Gundul
gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Para
sahabat.. ketika kita mendengar frase atau lirik demi lirik pada lagu “Gundul Pacul”, mungkin akan terbayang di
benak kita lagu anak-anak dengan judul yang sama, gambar anak-anak berkepala
botak plontos sedang bermain dan
bercanda, orang yang berkepala gundul sedang menyangkul di sawah, salah satu host di sebuah acara bertema
petualangan di salah satu stasiun televisi atau mungkin Pak Ogah sedang berjalan sedangkan di atasnya kepalanya terdapat
bakul yang berisi nasi sesuai liriknya kemudian nasi itu tumpah ke tanah atau
mungkin gambaran-gambaran lain yang sesuai dengan tingkat pengalaman hidup kita
masing-masing. Tapi apakah demikian
maksud dari lagu itu? Apakah hanya sekedar lagu untuk anak-anak?
Lagu suluk dengan menggunakan Bahasa Jawa ini
adalah hasil buah fikir yang tercipta kurang-lebih tahun 1400-an oleh Raden Mas Said atau yang lebih kita kenal dengan Sunan Kalijaga dan sahabat-sahabatnya ketika
mereka menginjak masa remaja. Lagu tersebut sebagai ungkapan pendapat dan sudut
pandang mereka yang kritis terhadap para pemimpin di masa itu. Lagu ini sekilas terasa begitu sederhana,
polos dan terasa ringan untuk dinyanyikan. Namun demikian, ternyata tembang ini
bukan hanya sekedar lagu yang hanya menggelitik untuk menghibur hati, namun
juga sebagai media untuk menyampaikan anspirasi yang mempunyai makna filosofis sebagai pedoman
untuk para pemimpin saat itu yang pada kenyataannya stigma saat itu masih kita
rasakan kondisinya hingga masa sekarang
dan mungkin seterusnya. Bahkan menurut saya, lagu ini layak mendapatkan
predikat lagu yang luar biasa, timeless, never ending, ever lasting
atau predikat-predikat lain yang secara implisit terkandung di dalam
liriknya.
Secara
tersirat, lirik tembang ini mengandung makna:
1. Gundul
Adalah
kepala plontos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan dan
kemuliaan
seseorang.
Sedangkan rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya
kehormatan tanpa mahkota.
2. Pacul
Adalah
cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul
adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.
Jadi, Gundul pacul artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Jadi, Gundul pacul artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas).
Artinya bahwa kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal bagaimana
menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.
Mata
digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, Telinga digunakan untuk mendengar
nasehat, Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan, Mulut digunakan untuk
berkata-kata yang adil.
Jika empat
hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.
3. Gembelengan
3. Gembelengan
Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat.
Tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya. Menggunakan kedudukannya untuk
berbangga-bangga di antara manusia. Dia menganggap kekuasaan itu karena
kepandaiannya.
4. Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul
Adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa pada
hakekatnya dia adalah pengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya.
5. Wakul
Merupakan simbol
kesejahteraan rakyat. Kekayaan negara,
sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya
berada di bawah bakul milik rakyat. Kedudukannya di bawah bakul rakyat. Siapa
yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? tentu saja
pemilik bakul.
Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya. Dan banyak pemimpin yang masih
gembelengan, petantang-petenteng, bersombong ria dan tidak serius dalam
menjalankan amanat. Yang berakibat “wakul ngglimpang segane dadi sak latar”. Bakul terguling dan nasinya tumpah ke
mana-mana.
Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia
tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di
tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban
amanah rakyat.
Dengan merujuk pada lagu tersebut, mudah-mudahan para pemimpin kita akan
mendapat “sentilan” atau bahkan juga “tamparan” sekalipun sebagai pengingat
diri mereka. Namun sebagai rakyat, mari
kita juga mendoakan agar mereka senantiasa tergerak untuk menjalankan amanat
rakyat dengan sepenuh hati dan penuh rasa tanggung jawab, memiliki integritas
yang kuat menjalankan misi pemerintahan, tidak menjadikan kedudukanya sebagai
sarana untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka, berbaur mesra dan harmonis dengan
masyarakat yang notabene telah memilih mereka meskipun mungkin mereka tidak
kenal dengan siapa yang mereka pilih, guna tercipta masyarakat yang adil dan
sejahtara sebagaimana amanat undang-undang dan cita-cita kita yang hidup
berbangsa dan bernegara. Dan
mudah-mudahan mereka tidak menjadi pemimpin yang “Gundul Pacul” yang tidak menumpahkan bakul beserta isinya sehingga tidak menimbulkan kekecewaan bagi
sang pemilik bakul serta senantiasa
menggunakan paculnya semaksimal
mungkin dan sebaik-baiknya agar tercapai tujuan good governance menuju ke kesejahteraan sosial. (Mukhlis_Fadli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar