WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT
INI satu pemandangan yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.
Di atas punggung kuda putih itu membelintang sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki separuh baya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu lama menemui ajalnya.
Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu, duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah. Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.
Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan hidup dan satu sudah jadi mayat!
Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher binatang itu dan berkata,
“Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!”
Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras, lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara semak belukar.
Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.
Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas Gunung Klabat.
Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang kearah sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan mengetuk pintu yang tertutup.
“Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!” Lalu perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.
Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.
“Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!”
Satu suara lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun pintu. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan celana gombrong putih.
“Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat..."
"Tangkario. Hem... Aku pernah dekat dengan nama keluarga Tangkario. Tapi...” Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya sesaat tampak mengembang. “Hemmm... Aku mencium bau mayat...” desisnya kemudian.
“Bapak Tua Walalangi,” perempuan yang mendukung jenazah berkata dengan heran. “Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di bahu kanan...” Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-lekat. Kemudian terdengar suaranya agak tertahan. “Astaga, Bapak Tua... Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang.
Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka bacokan di leher mayat.
“Siapa yang berbuat sekejam ini...” katanya dengan suara tercekat. “Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya. Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan mayat yang kau bawa kemari ini!”
Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab pertanyaan orang tua tadi.
“Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas, Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur, tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langit-langit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok. Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib...”
“Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri, Sulami?”
“Betul Bapak Tua...”
“Siapakah nama suamimu, perempuan malang?”
“Mararanta Tangkario...” Jawab Sulami.
Paras si orang tua tampak berubah. “Jadi... Mararanta. Ah, dia masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini. Sulami, ceritakan apa yang terjadi...”
“Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi.”
“Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang melakukannya!”
“Saya pun menduga demikian Bapak Tua,” sahut Sulami Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. “Enam bulan yang lalu saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan pernikahan. Setelah nikah satu bulan, saya melihat ada satu kelainan dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa. Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang mengikutinya"
“Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan siapa orang yang menjadi lawannya?” bertanya Bapak Tua Walalangi.
“Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini seorang gadis bernama Minari. Gadis itu ternyata adalah kekasih seorang pendekar berkepandaian tinggi. Namun Minari sendiri tidak menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa...”
Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih mengucur dia melanjutkan. “Malam tadi, begitu saya tidak berhasil mengejar si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan...”
Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya, “Apa pesan suamimu itu Sulami?”
“Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah kekasih Minari. Dan katanya lagi... Dia tak akan tenteram di dalam kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat pembunuhan keji atas dirinya ini!”
Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam seperti merenung. “Begitu katanya...? Ah, sungguh satu pesan yang berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?”
“Mohon maaf Bapak Tua...” kata Sulami. Dan bulu kuduknya mendadak saja jadi merinding. “Dia berkata bahwa hanya Bapak Tua-lah yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat mencari si pembunuh...”
“Ya Tuhan... Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat begini macam...?” Membatin Walalangi. Lalu dia berkata, “Ketahuilah Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembuskan nafas...”
“Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimana-mana. Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak dikabulkan...”
Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario. Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi keluarkan keringat dingin. “Sulami... Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar...?”
“Betul sekali Bapak Tua.”
“Apakah senjata itu ada kau bawa?”
“Saya memang membawanya Bapak Tua...” jawab Sulami Tangkario.
Lalu dari balik buntalannya dia mengeluarkan sebilah golok tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu ketangan Walalangi.
Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnya ditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.
“Ini memang golok Jawa...” kata Walalangi sesaat kemudian. “Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!”
Orang tua itu remaskan lima jari tangan kanannya ke gagang golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur! Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok.
"Trakkk! Tringg...!"
Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga. Dengan tangan kanannya Walalangi lalu melemparkan patahan golok jauh ke puncak gunung sebelah selatan.
Lalu sambil memegang kepala Sulami orang tua ini berkata, “Mararanta cucuku. Berarti kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan untuk memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang suamimu. Tapi kalau Tuhan mengizinkan biarlah aku menanggung segala dosa dan memenuhi permintaan Mararanta...”
Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya ke pangkuan si orang tua. Walalangi usap-usap kepala perempuan itu lalu berkata, “Ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku dapat memenuhi pesan suamimu itu, Sulami...”
“Mohon Bapak tua mengatakannya,” ujar Sulami pula.
“Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di dekat laut atau di dekat danau...?”
“Kami tinggal di pinggir danau Tondano, Bapak Tua...”
“Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air danau Tondano, masukkan dalam tujuh tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam waktu dua hari kau sudah kembali kesini membawa benda-benda itu semua...”
“Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya akan berangkat sekarang juga...!” kata Sulami Tangkario seraya hendak berdiri.
“Tunggu dulu cucuku...” kata si orang tua sambil memegang bahu Sulami. “Kau belum mengatakan siapa orang Jawa berkepandaian tinggi yang menjadi lawan bentrokan suamimu itu...”
“Kalau saya tidak salah ingat, suami saya menyebut namanya sebagai Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari...” mengulang Walalangi dengan suara berdesis. “Cucuku, kelihatannya kita akan menghadapi musuh yang sangat tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa agar Tuhan melindungi dan membantu kita...”
Begitu tiga orang penduduk desa itu selesai menimbun tanah kuburan, orang tua itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan berkata,
“Kalian bertiga boleh pergi...”
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan tempat itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh salah seorang dari mereka berkata,
“Aku berkata melihat ada keanehan pada upacara penguburan jenazah tadi!”
“Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu melafatkan doa tiada henti sewaktu kita menimbun kubur. Apanya yang aneh...?” tanya kawannya.
“Apakah kau tidak melihat tujuh batangan bambu berisi air lalu tujuh kembang terbungkus dalam daun...? Disini tak ada adat kebiasaan atau upacara seperti itu!”
Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka mulut. “Memang aku setuju kalau ada keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan mengintip apa yang dilakukan orang tua dan perempuan muda itu selanjutnya...?”
Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang desa itu tinggalkan pacul masing-masing di suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat pemakaman.
Sementara itu di puncak gunung. Walalangi ambil tujuh buah tabung berisi danau Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari kepala terus ke arah kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Walalangi pegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh dibagian kaki kubur, Walalangi kembali ke bagian kepala. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang didalamnya bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
“Sulami...” Walalangi melangkah mendekati istri cucunya itu. “Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau saksikan jangan sekali-kali mengeluarkan suara sedikitpun! Jika itu sampai dilanggar, usahaku untuk memenuhi permintaan suamimu akan sia-sia belaka. Kau dengar itu Sulami...?”
Sulami menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Walalangi memutar tubuhnya, kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan,
“Ya Tuhan penguasa seluruh alam dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi sesungguhnya engkau telah mengetahui apa yang kami inginkan, apa yang si mati inginkan. Kami harap kau berkenan mengabulkannya ya Tuhan. Jika permintaan dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa besar di mataMu, mohon ampunanMu dan biarlah saya sendiri yang menanggung segala dosanya!”
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu Walalangi meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Kembali Sulami Tangkario tidak dapat mendengar apa sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu. Namun sesaat kemudian dia mendengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun. Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip memandang ke arah kubur suaminya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu. Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika Sulami memperhatikan lebih lanjut terkejutlah perempuan muda ini.
Gulungan asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula-mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang muncul dari asap ini bukan lain adalah suaminya sendiri! Mararanta Tangkario!
Kalau tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat itu Sulami telah memekik keras. Dia kancingkan mulutnya rapat-rapat malah letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar jangan sampai mengeluarkan suara sedikitpun.
Mararanta Tangkario tegak dengan kedua tangan lurus disamping badan. Kepalanya mengarah ke timur dan pandangan matanya lurus ke depan, hampir tidak berkesip. Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar bekas bacokan. Darah mengotori sebagian muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia mati terbunuh!
“Mararanta... Kau dengar suaraku menyebut namamu?” Walalangi bertanya dengan suara bergetar karena hampir tak kuasa menahan gelegak dalam dadanya.
Mararanta si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya perlahan dan sangat kaku.
“Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam kematian, merupakan kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi niatmu telah tercapai, maka kau harus kembali ke puncak Gunung Klabat ini dan beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika kau menyalahi tujuanmu semula, yakni mempergunakan hidup sementaramu ini untuk maksud lain, bukan untuk kepentingan yang semula kau katakan sebelum ajalmu, maka kau tak akan pernah kembali dan berkubur disini secara wajar. Seumur dunia, sampai kiamat kau akan hidup terkatung-katung antara dua alam yakni dunia dan akhirat. Dan diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat sangat! Karenanya lakukan apa yang kau inginkan semula, lalu kembali kemari. Kau dengar Mararanta...?”
Kembali Mararanta mengangguk.
“Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar Mararanta...?”
“Sa... ya... men... de... ngar...” terdengar jawaban Mararanta Tangkario. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
“Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke tanah Jawa. Lakukan apa yang kau inginkan. Balaskan sakit hatimu! Jangan menyimpang dari itu!”
Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala. Tampak kakinya bergerak turun dari tanah kuburan. Begitu menginjak tanah di samping kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba saja menjadi lenyap seperti ditelan bumi.
Walalangi merasakan dadanya bergoncang keras. Sulami tiba-tiba saja merasakan lututnya goyah dan perempuan ini langsung roboh ke tanah.
Tiga orang penduduk desa yang mengintai di kejahuan, lari menghambur ketakutan ketika melihat sosok mayat hidup itu bergerak melangkah. Salah satu diantara mereka malah ada yang sampai terkencing-kencing!
Seperti meledek anak rusa itu tegak memandang ke arah pemuda yang mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya yang hanya sepanjang jari telunjuk. Orang yang mengejar bergerak dua langkah lalu diam. Anak rusa itu maju pula dua langkah lalu diam. Begitu dikejar kembali, dengan cekatan binatang ini melompat dan menghambur ke balik semak belukar.
Tapi dia tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika orang itu datang mendekat, dia sengaja menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal tiga langkah lagi, anak rusa itu melompat dan lari masuk ke dalam hutan jati.
“Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu bukan untuk kupanggang dan kulahapi. Hanya sekedar untuk jadi sahabat mainan! Tapi kalau kau meledekku begini rupa, jangan harap aku masih mau berniat baik! Dagingmu tentu harum dan segar untuk dilahap.”
Maka si pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan jati di arah lenyapnya anak rusa tadi. Namun setelah beberapa lama mencari kesana-kemari dia tak berhasil menemui binatang itu. Jangankan menemuinya, mendapatkan jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda itu akhirnya memutuskan untuk keluar saja dari hutan itu.
Namun baru saja dia memutar tubuh mendadak gerakannya tertahan. Jauh di dalam hutan, lapat-lapat dia mendengar seperti ada suara orang mengerang dan menangis. Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipitkan kedua matanya, memandang ke arah hutan jati sebelah dalam dan memasang telinga lebih tajam.
“Jangan-jangan itu suara dedemit atau mahluk jejadian yang hendak menjebak lalu mencelakakan diriku...” berkata si pemuda dalam hati. Dia segera putar tubuh kembali. Tapi tak jadi lagi. “Suara itu sepertinya suara tangis sendu manusia sungguhan... Tak ada salahnya aku menyelidik sebentar.”
Lalu pemuda ini akhirnya masuk kembali ke dalam hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara erang bercampur tangis yang makin jauh dia masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan menembus hutan cukup jauh pemuda itu temukan sebuah rumah kecil terbuat dari papan kasar. Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela rumah tertutup rapat. Justru suara erang bercampur tangis itu datang dari dalam rumah!
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah papan dan sekelilingnya, lalu menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda tadi melangkah cepat menuju pintu rumah papan. Ketika didorong terdengar suara berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.
Di dalam rumah suasana gelap redup. Sedikitnya cahaya yang merambas masuk lewat pintu yang terbuka membuat pemuda yang barusan masuk masih bisa melihat apa yang ada dalam rumah ditengah hutan belantara itu. Untuk beberapa lamanya si pemuda tegak seperti terpaku. Kedua matanya membesar tak berkesip.
“Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di tempat ini...?!” desis si pemuda.
Di dalam rumah papan itu hanya terdapat sebuah ranjang papan yang beralaskan tikar jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh seorang perempuan dengan rambut sembrawut acak-acakan. Tubuhnya mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tidak berbentuk lagi karena penuh robek disana sini dan tak sanggup lagi menyembunyikan auratnya yang kuning langsat. Walaupun kotor dan berada dalam keadaan sangat menderita, namun kesengsaraan itu tak dapat menyembunyikan kecantikan wajah perempuan itu.
Hampir di sekujur badannya, terutama di bagian leher, dada dan pangkal paha penuh dengan tanda-tanda merah seperti tanda gigitan. Kedua tangannya terpentang dan masing-masing ibu jari tangan itu diikat dengan-sehelai tali halus. Ujung tali yang lain diikatkan pada kaki-kaki tempat tidur. Kedua kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-ibu jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di salah satu ujung kaki perempuan ini tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si pemuda, tegak menunduk sambil menjilati kaki kiri perempuan yang terikat di atas tempat tidur itu!
“Ah, disini kau rupanya...” berucap si pemuda. Anak rusa itu mengangkat kepalanya, memandang sebentar pada si pemuda lalu kembali meneruskan menjilati kaki kiri perempuan itu.
Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu, menyaksikan sosok tubuh perempuan muda yang cantik dan nyaris telanjang di atas ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan masuk ke dalam rumah akan tergoncang juga imannya. Namun apa yang disaksikannya saat itu adalah satu kekejaman!
“Tolong... Demi Tuhan... tolong diriku! Lepaskan aku dari malapetaka ini. Tolong Rupanya perempuan yang terikat diatas ranjang menyadari kalau ada seseorang masuk ke dalam rumah.
Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat bertindak untuk memutus empat utas tali yang mengikat kedua tangan dan kaki perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan tidak sanggup memutus tali-tali itu ataupun membuka buhulnya dengan tangan kosong. Ditelitinya ke empat tali itu.
Baru disadarinya kalau empat tali tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja empat tali itu tak satupun yang bisa dibikin putus! Hampir kehabisan akal pemuda itu terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk kepala.
“Tak ada jalan lain...” si pemuda berkata. Tangan kanannya menyelusup ke balik pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar terang memenuhi rumah papan yang sempit itu. Empat kali sinar terang berkelebat dan empat kali terdengar suara...
"Trasss- Trasss-Trassss...!"
Empat tali pengikatpun putus. Setelah putus baru buhul yang mengikat ibu jari kaki dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si pemuda simpan kembali senjatanya berupa kapak bermata dua ke balik pakaian!
Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu, perempuan di atas ranjang keluarkan pekik halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada daya. Mungkin sudah lebih dari dua hari dia diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi minum. Namun sepasang matanya masih memancarkan pandangan dengan sorotan tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa berkedip pada pemuda yang barusan telah menolongnya.
“Pergi... pergi dari sini. Sebelum manusia durjana itu muncul...” terdengar perempuan itu berkata. Suaranya setengah berbisik.
Anak rusa yang tadi menjilati kakinya di atas tempat tidur, kini telah melompat pula dan rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan itu.
Pemuda yang barusan menolong memang membaui adanya bahaya di tempat itu. Namun sebelum pergi dia harus mengetahui dulu siapa adanya perempuan muda itu dan mengapa sampai berada dalam keadaan seperti itu di rumah papan di tengah rimba belantara itu.
“Saudari... Katakan siapa dirimu? Mengapa... kau berada di tempat ini. Siapa yang melakukan kekejaman ini...!”
“Aku... Namaku Minari... Aku diculik sejak empat belas bulan yang lalu. Dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya... akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun manusia keparat itu tidak lagi memberiku makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia ingin aku mati secara perlahan-lahan... Dia manusia biadab. Ganas! Lebih ganas dari setan dan iblis! Lekas... Kita... kita harus pergi dari sini. Keparat itu bisa muncul setiap saat... Tolong... Bawa diriku dari tempat celaka ini. Saudara tolonglah lekas...”
“Ya... Kita akan pergi. Aku akan menolongmu. Tapi katakan dulu siapa manusia biadab yang memperlakukan dirimu seperti ini?” bertanya si pemuda lalu memegang tubuh perempuan itu dan menggendongnya.
“Manusia itu, seorang manusia berhati iblis. Dia menyebut dirinya sebagai...”
Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri ucapannya tiba-tiba...
"Braakkk...!" Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di sebelah kiri ambrol berantakan dan sesosok tubuh melesat masuk dari dinding yang hancur itu!
Perempuan dalam dukungan si pemuda menjerit keras, menyebut sebuah nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari gendongan namun tidak mampu. Akhirnya dia hanya bisa menjerit kembali.
Pemuda berpakaian putih yang menggendong perempuan muda itu menatap dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh yang barusan masuk menerobos dinding papan. Di hadapannya, terpisah di seberang tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki separuh baya dengan luka menganga di pangkal lehernya. Noda darah membasahi sebagian muka, leher serta bajunya. Orang ini tegak seperti patung, memandang lurus ke depan, tanpa berkedip.
Satu cara memandang yang luar biasa aneh karena si pemuda merasa pandangan mata orang itu seolah-olah menembus batok kepalanya, bahkan menembus dinding di belakangnya! Dan mukanya yang pucat itu serta bibir yang membiru mendatangkan rasa ngeri bagi siapa saja yang memandangnya!
“Saudari...,” berbisik si pemuda. “Inikah manusianya yang telah menculik dan mencelakaimu...?”
Dada Minari tampak turun naik. Dia menggeleng. Dia coba membuka mulut tapi yang keluar kembali teriakan keras. Dia berteriak menyebut nama, “Kakak Mararanta!” Perempuan itu berusaha turun tapi si pemuda masih terus menggendongnya.
“Mi... na... ri... is... tri... ku! A... ku... da... tang un... tuk... mem... ba... wa... mu... per... gi... “
Orang diseberang tempat tidur keluarkan suara berkata yang aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki lidah yang kelu. Setiap patan kata yang diucapkannya terdengar begitu lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah.
“Kakak! Bawa aku bersamamu... Tapi, kau terluka kakak Mararanta...” Perempuan dalam gendongan berkata.
“Tu... run... kan... is... tri... ku! Le... tak... kan di... tem... pat... ti... dur... La... lu... kau... ber... siap... lah... un... tuk... ma... ti!
Si pemuda terkejut. “Saudari... jadi kau istri lelaki itu...?” tanyanya.
Minari anggukkan kepalanya berkali-kali. “Turunkan aku... Lakukan apa yang dikatakannya...” dia mampu bicara juga akhirnya. Dengan perasaan masih sangat tercekat pemuda itu akhirnya turunkan perempuan yang digendongnya. Lalu di seberang sana dilihatnya lelaki yang dipanggil dengan nama Mararanta tadi angkat tangan kanannya. Caranya mengangkat tangan itupun aneh. Gerakannya lurus-lurus seolah-olah dia tidak memiliki siku sedang kedua matanya tampak memancarkan sinar aneh!
“Kakak Mararanta...! Jangan...! Pemuda itu orang baik! Dia telah menolongku!” berteriak Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah menjadi suaminya itu hendak melancarkan serangan.
Gerakan tangan yang kaku berhenti dan sesaat tangan kanan itu masih bergantung lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk kaku. Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara yang aneh, tapi cepat sekali tubuh Minari yang ada di atas tempat tidur terangkat dan tahu-tahu sudah tersadar di bahu kirinya.
“Kakak... kau terluka... Kau...” Minari tak sanggup meneruskan ucapannya. Tubuhnya terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu lelaki yang pernah menjadi suaminya dan kemudian terpisah sejak lebih dari setahun yang silam.
“A... ku... ti... dak... per... ca... ya... pa... da... mu! Kau... te... lah... men... ce... la... kai... is... tri... ku! Kau... Kau... ha... rus... mati... di... ta... ngan... ku!”
Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya menjadi marah dan meradang dituduh telah mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan mata angker lelaki di hadapannya itu membuat dirinya seperti kehilangan segala daya untuk marah atau membentak. Dengan suara bergetar dia berkata,
“Saudara... Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi kau harus percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu. Kalau memang benar dia istrimu! Siapa kau sebenarnya...? Mengapa ada luka besar di lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu terputus-putus.
“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat! U... cap... an... is... tri... ku... ting... gal... u... cap... an... A... ku... li... hat... sen... di... ri... kau... hen... dak... me... la... ri... kan... Mi... na... ri! Kau... pas... ti... ka... ki... ta... ngan... ma... nu... sia... ke... pa... rat... ber... na... ma... Pa... nge... ran...Ma... ta... ha... ri... itu!... Ka... ta... kan... di... ma... na... dur... ja... na... i... tu... ber... a... da...!”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut dirimu begitu...?” si pemuda memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya. “Apa... apa betul kau mayat hidup... Gila! Bagaimana ada mayat hidup!”
Namun dalam hatinya pemuda itu merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat tiada berdarah dan bibir yang biru itu... Memang begitulah keadaan mayat. Tapi mayat hidup! Sulit dipercaya.
“Paling tidak manusia satu ini bangsa orang gendeng juga!” Begitu si pemuda membatin. Lalu, “Hai! Tadi menyebut nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan menyebut nama Pangeran Matahari?!”
“A... ku... bi... ca... ra... Kau... men... de... ngar... Aku... ti... dak... bi... su... kau... ti... dak... tu... li...” si Mayat Hidup Gunung Klabat alias Mararanta Tangkario menjawab.
“Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu. Karena itu kau dengar penjelasanku baik-baik. Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari. Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun sudah lama mencari-cari keparat itu!”
“Kau... dus... ta... A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... mu... A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... o... rang... Ja... wa...!”
“Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup! Jangan menyebut-nyebut nama orang Jawa segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!” teriak si pemuda.
“Is... tri... ku... o... rang... Ja... wa... yang... ba... ik...,” jawab Mayat Hidup Gunung Klabat.
Lalu tangannya membuat gerakan kaku, bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah kejurusan si pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung Klabat tampak seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-tiba saja seantero tempat menjadi panas luar biasa! Pemuda yang mendapat hantaman angin keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai. Saat itu pula terdengar suara ledakan keras.
Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur berantakan berkeping-keping ke udara bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus. Si pemuda sendiri ikut terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya tampak luka-luka. Pakaian putihnya robek dan pipi kirinya baret! Mararanta Tangkario bersama Minari dan anak kijang lenyap dari tempat itu!
Ketika pemuda yang pingsan itu siuman dan membuka kedua matanya, pertama sekali yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di sebelah atas dua kaki itu memakai sehelai celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi tampak baju yang juga berwarna hitam. Di bagian dada baju terpampang gambar puncak gunung berwarna biru melambangkan gunung Merapi. Pada latar belakang gambar gunung berwarna biru itu tertera gambar matahari merah dengan guratan-guratan berwarna kuning melambangkan sinar matahari.
Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati itu bukakan kedua matanya lebih lebar. Kini dia dapat melihat tampang manusia berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini memiliki kening tinggi yang diikat dengan sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan rahangnya menonjol. Keseluruhan wajahnya membersitkan kekerasan, keangkuhan atau kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya manusia ini!
Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang berpakaian hitam keluarkan suara tertawa dan cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya sudah menginjak tenggorokan pemuda berpakaian putih yang tergelimpang di tanah!
“Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Dan kita sama-sama tidak menyukai pertemuan ini, bukan...?!”
Pemuda berpakaian putih yang ternyata adalah Wiro Sableng murid Eyang Sinto Gen-deng dari Gunung Gede menyumpah dalam hati, “Bangsat ini menginjak leherku! Bagaimana aku bisa menjawab ucapannya! Sialan!”
Diam-diam dengan cepat Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke tangannya kiri-kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan kedua tangannya secara menyilang ke arah betis orang yang menginjak lehernya. Untuk mencegah agar orang itu tidak menghujamkan kaki dan menghancurkan lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah selangkangan lawan!
Si baju hitam mendengus dan keluarkan ucapan mengejek, “Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat Pendekar 212! Kalau tidak lehermu pasti sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang ke akhirat!”
Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya putus seolah-olah dibabat oleh gunting raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya dan disaat itu juga tubuhnya melesat keudara setinggi dua tombak. Dia membuat jungkir balik di udara satu kali lalu melayang turun dengan kedua kaki menjejak tanah lebih dahulu.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat kedua lututnya lalu melompat bangun dan tegak sambil pasang kuda-kuda. Lelaki berbaju hitam dengan gambar gunung dan matahari di dadanya menyeringai.
“Hem... tak pernah aku melihat keadaanmu seburuk hari ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek seperti pakaian gembel. Kulitmu luka-luka dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini? Atau ada musuh yang sempat menghajarmu babak belur...?”
Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai. Kedua tangan dirangkapkan di depan dada. “Pangeran Matahari! Lama tak bertemu apakah kau barusan datang dari neraka atau liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan mulutmu sebau comberan. Kau pasti menyesal mengapa tidak membunuh musuh bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih pingsan!”
“Mengambil nyawamu semudah aku membalikkan telapak tangan pendekar sableng! Aku memang tidak membunuhmu karena perlu beberapa keterangan...!”
“Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau inginkan. Dan jawabanku adalah semudah aku membalikkan telapak tangan untuk cebok...! Ha ha ha...!”
Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu, tapi mulut Pangeran Matahari masih bisa sunggingkan seringai. “Keterangan pertama! Ceritakan padaku bagaimana kau bisa sampai di tempat ini! Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan rumah papan milikku! Siapa yang membuatnya porak-poranda seperti ini. Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian kuning yang sebelumnya terikat di atas ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan keterangan padaku!”
“Mudah saja... Mudah saja...!” sahut Pendekar 212 seraya usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain. “Keterangan pertama! Aku sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi juga karena mendengar ada yang mengerang dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata di dalamnya ada seorang perempuan dalam keadaan sangat menderita, terbaring di atas tempat tidur dengan dua tangan dan dua kaki terikat! Dan aku tahu Pangeran Matahari... Kau yang punya pekerjaan biadab itu!”
“Dugaanmu tepat!” sahut Pangeran Matahari lalu tertawa gelak-gelak. “Lanjutkan keteranganku sampai habis!”
“Keterangan kedua!” ujar Wiro melanjutkan. “Yang merubah rumah papanmu menjadi puing-puing tak berguna ini adalah seorang yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung Klabat...”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan apa pula itu...? ujar Pangeran Matahari. “Jangan-jangan kau hanya mengarang...”
“Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan makhluk itu. Ujudnya seperti manusia biasa. Ada luka besar masih menganga dan belum kering darahnya di pangkal lehernya. Dia menuduhku telah menculik dan berlaku keji terhadap perempuan yang terikat di atas tempat tidur. Karena itu dia lalu menyerangku dengan pukulan sakti. Pukulan itu yang menghancurkan rumah papanmu. Kau tentu ingin tahu siapa nama Mayat Hidup Gunung Klabat itu bukan...? Kau pasti kenal padanya...”
“Jangan menyuruh aku menduga-duga tak karuan. Lekas beri tahu siapa nama orang itu jika kau memang sudah tahu!” bentak Pangeran Matahari pula.
“Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang istrinya kau culik, lalu kau bawa dari satu tempat ke tempat lain...”
“Apa katamu...?!” ujar Pangeran Matahari dengan mata melotot. “Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh oleh dukun suruhanku! Bagaimana mungkin tahu-tahu bisa hidup kembali?!”
“Justru disitulah letak masalahnya. Bagaimana orang sudah mati bisa hidup kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan dirinya ketika dia hendak membawa istrinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia memiliki pukulan sakti luar biasa!”
“Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario itu yang menghancurkan rumahku, menghajarmu sampai babak belur begini dan menculik Minari...?!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!” Sahut Pendekar 212 pula. “Dan ketahuilah... Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul untuk mencari dan membunuhmu!”
“Dia boleh datang menemuiku jika minta mampus. Tapi sulit kupercaya jika orang yang sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup dan menjelma kembali...!”
“Kau tanyakan sendiri jika bertemu dengannya!” ujar Wiro seraya menyeringai.
Pangeran Matahari merenung sejenak lalu berkata, “Pendekar 212! Antara kita banyak silang sengketa dan dendam lama yang harus diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar yang tengah kuhadapi aku bersedia menunda urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi kau telah memberi keterangan yang sangat penting padaku...”
Wiro tertawa kecil. “Di lain saat jika bertemu lagi, kau harus membayar penundaan penyelesaian hutang-piutang ini dengan bunganya...”
“Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga itu akan kubayar dua kali lipat! Aku harus mengejar mereka sekarang juga!”
Habis berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan telapak tangan kirinya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat rundukkan kepala. Sinar biru berkelebat ganas di atas kepalanya, menghantam pohon jati tua di belangnya hingga patah dan tumbang menggemuruh.
Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu serangan lawan berhasil dielakkannya dan Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke kanan, murid Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan tangan kiri. Suara menggemuruh laksana ada batu besar menggelinding, menghantam ke arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti bernama Kunyuk Melempar buah!
Pangeran Matahari melompat setinggi satu tombak ke atas sambil kebutkan lengan baju hitamnya.
"Wutttt...!"
Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada denyutan cukup mengagetkan membalik menghantam dadanya, membuat pendekar ini cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain pihak sang Pangeran sendiri buru-buru menarik pulang tangannya ketika di dengarnya ada suara berkerebetan. Ketika dilihatnya ternyata ujung lengan kiri pakaian hitamnya itu telah robek!
Ketika Minari siuman dari pingsannya, didapatinya dirinya terbaring diatas rerumputan. Dengan siisah payah dia mencoba duduk. Begitu duduk dan memandang berkeliling, tercekatlah perempuan ini. Ternyata dia berada di sebuah bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi berbagai bunga. Walaupun cuma bunga-bungaan liar namun pemandangan disitu indah sekali.
Lebih terkejut lagi dia sewaktu menyadari bahwa kini dia tidak lagi mengenakan pakaian biru muda yang kelihatannya masih baru. Sehelai itu sekujur tubuhnya yang sebelumnya kotor kini tampak bersih sedang rambutnya yang awut-awutan kini tersisir rapi.
Siapa yang melakukan semua ini...? Siapa yang menggantikan pakaiannya, siapa yang membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada yang mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya pastilah orang itu telah membuka pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa tutupan sama sekali...! Memikir sampai disitu Minari merasakan tubuhnya bergetar dan wajahnya merah karena jengah.
Perempuan ini memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat disampingnya, diatas sehelai daun terdapat beberapa macam buah-buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan manggis hutan. Disebelah buah-buahan ini terletak daun yang dibentuk demikian rupa seperti mangkok dan didalamnya ada air jernih.
Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun rasa lapar serta dahaga membuat dia segera saja melahap jambu air lalu meneguk air dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu ke atas rumput, saat itulah dia ingat. Dan dia memandang berkeliling seraya memanggil.
“Mararanta... Kakak Mararanta? Dimana kau...?”
Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke belakang, di arah mana terdapat sekolompok pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu pohon itu melayang turun satu sosok tubuh, langsung tegak di hadapan Minari.
“Kakak...!” seru Minari ketika dikenalinya orang itu adalah suaminya, Mararanta Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki itu dengan matanya yang bening bersinar. Lalu dia beringsut maju dan peluk pinggang lelaki itu. “Kau, kaukah yang menggantikan pakaianku, kaukah yang menyediakan buah-buah serta air minum itu kakak? Kau jugakah yang membersihkan tubuhku...” Minari mendongak dan melihat Mararanta anggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. “Kau terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu. Keadaanmu sangat tidak terawat. Lukamu itu harus diobati. Mukamu pucat sekali dan bibirmu biru...” Ucapan Minari tidak putus-putus karena menyaksikan keadaan suami yang terpisah selama empat belas bulan itu sungguh sangat menyedihkan. “Kakak Mararanta, mengapa kau jadi begini? Mengapa kau menghilang sekian lama. Aku telah jadi korban penculikan manusia terkutuk Pangeran Matahari itu Minari menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai menangkis.
“Ja... di... be... nar... bang... sat... i... tu... men... cu... lik... mu...”
“Kakak... Suaramu! Mengapa berubah seperti ini?!” kejut Minari. Lalu dia ingat bahwa diapun sempat mendengar suara Mararanta sewaktu berada di rumah papan di hutan jati. Suara yang aneh, kaku dan lamban seolah-olah datang dari jauh.
“A... ku... me... mang... te... lah... ber... u... bah... Mi... na... ri...! A... ku... bu... kan... Ma... ra... ran... ta... sua... mi... mi... mu... yang... du... lu...! A... ku... te... lah... ma... ti...”
“Mati...?” ujar Minari. “Tidak! Kau tidak mati! Kau harus tetap hidup seperti yang kulihat saat ini! Kita harus berkumpul kembali...!”
“Ti... dak... mung... kin... is... tri... ku...”
“Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita tinggalkan tempat ini. Kita segera berangkat ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu. Aku akan merawatmu sampai sembuh...”
Mararanta membuat gerakan menggeleng yang kaku dan aneh. “Ki... ta... ti... dak... ber... kum... pul... is... tri... ku...! Ki... ta... ber... a... da... di... a... lam... yang... ber... beda.”
“Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit berat, kakak Mararanta. Cara bicaramu aneh. Apa yang kau ucapkan tidak karuan...”
“Mi... na... ri...! A... ku... se... be... nar... nya... su... dah... ma... ti...! So... sok... ku... sa... at... ini... a... da... lah... so... sok... ma... yat... hi... dup...! A... ku... Ma... yat... Hi...dup... Gu... nung... Kla... bat... !”
Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu lemah namun seperti mendapat satu kekuatan baru, Minari tegak dari duduknya dan menatap Mararanta Tangkario mulai dari ujung rambut sampai kekaki. Muka yang sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang membiru. Lalu sepasang mata yang cekung dengan pandangan kosong tapi seperti menembus. Dan luka di leher yang mengerikan itu!
“Kau sakit kakak. Kau sakit...” desis Minari.
Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya memandang tak berkedip. Lambat-lambat rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.
“Kakak... kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang juga”
“Ti... dak... Mi... na... ri... Kau... yang... i... kut... a... ku... men... ca... ri... Pa... nge... ran... dur... ja... na... i...tu...!”
“Mencari Pangeran Matahari bukan soal mudah. Dia datang dan pergi seperti setani Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”
“Ma... ra... ran... ta... yang... du... lu... me... mang... ti... dak... sang... gup... me... la... wan... Pa... nge... ran...! Ma... ta... ha... ri...! Ta... pi... Ma... ra... ran... ta... Ma... yat... Hi... dup... pas... ti... mam... pu... me... nga... lah... kan... nya.”
“Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini. Ya Tuhan, tolong diriku. Tolong dirinya... Aku tak percaya pada pengakuannya bahwa dirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Atau... Apakah aku harus mengujinya?”
Memikir sampai disitu Minari mengambil sebutir jambu kelutuk lalu memberikannya pada Mararanta seraya berkata: “Makanlah, kau pasti lapar.”
Mararanta menggeleng kaku. “Ma... yat... ti... dak... a... da... yang... ma... kan...” katanya.
“Kalau begitu minumlah...” kata Minari pula ingin menguji lebih lanjut. Dia membungkuk mengambil air dalam gulungan daun.
Kembali Minari melihat Mararanta menggeleng. “Ma... yat... ti... dak... a... da... yang... mi... num...” ucapnya.
“Kakak! Kau ini...! Aku melihat kau terluka dan dalam keadaan menderita! Tapi aku tak percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara atau permainan apa yang tengah kau lakukan ini?!”
“Mi... na... ri... A... ku... ti... dak... mem... per... ma... in... kan... mu! Ji... ka... kau... ti... dak... per... ca..., li... hat... ka... ki... ku!
Mendengar ucapan itu Minari langsung memandang ke bawah kearah kedua kaki Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah perempuan ini. Wajahnya seputih kertas Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak menginjak rumput! Tidak menginjak tanah! Langsung Minari roboh tidak sadarkan diri lagi.
Bagian depan rumah panggung itu hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil yang digantung di bawah talang air. Cahayanya tidak dapat menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk. Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk. Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia tak dapat tidur. Dan memang dia tak boleh tidur karena tugasnya adalah berjaga-jaga.
Di langit bulan setengah lingkaran nampak redup tertutup awan. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Pada saat itulah lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki yang men-dukung tubuh seorang perempuan tahu-tahu tampak berdiri di sudut serambi yang paling gelap.
“Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati. “Tadi mataku memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu berjalan dilantai serambi ini. Dengan memanggul beban seberat itu hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia tahu-tahu saja berada di ujung serambi sana...”
“Siapa disana?!” lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara menghardik.
"Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak. Si penjaga turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil tangan kanannya meraba hulu golok yang tersisip di pinggang kirinya dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil lampu minyak di bawah cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung serambi.
Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi wajah serta sebagian tubuh orang termasuk orang yang digendongnya, tersiraplah darah si penjaga. Seumur hidup belum pernah dia melihat tampang yang begini angker, apalagi ada luka besar di pangkal lehernya. Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya menusuk tajam.
“Kisanak... Kau siapa... Apa maksud kedatanganmu?” bertanya si penjaga. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak berhadapan dengan manusia.
“A... pa... kah... di... si... ni... ru... mah... Ki... Du... kun... Su... ra... Man... ja... ngan?”
Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini karena mendengar suara orang itu. “Manusia aneh... Suaranya seperti datang dari jurang yang dalam. Kaku... terbata-bata...”
“A... ku... ber... ta... nya! Me... nga... pa... ti... dak... men... ja... wab...?”
“Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun Surah Manjangan. Ah! Ki sanak rupanya datang hendak berobat. Siapakah yang sakit? Ki sanak sendiri atau orang yang ki sanak dukung...? Kulihat ada luka besar di pangkal leher ki sanak...”
“Ti... dak... per... lu... ba... nyak... ber... tanya. Le... kas... pang... gil... kan... du... kun... ke... pa... rat... itu...”
Mendengar majikannya disebut dengan kata-kata dukun keparat, marahlah si penjaga. “Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu. Kalau sampai Ki Dukun mendengar bagaimana mulutmu sekurang ajar itu menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan tempat ini melangkah seperti anjing!”
Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas membersit dari mulut dan hidungnya. Si penjaga merasakan kedua matanya menjadi sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur beberapa langkah.
“Ka... lau... kau... ti... dak... le... kas... m... mang... gil... du... kun... ja... ha... nam... itu... ku... po... rak... po... ran... da... kan... ru... mah... i... ni!”
“Kurang ajar!” bentak si penjaga. Walau hatinya sejak tadi sudah kecut namun mendengar kata-kata orang yang hendak memporak porandakan rumah itu, marahlah dia. “Jika kau datang meminta obat, kau akan mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau bicara yang bukan-bukan malah mengancam segala, berarti nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”
Lelaki yang mendukung sosok tubuh perempuan, yang bukan lain adalah Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan. Si penjaga berseru kaget ketika merasakan ada angin kencang yang menghantam ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya memang selamat tapi ada suara braak di sebelah belakang. Ketika berpaling tampak salah satu bagian dinding kayu rumah hancur berantakan! Kemudian si penjaga ini menyadari kalau lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri telah terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di lantai kayu serta merta dijilat api!
“Keparat kurang ajar! Kau memang minta mati!” teriak si penjaga. Dia gulung kain sarungnya lalu cabut golok yang tersisip dipinggang kiri. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan senjatanya, membabat kearah pinggang si muka pucat.
Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat terdengar suara menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit keras ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal lawan. Dan bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan golok yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sambil melolong kesakitan si penjaga putar tubuh, masuk menghambur ke dalam rumah lewat pintu tertutup yang ditendangnya dengan keras. Ruang panggung itu ternyata panjang sekali. Di kiri kanan berderet-deret kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan gambar sebuah pendupaan putih serta bara api merah lengkap dengan asap di sebelah atasnya.
Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut. Di depan pintu dia berseru: “Ki Dukun! Ada pengacau muncul disini! Harap kau lekas keluar dan bertindak...!”
Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika berpaling si penjaga melihat manusia bermuka pucat itu mendatangi semakin dekat. Sementara itu di langkan rumah kobaran api semakin besar... Karena tak tahan sakit serta ketakutan setengah mati akhirnya dia mendobrak pintu hitam dan melompat masuk ke dalam. Bau kemenyan menyambar keluar.
Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah ruangan besar yang sangat redup karena hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Lantai ruangan ditutup dengan permadani berwarna merah tua. Di tengah-tengah terhampar sebuah batu hitam berbentuk lonjong dan pipih. Di atas batu ini duduk bersila seorang kakek yang hanya mengenakan sehelai cawat berwarna putih.
Tubuhnya kurus sekali hingga tulang belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung, begitu juga kedua matanya yang terpejam memiliki rongga yang dalam serta kehitaman. Diatas kepalanya yang berambut kasar dan acak-acakan seperti ijuk ada sebuah pendupaan berwarna putih yang baranya menyala terang dalam gelap. Karena ditaburi kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.
Yang hebatnya, di atas pendupaan yang menyala dan menebar asap kemenyan melintang sebilah golok. Apa yang tengah dilakukan oleh kakek berwajah angker ini?
Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain, kecuali puluhan macam senjata tajam yang digantung ke dinding. Mulai dari berbagai jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk golok serta pedang, sampai pada tombak yang memiliki satu, dua atau tiga mata. Si penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang tampaknya tengah bersemedi sambil menjunjung pendupaan menyala itu.
“Wakanto... Kau mengganggu pekerjaanku!” Tiba-tiba kakek yang duduk di atas batu membuka mulut. “Nyawa yang harus aku ambil malam ini menjadi gagal. Berarti nyawamu gantinya...”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di atas pendupaan tiba-tiba tampak bergerak naik lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga rumah panggung bernama Wakanto. Melihat hal ini pucatlah wajah penjaga itu. Cepat-cepat dia berseru.
“Ki Dukun, maafkan diriku!” seru sipenjaga sambil letakkan keningnya di atas batu di hadapan kaki si kakek. “Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi ada pengacau datang ke rumah ini! Dia menyebut namamu dengan kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya dia menghancurkan pergelangan tanganku! Lihat... kau lihat sendiri Ki Dukun...” Wakanto angkat tangan kanannya yang telah hancur tulangnya.
Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut tapi tahu-tahu kaki kirinya melesat dan dukk! Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh melingkar di lantai. Pingsan.
“Masih untung nyawamu tidak kuambil...” Ki Dukun berkata. Golok yang tadi menukik ke arah si penjaga kini tampak naik kembali, lalu perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!
Bersamaan dengan itu sepasang mata si kakek tampak terbuka. Yang pertama dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung Klabat masuk ke dalam ruangan itu sambil mendukung Minari. Lalu kobaran api yang membakar kamar pertama di deretan sebelah kanan.
Dari rahang sang dukun terdengar suara gerahamnya bergemeletakan tanda ada kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Meskipun dia ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang memiliki luka besar dilehernya itu dan siapa pula perempuan yang didukungnya, apa maksud kedatangannya, namun hawa amarah yang lebih menguasai dirinya membuat dia lebih ingin cepat-cepat membunuh orang di hadapannya itu detik juga!
“Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan dari segala kekuasaan. Singkirkan manusia di hadapanku ini!” Ki Dukun Sura Manjangan berucap.
Saat itu juga golok melintang di atas pendupaan secara aneh bergerak ke atas, ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke arah dada kanan si mayat Hidup Mararanta Tangkario!
Mayat hidup Gunung Klabat menggereng dan gerakkan tangan kanannya. Golok yang melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan dicengkeramnya. Lalu terdengar suara...
Trakkk! Trakkk! Trakkk...!"
Golok besar itu berubah menjadi empat potong. Salah satu potongan yaitu bagian ujung golok yang runcing masih tergenggam di tangannya. Lalu seperti melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini dimasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah.
"Krakkk! Krakkk! Krakkk...!"
Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-jangan. Tubuhnya yang duduk bersila di atas batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya yang terlipat diturunkan ke bawah. Kini dia berdiri tegak di atas batu pipih yang selama ini didudukinya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip pada wajah Mayat Hidup Gunung Klabat.
Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura Manjangan menjadikan dirinya sebagai manusia yang mempergunakan ilmu hitam untuk menjagai belasan bahkan puluhan manusia. Ilmunya tidak mengajarkan rasa takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu untuk pertamakalinya dia merasa merinding. Jika ada manusia yang mampu menguyah ujung golok beracun, maka berarti dia bukan berhadapan dengan manusia!
“Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan apa maksud kedatanganmu kemari?!”
Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab. Di sebelah depan rumah panggung terdengar suara berderak. Kobaran api telah memusnahkan sebagian dari serambi dan salah satu kamar. Bangunan di bagian itu roboh dengan suara menggemuruh.
“Kurang ajar! Kau telah mencelakai pembantuku! Kau juga yang membakar rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang kubakar!”
Habis berkata begitu Ki Dukun Sura Manjangan gerakkan kepalanya. Pendupaan yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya yang ditutupi rambut kasar acak-acakan melesat ke depan. Dari mulut pendupaan bukan saja menghambur bara panas tapi juga lidah api yang menyambar ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat!
Yang diserang sedikitpun tidak berusaha menghindar. Begitu lidah api dan hamburan bara panas hanya tinggal dua jengkal saja dari tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap mukanya lalu menerpa ke depan. Lidah api dan bara-bara merah itu tertahan di udara seperti menabrak tembok. Mayat Hidup kemudian menghembus keras. Maka terjadilah hal yang luar biasa!
Lidah api memecah menjadi puluhan banyaknya. Bersama-sama dengan bara yang menyala, lidah-lidah api itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang Ki Dukun Surah Manjangan sendiri, sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding serta langit-langit ruangan! Saat itu juga kamar besar itu dilanda kobaran api!
Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan marah. Sebagian rambutnya sempat disambar lidah api. Kakek ini melesat ke samping, melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding yang jebol itu dia melompat ke luar, sampai di halaman samping rumah panggung yang diterangi kobaran api besar yang telah membakar sebagian rumah di sebelah depan!
Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya masih belum hilang. Rasa cemas bercampur amarah masih membakar dirinya. Ingin dia menghajar manusia itu habis-habisan, mencabik-cabik tubuhnya bahkan mungkin meminum darahnya! Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dia mampu melakukan hal itu? Tampaknya dia berhadapan dengan makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa.
Namun dalam hati kecilnya dia sempat bertanya. Jika orang memang datang untuk meminta pertolongan, meminta pengobatan, mengapa dia telah mencelakai pembantunya, membakar rumahnya dan bahkan mencelakai dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu bermaksud merampas nyawanya.
“Dia bukan lawanku!” kata Ki Dukun dalam hati. “Lebih baik menyelamatkan diri!” Lalu Ki Dukun Sura Manjangan memutar tubuh, siap menghambur lari ke bagian halaman yang gelap. Namun baru saja dia bergerak setengah langkah, kakek ini melengak kaget karena tahu-tahu si muka pucat yang mendukung sosok tubuh perempuan itu sudah menghadang di depannya, menyeringai dan menggereng.
“Celaka!” seru Ki Dukun dalam hati. Dia berputar ke kiri dan melompat kabur. Namun kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada di hadapannya!
“Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya... Apa yang kau inginkan dariku?!” tanya Ki Dukun dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun melihat mulut makhluk di hadapannya itu bergerak. Lalu dia mendengar suara yang aneh menyeramkan.
“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat...! Sa... tu... ming... gu... la... lu... kau... per... gu... na... kan... il... mu... hi... tam... mu...! Kau... ki... rim... go... lok... ter... bang... be... ra... cun... mem... bu... nuh... ku...”
“Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak pernah mencelakaimu...” Ki Dukun terdiam sesaat. Lalu dengan suara semakin bergetar dia bertanya, “Si... apa namamu? Katakan asal usulmu...”
“A... ku... Ma... ra... ran... ta... Tang... ka... rio... da... ri... Mi... na... ha... sa...! Se... se... o... rang... te... lah... me... nyu... ruh... mu... un... tuk... mem... bu... nuh... ku! Kau... bo... leh... dus... ta...! Ta... pi... a... ku... da... tang... un... tuk... mem... ba... las... ke... ma... tian... ku! A... ku... mau... min... ta... nya...wa... mu...!”
Mendengar kata-kata itu paras angker Ki Dukun Sura Manjangan jadi berubah seputih kain kafan; “Mararanta Tangkario... Mayat Hidup Gunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi jika dia memang sudah mati, mengapa bisa muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan yang didukungnya ini...?”
Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu langkah lalu dongakkan kepala, memperlihatkan luka besar yang mengoyak pangkal lehernya.
“Ja... ngan... be... ra... ni... dus... ta...! Ba... co... kan... go... lok... ja... ha... nam... mu... bi... sa... kau... li... hat... sen... di... ri... di... le... her... ku! Se... se... o... rang... mem... ba... yar... mu... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri...!”
“Aku... aku...” Ki Dukun Sura Manjangan sadar kalau dia tak mungkin berkelit, makhluk bermuka pucat ini agaknya sudah tahu segala-galanya. “Dengar... Aku hanya... menjalankan pekerjaanku. Segala dosa dan kesalahan orang yang meminta yang menanggung. Begitu perjanjian. Jadi kau harus mencari Pangeran Matahari. Bukan aku...!”
Si muka mayat menyeringai. “Ka... ta... kan... di... ma... na... Pa... nge... ran... ter... ku... tuk... itu...ber... a... da...?”
“Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu... apakah kau bersedia melepaskan diriku... Kau telah membakar rumahku. Pembantuku saat ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu belum cukup...?”
“Ka... ta... kan... sa... ja... di... ma... na... Pa... nge... ran... i... tu... ber... a... da...!”
Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak dan tahu-tahu Ki Dukun merasakan lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha berontak tapi malah tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas!
“Jangan! Jangan bunuh aku!” Aku akan katakan dimana manusia itu bisa ditemui!” seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik. Tubuhnya kemudian diturunkan. Keringat dingin membasahi sekujur badannya yang hanya mengenakan cawat putih itu.
“Pangeran itu... Satu hari dalam satu bulan... dia pasti berada di sebuah Keraton kecil miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di selatan Imogiri... Tempat ini sulit dicari karena terletak dalam hutan lebat dan jarang didatangi manusia. Ki Dukun Sura Manjangan merasa lega ketika merasakan makhluk di depannya lepaskan cengkeraman di lehernya.
“Ba... gus... Kau... su... dah... mem... be... ri... ta... hu... Se... ka... rang... kau... per... gi... lah... du... luan... Tung... gu... ma... ji... kan... mu... i... tu... di... ne... ra... ka...!”
“A... apa... maksudmu...?” bertanya Ki Dukun Sura Manjangan.
Sebagai jawaban Mayat Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara berderak hancurnya tulang dada dan patahnya tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya pecah. Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Di atas sebatang pohon seorang pemuda berpakaian putih yang dengan susah payah selalu mengikuti jejak perjalanan makhluk dari liang kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-garuk rambutnya.
“Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinto Gendeng ditambah sepuluh Dewa Tuak dan sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat mengalahkan makhluk ini... Pangeran Matahari, kau tunggulah. Dia pasti akan muncul mencabut nyawamu.” Sesaat pemuda itu merenung. “Apa betul dia orang mati kemudian bisa menjelma menjadi mayat hidup? Sulit kupercaya... Kalau kemunculannya hanya untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat itu wajar-wajar saja. Tapi kalau kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan gentayangan menimbulkan keonaran... celakalah dunia persilatan!”
Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat meninggalkan tempat itu bersama istri dalam dukungannya, pemuda diatas pohon yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat turun dan kembali mengikuti perjalanan makhluk itu secara diam-diam. Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan jejak. Dia tidak mampu berada dalam jarak yang dekat karena makhluk itu berlari seperti terbang dan kedua kakinya tak pernah menginjak bumi.
Lagi pula sang pendekar tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir kalau-kalau yang diikuti mengetahui kalau dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi dan dia diserang, pasti bencana besar. Sampai saat itu Pendekar 212 masih belum mampu untuk mengetahui dimana letak kelemahan makhluk ini. Disamping itu dia merasa kasihan dan cemas akan nasib yang menimpa perempuan muda bernama Minari itu.
Meskipun jelas dia adalah istri Mararanta, tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan hidup sebagai suami istri. Satu manusia sungguhan dan satunya lagi makhluk mati yang hidup dan gentayangan secara aneh!
Malam itu mereka berhenti di sebuah bekas reruntuhan candi. Minari sengaja berpura-pura tidur. Tapi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik Mararanta Tangkario, suaminya yang sekarang berada dalam kehidupan yang sulit dipercayanya. Lelaki itu duduk di atas sebuah batu besar, tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak pernah menginjak tanah.
Rasa takut yang menguasai dirinya selama berhari-hari membuat dia seperti hendak gila. Betapapun dia mencintai suaminya tapi bukan berarti dia bisa hidup dengan makhluk seperti itu. Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa dirinya adalah mayat hidup!
Dan ini memang dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak pernah melihat Mararanta makan atau minum. Dirinya pun tak pernah disentuhnya kecuali ketika mendukungnya dan membawanya berlari. Sudah beberapa kali Minari mengambil keputusan nekad untuk melarikan diri. Tetapi Mararanta seperti dapat membaca hatinya. Lelaki itu selalu mengawasi dirinya, baik siang maupun malam. Dan satu hal lagi yang membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah Mararanta tak pernah tidur.
Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan udara dingin. Minari hampir benar-benar tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya. Mararanta dilihatnya masih duduk di atas batu tadi, membelakanginya. Kemudian disamping kanan dia seperti melihat bayangan seseorang di balik sebuah arca buntung. Dipandanginya arca itu tanpa berkedip. Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu.
Tapi batu barusan jatuh di pipinya? Minari akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun baru kelopak matanya menutup setengah, dia melihat ada tangan yang melambai dibalik arca buntung itu. Minari buka kedua matanya lebar-lebar kembali. Saat itulah dia melihat sosok tubuh dan kepala muncul di balik arca. Karena jarak arca dan tempatnya berbaring tidak berapa jauh, selain itu rembulan yang dua pertiga bulat cukup menerangi tempat itu, Minari walaupun samar-samar masih sempat melihat dan mengenali orang itu.
“Pemuda itu kata Minari dalam hati. “Dia yang menolongku di pondok kayu dalam hutan sebelum Mararanta muncul... Dia ternyata mengikutiku sampai kesini... Pasti dia bermaksud menolongku... Sayang... dia tak akan bisa melakukannya...”
Tengah Minari berkata-kata dalam hati seperti itu, pemuda dibalik arca lemparkan sebuah benda ke arah Minari. Benda ini ternyata segulung kertas dan jatuh tepat di samping kepala Minari. Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di balik dada pakaiannya, tepat pada saat Mararanta bergerak bangkit dari batu. Dia memandang berkeliling, lalu berpaling pada Minari.
“Ki... ta... ta... hu... si... tu... ti... dak... ti... dur...”
Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-kata itu. “Kakak... aku hampir tertidur. Tapi aku lihat kakak berdiri. Kau juga perlu istirahat kakak. Kau perlu tidur...” kata Minari pula. Lalu perempuan ini jadi merinding sendiri. Bagaimana kalau Mararanta benar-benar tidur dan berbaring disampingnya!
“Ma... yat... ti... dak... per... nah... ti... dur...” terdengar jawaban Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi berkeliling. “Ki... ta... a... da... de... ngar... bu... nyi... ba... tu... ja...tuh... Bu... nyi... ben... da... me... la... yang...!”
“Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak mendengar bunyi apa-apa...” sahut Minari.
“Ma... yat... hi... dup... ti... dak... bi... sa... di... ti... pu...” kata Mararanta pula. “A... ku... ma... u... me... nye... li... dik...” Lalu dia bergerak cepat ke arah arca buntung.
“Celaka kalau pemuda itu masih berada disana...” kata Minari dalam hati. Dilihatnya Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar tanpa kepala itu, memandang kian kemari, tapi tidak melihat atau menemukan apa-apa. Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat gerakan tubuh yang melayang kian kemari tanpa menginjak tanah itu, Minari jadi ngeri sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta kembali ke tempatnya.
“Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam kakak. Tak ada makhluk apapun di tempat ini, kecuali kita berdua...”
Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali duduk di atas batu. Esok paginya ketika mendapat kesempatan pergi membersihkan diri di sebuah mata air, Minari keluarkan gulungan kertas yang disembunyikannya di dada pakaian lalu membukanya. Di atas kertas kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi.
Meskipun dia adalah suamimu. Tapi aku khawatir keselamatanmu terancam. Besok malam jika kau dengar suara lolongan srigala, minta dia untuk menyelidik. Begitu dia lengah, aku akan melarikanmu.... Wiro
“Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati. “Aku memang ingin melarikan diri, apalagi ada yang mau membantu. Tapi apakah pemuda itu sanggup, menolong...?”
Minari campakkan kertas itu ke dalam air. Kertas sesaat mengambang dan terbawa arus menuju ke sebuah kali kecil dangkal yang dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan batu kertas itu tertahan. Satu tangan kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu basah namun apa yang tertulis di atasnya masih bisa dibaca jelas. Dan yang mengambil serta membaca kertas itu bukan lain adalah Mayat Hidup Gunung Klabat!
Sejak sore langit tampak mendung. Menjelang malam hujan turun rintik-rintik. Mayat Hidup Gunung Klabat sadar, bagaimanapun cepatnya dia berlari, tak mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari perlu istirahat. Dan yang paling penting malam ini dia harus dapat menjebak pemuda bernama Wiro itu.
Ketika dia menghantamnya di rumah papan di hutan jati, dia menyangka pemuda itu sudah menemui ajal, hancur bersama rumah itu. Ternyata dia masih hidup dan masih nekad hendak menolong Minari, hendak mengambil istrinya dari tangannya.
Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu gubuk ditengah daerah perladangan yang biasa dipergunakan para petani untuk beristirahat atau makan siang. Mararanta Tangkario segera menuju teratak ini, dan membaringkan Minari di lantai. Dari dalam kantong perbekalan Mararanta mengeluarkan sebungkus makanan lalu diletakkannya di samping Minari.
“Kau... per... lu... ma... kan... is... tri... ku”
“Aku tidak lapar kakak...” sahut Minari. Perempuan ini berada dalam keadaan tegang. Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di mata air, malam itu pemuda bernama Wiro akan menolongnya. Akan berhasilkah pemuda itu melarikannya? Jika sampai tertangkap basah oleh Mararanta, mampukah dia menghadapinya? Kesaktian yang dimiliki Mararanta bukan kesaktian manusia biasa. Tapi kesaktian dari alam aneh yang tidak satu manusia hiduppun bisa menguasainya!
Dulu dia memang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang tinggi. Namun semua kehebatannya itu tidak berkutik di hadapan Pangeran Matahari. Namun kini dia muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan kini dia memiliki kesaktian yang luar biasa hebatnya.
“Ka... lau... kau... ti... dak... mau... ma... kan... ti... dur... lah...! Be... sok... pa... gi... pa... gi... se... ka... li... ki... ta... lan... jut... kan... per... ja... lan... an...” kata Mararanta pula.
“Kakak... Jika urusanmu dengan Pangeran Matahari selesai, apa yang akan kau lakukan...?” bertanya Minari.
“A... ku... a... kan... ba... wa... kau... ke... Mi... na... ha... sa...! Ki... ta... a... kan... ber... kum... pul... la... gi... Se... ba... gai... sua... mi... is... tri...”
Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-kata itu. “Menurutmu, kita berada dalam dua alam yang berbeda tak mungkin berkumpul...”
“A... ku... pu... nya... ca... ra... a... gar... kita... ber... a... da... di... a... lam... yang... sa... ma...”
“Caranya?” tanya Minari.
Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. Belum sempat Minari mendengar jawabannya tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan. Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda. Minari merasakan sekujur badannya tegang dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.
“Suara lolongan srigala... Kau mendengarnya kakak...?” tanya Minari dengan suara tercekat. Mayat Hidup Gunung Klabat mengangguk.
“Aku takut... Kau harus berjaga-jaga. Kau... sebaiknya menyelidik dan membunuh binatang itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat ini..."
Mayat Hidup Gunung Klabat memandang sesaat pada Minari, membuat perempuan ini merasa seperti putus nyawanya.
“A... ku... a... kan... me... nye... Ii... dik...! Aku... a... kan... ba... wa... ke... pa... la... sri... ga... la... i... tu... a... gar... kau... me... Ii... hat... sen... di... ri...”
“Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu ketemu. Jangan dibawa kepalanya kemari...” kata Minari pula.
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan srigala. Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah terdengarnya suara lolongan srigala.
“Ma... nu... sia... pe... ni... pu... Kau... a... kan... mam... pus... da... lam... ke... ne... kad... an mu!”
Cepat sekali dia sudah berada di tempat dimana dia tadi mendengar datangnya suara lolongan itu, tetapi secepat dia datang, secepat itu pula dia memutar tubuh dan berbalik kembali menuju ke teratak. Hanya saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah jalan. Dia melihat sesosok tubuh berpakaian putih mendekam di balik sebatang pohon besar.
“Hem... i... tu... pas... ti... pe... mu... da... bang... sat itu...! A... kan... ku... han... cur... kan... dia... ber... sa... ma... po... hon... i... tu!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Pundak kanan membuat gerakan menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya menghantam. Terdengar suara menderu seperti ada topan menyerbu. Batang pohon besar di depan sana hancur berantakan lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret dan mental berpatahan.
Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke arah pohon besar yang tumbang, memandang berkeliling. Dia melihat robekan-robekan pakaian putih, tapi sama sekali tidak menemui hancuran tubuh manusia, tidak melihat muncratan darah!
“Ke... pa... rat... itu... me... ni... pu... ku!” menggereng Mayat Hidup Gunung Klabat. “Bang... sat...! Ja... ngan... ha... rap... bi... sa... lo... los... da... ri... ta... ngan... ku!” Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah teratak.
Begitu Mararanta meninggalkan teratak, Pendekar 212 yang sembunyi di balik serumpun keladi hutan cepat keluar dan melompat ke atas teratak. Minari hampir menjerit saking kagetnya. Wiro cepat tekap mulut perempuan ini.
“Jangan mengeluarkan suara. Apa kau cukup kuat untuk berlari...?”
Minari menggeleng. “Kalau begitu biar kudukung!”
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari atas teratak, menarik tubuh Minari dan mendukung perempuan itu di bahu kirinya. Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212 segera melompat ke bagian yang gelap. Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika tiba-tiba di depannya berkelebat satu bayangan. Angin yang menyambar dari sosok bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri.
Untuk imbangi diri sambil memasang kuda-kuda Wiro cepat melompat ke kanan. Bersamaan dengan itu dia siapkan tenaga dalamnya ke tangan kanan sambil merapat aji kesaktian pukulan sinar matahari. Mayat Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak di hadapan Wiro dengan dua kaki yang tak menginjak bumi terpentang lebar. Mulutnya menyeringai menyeramkan!
Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat Hidup Gunung Klabat dan menerima pukulan dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga sempat menyaksikan bagaimana Mararanta membunuh Ki Dukun Sura Manjangan hanya sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus berjaga-jaga. Yang mengherankannya adalah mengapa makhluk itu begitu cepat muncul kembali dan menghadangnya?!
“Ba... gus... ba... gus! Du... a... ma... nu... sia... ber... kom... plot... me... ni... pu... ku...! Sa... tu... se... ge... ra... mam... pus...! Sa... tu... nya... a... kan... men... da... pat... hu... ku... man... be... rat... da... ri... ku...!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Serta merta hawa panas menebar di tempat itu. Sambil menggerakkan pula tangan kanannya Pendekar 212 berseru, “Mararanta! Jika kau menyerangku dengan pukulan sakti mengandung hawa panas itu berarti kau akan membunuh istrimu sendiri!”
Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di atas dukungannya. Perempuan ini ketakutan setengah mati. “Tenang saudari... jangan takut. Jangan membuat gerakan apa-apa...” berbisik Wiro.
Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. “Kau... be... nar...! Is... tri... peng... khi... a... nat... itu... be... lum... sa... at... nya... ma... ti...! A... ku... ha... rus... meng... hu... kum... nya... le... bih... du... lu...!”
“Kakak Mararanta!” Minari berseru seraya angkat kepalanya. “Aku tidak mengkhianatimu. Aku...”
“Tu... run... da... ri... ba... hu... o... rang... i... tu... Ber... ja... lan... ke... a... rah... ku!”
Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika dia hendak meluncur turun, Wiro segera membentak, “Jangan dengar kata-katanya. Sekali kau kembali kepadanya, kau tak akan bisa diselamatkan lagi Minari!”
“Ma... nu... sia... be... jat...! A... pa... kau... tak... da... pat... pe... rem... pu... an... lain... ma... ka... me... la... ri... kan... is... tri... o... rang...?! Kau... sa... ma... sa... ja... be... jat... nya... de... ngan... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri...!”
“Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal itu!” menjawab Wiro.
“Kau... pan... dai... men... ca... ri... da... lih! A... pa... ke... pen... ting... an... mu... men... cam... pu... ri... u... rus... an... ka... mi... sua... mi... is... tri...”
“Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi, tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari berada bersamamu, berarti kau akan menyiksa dirinya dengan penderitaan dan rasa takut seumur hidupnya. Atau kau memang menginginkan kematiannya?!”
“Di... a... te... lah... ber... sa... lah... Ber... khia... nat... ter... ha... dap... ku...! Ber... arti... me... mang... ha... rus... ku... bu... nuh...! Ta... pi... se... ka... rang... be... lum... sa... at... nya... Di... a... ha... rus... ku... hu... kum... le... bih... du... lu...! A... ku... su... dah... mem... ba... ca... su... rat... ra... ha... sia... yang... kau... ki... rim... kan... pa... da... Mi... na... ri...! Ka... lian... ber... dua... ma... sih... ma... u... ber... ke... lit...?!”
Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan kanannya bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa. Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat lenyap dan sedikit kemudian terdengar pekik Minari. Wiro merasakan perempuan itu terbetot dari atas bahunya.
Maka tanpa menunggu lebih lama Pendekar 212 menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup Gunung Klabat yang dilihatnya berkelebat di depannya. Hawa panas menerpa. Tempat yang gelap itu menjadi terang benderang ketika pukulan sinar matahari menghantam dahsyat menyilaukan!
Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil menjambak rambut Minari. Dalam keadaan menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar matahari menghantam ke arahnya, dia sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun menangkis. Wiro jadi terkesima karena khawatir pukulannya akan menciderai Minari.
Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan meniup ke depan! Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar seperti dilanda lindu. Laksana menghantam tembok baja yang atos pukulan sinar matahari membalik menyapu ke arah Pendekar 212!
“Ya Tuhan!” Murid Sinto Gendeng mengucap keras. Jatuhkan diri ke tanah. Ketika pukulan sinar matahari menyambar dengan ganas, tak ada jalan lain untuk selamatkan diri. Pendekar ini hantamkan kedua tangan bahkan kedua kakinya ke atas.
Benteng topan melanda samudera! itulah pukulan sakti yang dilepaskan Wiro untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar matahari yang tadi dilepaskannya sendiri. Terjadilah satu hal yang hebat. Dua benturan menggelegar susul menyusul di tempat itu.
Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak kiri terlepas lalu terguling jatuh ke arah tanah yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas, perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-kencangnya. Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman Mararanta.
Bagaimanapun dia mencintai lelaki itu, apalagi pernah pula menjadi suaminya, namun kenyataan yang dihadapinya kini serta keanehan yang mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu membuatnya tak ada jalan lain dari pada berusaha menyelamatkan diri!
Minari lari terus sekencang yang bisa dilakukannya sampai akhirnya kedua kakinya terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut. Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya perempuan ini tersandung dan jatuh terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium tanah, satu tangan merangkul bahunya. Minari berpaling lalu menjerit keras ketika mengenali siapa adanya yang mencekal dirinya. Perempuan ini akhirnya pingsan dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat takut!
Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat memandang berkeliling. Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras dan kepalkan kedua tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang telinga. Tetap saja dia tidak menemukan kedua orang itu. Juga tidak terdengar suara apa-apa selain tiupan angin yang terasa dingin, makhluk ini mendongak ke atas. Hidungnya menghirup dalam-dalam.
“Di... a... ma... sih... be... lum... ja... uh... Ma... sih... be... lum... ja... uh...”
Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana dia bisa membaui tubuh Minari karena sekian lama selalu saling berdekatan.
Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Ketika pukulan sinar matahari datang menyapu dan dia menghantam dengan pukulan benteng topan melanda samudera, dua dentuman yang dahsyat membuat tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah jurang sedalam lima tombak di ujung peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya lecet dan luka berkelukuran.
Dan begitu dia terhempas di dasar jurang, pendekar ini muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan kedua kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali dia mencoba bangkit tapi rubuh kembali. Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti, itu, Wiro hanya bisa tergeletak menunggu nasib. Dia tidak menyadari justru dengan jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari tangan Mayat Hidup Gunung Klabat!
Pangeran Matahari mengisap pipa gading yang berisi tembakau bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya sampai terpejam-pejam saking merasa nikmat. Beberapa kali bola matanya berputar-putar kemudian dia berpaling pada perempuan yang terbaring menelungkup dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.
“Apa enaknya menghisap tembakau seperti itu...?” bertanya perempuan itu.
“Sulit menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri. Mau?”
Yang ditanya menggeleng. “Menghisap tembakau campur candu, jika tahu takarannya yang tepat akan membuat seseorang menjadi sehat dan perkasa... Kau merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha ha ha... ”
Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul tubuh lelaki itu seraya berbisik, “Kau memang kuat sekali Pangeran. Malam tadi... ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis kewalahan...”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu. Lalu mencabut pipanya dan berkata, “Akupun tidak menyangka kau begitu hebat melayaniku, Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi... Ha ha ha!”
“Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?”
“Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak meninggalkan aku sampai berbulan-bulan...”
“Ah, aku orang banyak urusan dan kepentingan...”
“Urusan dan kepentingan dengan perempuan-perempuanmu yang cantik-cantik lainnya...!” kata Nyiruni seraya cemberut.
“Eh... kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang kukenal. Dan paling ganas di atas ranjang...!”
Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih tubuh sang Pangeran, Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut. Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.
“Ada apa Pangeran...?”
“Jika penjaga menarik genta tiga kali berturut-turut berarti ada bahaya mengancam Keratonku!”
“Ah, siapa manusianya yang berani berbuat macam-macam terhadapmu, Pangeran? Biarkan saja para pengawalmu yang menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku ingin kita bersenang-senang, tidak turun dari atas ranjang ini sampai besok pagi!”
Di luar sana kembali terdengar suara genta tiga kali berturut-turut. Pangeran Matahari melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia mengenakan pakaian hitamnya dengan cepat lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang bugil di atas ranjang.
“Kau tetap disini. Tunggu sampat aku kembali. Urusanku tak akan lama!”
“Ennggg...” Nyiruni masih berusaha bermanja-manja. Tapi sang Pangeran sudah melangkah ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke keningnya.
Sesuai dengan sifatnya yang biasa mengagulkan diri sebagai pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak, Pangeran Matahari tidak langsung menuju ke bagian depan Keraton kecil yang terletak di rimba belantara di kaki bukit Rasikembar di selatan Imogiri. Dia justru pergi ke bagian belakang Keraton lalu melompat ke atas atap bangunan. Dari sini dia akan dapat melihat dengan jelas segala sesuatu yang ada di halaman Keratonnya.
Tapi begitu dia berada di atas atap, kagetlah sang pangeran. Seorang pemuda berambut gondrong yang tak asing lagi dilihatnya duduk bersila enak-enakan di atas atap sambil mengunyah sebuah jagung bakar. Sebuah jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.
“Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak membuat keributan di tempat kediamanku! Apa masih belum kapok...? Apa sudah begitu ingin buru-buru mampus pendekar sableng...?!”
Pemuda gondrong berpakaian putih robek-robek serta banyak bekas luka di tubuh dan wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut masih penuh dia berkata,
“Tenang... jangan cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku yang mau membuat keonaran disini! Tapi ada orang lain! Dan aku mau menyaksikan bagaimana dia akan membantai tubuhmu!”
“Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212. Siapa orang yang katamu hendak membantaiku itu?!” bentak Pangeran Matahari dengan marah hingga rahangnya tampak menonjol dan pelipisnya bergerak-gerak.
“Ssst... Jangan bicara keras-keras. Nanti kedengaran si tukang bantai itu!” ujar pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Ini, kau makan dulu jagung bakar ini. Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!”
Lalu seenaknya Wiro lemparkan jagung yang di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari. Karena lemparan jagung itu mengarah ke mata kanannya dan jika dibiarkan bisa mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa cepat-cepat menyambuti jagung bakar itu dengan mata membeliak.
“Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau perut kenyang, tentu kau akan lebih senang menghadapi musuh yang datang!” ujar Wiro pula lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-lahan.
“Bangsat!” maki Pangeran Matahari. Jagung bakar yang dipegangnya di tangan kanan hendak dibantingkannya ke atas atap. Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti orang kelaparan jagung bakar itu digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja jagung itu hanya tinggal bonggolnya!
“Nah, begitu baru hebat!” Wiro acungkan jempol tangan kirinya. “Sekarang kau majulah ke ujung atap sana. Kau akan melihat siapa pembantai yang sedang menunggumu di halaman Keraton!”
Masih dengan mata melotot dan rahang menggembung, Pangeran Matahari melangkah ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama rata dengan atap ketika Pangeran Matahari melompatinya. Begitu sampai di ujung atap dan memandang ke halaman di bawahnya, terkejutlah Pangeran Matahari menyaksikan pemandangan di bawah sana!
Empat orang pengawal Keraton bergeletakan di tanah. Dua dengan kepala pecah, dua lagi dengan dada dan perut jebol! Bukan kematian empat pengawal itu yang membuatnya terkesiap. Tapi justru dia melengak ketika melihat siapa yang berdiri diantara empat mayat!
“Aneh, aku tidak mendengar pekik mereka! Dan orang yang tegak diantara mayat-mayat itu...?” Pangeran Matahari usap matanya sampai pedas. “Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki Dukun, Sura Manjangan bukankah sudah membunuhnya beberapa waktu lalu...?” Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Dukunmu yang pandai mengirimkan golok terbang pembunuh sampai ke seberang lautan itu sudah digasaknya sampai mampus beberapa hari lalu, Pangeran...!” Satu suara terdengar disamping sang Pangeran. Tanpa berpaling Pangeran Matahari sudah tahu kalau yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” Pangeran Matahari bertanya tidak percaya.
“Aku menyaksikannya sendiri!” sahut Wiro.
“Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa hidup lagi!”
“Dia memang sudah mampus! Lihat bekas luka bacokan yang mematikan di lehernya serta darah kering yang menodai pakaiannya. Itu pertanda bahwa dukunmu itu memang telah menyelesaikan tugasnya membunuh manusia bernama Mararanta Tangkario itu. Namun ada satu kekuatan lain diluar akal manusia yang mampu menghidupkannya. Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah yang telah menghancurkan rumah papan milikmu lalu melarikan Minari! Saat ini kau lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu didukungnya di bahu kiri!”
“Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika kuhajar habis-habisan! Kalau dia memang mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak minta mati kedua kali!”
“Pangeran, jangan menganggap enteng lawanmu itu. Dulu dia masih merupakan manusia biasa. Saat ini mungkin setengah setan setengah iblis! Kau tak bakal menang menghadapinya. Itulah sebabnya tadi kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati dengan perut kenyang! Di liang kubur atau di neraka tak ada yang akan memberikan makan, apalagi jagung bakar segurih itu padamu. Ha ha ha...!”
“Sialan, anjing kurap!” maki Pangeran Matahari. “Kau saksikan bagaimana aku akan melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya! Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu akan kuhajar sampai bangkaimu hanya tinggal tulang dan daging tak berbentuk!”
“Ah, mauku kau mampus di tanganku Pangeran. Tapi buat apa bercapai tangan kalau ada yang lebih mampu melakukannya. Aku hanya tinggal menonton saja! Ha ha ha!”
“Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu giliranmu! Jangan kabur dari sini!”
Sehabis mendamprat begitu Pangeran Matahari langsung melompat turun ke halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat kedua kakinya menyentuh tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu berhadapan dengan Mararanta Tangkario, Pangeran Matahari langsung menyapu orang itu dengan pandangan mata tajam dan ketika melihat bagaimana disiang bolong itu kedua kaki Mararanta Tangkario sama sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari. “Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!”
“Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri! Kau... ber... ha... sil... mem... bu... nuh... ku... se... ca... ra... ke... ji... pe... nge... cut...! Si... ang... i... ni... a... ku... da... tang... un... tuk... me... ngam... bil... nya... wa... mu”
Mayat Hidup Gunung Klabat langsung membuka mulut begitu melihat Pangeran Matahari berada di hadapannya. Sang Pangeran tentu saja tercekat ketika mendengar suara orang itu. Aneh mengerikan. Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya ajukan pertanyaan.
“Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan untuk menuntut balas...?”
“Kau... ti... dak... bu... ta...! Ke... ja... ha... tan... mu... sa... ngat... ke... ji...! Kau... men... cu... lik... is... tri... ku... mem... per... ko... sa... nya...”
“Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu, menyuguhkannya padaku? Ha ha ha...! Aku tidak perlu lagi perempuan busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!”
“Ma... nu... sia... dur... ja... na... ber... da... rah... bi... na... tang... ber... ha... ti... ib... lis! A... jal... mu... su... dah... sam... pai...!”
Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran Matahari.
Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa panas yang luar biasa disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia lepaskan pukulan sakti bernama pukulan Gerhana Matahari!
Sinar kuning, merah dan hitam berkiblat, menderu ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat. Bumi seperti dipanggang saking panasnya. Siapa saja yang kena tersambar angin pukulan sakti itu pastilah akan hangus tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka dia akan mati dengan tubuh gosong!
Namun Mayat Hidup Gunung Klabat tidak perdulikan serangan berbahaya yang bisa membawa maut itu. Udara panas yang keluar dari serangan lawan baginya suatu hal yang biasa. Malah ketika tiga sinar itu menyambar tubuhnya, dia jentikan lima jarinya ke udara. Lima sinar putih terang benderang menyambar ganas.
"Bummm! Bummm! Bummm...!"
Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut ketika tiga dari lima sinar terang yang keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup Gunung Klabat menghantam berantakan tiga sinar sakti pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar lagi terus menyambar mencari sasaran di tubuh sang Pangeran.
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. Dengan muka pucat dan berseru tegang dia jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua sambaran sinar serangan lawan lalu bergulingan di tanah. Waktu bergulingan dia sengaja membuat gerakan menyamping. Pertama agar dapat melihat gerakan lawan berikutnya, kedua karena dia ingin cepat-cepat membereskan lawan ganas itu dengan pukulan sakti berikutnya yakni pukulan Telapak Merapi.
Pangeran Matahari berguling sambil angkat kedua tangannya yang mengepal. Lalu mendorong dalam gerakan perlahan. Terdengar suara bersuit keras. Mayat Hidup Gunung Klabat tersentak ketika ada dua hawa sakti yang luar biasa panasnya tanpa kelihatan bayangan atau sinarnya menggebu menelikungnya. Yang pertama menerpa ke arahnya, yang kedua menyambar ke arah Minari yang ada di bahu kirinya.
Melihat orang hendak mencelakai istrinya, marahlah Mayat Hidup Gunung Klabat. Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya menekuk. Tubuhnya yang seperti membungkuk itu tiba-tiba berputar seperti titiran, bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam tiga kali,berturut-turut. Terdengar suara menggelegar susul menyusul. Di udara tampak tiga kilatan menyilaukan laksana petir menyambar.
Dua menghantam pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga melabrak ke arah sang Pangeran sendiri. Meskipun Pangeran Matahari masih sanggup menyelamatkan diri dari serangan maut itu, namun tubuhnya terbanting tunggang-langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuh terkapar di tanah dengan dada mendenyut sakit dan wajahnya yang angkuh kini tampak sepucat kertas.
Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas tubuh Pangeran Matahari, terus menghantam atap Keraton kecil dimana Pendekar 212 berada. Atap yang terbuat dari genting itu hancur berantakan dan Pendekar 212 sendiri tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam bangunan Keraton.
Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat di jurusan kamar Pangeran Matahari, tepat di atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih terbaring bugil sambil enak-enakan menyantap sebuah jeruk besar.
Karuan saja perempuan cantik ini terpekik kaget sementara Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah kejutnya. Tapi begitu melihat wajah cantik tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar. Perempuan ini pastilah salah satu perempuan penghibur Pangeran Matahari, pikir Wiro.
“Siapa kau...?” tanya Wiro.
“Kau yang siapa?!” balik bertanya Nyiruni dengan suara keras dan setengah ketakutan karena masih belum hilang kagetnya.
“Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat ini dia tengah berkelahi melawan musuh kelas berat. Dia minta aku menjagamu. Kau tak perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari Pangeran itu, bukan?”
“Memang kau... hem... Kau lebih ganteng dari Pangeran Matahari. Tapi bajumu kotor, robek-robek dan tubuhmu dekil...” jawab Nyiruni.
“Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada kamar mandi ditempat ini...?” tanya Wiro. Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.
Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu melihat tubuh sang pendekar yang kekar penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya, perempuan yang pada dasarnya memang bangsa jalang ini diam saja. Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna kuning muda dan berkata,
“Dibalik pintu itu ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan dirimu disana. Tapi awas. Sekali Pangeran mengetahui perbuatanmu ini, jantungmu akan dibetotnya!”
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia lari menuju pintu kuning dan membukanya. Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah kebun ada sebuah kolam dan di atas kolam ada sebuah pancuran yang selalu mengucurkan air jernih dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur masuk ke dalam kolam. Dia baru saja membasahi kepalanya ketika tiba-tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk. Pendekar 212 terbelalak.
“Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!” kata Wiro.
Lalu sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. “Edan diluar sana orang berkelahi mati-matian, kita disini...”
“Kita juga mati-matian...!” jawab Nyiruni lalu membenamkan tubuhnya ke dalam air.
Ketika Pendekar 212 keluar dari dalam Keraton menuju ke halaman depan dilihatnya perkelahian antara Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat melawan Pangeran Matahari berkecamuk dengan hebat. Sang Pangeran telah menghujani lawannya dengan pukulan-pukulan sakti namun jangankan membuat lawan roboh, bahkan dirinya semakin lama semakin terdesak!
“Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang dimiliki si Mararanta ini?!” pertanyaan itu selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari.
Setelah belasan jurus menyerang dan menghantam satu hal yang tak pernah dilakukannya selama ini dalam menghadapi berbagai musuh maka akal licik mulai muncul di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja mendesak dengan serangan berantai, ketika Mayat Hidup membalas dengan ganas, Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya sambil menjerit keras lalu roboh berguling-guling di tanah.
Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian itu. “Ah... akhirnya sampai juga ajalnya desis Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak mendekati sosok tubuh Pangeran Matahari yang terkapar di tanah sambil masih terus mendukung tubuh Minari yang berada dalam keadaan pingsan. Namun ketika hanya tinggal satu langkah dari hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba tubuh itu bergerak. Sang Pangeran yang diam-diam telah menyiapkan diri dengan tenaga dalam penuh, hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Gerhana Matahari sedang tangan kanan lepaskan pukulan Merapi Meletus!
“Bang... sat... Ii... cik!” teriak Mayat Hidup Gunung Klabat. Mulutnya meniup dan tangan kanannya dihantamkan kebawah!
"Desss! Bukkk...! Bummm? Bummm...!
Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang besar lagi kelihatan di halaman Keraton itu. Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua tombak. Tapi hebatnya dia tidak cidera sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya tidak terlepas seolah-olah menempel ke bahunya.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak terkapar menelentang. Dadanya seperti ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau pukulan lawan, walaupun agak meleset telah mematahkan beberapa tulang iganya! Sekujur tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa panas. Dadanya mendenyut sakit. Dan saat itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat melangkah menghampirinya!
“Kalau dia menghantam, aku tak punya daya untuk menghindar. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini memiliki kekuatan dan kesaktian luar biasa. Ah... tamatlah riwayatku hari ini...!”
Pangeran Matahari berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga Keraton sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dua telapak tangan dikembangkan lalu diputar.
“Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng itu. Aku sudah mau dibantai orang, dia masih saja berbuat yang bukan-bukan!” rutuk Pangeran Matahari.
Putaran kedua tangan Wiro mula-mula perlahan. Lalu makin lama makin kencang, makin kencang dan udara di tempat itu mendadak mengalami perobahan! Hawa dingin disertai tiupan angin yang seperti seruling menggantikan udara yang tadinya terasa panas.
Mayat Hidup Gunung Klabat yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas, kini merasakan tubuhnya jadi menggigil. Kedua kakinya menjadi berat untuk dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin beringas dan marah dia maka semakin keras hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur badannya basah kuyup oleh cairan sedingin es yang kemudian seperti membeku membuat dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya lagi. Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun ternyata sudah kaku!
Lain halnya dengan Pangeran Matahari. Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman maut Mayat Hidup Gunung Klabat, namun keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku dilapisi cairan dingin. Sebaliknya di sebelah dalam ada hawa panas menggarang akibat pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi. Setiap nafas yang ditariknya membuat dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya terdengar suara menggigil diseling oleh suara mengerang kesakitan.
Apakah sebenarnya yang terjadi. Dari mana datangnya hawa dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup dan Pangeran Matahari itu?
Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng mendapat warisan beberapa pukulan sakti. Salah satu diantaranya adalah pukulan aneh yang tidak langsung ditujukan pada lawan, tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara secara tiba-tiba menjadi sangat dingin dan lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup oleh lapisan air sedingin es...!
Ilmu pukulan itu yang bernama angin es itulah yang dikeluarkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena baik Mayat Hidup maupun Pangeran Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama yaitu bertumpu pada hawa panas, maka dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa dengan hawa dingin.
Akibatnya mereka akan lebih cepat dikuasai oleh pukulan angin es yang membuat Pangeran Matahari jatuh pingsan dalam keadaan kaku sementara Mayat Hidup berubah menjadi mayat kaku tak kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari, yang berada dalam keadaan pingsan dan tak tahu apa-apa itu terbungkus air es.
Pada saat keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok tubuh melayang laksana orang berjalan di atas awan atau di balik kabut. Orang ini kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan tiada. Dia mengenakan baju putih dengan panjang celana putih gombrong.
Rambutnya yang putih mehjela bahu melambai-lambai di tiup angin. “Pendekar muda, cukup sudah kau memberi pelajaran pada cucuku. Harap kau suka menghentikan serangan hawa sedingin salju ini!”
Yang bicara ternyata adalah orang tua yang kelihatan samar-samar. Suaranya seperti datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro memandang ke jurusan si orang tua.
“Manusia bayangan... Siapa kau adanya?!” Wiro bertanya. “Kau menyebut seseorang sebagai cucumu. Siapa...? Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat itu...?”
“Benar sekali pendekar muda...”
Wiro melangkah lebih dekat. “Astaga... Ke dua matamu buta, orang tua! Dan sosok tubuhmu bukanlah sosok tubuh sebenarnya... Apakah kau juga sebangsa mayat hidup?!”
“Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku ini. Aku hanya mengandalkan kekuasaan dari Tuhan untuk mengirimkan bayang-bayang tubuhku ke tempat ini...”
“Luar biasa!” ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala.
Orang tua itu tersenyum. “Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa, anak muda. Namaku Walalangi... Aku datang untuk membawa cucu dan sekaligus muridku ini kembali ke Minahasa...”
“Dan juga membawa perempuan di atas bahunya itu...?”
Si orang tua gelengkan kepala. “Justru disitulah letak kesalahan cucuku satu ini. Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa adalah untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat pada manusia bernama Pangeran Matahari itu. Namun dia membawa serta maksud lain yang menyalahi aturan...”
“Apakah itu...?” tanya Wiro.
“Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah memiliki kesaktian luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat keinginan untuk menguasai dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal... janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke bentuknya semula. Kembali ke alamnya semula, alam barzah... Karena telah melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan pembalasan terhadap Pangeran Matahari...”
Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Tuhan lebih tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita manusia jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa menyesal telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga permintaan istrinya yang di Minahasa. Yaitu agar rohnya bisa dibangkitkan lagi untuk melakukan pembalasan
“Orang tua, kalau kau ingin membawa cucumu itu kembali, lebih cepat akan lebih baik... Kasihan rohnya berada dalam keadaan seperti ini...” kata Wiro pula.
Walalangi mengangguk. Dia mengusap punggung Minari. Dari tubuh perempuan itu keluar kepulan asap tanda ada hawa panas yang dialirkan si orang tua ke tubuh Minari. Saat itu juga hawa dingin serta cairan es yang membungkus tubuh Minari menjadi pupus dan terdengar suara perempuan itu mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerahkannya pada Wiro seraya berkata,
“Bawalah dia pergi dari tempat ini. Penderitaannya sudah cukup banyak...”
Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang. bahunya dan berkata,
“Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak Klabat...”
Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi terkesiap ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh karena haru. Mayat saja masih punya perasaan, mengapa manusia tidak...? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.
“Cucuku... saatnya kau pergi...” terdengar suara orang tua bernama Walalangi.
Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya. Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap.
Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Giliranku minta diri...”
Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro membalas dengan menjura lebih dalam. Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak ada lagi disitu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua itu sungguh luar biasa...” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Banyak orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari tandingannya. Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih ada langit lagi!”
Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini tersenyum.
“Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar, antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang aku pun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi...”
Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.
SATU
INI satu pemandangan yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.
Di atas punggung kuda putih itu membelintang sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki separuh baya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu lama menemui ajalnya.
Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu, duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah. Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.
Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan hidup dan satu sudah jadi mayat!
Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher binatang itu dan berkata,
“Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!”
Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras, lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara semak belukar.
Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.
Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas Gunung Klabat.
Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang kearah sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan mengetuk pintu yang tertutup.
“Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!” Lalu perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.
Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.
“Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!”
Satu suara lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun pintu. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan celana gombrong putih.
“Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat..."
"Tangkario. Hem... Aku pernah dekat dengan nama keluarga Tangkario. Tapi...” Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya sesaat tampak mengembang. “Hemmm... Aku mencium bau mayat...” desisnya kemudian.
“Bapak Tua Walalangi,” perempuan yang mendukung jenazah berkata dengan heran. “Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di bahu kanan...” Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-lekat. Kemudian terdengar suaranya agak tertahan. “Astaga, Bapak Tua... Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang.
Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka bacokan di leher mayat.
“Siapa yang berbuat sekejam ini...” katanya dengan suara tercekat. “Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya. Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan mayat yang kau bawa kemari ini!”
Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab pertanyaan orang tua tadi.
“Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas, Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur, tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langit-langit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok. Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib...”
“Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri, Sulami?”
“Betul Bapak Tua...”
“Siapakah nama suamimu, perempuan malang?”
“Mararanta Tangkario...” Jawab Sulami.
Paras si orang tua tampak berubah. “Jadi... Mararanta. Ah, dia masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini. Sulami, ceritakan apa yang terjadi...”
“Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi.”
“Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang melakukannya!”
“Saya pun menduga demikian Bapak Tua,” sahut Sulami Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. “Enam bulan yang lalu saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan pernikahan. Setelah nikah satu bulan, saya melihat ada satu kelainan dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa. Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang mengikutinya"
“Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan siapa orang yang menjadi lawannya?” bertanya Bapak Tua Walalangi.
“Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini seorang gadis bernama Minari. Gadis itu ternyata adalah kekasih seorang pendekar berkepandaian tinggi. Namun Minari sendiri tidak menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa...”
Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih mengucur dia melanjutkan. “Malam tadi, begitu saya tidak berhasil mengejar si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan...”
Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya, “Apa pesan suamimu itu Sulami?”
“Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah kekasih Minari. Dan katanya lagi... Dia tak akan tenteram di dalam kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat pembunuhan keji atas dirinya ini!”
Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam seperti merenung. “Begitu katanya...? Ah, sungguh satu pesan yang berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?”
“Mohon maaf Bapak Tua...” kata Sulami. Dan bulu kuduknya mendadak saja jadi merinding. “Dia berkata bahwa hanya Bapak Tua-lah yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat mencari si pembunuh...”
“Ya Tuhan... Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat begini macam...?” Membatin Walalangi. Lalu dia berkata, “Ketahuilah Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembuskan nafas...”
“Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimana-mana. Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak dikabulkan...”
Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario. Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi keluarkan keringat dingin. “Sulami... Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar...?”
“Betul sekali Bapak Tua.”
“Apakah senjata itu ada kau bawa?”
“Saya memang membawanya Bapak Tua...” jawab Sulami Tangkario.
Lalu dari balik buntalannya dia mengeluarkan sebilah golok tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu ketangan Walalangi.
Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnya ditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.
“Ini memang golok Jawa...” kata Walalangi sesaat kemudian. “Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!”
Orang tua itu remaskan lima jari tangan kanannya ke gagang golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur! Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok.
"Trakkk! Tringg...!"
Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga. Dengan tangan kanannya Walalangi lalu melemparkan patahan golok jauh ke puncak gunung sebelah selatan.
Lalu sambil memegang kepala Sulami orang tua ini berkata, “Mararanta cucuku. Berarti kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan untuk memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang suamimu. Tapi kalau Tuhan mengizinkan biarlah aku menanggung segala dosa dan memenuhi permintaan Mararanta...”
Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya ke pangkuan si orang tua. Walalangi usap-usap kepala perempuan itu lalu berkata, “Ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku dapat memenuhi pesan suamimu itu, Sulami...”
“Mohon Bapak tua mengatakannya,” ujar Sulami pula.
“Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di dekat laut atau di dekat danau...?”
“Kami tinggal di pinggir danau Tondano, Bapak Tua...”
“Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air danau Tondano, masukkan dalam tujuh tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam waktu dua hari kau sudah kembali kesini membawa benda-benda itu semua...”
“Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya akan berangkat sekarang juga...!” kata Sulami Tangkario seraya hendak berdiri.
“Tunggu dulu cucuku...” kata si orang tua sambil memegang bahu Sulami. “Kau belum mengatakan siapa orang Jawa berkepandaian tinggi yang menjadi lawan bentrokan suamimu itu...”
“Kalau saya tidak salah ingat, suami saya menyebut namanya sebagai Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari...” mengulang Walalangi dengan suara berdesis. “Cucuku, kelihatannya kita akan menghadapi musuh yang sangat tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa agar Tuhan melindungi dan membantu kita...”
********************
DUA
Begitu tiga orang penduduk desa itu selesai menimbun tanah kuburan, orang tua itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan berkata,
“Kalian bertiga boleh pergi...”
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan tempat itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh salah seorang dari mereka berkata,
“Aku berkata melihat ada keanehan pada upacara penguburan jenazah tadi!”
“Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu melafatkan doa tiada henti sewaktu kita menimbun kubur. Apanya yang aneh...?” tanya kawannya.
“Apakah kau tidak melihat tujuh batangan bambu berisi air lalu tujuh kembang terbungkus dalam daun...? Disini tak ada adat kebiasaan atau upacara seperti itu!”
Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka mulut. “Memang aku setuju kalau ada keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan mengintip apa yang dilakukan orang tua dan perempuan muda itu selanjutnya...?”
Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang desa itu tinggalkan pacul masing-masing di suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat pemakaman.
Sementara itu di puncak gunung. Walalangi ambil tujuh buah tabung berisi danau Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari kepala terus ke arah kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Walalangi pegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh dibagian kaki kubur, Walalangi kembali ke bagian kepala. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang didalamnya bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
“Sulami...” Walalangi melangkah mendekati istri cucunya itu. “Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau saksikan jangan sekali-kali mengeluarkan suara sedikitpun! Jika itu sampai dilanggar, usahaku untuk memenuhi permintaan suamimu akan sia-sia belaka. Kau dengar itu Sulami...?”
Sulami menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Walalangi memutar tubuhnya, kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan,
“Ya Tuhan penguasa seluruh alam dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi sesungguhnya engkau telah mengetahui apa yang kami inginkan, apa yang si mati inginkan. Kami harap kau berkenan mengabulkannya ya Tuhan. Jika permintaan dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa besar di mataMu, mohon ampunanMu dan biarlah saya sendiri yang menanggung segala dosanya!”
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu Walalangi meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Kembali Sulami Tangkario tidak dapat mendengar apa sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu. Namun sesaat kemudian dia mendengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun. Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip memandang ke arah kubur suaminya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu. Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika Sulami memperhatikan lebih lanjut terkejutlah perempuan muda ini.
Gulungan asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula-mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang muncul dari asap ini bukan lain adalah suaminya sendiri! Mararanta Tangkario!
Kalau tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat itu Sulami telah memekik keras. Dia kancingkan mulutnya rapat-rapat malah letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar jangan sampai mengeluarkan suara sedikitpun.
Mararanta Tangkario tegak dengan kedua tangan lurus disamping badan. Kepalanya mengarah ke timur dan pandangan matanya lurus ke depan, hampir tidak berkesip. Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar bekas bacokan. Darah mengotori sebagian muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia mati terbunuh!
“Mararanta... Kau dengar suaraku menyebut namamu?” Walalangi bertanya dengan suara bergetar karena hampir tak kuasa menahan gelegak dalam dadanya.
Mararanta si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya perlahan dan sangat kaku.
“Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam kematian, merupakan kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi niatmu telah tercapai, maka kau harus kembali ke puncak Gunung Klabat ini dan beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika kau menyalahi tujuanmu semula, yakni mempergunakan hidup sementaramu ini untuk maksud lain, bukan untuk kepentingan yang semula kau katakan sebelum ajalmu, maka kau tak akan pernah kembali dan berkubur disini secara wajar. Seumur dunia, sampai kiamat kau akan hidup terkatung-katung antara dua alam yakni dunia dan akhirat. Dan diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat sangat! Karenanya lakukan apa yang kau inginkan semula, lalu kembali kemari. Kau dengar Mararanta...?”
Kembali Mararanta mengangguk.
“Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar Mararanta...?”
“Sa... ya... men... de... ngar...” terdengar jawaban Mararanta Tangkario. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
“Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke tanah Jawa. Lakukan apa yang kau inginkan. Balaskan sakit hatimu! Jangan menyimpang dari itu!”
Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala. Tampak kakinya bergerak turun dari tanah kuburan. Begitu menginjak tanah di samping kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba saja menjadi lenyap seperti ditelan bumi.
Walalangi merasakan dadanya bergoncang keras. Sulami tiba-tiba saja merasakan lututnya goyah dan perempuan ini langsung roboh ke tanah.
Tiga orang penduduk desa yang mengintai di kejahuan, lari menghambur ketakutan ketika melihat sosok mayat hidup itu bergerak melangkah. Salah satu diantara mereka malah ada yang sampai terkencing-kencing!
********************
TIGA
Seperti meledek anak rusa itu tegak memandang ke arah pemuda yang mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya yang hanya sepanjang jari telunjuk. Orang yang mengejar bergerak dua langkah lalu diam. Anak rusa itu maju pula dua langkah lalu diam. Begitu dikejar kembali, dengan cekatan binatang ini melompat dan menghambur ke balik semak belukar.
Tapi dia tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika orang itu datang mendekat, dia sengaja menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal tiga langkah lagi, anak rusa itu melompat dan lari masuk ke dalam hutan jati.
“Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu bukan untuk kupanggang dan kulahapi. Hanya sekedar untuk jadi sahabat mainan! Tapi kalau kau meledekku begini rupa, jangan harap aku masih mau berniat baik! Dagingmu tentu harum dan segar untuk dilahap.”
Maka si pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan jati di arah lenyapnya anak rusa tadi. Namun setelah beberapa lama mencari kesana-kemari dia tak berhasil menemui binatang itu. Jangankan menemuinya, mendapatkan jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda itu akhirnya memutuskan untuk keluar saja dari hutan itu.
Namun baru saja dia memutar tubuh mendadak gerakannya tertahan. Jauh di dalam hutan, lapat-lapat dia mendengar seperti ada suara orang mengerang dan menangis. Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipitkan kedua matanya, memandang ke arah hutan jati sebelah dalam dan memasang telinga lebih tajam.
“Jangan-jangan itu suara dedemit atau mahluk jejadian yang hendak menjebak lalu mencelakakan diriku...” berkata si pemuda dalam hati. Dia segera putar tubuh kembali. Tapi tak jadi lagi. “Suara itu sepertinya suara tangis sendu manusia sungguhan... Tak ada salahnya aku menyelidik sebentar.”
Lalu pemuda ini akhirnya masuk kembali ke dalam hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara erang bercampur tangis yang makin jauh dia masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan menembus hutan cukup jauh pemuda itu temukan sebuah rumah kecil terbuat dari papan kasar. Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela rumah tertutup rapat. Justru suara erang bercampur tangis itu datang dari dalam rumah!
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah papan dan sekelilingnya, lalu menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda tadi melangkah cepat menuju pintu rumah papan. Ketika didorong terdengar suara berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.
Di dalam rumah suasana gelap redup. Sedikitnya cahaya yang merambas masuk lewat pintu yang terbuka membuat pemuda yang barusan masuk masih bisa melihat apa yang ada dalam rumah ditengah hutan belantara itu. Untuk beberapa lamanya si pemuda tegak seperti terpaku. Kedua matanya membesar tak berkesip.
“Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di tempat ini...?!” desis si pemuda.
Di dalam rumah papan itu hanya terdapat sebuah ranjang papan yang beralaskan tikar jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh seorang perempuan dengan rambut sembrawut acak-acakan. Tubuhnya mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tidak berbentuk lagi karena penuh robek disana sini dan tak sanggup lagi menyembunyikan auratnya yang kuning langsat. Walaupun kotor dan berada dalam keadaan sangat menderita, namun kesengsaraan itu tak dapat menyembunyikan kecantikan wajah perempuan itu.
Hampir di sekujur badannya, terutama di bagian leher, dada dan pangkal paha penuh dengan tanda-tanda merah seperti tanda gigitan. Kedua tangannya terpentang dan masing-masing ibu jari tangan itu diikat dengan-sehelai tali halus. Ujung tali yang lain diikatkan pada kaki-kaki tempat tidur. Kedua kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-ibu jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di salah satu ujung kaki perempuan ini tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si pemuda, tegak menunduk sambil menjilati kaki kiri perempuan yang terikat di atas tempat tidur itu!
“Ah, disini kau rupanya...” berucap si pemuda. Anak rusa itu mengangkat kepalanya, memandang sebentar pada si pemuda lalu kembali meneruskan menjilati kaki kiri perempuan itu.
Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu, menyaksikan sosok tubuh perempuan muda yang cantik dan nyaris telanjang di atas ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan masuk ke dalam rumah akan tergoncang juga imannya. Namun apa yang disaksikannya saat itu adalah satu kekejaman!
“Tolong... Demi Tuhan... tolong diriku! Lepaskan aku dari malapetaka ini. Tolong Rupanya perempuan yang terikat diatas ranjang menyadari kalau ada seseorang masuk ke dalam rumah.
Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat bertindak untuk memutus empat utas tali yang mengikat kedua tangan dan kaki perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan tidak sanggup memutus tali-tali itu ataupun membuka buhulnya dengan tangan kosong. Ditelitinya ke empat tali itu.
Baru disadarinya kalau empat tali tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja empat tali itu tak satupun yang bisa dibikin putus! Hampir kehabisan akal pemuda itu terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk kepala.
“Tak ada jalan lain...” si pemuda berkata. Tangan kanannya menyelusup ke balik pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar terang memenuhi rumah papan yang sempit itu. Empat kali sinar terang berkelebat dan empat kali terdengar suara...
"Trasss- Trasss-Trassss...!"
Empat tali pengikatpun putus. Setelah putus baru buhul yang mengikat ibu jari kaki dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si pemuda simpan kembali senjatanya berupa kapak bermata dua ke balik pakaian!
Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu, perempuan di atas ranjang keluarkan pekik halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada daya. Mungkin sudah lebih dari dua hari dia diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi minum. Namun sepasang matanya masih memancarkan pandangan dengan sorotan tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa berkedip pada pemuda yang barusan telah menolongnya.
“Pergi... pergi dari sini. Sebelum manusia durjana itu muncul...” terdengar perempuan itu berkata. Suaranya setengah berbisik.
Anak rusa yang tadi menjilati kakinya di atas tempat tidur, kini telah melompat pula dan rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan itu.
Pemuda yang barusan menolong memang membaui adanya bahaya di tempat itu. Namun sebelum pergi dia harus mengetahui dulu siapa adanya perempuan muda itu dan mengapa sampai berada dalam keadaan seperti itu di rumah papan di tengah rimba belantara itu.
“Saudari... Katakan siapa dirimu? Mengapa... kau berada di tempat ini. Siapa yang melakukan kekejaman ini...!”
“Aku... Namaku Minari... Aku diculik sejak empat belas bulan yang lalu. Dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya... akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun manusia keparat itu tidak lagi memberiku makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia ingin aku mati secara perlahan-lahan... Dia manusia biadab. Ganas! Lebih ganas dari setan dan iblis! Lekas... Kita... kita harus pergi dari sini. Keparat itu bisa muncul setiap saat... Tolong... Bawa diriku dari tempat celaka ini. Saudara tolonglah lekas...”
“Ya... Kita akan pergi. Aku akan menolongmu. Tapi katakan dulu siapa manusia biadab yang memperlakukan dirimu seperti ini?” bertanya si pemuda lalu memegang tubuh perempuan itu dan menggendongnya.
“Manusia itu, seorang manusia berhati iblis. Dia menyebut dirinya sebagai...”
Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri ucapannya tiba-tiba...
"Braakkk...!" Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di sebelah kiri ambrol berantakan dan sesosok tubuh melesat masuk dari dinding yang hancur itu!
Perempuan dalam dukungan si pemuda menjerit keras, menyebut sebuah nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari gendongan namun tidak mampu. Akhirnya dia hanya bisa menjerit kembali.
********************
EMPAT
Pemuda berpakaian putih yang menggendong perempuan muda itu menatap dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh yang barusan masuk menerobos dinding papan. Di hadapannya, terpisah di seberang tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki separuh baya dengan luka menganga di pangkal lehernya. Noda darah membasahi sebagian muka, leher serta bajunya. Orang ini tegak seperti patung, memandang lurus ke depan, tanpa berkedip.
Satu cara memandang yang luar biasa aneh karena si pemuda merasa pandangan mata orang itu seolah-olah menembus batok kepalanya, bahkan menembus dinding di belakangnya! Dan mukanya yang pucat itu serta bibir yang membiru mendatangkan rasa ngeri bagi siapa saja yang memandangnya!
“Saudari...,” berbisik si pemuda. “Inikah manusianya yang telah menculik dan mencelakaimu...?”
Dada Minari tampak turun naik. Dia menggeleng. Dia coba membuka mulut tapi yang keluar kembali teriakan keras. Dia berteriak menyebut nama, “Kakak Mararanta!” Perempuan itu berusaha turun tapi si pemuda masih terus menggendongnya.
“Mi... na... ri... is... tri... ku! A... ku... da... tang un... tuk... mem... ba... wa... mu... per... gi... “
Orang diseberang tempat tidur keluarkan suara berkata yang aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki lidah yang kelu. Setiap patan kata yang diucapkannya terdengar begitu lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah.
“Kakak! Bawa aku bersamamu... Tapi, kau terluka kakak Mararanta...” Perempuan dalam gendongan berkata.
“Tu... run... kan... is... tri... ku! Le... tak... kan di... tem... pat... ti... dur... La... lu... kau... ber... siap... lah... un... tuk... ma... ti!
Si pemuda terkejut. “Saudari... jadi kau istri lelaki itu...?” tanyanya.
Minari anggukkan kepalanya berkali-kali. “Turunkan aku... Lakukan apa yang dikatakannya...” dia mampu bicara juga akhirnya. Dengan perasaan masih sangat tercekat pemuda itu akhirnya turunkan perempuan yang digendongnya. Lalu di seberang sana dilihatnya lelaki yang dipanggil dengan nama Mararanta tadi angkat tangan kanannya. Caranya mengangkat tangan itupun aneh. Gerakannya lurus-lurus seolah-olah dia tidak memiliki siku sedang kedua matanya tampak memancarkan sinar aneh!
“Kakak Mararanta...! Jangan...! Pemuda itu orang baik! Dia telah menolongku!” berteriak Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah menjadi suaminya itu hendak melancarkan serangan.
Gerakan tangan yang kaku berhenti dan sesaat tangan kanan itu masih bergantung lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk kaku. Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara yang aneh, tapi cepat sekali tubuh Minari yang ada di atas tempat tidur terangkat dan tahu-tahu sudah tersadar di bahu kirinya.
“Kakak... kau terluka... Kau...” Minari tak sanggup meneruskan ucapannya. Tubuhnya terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu lelaki yang pernah menjadi suaminya dan kemudian terpisah sejak lebih dari setahun yang silam.
“A... ku... ti... dak... per... ca... ya... pa... da... mu! Kau... te... lah... men... ce... la... kai... is... tri... ku! Kau... Kau... ha... rus... mati... di... ta... ngan... ku!”
Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya menjadi marah dan meradang dituduh telah mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan mata angker lelaki di hadapannya itu membuat dirinya seperti kehilangan segala daya untuk marah atau membentak. Dengan suara bergetar dia berkata,
“Saudara... Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi kau harus percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu. Kalau memang benar dia istrimu! Siapa kau sebenarnya...? Mengapa ada luka besar di lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu terputus-putus.
“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat! U... cap... an... is... tri... ku... ting... gal... u... cap... an... A... ku... li... hat... sen... di... ri... kau... hen... dak... me... la... ri... kan... Mi... na... ri! Kau... pas... ti... ka... ki... ta... ngan... ma... nu... sia... ke... pa... rat... ber... na... ma... Pa... nge... ran...Ma... ta... ha... ri... itu!... Ka... ta... kan... di... ma... na... dur... ja... na... i... tu... ber... a... da...!”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut dirimu begitu...?” si pemuda memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya. “Apa... apa betul kau mayat hidup... Gila! Bagaimana ada mayat hidup!”
Namun dalam hatinya pemuda itu merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat tiada berdarah dan bibir yang biru itu... Memang begitulah keadaan mayat. Tapi mayat hidup! Sulit dipercaya.
“Paling tidak manusia satu ini bangsa orang gendeng juga!” Begitu si pemuda membatin. Lalu, “Hai! Tadi menyebut nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan menyebut nama Pangeran Matahari?!”
“A... ku... bi... ca... ra... Kau... men... de... ngar... Aku... ti... dak... bi... su... kau... ti... dak... tu... li...” si Mayat Hidup Gunung Klabat alias Mararanta Tangkario menjawab.
“Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu. Karena itu kau dengar penjelasanku baik-baik. Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari. Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun sudah lama mencari-cari keparat itu!”
“Kau... dus... ta... A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... mu... A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... o... rang... Ja... wa...!”
“Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup! Jangan menyebut-nyebut nama orang Jawa segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!” teriak si pemuda.
“Is... tri... ku... o... rang... Ja... wa... yang... ba... ik...,” jawab Mayat Hidup Gunung Klabat.
Lalu tangannya membuat gerakan kaku, bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah kejurusan si pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung Klabat tampak seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-tiba saja seantero tempat menjadi panas luar biasa! Pemuda yang mendapat hantaman angin keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai. Saat itu pula terdengar suara ledakan keras.
Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur berantakan berkeping-keping ke udara bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus. Si pemuda sendiri ikut terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya tampak luka-luka. Pakaian putihnya robek dan pipi kirinya baret! Mararanta Tangkario bersama Minari dan anak kijang lenyap dari tempat itu!
********************
LIMA
Ketika pemuda yang pingsan itu siuman dan membuka kedua matanya, pertama sekali yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di sebelah atas dua kaki itu memakai sehelai celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi tampak baju yang juga berwarna hitam. Di bagian dada baju terpampang gambar puncak gunung berwarna biru melambangkan gunung Merapi. Pada latar belakang gambar gunung berwarna biru itu tertera gambar matahari merah dengan guratan-guratan berwarna kuning melambangkan sinar matahari.
Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati itu bukakan kedua matanya lebih lebar. Kini dia dapat melihat tampang manusia berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini memiliki kening tinggi yang diikat dengan sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan rahangnya menonjol. Keseluruhan wajahnya membersitkan kekerasan, keangkuhan atau kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya manusia ini!
Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang berpakaian hitam keluarkan suara tertawa dan cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya sudah menginjak tenggorokan pemuda berpakaian putih yang tergelimpang di tanah!
“Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Dan kita sama-sama tidak menyukai pertemuan ini, bukan...?!”
Pemuda berpakaian putih yang ternyata adalah Wiro Sableng murid Eyang Sinto Gen-deng dari Gunung Gede menyumpah dalam hati, “Bangsat ini menginjak leherku! Bagaimana aku bisa menjawab ucapannya! Sialan!”
Diam-diam dengan cepat Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke tangannya kiri-kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan kedua tangannya secara menyilang ke arah betis orang yang menginjak lehernya. Untuk mencegah agar orang itu tidak menghujamkan kaki dan menghancurkan lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah selangkangan lawan!
Si baju hitam mendengus dan keluarkan ucapan mengejek, “Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat Pendekar 212! Kalau tidak lehermu pasti sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang ke akhirat!”
Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya putus seolah-olah dibabat oleh gunting raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya dan disaat itu juga tubuhnya melesat keudara setinggi dua tombak. Dia membuat jungkir balik di udara satu kali lalu melayang turun dengan kedua kaki menjejak tanah lebih dahulu.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat kedua lututnya lalu melompat bangun dan tegak sambil pasang kuda-kuda. Lelaki berbaju hitam dengan gambar gunung dan matahari di dadanya menyeringai.
“Hem... tak pernah aku melihat keadaanmu seburuk hari ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek seperti pakaian gembel. Kulitmu luka-luka dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini? Atau ada musuh yang sempat menghajarmu babak belur...?”
Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai. Kedua tangan dirangkapkan di depan dada. “Pangeran Matahari! Lama tak bertemu apakah kau barusan datang dari neraka atau liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan mulutmu sebau comberan. Kau pasti menyesal mengapa tidak membunuh musuh bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih pingsan!”
“Mengambil nyawamu semudah aku membalikkan telapak tangan pendekar sableng! Aku memang tidak membunuhmu karena perlu beberapa keterangan...!”
“Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau inginkan. Dan jawabanku adalah semudah aku membalikkan telapak tangan untuk cebok...! Ha ha ha...!”
Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu, tapi mulut Pangeran Matahari masih bisa sunggingkan seringai. “Keterangan pertama! Ceritakan padaku bagaimana kau bisa sampai di tempat ini! Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan rumah papan milikku! Siapa yang membuatnya porak-poranda seperti ini. Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian kuning yang sebelumnya terikat di atas ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan keterangan padaku!”
“Mudah saja... Mudah saja...!” sahut Pendekar 212 seraya usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain. “Keterangan pertama! Aku sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi juga karena mendengar ada yang mengerang dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata di dalamnya ada seorang perempuan dalam keadaan sangat menderita, terbaring di atas tempat tidur dengan dua tangan dan dua kaki terikat! Dan aku tahu Pangeran Matahari... Kau yang punya pekerjaan biadab itu!”
“Dugaanmu tepat!” sahut Pangeran Matahari lalu tertawa gelak-gelak. “Lanjutkan keteranganku sampai habis!”
“Keterangan kedua!” ujar Wiro melanjutkan. “Yang merubah rumah papanmu menjadi puing-puing tak berguna ini adalah seorang yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung Klabat...”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan apa pula itu...? ujar Pangeran Matahari. “Jangan-jangan kau hanya mengarang...”
“Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan makhluk itu. Ujudnya seperti manusia biasa. Ada luka besar masih menganga dan belum kering darahnya di pangkal lehernya. Dia menuduhku telah menculik dan berlaku keji terhadap perempuan yang terikat di atas tempat tidur. Karena itu dia lalu menyerangku dengan pukulan sakti. Pukulan itu yang menghancurkan rumah papanmu. Kau tentu ingin tahu siapa nama Mayat Hidup Gunung Klabat itu bukan...? Kau pasti kenal padanya...”
“Jangan menyuruh aku menduga-duga tak karuan. Lekas beri tahu siapa nama orang itu jika kau memang sudah tahu!” bentak Pangeran Matahari pula.
“Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang istrinya kau culik, lalu kau bawa dari satu tempat ke tempat lain...”
“Apa katamu...?!” ujar Pangeran Matahari dengan mata melotot. “Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh oleh dukun suruhanku! Bagaimana mungkin tahu-tahu bisa hidup kembali?!”
“Justru disitulah letak masalahnya. Bagaimana orang sudah mati bisa hidup kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan dirinya ketika dia hendak membawa istrinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia memiliki pukulan sakti luar biasa!”
“Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario itu yang menghancurkan rumahku, menghajarmu sampai babak belur begini dan menculik Minari...?!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!” Sahut Pendekar 212 pula. “Dan ketahuilah... Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul untuk mencari dan membunuhmu!”
“Dia boleh datang menemuiku jika minta mampus. Tapi sulit kupercaya jika orang yang sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup dan menjelma kembali...!”
“Kau tanyakan sendiri jika bertemu dengannya!” ujar Wiro seraya menyeringai.
Pangeran Matahari merenung sejenak lalu berkata, “Pendekar 212! Antara kita banyak silang sengketa dan dendam lama yang harus diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar yang tengah kuhadapi aku bersedia menunda urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi kau telah memberi keterangan yang sangat penting padaku...”
Wiro tertawa kecil. “Di lain saat jika bertemu lagi, kau harus membayar penundaan penyelesaian hutang-piutang ini dengan bunganya...”
“Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga itu akan kubayar dua kali lipat! Aku harus mengejar mereka sekarang juga!”
Habis berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan telapak tangan kirinya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat rundukkan kepala. Sinar biru berkelebat ganas di atas kepalanya, menghantam pohon jati tua di belangnya hingga patah dan tumbang menggemuruh.
Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu serangan lawan berhasil dielakkannya dan Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke kanan, murid Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan tangan kiri. Suara menggemuruh laksana ada batu besar menggelinding, menghantam ke arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti bernama Kunyuk Melempar buah!
Pangeran Matahari melompat setinggi satu tombak ke atas sambil kebutkan lengan baju hitamnya.
"Wutttt...!"
Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada denyutan cukup mengagetkan membalik menghantam dadanya, membuat pendekar ini cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain pihak sang Pangeran sendiri buru-buru menarik pulang tangannya ketika di dengarnya ada suara berkerebetan. Ketika dilihatnya ternyata ujung lengan kiri pakaian hitamnya itu telah robek!
********************
ENAM
Ketika Minari siuman dari pingsannya, didapatinya dirinya terbaring diatas rerumputan. Dengan siisah payah dia mencoba duduk. Begitu duduk dan memandang berkeliling, tercekatlah perempuan ini. Ternyata dia berada di sebuah bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi berbagai bunga. Walaupun cuma bunga-bungaan liar namun pemandangan disitu indah sekali.
Lebih terkejut lagi dia sewaktu menyadari bahwa kini dia tidak lagi mengenakan pakaian biru muda yang kelihatannya masih baru. Sehelai itu sekujur tubuhnya yang sebelumnya kotor kini tampak bersih sedang rambutnya yang awut-awutan kini tersisir rapi.
Siapa yang melakukan semua ini...? Siapa yang menggantikan pakaiannya, siapa yang membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada yang mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya pastilah orang itu telah membuka pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa tutupan sama sekali...! Memikir sampai disitu Minari merasakan tubuhnya bergetar dan wajahnya merah karena jengah.
Perempuan ini memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat disampingnya, diatas sehelai daun terdapat beberapa macam buah-buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan manggis hutan. Disebelah buah-buahan ini terletak daun yang dibentuk demikian rupa seperti mangkok dan didalamnya ada air jernih.
Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun rasa lapar serta dahaga membuat dia segera saja melahap jambu air lalu meneguk air dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu ke atas rumput, saat itulah dia ingat. Dan dia memandang berkeliling seraya memanggil.
“Mararanta... Kakak Mararanta? Dimana kau...?”
Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke belakang, di arah mana terdapat sekolompok pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu pohon itu melayang turun satu sosok tubuh, langsung tegak di hadapan Minari.
“Kakak...!” seru Minari ketika dikenalinya orang itu adalah suaminya, Mararanta Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki itu dengan matanya yang bening bersinar. Lalu dia beringsut maju dan peluk pinggang lelaki itu. “Kau, kaukah yang menggantikan pakaianku, kaukah yang menyediakan buah-buah serta air minum itu kakak? Kau jugakah yang membersihkan tubuhku...” Minari mendongak dan melihat Mararanta anggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. “Kau terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu. Keadaanmu sangat tidak terawat. Lukamu itu harus diobati. Mukamu pucat sekali dan bibirmu biru...” Ucapan Minari tidak putus-putus karena menyaksikan keadaan suami yang terpisah selama empat belas bulan itu sungguh sangat menyedihkan. “Kakak Mararanta, mengapa kau jadi begini? Mengapa kau menghilang sekian lama. Aku telah jadi korban penculikan manusia terkutuk Pangeran Matahari itu Minari menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai menangkis.
“Ja... di... be... nar... bang... sat... i... tu... men... cu... lik... mu...”
“Kakak... Suaramu! Mengapa berubah seperti ini?!” kejut Minari. Lalu dia ingat bahwa diapun sempat mendengar suara Mararanta sewaktu berada di rumah papan di hutan jati. Suara yang aneh, kaku dan lamban seolah-olah datang dari jauh.
“A... ku... me... mang... te... lah... ber... u... bah... Mi... na... ri...! A... ku... bu... kan... Ma... ra... ran... ta... sua... mi... mi... mu... yang... du... lu...! A... ku... te... lah... ma... ti...”
“Mati...?” ujar Minari. “Tidak! Kau tidak mati! Kau harus tetap hidup seperti yang kulihat saat ini! Kita harus berkumpul kembali...!”
“Ti... dak... mung... kin... is... tri... ku...”
“Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita tinggalkan tempat ini. Kita segera berangkat ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu. Aku akan merawatmu sampai sembuh...”
Mararanta membuat gerakan menggeleng yang kaku dan aneh. “Ki... ta... ti... dak... ber... kum... pul... is... tri... ku...! Ki... ta... ber... a... da... di... a... lam... yang... ber... beda.”
“Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit berat, kakak Mararanta. Cara bicaramu aneh. Apa yang kau ucapkan tidak karuan...”
“Mi... na... ri...! A... ku... se... be... nar... nya... su... dah... ma... ti...! So... sok... ku... sa... at... ini... a... da... lah... so... sok... ma... yat... hi... dup...! A... ku... Ma... yat... Hi...dup... Gu... nung... Kla... bat... !”
Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu lemah namun seperti mendapat satu kekuatan baru, Minari tegak dari duduknya dan menatap Mararanta Tangkario mulai dari ujung rambut sampai kekaki. Muka yang sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang membiru. Lalu sepasang mata yang cekung dengan pandangan kosong tapi seperti menembus. Dan luka di leher yang mengerikan itu!
“Kau sakit kakak. Kau sakit...” desis Minari.
Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya memandang tak berkedip. Lambat-lambat rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.
“Kakak... kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang juga”
“Ti... dak... Mi... na... ri... Kau... yang... i... kut... a... ku... men... ca... ri... Pa... nge... ran... dur... ja... na... i...tu...!”
“Mencari Pangeran Matahari bukan soal mudah. Dia datang dan pergi seperti setani Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”
“Ma... ra... ran... ta... yang... du... lu... me... mang... ti... dak... sang... gup... me... la... wan... Pa... nge... ran...! Ma... ta... ha... ri...! Ta... pi... Ma... ra... ran... ta... Ma... yat... Hi... dup... pas... ti... mam... pu... me... nga... lah... kan... nya.”
“Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini. Ya Tuhan, tolong diriku. Tolong dirinya... Aku tak percaya pada pengakuannya bahwa dirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Atau... Apakah aku harus mengujinya?”
Memikir sampai disitu Minari mengambil sebutir jambu kelutuk lalu memberikannya pada Mararanta seraya berkata: “Makanlah, kau pasti lapar.”
Mararanta menggeleng kaku. “Ma... yat... ti... dak... a... da... yang... ma... kan...” katanya.
“Kalau begitu minumlah...” kata Minari pula ingin menguji lebih lanjut. Dia membungkuk mengambil air dalam gulungan daun.
Kembali Minari melihat Mararanta menggeleng. “Ma... yat... ti... dak... a... da... yang... mi... num...” ucapnya.
“Kakak! Kau ini...! Aku melihat kau terluka dan dalam keadaan menderita! Tapi aku tak percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara atau permainan apa yang tengah kau lakukan ini?!”
“Mi... na... ri... A... ku... ti... dak... mem... per... ma... in... kan... mu! Ji... ka... kau... ti... dak... per... ca..., li... hat... ka... ki... ku!
Mendengar ucapan itu Minari langsung memandang ke bawah kearah kedua kaki Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah perempuan ini. Wajahnya seputih kertas Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak menginjak rumput! Tidak menginjak tanah! Langsung Minari roboh tidak sadarkan diri lagi.
********************
TUJUH
Bagian depan rumah panggung itu hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil yang digantung di bawah talang air. Cahayanya tidak dapat menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk. Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk. Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia tak dapat tidur. Dan memang dia tak boleh tidur karena tugasnya adalah berjaga-jaga.
Di langit bulan setengah lingkaran nampak redup tertutup awan. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Pada saat itulah lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki yang men-dukung tubuh seorang perempuan tahu-tahu tampak berdiri di sudut serambi yang paling gelap.
“Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati. “Tadi mataku memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu berjalan dilantai serambi ini. Dengan memanggul beban seberat itu hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia tahu-tahu saja berada di ujung serambi sana...”
“Siapa disana?!” lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara menghardik.
"Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak. Si penjaga turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil tangan kanannya meraba hulu golok yang tersisip di pinggang kirinya dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil lampu minyak di bawah cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung serambi.
Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi wajah serta sebagian tubuh orang termasuk orang yang digendongnya, tersiraplah darah si penjaga. Seumur hidup belum pernah dia melihat tampang yang begini angker, apalagi ada luka besar di pangkal lehernya. Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya menusuk tajam.
“Kisanak... Kau siapa... Apa maksud kedatanganmu?” bertanya si penjaga. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak berhadapan dengan manusia.
“A... pa... kah... di... si... ni... ru... mah... Ki... Du... kun... Su... ra... Man... ja... ngan?”
Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini karena mendengar suara orang itu. “Manusia aneh... Suaranya seperti datang dari jurang yang dalam. Kaku... terbata-bata...”
“A... ku... ber... ta... nya! Me... nga... pa... ti... dak... men... ja... wab...?”
“Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun Surah Manjangan. Ah! Ki sanak rupanya datang hendak berobat. Siapakah yang sakit? Ki sanak sendiri atau orang yang ki sanak dukung...? Kulihat ada luka besar di pangkal leher ki sanak...”
“Ti... dak... per... lu... ba... nyak... ber... tanya. Le... kas... pang... gil... kan... du... kun... ke... pa... rat... itu...”
Mendengar majikannya disebut dengan kata-kata dukun keparat, marahlah si penjaga. “Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu. Kalau sampai Ki Dukun mendengar bagaimana mulutmu sekurang ajar itu menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan tempat ini melangkah seperti anjing!”
Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas membersit dari mulut dan hidungnya. Si penjaga merasakan kedua matanya menjadi sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur beberapa langkah.
“Ka... lau... kau... ti... dak... le... kas... m... mang... gil... du... kun... ja... ha... nam... itu... ku... po... rak... po... ran... da... kan... ru... mah... i... ni!”
“Kurang ajar!” bentak si penjaga. Walau hatinya sejak tadi sudah kecut namun mendengar kata-kata orang yang hendak memporak porandakan rumah itu, marahlah dia. “Jika kau datang meminta obat, kau akan mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau bicara yang bukan-bukan malah mengancam segala, berarti nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”
Lelaki yang mendukung sosok tubuh perempuan, yang bukan lain adalah Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan. Si penjaga berseru kaget ketika merasakan ada angin kencang yang menghantam ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya memang selamat tapi ada suara braak di sebelah belakang. Ketika berpaling tampak salah satu bagian dinding kayu rumah hancur berantakan! Kemudian si penjaga ini menyadari kalau lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri telah terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di lantai kayu serta merta dijilat api!
“Keparat kurang ajar! Kau memang minta mati!” teriak si penjaga. Dia gulung kain sarungnya lalu cabut golok yang tersisip dipinggang kiri. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan senjatanya, membabat kearah pinggang si muka pucat.
Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat terdengar suara menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit keras ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal lawan. Dan bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan golok yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sambil melolong kesakitan si penjaga putar tubuh, masuk menghambur ke dalam rumah lewat pintu tertutup yang ditendangnya dengan keras. Ruang panggung itu ternyata panjang sekali. Di kiri kanan berderet-deret kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan gambar sebuah pendupaan putih serta bara api merah lengkap dengan asap di sebelah atasnya.
Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut. Di depan pintu dia berseru: “Ki Dukun! Ada pengacau muncul disini! Harap kau lekas keluar dan bertindak...!”
Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika berpaling si penjaga melihat manusia bermuka pucat itu mendatangi semakin dekat. Sementara itu di langkan rumah kobaran api semakin besar... Karena tak tahan sakit serta ketakutan setengah mati akhirnya dia mendobrak pintu hitam dan melompat masuk ke dalam. Bau kemenyan menyambar keluar.
Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah ruangan besar yang sangat redup karena hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Lantai ruangan ditutup dengan permadani berwarna merah tua. Di tengah-tengah terhampar sebuah batu hitam berbentuk lonjong dan pipih. Di atas batu ini duduk bersila seorang kakek yang hanya mengenakan sehelai cawat berwarna putih.
Tubuhnya kurus sekali hingga tulang belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung, begitu juga kedua matanya yang terpejam memiliki rongga yang dalam serta kehitaman. Diatas kepalanya yang berambut kasar dan acak-acakan seperti ijuk ada sebuah pendupaan berwarna putih yang baranya menyala terang dalam gelap. Karena ditaburi kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.
Yang hebatnya, di atas pendupaan yang menyala dan menebar asap kemenyan melintang sebilah golok. Apa yang tengah dilakukan oleh kakek berwajah angker ini?
Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain, kecuali puluhan macam senjata tajam yang digantung ke dinding. Mulai dari berbagai jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk golok serta pedang, sampai pada tombak yang memiliki satu, dua atau tiga mata. Si penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang tampaknya tengah bersemedi sambil menjunjung pendupaan menyala itu.
“Wakanto... Kau mengganggu pekerjaanku!” Tiba-tiba kakek yang duduk di atas batu membuka mulut. “Nyawa yang harus aku ambil malam ini menjadi gagal. Berarti nyawamu gantinya...”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di atas pendupaan tiba-tiba tampak bergerak naik lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga rumah panggung bernama Wakanto. Melihat hal ini pucatlah wajah penjaga itu. Cepat-cepat dia berseru.
“Ki Dukun, maafkan diriku!” seru sipenjaga sambil letakkan keningnya di atas batu di hadapan kaki si kakek. “Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi ada pengacau datang ke rumah ini! Dia menyebut namamu dengan kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya dia menghancurkan pergelangan tanganku! Lihat... kau lihat sendiri Ki Dukun...” Wakanto angkat tangan kanannya yang telah hancur tulangnya.
Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut tapi tahu-tahu kaki kirinya melesat dan dukk! Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh melingkar di lantai. Pingsan.
“Masih untung nyawamu tidak kuambil...” Ki Dukun berkata. Golok yang tadi menukik ke arah si penjaga kini tampak naik kembali, lalu perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!
Bersamaan dengan itu sepasang mata si kakek tampak terbuka. Yang pertama dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung Klabat masuk ke dalam ruangan itu sambil mendukung Minari. Lalu kobaran api yang membakar kamar pertama di deretan sebelah kanan.
Dari rahang sang dukun terdengar suara gerahamnya bergemeletakan tanda ada kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Meskipun dia ingin sekali mengetahui siapa adanya orang yang memiliki luka besar dilehernya itu dan siapa pula perempuan yang didukungnya, apa maksud kedatangannya, namun hawa amarah yang lebih menguasai dirinya membuat dia lebih ingin cepat-cepat membunuh orang di hadapannya itu detik juga!
“Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan dari segala kekuasaan. Singkirkan manusia di hadapanku ini!” Ki Dukun Sura Manjangan berucap.
Saat itu juga golok melintang di atas pendupaan secara aneh bergerak ke atas, ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke arah dada kanan si mayat Hidup Mararanta Tangkario!
DELAPAN
Mayat hidup Gunung Klabat menggereng dan gerakkan tangan kanannya. Golok yang melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan dicengkeramnya. Lalu terdengar suara...
Trakkk! Trakkk! Trakkk...!"
Golok besar itu berubah menjadi empat potong. Salah satu potongan yaitu bagian ujung golok yang runcing masih tergenggam di tangannya. Lalu seperti melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini dimasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah.
"Krakkk! Krakkk! Krakkk...!"
Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-jangan. Tubuhnya yang duduk bersila di atas batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya yang terlipat diturunkan ke bawah. Kini dia berdiri tegak di atas batu pipih yang selama ini didudukinya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip pada wajah Mayat Hidup Gunung Klabat.
Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura Manjangan menjadikan dirinya sebagai manusia yang mempergunakan ilmu hitam untuk menjagai belasan bahkan puluhan manusia. Ilmunya tidak mengajarkan rasa takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu untuk pertamakalinya dia merasa merinding. Jika ada manusia yang mampu menguyah ujung golok beracun, maka berarti dia bukan berhadapan dengan manusia!
“Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan apa maksud kedatanganmu kemari?!”
Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab. Di sebelah depan rumah panggung terdengar suara berderak. Kobaran api telah memusnahkan sebagian dari serambi dan salah satu kamar. Bangunan di bagian itu roboh dengan suara menggemuruh.
“Kurang ajar! Kau telah mencelakai pembantuku! Kau juga yang membakar rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang kubakar!”
Habis berkata begitu Ki Dukun Sura Manjangan gerakkan kepalanya. Pendupaan yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya yang ditutupi rambut kasar acak-acakan melesat ke depan. Dari mulut pendupaan bukan saja menghambur bara panas tapi juga lidah api yang menyambar ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat!
Yang diserang sedikitpun tidak berusaha menghindar. Begitu lidah api dan hamburan bara panas hanya tinggal dua jengkal saja dari tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap mukanya lalu menerpa ke depan. Lidah api dan bara-bara merah itu tertahan di udara seperti menabrak tembok. Mayat Hidup kemudian menghembus keras. Maka terjadilah hal yang luar biasa!
Lidah api memecah menjadi puluhan banyaknya. Bersama-sama dengan bara yang menyala, lidah-lidah api itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang Ki Dukun Surah Manjangan sendiri, sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding serta langit-langit ruangan! Saat itu juga kamar besar itu dilanda kobaran api!
Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan marah. Sebagian rambutnya sempat disambar lidah api. Kakek ini melesat ke samping, melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding yang jebol itu dia melompat ke luar, sampai di halaman samping rumah panggung yang diterangi kobaran api besar yang telah membakar sebagian rumah di sebelah depan!
Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya masih belum hilang. Rasa cemas bercampur amarah masih membakar dirinya. Ingin dia menghajar manusia itu habis-habisan, mencabik-cabik tubuhnya bahkan mungkin meminum darahnya! Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dia mampu melakukan hal itu? Tampaknya dia berhadapan dengan makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa.
Namun dalam hati kecilnya dia sempat bertanya. Jika orang memang datang untuk meminta pertolongan, meminta pengobatan, mengapa dia telah mencelakai pembantunya, membakar rumahnya dan bahkan mencelakai dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu bermaksud merampas nyawanya.
“Dia bukan lawanku!” kata Ki Dukun dalam hati. “Lebih baik menyelamatkan diri!” Lalu Ki Dukun Sura Manjangan memutar tubuh, siap menghambur lari ke bagian halaman yang gelap. Namun baru saja dia bergerak setengah langkah, kakek ini melengak kaget karena tahu-tahu si muka pucat yang mendukung sosok tubuh perempuan itu sudah menghadang di depannya, menyeringai dan menggereng.
“Celaka!” seru Ki Dukun dalam hati. Dia berputar ke kiri dan melompat kabur. Namun kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada di hadapannya!
“Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya... Apa yang kau inginkan dariku?!” tanya Ki Dukun dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun melihat mulut makhluk di hadapannya itu bergerak. Lalu dia mendengar suara yang aneh menyeramkan.
“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat...! Sa... tu... ming... gu... la... lu... kau... per... gu... na... kan... il... mu... hi... tam... mu...! Kau... ki... rim... go... lok... ter... bang... be... ra... cun... mem... bu... nuh... ku...”
“Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak pernah mencelakaimu...” Ki Dukun terdiam sesaat. Lalu dengan suara semakin bergetar dia bertanya, “Si... apa namamu? Katakan asal usulmu...”
“A... ku... Ma... ra... ran... ta... Tang... ka... rio... da... ri... Mi... na... ha... sa...! Se... se... o... rang... te... lah... me... nyu... ruh... mu... un... tuk... mem... bu... nuh... ku! Kau... bo... leh... dus... ta...! Ta... pi... a... ku... da... tang... un... tuk... mem... ba... las... ke... ma... tian... ku! A... ku... mau... min... ta... nya...wa... mu...!”
Mendengar kata-kata itu paras angker Ki Dukun Sura Manjangan jadi berubah seputih kain kafan; “Mararanta Tangkario... Mayat Hidup Gunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi jika dia memang sudah mati, mengapa bisa muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan yang didukungnya ini...?”
Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu langkah lalu dongakkan kepala, memperlihatkan luka besar yang mengoyak pangkal lehernya.
“Ja... ngan... be... ra... ni... dus... ta...! Ba... co... kan... go... lok... ja... ha... nam... mu... bi... sa... kau... li... hat... sen... di... ri... di... le... her... ku! Se... se... o... rang... mem... ba... yar... mu... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri...!”
“Aku... aku...” Ki Dukun Sura Manjangan sadar kalau dia tak mungkin berkelit, makhluk bermuka pucat ini agaknya sudah tahu segala-galanya. “Dengar... Aku hanya... menjalankan pekerjaanku. Segala dosa dan kesalahan orang yang meminta yang menanggung. Begitu perjanjian. Jadi kau harus mencari Pangeran Matahari. Bukan aku...!”
Si muka mayat menyeringai. “Ka... ta... kan... di... ma... na... Pa... nge... ran... ter... ku... tuk... itu...ber... a... da...?”
“Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu... apakah kau bersedia melepaskan diriku... Kau telah membakar rumahku. Pembantuku saat ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu belum cukup...?”
“Ka... ta... kan... sa... ja... di... ma... na... Pa... nge... ran... i... tu... ber... a... da...!”
Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak dan tahu-tahu Ki Dukun merasakan lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha berontak tapi malah tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas!
“Jangan! Jangan bunuh aku!” Aku akan katakan dimana manusia itu bisa ditemui!” seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik. Tubuhnya kemudian diturunkan. Keringat dingin membasahi sekujur badannya yang hanya mengenakan cawat putih itu.
“Pangeran itu... Satu hari dalam satu bulan... dia pasti berada di sebuah Keraton kecil miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di selatan Imogiri... Tempat ini sulit dicari karena terletak dalam hutan lebat dan jarang didatangi manusia. Ki Dukun Sura Manjangan merasa lega ketika merasakan makhluk di depannya lepaskan cengkeraman di lehernya.
“Ba... gus... Kau... su... dah... mem... be... ri... ta... hu... Se... ka... rang... kau... per... gi... lah... du... luan... Tung... gu... ma... ji... kan... mu... i... tu... di... ne... ra... ka...!”
“A... apa... maksudmu...?” bertanya Ki Dukun Sura Manjangan.
Sebagai jawaban Mayat Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara berderak hancurnya tulang dada dan patahnya tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya pecah. Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Di atas sebatang pohon seorang pemuda berpakaian putih yang dengan susah payah selalu mengikuti jejak perjalanan makhluk dari liang kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-garuk rambutnya.
“Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinto Gendeng ditambah sepuluh Dewa Tuak dan sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat mengalahkan makhluk ini... Pangeran Matahari, kau tunggulah. Dia pasti akan muncul mencabut nyawamu.” Sesaat pemuda itu merenung. “Apa betul dia orang mati kemudian bisa menjelma menjadi mayat hidup? Sulit kupercaya... Kalau kemunculannya hanya untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat itu wajar-wajar saja. Tapi kalau kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan gentayangan menimbulkan keonaran... celakalah dunia persilatan!”
Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat meninggalkan tempat itu bersama istri dalam dukungannya, pemuda diatas pohon yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat turun dan kembali mengikuti perjalanan makhluk itu secara diam-diam. Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan jejak. Dia tidak mampu berada dalam jarak yang dekat karena makhluk itu berlari seperti terbang dan kedua kakinya tak pernah menginjak bumi.
Lagi pula sang pendekar tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir kalau-kalau yang diikuti mengetahui kalau dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi dan dia diserang, pasti bencana besar. Sampai saat itu Pendekar 212 masih belum mampu untuk mengetahui dimana letak kelemahan makhluk ini. Disamping itu dia merasa kasihan dan cemas akan nasib yang menimpa perempuan muda bernama Minari itu.
Meskipun jelas dia adalah istri Mararanta, tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan hidup sebagai suami istri. Satu manusia sungguhan dan satunya lagi makhluk mati yang hidup dan gentayangan secara aneh!
********************
Malam itu mereka berhenti di sebuah bekas reruntuhan candi. Minari sengaja berpura-pura tidur. Tapi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik Mararanta Tangkario, suaminya yang sekarang berada dalam kehidupan yang sulit dipercayanya. Lelaki itu duduk di atas sebuah batu besar, tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak pernah menginjak tanah.
Rasa takut yang menguasai dirinya selama berhari-hari membuat dia seperti hendak gila. Betapapun dia mencintai suaminya tapi bukan berarti dia bisa hidup dengan makhluk seperti itu. Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa dirinya adalah mayat hidup!
Dan ini memang dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak pernah melihat Mararanta makan atau minum. Dirinya pun tak pernah disentuhnya kecuali ketika mendukungnya dan membawanya berlari. Sudah beberapa kali Minari mengambil keputusan nekad untuk melarikan diri. Tetapi Mararanta seperti dapat membaca hatinya. Lelaki itu selalu mengawasi dirinya, baik siang maupun malam. Dan satu hal lagi yang membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah Mararanta tak pernah tidur.
Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan udara dingin. Minari hampir benar-benar tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya. Mararanta dilihatnya masih duduk di atas batu tadi, membelakanginya. Kemudian disamping kanan dia seperti melihat bayangan seseorang di balik sebuah arca buntung. Dipandanginya arca itu tanpa berkedip. Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu.
Tapi batu barusan jatuh di pipinya? Minari akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun baru kelopak matanya menutup setengah, dia melihat ada tangan yang melambai dibalik arca buntung itu. Minari buka kedua matanya lebar-lebar kembali. Saat itulah dia melihat sosok tubuh dan kepala muncul di balik arca. Karena jarak arca dan tempatnya berbaring tidak berapa jauh, selain itu rembulan yang dua pertiga bulat cukup menerangi tempat itu, Minari walaupun samar-samar masih sempat melihat dan mengenali orang itu.
“Pemuda itu kata Minari dalam hati. “Dia yang menolongku di pondok kayu dalam hutan sebelum Mararanta muncul... Dia ternyata mengikutiku sampai kesini... Pasti dia bermaksud menolongku... Sayang... dia tak akan bisa melakukannya...”
Tengah Minari berkata-kata dalam hati seperti itu, pemuda dibalik arca lemparkan sebuah benda ke arah Minari. Benda ini ternyata segulung kertas dan jatuh tepat di samping kepala Minari. Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di balik dada pakaiannya, tepat pada saat Mararanta bergerak bangkit dari batu. Dia memandang berkeliling, lalu berpaling pada Minari.
“Ki... ta... ta... hu... si... tu... ti... dak... ti... dur...”
Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-kata itu. “Kakak... aku hampir tertidur. Tapi aku lihat kakak berdiri. Kau juga perlu istirahat kakak. Kau perlu tidur...” kata Minari pula. Lalu perempuan ini jadi merinding sendiri. Bagaimana kalau Mararanta benar-benar tidur dan berbaring disampingnya!
“Ma... yat... ti... dak... per... nah... ti... dur...” terdengar jawaban Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi berkeliling. “Ki... ta... a... da... de... ngar... bu... nyi... ba... tu... ja...tuh... Bu... nyi... ben... da... me... la... yang...!”
“Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak mendengar bunyi apa-apa...” sahut Minari.
“Ma... yat... hi... dup... ti... dak... bi... sa... di... ti... pu...” kata Mararanta pula. “A... ku... ma... u... me... nye... li... dik...” Lalu dia bergerak cepat ke arah arca buntung.
“Celaka kalau pemuda itu masih berada disana...” kata Minari dalam hati. Dilihatnya Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar tanpa kepala itu, memandang kian kemari, tapi tidak melihat atau menemukan apa-apa. Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat gerakan tubuh yang melayang kian kemari tanpa menginjak tanah itu, Minari jadi ngeri sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta kembali ke tempatnya.
“Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam kakak. Tak ada makhluk apapun di tempat ini, kecuali kita berdua...”
Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali duduk di atas batu. Esok paginya ketika mendapat kesempatan pergi membersihkan diri di sebuah mata air, Minari keluarkan gulungan kertas yang disembunyikannya di dada pakaian lalu membukanya. Di atas kertas kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi.
Meskipun dia adalah suamimu. Tapi aku khawatir keselamatanmu terancam. Besok malam jika kau dengar suara lolongan srigala, minta dia untuk menyelidik. Begitu dia lengah, aku akan melarikanmu.... Wiro
“Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati. “Aku memang ingin melarikan diri, apalagi ada yang mau membantu. Tapi apakah pemuda itu sanggup, menolong...?”
Minari campakkan kertas itu ke dalam air. Kertas sesaat mengambang dan terbawa arus menuju ke sebuah kali kecil dangkal yang dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan batu kertas itu tertahan. Satu tangan kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu basah namun apa yang tertulis di atasnya masih bisa dibaca jelas. Dan yang mengambil serta membaca kertas itu bukan lain adalah Mayat Hidup Gunung Klabat!
********************
SEPULUH
Sejak sore langit tampak mendung. Menjelang malam hujan turun rintik-rintik. Mayat Hidup Gunung Klabat sadar, bagaimanapun cepatnya dia berlari, tak mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari perlu istirahat. Dan yang paling penting malam ini dia harus dapat menjebak pemuda bernama Wiro itu.
Ketika dia menghantamnya di rumah papan di hutan jati, dia menyangka pemuda itu sudah menemui ajal, hancur bersama rumah itu. Ternyata dia masih hidup dan masih nekad hendak menolong Minari, hendak mengambil istrinya dari tangannya.
Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu gubuk ditengah daerah perladangan yang biasa dipergunakan para petani untuk beristirahat atau makan siang. Mararanta Tangkario segera menuju teratak ini, dan membaringkan Minari di lantai. Dari dalam kantong perbekalan Mararanta mengeluarkan sebungkus makanan lalu diletakkannya di samping Minari.
“Kau... per... lu... ma... kan... is... tri... ku”
“Aku tidak lapar kakak...” sahut Minari. Perempuan ini berada dalam keadaan tegang. Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di mata air, malam itu pemuda bernama Wiro akan menolongnya. Akan berhasilkah pemuda itu melarikannya? Jika sampai tertangkap basah oleh Mararanta, mampukah dia menghadapinya? Kesaktian yang dimiliki Mararanta bukan kesaktian manusia biasa. Tapi kesaktian dari alam aneh yang tidak satu manusia hiduppun bisa menguasainya!
Dulu dia memang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang tinggi. Namun semua kehebatannya itu tidak berkutik di hadapan Pangeran Matahari. Namun kini dia muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan kini dia memiliki kesaktian yang luar biasa hebatnya.
“Ka... lau... kau... ti... dak... mau... ma... kan... ti... dur... lah...! Be... sok... pa... gi... pa... gi... se... ka... li... ki... ta... lan... jut... kan... per... ja... lan... an...” kata Mararanta pula.
“Kakak... Jika urusanmu dengan Pangeran Matahari selesai, apa yang akan kau lakukan...?” bertanya Minari.
“A... ku... a... kan... ba... wa... kau... ke... Mi... na... ha... sa...! Ki... ta... a... kan... ber... kum... pul... la... gi... Se... ba... gai... sua... mi... is... tri...”
Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-kata itu. “Menurutmu, kita berada dalam dua alam yang berbeda tak mungkin berkumpul...”
“A... ku... pu... nya... ca... ra... a... gar... kita... ber... a... da... di... a... lam... yang... sa... ma...”
“Caranya?” tanya Minari.
Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. Belum sempat Minari mendengar jawabannya tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan. Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda. Minari merasakan sekujur badannya tegang dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.
“Suara lolongan srigala... Kau mendengarnya kakak...?” tanya Minari dengan suara tercekat. Mayat Hidup Gunung Klabat mengangguk.
“Aku takut... Kau harus berjaga-jaga. Kau... sebaiknya menyelidik dan membunuh binatang itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat ini..."
Mayat Hidup Gunung Klabat memandang sesaat pada Minari, membuat perempuan ini merasa seperti putus nyawanya.
“A... ku... a... kan... me... nye... Ii... dik...! Aku... a... kan... ba... wa... ke... pa... la... sri... ga... la... i... tu... a... gar... kau... me... Ii... hat... sen... di... ri...”
“Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu ketemu. Jangan dibawa kepalanya kemari...” kata Minari pula.
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan srigala. Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah terdengarnya suara lolongan srigala.
“Ma... nu... sia... pe... ni... pu... Kau... a... kan... mam... pus... da... lam... ke... ne... kad... an mu!”
Cepat sekali dia sudah berada di tempat dimana dia tadi mendengar datangnya suara lolongan itu, tetapi secepat dia datang, secepat itu pula dia memutar tubuh dan berbalik kembali menuju ke teratak. Hanya saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah jalan. Dia melihat sesosok tubuh berpakaian putih mendekam di balik sebatang pohon besar.
“Hem... i... tu... pas... ti... pe... mu... da... bang... sat itu...! A... kan... ku... han... cur... kan... dia... ber... sa... ma... po... hon... i... tu!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Pundak kanan membuat gerakan menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya menghantam. Terdengar suara menderu seperti ada topan menyerbu. Batang pohon besar di depan sana hancur berantakan lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret dan mental berpatahan.
Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke arah pohon besar yang tumbang, memandang berkeliling. Dia melihat robekan-robekan pakaian putih, tapi sama sekali tidak menemui hancuran tubuh manusia, tidak melihat muncratan darah!
“Ke... pa... rat... itu... me... ni... pu... ku!” menggereng Mayat Hidup Gunung Klabat. “Bang... sat...! Ja... ngan... ha... rap... bi... sa... lo... los... da... ri... ta... ngan... ku!” Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah teratak.
SEBELAS
Begitu Mararanta meninggalkan teratak, Pendekar 212 yang sembunyi di balik serumpun keladi hutan cepat keluar dan melompat ke atas teratak. Minari hampir menjerit saking kagetnya. Wiro cepat tekap mulut perempuan ini.
“Jangan mengeluarkan suara. Apa kau cukup kuat untuk berlari...?”
Minari menggeleng. “Kalau begitu biar kudukung!”
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari atas teratak, menarik tubuh Minari dan mendukung perempuan itu di bahu kirinya. Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212 segera melompat ke bagian yang gelap. Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika tiba-tiba di depannya berkelebat satu bayangan. Angin yang menyambar dari sosok bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri.
Untuk imbangi diri sambil memasang kuda-kuda Wiro cepat melompat ke kanan. Bersamaan dengan itu dia siapkan tenaga dalamnya ke tangan kanan sambil merapat aji kesaktian pukulan sinar matahari. Mayat Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak di hadapan Wiro dengan dua kaki yang tak menginjak bumi terpentang lebar. Mulutnya menyeringai menyeramkan!
Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat Hidup Gunung Klabat dan menerima pukulan dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga sempat menyaksikan bagaimana Mararanta membunuh Ki Dukun Sura Manjangan hanya sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus berjaga-jaga. Yang mengherankannya adalah mengapa makhluk itu begitu cepat muncul kembali dan menghadangnya?!
“Ba... gus... ba... gus! Du... a... ma... nu... sia... ber... kom... plot... me... ni... pu... ku...! Sa... tu... se... ge... ra... mam... pus...! Sa... tu... nya... a... kan... men... da... pat... hu... ku... man... be... rat... da... ri... ku...!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Serta merta hawa panas menebar di tempat itu. Sambil menggerakkan pula tangan kanannya Pendekar 212 berseru, “Mararanta! Jika kau menyerangku dengan pukulan sakti mengandung hawa panas itu berarti kau akan membunuh istrimu sendiri!”
Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di atas dukungannya. Perempuan ini ketakutan setengah mati. “Tenang saudari... jangan takut. Jangan membuat gerakan apa-apa...” berbisik Wiro.
Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. “Kau... be... nar...! Is... tri... peng... khi... a... nat... itu... be... lum... sa... at... nya... ma... ti...! A... ku... ha... rus... meng... hu... kum... nya... le... bih... du... lu...!”
“Kakak Mararanta!” Minari berseru seraya angkat kepalanya. “Aku tidak mengkhianatimu. Aku...”
“Tu... run... da... ri... ba... hu... o... rang... i... tu... Ber... ja... lan... ke... a... rah... ku!”
Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika dia hendak meluncur turun, Wiro segera membentak, “Jangan dengar kata-katanya. Sekali kau kembali kepadanya, kau tak akan bisa diselamatkan lagi Minari!”
“Ma... nu... sia... be... jat...! A... pa... kau... tak... da... pat... pe... rem... pu... an... lain... ma... ka... me... la... ri... kan... is... tri... o... rang...?! Kau... sa... ma... sa... ja... be... jat... nya... de... ngan... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri...!”
“Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal itu!” menjawab Wiro.
“Kau... pan... dai... men... ca... ri... da... lih! A... pa... ke... pen... ting... an... mu... men... cam... pu... ri... u... rus... an... ka... mi... sua... mi... is... tri...”
“Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi, tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari berada bersamamu, berarti kau akan menyiksa dirinya dengan penderitaan dan rasa takut seumur hidupnya. Atau kau memang menginginkan kematiannya?!”
“Di... a... te... lah... ber... sa... lah... Ber... khia... nat... ter... ha... dap... ku...! Ber... arti... me... mang... ha... rus... ku... bu... nuh...! Ta... pi... se... ka... rang... be... lum... sa... at... nya... Di... a... ha... rus... ku... hu... kum... le... bih... du... lu...! A... ku... su... dah... mem... ba... ca... su... rat... ra... ha... sia... yang... kau... ki... rim... kan... pa... da... Mi... na... ri...! Ka... lian... ber... dua... ma... sih... ma... u... ber... ke... lit...?!”
Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan kanannya bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa. Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat lenyap dan sedikit kemudian terdengar pekik Minari. Wiro merasakan perempuan itu terbetot dari atas bahunya.
Maka tanpa menunggu lebih lama Pendekar 212 menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup Gunung Klabat yang dilihatnya berkelebat di depannya. Hawa panas menerpa. Tempat yang gelap itu menjadi terang benderang ketika pukulan sinar matahari menghantam dahsyat menyilaukan!
Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil menjambak rambut Minari. Dalam keadaan menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar matahari menghantam ke arahnya, dia sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun menangkis. Wiro jadi terkesima karena khawatir pukulannya akan menciderai Minari.
Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan meniup ke depan! Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar seperti dilanda lindu. Laksana menghantam tembok baja yang atos pukulan sinar matahari membalik menyapu ke arah Pendekar 212!
“Ya Tuhan!” Murid Sinto Gendeng mengucap keras. Jatuhkan diri ke tanah. Ketika pukulan sinar matahari menyambar dengan ganas, tak ada jalan lain untuk selamatkan diri. Pendekar ini hantamkan kedua tangan bahkan kedua kakinya ke atas.
Benteng topan melanda samudera! itulah pukulan sakti yang dilepaskan Wiro untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar matahari yang tadi dilepaskannya sendiri. Terjadilah satu hal yang hebat. Dua benturan menggelegar susul menyusul di tempat itu.
Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak kiri terlepas lalu terguling jatuh ke arah tanah yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas, perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-kencangnya. Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman Mararanta.
Bagaimanapun dia mencintai lelaki itu, apalagi pernah pula menjadi suaminya, namun kenyataan yang dihadapinya kini serta keanehan yang mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu membuatnya tak ada jalan lain dari pada berusaha menyelamatkan diri!
Minari lari terus sekencang yang bisa dilakukannya sampai akhirnya kedua kakinya terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut. Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya perempuan ini tersandung dan jatuh terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium tanah, satu tangan merangkul bahunya. Minari berpaling lalu menjerit keras ketika mengenali siapa adanya yang mencekal dirinya. Perempuan ini akhirnya pingsan dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat takut!
Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat memandang berkeliling. Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras dan kepalkan kedua tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang telinga. Tetap saja dia tidak menemukan kedua orang itu. Juga tidak terdengar suara apa-apa selain tiupan angin yang terasa dingin, makhluk ini mendongak ke atas. Hidungnya menghirup dalam-dalam.
“Di... a... ma... sih... be... lum... ja... uh... Ma... sih... be... lum... ja... uh...”
Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana dia bisa membaui tubuh Minari karena sekian lama selalu saling berdekatan.
Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Ketika pukulan sinar matahari datang menyapu dan dia menghantam dengan pukulan benteng topan melanda samudera, dua dentuman yang dahsyat membuat tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah jurang sedalam lima tombak di ujung peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya lecet dan luka berkelukuran.
Dan begitu dia terhempas di dasar jurang, pendekar ini muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan kedua kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali dia mencoba bangkit tapi rubuh kembali. Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti, itu, Wiro hanya bisa tergeletak menunggu nasib. Dia tidak menyadari justru dengan jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari tangan Mayat Hidup Gunung Klabat!
********************
DUA BELAS
Pangeran Matahari mengisap pipa gading yang berisi tembakau bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya sampai terpejam-pejam saking merasa nikmat. Beberapa kali bola matanya berputar-putar kemudian dia berpaling pada perempuan yang terbaring menelungkup dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.
“Apa enaknya menghisap tembakau seperti itu...?” bertanya perempuan itu.
“Sulit menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri. Mau?”
Yang ditanya menggeleng. “Menghisap tembakau campur candu, jika tahu takarannya yang tepat akan membuat seseorang menjadi sehat dan perkasa... Kau merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha ha ha... ”
Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul tubuh lelaki itu seraya berbisik, “Kau memang kuat sekali Pangeran. Malam tadi... ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis kewalahan...”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu. Lalu mencabut pipanya dan berkata, “Akupun tidak menyangka kau begitu hebat melayaniku, Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi... Ha ha ha!”
“Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?”
“Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak meninggalkan aku sampai berbulan-bulan...”
“Ah, aku orang banyak urusan dan kepentingan...”
“Urusan dan kepentingan dengan perempuan-perempuanmu yang cantik-cantik lainnya...!” kata Nyiruni seraya cemberut.
“Eh... kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang kukenal. Dan paling ganas di atas ranjang...!”
Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih tubuh sang Pangeran, Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut. Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.
“Ada apa Pangeran...?”
“Jika penjaga menarik genta tiga kali berturut-turut berarti ada bahaya mengancam Keratonku!”
“Ah, siapa manusianya yang berani berbuat macam-macam terhadapmu, Pangeran? Biarkan saja para pengawalmu yang menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku ingin kita bersenang-senang, tidak turun dari atas ranjang ini sampai besok pagi!”
Di luar sana kembali terdengar suara genta tiga kali berturut-turut. Pangeran Matahari melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia mengenakan pakaian hitamnya dengan cepat lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang bugil di atas ranjang.
“Kau tetap disini. Tunggu sampat aku kembali. Urusanku tak akan lama!”
“Ennggg...” Nyiruni masih berusaha bermanja-manja. Tapi sang Pangeran sudah melangkah ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke keningnya.
Sesuai dengan sifatnya yang biasa mengagulkan diri sebagai pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak, Pangeran Matahari tidak langsung menuju ke bagian depan Keraton kecil yang terletak di rimba belantara di kaki bukit Rasikembar di selatan Imogiri. Dia justru pergi ke bagian belakang Keraton lalu melompat ke atas atap bangunan. Dari sini dia akan dapat melihat dengan jelas segala sesuatu yang ada di halaman Keratonnya.
Tapi begitu dia berada di atas atap, kagetlah sang pangeran. Seorang pemuda berambut gondrong yang tak asing lagi dilihatnya duduk bersila enak-enakan di atas atap sambil mengunyah sebuah jagung bakar. Sebuah jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.
“Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak membuat keributan di tempat kediamanku! Apa masih belum kapok...? Apa sudah begitu ingin buru-buru mampus pendekar sableng...?!”
Pemuda gondrong berpakaian putih robek-robek serta banyak bekas luka di tubuh dan wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut masih penuh dia berkata,
“Tenang... jangan cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku yang mau membuat keonaran disini! Tapi ada orang lain! Dan aku mau menyaksikan bagaimana dia akan membantai tubuhmu!”
“Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212. Siapa orang yang katamu hendak membantaiku itu?!” bentak Pangeran Matahari dengan marah hingga rahangnya tampak menonjol dan pelipisnya bergerak-gerak.
“Ssst... Jangan bicara keras-keras. Nanti kedengaran si tukang bantai itu!” ujar pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Ini, kau makan dulu jagung bakar ini. Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!”
Lalu seenaknya Wiro lemparkan jagung yang di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari. Karena lemparan jagung itu mengarah ke mata kanannya dan jika dibiarkan bisa mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa cepat-cepat menyambuti jagung bakar itu dengan mata membeliak.
“Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau perut kenyang, tentu kau akan lebih senang menghadapi musuh yang datang!” ujar Wiro pula lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-lahan.
“Bangsat!” maki Pangeran Matahari. Jagung bakar yang dipegangnya di tangan kanan hendak dibantingkannya ke atas atap. Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti orang kelaparan jagung bakar itu digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja jagung itu hanya tinggal bonggolnya!
“Nah, begitu baru hebat!” Wiro acungkan jempol tangan kirinya. “Sekarang kau majulah ke ujung atap sana. Kau akan melihat siapa pembantai yang sedang menunggumu di halaman Keraton!”
Masih dengan mata melotot dan rahang menggembung, Pangeran Matahari melangkah ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama rata dengan atap ketika Pangeran Matahari melompatinya. Begitu sampai di ujung atap dan memandang ke halaman di bawahnya, terkejutlah Pangeran Matahari menyaksikan pemandangan di bawah sana!
Empat orang pengawal Keraton bergeletakan di tanah. Dua dengan kepala pecah, dua lagi dengan dada dan perut jebol! Bukan kematian empat pengawal itu yang membuatnya terkesiap. Tapi justru dia melengak ketika melihat siapa yang berdiri diantara empat mayat!
“Aneh, aku tidak mendengar pekik mereka! Dan orang yang tegak diantara mayat-mayat itu...?” Pangeran Matahari usap matanya sampai pedas. “Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki Dukun, Sura Manjangan bukankah sudah membunuhnya beberapa waktu lalu...?” Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Dukunmu yang pandai mengirimkan golok terbang pembunuh sampai ke seberang lautan itu sudah digasaknya sampai mampus beberapa hari lalu, Pangeran...!” Satu suara terdengar disamping sang Pangeran. Tanpa berpaling Pangeran Matahari sudah tahu kalau yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” Pangeran Matahari bertanya tidak percaya.
“Aku menyaksikannya sendiri!” sahut Wiro.
“Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa hidup lagi!”
“Dia memang sudah mampus! Lihat bekas luka bacokan yang mematikan di lehernya serta darah kering yang menodai pakaiannya. Itu pertanda bahwa dukunmu itu memang telah menyelesaikan tugasnya membunuh manusia bernama Mararanta Tangkario itu. Namun ada satu kekuatan lain diluar akal manusia yang mampu menghidupkannya. Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah yang telah menghancurkan rumah papan milikmu lalu melarikan Minari! Saat ini kau lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu didukungnya di bahu kiri!”
“Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika kuhajar habis-habisan! Kalau dia memang mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak minta mati kedua kali!”
“Pangeran, jangan menganggap enteng lawanmu itu. Dulu dia masih merupakan manusia biasa. Saat ini mungkin setengah setan setengah iblis! Kau tak bakal menang menghadapinya. Itulah sebabnya tadi kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati dengan perut kenyang! Di liang kubur atau di neraka tak ada yang akan memberikan makan, apalagi jagung bakar segurih itu padamu. Ha ha ha...!”
“Sialan, anjing kurap!” maki Pangeran Matahari. “Kau saksikan bagaimana aku akan melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya! Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu akan kuhajar sampai bangkaimu hanya tinggal tulang dan daging tak berbentuk!”
“Ah, mauku kau mampus di tanganku Pangeran. Tapi buat apa bercapai tangan kalau ada yang lebih mampu melakukannya. Aku hanya tinggal menonton saja! Ha ha ha!”
“Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu giliranmu! Jangan kabur dari sini!”
Sehabis mendamprat begitu Pangeran Matahari langsung melompat turun ke halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat kedua kakinya menyentuh tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu berhadapan dengan Mararanta Tangkario, Pangeran Matahari langsung menyapu orang itu dengan pandangan mata tajam dan ketika melihat bagaimana disiang bolong itu kedua kaki Mararanta Tangkario sama sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari. “Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!”
“Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri! Kau... ber... ha... sil... mem... bu... nuh... ku... se... ca... ra... ke... ji... pe... nge... cut...! Si... ang... i... ni... a... ku... da... tang... un... tuk... me... ngam... bil... nya... wa... mu”
Mayat Hidup Gunung Klabat langsung membuka mulut begitu melihat Pangeran Matahari berada di hadapannya. Sang Pangeran tentu saja tercekat ketika mendengar suara orang itu. Aneh mengerikan. Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya ajukan pertanyaan.
“Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan untuk menuntut balas...?”
“Kau... ti... dak... bu... ta...! Ke... ja... ha... tan... mu... sa... ngat... ke... ji...! Kau... men... cu... lik... is... tri... ku... mem... per... ko... sa... nya...”
“Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu, menyuguhkannya padaku? Ha ha ha...! Aku tidak perlu lagi perempuan busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!”
“Ma... nu... sia... dur... ja... na... ber... da... rah... bi... na... tang... ber... ha... ti... ib... lis! A... jal... mu... su... dah... sam... pai...!”
Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran Matahari.
Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa panas yang luar biasa disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia lepaskan pukulan sakti bernama pukulan Gerhana Matahari!
TIGA BELAS
Sinar kuning, merah dan hitam berkiblat, menderu ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat. Bumi seperti dipanggang saking panasnya. Siapa saja yang kena tersambar angin pukulan sakti itu pastilah akan hangus tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka dia akan mati dengan tubuh gosong!
Namun Mayat Hidup Gunung Klabat tidak perdulikan serangan berbahaya yang bisa membawa maut itu. Udara panas yang keluar dari serangan lawan baginya suatu hal yang biasa. Malah ketika tiga sinar itu menyambar tubuhnya, dia jentikan lima jarinya ke udara. Lima sinar putih terang benderang menyambar ganas.
"Bummm! Bummm! Bummm...!"
Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut ketika tiga dari lima sinar terang yang keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup Gunung Klabat menghantam berantakan tiga sinar sakti pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar lagi terus menyambar mencari sasaran di tubuh sang Pangeran.
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. Dengan muka pucat dan berseru tegang dia jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua sambaran sinar serangan lawan lalu bergulingan di tanah. Waktu bergulingan dia sengaja membuat gerakan menyamping. Pertama agar dapat melihat gerakan lawan berikutnya, kedua karena dia ingin cepat-cepat membereskan lawan ganas itu dengan pukulan sakti berikutnya yakni pukulan Telapak Merapi.
Pangeran Matahari berguling sambil angkat kedua tangannya yang mengepal. Lalu mendorong dalam gerakan perlahan. Terdengar suara bersuit keras. Mayat Hidup Gunung Klabat tersentak ketika ada dua hawa sakti yang luar biasa panasnya tanpa kelihatan bayangan atau sinarnya menggebu menelikungnya. Yang pertama menerpa ke arahnya, yang kedua menyambar ke arah Minari yang ada di bahu kirinya.
Melihat orang hendak mencelakai istrinya, marahlah Mayat Hidup Gunung Klabat. Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya menekuk. Tubuhnya yang seperti membungkuk itu tiba-tiba berputar seperti titiran, bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam tiga kali,berturut-turut. Terdengar suara menggelegar susul menyusul. Di udara tampak tiga kilatan menyilaukan laksana petir menyambar.
Dua menghantam pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga melabrak ke arah sang Pangeran sendiri. Meskipun Pangeran Matahari masih sanggup menyelamatkan diri dari serangan maut itu, namun tubuhnya terbanting tunggang-langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuh terkapar di tanah dengan dada mendenyut sakit dan wajahnya yang angkuh kini tampak sepucat kertas.
Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas tubuh Pangeran Matahari, terus menghantam atap Keraton kecil dimana Pendekar 212 berada. Atap yang terbuat dari genting itu hancur berantakan dan Pendekar 212 sendiri tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam bangunan Keraton.
Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat di jurusan kamar Pangeran Matahari, tepat di atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih terbaring bugil sambil enak-enakan menyantap sebuah jeruk besar.
Karuan saja perempuan cantik ini terpekik kaget sementara Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah kejutnya. Tapi begitu melihat wajah cantik tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar. Perempuan ini pastilah salah satu perempuan penghibur Pangeran Matahari, pikir Wiro.
“Siapa kau...?” tanya Wiro.
“Kau yang siapa?!” balik bertanya Nyiruni dengan suara keras dan setengah ketakutan karena masih belum hilang kagetnya.
“Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat ini dia tengah berkelahi melawan musuh kelas berat. Dia minta aku menjagamu. Kau tak perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari Pangeran itu, bukan?”
“Memang kau... hem... Kau lebih ganteng dari Pangeran Matahari. Tapi bajumu kotor, robek-robek dan tubuhmu dekil...” jawab Nyiruni.
“Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada kamar mandi ditempat ini...?” tanya Wiro. Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.
Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu melihat tubuh sang pendekar yang kekar penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya, perempuan yang pada dasarnya memang bangsa jalang ini diam saja. Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna kuning muda dan berkata,
“Dibalik pintu itu ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan dirimu disana. Tapi awas. Sekali Pangeran mengetahui perbuatanmu ini, jantungmu akan dibetotnya!”
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia lari menuju pintu kuning dan membukanya. Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah kebun ada sebuah kolam dan di atas kolam ada sebuah pancuran yang selalu mengucurkan air jernih dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur masuk ke dalam kolam. Dia baru saja membasahi kepalanya ketika tiba-tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk. Pendekar 212 terbelalak.
“Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!” kata Wiro.
Lalu sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. “Edan diluar sana orang berkelahi mati-matian, kita disini...”
“Kita juga mati-matian...!” jawab Nyiruni lalu membenamkan tubuhnya ke dalam air.
********************
EMPAT BELAS
Ketika Pendekar 212 keluar dari dalam Keraton menuju ke halaman depan dilihatnya perkelahian antara Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat melawan Pangeran Matahari berkecamuk dengan hebat. Sang Pangeran telah menghujani lawannya dengan pukulan-pukulan sakti namun jangankan membuat lawan roboh, bahkan dirinya semakin lama semakin terdesak!
“Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang dimiliki si Mararanta ini?!” pertanyaan itu selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari.
Setelah belasan jurus menyerang dan menghantam satu hal yang tak pernah dilakukannya selama ini dalam menghadapi berbagai musuh maka akal licik mulai muncul di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja mendesak dengan serangan berantai, ketika Mayat Hidup membalas dengan ganas, Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya sambil menjerit keras lalu roboh berguling-guling di tanah.
Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian itu. “Ah... akhirnya sampai juga ajalnya desis Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak mendekati sosok tubuh Pangeran Matahari yang terkapar di tanah sambil masih terus mendukung tubuh Minari yang berada dalam keadaan pingsan. Namun ketika hanya tinggal satu langkah dari hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba tubuh itu bergerak. Sang Pangeran yang diam-diam telah menyiapkan diri dengan tenaga dalam penuh, hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Gerhana Matahari sedang tangan kanan lepaskan pukulan Merapi Meletus!
“Bang... sat... Ii... cik!” teriak Mayat Hidup Gunung Klabat. Mulutnya meniup dan tangan kanannya dihantamkan kebawah!
"Desss! Bukkk...! Bummm? Bummm...!
Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang besar lagi kelihatan di halaman Keraton itu. Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua tombak. Tapi hebatnya dia tidak cidera sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya tidak terlepas seolah-olah menempel ke bahunya.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak terkapar menelentang. Dadanya seperti ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau pukulan lawan, walaupun agak meleset telah mematahkan beberapa tulang iganya! Sekujur tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa panas. Dadanya mendenyut sakit. Dan saat itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat melangkah menghampirinya!
“Kalau dia menghantam, aku tak punya daya untuk menghindar. Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini memiliki kekuatan dan kesaktian luar biasa. Ah... tamatlah riwayatku hari ini...!”
Pangeran Matahari berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga Keraton sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dua telapak tangan dikembangkan lalu diputar.
“Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng itu. Aku sudah mau dibantai orang, dia masih saja berbuat yang bukan-bukan!” rutuk Pangeran Matahari.
Putaran kedua tangan Wiro mula-mula perlahan. Lalu makin lama makin kencang, makin kencang dan udara di tempat itu mendadak mengalami perobahan! Hawa dingin disertai tiupan angin yang seperti seruling menggantikan udara yang tadinya terasa panas.
Mayat Hidup Gunung Klabat yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas, kini merasakan tubuhnya jadi menggigil. Kedua kakinya menjadi berat untuk dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin beringas dan marah dia maka semakin keras hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur badannya basah kuyup oleh cairan sedingin es yang kemudian seperti membeku membuat dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya lagi. Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun ternyata sudah kaku!
Lain halnya dengan Pangeran Matahari. Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman maut Mayat Hidup Gunung Klabat, namun keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku dilapisi cairan dingin. Sebaliknya di sebelah dalam ada hawa panas menggarang akibat pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi. Setiap nafas yang ditariknya membuat dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya terdengar suara menggigil diseling oleh suara mengerang kesakitan.
Apakah sebenarnya yang terjadi. Dari mana datangnya hawa dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup dan Pangeran Matahari itu?
Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng mendapat warisan beberapa pukulan sakti. Salah satu diantaranya adalah pukulan aneh yang tidak langsung ditujukan pada lawan, tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara secara tiba-tiba menjadi sangat dingin dan lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup oleh lapisan air sedingin es...!
Ilmu pukulan itu yang bernama angin es itulah yang dikeluarkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena baik Mayat Hidup maupun Pangeran Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama yaitu bertumpu pada hawa panas, maka dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa dengan hawa dingin.
Akibatnya mereka akan lebih cepat dikuasai oleh pukulan angin es yang membuat Pangeran Matahari jatuh pingsan dalam keadaan kaku sementara Mayat Hidup berubah menjadi mayat kaku tak kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari, yang berada dalam keadaan pingsan dan tak tahu apa-apa itu terbungkus air es.
Pada saat keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok tubuh melayang laksana orang berjalan di atas awan atau di balik kabut. Orang ini kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan tiada. Dia mengenakan baju putih dengan panjang celana putih gombrong.
Rambutnya yang putih mehjela bahu melambai-lambai di tiup angin. “Pendekar muda, cukup sudah kau memberi pelajaran pada cucuku. Harap kau suka menghentikan serangan hawa sedingin salju ini!”
Yang bicara ternyata adalah orang tua yang kelihatan samar-samar. Suaranya seperti datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro memandang ke jurusan si orang tua.
“Manusia bayangan... Siapa kau adanya?!” Wiro bertanya. “Kau menyebut seseorang sebagai cucumu. Siapa...? Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat itu...?”
“Benar sekali pendekar muda...”
Wiro melangkah lebih dekat. “Astaga... Ke dua matamu buta, orang tua! Dan sosok tubuhmu bukanlah sosok tubuh sebenarnya... Apakah kau juga sebangsa mayat hidup?!”
“Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku ini. Aku hanya mengandalkan kekuasaan dari Tuhan untuk mengirimkan bayang-bayang tubuhku ke tempat ini...”
“Luar biasa!” ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala.
Orang tua itu tersenyum. “Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa, anak muda. Namaku Walalangi... Aku datang untuk membawa cucu dan sekaligus muridku ini kembali ke Minahasa...”
“Dan juga membawa perempuan di atas bahunya itu...?”
Si orang tua gelengkan kepala. “Justru disitulah letak kesalahan cucuku satu ini. Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa adalah untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat pada manusia bernama Pangeran Matahari itu. Namun dia membawa serta maksud lain yang menyalahi aturan...”
“Apakah itu...?” tanya Wiro.
“Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah memiliki kesaktian luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat keinginan untuk menguasai dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal... janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke bentuknya semula. Kembali ke alamnya semula, alam barzah... Karena telah melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan pembalasan terhadap Pangeran Matahari...”
Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Tuhan lebih tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita manusia jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa menyesal telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga permintaan istrinya yang di Minahasa. Yaitu agar rohnya bisa dibangkitkan lagi untuk melakukan pembalasan
“Orang tua, kalau kau ingin membawa cucumu itu kembali, lebih cepat akan lebih baik... Kasihan rohnya berada dalam keadaan seperti ini...” kata Wiro pula.
Walalangi mengangguk. Dia mengusap punggung Minari. Dari tubuh perempuan itu keluar kepulan asap tanda ada hawa panas yang dialirkan si orang tua ke tubuh Minari. Saat itu juga hawa dingin serta cairan es yang membungkus tubuh Minari menjadi pupus dan terdengar suara perempuan itu mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerahkannya pada Wiro seraya berkata,
“Bawalah dia pergi dari tempat ini. Penderitaannya sudah cukup banyak...”
Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang. bahunya dan berkata,
“Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak Klabat...”
Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi terkesiap ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh karena haru. Mayat saja masih punya perasaan, mengapa manusia tidak...? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.
“Cucuku... saatnya kau pergi...” terdengar suara orang tua bernama Walalangi.
Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya. Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap.
Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Giliranku minta diri...”
Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro membalas dengan menjura lebih dalam. Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak ada lagi disitu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua itu sungguh luar biasa...” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Banyak orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari tandingannya. Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih ada langit lagi!”
Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini tersenyum.
“Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar, antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang aku pun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi...”
Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.
T A M A T
Episode Selanjutnya : RAJA SESAT PENYEBAR RACUN