PEMBUBARAN
ORMAS ISLAM;
Benang Merah Al-Maidah 51 dan Pilkada
2019
Indonesia
pada hakekatnya adalah negara yang sangat toleran dengan agama manapun selama
masih dalam koridor keagamaan yang dianut oleh masing-masing
masyarakatnya. Negara menjamin kebebasan
rakyatnya untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya tidak
memandang golongan apapun. Hal ini
tercipta selama bertahu-tahun lamanya. Namun
pada waktu belakangan ini, kondisi tersebut terusik dengan beberapa kejadian
yang mencoreng citra baik negara kita ini dengan beberapa kejadian seperti
penistaan agama dari tokoh tertentu demi kepentingan politik sesaat, kriminalisasi ulama dan tuduhan-tuduhan
miring seputar kegiatan-kegiatan keagamaan yang dianggap radikal. Salah satunya adalah pembubaran sebuah ormas
yang bernuansa Islam yang mengambil bidang dakwah keagamaan.
Segelintir
orang mungkin akan berpendapat dan berkilah bahwa pembubaran ormas yang
bernuansa Islam ini karena ormas ini tidak memberikan sumbangsih untuk negara
Indonesia atau dihawatirkan akan mengancam kebhinekaan
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun hemat kami bahwa secara tidak langsung
pembubaran ormas ini akan memiliki tujuan implisit yaitu dampak pada pilkada
yang akan datang tahun 2019. Mengapa
demikian? Karena pada dasarnya, setiap ormas yang bernuansa Islam kemungkinan
besar memiliki aktifitas rutin yaitu pengajian
atau pembahasan seputar agama Islam secara internal yang dilaksanakan secara
berkala. Kegiatan rutin tentunya akan
membahas dalil-dalil dasar seputar
ibadah, sosial, ekonomi, kehidupan bernegara, hubungan dengan Sang Pencipta dan
amalan-amalan harian lainnya. Dan pada
umumnya, surat Al Maidah ayat 51
pasti akan menjadi menu pembicaraan hangat pada pengajian-pengajian dan halaqoh-halaqoh
di seputar pilkada.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa ayat ini mengandung ketegasan untuk tidak memilih
pemimpin yang non muslim. hukumnya tegas yaitu haram. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) selaku pemegang bendera fatwa keagamaan di Indonesia juga
menegaskan tentang penjelasan hukum pada ayat tersebut. Namun sebagian kecil berpendapat bahwa ayat
tersebut multi tafsir, tidak berlaku
dalam hal kepemimpinan politik atau dengan kata lain agama dan politik harus
dipisahkan. Bahkan mirisnya, ada yang
lebih parah lagi ada yang berpendapat dengan hawa nafsunya bahwa ayat tersebut
sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini atau dengan kata lain ayat tersebut
sudah kadaluwarsa, na’udzu billah.
Ayat
tersebut mereka anggap akan menjadi sandungan politis bagi calon-calon kepala
dan wakil kepala daerah atau kepala dan wakil kepala negara yang notabene Non Muslim. Dengan berbagai cara tentunya stigma negatif
akan terus disematkan pada ayat tersebut. Propaganda negatif baik secara
langsung atau tidak langsung akan selalu dihembuskan. Padahal sesungguhnya, ayat tersebut adalah
firman Alloh.SWT yang tidak ada keraguan di dalamnya yang selaku hamba-Nya kita
harus memegang teguh menjalan syariat
agama yang digariskan oleh-Nya. Anjuran
memilih pemimpin dari kalangan muslim adalah mutlak untuk wilayah yang
mayoritas beragama Islam. Hal ini tentu
berbeda jika kondisi umat Islam adalah minoritas pada negara tertentu atau
mungkin sudah memiliki pemimpin yang Non Muslim.
Akhirnya,
dengan berlindung dan menyerahkan segala urusan kepada Alloh.SWT, mudah-mudahan
kita dapat mengamalkan semua yang telah diwajibkan dan menjauhi apa yang
dilarang oleh Alloh. SWT demi kebahagiaan kita di dunia maupun di akhirat
sesuai dengan pedoman hidup kita yaitu Kitab Suci Al-Quran. Dan mudah-mudahan kesucian ayat Al-quran
senantiasa terjaga dan tertanam di dalam sanubari para pemimpin kita dan
segenap pemeluk agama Islam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia guna
tercipta negara yang baldatun thoyyibatun
wa Robbun Ghofur sesuai harapan kita semua. Wallohu a’lam. (Mukhlis_Fadli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar