa kau mencari resi itu? Urusan baik atau urusan jahat?”
“Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang meminta aku datang.”
Berdasarkan pertanyaan terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro segera maklum bahwa daerah sekitar situ, walaupun dia masih belum melihat adanya goa, pastilah daerah kediaman orang yang telah menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. Hatinya puas dan kini dia akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya.
Maka diapun berkata, “Mengenai urusanku dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!”
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro menyeringai.
“Kami harus menggeledah tubuhmu!” Si gadis tiba-tiba memutuskan.
“Boleh saja!” sahut Wiro. “Tapi buat apa susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru kalian puas!”
“Dan aku juga membawa tiga ekor tikus besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk kalian. Seorang satu!”
“Ih...!” Kini ketiga bocah itu sama-sama menunjukkan sikap jijik.
“Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi Mandra Botama?”
“Kau membawa barang busuk dan kotor. Maksud kedatanganmu terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi dari sini!”
“Begitu? Baiklah. Tapi sebelum pergi aku akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!”
“Ternyata maksudmu memang jahat! Biar kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata begitu si gadis memberi isyarat pada dua kawannya.
Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro segera tusukkan tombak masing-masing ke leher pendekar itu. Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan kiri kanan mendorong keras ke samping, menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental, keduanya tampak jungkir balik, mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu langsung menyerbu. Si anak gadis cilik tak tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
“Hebat!” seru Wiro memuji polos karena kagum melihat gerakan ketiga anak itu. Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat.
Meskipun gerakan tersebut belum disertai kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. Wiro sendiri yang semula hendak melayani secara asal-asalan kini harus bertindak hatihati. Pertama dia tidak ingin mendapat cidera, apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika menghadapi secara sungguhan dan membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi tetap bersikap dengan segala kelucuannya sebagai anak-anak.
Setelah mengelak kian kemari akhirnya Wiro dapat akal. Cara terbaik menghadapi ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat gerakannya. Namun seolah-olah tahu apa yang ada dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah itu pergunakan tameng di tangan kiri masingmasing untuk melindungi diri. Karena jengkel akhirnya Wiro memutuskan untuk menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis itu. Hanya saja sebelum hal itu sempat dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar dari tiga lobang di tanah batu kapur.
“Prajurit-prajuritku! Cukup sudah sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu itu kedepanku!”
Serta-merta tiga anak kecil itu melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya tegak membentuk barisan dan menjura kepada Wiro Sableng.
“Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro sambil usap-usap luka di pipinya. Si gadis kecil menjawab mewakili kawankawannya.
“Junjungan kami ternyata bersedia menemui paman raden. Silahkan mengikuti kami…”
Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa terbahak ketika dirinya dipanggil dengan sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil menunjuk ke lobang yang di tengah seraya berkata dengan sikap hormat,
“Silahkan paman raden. Kita masuk lewat lobang itu...”
“Lewat lobang sekecil itu? Dan masuk ke mana?” tanya Wiro heran.
“Lobangnya tidak kecil!” jawab si gadis.
“Lihat!” Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga lobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika melihat Wiro masih tegak terheran-heran si gadis berkata,
“Bukankah paman raden hendak bertemu junjungan kami. Resi Mandra Botama? Nah, mau menunggu apa lagi?”
“Hemmm... Jadi kau dan dua kawanmu tadi itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro manggut-manggut. “Baiklah. Aku percaya padamu.”
Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat turun ke dalam lobang. Begitu kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya langsung merosot meluncur. Ternyata bagian dalam lobang itu seperti sebuah tabung peluncur yang bagian bawah dindingdindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro tidak dapat melihat apa-apa. Dia mendengar, gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya.
Terowongan di bawah tanah itu cukup panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah ruangan besar berwarna putih yang diterangi banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke dalam ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi, pintu di belakangnya terhempas keras dan menutup.
Dua anak lelaki menyerang Wiro ternyata sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila dihadapan seorang kakek bermuka kelimis lonjong dengan janggut pendek di dagunya. Orang tua ini mengenakan pakaian hitam, berikat kepala dan berikat pinggang kain putih. Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang panjang masih berwarna hitam.
Kakek ini duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau yang kepalanya telah dikeringkan dan menghadap ke arah Wiro dengan mulut menganga. Di belakangnya tampak sebuah pembaringan dimana tampak terbujur sesosok tubuh yang bukan lain adalah tubuh Nawang Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk bersila disamping dua kawannya.
“Junjungan, tamu sudah kami antar kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di ruangan ini atau menunggu di taman...”
“Taman...?” Wiro memandang heran berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan dibawa h tanah itu? Dan dia tidak melihat pintu lain selain tiga pintu yang berhubungan dengan tiga terowongan jalan masuk tadi.
Sang junjungan menganggukkan kepala pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan sangat berwibawa, membuat pendekar kita merasa risih.
“Kalian tetap berada disini sampai urusan kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat pada tamu kita untuk duduk dihadapanku. Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat kehadapannya. Meski merasa tidak enak, Wiro menurut saja dan berkata,
“Nah orang tua. Siapapun kau adanya, saya sudah datang memenuhi permintaanmu. Harap terangkan segala maksud.”
Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit dan sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya kembali serius. “Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di luar lobang...”
“Saya tahu kau adalah Resi Mandra Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro.
Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa diminta dia menjelaskan “Dulu aku adalah pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah beberapa kali kau selamatkan. Untuk semua perbuatanmu itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari ini juga akan kubalas semua jerih payahmu…”
“Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada niat untuk minta balas jasa...” jawab Wiro. Dia memanjangkan leher memandang ke arah pembaringan. “Gadis itu... bagaimana keadaannya?”
“Tangannya yang patah sudah dibalut Luka dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling tidak membutuhkan waktu setengah bulan untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga bulan untuk menyambung kembali tulang lengan yang patah...Kini dia tertidur nyenyak”
“Kasihan dia. Saya sudah berkali-kali menasihatkan agar jangan berlaku nekad...”
“Gadis itu tidak nekad!” memotong Resi Mandra Botama. “Apa yang diperlihatkannya adalah satu keberanian sejati, jiwa satria membela hak dan demi kewajiban!”
Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru berkata memberi pendapat.
“Saya tidak ingin mencampuri urusan kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan. Hanya saja kalau saya boleh memberikan pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya keliru, apapun yang hendak kalian lakukan harus di pikir masak-masak. Keadaan di luar sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian berjuang tapi perjuangan kalian akan sia-sia karena kalian tidak ada beda dengan sebuah perahu kecil menyongsong badai gelombang yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di lupakan saja dan memilih jalan hidup yang tenang tentram?”
Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera pula wajahnya menunjukkan keseriusan kembali. “Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan lupa badai gelombang yang bagaimanapun besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat itulah yang kami tunggu untuk bergerak kembali...”
“Berarti pertumpahan darah tak akan pernah berhenti!” ujar Wiro pula.
“Itu memang sudah aturan kehidupan di dunia...” menyahuti sang resi. Wiro menggeleng. “Kenapa kau menggeleng?”
“Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!” Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya bergetar.
“Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita bicarakan karena hanya akan mengundang perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang melarangmu untuk melakukan apa saja. Tentunya segala akibat dan tanggung jawab berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau lebih baik menerangkan mengapa meminta saya datang ke goa ini…”
“Pertama, seperti kukatakan tadi untuk mengucapkan rasa terima kasih karena kau telah menolong puteri raja kami Nawang Suri. Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah kau bersedia kawin dengan gadis itu?”
Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga mendengar ucapan itu.
“Kau terkejut anak muda?” tanya si orang tua.
“Tentu saja,” jawab Wiro. “Pertanyaanmu gi... aneh!” Hampir saja pendekar ini hendak mengucapkan kata gila.
Tapi sang resi langsung menyambung dengan pertanyaan, “Apa yang menurutmu gila atau aneh?”
“Bagaimana kau enak saja menanyakan hal itu padahal kau bukan orang tua gadis itu...”
“Saat ini kedudukanku lebih kurang sama dengan orang tuanya...”
“Lain dari pada itu, bagaimanapun juga Nawang Suri adalah puteri raja, sedangkan aku hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap orang sinting dimana-mana.
Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa demikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur memanjang, tangan kanan sang resi tahu-tahu sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke lantai. Dia maklum kalau orang tengah mengujinya.
“Anak muda apa bedanya puteri atau putera raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi kau mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan ujar-ujarmu itu...?”
“Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini. Segala sesuatunya tentu ada pengecualian. Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf. Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri"
Resi Mandra Botama menarik tangannya dari bahu Wiro. “Urusan yang satu itu kuanggap belum selesai. Aku memberi waktu satu setengah tahun padamu untuk memberikan jawaban…”
“Ah...kenapa urusan jadi gila macam begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali terdengar si orang tua berkata.
“Anak muda, sementara urusan perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi menolong atau tidak...”
“Apakah itu?”
“Keris Mustiko Geni,” sahut sang resi. "Kini hanya tinggal sarungnya saja yang ada pada kami. Keris nya telah dirampas orang-orang kerajaan. Dapatkah kau membantu mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan itu?”
“Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu permintaanmu saya akan mencoba,” jawab Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Kau sangat kesusu anak muda?” bertanya Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau.
“Maafkan, saya memang harus pergi. Saya gembira bisa bertemu denganmu...”
“Jangan buru-buru pergi dulu, anak muda. Ada sesuatu untukmu!”
“Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan pamrih...”
“Ini tak ada hubungan dengan soal kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata-mata pemberian dariku karena aku suka padamu...”
Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda. Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit harimau di hadapannya. Besarnya sekira setelapak tangan, berbentuk bulat yang berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai sudut runcing sebanyak tujuh buah. Satu berwarna merah satu lagi berwarna putih.
“Ini adalah Sepasang Cakra Dewa.” berkata Resi itu. “Yang berwarna merah Cakra Jantan dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh mengambil yang merah
“Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf, saya tak berani menerima pemberianmu...” kata Wiro seraya membungkuk.
“Jangan membuat aku tersinggung anak muda. Aku tidak bermaksud menyogokmu!” Sang resi tampak agak marah.
“Saya tidak mengatakan demikian atau bermaksud begitu,” sahut Wiro.
“Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila mengenai sasaran atau serangan meleset dia akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya memiliki racun mematikan yang tidak luntur sampai seratus abad. Ambillah yang merah ini. Aku berikan dengan tulus ikhlas...”
Karena Wiro Sableng masih tak mau menerima akhirnya Resi Mandra Botama menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri dan melangkah mundur ke sudut ruangan.
“Kau akan saksikan kehebatan senjata ini, anak muda!" kata sang resi. Lalu sekali tangan kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya bergaung aneh.
Terkejut mendapat serangan tak terduga itu Wiro berseru kaget dan cepat-cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat putus rambut yang melingkar di bawah telinga kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama. Orang tua ini cepat menangkapnya dan memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
“Orang tua, kau hendak membunuhku...” kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar suaranya.
Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh pendekar sepertimu, anak muda,” katanya. Lalu dia memberi isyarat pada ketiga prajuritnya”
Tiga anak kecil yang duduk di sebelah kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke dinding sebelah belakang. Menekan salah satu bagian dinding. Secara aneh dinding itu menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka.
“Selamat jalan anak muda...” kata Resi Mandra Botama.
“Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri. Sekali lagi terima kasih…”
Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro melangkah dulu mendekati pembaringan. Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak itu.
“Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain kali apakah mau meneruskan permainan di lembah batu kapur tadi…?”
“Tentu saja paman raden. Asalkan junjungan kami memberi izin” jawab ketiga anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan dinding belakang dan menutup kembali.
“Aneh... dunia ini memang penuh keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata lobang kediaman Resi Mandra Botama di sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang subur. Jika orang berada di taman itu, tak satupun yang bakal mengetahui bahwa pada samping batu yang tertutup rumput terdapat sebuah pintu rahasia. “Pantas orang-orang Kerajaan tak pernah berhasil menemukan tempat persembunyian ini...”
Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke arah pohon. Menancap tepat di pertengahan batang. Begitu menancap secara aneh senjata ini melejit keluar dan kembali ke arah Wiro.
Cepat-cepat Wiro menangkap benda itu, memperhatikannya penuh kagum lalu menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia hendak melangkah pergi, sekilas dia memandang lagi ke arah pohon yang tadi ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding. Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke daun dilihatnya berubah membiru!
“Racun ganas! Benar-benar ganas!” Pendekar 212 geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.
“Bagaimana keadaannya...?” tanya Ki Rawe Jembor.
Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan gelengkan kepala. Wajahnya murung. “Saat ini kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh aliran darah sampai ke jantung. Kami melakukan beberapa totokan. Ki Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya.
“Kalian bertiga harus menemukan jalan menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang bisa membantu jangan segan-segan minta tolong!”
“Akan kami perhatikan pesanmu itu, Ki Rawe.”
“Apakah kalian ada melihat Raden Mas Cokro Ningrat?”
Dua orang menggelengkan kepala. Orang ketiga menjawab, “Tidak.”
“Baiklah. Rawat sobatku itu baik-baik. Nanti aku segera kembali.”
Keluar dari kamar Ki Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa pasti orang itu tak ada di istana maka dia segera menuju ke tempat kediamannya. Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. Ketika dia hendak meninggalkan tempat itu seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi. Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah bicara.
“Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat. Hulubalang diminta datang menemuinya di satu tempat. Harap mengikuti saya…”
Pelipis Ki Rawe Jembor bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia memegang kendali tertinggi, namun masih ada Patih Wulung Kerso atasannya.
“Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia, bukan ke istana?” bertanya Ki Rawe Jembor.
“Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya diperintahkan saja...”
“Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita sama-sama menemui Raden Mas Cokro Ningrat.
“Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang ju...”
"Plaakkk...!"
Satu tamparan mendarat di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari punggung kuda tunggangannya.
“Sekali lagi kau berani bicara sembrono, kupatahkan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju istana.
Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan. Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke istana. Dia memang tidak suka pada sang patih namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja membuat dia diam-diam merasa kawatir. Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat yang tahu-tahu kemudian mengirim seorang utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini?
Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan Pangeran Purbaya. Pangeran inilah satu-satunya yang berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya berjudi dan menyabung ayam sangat tidak pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa pengganti yang lain?
Belum lagi urusan mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak hal yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu. Disamping tanda tanya besar apakah bala tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu akan muncul kembali di bawah pimpinan Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra Botama?
Lalu kalau pemuda sableng itu ikut-ikutan muncul suasana pasti bertambah tak karuan. Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor memerintahkan tiga puluh anggota pasukan pengawal istana untuk mencari Pati Wulung Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar sang patih ditemui telah jadi mayat dalam kamar penyimpanan barang-barang dan senjata pusaka istana.
Ketika Ki Rawe Jembor datang sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, hatinya tercekat. Sekujur tubuh dan wajah Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman. Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni. Karena hanya senjata itulah satu-satunya yang memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan bencana besar bagi Kerajaan!
Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang berada dan menunggu di halaman istana. Dia berpikir-pikir apakah akan menemui Kepala Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran Purbaya lebih dulu.
Akhirnya Ki Rawe Jembor memutuskan untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran ini berada di ruangan besar istana di mana jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir, pejabat tinggi istana termasuk putra dan putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan lima perwira mengawal ruangan ruangan besar itu.
Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang kursi di mana Pangeran Purbaya duduk. Mendengar bisikan orang tua itu pangeran berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam sebuah kamar mereka mengadakan pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga pengumuman akan disampaikan ke seluruh kerajaan dan upacara resmi tapi singkat akan diadakan di depan jenazah Sri Baginda.
Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki Rawe Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar. Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di mana sebelumnya kedua orang itu berbicara dengan ruangan besar di mana jenazah Sri Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua ratus langkah. Mereka harus melewati gang yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan baru sampai di ruangan besar.
Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba-tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka. Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng kain menghambur keluar. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata yang secara aneh pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata terbungkus ini orang tersebut langsung menyerang Pangeran Purbaya!
Seperti dituturkan. Pangeran Purbaya bukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga dalam atau kesaktian. Karenanya ketika mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan kedua tangan di muka dada.
“Bangsat kesasar!” teriak Ki Rawe Jembor. Dia melompat ke depan menyergap penyerang bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Si penyerang seolah-olah tersentak kaget melihat Hulubalang istana kelas satu ada di situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu berhasil menghindar si penyerang membalikkan diri, masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi dia keluar dan membantingkan pintu di belakangnya.
Ki Rawe Jembor mengejar sambil lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong. Pintu jati yang kokoh itu hancur berkeping-keping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan jendela terpentang lebar. Ki Rawe Jembor mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya kegelapan yang menyambut.
“Hemm...” bergumam Ki Rawe Jembor. “Seseorang menginginkah kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini semakin tidak karuan. Kuto gede jelas-jelas dalam cengkaman bencana…”
Tanpa menutup jendela itu kembali, orang tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan sang pangeran lalu mengantarkannya kembali ke ruang besar tempat Sri Baginda disemayamkan.
Setelah itu dia memanggil perwira-perwira yang bertugas, menceritakan apa yang barusan terjadi dan mengatakan sementara raden Cokro Ningrat belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan mengambil alih tugas pimpinan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat ganda. Keselamatan keluarga istana harus diperhatikan.
“Aku akan meninggalkan istana barang beberapa lama. Kalian atur persiapan penobatan Pangeran Purbaya, termasuk pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat. Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari naik aku pasti sudah kembali!”
Begitu Ki Rawe Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan samping dia pergi menemui utusan Cokro Ningrat yang menunggunya sejak tadi. Di sebelah timur langit mulai tampak terang-terang tanah tapi di tepi hutan yang terletak di sebelah barat Kutogede keadaan masih diselimuti kepekatan menghitam disertai udara dingin yang masih mencucuk.
Tak lama memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah kayu. Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas tampak gelap gulita tapi cii sebelah bawah ada sinar lampu menyeruak di antara celah-celah dinding papan. Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di sampingnya.
“Raden Cokro menungguku di bangunan itu?” tanya si orang tua.
Penunggang kuda disebelahnya mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan dan semak belukar, bergerak mendekati bangunan bertingkat dua.
Tinggal sejarak enam langkah dari dinding bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat atas berdesing belasan anak panah. Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik pohon besar.
“Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja hendak menjebak dan membunuhku di tempat ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan lebih dahulu!” Habis memaki dalam hati begitu hulubalang kelas satu ini berteriak, “Cokro Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa maumu sebenarnya!”
Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba-tiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di tempat itu. Menyusul terdengar seruan bertanya.
“Siapa di luar sana?!”
“Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang jebakan!”
“Ah...!” terdengar suara kaget dari dalam bangunan. “Kami kesalahan! Kami kira kau seorang penyusup!”
Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh tampak tegak di ambang pintu dan melangkah keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali. Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati dia menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke arahnya.
“Cokro! Mengapa Kau menyuruh orang-orang di atas sana memanahku?!” tanya Ki Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan dengan Raden Cokro.
Kami keliru!” Sahut Raden Cokro Ningrat. “Mohon maafmu kangmas Jembor. Sebelumnya aku telah memberi perintah menyerang siapa saja yang mendekati tempat ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku kau dan utusanku itu. Ternyata kau muncul sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa utusanku tidak menemuimu?”
“Orang itu memang menemuiku…”
“Nah, dimana dia sekarang?”
“Sudah kulemparkan ke dalam semak di belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor. “Raden Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!”
“Mari kita bicara di dalam kangmas Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Meski hatinya semakin jengkel namun Ki Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan itu. Tapi tangan kanannya diam-diam tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak bermata tiga yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor memandang sekeliling ruangan. Di situ ada sebuah meja dengan lampu minyak besar di atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker yang duduk di belakang meja. Sekali lihat saja Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga manusia itu.
Yang pertama seorang kakek bermuka tirus. Sebelah mukanya berwarna putih sebelah lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat tumpahan air panas. Namanya Ronggo Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat yang diam di Gunung Merbabu.
Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut buncit. Mukanya bulat berminyak tertutup oleh cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang matanya sangat besar dan berwarna merah. Kepalanya ditutup dengan kain warna merah. Dia membawa senjata secara aneh. Senjatanya yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke leher dan digantung seperti memakai kalung. Inilah Warok Tumo Item, raja diraja kaum perampok yang malang melintang di seantero Jawa Tengah dan bermukim di sebuah hutan di kaki tenggara Gunung Sumbing.
Lelaki ketiga bermuka bopeng. Kedua matanya yang besar tampak menyeramkan karena ada lapisan putih yang menutupi bagian bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia mengenakan rompi tak berkancing hingga dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di lehernya tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
“Raden Cokro... tidak sangka kalau kau ternyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata Ki Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak. Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
“Bukan hanya kenal kangmas Jembor. Justru mereka adalah kawan-kawanku sejak lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan begitu para sobat?”
Warok Tumo Item menyeringai mendengar ucapan Cokro Ningrat. Lonceng Maut mengangguk. Sebaliknya Ronggo Sampenan hanya diam saja.
“Tak usah sungkan-sungkan kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam ini kita akan mengadakan perundingan penting. Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus diambil cepat. Sebelum matahari muncul di timur...”
Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak enak... Dia berkata, “Aku memang tak punya waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana. Banyak masalah yang harus kita pecahkan...”
“Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah yang kita hadapi saat ini justru paling penting. Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan kerajaan…”
Hulubalang istana itu menatap paras Raden Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang kosong. Walaupun matanya masih tetap menatap Raden Cokro namun ekor matanya melirik ke sudut ruangan di mana tergantung sehelai kain berwarna gelap, berukuran pendek dan berbentuk aneh.
“Silahkan kau memberi keterangan akan maksudmu Raden Cokro,” kata Ki Rawe Jembor.
“Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan pemberontak berhasil kita hancurkan dan Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup. Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut-larut, bencana besar akan muncul! Karena itu perlu segera diangkat seorang pimpinan baru. Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…”
“Hal itu sudah kusadari benar Raden Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor.
“Aku bersyukur dan merasa gembira kalau kangmas menyadari hal itu. Karenanya, mengingat Keris Mustiko Geni berhasil ku amankan saat ini berada di tanganku, aku tidak merasa sungkan untuk mengatakan bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan akan segera penobatan diriku sebagai raja…”
Ki Rawe Jembor terkejut bukan main mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau memperlihatkan rasa terkejutnya pada air mukanya.
“Kau tak memberi jawaban apa-apa kangmas...” berkata Cokro Ningrat seraya melayangkan pandangan berarti pada Ronggo Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng Maut.
“Niatmu untuk mengatas namakan keselamatan kerajaan patut kupuji Raden Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni lambang tahta kerajaan ada di tanganmu, namun menurut garis silsilah yang berhak menjadi raja adalah Pangeran Purbaya...”
“Pangeran Purbaya?!” Membuka mulut dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Pemuda tolol berotak miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat Kuto gede!”
“Kangmas Jembor, kau dengar sendiri pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku jadi raja?”
“Lagi pula,” ikut bicara si muka bopeng Lonceng Maut. “Mengapa kita harus meributkan soal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan gila…”
“Betul sekali,” kata Cokro Ningrat. “Aku percaya kangmas Jembor akan berada di pihak kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala Pasukan Kerajaan akan kuberikan pada kangmas"
Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus terang dia tidak suka sejak lama terhadap Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu sehubungan dengan kematian Patih Wulung Kerso dan adanya usaha penyergapan dan pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
“Apakah Raden mengetahui kalau Patih Wulung Kerso telah meninggal dunia?”
“Astaga? Bagaimana hal itu bisa terjadi?!”
Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya tampak tenang-tenang saja.
“Dia tewas dibunuh seseorang yang mempergunakan senjata sakti!”
“Pembunuhan lagi!” seru Raden Cokro seraya berdiri dan menggebrak meja dengan tangan kirinya. “Apakah sudah diketahui siapa pembunuhnya?”
“Saat ini memang belum. Tapi nanti juga bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Nah, kangmas lihat sendiri betapa kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas ditangani bencana besar akan menimpa Kutogede…”
“Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe Jembor.
“Kalau begitu kangmas saya mintakan tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan kuserahkan padamu untuk mengaturnya.”
“Hal itu tak mungkin dilakukan Raden. Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah dinobatkan jadi raja.” Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari kursinya.
“Kalau begitu...” terdengar suara Lonceng Maut berkata sambil permainkan lonceng kuning yang tergantung di lehernya. “Sudah saatnya kita harus menyerbu istana sekarang juga!”
“Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!” kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya berdiri dan melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu, sampean mau pergi ke mana?” bertanya Ronggo Sampenan.
“Aku akan kembali ke Kutogede.”
“Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah dibuka Hulubalang istana itu.
Lonceng Maut, Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil sikap mengurung.
“Kurasa aku tidak menyinggung siapapun. Aku hanya minta jangan ada yang melakukan hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus padamu Raden Cokro, kuharap kau suka mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku. Senjata itu harus berada di istana.”
Raden Cokro Ningrat tersenyum. “Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!” katanya. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini terbungkus kain.
Melihat hal ini berubalah paras Ki Rawe Jembor. “Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi mencoba menyergap dan membunuh Pangeran Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti kau bungkus dalam kain agar tidak mudah diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!”
“Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam. Sudah mengetahui begitu mengapa masih bersikap tidak bersahabat?!” berkata Lonceng Maut.
“Kalau kami tidak segan-segan membunuh seorang calon raja apa artinya nyawa manusia sepertimu!” menimpali dukun jahat Ronggo Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau dari dalam kantong pakaiannya dan mulai mengunyahnya.
Ki Rawe Jembor maklum kalau orang ini memang suka mengunyah tembakau. Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu kerap digunakan sebagai senjata. Bila di sembur dapat menghancurkan bagian tubuh manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan buta.
“Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke istana.” Raden Cokro berkata sedang tangannya menahan daun pintu hingga Hulubalang utama kerajaan itu tak dapat membukanya.
“Kita berada di pihak yang berlainan Raden. Beri aku jalan. Buka pintu itu...”
Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk maka Lonceng Maut membuka mulut, “Tak perlu kita meminta seperti pengemis pada manusia tak berguna ini!”
“Betul!” Menimpali Ronggo Sampenan. “Jika dia tak mau tinggal bersama kita, biar nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!”
Habis berkata begitu dukun jahat ini semburkan tembakau di dalam mulutnya ke arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat di atas kepalanya, menancap di dinding papan. Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan.
Meleset dan angin pukulan melabrak meja hingga terguling dan ambruk berantakan. Lampu minyak di atas meja ikut terbalik segera membentuk kobaran api. Perkelahian pecah sementar bangunan di mana mereka berada mulai ikut terbakar.
Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor namun menghadapi empat lawan tangguh begitu rupa, dalam keadaan tubuh penuh luka, memar dan menghitam akibat racun Keris Mustiko Geni, akhirnya dia menemui ajal. Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu itu.
Menjelang pagi. Sang surya masih belum terlihat menyembul meski langit di sebelah timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan besar istana satu upacara besar siap dilangsungkan. Yakni penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih Wulung Kerso.
Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi besar berukir kepala harimau pada dua lengannya dan burung garuda pada sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak mengapit masing-masing seorang perwira berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan tameng dan tombak sedang pedang tersisip di pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret para pejabat dan petinggi kerajaan.
Sedang di belakang kursi Pangeran Purbaya duduk ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi serombongan pemain gamelan menembangkan lagu-lagu sedih.
Suara gamelan berangsur perlahan dan akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul keluar seorang gadis membawa baki emas, melangkah setindak demi setindak menuju tempat duduk Pangeran Purbaya. Di sampingnya mengawal empat prajurit. Menyusul dua orang tua berjubah putih. Keduanya adalah pejabat-pejabat Istana paling tua yang di percayakan utuk memimpin upacara penobatan itu.
Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak sehelai kain merah putih terlipat rapi yang berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di atas kain inilah terletak mahkota emas bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di sudut ruangan menyerukan kata-kata puji syukur dan Tuhan Yang Maha Esa.
Gadis pembawa mahkota sampai di hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh rombongan dia menjura membungkukkan diri sementara semua yang hadir di ruangan itu telah berdiri. Dua orang tua berjubah putih maju ke depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan tangan menyentuh mahkota sedang yang sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang,
“Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan Yang mempunyai semua kekuasaan di..."
Kata-kata itu terputus mendadak karena dari ruangan sebelah depan istana tiba-tiba menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah langsung menyambar mahkota yang ada di atas baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan terdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut terpelanting.
Tentu saja suasana menjadi gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di kursi besar. Dua orang perwira yang mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang ke depan. Salah seorang ayunkan tombak sambil membentak,
“Rampok-rampok dari mana yang berani berbuat kurang ajar! Menganggu jalannya upcara penobatan!"
“Tranggg…!”
Tusukan tombak tertahan oleh sambaran golok bermata dua. Tombak itu patah dua sedang sang perwira kemudian terdengar menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini menancap di perutnya!
“Kami bukan perampok!” salah satu dari tiga orang yang menerobos masuk berteriak seraya melompat ke atas sebuah meja. “Kalian semua dengar! Kami datang untuk menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh berada di mana-mana. Acara penobatan ini tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani menantang nasibnya akan sama dengan perwira itu!”
Sesaat suasana menjadi hening seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara. Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi sia-sia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu menyingkir dengan suara gaduh. Belasan pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari ruangan.
Orang yang tegak di atas meja kembali berteriak. “Kalian semua tetap di tempat! Kalian...”
Sebatang anak panah melesat dari arah jendela di samping kanan, mengarah ke dada orang yang tegak di atas meja. Namun dengan hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah jendela. Di belakang jendela terdengar suara memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang perwira yang tadi melepaskah panah itu menemui ajalnya.
Orang di atas meja berteriak sambil berkacak pinggang. “Ada lagi yang hendak coba membokong?!”
Suasana kembali sunyi tapi ketegangan semakin memuncak. Siapakah tiga manusia yang barusan muncul mengacaukan jalannya upacara besar di istana itu? Mereka bukan lain adalah Warok Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
“Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang raja gagah perkasa! Yang akan melindungi kerajaan dari bencana keruntuhan dan peperangan..."
Lalu Lonceng Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana. Di situ tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah menuju kursi besar di ruangan upacara. Di tangan kanannya dia menggenggam Keris Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah, keris sakti mandraguna lambang tahta kerajaan yang telah merenggut sekian banyak jiwa.
Warok Tumo Item yang tegak memegang mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro sampai di hadapannya segera meletakkan mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat itulah dari dalam menghambur seorang perempuan sambil berteriak.
“Manusia-manusia rendah! Pengkhianat busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng ratu ibunda Pangeran Purbaya.
Entah bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat aman, dia berhasil meloloskan diri. Dan kini dia menghambur ke arah Raden Cokro sambil menghunus sebilah pisau besar. Ronggo Sampenan cepat datang menyongsong dan mendekap perempuan itu.
“Semua orang dengar!” teriak ibunda Pangeran Purbaya. “Jangan berdiam diri saja! Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia pengkhianat itu! Mereka bukan hendak menyelamatkan kerajaan. Tapi perampok-perampok bejat!”
Seperti mendapat semangat maka sejumlah pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga kambratnya. Namun semua itu tentu saja merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang singkat ruangan besar Istana itu telah berubah menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan dimana-mana. Darah membasahi dinding dan lantai. Suara pekik kematian dan erangan mereka yang meregang nyawa membuat tempat itu seperti neraka.
Permaisuri yang malang itu terbaring di tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan walaupun kedua matanya telah belut dan merah karena terus-menerus menangis sehari semalam.
“Tak pernah kusangka nasib kita akan seburuk ini, Purbaya” terdengar suara perempuan itu di antara isakannya.
Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di sudut ruangan batu yang merupakan penjara itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya tampak kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak berdarah.
“Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua ini. Entah bagaimana pula dengan nasib saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro benar-benar manusia setan...”
Pangeran Purbaya menghela nafas dalam. “Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah, ibunda...” katanya kemudian.
Sang ibunda bangkit dari tidurnya da menatap tajam pada putranya. “Ucapanmu hanya menunjukkan kelemahan hatimu. Seorang putra mahkota tidak boleh berkata seperti itu…”
Purbaya gelengkan kepala. “Saat ini aku bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah jadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam waktu dekat kita akan menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang berkuasa pasti akan menggantung kita cepat atau lambat.
Mendengar kata-kata puteranya itu sang permaisuri semakin keras tangisnya. “Kita tidak tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja ke dalam jurang...”
Terdengar rantai pintu besi ruangan batu itu digeser orang. Sesaat kemudian pintu terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi tidak masuk secara wajar karena tubuh keduanya kemudian dibantingkan ke dinding hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan itu muncul orang ketiga yang membuat baik Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat berdiri.
“Mengapa kau berada di sini! Bukankah kau orangnya yang membantu gadis pemberontak itu?!”
Orang yang dibentuk menyeringai. “Kau benar Pangeran, dulu aku membantunya karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi buta ini aku datang kemari untuk menolongmu.
“Jangan percaya pada pemuda gila ini, Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.
“Memang siapa yang percaya padamu. Kau tidak lebih baik dari empat keparat yang kini menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai dedengkotnya!”
“Dengar kalian berdua. Kita tak punya banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah kereta yang akan membawa kalian ke satu tempat. Dari tempat itu akan disebar pengumuman bahwa kalian berdua masih hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal ini maka urusan dengan empat manusia keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta berkahNya, kau akan mendapatkan tahta Kerajaan yang menjadi hakmu itu... Tapi aku ada syarat…”
Ibu dan anak saling berpandangan. Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda gondrong yang ada di hadapan mereka, yang bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Sampai saat ini orang-orang itu masih terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Mari!”
Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini seperti memberi semangat pada sang pangeran. Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap di bawah istana dan akhirnya sampai di tembok timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat sebuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan berlima mereka menyelinap menuju kereta yang telah menunggu di luar tembok.
Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika diamati ternyata orang ini adalah Imo Gantra, bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih berada dalam keadaan lumpuh akibat hantaman jarum.
“Sebelum menyusup ke tempat tahanan kalian, aku berhasil menemukan dia dan membawanya ke dalam kereta lebih dulu. Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku mengikat sebuah syarat…”
Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran Purbaya bertanya, “Apa syarat yang kau maksudkan itu...?”
“Syarat enteng saja. Kalian kubantu mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris Mustiko Geni akan kubawa...”
“Mana mungkin begitu!” tukas ibunda Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur dengan cepat. “Keris itu adalah lambang ikatan tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja...”
“Jangan tolol!” jawab Wiro. “Jika seorang jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata itu, apakah dia bisa jadi raja?!”
Ibu dan anak terdiam. “Apa perjanjianmu dengan paman Imo Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya.
“Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau tidak dengan syarat tadi...”
“Aku setuju saja!” jawab Pangeran Purbaya tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka mulut namun akhirnya memutuskan untuk tidak membantah.
“Nah, perjanjianku dengan orang tua bermuka cekung ini ialah, aku akan mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di tubuhnya. Setelah sembuh dia harus membantuku menggasak empat keparat yang sekarang bercokol di istana!”
“Kau telah mencelakainya, apakah paman Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya Pangeran Purbaya.
Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo Gantra. Suaranya perlahan saja karena tubuhnya yang lumpuh memang berada dalam keadaan lemas. “Aku memang sudah menyetujui syarat pemuda gila itu…”
"Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu baik-baik...”
Tapi ibunda Pangeran Purbaya masih belum puas. Dia bertanya. “Setelah kau mendapatkan Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau lakukan dengan senjata itu?”
“Akan kuberikan pada seseorang. Tapi jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk menambah noda darah dalam Istana…”
“Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia memang aneh. Terus terang sebenarnya aku tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi perjaka yang bisa keluyuran ke mana-mana...”
“Anak tolol!” bentak bekas permaisuri ketika mendengar ucapan puteranya itu. “Sekali lagi kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu Purbaya!”
Wiro tertawa lebar dan berkata, “Bagaimana pun, tidak sopan menampar seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar. “Kita hampir sampai...” katanya.
Meskipun lobang tempat jarum menyusup sangat kecil dan hampir tertutup, namun dengan keahliannya Wiro Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo Gantra.
Kemudian Wiro kerahkan tenaga dalam untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling susah. Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi keringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari dalam keluar seperti memukul atau melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung ajian kesaktian.
Hal itu sudah lumrah bagi seorang jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu dipergunakan secara berkebalikan yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau menyedot. Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum senjata rahasia yang sebelumnya dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini tampak melekat pada badan kapak, berwarna merah karena terlapis darah.
Di atas lantai tanah yang dialasi jerami, Imo Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang tadinya lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia mencoba duduk dan berhasil.
“Makan ini...” kata Wiro seraya melemparkan obat berbentuk butiran. Imo Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu.
“Kalian sudah siap?” tanya Wiro.
“Kami akan pergi sekarang.”
“Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu kembali kemari, tapi langsung bergabung dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihak kita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh Pangeran Purbaya...!”
Dua prajurit itu menjura. Keduanya naik ke punggung dua ekor kuda yang membawa masing-masing sekantong besar surat selebaran berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di tempat yang aman. Orang-orang yang telah merampas takhta secara paksa akan mendapat hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan yang setia pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri diminta bersiap-siap untuk menyerbu istana.
Sambutan rakyat terhadap surat selebaran itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali. Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada yang bertindak sebagai pimpinan, namun berbagai senjata di tangan,dalam jumlah ratusn bahkan ribuan berbondong-bondong menuju Istana.
Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal istana yang melihat kejadian ini segera bersiap siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam, tetapi sebagian besar di antara mereka justru banyak yang menyeberang dan bergabung, disambut dengan tempik sorak gegap gempita oleh rakyat.
Di dalam istana, di mana Raja dan tiga konconya masih saja asyik berpesta pora, seorang prajurit datang menemui Warok Tumo Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi di luar istana. Lalu kepada Warok itu diserahkannya surat selebaran yang banyak bertebaran di kalangan rakyat sampai ke pelosok-pelosok Kutogede.
Oleh Warok Tumo Item, surat tersebut diperlihatkannya pada Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat. Cokro Ningrat meneguk dulu segelas minuman keras, pemandangannya berkunang-kunang tapi dia masih dapat membaca apa yang tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca dia tertawa mengekeh.
“Hanya sebuah surat edan! Apa yang ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu tak punya kekuatan untuk melakukan apapun. Apalagi hendak menyerbu kemari…”
"Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah siap dengan senjata di tangan!” kata Warok Tumo Item.
“Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh semua mereka yang berani melawan!”
“Betul! Bunuh semua!” Yang bicara adalah si bopeng Lonceng Maut yang duduk berdampingan dengan dukun jahat Ronggo Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama terpengaruh oleh minuman keras.
“Kalian bertiga enak-enakan di sini berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang melakukan!” Lalu Warok Tumo Item memanggil seorang perwira dan memerintahkan.
"Tak mungkin dilakukan Warok...” kata sang perwira. “Balatentara yang masih ada di istana tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain sudah menyeberang ke pihak musuh…”
“Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat senjata dan usir para perusuh itu. Kalau mereka melawan cincang saja!” bentak Warok Tumo Item.
Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana. Ternyata ada dua puluh satu orang yang bisa dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di luar istana, mereka bukannya menyerang melainkan bergabung dengan rakyat.
Praktis tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya dan petugas-petugas dalam istana pun satu demi satu meninggalkan tempat itu karena kawatir mendapat celaka bila penyerbuan terjadi.
“Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota emas tak pernah ditanggalkan sejak saat pertama diletakkan di atas kepalanya.
“Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil memandang berkeliling.
“Tapi masih ada dua orang gila di sini!”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan besar. Serentak keempat orang itu sama palingkan kepala... Dan di situ mereka melihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan sedang Imo Gantra mencekal dua golok besar di tangan kiri dan kanan.
“Dua orang gila kesasar!” teriak Cokro Ningrat.
Meskipun terpengaruh oleh minuman keras namun tiga orang lainnya yang berada bersama sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut segera loloskan loncengnya yang tergantung di leher. Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat loloskan golok bermata duanya.
Sedang Ronggo Sampenan keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah tembakau itu sementara tangan kirinya memegang seutas tali aneh sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris Mustiko Geni dari pinggangnya.
“Jika kalian mau menyerah secara baik-baik, kerajaan akan mengampunkan semua kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan maka bersiaplah untuk mati!”
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
“Dia menyebut-nyebut kerajaan. Kerajaan yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro Ningrat. Lalu sambungnya, “Apakah kalian tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta ampun. Mungkin aku masih bersedia mengambil kalian berdua menjadi jongos dan perawat kuda!”
Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak. “Kita serbu saja mereka sekarang. Selagi masih dipengaruhi minuman keras...”
Berbisik Imo Gantra. "Tenang saja. Siapa di antara mereka yang berbahaya?” balas berbisik Wiro Sableng.
“Si muka bopeng itu. Senjatanya yang berbentuk lonceng bisa mengganggu pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru itu. Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya. Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang penting hati-hati terhadap Cokro Ningrat. Dia memegang Keris Mustiko Geni"
“Kalau begitu dia yang harus kita bereskan lebih dahulu!” kata Wiro pula. Tangan kirinya bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama. Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk menjajal kehebatan senjata itu.
“Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!” ujar Imo Gantra ketika dia melihat apa yang ada di tangan kiri Wiro Sableng. “Dari mana kau dapatkan senjata itu?!”
“Bukan saatnya untuk bercerita...”
“Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar mereka satu per satu?!”
“Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!” ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat orang itu. “Jadi kalian tak mau menyerah? Dan memilih mampus percuma?”
Cokro Ningrat tegak dari kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat. “Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah.
“Diberi susu minta racun! Terimalah ini!” balas membentak Wiro. Tangan kirinya bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan suara bergaung menyambar ke arah Cokro Ningrat.
Percuma pada kekuatan Keris Mustiko Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat disertai hawa panas menebar. Cakra dewa tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar dari Keris Mustiko Geni membuat senjata itu mengapung ke atas namun selewatnya sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik.
Cokro Ningrat membentak marah dan cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan hingga membentuk lobang besar dan berubah warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu seperti hendak tenggelam menembus tembok, namun di lain kejap melesat kembali ke arah Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum-kagum melihat kehebatan senjata itu hampir terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendang-gendang telinga hendak mau robek dan jantung berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo Sampenan keluar semburan tembakau menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra.
Lalu menyusul sambaran tali merah yang dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara, terdengar suara petir menyambar disusul dengan memerciknya api di ujung tali! Warok Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan tiga tokoh silat itu.
“Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!” ujar Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si kakek muka cekung yang jauh lebih tua dari padanya.
Imo Gantra memang sudah siap menunggu. Dua golok di tangannya kiri kanan menderu membentuk dua lingkaran besar. Satu menyabung ke arah semburan tembakau Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi serangan golok tunggal Warok Tumo Item. Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu mendengar suara lonceng merobek telinga masing-masing, keduanya segera menutup indera pendengaran dengan aliran tenaga dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi tidak menyakitkan lagi.
“Bangsat-bangsat rendah! Kalian minta mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.
Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro Sableng segera menyongsong. Tapi untuk membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini tersentak kaget ketika suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk yang keluar dari senjata lawan menindih kehebatan lonceng kuningnya.
Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar. Ketika dia nekat merangsek terus sambil hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah tarik pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut Naga Geni 212 membalik menyapu setengah lingkaran.
“Edan!” teriak si bopeng ketika dia merasakan ada sinar putih perak menyambar panas luar biasa. Kalau dia tidak lekas bertindak mundur, perutnya sudah kena disambar mata kapak.
"Kleneng...!"
Longceng di tangan orang itu terbelah dua. Satu belahan mental dan menancap di loteng ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa dilepaskan karena loncengan itu seperti telah berubah laksana bara api akibat aliran panas yang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak melepuh!
Kejadian ini cukup membuat Lonceng Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua kali apakah dia akan terus melanjutkan perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo Item. Namun karena kepala rampok ganas itu berdua dengan si dukun jahat Ronggo Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra untuk melayani keduanya sekaligus.
Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak seperti hendak melemparkan Cakra Dewa. Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke depan untuk melindungi diri. Namun gerakan Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan lemparan.
Cakra Dewa membeset di udara. Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya, kemudian melesat kembali, membalik ke arah Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian bibir tampak membiru.
Itulah jahatnya racun Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni lepas dari genggamannya. Mahkota emas tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah kaki Wiro. Dengan tangan kirinya Wiro mengambil mahkota sedang tangannya cepat memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hati-hati keris tak bersarung itu diselipkan ke pinggang sedang mahkota emas dikenakan seenaknya di kepalanya.
“Kami menyerah!” teriak Ronggo Sampenan ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan membuang goloknya namun nasibnya malang. Gerakannya yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo Gantra.
Ketika golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung. Darah mengucur membasahi lantai. Kedua tangan Warok Tumo Item menggapai-gapai ke udara seperti berusaha berpegangan pada sesuatu. Tapi dia hanya memegang angin. Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, tapi belum sempat menyentuh kursi itu tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan terkapar di tanah.
Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini. Sementara itu di luar istana terdengar suara gegap gempita. Ratusan orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran Purbaya bersama ibundanya. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu tinggalkan ruangan ini dan menyongsong Pangeran Purbaya di tangga istana.
“Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku minta diri sekarang…”
“Apakah kau sudah mendapatkan Keris Mustiko Geni?” tanya sang pangeran.
Wiro mengangguk sambil menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran Purbaya dan ibunya. Ketika dia hendak berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru,
“Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni. Jangan ambil pula mahkota emas ku!”
Wiro tersentak kaget. “Astaga! Mohon maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!” kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota yang masih berada di kepalanya.
Orang banyak tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang pangeran lalu berkata, “Pendekar, kau tidak kami izinkan pergi. Kau harus menetap di Kutogede karena kami memutuskan untuk mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan Kerajaan!”
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. “Terima kasih atas kepercayaanmu Sri Baginda. Tapi...” Wiro goyang-goyangkan tangan kanannya. “Itu tidak termasuk dalam perjanjian kita sebelumnya!” Lalu sekali berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan rakyat yang berkerumun di tempat itu.
“Pemuda itu aneh, kadang-kadang menjengkelkan!” ujar Pangeran Purbaya. “Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia menyebutku Sri Baginda...”
“Ya, dia memang seperti sinting. Tapi hatinya polos!” Memuji sang ibunda.
“Tiba-tiba seseorang berteriak. “Gotong raja kita ke singgasananya!”
Lalu puluhan manusia bergerak berebutan untuk menggotong Pangeran Purbaya dan mendudukannya di atas kursi besar. Imo Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
SATU
KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali.
“Turunkan aku di sini!” teriak gadis di atas panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tenang sajalah dan jangan banyak bicara. Berhenti di tempat ini masih cukup besar bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!”
“Aku tidak takut pada mereka!” sahut Nawang Suri.
Dia adalah gadis yang baru saja diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di atas bahu sang pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok sementara tangan kanannya patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata, “Jika kau tak mau menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!”
“Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?” bertanya Wiro.
Semula Nawang Suri tak mau menjawab. Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia menerangkan, “Aku harus menemui pasukanku di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah kubunuh, tapi sebelum tahta berada di tanganku belum puas hatiku!”
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon besar.
“Lepaskan totokanku!” meminta Nawang Suri.
Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk menjelepok di tanah di hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata mereka saling memandang tak berkedip.
“Seumur hidup baru kali ini aku menemui gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula.
Ucapan itu membuat sang dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras. “Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta kerajaan yang mereka rampas! Demi masa depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!”
“Siapa bilang aku menghalangi!” sahut Wiro sambil garuk kepala. “Kau sudah membunuh raja! Apa itu tidak cukup?!”
“Memang tidak cukup! Tujuan utamaku adalah tahta kerajaan!”
“Mungkin itu memang belum jadi rejekimu.
“Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak...”
“Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
“Jangan bersyair di depanku!” bentak Nawang Suri.
Wiro menyeringai kecut. Dan berkata, “Dalam keadaan terluka begini, tangan patah, kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja. Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta panglima perang yang tangguh?”
“Aku dan orang-orangku memiliki semangat...”
“Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup untuk memenangkan peperangan.
“Pemuda tolol macam mu mana tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi pelajaran dan latihan untuk perang!”
“Tapi kau bukan mau perang!” kata Wiro dengan pandangan mengejek.
“Maksudmu aku ini mau apa?”
“Mau bunuh diri!”
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli atau menampar Wiro Sableng saat itu.
“Bunuh diri atau apapun aku tak takut mati...”
“Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya berdiri dan pura-pura hendak pergi.
“Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
“Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau dijadikan mangsa mereka!” Lalu Wiro melangkah.
“Hai! Jangan tinggalkan aku!” seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
“Nah, nah... Kau harus begitu. Harus mengikuti apa yang aku bilang.
“Tapi kau bukan ayah atau majikanku! Jangan anggap budi pertolonganmu membuat dirimu merasa berkuasa atas diriku!” kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
“Apa untungku menguasaimu...?”
“Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa kau melarikan diriku?”
“Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya menelungkup sama rata dengan tanah.
“Jangan keluarkan suara” bisik Wiro yang mendengar suara orang mendekat.
Baru saja pendekar itu selesai bicara, dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan dan berhenti sejarak beberapa langkah dari pohon besar di mana mereka sebelumnya berada.
“Heran!” terdengar salah seorang pendatang berkata pada temannya. Dia mengenakan pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan kanannya ada sebilah golok besar. Wiro maupun Nawang Suri segera mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
“Aku yakin sekali mereka pasti kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak menemukan keduanya?! Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa beban sosok tubuh gadis pemberontak!”
Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
“Bagiku sama sekali tidak mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya. Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang aku tak percaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!”
“Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke dalam istana.
“Ya, akupun melihat. Gerakannya agak mencurigakan”
“Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia tak lebih dari seorang penjilat nomor satu! Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!”
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di balik rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
“Kenapa tidak kau hantam kedua bangsat itu?”
Wiro geleng-gelengkan kepala dan menjawab, “Aku tak punya permusuhan dengan mereka.”
“Gila!”
“Eh, siapa yang gila...?” tanya Wiro melotot tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Kowe!” sahut Nawang Suri setengah berteriak.
Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Hanya orang gila yang masih bisa ketawa dalam keadaan seperti ini...!” menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air muka sangat jengkel.
“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?”
“Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku harus bergabung dengan pasukanku sebelum terlambat!”
“Benakmu masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas dengan kematian raja yang tanganmu sendiri membunuhnya?!”
“Tidak!” jawab Nawang Suri.
“Nawang Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah, kau akan celaka!”
“Biar, aku memang sudah celaka!” suara sang dara tersendat lalu terdengar sesunggukannya.
“Eh, tidak kusangka dara dengan hati sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga menangis...” ujar Wiro Sableng menggoda.
“Pemuda edan! Aku bersumpah menampar mulutmu seratus kali!”
“Sumpah edan!” tukas Wiro. Lalu dia beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
“Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang hendak kau perbuat?!”
“Pertama, aku akan menolong mengobati lengan kananmu yang patah. Setelah itu totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu... terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan pergi!”
Lalu dengan gerakan cepat, yang membuat Nawang Suri terpekik. Wiro Sableng merobek ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan kain.
“Beres...” ujar Wiro. Lalu tangannya bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal leher Nawang Suri beberapa kali mengurut gadis itu merasakan totokan yang membuat tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
“Nah, kau sudah bebas sekarang,” kata Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-dekat ke hadapan sang dara.
“Pemuda gila! Apa mau mu...?”
“Eh, bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali? Mengapa tidak segera kau lakukan?!”
Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya siap untuk menampar. Namun tamparan itu tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak kuasa untuk melakukan hal itu.
“Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Wiro.
“Benci itu ada dua arti...” terdengar suara sang pendekar. “Benar-benar benci atau benar-benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?”
“Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga ceriwis! Siapa yang cinta padamu!”
Habis berkata begitu Nawang Suri dorong dada si pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu? Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Kuto Gede saja.
DUA
Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu bintang itu seperti dikejar setan, karena memang dia harus sampai di lembah sebelum tengah malam. Namun gadis itu terperangah ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia dapati hanya bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu.
“Celaka, aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran berada di antara mereka...?” Nawang Suri berpikir sesaat. “Aku harus kembali ke Kotaraja...” katanya dalam hati mengambil keputusan.
Lalu kuda yang sudah letih itu diputar dan dibedalnya menuju ke utara. Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan pasukan yang akan menyerbu istana, lalu mencari dan mendapatkan kembali Keris Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya.
Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta kerajaan dirampas, Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh Empu Andiko Pamesworo. Mereka bersembunyi di sebuah pondok kayu di hutan dekat teluk yang sangat sepi.
Di tempat itu sang Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo menyusun perebutan kekuasaan. Dengan mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur untuk mendekati orang-orang penting istana. Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing akan segera dihabisi.
Sasaran paling utama dan paling penting tentunya adalah Sri Baginda sendiri. Dengan berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar sang dara dan berhasil menghadangnya di daerah pesawahan.
Dengan keris sakti di tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang Datuk berhasil membuat mental keris di tangan Nawang Suri. Penyamarannya terbuka. Nyawanya terancam. Saat itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko Geni sempat pula terhindar dari rampasan Datuk Tongkat.
Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti orang kurang waras itu membuat Nawang Suri tidak mempercayainya. Dara itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede. Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-barang perak dengan memakai nama Gama Manyar.
Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota raja. Orang yang pertama menjadi korban adalah Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di sebuah telaga sepi.
Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri sengaja datang melayat. Perangkap mereka mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara. Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran. Maka diatur gerak cepat.
Sementera Nawang Suri dibawa ke istana malam harinya, sang Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang Suri, Datuk Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum pemberontak.
Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka sementara Datuk Tongkat menemui ajal di tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri melihat tak ada jalan lain dari pada harus membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah, ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya menyongsong kedatangannya di tangga istana Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu juga!
Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi bulan-bulanan, ditangkap hidup atau mati sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede. Beberapa orang perwira termasuk kepada Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak memisahkan diri ketika melihat patih Wulung Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua.
Kejadian yang serba cepat ini masih sempat terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia hendak mengajak kambratnya Imo Gantra untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri. Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan khusus di mana disimpan barang-barang dan senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia mencari sarung keris yang dapat dipergunakan untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang dan masih berlumuran darah Sri Baginda. Karena di situ memang banyak disimpan berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang patih telah mendapatkan sarung yang cocok untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
“Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang kau perbuat di sini?”
Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak di ambang pintu ruangan dengan pandangan mata penuh selidik.
“Raden Cokro, bukankah seharusnya kau menolong Sri Baginda?”
“Orang yang sudah mati tak mungkin lagi ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa Keris Mustiko Geni...?"
Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun dia maklum, ketika berhasil menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi hampir semua orang tahu kalau senjata mustika lambang tahta Kerajaan itu ada padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso sekaligus coba menempelak.
“Raden, tak seharusnya kau berada dalam ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah mata-mata kita memberi tahu bahwa ada serombongan pasukan tak dikenal bergerak menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan pemberontak yang datang untuk menyerbu. Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum pemberontak yang muncul setiap saat…”
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti. “Soal pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak usah dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan Keris Mustiko Geni itu, paman patih?”
“Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah khawatir...”
“Mengapa paman yang harus menyimpan senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat yang aman...”
Patih Wulung Kerso tersenyum tawar mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. “Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata itu tak akan muncul sebelum Raja baru diangkat!”
“Dengar paman patih,” kata Cokro Ningrat pula. “Saya tahu dengan kepandaian yang paman miliki, paman bisa menyimpan dan menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan lupa. Istana penuh dengan musuh dalam selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di mana-mana. Keselamatan paman dan senjata itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar Mustiko Geni diserahkan pada saya…”
“Hal itu tak bisa kukabulkan Raden Cokro. Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja baru yang diangkat dan duduk di kursi besar sana…”
Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang. Namun dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu. Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata,
“Baiklah, kalau paman menganggap mampu menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman yang menyimpan…”
Lalu Kepala Pasukan Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan sementara kepala dan mukanya berlumuran darah mengerikan.
“Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya juga seorang musuh dalam selimut...”
Dari balik pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke kepala Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terluka parah di kepala, patih yang juga memiliki kepandaian silat dan kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah begitu saja. Sambil merundukkan kepala menghindarkan hantaman patung batu, Wulung Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun tidak begitu telak dan keras akibat luka yang dideritanya namun jotosan tersebut cukup membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke belakan dengan perut mual dan dada terasa sesak sakit.
Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada lalu menyergap dengan dua tangan terpentang. Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan kanannya hanya mampu merobek pakaian kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan tertolong!
Darah yang membasahi kepala dan muka Wulung Kerso menutup pemandangan kedua matanya. Berulang kali dia mengusap wajah dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan.
Dari mulut Wulung Kerso keluar suara rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang memancarkan sinar merah angker itu. Namun darah yang terlalu banyak tertumpah membuat Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya goyah, pemandangannya semakin kabur, tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai, darah dan cairan otak berceceran.
Keris Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan tercampak di lantai. Raden Cokro Ningrat cepat mengambil senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung Kerso, lalu meninggalkan ruangan itu. Pintu kamar sengaja dikuncinya dari luar. Ketika dia sampai di bagian depan istana, Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut.
Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga ratus orang tampak berada di seberang sana, siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda dan tak dikenal sedang yang seorang lagi dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua yang diketahui sebagai juru ukur barang-barang perak.
“Pemberontak keparat! Datang juga mereka akhirnya!” serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang ada di situ dia segera berteriak memberi perintah. Sejumlah pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk menyambut serangan. Namun karena pasukan yang ada di situ hanya merupakan pengawal istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan pemberontak tidak tertahankan.
“Kurang ajar!” kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana. “Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!”
“Siap Raden!” jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu.
Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini segera menuruni tangga istana menyongsong serbuan pasukan dengan sebilah pedang di tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan taman istana, dua penunggang kuda yang bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu menghadangnya.
“Bangsat pemberontak! Kalian mencari mampus!” teriak Cokro Ningrat.
“Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau ganti dengan darahmu sendiri!” Balas berteriak salah seorang penunggang kuda. Sekali goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke arah kepala Cokro Ningrat.
TIGA
Tampaknya lelaki muda yang menyerang Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, meskipun dia menggempur bersama seorang kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kuda tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa melompat ke tanah.
Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat pada pangkal lehernya.
“Bangsat pemberontak! Kalian mundur kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan senjata dan menyerah!” teriak Cokro Ningrat.
Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di antara mereka sudah mendekati tangga istana sementara puluhan prajurit di kedua belah pihak tampak berkaparan di taman dan tangga istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan yang berjumlah hampir dua ratus orang muncul dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu tertahan. Semangat balatentara Kerajaan yang tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro terdengar kembali berteriak.
“Jika kalian tidak menyerah kalian akan mampus percuma! Kalian sudah terkurung!”
“Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah saatnya ditutup!” Terdengar suara membentak.
Satu bayangan putih berkelebat. Angin serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar dan cepat bertindak mundur, memandang ke depan dia melihat orang itu itu tegak dengan sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
“Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau adalah seorang gembong pemberontak!” bentak Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya.
Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip. “Namaku bukan Gama Manyar. Akulah yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!” berkata orang tua itu dengan suara lantang lalu...
"Wuttt! Wuttt...!"
Tongkat besi kuning di tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak mau memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah seorang ahli pembuat barang-barang ukiran istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi dan kesaktian mengagumkan.
“Kau terkejut setelah mengetahui siapa aku? Takut...?! Lalu mengapa tak lekas menyerah?!” mengejek Empu Soka Panaran.
“Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk mencapai tujuan kotor!”
Soka Panaran tertawa mengekeh. “Buka matamu lebar-lebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor! Siapa di antara kita yang telah menumpahkan darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan? Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan ratusan pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu yang syah hanya untuk mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu yang penuh lumuran darah itu...?”
Merah padam wajah Raden Cokro dan berdesing panas telinganya mendengar kata-kata Empu Soka Panaran itu. “Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan mata masih saja bicara tak karuan!”
Habis membentak begitu Cokro Ningrat menyerang dengan pedangnya. Sementara itu pasukan Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha prajurit dan beberapa perwira mengelilingi kalangan pertempuran antara pemimpin mereka melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum orang tua itu memiliki kepandaian tinggi karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan mereka mengalami cidera atau sampai tumbang di tangan orang tua itu.
Ternyata memang Empu Soka Panaran bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. Setelah menggempur habis-habisan selama enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro Ningrat mendapat serangan balik yang gencar. Tongkat besi kuning di tangan sang empu menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan berseru keras sewaktu akhirnya pedang di tangannya dihantam mental oleh pukulan keras ujung tongkat.
Raden Cokro Ningrat melompat mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro Ningrat sempat membuang diri ke samping kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam tongkat. Meskipun selamat namun ujung senjata lawan menoreh pelipis dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka yang cukup dalam dan mengucurkan darah.
Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa perwira segera bertindak maju. Menyaksikan hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak mengejek. “Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan kalian agar tidak mampus lebih cepat!”
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada orang-orangnya. “Semua mundur! Menghadapi tikus tua macam ini aku tak butuh bantuan kalian!” Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar merah berkiblat dalam gelapnya malam di taman istana itu.
Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat. Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri Baginda?
"Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin mati lebih cepat?” membentak Cokro Ningrat.
“Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas! Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan padaku...!”
“Ha-ha-ha...! Kau takut menemui kematian di tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat.
“Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu Soka Panaran.
"Wuttt...!" Sinar kuning berkiblat ketika tongkat besinya diputar sebat. Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran tongkat lawan.
"Trangg! Kliingg...!"
Empu Soka Panaran berseru kaget dan melompat mundur. Tongkat besi kuningnya putung sewaktu keris sakti itu membabat hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya bergetar dan terasa panas.
“Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa berada di tangan musuh...” keluh Empu Soka Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam dan akal untuk menghadapi lawan.
“Tua bangka pemberontak!” Cokro Ningrat berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni tinggi-tinggi ke atas. “Jika kau bersedia menyerah maka kau akan digantung secara terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu akan gosong oleh keris sakti ini!”
“Aku lebih suka mati di ujung Mustiko Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah pinggang dan lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis.
Gerakan yang serba cepat membuat Cokro Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan adalah tegak di kalangan pertempuran dan melindungi diri dari setiap serangan dengan Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia kirimkan serangan balasan.
Setelah berkelahi lebih dari dua puluh jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan serangannya akan mengendur. Hal ini disadari sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia berusaha menghantam tubuh, kepala atau bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini serangannya dipusatkan pada tangan kanan lawan.
Apapun yang terjadi dia harus dapat membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya apa yang ada dalam benak si orang tua, diketahui pula oleh lawan!
Kini tampak Cokro Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil mengelakkan satu serangan dia langsung tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa ganas yang ada pada senjata itu akan menewaskannya.
Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka mereka yang hidup hanya ada satu pilihan. Menyerah atau melarikan diri!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor kuda menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran sambil meringkik keras. Dua orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam suasana yang bertambah kacau terdengar seruan.
“Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan manusia-manusia perampok tahta dan pengkhianat busuk!”
Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas punggung binatang ini tampak menyambar sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini dalam kejutnya untuk melompat mundur. Begitu selamat dari tebasa pedang dengan beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke arah penunggang kuda.
Namun dari samping Empu Soka Panaran datang membabatkan tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat. Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang perwira.
Memandang ke depan Cokro Ningrat segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu. Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas dan ikat kepala warna merah.
“Bagus! Aku tak perlu susah payah mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk menyerahkan nyawa!” kertak Cokro Ningrat. Dia memberi isyarat pada para pembantunya.
Dua perwira yang barusan menolongnya bersama-sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang Suri yang masih tetap berada di punggung kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain sedang tangan kiri memegang pedang rampasan.
Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya dari serangan lawan, namun Empu Soka Panaran merasa sangat kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang Sari yang cedera tangan kanan dan hanya mengandalkan tangan kiri. Sementara itu jumlah pasukan kerajaan semakin banyak. Sulita bagi mereka untuk memenangkan pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru mengkhawatirkan keselamatan putri junjungannya itu!
“Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya! Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu! berseru Empu Soka Panaran.
“Tidak!” sahut Nawang Suri tegas dan tanpa takut. “Bukankah kita sudah memilih mati dari pada hidup dinista?!”
Cokro Ningrat tertawa bergolak. “Kalau sudah masuk ke sarang harimau mana mungkin keluar dengan selamat?! Bersiaplah menerima kematian!”
Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko Geni berkiblat ke arah sang empu sementara Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua perwira dan tujuh prajurit.
EMPAT
“Bunuh dulu kudanya!” teriak salah seorang perwira.
Lebih dari selusin prajurit datang menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu memusatkan serangan pada kuda tunggangan sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri berusaha menyelamatkan kudanya namun akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah, penuh luka.
“Bangsat rendah! Mampus kalian semua!” teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung kuda sebelum binatang ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh mandi darah.
Dua perwira cepat berteriak memberi aba-aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu. Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat banyak.
Beberapa kali tongkat besi kuningnya buntung di babat keris Mustiko Geni hingga potongan kecil yang masih tersisa di tangannya tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearah Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun potongan tongkat ini melesat dan menancap di leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!
Perwira yang kedua terkejur dan tercekat melihat kematian kawannya yang berlaku lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal. Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus, belasan prajurit yang mengeroyok Nawang Srri menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar serangan maut dengan leluasa.
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban keganasan pedang sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan kedua kakek ini membuat sang dara seperti terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa melompat mundur dan memandang dengan beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri segera mengenali mereka yakni bukan lain adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua hulubalang utama istana.
“Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siap untuk mampus?!” mengejek Nawang Suri sementara sepasang matanya bergerak liar memperhatikan gerakan belasan prajurit yang kini mengurungnya dengan rapat.
Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor memandang dingin tak berkesip. “Gadis tolol!” mengejek Imo Gantra. “Setelah lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah kembali muncul mencari kematian!”
“Akan kita lihat siapa yang mampus duluan, kau atau aku!” sahut Nawang Suri.
“Pasti kau! Bukankah kau ingin lekas-lekas menyusul kedua orang tuamu...?!” mengejek Imo Gantra.
Mendengar orang tuanya disebut-sebut, Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya tinggal menunggu kematian di ujung Keris Mustiko Geni.
Bala tentara yang tadi hampir tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga istana kini terpukul dan didesak mundur sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru. Dan nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan. Dengan tangan kanan patah, hanya dengan mengandalkan pedang di tangan kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor.
Meskipun kedua kakek itu tidak memegang senjata namun dalam beberapa jurus saja sudah berhasil mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan pedang di tangan kirinya.
"Bukkk...!" Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata menemui kegagalan karena sambil menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini selamat dari kematian!
Nawang Suri terhuyung-huyung kebelakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk mendekap dadanya yang sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan. Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh terduduk di tanah.
Saat itulah dilihatnya di kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas ditangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya tapi justru dia sendiri yang menemui kematian di ujung keris itu. Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam hangus!
“Bagus! Pemberontak tua sudah mampus! Sekarang giliran gadis tolol ini menemui ajalnya!” teriak Ki Rawe Jembor.
Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat itu pemandangannya menjadi kabur namun Nawang Suri masih sempat melihat datangnya bahaya maut.
Sambil jatuhkan diri ke tanah gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda dengan batu besar hingga dadanya yang sakit semakin terasa sakit seperti remuk berantakan.
Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan membunuh Empu Soka Panaran.
“Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu mendadak menjadi sunyi sementara pasukan penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
“Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak bagimu! Kau akan kami gantung di tanah lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!” berkata Cokro Ningrat.
“Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis perkara. Semua urusan beres sudah!”
Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor. Raden Cokro Ningrat menyeringai mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju. Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro Ningrat membungkuk dan tusukkan keris Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang Suri.
Saat itulah terdengar satu suitan nyaring. Disusul dengan deru angin laksana topan prahara datang menyambar dari langit malam yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu merasakan tubuh masing-masing bergetar. Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar. Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko Geni hampir terlepas dari tangannya.
Dengan sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit dengan cepat tapi bahu kanannya tampak bengkak besar. Seseorang telah melepaskan tendangan kilat. Masih untung tendangan itu meleset.
“Keparat! Dia lagi!” terdengar teriakan Imo Gantra.
“Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe Jembor.
Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat melihat seorang pemuda berambut gondrong sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan kaki merenggang. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot tampak tersebul barisan tiga angka yang telah menggetarkan rimba persilatan.
“Pendekar 212...” desis Cokro Ningrat. Lidahnya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram embun pagi!
“Aku sudah memberi peringatan pada semua. Kalian di sini. Jangan berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan peringatan itu...”
Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang jelas-jelas menantang dan sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia maju satu langkah dan membuka mulut dengan suara lantang.
“Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa neraka...?!”
“Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu apakah kau bisa menunjukkan jalan ke neraka?!” Habis berkata begitu Wiro Sableng lalu umbar tawa bergelak. Karena suara tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang tinggi maka semua orang yang ada di sana merasakan telinga masing-masing mengiang memekakkan sedang jantung seperti berguncang!
Wiro melangkah mendekati Nawang Suri. “Sahabat, kau tak apa-apa...?” Pendekar ini menegur.
Dalam hatinya sang dara memaki panjang pendek. “Aku sudah hampir mampus dikatakan tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar sableng!”
Walaupun dalam hati memaki, namun entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad dan siap menerima kematian, kini muncul harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu, seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang berkeliling.
Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata, “Jangan harap kali ini kami memberi ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi hidup-hidup!”
“Begitu...?” tukas Wiro. “Kita akan lihat. Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!” Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini gerakkan tangan kanannya kepinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212.
Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
“Manusia tolol!” teriak Wiro. Tubuhnya dirundukkan. Keris Mustiko Geni menukik mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong. Nawang Suri terpekik dan semburkan darah dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa. Orang lain menderita luka seperti itu mungkin sudah pingsan.
Gerakan tangan Wiro untuk mencabut Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu pemandangan yang luar biasa. Dengan masih memanggul tubuh Nawang Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari dua serangan tangan kosong dan satu tikaman keris yang disusulkan oleh Raden Cokro Ningrat.
Tanpa perdulikan keadaan sang dara, Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara. Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang ke bawah perut lawan.
Selagi Cokro Ningrat melompat mundur selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, maka Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung memanggulnya kembali di bahu kanan!
Para prajurit kerajaan yang menyaksikan kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa bahwa pendekar yang mereka kagumi itu adalah musuh besar mereka!
Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap dia telah menggenggam sebilah tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak berkilat.
Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra kemudian tampak pula meloloskan senjatanya dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi pendek yang ujungnya diganduli lima keping mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada kepingan pisau yang bisa menyerang serentak sekaligus pada satu sasaran atau menebar menghantam lima sasaran!
Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212 sudah berada dalam genggamannya. Sinar perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya malam.
“Kalian semua memang minta mampus! Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak Wiro.
Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih menyambar. Rantai besi berpisau lima mata bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu, namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya.
Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di depan dada. Suara seperti ribuan tawon mengamuk terdengar menderu disertai kilauan sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan ngeri.
Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo Gantra sama melompat mundur. Rantai besi berpisau lima bergoyang-goyang. Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni 212.
Melihat tiga lawannya jelas bergeming menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan untuk mundur segera meninggalkan tempat itu karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan. Tetapi celakanya atas perinta Cokro Ningrat, puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak merapatkan kurungan sementara itu Kepala Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat pada dua hulubalang istana.
Bersama Imo Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya menyusun taktik yakni walaupun tampak bergerak berbarengan namun serangan tidak dilancarkan secara bersamaan. Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe Jembor dengan tombak berkepala tiganya. Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang tua ini cepat melompat mundur, begitu hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke depan sambil hantamkan rantai besi bergandul lima pisau berkilat.
Sekali lagi Pendekar 212 babatkan kapaknya untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke dalam kalangan dengan menyusupkan satu tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng. Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai dua sasaran. Pertama memang dada wiro, namun jika terpaksa meleset maka ujung keris akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari Gunung Gede itu!
LIMA
“Wong edan!” maki Pendekar 212. Terpaksa dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang Suri dan pergunakan tangan kiri untuk melepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk garis lurus lima jari terkembang membuka. Serangkum angin dahsyat menggebu.
Kepala Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada batu besar yang menggelinding menghantam ke arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad menruskan tusukan ke arah kepala Nawang Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret dia terpaksa menarik pulang tusukannya, melompat ke samping menghindari angin pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap dadanya yang terasa sakit dan sesak, di belakang sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang perwira yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat bermentalan.
Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di dekat tembok depan halaman istana, empat orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi. Dua lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul empat kawannya, sementara si perwira terduduk sambil memuntahkan darah kental
Kejadian yang menggemparkan ini membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah. Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan tombak dan lima pisau berantai mereka lipat gandakan dengan pengerahan tenaga dalam penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang dalam gelapnya malam sedang tombak tiga mata mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan.
Ketika Wiro dengan kertakkan rahang memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis dua serangan yang datang, celakanya Nawang Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe Jembor, padahal saat itu dari samping lima pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat sebat tepat membelintang di arah pertengahan lengan Nawang Suri yang memukul!
Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor namun ke dudukannya tidak memungkinkan menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra. Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata.
Namun baru saja dia menggerakkan kapak ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro Sableng benar-benar menghadapi kesulitan yang membahayakan jiwanya!
Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa ber-gelak. “Pendekar sableng! Akhirnya kau harus tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu akan menemui kematian dihantam tusukan tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni.
Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa terancam tapi tetap saja menyahuti dengan nada menantang. “Mana mau aku mati sendirian! Salah satu dari kalian harus ikut bersama!”
Lalu Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk dekat sekali ke wajah pendekar ini. Di saat yang menegangkan di mana Wiro sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasakan ada yang berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya. Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor kuda melenjangkan kaki belakangnya. Justru saat itu terdengar suara seseorang seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
“Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!”
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo Gantra yang seharusnya membabat lengan Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras tadi, tetap saja salah satu matanya sempat mengiris pipi kanan pemuda itu.
Dengan pipi mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul menarik gadis itu dari bahunya. Di samping kanan terdengar teriakan Cokro Ningrat.
“Kejar bangsat penculik berpakaian hitam itu!”
Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga orang kepala regu dan dua orang perwira bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan, dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit kematian. Dari sekian banyak yang melakukan pengejaran, dua orang kembali ke halaman istana. Yang pertama seorang kepala regu, datang terseok-seok karena salah satu tulang kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi perwira berwajah penuh darah karena sebuah matanya tampak pecah!
“Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak hendak mengejar meskipun tangannya masih terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata dengan Kapak Naga Geni 212 tadi.
Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu kawannya ini dan berbisik. “Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki kepandaian seperti dewa!”
“Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra.
“Kataku jangan dimas!” Ki Rawe Jembor Akhirnya membentak. “Kau tahu siapa orang berpakaian hitam itu?!”
Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki. Rawe Jembor. “Kangmas Jembor. Ternyata manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun rencana menumpasnya habis-habisan...”
“Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat ini yang penting adalah menamatkan riwayat pemuda sableng satu ini!”
Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-garuk kepala. Setelah mengusap darah yang keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat tangan kiri seraya berkata, “Orang yang kalian ingin tangkap atau bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku mau pergi...”
Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa gelak-gelak. “Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat kami akan menangkap gadis pemberontak itu. Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih dulu!” berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
“Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali karena senjata rantai berpisau lima miliknya musnah di hantam kappa Naga Geni 212. Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah halaman istana berlobang besar. Bongkahan tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup pemandangan.
“Keparat! Jangan biarkan dia lolos!” teriak Imo Gantra.
Tapi orang-orang di situ tak dapat melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan kanan ke dalam sebuah kantong yang tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika dia memukulkan tangannya ke depan maka berhamburanlah lebih dari selusin senjata rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini melesat di udara hampir tanpa suara dan mengandung racun sangat jahat.
Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu. Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala. Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa di antaranya sempat menerpa anggota pasukan yang ada di dekat situ.
Meskipun mereka tidak terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang jahat membuat merasakan nyeri di seluruh peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karena tak kuat menahan rasa sakit.
Sewaktu tadi menghantam luruh serangan paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus menekan sebuah tombol rahasia pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-merta dari lubang-lubang pada gagang kapak yang berjumlah enam buah mencuat keluar enam buah jarum halus yang meskipun malam masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya menyambar ke arah Imo Gantra.
“Dimas awas senjata rahasia!” teriak Ki Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan pukulan tangan kosong.
Imo Gantra sendiri cepat membuang diri ke samping namun kasip. Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu lalu berteriak agar beberapa orang menolong menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor tidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap bengitu saja?
********************
ENAM
Wiro Sableng tidak tahu di mana letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri.
Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti tentang orang itu. Yakni dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para tokoh silat istana kelihatannya agak gentar terhadapnya.
Benarkah dia sesepuh kerajaan lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi mempunyai hubungan sangat dekat dengan Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia muncul menyelamatkan gadis itu. Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa Selarong?
Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari dia berusaha mengobati luka pada pipinya dengan obat bubuk yang selalu di bawanya. Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun tampak angker ternyata tidak mengandung racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan pendekar itu menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur.
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah batu-batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa. Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
“Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu luar biasa hingga orang lain tak dapat mendengar. Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud mempermainkan...”
Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
“Gila!” kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya pemuda ini mendapat akal. Dari pada susah-susah mencari mengapa tidak berteriak saja? Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan berteriak keras-keras.
“Resi Mandra Gotama! Aku Wiro, orang yang kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana kau berada!”
Suara teriakan Wiro membahana di lembah batu kapur itu. Bergema panjang berulang-ulang membuat sang pendekar merasa ngeri sendiri mendengarnya. Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
“Sialan!” maki pemuda ini. Dia memutuskan menunggu selama sepeminuman teh di tempat itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu menukik laksana sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap tak kelihatan lagi.
“Aneh...” membatin Wiro. “Bagaimana burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi? Mungkin...”
Wiro Melompat dari duduknya. Lalu pendekar ini lari ke pertengahan lembah, kearah mana tadi dilihatnya burung menukik turun dari udara dan lenyap. Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana sebelumnya dengan pasti tampak burung menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala dan memaki.
Di situ memang terdapat sebuah lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi memang ada dalam lobang itu. Binatang ini segera terbang ke udara ketika Wiro datang lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu ditendangnya.
Tiba-tiba tiga buah lobang seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar. Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan, membawa tombak dan perisai.
Tombak dan perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam ukuran sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa tombak panjang dan perisai besar itu.
“Kalian bertiga keluar dari dalam tanah! Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau manusia benar ?!” bertanya Wiro keheranan.
Anak perempuan di samping kanan tampak membesarkan bola matanya. “Tua bangka tidak tahu peradatan!” Anak perempuan itu membentak. “Sebagai tamu kau tak layak bertanya tapi justru harus memperkenalkan diri!”
“Aha... Ini baru hebat!” seru Wiro lalu dia berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si anak perempuan. Setengah melucu Wiro berkata, “Nah, sekarang kita sama-sama tinggi kawan! Bagaimana pendapatmu?”
Anak perempuan itu tidak menjawab apalagi tertawa. Matanya memandang tak berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit. Terdengar suaranya mendesis. “Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk menerima kematian?”
“Heh...?” Wiro berpaling dan jadi terkejut ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah tegak di samping kanannya dengan ujung tombak hampir melekat di batang lehernya! “Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat gerakannya dan tahu-tahu kini sudah membokong?”
“Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!” Si anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua ternyata juga sudah menodongkan ujung tombak besarnya ke batang leher bagian kiri! “Hai! Apa-apaan ini?!” tanya Wiro Sableng.
Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga dia tidak bisa bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak kecil begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan adu kekuatan.
Namun Wiro tak tega kalau dua anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun hanya diam dan berteriak bertanya. Anak perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
“Lekas katakan siapa namamu. Datang dari mana dan apa kepentinganmu datang ke lembah ini!”
“Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Wiro sambil menyengir. “Namaku Wiro Sableng! Aku barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa diterima?!”
“Soal kau haus atau lapar bukan urusan kami! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa Selarong?” Anak perempuan itu bertanya. Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia memang tidak main-main.
“Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,” menjelaskan Wiro.
“Seseorang siapa? Setan? Hantu... Tuyul? Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak perempuan yang membuat Pendekar 212 mengulum senyum menahan tawa.
“Orang itu bernama Resi Mandra Botama…”
“Ada apa kau mencari resi itu? Urusan baik atau urusan jahat?”
“Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang meminta aku datang.”
Berdasarkan pertanyaan terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro segera maklum bahwa daerah sekitar situ, walaupun dia masih belum melihat adanya goa, pastilah daerah kediaman orang yang telah menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. Hatinya puas dan kini dia akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya.
Maka diapun berkata, “Mengenai urusanku dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!”
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro menyeringai.
“Kami harus menggeledah tubuhmu!” Si gadis tiba-tiba memutuskan.
“Boleh saja!” sahut Wiro. “Tapi buat apa susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru kalian puas!”
“Dan aku juga membawa tiga ekor tikus besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk kalian. Seorang satu!”
“Ih...!” Kini ketiga bocah itu sama-sama menunjukkan sikap jijik.
“Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi Mandra Botama?”
“Kau membawa barang busuk dan kotor. Maksud kedatanganmu terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi dari sini!”
“Begitu? Baiklah. Tapi sebelum pergi aku akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!”
“Ternyata maksudmu memang jahat! Biar kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata begitu si gadis memberi isyarat pada dua kawannya.
Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro segera tusukkan tombak masing-masing ke leher pendekar itu. Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan kiri kanan mendorong keras ke samping, menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental, keduanya tampak jungkir balik, mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu langsung menyerbu. Si anak gadis cilik tak tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
“Hebat!” seru Wiro memuji polos karena kagum melihat gerakan ketiga anak itu. Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat.
Meskipun gerakan tersebut belum disertai kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. Wiro sendiri yang semula hendak melayani secara asal-asalan kini harus bertindak hatihati. Pertama dia tidak ingin mendapat cidera, apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika menghadapi secara sungguhan dan membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi tetap bersikap dengan segala kelucuannya sebagai anak-anak.
Setelah mengelak kian kemari akhirnya Wiro dapat akal. Cara terbaik menghadapi ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat gerakannya. Namun seolah-olah tahu apa yang ada dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah itu pergunakan tameng di tangan kiri masingmasing untuk melindungi diri. Karena jengkel akhirnya Wiro memutuskan untuk menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis itu. Hanya saja sebelum hal itu sempat dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar dari tiga lobang di tanah batu kapur.
“Prajurit-prajuritku! Cukup sudah sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu itu kedepanku!”
Serta-merta tiga anak kecil itu melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya tegak membentuk barisan dan menjura kepada Wiro Sableng.
“Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro sambil usap-usap luka di pipinya. Si gadis kecil menjawab mewakili kawankawannya.
“Junjungan kami ternyata bersedia menemui paman raden. Silahkan mengikuti kami…”
Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa terbahak ketika dirinya dipanggil dengan sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil menunjuk ke lobang yang di tengah seraya berkata dengan sikap hormat,
“Silahkan paman raden. Kita masuk lewat lobang itu...”
“Lewat lobang sekecil itu? Dan masuk ke mana?” tanya Wiro heran.
“Lobangnya tidak kecil!” jawab si gadis.
“Lihat!” Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga lobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika melihat Wiro masih tegak terheran-heran si gadis berkata,
“Bukankah paman raden hendak bertemu junjungan kami. Resi Mandra Botama? Nah, mau menunggu apa lagi?”
“Hemmm... Jadi kau dan dua kawanmu tadi itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro manggut-manggut. “Baiklah. Aku percaya padamu.”
Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat turun ke dalam lobang. Begitu kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya langsung merosot meluncur. Ternyata bagian dalam lobang itu seperti sebuah tabung peluncur yang bagian bawah dindingdindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro tidak dapat melihat apa-apa. Dia mendengar, gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya.
Terowongan di bawah tanah itu cukup panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah ruangan besar berwarna putih yang diterangi banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke dalam ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi, pintu di belakangnya terhempas keras dan menutup.
TUJUH
Dua anak lelaki menyerang Wiro ternyata sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila dihadapan seorang kakek bermuka kelimis lonjong dengan janggut pendek di dagunya. Orang tua ini mengenakan pakaian hitam, berikat kepala dan berikat pinggang kain putih. Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang panjang masih berwarna hitam.
Kakek ini duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau yang kepalanya telah dikeringkan dan menghadap ke arah Wiro dengan mulut menganga. Di belakangnya tampak sebuah pembaringan dimana tampak terbujur sesosok tubuh yang bukan lain adalah tubuh Nawang Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk bersila disamping dua kawannya.
“Junjungan, tamu sudah kami antar kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di ruangan ini atau menunggu di taman...”
“Taman...?” Wiro memandang heran berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan dibawa h tanah itu? Dan dia tidak melihat pintu lain selain tiga pintu yang berhubungan dengan tiga terowongan jalan masuk tadi.
Sang junjungan menganggukkan kepala pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan sangat berwibawa, membuat pendekar kita merasa risih.
“Kalian tetap berada disini sampai urusan kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat pada tamu kita untuk duduk dihadapanku. Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat kehadapannya. Meski merasa tidak enak, Wiro menurut saja dan berkata,
“Nah orang tua. Siapapun kau adanya, saya sudah datang memenuhi permintaanmu. Harap terangkan segala maksud.”
Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit dan sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya kembali serius. “Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di luar lobang...”
“Saya tahu kau adalah Resi Mandra Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro.
Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa diminta dia menjelaskan “Dulu aku adalah pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah beberapa kali kau selamatkan. Untuk semua perbuatanmu itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari ini juga akan kubalas semua jerih payahmu…”
“Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada niat untuk minta balas jasa...” jawab Wiro. Dia memanjangkan leher memandang ke arah pembaringan. “Gadis itu... bagaimana keadaannya?”
“Tangannya yang patah sudah dibalut Luka dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling tidak membutuhkan waktu setengah bulan untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga bulan untuk menyambung kembali tulang lengan yang patah...Kini dia tertidur nyenyak”
“Kasihan dia. Saya sudah berkali-kali menasihatkan agar jangan berlaku nekad...”
“Gadis itu tidak nekad!” memotong Resi Mandra Botama. “Apa yang diperlihatkannya adalah satu keberanian sejati, jiwa satria membela hak dan demi kewajiban!”
Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru berkata memberi pendapat.
“Saya tidak ingin mencampuri urusan kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan. Hanya saja kalau saya boleh memberikan pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya keliru, apapun yang hendak kalian lakukan harus di pikir masak-masak. Keadaan di luar sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian berjuang tapi perjuangan kalian akan sia-sia karena kalian tidak ada beda dengan sebuah perahu kecil menyongsong badai gelombang yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di lupakan saja dan memilih jalan hidup yang tenang tentram?”
Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera pula wajahnya menunjukkan keseriusan kembali. “Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan lupa badai gelombang yang bagaimanapun besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat itulah yang kami tunggu untuk bergerak kembali...”
“Berarti pertumpahan darah tak akan pernah berhenti!” ujar Wiro pula.
“Itu memang sudah aturan kehidupan di dunia...” menyahuti sang resi. Wiro menggeleng. “Kenapa kau menggeleng?”
“Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!” Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya bergetar.
“Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita bicarakan karena hanya akan mengundang perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang melarangmu untuk melakukan apa saja. Tentunya segala akibat dan tanggung jawab berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau lebih baik menerangkan mengapa meminta saya datang ke goa ini…”
“Pertama, seperti kukatakan tadi untuk mengucapkan rasa terima kasih karena kau telah menolong puteri raja kami Nawang Suri. Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah kau bersedia kawin dengan gadis itu?”
Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga mendengar ucapan itu.
“Kau terkejut anak muda?” tanya si orang tua.
“Tentu saja,” jawab Wiro. “Pertanyaanmu gi... aneh!” Hampir saja pendekar ini hendak mengucapkan kata gila.
Tapi sang resi langsung menyambung dengan pertanyaan, “Apa yang menurutmu gila atau aneh?”
“Bagaimana kau enak saja menanyakan hal itu padahal kau bukan orang tua gadis itu...”
“Saat ini kedudukanku lebih kurang sama dengan orang tuanya...”
“Lain dari pada itu, bagaimanapun juga Nawang Suri adalah puteri raja, sedangkan aku hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap orang sinting dimana-mana.
Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa demikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur memanjang, tangan kanan sang resi tahu-tahu sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke lantai. Dia maklum kalau orang tengah mengujinya.
“Anak muda apa bedanya puteri atau putera raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi kau mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan ujar-ujarmu itu...?”
“Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini. Segala sesuatunya tentu ada pengecualian. Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf. Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri"
Resi Mandra Botama menarik tangannya dari bahu Wiro. “Urusan yang satu itu kuanggap belum selesai. Aku memberi waktu satu setengah tahun padamu untuk memberikan jawaban…”
“Ah...kenapa urusan jadi gila macam begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali terdengar si orang tua berkata.
“Anak muda, sementara urusan perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi menolong atau tidak...”
“Apakah itu?”
“Keris Mustiko Geni,” sahut sang resi. "Kini hanya tinggal sarungnya saja yang ada pada kami. Keris nya telah dirampas orang-orang kerajaan. Dapatkah kau membantu mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan itu?”
“Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu permintaanmu saya akan mencoba,” jawab Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Kau sangat kesusu anak muda?” bertanya Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau.
“Maafkan, saya memang harus pergi. Saya gembira bisa bertemu denganmu...”
“Jangan buru-buru pergi dulu, anak muda. Ada sesuatu untukmu!”
“Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan pamrih...”
“Ini tak ada hubungan dengan soal kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata-mata pemberian dariku karena aku suka padamu...”
Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda. Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit harimau di hadapannya. Besarnya sekira setelapak tangan, berbentuk bulat yang berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai sudut runcing sebanyak tujuh buah. Satu berwarna merah satu lagi berwarna putih.
“Ini adalah Sepasang Cakra Dewa.” berkata Resi itu. “Yang berwarna merah Cakra Jantan dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh mengambil yang merah
“Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf, saya tak berani menerima pemberianmu...” kata Wiro seraya membungkuk.
“Jangan membuat aku tersinggung anak muda. Aku tidak bermaksud menyogokmu!” Sang resi tampak agak marah.
“Saya tidak mengatakan demikian atau bermaksud begitu,” sahut Wiro.
“Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila mengenai sasaran atau serangan meleset dia akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya memiliki racun mematikan yang tidak luntur sampai seratus abad. Ambillah yang merah ini. Aku berikan dengan tulus ikhlas...”
Karena Wiro Sableng masih tak mau menerima akhirnya Resi Mandra Botama menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri dan melangkah mundur ke sudut ruangan.
“Kau akan saksikan kehebatan senjata ini, anak muda!" kata sang resi. Lalu sekali tangan kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya bergaung aneh.
Terkejut mendapat serangan tak terduga itu Wiro berseru kaget dan cepat-cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat putus rambut yang melingkar di bawah telinga kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama. Orang tua ini cepat menangkapnya dan memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
“Orang tua, kau hendak membunuhku...” kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar suaranya.
Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh pendekar sepertimu, anak muda,” katanya. Lalu dia memberi isyarat pada ketiga prajuritnya”
Tiga anak kecil yang duduk di sebelah kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke dinding sebelah belakang. Menekan salah satu bagian dinding. Secara aneh dinding itu menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka.
“Selamat jalan anak muda...” kata Resi Mandra Botama.
“Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri. Sekali lagi terima kasih…”
Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro melangkah dulu mendekati pembaringan. Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak itu.
“Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain kali apakah mau meneruskan permainan di lembah batu kapur tadi…?”
“Tentu saja paman raden. Asalkan junjungan kami memberi izin” jawab ketiga anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan dinding belakang dan menutup kembali.
“Aneh... dunia ini memang penuh keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata lobang kediaman Resi Mandra Botama di sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang subur. Jika orang berada di taman itu, tak satupun yang bakal mengetahui bahwa pada samping batu yang tertutup rumput terdapat sebuah pintu rahasia. “Pantas orang-orang Kerajaan tak pernah berhasil menemukan tempat persembunyian ini...”
Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke arah pohon. Menancap tepat di pertengahan batang. Begitu menancap secara aneh senjata ini melejit keluar dan kembali ke arah Wiro.
Cepat-cepat Wiro menangkap benda itu, memperhatikannya penuh kagum lalu menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia hendak melangkah pergi, sekilas dia memandang lagi ke arah pohon yang tadi ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding. Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke daun dilihatnya berubah membiru!
“Racun ganas! Benar-benar ganas!” Pendekar 212 geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.
********************
DELAPAN
“Bagaimana keadaannya...?” tanya Ki Rawe Jembor.
Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan gelengkan kepala. Wajahnya murung. “Saat ini kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh aliran darah sampai ke jantung. Kami melakukan beberapa totokan. Ki Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya.
“Kalian bertiga harus menemukan jalan menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang bisa membantu jangan segan-segan minta tolong!”
“Akan kami perhatikan pesanmu itu, Ki Rawe.”
“Apakah kalian ada melihat Raden Mas Cokro Ningrat?”
Dua orang menggelengkan kepala. Orang ketiga menjawab, “Tidak.”
“Baiklah. Rawat sobatku itu baik-baik. Nanti aku segera kembali.”
Keluar dari kamar Ki Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa pasti orang itu tak ada di istana maka dia segera menuju ke tempat kediamannya. Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. Ketika dia hendak meninggalkan tempat itu seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi. Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah bicara.
“Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat. Hulubalang diminta datang menemuinya di satu tempat. Harap mengikuti saya…”
Pelipis Ki Rawe Jembor bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia memegang kendali tertinggi, namun masih ada Patih Wulung Kerso atasannya.
“Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia, bukan ke istana?” bertanya Ki Rawe Jembor.
“Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya diperintahkan saja...”
“Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita sama-sama menemui Raden Mas Cokro Ningrat.
“Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang ju...”
"Plaakkk...!"
Satu tamparan mendarat di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari punggung kuda tunggangannya.
“Sekali lagi kau berani bicara sembrono, kupatahkan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju istana.
Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan. Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke istana. Dia memang tidak suka pada sang patih namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja membuat dia diam-diam merasa kawatir. Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat yang tahu-tahu kemudian mengirim seorang utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini?
Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan Pangeran Purbaya. Pangeran inilah satu-satunya yang berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya berjudi dan menyabung ayam sangat tidak pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa pengganti yang lain?
Belum lagi urusan mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak hal yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu. Disamping tanda tanya besar apakah bala tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu akan muncul kembali di bawah pimpinan Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra Botama?
Lalu kalau pemuda sableng itu ikut-ikutan muncul suasana pasti bertambah tak karuan. Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor memerintahkan tiga puluh anggota pasukan pengawal istana untuk mencari Pati Wulung Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar sang patih ditemui telah jadi mayat dalam kamar penyimpanan barang-barang dan senjata pusaka istana.
Ketika Ki Rawe Jembor datang sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, hatinya tercekat. Sekujur tubuh dan wajah Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman. Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni. Karena hanya senjata itulah satu-satunya yang memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan bencana besar bagi Kerajaan!
Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang berada dan menunggu di halaman istana. Dia berpikir-pikir apakah akan menemui Kepala Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran Purbaya lebih dulu.
Akhirnya Ki Rawe Jembor memutuskan untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran ini berada di ruangan besar istana di mana jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir, pejabat tinggi istana termasuk putra dan putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan lima perwira mengawal ruangan ruangan besar itu.
Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang kursi di mana Pangeran Purbaya duduk. Mendengar bisikan orang tua itu pangeran berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam sebuah kamar mereka mengadakan pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga pengumuman akan disampaikan ke seluruh kerajaan dan upacara resmi tapi singkat akan diadakan di depan jenazah Sri Baginda.
Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki Rawe Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar. Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di mana sebelumnya kedua orang itu berbicara dengan ruangan besar di mana jenazah Sri Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua ratus langkah. Mereka harus melewati gang yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan baru sampai di ruangan besar.
Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba-tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka. Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng kain menghambur keluar. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata yang secara aneh pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata terbungkus ini orang tersebut langsung menyerang Pangeran Purbaya!
Seperti dituturkan. Pangeran Purbaya bukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga dalam atau kesaktian. Karenanya ketika mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan kedua tangan di muka dada.
“Bangsat kesasar!” teriak Ki Rawe Jembor. Dia melompat ke depan menyergap penyerang bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Si penyerang seolah-olah tersentak kaget melihat Hulubalang istana kelas satu ada di situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu berhasil menghindar si penyerang membalikkan diri, masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi dia keluar dan membantingkan pintu di belakangnya.
Ki Rawe Jembor mengejar sambil lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong. Pintu jati yang kokoh itu hancur berkeping-keping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan jendela terpentang lebar. Ki Rawe Jembor mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya kegelapan yang menyambut.
“Hemm...” bergumam Ki Rawe Jembor. “Seseorang menginginkah kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini semakin tidak karuan. Kuto gede jelas-jelas dalam cengkaman bencana…”
Tanpa menutup jendela itu kembali, orang tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan sang pangeran lalu mengantarkannya kembali ke ruang besar tempat Sri Baginda disemayamkan.
Setelah itu dia memanggil perwira-perwira yang bertugas, menceritakan apa yang barusan terjadi dan mengatakan sementara raden Cokro Ningrat belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan mengambil alih tugas pimpinan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat ganda. Keselamatan keluarga istana harus diperhatikan.
“Aku akan meninggalkan istana barang beberapa lama. Kalian atur persiapan penobatan Pangeran Purbaya, termasuk pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat. Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari naik aku pasti sudah kembali!”
Begitu Ki Rawe Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan samping dia pergi menemui utusan Cokro Ningrat yang menunggunya sejak tadi. Di sebelah timur langit mulai tampak terang-terang tanah tapi di tepi hutan yang terletak di sebelah barat Kutogede keadaan masih diselimuti kepekatan menghitam disertai udara dingin yang masih mencucuk.
Tak lama memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah kayu. Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas tampak gelap gulita tapi cii sebelah bawah ada sinar lampu menyeruak di antara celah-celah dinding papan. Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di sampingnya.
“Raden Cokro menungguku di bangunan itu?” tanya si orang tua.
Penunggang kuda disebelahnya mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan dan semak belukar, bergerak mendekati bangunan bertingkat dua.
Tinggal sejarak enam langkah dari dinding bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat atas berdesing belasan anak panah. Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik pohon besar.
“Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja hendak menjebak dan membunuhku di tempat ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan lebih dahulu!” Habis memaki dalam hati begitu hulubalang kelas satu ini berteriak, “Cokro Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa maumu sebenarnya!”
Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba-tiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di tempat itu. Menyusul terdengar seruan bertanya.
“Siapa di luar sana?!”
“Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang jebakan!”
“Ah...!” terdengar suara kaget dari dalam bangunan. “Kami kesalahan! Kami kira kau seorang penyusup!”
Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh tampak tegak di ambang pintu dan melangkah keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali. Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati dia menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke arahnya.
“Cokro! Mengapa Kau menyuruh orang-orang di atas sana memanahku?!” tanya Ki Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan dengan Raden Cokro.
SEMBILAN
Kami keliru!” Sahut Raden Cokro Ningrat. “Mohon maafmu kangmas Jembor. Sebelumnya aku telah memberi perintah menyerang siapa saja yang mendekati tempat ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku kau dan utusanku itu. Ternyata kau muncul sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa utusanku tidak menemuimu?”
“Orang itu memang menemuiku…”
“Nah, dimana dia sekarang?”
“Sudah kulemparkan ke dalam semak di belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor. “Raden Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!”
“Mari kita bicara di dalam kangmas Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Meski hatinya semakin jengkel namun Ki Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan itu. Tapi tangan kanannya diam-diam tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak bermata tiga yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor memandang sekeliling ruangan. Di situ ada sebuah meja dengan lampu minyak besar di atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker yang duduk di belakang meja. Sekali lihat saja Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga manusia itu.
Yang pertama seorang kakek bermuka tirus. Sebelah mukanya berwarna putih sebelah lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat tumpahan air panas. Namanya Ronggo Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat yang diam di Gunung Merbabu.
Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut buncit. Mukanya bulat berminyak tertutup oleh cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang matanya sangat besar dan berwarna merah. Kepalanya ditutup dengan kain warna merah. Dia membawa senjata secara aneh. Senjatanya yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke leher dan digantung seperti memakai kalung. Inilah Warok Tumo Item, raja diraja kaum perampok yang malang melintang di seantero Jawa Tengah dan bermukim di sebuah hutan di kaki tenggara Gunung Sumbing.
Lelaki ketiga bermuka bopeng. Kedua matanya yang besar tampak menyeramkan karena ada lapisan putih yang menutupi bagian bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia mengenakan rompi tak berkancing hingga dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di lehernya tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
“Raden Cokro... tidak sangka kalau kau ternyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata Ki Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak. Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
“Bukan hanya kenal kangmas Jembor. Justru mereka adalah kawan-kawanku sejak lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan begitu para sobat?”
Warok Tumo Item menyeringai mendengar ucapan Cokro Ningrat. Lonceng Maut mengangguk. Sebaliknya Ronggo Sampenan hanya diam saja.
“Tak usah sungkan-sungkan kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam ini kita akan mengadakan perundingan penting. Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus diambil cepat. Sebelum matahari muncul di timur...”
Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak enak... Dia berkata, “Aku memang tak punya waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana. Banyak masalah yang harus kita pecahkan...”
“Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah yang kita hadapi saat ini justru paling penting. Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan kerajaan…”
Hulubalang istana itu menatap paras Raden Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang kosong. Walaupun matanya masih tetap menatap Raden Cokro namun ekor matanya melirik ke sudut ruangan di mana tergantung sehelai kain berwarna gelap, berukuran pendek dan berbentuk aneh.
“Silahkan kau memberi keterangan akan maksudmu Raden Cokro,” kata Ki Rawe Jembor.
“Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan pemberontak berhasil kita hancurkan dan Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup. Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut-larut, bencana besar akan muncul! Karena itu perlu segera diangkat seorang pimpinan baru. Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…”
“Hal itu sudah kusadari benar Raden Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor.
“Aku bersyukur dan merasa gembira kalau kangmas menyadari hal itu. Karenanya, mengingat Keris Mustiko Geni berhasil ku amankan saat ini berada di tanganku, aku tidak merasa sungkan untuk mengatakan bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan akan segera penobatan diriku sebagai raja…”
Ki Rawe Jembor terkejut bukan main mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau memperlihatkan rasa terkejutnya pada air mukanya.
“Kau tak memberi jawaban apa-apa kangmas...” berkata Cokro Ningrat seraya melayangkan pandangan berarti pada Ronggo Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng Maut.
“Niatmu untuk mengatas namakan keselamatan kerajaan patut kupuji Raden Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni lambang tahta kerajaan ada di tanganmu, namun menurut garis silsilah yang berhak menjadi raja adalah Pangeran Purbaya...”
“Pangeran Purbaya?!” Membuka mulut dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Pemuda tolol berotak miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat Kuto gede!”
“Kangmas Jembor, kau dengar sendiri pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku jadi raja?”
“Lagi pula,” ikut bicara si muka bopeng Lonceng Maut. “Mengapa kita harus meributkan soal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan gila…”
“Betul sekali,” kata Cokro Ningrat. “Aku percaya kangmas Jembor akan berada di pihak kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala Pasukan Kerajaan akan kuberikan pada kangmas"
Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus terang dia tidak suka sejak lama terhadap Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu sehubungan dengan kematian Patih Wulung Kerso dan adanya usaha penyergapan dan pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
“Apakah Raden mengetahui kalau Patih Wulung Kerso telah meninggal dunia?”
“Astaga? Bagaimana hal itu bisa terjadi?!”
Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya tampak tenang-tenang saja.
“Dia tewas dibunuh seseorang yang mempergunakan senjata sakti!”
“Pembunuhan lagi!” seru Raden Cokro seraya berdiri dan menggebrak meja dengan tangan kirinya. “Apakah sudah diketahui siapa pembunuhnya?”
“Saat ini memang belum. Tapi nanti juga bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Nah, kangmas lihat sendiri betapa kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas ditangani bencana besar akan menimpa Kutogede…”
“Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe Jembor.
“Kalau begitu kangmas saya mintakan tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan kuserahkan padamu untuk mengaturnya.”
“Hal itu tak mungkin dilakukan Raden. Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah dinobatkan jadi raja.” Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari kursinya.
“Kalau begitu...” terdengar suara Lonceng Maut berkata sambil permainkan lonceng kuning yang tergantung di lehernya. “Sudah saatnya kita harus menyerbu istana sekarang juga!”
“Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!” kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya berdiri dan melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu, sampean mau pergi ke mana?” bertanya Ronggo Sampenan.
“Aku akan kembali ke Kutogede.”
“Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah dibuka Hulubalang istana itu.
Lonceng Maut, Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil sikap mengurung.
“Kurasa aku tidak menyinggung siapapun. Aku hanya minta jangan ada yang melakukan hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus padamu Raden Cokro, kuharap kau suka mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku. Senjata itu harus berada di istana.”
Raden Cokro Ningrat tersenyum. “Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!” katanya. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini terbungkus kain.
Melihat hal ini berubalah paras Ki Rawe Jembor. “Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi mencoba menyergap dan membunuh Pangeran Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti kau bungkus dalam kain agar tidak mudah diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!”
“Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam. Sudah mengetahui begitu mengapa masih bersikap tidak bersahabat?!” berkata Lonceng Maut.
“Kalau kami tidak segan-segan membunuh seorang calon raja apa artinya nyawa manusia sepertimu!” menimpali dukun jahat Ronggo Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau dari dalam kantong pakaiannya dan mulai mengunyahnya.
Ki Rawe Jembor maklum kalau orang ini memang suka mengunyah tembakau. Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu kerap digunakan sebagai senjata. Bila di sembur dapat menghancurkan bagian tubuh manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan buta.
“Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke istana.” Raden Cokro berkata sedang tangannya menahan daun pintu hingga Hulubalang utama kerajaan itu tak dapat membukanya.
“Kita berada di pihak yang berlainan Raden. Beri aku jalan. Buka pintu itu...”
Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk maka Lonceng Maut membuka mulut, “Tak perlu kita meminta seperti pengemis pada manusia tak berguna ini!”
“Betul!” Menimpali Ronggo Sampenan. “Jika dia tak mau tinggal bersama kita, biar nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!”
Habis berkata begitu dukun jahat ini semburkan tembakau di dalam mulutnya ke arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat di atas kepalanya, menancap di dinding papan. Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan.
Meleset dan angin pukulan melabrak meja hingga terguling dan ambruk berantakan. Lampu minyak di atas meja ikut terbalik segera membentuk kobaran api. Perkelahian pecah sementar bangunan di mana mereka berada mulai ikut terbakar.
Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor namun menghadapi empat lawan tangguh begitu rupa, dalam keadaan tubuh penuh luka, memar dan menghitam akibat racun Keris Mustiko Geni, akhirnya dia menemui ajal. Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu itu.
********************
SEPULUH
Menjelang pagi. Sang surya masih belum terlihat menyembul meski langit di sebelah timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan besar istana satu upacara besar siap dilangsungkan. Yakni penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih Wulung Kerso.
Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi besar berukir kepala harimau pada dua lengannya dan burung garuda pada sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak mengapit masing-masing seorang perwira berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan tameng dan tombak sedang pedang tersisip di pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret para pejabat dan petinggi kerajaan.
Sedang di belakang kursi Pangeran Purbaya duduk ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi serombongan pemain gamelan menembangkan lagu-lagu sedih.
Suara gamelan berangsur perlahan dan akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul keluar seorang gadis membawa baki emas, melangkah setindak demi setindak menuju tempat duduk Pangeran Purbaya. Di sampingnya mengawal empat prajurit. Menyusul dua orang tua berjubah putih. Keduanya adalah pejabat-pejabat Istana paling tua yang di percayakan utuk memimpin upacara penobatan itu.
Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak sehelai kain merah putih terlipat rapi yang berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di atas kain inilah terletak mahkota emas bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di sudut ruangan menyerukan kata-kata puji syukur dan Tuhan Yang Maha Esa.
Gadis pembawa mahkota sampai di hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh rombongan dia menjura membungkukkan diri sementara semua yang hadir di ruangan itu telah berdiri. Dua orang tua berjubah putih maju ke depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan tangan menyentuh mahkota sedang yang sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang,
“Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan Yang mempunyai semua kekuasaan di..."
Kata-kata itu terputus mendadak karena dari ruangan sebelah depan istana tiba-tiba menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah langsung menyambar mahkota yang ada di atas baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan terdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut terpelanting.
Tentu saja suasana menjadi gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di kursi besar. Dua orang perwira yang mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang ke depan. Salah seorang ayunkan tombak sambil membentak,
“Rampok-rampok dari mana yang berani berbuat kurang ajar! Menganggu jalannya upcara penobatan!"
“Tranggg…!”
Tusukan tombak tertahan oleh sambaran golok bermata dua. Tombak itu patah dua sedang sang perwira kemudian terdengar menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini menancap di perutnya!
“Kami bukan perampok!” salah satu dari tiga orang yang menerobos masuk berteriak seraya melompat ke atas sebuah meja. “Kalian semua dengar! Kami datang untuk menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh berada di mana-mana. Acara penobatan ini tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani menantang nasibnya akan sama dengan perwira itu!”
Sesaat suasana menjadi hening seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara. Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi sia-sia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu menyingkir dengan suara gaduh. Belasan pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari ruangan.
Orang yang tegak di atas meja kembali berteriak. “Kalian semua tetap di tempat! Kalian...”
Sebatang anak panah melesat dari arah jendela di samping kanan, mengarah ke dada orang yang tegak di atas meja. Namun dengan hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah jendela. Di belakang jendela terdengar suara memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang perwira yang tadi melepaskah panah itu menemui ajalnya.
Orang di atas meja berteriak sambil berkacak pinggang. “Ada lagi yang hendak coba membokong?!”
Suasana kembali sunyi tapi ketegangan semakin memuncak. Siapakah tiga manusia yang barusan muncul mengacaukan jalannya upacara besar di istana itu? Mereka bukan lain adalah Warok Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
“Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang raja gagah perkasa! Yang akan melindungi kerajaan dari bencana keruntuhan dan peperangan..."
Lalu Lonceng Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana. Di situ tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah menuju kursi besar di ruangan upacara. Di tangan kanannya dia menggenggam Keris Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah, keris sakti mandraguna lambang tahta kerajaan yang telah merenggut sekian banyak jiwa.
Warok Tumo Item yang tegak memegang mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro sampai di hadapannya segera meletakkan mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat itulah dari dalam menghambur seorang perempuan sambil berteriak.
“Manusia-manusia rendah! Pengkhianat busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng ratu ibunda Pangeran Purbaya.
Entah bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat aman, dia berhasil meloloskan diri. Dan kini dia menghambur ke arah Raden Cokro sambil menghunus sebilah pisau besar. Ronggo Sampenan cepat datang menyongsong dan mendekap perempuan itu.
“Semua orang dengar!” teriak ibunda Pangeran Purbaya. “Jangan berdiam diri saja! Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia pengkhianat itu! Mereka bukan hendak menyelamatkan kerajaan. Tapi perampok-perampok bejat!”
Seperti mendapat semangat maka sejumlah pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga kambratnya. Namun semua itu tentu saja merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang singkat ruangan besar Istana itu telah berubah menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan dimana-mana. Darah membasahi dinding dan lantai. Suara pekik kematian dan erangan mereka yang meregang nyawa membuat tempat itu seperti neraka.
********************
SEBELAS
Permaisuri yang malang itu terbaring di tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan walaupun kedua matanya telah belut dan merah karena terus-menerus menangis sehari semalam.
“Tak pernah kusangka nasib kita akan seburuk ini, Purbaya” terdengar suara perempuan itu di antara isakannya.
Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di sudut ruangan batu yang merupakan penjara itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya tampak kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak berdarah.
“Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua ini. Entah bagaimana pula dengan nasib saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro benar-benar manusia setan...”
Pangeran Purbaya menghela nafas dalam. “Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah, ibunda...” katanya kemudian.
Sang ibunda bangkit dari tidurnya da menatap tajam pada putranya. “Ucapanmu hanya menunjukkan kelemahan hatimu. Seorang putra mahkota tidak boleh berkata seperti itu…”
Purbaya gelengkan kepala. “Saat ini aku bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah jadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam waktu dekat kita akan menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang berkuasa pasti akan menggantung kita cepat atau lambat.
Mendengar kata-kata puteranya itu sang permaisuri semakin keras tangisnya. “Kita tidak tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja ke dalam jurang...”
Terdengar rantai pintu besi ruangan batu itu digeser orang. Sesaat kemudian pintu terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi tidak masuk secara wajar karena tubuh keduanya kemudian dibantingkan ke dinding hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan itu muncul orang ketiga yang membuat baik Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat berdiri.
“Mengapa kau berada di sini! Bukankah kau orangnya yang membantu gadis pemberontak itu?!”
Orang yang dibentuk menyeringai. “Kau benar Pangeran, dulu aku membantunya karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi buta ini aku datang kemari untuk menolongmu.
“Jangan percaya pada pemuda gila ini, Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.
“Memang siapa yang percaya padamu. Kau tidak lebih baik dari empat keparat yang kini menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai dedengkotnya!”
“Dengar kalian berdua. Kita tak punya banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah kereta yang akan membawa kalian ke satu tempat. Dari tempat itu akan disebar pengumuman bahwa kalian berdua masih hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal ini maka urusan dengan empat manusia keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta berkahNya, kau akan mendapatkan tahta Kerajaan yang menjadi hakmu itu... Tapi aku ada syarat…”
Ibu dan anak saling berpandangan. Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda gondrong yang ada di hadapan mereka, yang bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Sampai saat ini orang-orang itu masih terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Mari!”
Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini seperti memberi semangat pada sang pangeran. Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap di bawah istana dan akhirnya sampai di tembok timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat sebuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan berlima mereka menyelinap menuju kereta yang telah menunggu di luar tembok.
Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika diamati ternyata orang ini adalah Imo Gantra, bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih berada dalam keadaan lumpuh akibat hantaman jarum.
“Sebelum menyusup ke tempat tahanan kalian, aku berhasil menemukan dia dan membawanya ke dalam kereta lebih dulu. Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku mengikat sebuah syarat…”
Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran Purbaya bertanya, “Apa syarat yang kau maksudkan itu...?”
“Syarat enteng saja. Kalian kubantu mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris Mustiko Geni akan kubawa...”
“Mana mungkin begitu!” tukas ibunda Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur dengan cepat. “Keris itu adalah lambang ikatan tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja...”
“Jangan tolol!” jawab Wiro. “Jika seorang jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata itu, apakah dia bisa jadi raja?!”
Ibu dan anak terdiam. “Apa perjanjianmu dengan paman Imo Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya.
“Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau tidak dengan syarat tadi...”
“Aku setuju saja!” jawab Pangeran Purbaya tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka mulut namun akhirnya memutuskan untuk tidak membantah.
“Nah, perjanjianku dengan orang tua bermuka cekung ini ialah, aku akan mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di tubuhnya. Setelah sembuh dia harus membantuku menggasak empat keparat yang sekarang bercokol di istana!”
“Kau telah mencelakainya, apakah paman Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya Pangeran Purbaya.
Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo Gantra. Suaranya perlahan saja karena tubuhnya yang lumpuh memang berada dalam keadaan lemas. “Aku memang sudah menyetujui syarat pemuda gila itu…”
"Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu baik-baik...”
Tapi ibunda Pangeran Purbaya masih belum puas. Dia bertanya. “Setelah kau mendapatkan Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau lakukan dengan senjata itu?”
“Akan kuberikan pada seseorang. Tapi jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk menambah noda darah dalam Istana…”
“Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia memang aneh. Terus terang sebenarnya aku tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi perjaka yang bisa keluyuran ke mana-mana...”
“Anak tolol!” bentak bekas permaisuri ketika mendengar ucapan puteranya itu. “Sekali lagi kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu Purbaya!”
Wiro tertawa lebar dan berkata, “Bagaimana pun, tidak sopan menampar seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar. “Kita hampir sampai...” katanya.
********************
Meskipun lobang tempat jarum menyusup sangat kecil dan hampir tertutup, namun dengan keahliannya Wiro Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo Gantra.
Kemudian Wiro kerahkan tenaga dalam untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling susah. Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi keringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari dalam keluar seperti memukul atau melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung ajian kesaktian.
Hal itu sudah lumrah bagi seorang jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu dipergunakan secara berkebalikan yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau menyedot. Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum senjata rahasia yang sebelumnya dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini tampak melekat pada badan kapak, berwarna merah karena terlapis darah.
Di atas lantai tanah yang dialasi jerami, Imo Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang tadinya lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia mencoba duduk dan berhasil.
“Makan ini...” kata Wiro seraya melemparkan obat berbentuk butiran. Imo Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu.
“Kalian sudah siap?” tanya Wiro.
“Kami akan pergi sekarang.”
“Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu kembali kemari, tapi langsung bergabung dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihak kita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh Pangeran Purbaya...!”
Dua prajurit itu menjura. Keduanya naik ke punggung dua ekor kuda yang membawa masing-masing sekantong besar surat selebaran berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di tempat yang aman. Orang-orang yang telah merampas takhta secara paksa akan mendapat hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan yang setia pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri diminta bersiap-siap untuk menyerbu istana.
DUA BELAS
Sambutan rakyat terhadap surat selebaran itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali. Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada yang bertindak sebagai pimpinan, namun berbagai senjata di tangan,dalam jumlah ratusn bahkan ribuan berbondong-bondong menuju Istana.
Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal istana yang melihat kejadian ini segera bersiap siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam, tetapi sebagian besar di antara mereka justru banyak yang menyeberang dan bergabung, disambut dengan tempik sorak gegap gempita oleh rakyat.
Di dalam istana, di mana Raja dan tiga konconya masih saja asyik berpesta pora, seorang prajurit datang menemui Warok Tumo Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi di luar istana. Lalu kepada Warok itu diserahkannya surat selebaran yang banyak bertebaran di kalangan rakyat sampai ke pelosok-pelosok Kutogede.
Oleh Warok Tumo Item, surat tersebut diperlihatkannya pada Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat. Cokro Ningrat meneguk dulu segelas minuman keras, pemandangannya berkunang-kunang tapi dia masih dapat membaca apa yang tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca dia tertawa mengekeh.
“Hanya sebuah surat edan! Apa yang ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu tak punya kekuatan untuk melakukan apapun. Apalagi hendak menyerbu kemari…”
"Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah siap dengan senjata di tangan!” kata Warok Tumo Item.
“Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh semua mereka yang berani melawan!”
“Betul! Bunuh semua!” Yang bicara adalah si bopeng Lonceng Maut yang duduk berdampingan dengan dukun jahat Ronggo Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama terpengaruh oleh minuman keras.
“Kalian bertiga enak-enakan di sini berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang melakukan!” Lalu Warok Tumo Item memanggil seorang perwira dan memerintahkan.
"Tak mungkin dilakukan Warok...” kata sang perwira. “Balatentara yang masih ada di istana tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain sudah menyeberang ke pihak musuh…”
“Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat senjata dan usir para perusuh itu. Kalau mereka melawan cincang saja!” bentak Warok Tumo Item.
Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana. Ternyata ada dua puluh satu orang yang bisa dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di luar istana, mereka bukannya menyerang melainkan bergabung dengan rakyat.
Praktis tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya dan petugas-petugas dalam istana pun satu demi satu meninggalkan tempat itu karena kawatir mendapat celaka bila penyerbuan terjadi.
“Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota emas tak pernah ditanggalkan sejak saat pertama diletakkan di atas kepalanya.
“Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil memandang berkeliling.
“Tapi masih ada dua orang gila di sini!”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan besar. Serentak keempat orang itu sama palingkan kepala... Dan di situ mereka melihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan sedang Imo Gantra mencekal dua golok besar di tangan kiri dan kanan.
“Dua orang gila kesasar!” teriak Cokro Ningrat.
Meskipun terpengaruh oleh minuman keras namun tiga orang lainnya yang berada bersama sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut segera loloskan loncengnya yang tergantung di leher. Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat loloskan golok bermata duanya.
Sedang Ronggo Sampenan keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah tembakau itu sementara tangan kirinya memegang seutas tali aneh sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris Mustiko Geni dari pinggangnya.
“Jika kalian mau menyerah secara baik-baik, kerajaan akan mengampunkan semua kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan maka bersiaplah untuk mati!”
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
“Dia menyebut-nyebut kerajaan. Kerajaan yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro Ningrat. Lalu sambungnya, “Apakah kalian tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta ampun. Mungkin aku masih bersedia mengambil kalian berdua menjadi jongos dan perawat kuda!”
Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak. “Kita serbu saja mereka sekarang. Selagi masih dipengaruhi minuman keras...”
Berbisik Imo Gantra. "Tenang saja. Siapa di antara mereka yang berbahaya?” balas berbisik Wiro Sableng.
“Si muka bopeng itu. Senjatanya yang berbentuk lonceng bisa mengganggu pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru itu. Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya. Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang penting hati-hati terhadap Cokro Ningrat. Dia memegang Keris Mustiko Geni"
“Kalau begitu dia yang harus kita bereskan lebih dahulu!” kata Wiro pula. Tangan kirinya bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama. Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk menjajal kehebatan senjata itu.
“Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!” ujar Imo Gantra ketika dia melihat apa yang ada di tangan kiri Wiro Sableng. “Dari mana kau dapatkan senjata itu?!”
“Bukan saatnya untuk bercerita...”
“Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar mereka satu per satu?!”
“Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!” ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat orang itu. “Jadi kalian tak mau menyerah? Dan memilih mampus percuma?”
Cokro Ningrat tegak dari kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat. “Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah.
“Diberi susu minta racun! Terimalah ini!” balas membentak Wiro. Tangan kirinya bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan suara bergaung menyambar ke arah Cokro Ningrat.
Percuma pada kekuatan Keris Mustiko Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat disertai hawa panas menebar. Cakra dewa tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar dari Keris Mustiko Geni membuat senjata itu mengapung ke atas namun selewatnya sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik.
Cokro Ningrat membentak marah dan cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan hingga membentuk lobang besar dan berubah warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu seperti hendak tenggelam menembus tembok, namun di lain kejap melesat kembali ke arah Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum-kagum melihat kehebatan senjata itu hampir terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendang-gendang telinga hendak mau robek dan jantung berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo Sampenan keluar semburan tembakau menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra.
Lalu menyusul sambaran tali merah yang dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara, terdengar suara petir menyambar disusul dengan memerciknya api di ujung tali! Warok Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan tiga tokoh silat itu.
“Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!” ujar Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si kakek muka cekung yang jauh lebih tua dari padanya.
Imo Gantra memang sudah siap menunggu. Dua golok di tangannya kiri kanan menderu membentuk dua lingkaran besar. Satu menyabung ke arah semburan tembakau Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi serangan golok tunggal Warok Tumo Item. Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu mendengar suara lonceng merobek telinga masing-masing, keduanya segera menutup indera pendengaran dengan aliran tenaga dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi tidak menyakitkan lagi.
“Bangsat-bangsat rendah! Kalian minta mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.
Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro Sableng segera menyongsong. Tapi untuk membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini tersentak kaget ketika suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk yang keluar dari senjata lawan menindih kehebatan lonceng kuningnya.
Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar. Ketika dia nekat merangsek terus sambil hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah tarik pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut Naga Geni 212 membalik menyapu setengah lingkaran.
“Edan!” teriak si bopeng ketika dia merasakan ada sinar putih perak menyambar panas luar biasa. Kalau dia tidak lekas bertindak mundur, perutnya sudah kena disambar mata kapak.
"Kleneng...!"
Longceng di tangan orang itu terbelah dua. Satu belahan mental dan menancap di loteng ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa dilepaskan karena loncengan itu seperti telah berubah laksana bara api akibat aliran panas yang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak melepuh!
Kejadian ini cukup membuat Lonceng Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua kali apakah dia akan terus melanjutkan perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo Item. Namun karena kepala rampok ganas itu berdua dengan si dukun jahat Ronggo Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra untuk melayani keduanya sekaligus.
Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak seperti hendak melemparkan Cakra Dewa. Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke depan untuk melindungi diri. Namun gerakan Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan lemparan.
Cakra Dewa membeset di udara. Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya, kemudian melesat kembali, membalik ke arah Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian bibir tampak membiru.
Itulah jahatnya racun Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni lepas dari genggamannya. Mahkota emas tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah kaki Wiro. Dengan tangan kirinya Wiro mengambil mahkota sedang tangannya cepat memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hati-hati keris tak bersarung itu diselipkan ke pinggang sedang mahkota emas dikenakan seenaknya di kepalanya.
“Kami menyerah!” teriak Ronggo Sampenan ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan membuang goloknya namun nasibnya malang. Gerakannya yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo Gantra.
Ketika golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung. Darah mengucur membasahi lantai. Kedua tangan Warok Tumo Item menggapai-gapai ke udara seperti berusaha berpegangan pada sesuatu. Tapi dia hanya memegang angin. Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, tapi belum sempat menyentuh kursi itu tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan terkapar di tanah.
Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini. Sementara itu di luar istana terdengar suara gegap gempita. Ratusan orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran Purbaya bersama ibundanya. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu tinggalkan ruangan ini dan menyongsong Pangeran Purbaya di tangga istana.
“Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku minta diri sekarang…”
“Apakah kau sudah mendapatkan Keris Mustiko Geni?” tanya sang pangeran.
Wiro mengangguk sambil menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran Purbaya dan ibunya. Ketika dia hendak berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru,
“Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni. Jangan ambil pula mahkota emas ku!”
Wiro tersentak kaget. “Astaga! Mohon maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!” kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota yang masih berada di kepalanya.
Orang banyak tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang pangeran lalu berkata, “Pendekar, kau tidak kami izinkan pergi. Kau harus menetap di Kutogede karena kami memutuskan untuk mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan Kerajaan!”
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. “Terima kasih atas kepercayaanmu Sri Baginda. Tapi...” Wiro goyang-goyangkan tangan kanannya. “Itu tidak termasuk dalam perjanjian kita sebelumnya!” Lalu sekali berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan rakyat yang berkerumun di tempat itu.
“Pemuda itu aneh, kadang-kadang menjengkelkan!” ujar Pangeran Purbaya. “Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia menyebutku Sri Baginda...”
“Ya, dia memang seperti sinting. Tapi hatinya polos!” Memuji sang ibunda.
“Tiba-tiba seseorang berteriak. “Gotong raja kita ke singgasananya!”
Lalu puluhan manusia bergerak berebutan untuk menggotong Pangeran Purbaya dan mendudukannya di atas kursi besar. Imo Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar