..SELAMAT DATANG DI BLOG MUKHLIS FADLI..MARI KITA SHARE PENGALAMAN..

Rabu, 20 Februari 2019

038. Iblis Berjanggut Biru

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EPISODE : IBLIS BERJANGGUT BIRU


SATU

DUA pemuda berpakaian kelabu dan sama menunggang kuda hitam, memacu kuda masing-masing menuju ke timur. Di belakang, di arah punggung mereka sang surya yang hampir tenggelam membersitkan sinar kuning merah. Ratusan kelelawar terbang berputar-putar di arah selatan lalu lenyap di balik ketinggian pohon-pohon jati di puncak bukit kecil.

Pemuda yang menunggang kuda disamping kiri bertubuh ramping semampai, memiliki kehalusan kulit seperti peremptlan. Kepalanya dibungkus dengan sehelai kain berwarna merah. Kawannya seiring berbadan tegap. Dadanya yang berbulu tersembul di balik bajunya yang tidak berkancing.

Memasuki jalan yang agak mendaki di lereng bukit, kuda tunggangan pemuda berikat kepala merah tiba-tiba saja seperti ditarik oleh satu kekuatan dahsyat dari belakang hingga binatang ini berhenti berlari. Kalau saja penunggangnya tidak cekatan dan sigap merangkul leher kuda itu, niscaya dia akan terlempar.

"Hai...! Ada apa denganmu Wesi Ireng?!" Si pemuda menegur kuda tunggangannya lalu mengusap-usap leher binatang itu.

"Kudamu berlaku aneh!" berkata pemuda bertubuh tegap. Namun dia sendiri menjadi kaget ketika mendadak kuda tunggangannya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.

"Tenang! Tenang Panah Ireng!" Pemuda ini berusaha menenangkan kudanya yang bernama Panah Ireng. Dia memandang berkeliling. "Aneh, tak biasanya Panah Ireng berlaku seperti ini..."

"Wesi Ireng juga tak biasa-biasanya begini..." Baru saja pemuda itu berkata begitu, kudanya pun ikut-ikutan meringkik. Dia memandang berkeliling. "Aneh, tak ada binatang buas. Mengapa binatang-binatang ini seperti ketakutan?"

Setelah diam sejenak, pemuda bertubuh tegap berkata, "Sudahlah Ratih, tak perlu dirisaukan. Mari kita melanjutkan perjalanan. Tujuan masih jauh. Mungkin baru besok pagi kita sampai di Tegal Jenar..."

"Betul mas Danu. Mari kita lanjutkan perjalanan..." kata pemuda yang dipanggil dengan nama Ratih, yang ternyata adalah seorang perempuan berpakaian seperti lelaki.

Kedua orang itu menyentakkan tali kekang kuda masing-masing dan siap untuk meneruskan perjalanan. Tapi benar-benar aneh. Keempat kaki kuda itu seolah-olah seperti dipantek ke tanah. Lehernya mengulur-ulur ke depan seperti mengumpulkan tenaga berusaha untuk maju dan lari. Tapi tubuh dan kaki tak bisa digerakkan.

"Hatiku jadi tak enak mas. Jangan-jangan...?"

Baru saja, Ratih berkata begitu di depan mereka, dari arah atas terdengar suara orang mendehem dua kali berturut-turut. Ratih dan Danupaya mendongak mengangkat kepala. Memandang ke depan. Di atas sebuah cabang pohon besar di tepi jalan di depan mereka tampak duduk bersandar ke batang pohon seorang lelaki muda berpakaian biru. Meskipun muda tapi dia memiliki janggut lebat. Tidak seperti lazimnya janggut yang biasanya berwarna hitam atau memutih bila orangnya sudah tua, maka janggut pemuda ini berwarna biru!

Pemuda berkening tinggi dengan rahang menonjol berjanggut biru itu memiliki sepasang mata sangat tajam, seperti hendak menembus setiap benda yang dipandangnya, tanpa berkesip memperhatikan dua penunggang kuda di bawah pohon.

"Mas Danu..." bisik Ratih, "mungkin orang di atas pohon itu yang membuat kuda-kuda kita ketakutan dan tak berani bergerak maju...?"

"Mungkin," bisik Danupaya pula. "Tapi mungkin juga binatang ini bukannya ketakutan melainkan seperti ditenung hingga tidak bisa bergerak. Aku barusan meneliti. Binatang ini sama sekali tidak kena ditotok!"

"Kau kenal orang di atas pohon itu?" bertanya Ratih.

"Baru sekali ini aku melihatnya. Sikapnya dingin dan angkuh. Aku akan menegurnya..."

"Biar aku yang menegurnya!" ujar Ratih yang sejak tadi sudah merasa jengkel melihat sikap orang berjanggut biru di atas pohon. Caranya duduk dan sikapnya mendehem tadi jelas orang itu telah melakukan sesuatu hingga kudanya dan kuda Danupaya tidak mampu bergerak maju.

"Orang di atas pohon, apakan ada sesuatu yang membuatmu menghalangi perjalanan orang?!" Ratih berseru. Suaranya keras dan sama sekali terdengar tidak seperti suara perempuan. Jelas gadis ini menyusupkan tenaga dalam pada jalan suaranya.

Pemuda berjanggut biru di atas pohon masih tetap memandang tak berkesip. Bibirnya tampak bergerak. Tapi bukan untuk menjawab pertanyaan orang melainkan meludah ke tanah!

"Kurang ajar sekali dia. Ditanya malah meludah!" desis Danupaya. "Ki sanak, apakah kau tidak mendengar kawanku bertanya?! Atau kau memang tak mau menjawab?!"

"Tuduhan busuk! Apakah kawanmu itu ada bukti bahwa aku menghalangi perjalanan kalian?!"

Pemuda berjanggut biru di atas pohon keluarkan jawaban. Suaranya tandas tapi bernada tinggi menandakan satu kecongkakan.

"Memang kami tidak punya bukti! Tapi mengapa binatang-binatang ini berlaku aneh dan tak mampu berjalan pada saat kau berada di atas pohon sana?!"

Si pemuda berpakaian dan berjanggut biru tertawa bergelak. "Kalian bodoh! Tapi cukup cerdik..."

"Jadi betul kau yang melakukan sesuatu terhadap kuda-kuda kami?!" tanya Ratih.

"Perempuan memang paling bawel di dunia ini!" Pemuda di atas pohon berkata.

Paras Ratih menjadi berubah. "Astaga... dia mengenali diriku!" membatin sang dara.

"Siapa kau sebenarnya?!" Ratih bertanya dengan membentak dan galak.

"Kau tak layak bertanya!" balas menghardik orang yang dibentak.

"Kalau begitu biarkan kami meneruskan perjalanan!" berkata Danupaya.

"Silahkan kalau bisa..." jawab si janggut biru.

Danupaya menyentakkan tali kekang kudanya sementara Ratih menggebrak pinggul kudanya. Tapi kedua binatang itu tetap saja tidak dapat bergerak maju apalagi berlari! Dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak kembali.

"Kau berani mempermainkan kami! Apakah hendak pamer ilmu atau hendak mencari silang sengketa?!" Ratih berteriak.

"Maumu apa...?!"

"Kurang ajar! Kau akan menyesal berani mempermainkanku. Turunlah biar kita bicara lebih blak-blakan!"

Si janggut biru kembali tertawa. "Orang seperti kalian tidak layak duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi denganku! Lagi pula aku lebih enak duduk di cabang pohon ini!"

"Apa yang harus kita lakukan mas Danu?" berbisik Ratih. "Bagaimana kalau kulepaskan pukulan tangan kosong. Biar kuhancurkan cabang pohon yang didudukinya itu..."

"Sebaiknya jangan Ratih. Kita tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa. Tapi jelas orang itu memiliki kepandaian tinggi. Apa kau tidak menyadari, cabang pohon di mana dia duduk begitu kecil. Sebenarnya tidak mungkin dapat menahan berat tubuhnya. Biar aku yang bicara..." Lalu Danupaya mendongak.

"Ki sanak, kami adalah orang-orang yang mencari dan mengutamakan persahabatan. Kami yakin, kaupun demikian. Perjalanan kami masih jauh. Sebentar lagi malam akan tiba. Jika ada ucapan kami yang tidak enak di telingamu mohon dimaafkan. Kami hendak meneruskan perjalanan! Kami harap orang gagah di atas pohon memberi izin!"

"Hem.... Begitu?" Si janggut biru menyeringai. Mungkin sekali ucapan orang gagah tadi yang membuatnya senang. "Aku tidak menghalangi apalagi melarang kalian meneruskan perjalanan. Tapi sebelum pergi aku perlu menitipkan pesan pada kalian!"

"Dengan senang hati. Kalau kami boleh bertanya, pesan untuk siapa?"

"Bukankan kalian murid-murid Ki Rana Wulung dari Bukit Sawojajar?"

Ratih dan Danupaya tersentak kaget dan saling pandang. Hanya sedikit sekali orang-orang yang tahu bahwa mereka adalah murid-murid seorang kakek sakti dari Bukit Sawojajar, kakek bernama Ki Rana Wulung itu! Siapa sebenarnya si janggut biru ini?

"Dan bukankah kalian keponakan-keponakan Tumenggung Puro Bekasan dari Keraton Surakarta? Bukankah pula kalian berdua saudara sepupu yang saling dijodohkan oleh orang tua kalian masing-masing...?"

Bertambah kaget dan heran kedua pemuda itu mendengar ucapan pemuda berjanggut biru di atas pohon yang semuanya ternyata betul.

"Siapakah Ki Sanak ini sebenarnya? Ki sanak banyak tahu tentang kami. Apakah orang dalam Keraton juga? Harap maaf kalau kami belum tahu siapa sebenarnya ki sanak."

Si janggut biru menyeringai lagi. "Jangan tanyakan siapa diriku. Kalian tak layak bertanya. Sekarang dengar baik-baik. Aku berpesan untuk gurumu Ki Rana Wulung. Katakan padanya, pada malam bulan purnama besok dia harus menyiapkan peta rahasia telaga emas yang selama ini dipegangnya sejak tiga puluh tahun lalu. Aku akan datang mengambilnya. Atau mungkin juga aku akan mengirimkan seorang utusan untuk mengambil peta itu. Pesankan benar-benar padanya agar menyerahkan peta itu dengan sukarela dan ikhlas. Kalau dia menolak dan tak mau memberikan, mungkin aku akan mengambilnya sekaligus berikut nyawanya!"

"Jika kau berani membunuh guru, nyawamu tak akan bebas dari tanganku!" berteriak Ratih.

Si janggut biru tertawa pendek. "Kau murid yang baik! Aku hanya memintamu menyampaikan pesan. Bukan untuk mencampuri urusan orang! Salah-salah nyawamu pun tidak ada harganya nanti. Sayang kalau kau mati masih perawan. ha ha ha...!"

"Manusia kurang ajar! Rasakan...!" Ratih mengangkat tangan kanan siap melepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Tapi Danupaya cepat memegang tangannya menghalangi.

"Mengapa kau halangi dia hendak memukul? Aku kepingin tahu kehebatan murid-murid Ki Rana Wulung..."

"Maafkan dia ki sanak. Kami tidak hendak mencari silang sengketa. Pesanmu akan kami sampaikan pada guru. Tapi kalau niatmu kau teruskan, mungkin di Bukit Sawojajar kita akan bertemu lagi dalam suasana tidak seakrab seperti saat ini!"

"Keakraban adalah basa-basi palsu. Di dunia ini yang berlaku adalah segala cerdik, segala akal, segala ilmu! Kalian boleh pergi sekarang!"

Selesai berkata begitu si janggut biru lampaikan tangan kirinya ke bawah. Dua ekor kuda hitam yang masing-masing ditunggangi Rati dan Danupaya meringkik keras. Ketika disentak tali kekang mereka, keduanya segera melompat dan berlan meninggalkan tempat itu.

DUA

"Bagaimana kalau kita ikuti orang itu?!" berkata Ratih ketika dilihatnya orang di atas pohon melompat turun dan melesat ke arah pepohonan di lereng bukit.

"Jangan! Jangan membuat urusan selagi kita dalam perjalanan penting..." Danupaya cepat menghalangi.

"Sikapnya kurang ajar sekali. Congkak dan menganggap enteng kita. Dan yang paling membuatku marah, dia membawa-bawa nama guru, bahkan mengancam akan membunuh beliau!"

"Yang harus kita lakukan saat ini ialah cepat-cepat menuju Sawojajar. Jangan sampai keduluan orang itu. Kita harus memberitahu guru apa yang terjadi!"

"Orang itu menyebut peta telaga emas. Apakah mas Danu pernah mendengar peta itu sebelumnya?" bertanya Ratih.

Danupaya menggeleng. "Guru juga tak pernah menceritakannya. Malam ini kita tak usah berkemah atau beristirahat lama. Cukup untuk sekedar memberi istirahat pada kuda-kuda kita saja. Kita harus lebih cepat sampai di tempat guru..."

"Aku setuju," sahut Ratih.

Tetapi malangnya, malam itu mendadak udara berubah buruk. Angin bertiup kencang dan dingin. Hujan turun dengan lebatnya. Sungai yang harus mereka seberangi banjir besar. Jembatan bambu, satu-satunya tempat penyeberangan terdekat, roboh dilanda air. Kedua orang ini, di bawah hujan lebat, terpaksa bergerak ke arah hilir untuk menemukan jembatan yang lain. Tapi jembatan kedua itu pun ternyata sudah lenyap dihanyutkan banjir.

"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai banjir reda. Lalu mencari sesuatu untuk dapat menyerang. Kalau tidak terpaksa membuat rakit besok pagi..."

"Hujan celaka..." gerutu Ratih dengan suara bergetar karena tubuhnya yang basah kuyup sudah diselimuti rasa dingin. "Sedang ada urusan penting, ada saja halangannya!"

Danupaya hanya bisa menarik napas mendengar ucapan adik seperguruannya itu, yang sekaligus adalah kekasih dan calon istrinya. Selesai bulan Syawal tahun depan mereka akan melangsungkan perkawinan. Ketika pagi datang, hujan sudah lama berhenti. Air sungai tidak sederas dan seganas malam tadi. Namun banjir belum surut.

"Agaknya kita memang harus membuat rakit untuk menyeberang..." kata Danupaya.

Saat itu mereka berada di tepi sungai yang agak landai. Pemuda ini keluarkan sebilah golok pendek dari buntalan perbekalannya. Memandang berkeliling Ratih tidak melihat pohon hambu di sekitar situ. Berarti harus memotong pepohonan lain yang lebih besar dan keras. Berarti memerlukan waktu lebih lama.

"Setahuku sungai ini tidak terlalu dalam. Jika kita bisa menemukan bagian yang paling dangkal, kita tak perlu membuat rakit penyeberang. Cukup menyeberang dengan menunggang kuda..."

"Kurasa lebih bagus begitu. Kalau saja kita bisa menemukan bagian yang dangkal."

Danupaya menyetujui. Keduanya lalu bergerak ke hulu. Di satu tempat mereka berhenti. Danu menunjuk ke tengah sungai. Di situ tampak ujung sepucuk ranting, bergoyang-goyang dipermainkan arus air.

"Kita bisa menyeberang di sini. Pohon yang tidak diterjang banjir itu cukup memberi tanda bagian ini dangkal."

Lalu Danu naik ke atas punggung Panah Ireng. Ratih mengikuti jejak si pemuda, naik pula ke atas Wesi Ireng dan bergerak ai belakang kekasihnya. Keduanya menuruni tepian sungai beriringan. Ternyata sungai di bagian situ memang tidak dalam. Air hanya mencapai bagian perut Wesi Ireng dan Panah Ireng.

"Syukur kita menemukan tempat ini Danu. Lihat kudaku senang sekali berada dalam air. Dia bergerak cepat dan pasti menyusul kudamu!" berkata Ratih.

Memang Wesi Ireng kelihatannya gembira berjalan dalam air seperti itu. Mungkin ini pengalamannya yang pertama kali. Binatang ini bergerak lebih cepat dari kawannya di sebelah depan hingga sebentar kemudian Panah Ireng dapat disusulnya. Danupaya merasa penasaran melihat kudanya yang bergerak lambat seperti terseok-seok. Dia menggebrak pinggul Panah Ireng. Tapi binatang ini tetap saja tak dapat bergerak lebih cepat.

"Kau kalah mas Danu! Kau kalah..." seru Ratih.

Justru di saat itulah mendadak tubuh kudanya amblas ke bawah seperti terperosok ke dalam lubang yang dalam. Ternyata bagian sungai yang dilalui Wesi Ireng dasarnya tidak rata tapi mendadak menurun tajam seperti bibir sebuah jurang. Tak ampun lagi binatang itu terperosok jatuh, meringkik keras lalu tenggelam ke dalam air. Ratih sendiri ikut terjerumus. Di saat yang sama dari arah hulu satu gelombang air menderu keras secara tak terduga.

Danupaya masih sempat mendengar suara jeritan kekasihnya berteriak minta tolong sebelum disapu air. Dia sendiri bersama Panah Ireng seperti dibanting ke kiri ketika kena terjangan air. Sebelum jatuh ke dalam air, Danupaya masih sempat melompat dan pergunakan punggung kudanya sebagai penjejak untuk kemudian melompat ke pinggir sungai.

"Ratih...!" teriak pemuda itu ketika gadis itu tak tampak lagi di permukaan air. Ratih memang tidak bisa berenang. Danupaya sendiri yang juga tidak bisa berenang lari menyusuri tepi sungai penuh kebingungan. Saat itu arus air semakin deras. Sesaat dia sempat melihat pakaian Ratih menyembul di permukaan air. Sadar kalau dirinya tidak bisa berenang, tapi didorong oleh rasa ingin menyelamatkan Ratih maka tanpa pikir panjang lagi pemuda itu melompat ke dalam air.

Ternyata Danu hanya mampu mengapung beberapa saat saja. Di lain kejap tubuhnya terbenam ke dalam air. Kedua tangannya menggapai-gapai di udara. Dia coba memunculkan tubuh, tapi justru semakin tertarik ke bawah. Pemuda ini mengumpulkan seluruh tenaganya. Namun tenaga itu seperti tersedot. Dia sama sekali tiada daya ketika arus air yang mendadak deras itu menyeretnya ke hilir sekaligus menggulungnya.

Di saat yang sangat kritis itu di mana Ratih sudah terbenam lebih dahulu dan Danu menyusul tenggelam, sedang kedua kuda mereka yang juga ikut terjerumus di dalam dasar sungai yang terjal, hanyut ke hilir sambil meringkik-ringkik, dari seberang sungai tampak sesosok bayangan putih berkelebat langsung melompat ke dalam air, memapasi arah hanyutnya Ratih dan Danupaya.

Gerakan orang ini sebat sekali dan tampaknya dia juga sangat mahir berenang. Tidak mudah menolong orang tenggelam di air, apalagi arus sungai yang datang dari hulu menggila seperti itu. Namun dengan cepat si penolong dapat mencekal lengan Ratih, menarik tubuh gadis itu ke atas lalu dengan gerakan cepat membetotnya ke samping. Tubuh Ratih mencelat ke udara, melayang ke arah tepi sungai. Saat itu kain merah penutup kepalanya telah tanggal hingga rambutnya yang panjang tergerai lepas.

"Astaga! Perempuan rupanya!" seru si penolong, namun suaranya tercekik ketika air sungai memasuki mulutnya. Dia menyembur dengan cepat. Tiba-tiba tubuhnya terpelanting dihantam sebuah benda. Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah sosok tubuh pemuda berpakaian kelabu.

"Untung! Aku tidak perlu susah payah mencarinya!" Si penolong cepat menjambak pinggang celana Danupaya dan membawanya berenang ke tepi sungai dengan susah payah karena arus air menyeretnya ke hilir.

Dua sosok tubuh itu dibaringkan di tepi sungai. Danupaya pingsan tak berkutik sementara Ratih setengah siuman. Si penolong menggoyang-goyangkan kepalanya untuk membuang air yang membasahi rambut. Sambil mengusap mukanya beberapa kali dia memperhatikan sosok tubuh si gadis.

"Hemm... cantik juga," katanya dalam hati. Lalu orang ini menolong Danupaya. Sesaat ketika pemuda ini mulai siuman, si penolong berdiri. "Sayang ada urusan yang lebih penting. Menyesal tak dapat berkenalan dengan sepasang muda-mudi ini!" lalu tidak menunggu lebih lama si penolong tinggalkan tempat itu menuju ke selatan.

********************

TIGA

Bukit Sawojajar terletak setengah hari perjalanan kaki dari Tegal Jenar. Di puncak bukit yang berada di antara kaki-kaki pegunungan itu udara terasa sangat sejuk dan segar sepanjang siang. Bila malam tiba dinginnya udara bukan alang kepalang.

Sebuah bangunan kayu terletak di antara kerapatan pepohonan. Bangunan ini hanya mempunyai sebuah kamar, selebihnya merupakan serambi terbuka di sebelah depannya. Seorang lelaki tua berpakaian dan berikat kepala putih tampak duduk di atas sehelai tikar yang terbentang di serambi bangunan. Di atas pangkuannya terkembang kitab suci Al Qur'an. Nyatalah orang tua ini tengah mengaji meskipun suaranya tiada terdengar saking halus dan perlahannya dia membaca ayat-ayat suci itu.

Menjelang tengah hari, ketika seorang pemuda yang berlari kencang dari arah timur bukit sampai di hadapan bangunan, kakek ini masih saja asyik mengaji. Melihat orang yang hendak ditemuinya dalam keadaan seperti itu, orang yang datang jadi serba salah. Dia merasa tidak enak kalau harus menegur hingga si kakek berhenti dari mengajinya.

Tetapi kalau tidak segera menegur dan menyampaikan maksud kedatangannya, dia kawatir keterlambatan itu akan mendatangkan bencana. Sesaat orang yang datang ini hanya tertegak bingung sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. Baik rambut maupun pakaiannya tampak basah dan kotor.

Setelah menunggu beberapa lama si kakek masih saja terus asyik membaca Qur'an, tamu muda ini jadi tak sabaran. Dia sengaja berdehem beberapa kali. Dia merasa mustahil kalau orang tua itu tidak melihat kedatangannya sekalipun dengan sudut mata. Kini setelah berdehem, masakan dia masih tidak mengetahui kedatangannya, begitu si pemuda membatin. Tapi nyatanya kakek itu masih saja terus melanjutkan mengaji. Tidak mempan dengan deheman, pemuda yang datang duduk di ujung kanan serambi dan mulai batuk-batuk dengan suara keras.

Suara yang mengaji berhenti sirap. Orang tua itu menutup kitab suci di pangkuannya lalu meletakkannya di atas sebuah bantal di samping kirinya. Perlahan-lahan dia mengangkat kepala, memandang ke ujung serambi.

"Banyak cara untuk bertemu. Mengganggu orang yang sedang membaca Kitab Tuhan adalah suatu dosa besar..." Terdengar orang tua itu berkata.

Pemuda berambut gondrong melengak kaget. Sesaat dia tak bisa berkata atau berbuat apa-apa selain menggaruk-garuk kepalanya.

"Anak muda kurang ajar, siapa kau yang berani mengganggu orang sedang mengaji?" "Ah...Aku... Apakah aku berhadapan dengan orang pandai bernama Ki Rana Wulung?"

pemuda dengan pakaian basah kuyup, itu bertanya sambir menjura tanda menghormat.

"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau menjawab pertanyaanku tadi!" Si orang tua bicara tegas dan tandas.

"Aku Wiro Sableng. Aku datang membawa sepucuk surat penting dari guruku... Hanya saja suratnya saat ini berada dalam keadaan basah. Aku kehujanan di tengah jalan..."

"Siapa dirimu tidak penting bagiku. Soal surat yang basah itu juga perduli amat..."

"Heh!" si rambut gondrong Wiro Sableng leletkan lidah. Selama tahunan malang melintang dalam dunia persilatan dan menyandang nama besar, kata-kata si kakek tadi dirasakannya seperti sangat meremehkannya. Dia telah datang jauh-jauh dari puncak Gunung Gede, menempuh perjalanan yang lama dan sulit. Kini begitu sampaih di tujuan, orang yang hendak ditemuinya justru tidak memandang sebelah mata! Maka dia pun membuka mulut bertanya.

"Lalu apa yang penting bagimu, apa yang membuatmu jadi perduli?!"

"Siapa gurumu...?"

"Hemmm..." Wiro Sableng bergumam dalam hati. "Kini giliranku membalas!" maka dia pun menjawab. "Jika itu yang penting bagimu, maka aku pun berkepentingan untuk mengetahui siapa dirimu lebih dulu. Nama guruku satu nama yang keramat bagiku. Tidak akan kuobral begitu saja. Jika kau tidak mau mengatakan apakah kau Ki Rana Wulung atau bukan, jangan harap aku akan menyerahkan surat yang kubawa! Biar orang lain saja nanti yang ganti datang menemuimu!"

Selesai dengari ucapannya itu Wiro Sableng turun dari serambi bangunan dan melangkahkan kaki untuk pergi. Diam-diam dia melirik untuk melihat bagaimana reaksi orang tua itu. Sebaliknya, diperlakukan seperti itu si kakek keluarkan suara tertawa mengekeh.

"Contoh jeleknya adat pemuda zaman sekarang!" berkata si kakek. "Sudah datang tidak memberi salam, kini malah meradang menunjukkan sikap congkak. Silahkan pergi. Aku merasa senang jika tidak menerima kiriman surat apa-apa. Malah kau nanti yang pasti akan dilabrak gurumu karena tidak menyerahkan surat titipannya!"

"Heh?!" untuk kedua kalinya Wiro Sableng jadi melengak. "Orang tua ini ternyata pandai bicara dan pandai membaca situasi! Akan kucoba lagi dia biar tahu rasa!"

"Guruku bukan manusia yang tidak tahu akal budi dan perasaan. Jika kukatakan padanya orang yang hendak kutemui bersikap masa bodoh, bukan aku yang akan dilabrak tapi mungkin kau sendiri yang bakal diguyur dengan caci maki! Nah, aku pergi sekarang!"

Kalau tadi dia cuma melangkah maka kini Wiro Sableng melompat. Hampir saja dia lenyap di balik kerapatan pepohonan di puncak bukit itu, tiba-tiba didengarnya suara orang tua itu memanggil.

"Anak muda! Kembalilah! Gurumu tentu mengajarkan bagaimana bersilat lidah! Tapi jangan mengira aku mau mengalah lebih dulu! Kalau namamu adalah Wiro Sableng, kau pasti muridnya nenek bawel bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!"

"Dan kau pastilah Ki Rana Wulung!" ujar Wiro seraya berbalik.

Orang tua itu hanya menjawab dengan tertawa lebar. "Gurumu tentu banyak memberikan berbagai ilmu kepandaian padamu. Tapi agaknya dia lupa bagaimana memberi salam jika menemui seseorang, apalagi seorang tua berusia hampir empat kali usiamu!"

"Kau betul kek, guruku memang mengajarkan seribu satu ilmu kepandaian. Soal mengucapkan salam atau tidak itu adalah kesalahanku. Harap jangan membawa-bawa nama guru!"

"Ho ho ho...! Anak Sableng! Aku mengaku kalah berdebat denganmu! Sekarang lekas kau serahkan surat yang dititipkan gurumu! Kau tak usah ragu-ragu. Aku memang adalah Ki Rana Wulung, sahabat gurumu sejak empat puluh tahun yang lalu!"

Wiro Sableng menatap wajah orang tua itu beberapa ketika. Dia percaya si kakek tidak berdusta dan bahwa dia memang adalah Ki Rana Wulung orang yang dicarinya. Maka Wiro selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian. Sepucuk surat yang berada dalam keadaan basah dikeluarkannya lalu diletakkannya di atas tikar di hadapan si kakek.

"Kertasnya basah tapi tulisannya tidak luntur karena ditulis dengan cairan khusus..." menjelaskan Wiro.

"Kau sudah menyerahkan suratnya. Kau sudah bertemu denganku. Sekarang kau boleh pergi..."

Wiro menjadi penasaran mendengar kata-kata orang tua itu. Maka cepat-cepat dia menjawab, "Aku memang tidak suka berada lama-lama di tempat ini. Napasku terasa pengap. Tapi aku harus menunggu sampai kau membaca surat itu lalu menyerahkan apa yang diminta guruku. Harap kau suka membaca surat itu. Lebih cepat kau baca, lebih cepat aku meninggalkan tempat ini..."

Paras Ki Rana Wulung tampak merah mendengar kata-kata Wiro Sableng itu. Dalam hatinya orang tua ini merutuk panjang pendek. Seorang pendekar yang menyandang nama besar seperti murid Sinto Gendeng ini ternyata memiliki sifat pongah dan kurang ajar. Kalau saja Ki Rana Wulung mau menyadari, sikap yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 adalah akibat sikapnya sendiri yang tidak ramah dalam menyambut kedatangan sang pendekar.

Dengan menekan rasa jengkelnya Ki Rana Wulung mengambil surat yang diletakkan di atas tikar. Membukanya dengan hati-hati karena kawatir surat yang basah itu akan robek. Lalu membaca isinya.

Sahabatku Ki Rana Wulung, 
Dua kali aku bermimpi badai ganas melanda negeri. Kulihat kau mengayuh perahu seorang diri. Perahu oleng tenggelam sudahlah pasti tak ada jalan menyelamatkan diri kecuali muatan yang ada dikeluarkan dan kau serahkan pada muridku yang membawa surat ini. Jangan bersikap, ragu atau khawatir. Muatan berusia lebih dari 30 tahun itu tidak akan kuambil walau kita pernah berjanji. Jika badai sudah berhenti Muatan akan kukembalikan adalah pasti.

Sinto Weni (Sinto Gendeng)


Selesai membaca surat Ki Rana Wulung sesaat duduk merenung. Surat dilipatnya kembali dan diletakkan, di atas pangkuan.

"Orang tua, kulihat kau sudah membaca surat dari guruku. Sesuai pesan beliau kau akan menitipkan sesuatu padaku. Bisakah aku segera menerima sesuatu itu darimu sekarang agar aku lekas pergi."

Kata-kata Wiro itu membuat Ki Rana Wulung angkat kepalanya, sesaat dia menatap paras Wiro lekat-lekat lalu membuka mulut. "Ada beberapa hal yang perlu kukatakan padamu, anak muda. Pertama apa yang dipesankan gurumu tidak akan kuberikan padamu. Aku merasa cukup sanggup menjaga barang itu. Kedua aku merasa ragu apakah kau benar-benar murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Masa sekarang ini segala macam tipu daya dapat terjadi..."

"Orang tua, kau membaca surat itu. Kau pasti tahu itu guruku yang menulis..." menyergah Wiro.

Ki Rana Wulung mengangguk. "Surat ini mungkin tidak palsu. Memang benar sahabatku Sinto Gendeng yang menulisnya. Tapi bagaimana surat ini bisa sampai ke tanganmu dan siapa engkau sebenarnya itu adalah cerita lain!"

"Kau mencurigaiku?!"

"Untuk selamat, curiga itu perlu. Karena itu aku akan mengujimu. Untuk membuktikan bahwa kau benar-benar murid Sinto Gendeng."

Saking kesalnya, sebenarnya saat itu Wiro bermaksud mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk membuktikan diri sebagai murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Tapi sebelum hal itu sempat dilakukannya, Ki Rana Wulung tiba-tiba keluarkan membentak keras. Tubuhnya yang duduk melesat dan tangan kanannya memukul.

"Bukkk...!"

Pendekar 212 Wiro Sableng terpental hampir dua tombak. Dada kanannya yang dihantam jotosan tak terduga-duga dari Ki Rana Wulung mendenyut sakit. Sesaat kepalanya mendenyut dan pemandangannya berbinar-binar. Paling tidak si kakek telah mempergunakan hampir sepertiga dari tenaga dalamnya ketika melancarkan pukulan tadi.

EMPAT

Wiro merasakan mulutnya asin dan panas. Ketika dia meludah ternyata ludahnya bercampur darah. Pemuda ini terluka di dalam!

Ki Rana Wulung memandang tak berkesip. Kini dia yakin kalau pemuda berambut gondrong, bicara dan bersikap seenaknya itu adalah benar-benar murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Orang lain pasti sudah meregang nyawa, paling tidak pingsan dan luka parah dihantam tinjunya tadi!

Sambil menahan sakit dan mengerahkan tenaga dalam ke bagian yang kena dipukul, Pendekar 212 perlahan-lahan berdiri. Karena pakaiannya basah, ketika jatuh tadi pakaian itu jadi bertambah kotor oleh bercakan tanah liat.

"Terima kasih atas jotosanmu tadi!" Wiro buka mulut. "Banyak cara untuk mencari tahu siapa sebenarnya seseorang. Bukan dengan menunjukkan kehebatan dan mencelakakan orang seperti yang kau lakukan. Sifatmu bukan saja buruk, ternyata tanganmu pun ringan amat!"

Ki Rana Wulung tersenyum. "Sekarang hal ketiga yang hendak kutanyakan padamu..."

"Persetan dengan hal ketiga atau ke empat!" membentak Wiro Sableng. "Sebelum aku angkat kaki dari sini..."

"Hai, apakah kau tidak ingin kembali ke Gunung Gede membawa kabar bagi gurumu? Mendengar jawaban dari surat Sinto Gendeng...?"

"Persetan dengan segala macam surat. Aku telah datang menyerahkan surat itu secara baik-baik! Terlalu baik sehingga aku kau anggap sebagai anjing kotor untuk digebuk seenaknya! Sebelum aku angkat kaki dari sini, budi baikmu memukulku perlu kubalas dengan sebaik-baiknya!"

Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, lalu memukul ke arah enam buah kayu besar yang menjadi tiang bangunan kayu kediaman Ki Rana Wulung.

"Hai! Apa yang hendak kau lakukan?!" seru si kakek. Baru saja seruannya itu lenyap gumpalan angin laksana batu besar bergulung-gulung melabrak enam tiang kayu itu.

"Pukulan kunyuk melempar buah!" seru Ki Rana Wulung ketika dia melihat pukulan yang dilepaskan si pemuda. Cepat kakek ini melompat ke luar bangunan. Ketika kakinya baru sempat menginjak tanah, di depannya, disaksikannya enam tiang kayu penyangga rumahnya bukan saja patah tapi hancur berantakan! Bangunan kayu itu sendiri kini jatuh ke tanah, terperosok sedalam setengah jengkal dan miring di depan sebelah kiri!

"Manusia kurang ajar!" Ki Rana Wulung. "Kau rusakkan rumahku!" Di saat itulah dua sosok bayangan berkelebat. Disertai seruan. "Guru! Siapa yang berani kurang ajar padamu?!" Disusul oleh bentakan kedua.

"Guru! Siapa yang telah merusakkan rumahmu! Akan kuhancurkan seluruh tubuhnya!"

Ketika Wiro dan Ki Rana Wulung berpaling ke samping, mereka dapati yang barusan datang adalah sepasang muda mudi berpakaian kelabu dalam keadaan basah kuyup.

"Muridku! Kalian datang di waktu yang tepat!'" seru Ki Rana Wulung. "Beristirahatlah sebentar. Biar aku yang memberi pelajaran pada budak kurang ajar ini!"

"Tidak guru! Biar aku yang memberinya pelajaran!" menyahut pemuda yang baru datang dan bukan lain adalah Danupaya.

Sementara itu Ratih setelah tadi membentak kini agak tertegun. Dia coba mengingat-ingat. Sepertinya dia pernah melihat wajah pemuda berambut gondrong itu. Sebaliknya Wiro sendiri juga menatap polos pada sang dara. Melihat kekasihnya saling pandang dengan pemuda yang telah berlaku kurang ajar terhadap gurunya bahkan telah merusak bangunan kayu kediaman sang guru, panaslah darah Danupaya oleh rasa amarah bercampur cemburu. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Wiro dan langsung hantamkan tinju kanannya. Pendekar kita menangkis dengan menyilangkan lengan kiri.

"Bukkk...!"

Dua tangan saling beradu. Wiro terjajar satu langkah. Danupaya jatuh duduk sambil pegangi lengan dan meringis kesakitan. Kalau Ki Rana Wulung segera menyadari bahwa pemuda anak murid Sinto Gendeng itu bukan lawan muridnya yang bernama Danupaya, maka sebaliknya Danupaya sendiri jadi semakin berkobar amarahnya.

Dia merasa dipermalukan karena dibuat jatuh duduk begitu rupa dalam satu gebrakan saja. Kalau tadi dia hanya mempergunakan ta-ngan kosong untuk menyerang Wiro maka kini di dalam hatinya berkobar niat untuk membunuh. Dengan cepat pemuda ini keluarkan golok pendek dari balik pakaiannya

Selain mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong dan berbagai pukulan sakti dari gurunya, Danupaya juga diberi pelajaran ilmu golok tingkat tinggi yang dianggap langka pada masa itu. Tidak mengherankan kalau keponakan Tumenggung Puro Bekasan ini sudah diincar Baginda di Kotaraja untuk memegang sebuah jabatan penting dalam jajaran pasukan istana.

"Saudara! Kau bermaksud membunuhku atau hanya sekedar main-main...?" Wiro menegur dan tetap berdiri tenang tapi penuh waspada. Sinar yang memancar dari kedua mata Danupaya sebenarnya sudah cukup menjadi jawaban bagi Pendekar 212 Wiro Sableng bahwa pemuda dihadapannya itu memang hendak mencincangnya!

"Apakah manusia yang berani menghina dan merusak rumah guruku layak dibiarkan hidup...?!" menghardik Danupaya.

Wiro menyeringai lalu keluarkan suara siulan. "Guru dan murid sama saja tingkahnya! Sombong congkak, tak punya pikiran jernih, singkat akal!"

"Keluarkan semua kata-katamu sebelum kukeluarkan isi perutmu!" tukas Danupaya.

Melihat muridnya sungguhan begitu rupa, Ki Rana Wulung cepat berteriak. "Danu! Simpan senjatamu! Biarkan dia meninggalkan tempat ini!"

Namun saat itu Danupaya sudah menyergap ke depan. Sekali tangannya bergerak goloknya berkiblat membuat tiga serangan kilat. Pertama menusuk ke arah dada. lalu membabat ke perut dan ke tiga memapas ke arah leher. Ratih tahu betul. Paling tidak salah satu dari serangan ganas itu pasti akan mengenai sasarannya.

Di saat yang sama, setelah berpikir-pikir dan mengingat-ingat beberapa ketika baru dia menyadari. Pemuda berambut gondrong yang berada dalam ancaman golok kakak seperguruan dan sekaligus kekasihnya itu bukan lain adalah orang yang pagi tadi menyelamatkannya dari bahaya maut tenggelam dalam sungai. Berarti pemuda itu juga yang telah menolong Danupaya. Maka dengan cepat Ratih berteriak.

"Mas Danu! Hentikan seranganmu! Dia adalah orang yang menyelamatkan kita tadi pagi di sungai!"

Danupaya tersentak kaget. Ki Rana Wulung juga tertegun tercekat. Justru saat itu golok telah memapas ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak mungkin dia menarik pulang serangannya! Ki Rana Wulung menahan napas. Ratih keluarkan seruan tertahan sambil pejamkan mata. Tak berani menyaksikan apa yang bakal terjadi sebentar lagi. Yakni putusnya leher pemuda berambut gondrong itu!

Tetapi yang diserang sendiri tetap tenang. Sesaat golok akan memisahkan badan dan kepalanya, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tundukkan kepala. Tangan kanan berkelebat ke depan. Dua jari tangan menusuk lurus ke dada Danupaya.

"Hek...!" Murid Ki Rana Wulung itu mengeluarkan suara seperti tercekik. Di saat itu pula tubuhnya menjadi kaku tegang, tak bisa bergerak lagi. Dia tegak seperti patung sementara tangannya yang masih memegang golok menggantung di udara!

Sambil usap-usap rambut gondrongnya Wiro melangkah meninggalkan tempat itu. Ketika melewati Ratih dia melempar senyum seraya berkata, "Terima kasih kau mengawatirkan keselamatanku!"

"A... aku..." Ratih hendak menjawab. Maksudnya hendak mengatakan bahwa seharusnya dialah yang berterima kasih karena pagi tadi Wiro telah menyelamatkannya dari bahaya kematian di sungai yang sedang banjir.

Ki Rana Wulung cepat mendekati Danupaya dan melepaskan totokan yang membuat kaku muridnya itu. Begitu dirinya bebas Danupaya bertanya. "Guru, siapa pemuda tadi...?"

"Namanya Wiro Sableng. Dia... Ah, sudahlah. Tak perlu dibicarakan lagi. Dia sudah pergi. Aku senang kau dan Ratih datang kemari..."

"Saya merasa malu tidak dapat membela nama baik guru terhadap kekurangajaran pemuda itu!"

"Kau tak usah malu Danupaya. Dia memang bukan tandinganmu. Juga bukan tandinganku..." menjawab Ki Rana Wulung.

Tentu saja hal itu membuat Danupaya dan Ratih terkejut. "Maksudmu guru?" tanya Danupaya.

Sang guru menarik napas dalam. "Maksudku di luar langit masih ada langit lagi. Ilmu yang kita miliki acap kali masih berada di bawah ilmu orang lain. Dan semua ilmu manusia di dunia ini hanya secuil kecil dibandingkan dengan ilmu dan kekuasaan Tuhan..."

Ratih dan Danupaya terdiam. Danupaya melirik pada kekasihnya lalu berkata. "Tadi kau bilang pemuda itu yang menyelamatkan kita waktu tenggelam di sungai yang banjir...?"

"Betul... Sebelum dia pergi aku masih sempat melihat wajahnya. Aku tak cepat mengenalinya tadi. Karena waktu itu aku masih setengah sadar..."

"Kalau begitu bukan mustahil kau salah lihat Ratih. Belum tentu pemuda itu yang telah menolong kita..."

"Aku yakin memang dia orangnya. Tapi sudahlah, apa perlunya diperdebatkan..."

Ki Rana Wulung membawa kedua muridnya ke dalam rumah dan duduk di serarnbi terbuka yang kini berada dalam keadaan agak miring.

"Guru... " kata Danupaya membuka pembicaraan kembali. "Mau tak mau saya masih ingin membicarakan pemuda tadi. Saya kawatir dia adalah orang yang dikirimkan seorang pemuda berjanggut biru. Yang mempunyai maksud jahat terhadap guru."

"Pemuda berjanggut biru? Siapa dia...? Apa maksudmu, Danu?"

Maka Danupaya lalu menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki aneh dalam perjalanan. Tidak lupa dia mengatakan pesan orang itu yang menyangkut peta rahasia telaga emas.

Terkejutlah Hana Wulung ketika mendengar muridnya itu menyebut peta tersebut. Dia tidak dapat menyembunyikan perubahan air mukanya.

"Ada apa guru. Kelihatannya guru tidak suka saya membawa berita ini...?"

Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. "Jadi apakah benar peta rahasia telaga emas itu memang ada....?" bertanya Ratih.

"Aku tidak akan menjawab ya atau tidak..." sahut sang guru yang membuat bingung kedua muridnya. "Pemuda bernama Wiro Sableng itu justru jauh-jauh dikirimkan gurunya untuk meminta peta itu. Kau baca sendiri surat ini, Danu..."

Lalu Ki Rana Wulung menyerahkan surat basah yang tadi dibawa oleh Wiro Sableng. "Saya tidak membaca peta itu disebut-sebut dalam surat ini..." berkata Danupaya begitu selesai membaca surat yanq dikirimkan Eyang Sinto Gendeng alias Sinto Weni dari puncak Gunung Gede.

"Tentu saja tidak, muridku. Benda itu adalah benda rahasia. Mengandung harga yang tidak ternilai. Lebih besar dari nilai kekayaan yang dimiliki Keraton Surokerto ditambah Keraton Jogjakarta..."

Danupaya jadi leletkan lidah sedang Ratih ternganga. "Kata muatan dalam surat itu merupakan sandi rahasia dari peta telaga emas itu..." menjelaskan Ki Rana Wulung dengan suara perlahan sekali seolah-olah dia tak ingin ada orang lain mendengarnya.

"Lalu apa maksud kalimat yang berbunyi badai ganas melanda negeri...?" bertanya Ratih.

Ki Rana Wulung diam sejenak, baru menjawab. "Seolah-olah nenek sakti itu melihat ada bahaya yang mengancam diriku. Karena itu dia meminta agar menyerahkan peta rahasia pada muridnya, akan disimpannya sampai keadaan aman kembali. Hanya sayang, aku, malah kita semua sempat bentrokan dengan muridnya itu!" Ki Rana Wulung seperti menyesali diri.

"Lalu apakah guru juga mengetahui siapa adanya pemuda berjanggut biru yang kami temui di perjalanan?"

"Sulit kuterka, Danu. Hanya sedikit saja orang yang tahu tentang peta telaga emas itu. Dan boleh dikatakan tak ada yang tahu di mana beradanya selain aku dan Sinto Gendeng. Bahkan muridnya tadi itu pun sebenarnya tidak tahu harus mengambil benda apa dariku..."

"Lelaki berjanggut biru itu, guru..." berkata Danupaya. "Dia berpesan agar guru menyerahkan peta rahasia telaga emas itu padanya nanti malam tatkala bulan purnama. Kalau dia tidak datang, maka dia akan mengutus seseorang... Karena itu saya berprasangka apa bukan pemuda itu tadi yang bertindak selaku utusan si janggut biru?!"

Kembali Ki Rana Wulung menarik napas dalam. "Semua kejadian ini serba tak terduga. Dan berbau keanehan!" desisnya.

"Guru, maafkan saya. Jika peta itu memang ada di tangan guru, demi keselamatan guru, lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita bersama-sama ke Kotaraja.

"Tidak muridku. Siapa adanya si janggut biru itu aku ingin sekali mengetahuinya. Aku akan tetap berada di rumah ini sampai malam nanti..."

"Tapi itu terlalu berbahaya guru!" ujar Ratih.

"Hidup lebih dari tujuh puluh tahun. Berbagai bahaya sudah kuhadang. Mengapa bahaya sekali ini harus kutakuti dan kuhindari dengan melarikan diri ke Kotaraja?!"

"Maksud kami bukan melarikan diri, guru. Tapi menghindar adalah lebih baik dari pada sengaja menyongsong bahaya!" kata Ratih pula.

"Jika kalian murid-muridku takut menghadapi bahaya, tinggalkan tempat ini. Kembali saja ke Kotaraja!"

Mendengar kata-kata gurunya itu maka Ratih dan Danupaya serta merta menjawab berbarengan. "Kami bersedia mati bersama guru di tempat ini!"

Ki Rana Wulung tersenyum. "Bagus begitu..." katanya. "Bersiaplah. Malam sekali ini akan datang lebih cepat..."

LIMA

Bulan purnama empat belas hari, terang dan bulat. Sinarnya menyapu bukit Sawojajar. Rumah kayu kediaman Ki Rana Wulung yang kini tidak berkolong itu lagi tampak sepi. Ada nyala pelita di dalam kamar tapi tak seorang pun tampak. Juga tak ada suara apa-apa selain suara jengkerik di kejauhan atau gemerisik kadal liar yang meluncur di kaki-kaki semak belukar.

Makin larut malam makin pudar sinar rembulan. Sesekali awan hitam melewati dan menutupinya. Lapat-lapat di kaki bukit terdengar suara lolongan srigala hutan. Angin mulai bertiup kencang dan hawa dingin mulai merayapi puncak bukit Sawojajar itu. Kesunyian mencengkam menimbulkan suasana aneh kalau tidak mau dikatakan menyembunyikan sesuatu rahasia.

Tepat ketika awan hitam menutupi rembulan untuk kesekian kalinya, dari samping kiri bangunan kayu tiba-tibamenyeruak sesosok tubuh berpakaian biru gelap. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup oleh bayangan bangunan kayu. Ketika dia melangkah lebih dekat ke arah serambi, kini wajahnya tampak jelas. Wajah seorang pemuda berdagu kukuh dengan rahang-rahang menggembung. Pemuda ini ternyata memelihara janggut berwarna biru.

Di atas pohon berdaun rimbun yang gelap karena tak tertembus sinar rembulan, tiga sosok tubuh mendekam tak bergerak. Yang seorang berbisik sangat pelan, seperti suara nyamuk mendengung saja.

"Anggukan kepalamu jika itu orangnya yang kau ceritakan siang tadi."

Orang disamping si penanya menganggukkan kepalanya. Baru saja dia mengangguk, si janggut biru di bawah sana terdengar berseru sambil berkacak pinggang.

"Ki Rana Wulung! Aku datang untuk mengambil pesanan..."

Sunyi. Sepi. Tak ada jawaban. Si janggut biru memandang lekat-lekat ke arah bangunan seolah-olah hendak menembus dinding kayu di mana membersit nyala pelita di antara celah-celah papan dinding. Sambil mengusap janggutnya dia menyeringai. Lalu mulutnya berseru kembali.

"Aku tahu kau tak ada di dalam sana! Aku juga tahu kalau kau berada di sakitar sini! Jika tak ada yang ditakutkan kenapa bersembunyi?!"

"Wuttt...!"

Si janggut biru melompat mundur satu langkah. Sebilah golok pendek yang tadi menderu ganas hampir memancung tanggorokannya tampak menancap di dinding bangunan. Paras si janggut biru mengelam. Sepasang matanya seperti menyorotkan nyala api. Tapi anehnya manusia ini justru perdengarkan suara tertawa bergelak. Tawanya kemudian ditutup dengan bentakan lantang.

"Sungguh tidak tahu peradatan! Begini caranya orang persilatan menyambut kedatangan tamu! Huh!"

Si janggut biru pegang hulu golok yang menancap di dinding dengan tangan kiri. Sekali sentak saja golok itu lepas. Pergelangan tangan kirinya bergerak aneh dan tahu-tahu golok itu melesat mendesing ke arah pohon besar di depan rumah kayu!

Di lain kejap terdengar suara keluhan Tiga sosok tubuh kemudian tampak melayang turun dari atas pohon besar tadi! Pemuda berpakaian biru menyapu wajah tiga orang itu dengan pandangan mata tak berkesip. Mereka bukan lain adalah Ki Rana Wulung. Lalu Danupaya dan Ratih. Danupaya tampak memegangi bahu kirinya yang terluka akibat sambaran mata golok yang tadi dilemparkan si janggut biru.

Masih untung tadi waktu di atas pohon dia berlaku waspada hingga ketika golok berdesing dia sudah mengambil ancang-ancang untuk mengelak. Nasibnya masih baik karena golok yang seharusnya menembus dadanya berkat gerakannya yang cepat hanya menyayat bahu kirinya.

"Apakah kalian sudah menyampaikan pesanku pada guru kalian...?" Si janggut biru ajukan pertanyaan. Pandangan matanya ditujukan ganti berganti ke arah Danupaya dan Ratih.

"Pesan memang sudah kuterima!" yang menjawab Ki Rana Wulung sendiri. "Tetapi karena pesan itu tak tahu juntrungannya maka aku tidak menanggapi!"

Si janggut biru tertawa bergelak. "Orang tua, kau pandai bicara. Tapi kau hendak Iblis Berjanggut Biru sembunyi di balik sehelai lalang!"

"Siapa kau sebenarnya?!"

"Siapa aku kau tak layak bertanya orang tua! Tugasmu saat ini adalah cepat menyerahkan peta rahasia telaga emas! Serahkan secara suka rela hingga aku tidak perlu menurunkan tangan jahat!"

"Peta rahasia telaga emas! Eh, benda atau binatang apa itu?!" bertanya Ki Rana Wulung dengan mengejek.

"Jangan bermain sandiwara padaku, Rana Wulung! Aku tak punya banyak waktu bicara dengan tua bangka sepertimu. Lekas serahkan peta itu!" si janggut biru tampaknya mulai hilang kesabaran. Kedua kakinya dlrenggangkan dan tangan kirinya diletakkan di pinggang.

"Aku tidak tahu menahu dengan segala macam peta! Mengapa kau memintanya padaku?!"

"Karena aku tahu memang kau memilikinya. Peta itu ada di tanganmu sejak tiga puluh tahun lalu! Sesuai dengan bunyi surat yang pagi tadi kau terima dari seorang pemuda gondrong! Bukan begitu...?!"

Tersirap darah Ki Ranah Wulung. Ratlh dan Danupaya menahan kejut. Ketiganya sama membatin. Bagaimana pemuda berjanggut biru ini tahu tentang surat yang dibawa oleh Wiro Sableng? Jawabnya satu di antara dua. Mungkin sekali sejak pagi tadi dia sudah mendekam di tempat itu untuk memata-matai segala apa yang terjadi. Yang kedua, mungkin dia ada sangkut pautnya dengan Wiro Sableng. Begitu ketiga orang tadi menduga-duga.

"Lekas kau serahkan pudaku, Rana Wulung!" Si janggut biru ulurkan torr,i,rn. "Setelah itu aku akan pergi secara baik-baik..."

"Kau salah alamat orang muda! Aku tidak tahu soal peta. Dan aku tidak memilikinya. Mungkin si penulis surat itu yang memilikinya. Kenapa kau tidak ke Gunung Gede saja menemui Sinto Gendeng? Kurasa nenek sakti itu yang memilikinya."

Si janggut biru tersenyum. Sepasang matanya kembali terlihat seperti menyinarkan nyala api.

"Kau memberi keterangan dusta Rana Wulung!" ujar si janggut biru seraya usap-usap telapak tanngannya satu sama lain. "Agaknya kau tidak sayang pada nyawa sendiri. Karena kalau kau tak mau memberikan peta itu, aku akan mengambilnya sekaligus bersama nyawamu!"

Ki Rana Wulung rangkapkan kedua tangan di depan dada. "Aku sudah terlalu tua untuk hidup lebih lama di dunia ini. Liang lahat sudah lama menunggu. Tapi siapa manusia yang ingin mati berpangku tangan...?!"

"Bagus! Kalau begitu kau memang sudah saatnya mampus!"

Si janggut biru mundur selangkah. Dia menggerakkan tangan kanannya ke atas lalu menarik ke bawah perlahan-lahan kemudian dihantamkan lagi ke depan sambil lima jari yang tadi membentuk tinju dibuka!

Semula Ki Rana Wulung mengira dirinyalah yang akan menjadi sasaran serangan aneh tersebut. Tapi dia tertipu. Di samping kirinya terdengar jeritan Danupaya! Sang murid tampak menggelepar-gelepar sembari pegangi perut. Saat itu Danupaya merasakan seolah-olah isi perutnya dibetot ke luar dan kepalanya seolah-olah dikemplang dengan pentungan besi! Darah tampak mengucur dari hidung, mulut dan telinganya. Pemuda ini kembali menjerit. Menjerit dan menjerit lalu roboh terguling ke tanah. Ratih memekik dan jatuhkan diri memeluk kekasihnya itu. Tapi Danupaya telah menjadi mayat!

"Manusia biadab! Terima kematianmu!" teriak Rana Wulung.

ENAM

Ternyata yang menyerbu si janggut biru bukan hanya Ki Rang Wulung. Tetapi juga Ratih. Gadis ini seperti kemasukan setan, sembari menjerit tiada henti dia menyerang dengan pukulan-pukulan maut mengandung tenaga dalam tinggi. Sang guru sendiri menghantam dengan pukulan-pukulan sakti yang jauh lebih ganas. Tetapi hebatnya, semua serangan yang mematikan itu dielakkan si janggut biru dengan sikap congkak meskipun dada pakaiannya sampat terenggut robek oleh kuku panjang Ki Rana Wulung.

"Manusia-manusia tolol!" teriak si janggut biru. "Apa kematian pemuda itu tidak membuat kalian sadar! Kau tua bangka goblok! Masih tidak mau menyerahkan barang yang kuminta!"

"Anjing kurap! Kau inginkan nyawaku! Ambillah sendiri! Kalau tidak nyawa anjingmu yang akan kubetot dari tubuhmu!" balas berteriak Rana Wulung.

"Kau musti mampus di tanganku musti mampus!" terdengar pula teriakan Ratih. Di tangan kanannya kini dia memegang sebilah golok. Sekali golok diputar, suaranya berdesing dan senjata itu seperti berubah jadi tujuh buah banyaknya!

Karena Rana Wulung keluarkan ilmu silatnya yang paling andal maka datam dun jurus saja guru dan murid itu telah mengurung rapat pemuda berjanggut biru. Tetapi hanya dua jurus itulah batas kemampuan Rana Wulung Dan Ratih berbuat.

Didahului satu bentakan buas, si janggut biru berkelebat di antara dua penyerang. Ketika Ratih dan Rana Wulung berbalik untuk mengejar sembari menggempur, ternyata lawan sudah membalikkan diri lebih dahulu seraya kirimkan satu jotosan dan satu sapuan kaki!

Ratih terpekik ketika dia merasakan kaki kanannya sakit bukan kepalang dan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya yang ramping terbanting ke tanah. Dengan mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuh gadis ini masih sanggup jungkir balik, lalu sebelum kakinya menginjak tanah, tangan kanannya dengan satu gerakan kilat menusukkan golok ke perut lawan.

Si janggut biru yang tidak mengira sang dara sanggup melancarkan serangan seperti itu, kalau tidak lekas mengelak hampir saja perutnya tertembus golok. Kemarahan membuat dia melipatgandakan pukulan yang ditujukan pada Ki Rana Wulung. Dan kakek ini menerima nasib malang. Tubuhnya terpental ketika jotosan si janggut biru dengan telak menghantam dedenya. Rana Wulung merasakan tulang dadanya seperti melesak ke dalam.

Napasnya langsung sesak. Rasa sakit yang amat sangat membuat kepalanya seperti pecah. Orang tua ini jatuh terduduk di tanah sambil muntahkan darah segar. Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Rana Wulung rebahkan tubuhnya ke tanah lalu berguling menjauhi si janggut biru. Sewaktu dia berhenti berguling di akar pohon besar, memandang ke depan dilihatnya Ratih sudah terbujur di tanah dalam keadaan tak berdaya. Satu totokan telah melumpuhkan sekujur tubuhgadis ini, bahkan jalan suaranya pun tidak bekerja lagi!

"Tua bangka tolol! Kalau saja kau mau menyerahkan peta itu dari tadi, tak akan kau kehilangan murid lelaki itu. Tak akan muridmu yang perempuan ini mendapat cidera. Dan nyawamu sendiri tak akan tertolong! Apalagi jika kau masih saja bertindak tolol tidak mau menyerahkan peta telaga emas itu!"

"Kau boleh membunuhku! Dan kau tetap tak akan mendapatkan apa-apa dariku manusia biadab!" menjawab Rana Wulung.

"Kita akan lihat, tua bangka tolol!" sahut si janggut biru.

Selesai berkata begitu si janggut biru gerakkan kedua tangannya untuk membuka pakaian birunya. Ternyata di balik pakaian biru itu dia mengenakan pakaian hitam gelap dengan gambar puncak gunung berlatar belakang matahari berwarna merah disertai tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, merah dan hitam.

Melihat gambar pada dalam pakaian si janggut biru itu pucatlah paras Ki Rana Wulung.

"Jadi... jadi kau... kau!"

Si janggut biru menyeringai. "Kau ini mengenaliku Rana Wulung..."

"Pangeran Matahari!" Tenggorokan orang tua itu seperti tercekik ketika menyebut nama itu.

"Ha ha ha... Tidak salah Rana Wulung! Aku memang Pangeran Matahari. Pangeran dari segala Pangeran di dunia ini! Datuk dari segala Datuk! Pendekar dari segala licik, segala akal, segala ilmu, segala cerdik dan segala congkak!"

Si janggut biru yang ternyata adalah Pangeran Matahari, satu nama yang telah menjadi momok dalam dunia persilatan di masa itu melangkah mendekati Rana Wulung.

"Kau masih belum mau menyerahkan peta itu?"

"Aku sudah siap mati!" kata si orang tua seraya pejamkan mata.

Sejak dua tahun terakhir ini dia sudah mendengar dan tahu banyak tentang malapetaka yang melanda dunia persilatan akibat munculnya seorang pemuda berkepandaian silat tinggi dan mempergunakan kehebatannya dengan segala kecongkakan untuk melakukan berbagai macam kejahatan. Mulai dari membunuh tokoh-tokoh persilatan sampai pada merampok dan menculik.

Dia tidak pernah menduga kalau malam itu justru manusia ganas inilah yang muncul di puncak Sawojajar untuk merampas jiwanya. Dia tidak takut mati. Tapi bagaimana dengan keselamatan murid perempuannya?! Hal ini membuat Ki Rana Wulung membukakan kedua matanya yang tadi dipejamkan. Puluhan tahun dia memiliki ilmu silat, belajar dan belajar, berlatih dan berlatih. Malam ini semuanya itu tidak berarti apa-apa di hadapan pemuda terkutuk yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Matahari itu!

"Ha ha ha! Kau membuka matamu kembali Rana Wulung! Rupanya kau belum rela mati!"

Tiba-tiba, dalam keadaan terluka di dalam cukup parah, seperti mendapat suatu kekuatan baru Ki Rana Wulung melompat. Dari mulutnya bersemburan darah segar. Tapi ia tak perduli. Didahului jeritan keras orang tua ini lepaskan pukulan dari jarak dua langkah ke arah kepala Pangeran Matahari. Satu gelombang angin yang mengeluarkan deru dahsyat menyambar menebar hawa panas!

"Wussss...!"

"Ilmu picisan mainan anak-anak!" ejek Pangeran Matahari. Tapi dia cepat menyingkir karena diam-diam sebenarnya dia merasa terkejut juga melihat kehebatan lawan, yang dalam keadaan terancam jiwanya akibat luka dalam, masih mampu melepaskan pukuian hebat disertai aliran tenaga dalam tinggi.

"Tua bangka edan! Kau bukan saja tolol tetapi juga edan!" teriak Pangeran Matahari.

Angin pukulan lawan sesaat masih sempat menyapu tubuhnya hingga dia tergontai-gontai. Dalam keadaan seperti itu Rana Wulung dilihatnya kembali menyerbu. Mukanya tampak angker karena penuh berselemotan darahnya sendiri.

Kali ini Pangeran Matahari tidak memberi kesempatan lagi. Belum sampai serangan Rana Wulung, dia sudah menyongsong dengan pukulan tangan kanan. Dua lengan beradu tak terelakkan.

"Kraakkk...!"

Ki Rana Wulung terpental. Untuk kedua kalinya kakek ini terbanting ke tanah. Keadaannya kini lebih parah lagi karena lengan kanannya patah akibat beradu denqan tangan lawan tadi!

"Bagaimana...? Masih belum mau menyerahkan peta itu?" bertanya Pangeran Matahari sambil dua tangan bertolak pinggang.

"Terkutuk! Mampuslah kau manusia terkutuk!"

Pangeran Matahari meludah ke tanah. Sekali tendang saja dia dapat menghancurkan kepala orang tua itu. Tetapi mungkin dia akan mengalami kesulitan menemukan peta rahasia itu. Pasti Rana Wulung menyembunyikannya di satu tempat yang sulit diketahui.

"Kau akan melihat keterkutukanku Rana Wulung! Kau akan melihat! Kau tidak takut mati! Bagus! Tapi apakah kau tidak takut menyaksikan apa yang bakal kulakukan terhadap murid perempuanmu ini?!"

Pangeran Matahari berbalik, lalu melangkah ke tempat di mana Ratih terbujur di tanah dalam keadaan tegang karena ditotok. Pemuda berjanggut biru itu membungkuk. Lalu! Dada pakaian kelabu yang dikenakan Ratih robek besar di beberapa bagian. Auratnya terbuka putih membusung.

"Ha ha ha! Kau akan melihat keterkutukanku! Kau akan melihat!"

Pangeran Matahari kembali membungkuk dan ulurkan tangannya untuk menarik pakaian sebelah bawah Ratih.

"Ya Tuhan! Laknat terkutuk!" teriak Ki Rana Wulung. "Apa yang hendak kau lakukan! Kau boleh bunuh aku! Tapi jangan sentuh gadis itu!"

Pangeran Matahari hanya tertawa mendengar ucapan Rana Wulung itu. "Yang akan kulakukan bukan hanya menyentuhnya, lebih dari itu Rana Wulung! Dan kau boleh menyaksikan! Buka matamu lebar-lebar!"

Ki Rana Wulung coba merangkak mendekati Pangeran Matahari untuk menolong muridnya. Tapi keadaannya sengsara sekali. Jangankan merangkak, beringsut pun dia tak sanggup.

"Demi Tuhan! Jangan kau lakukan itu! Bunuh aku! Bunuh!"

"Aku tidak butuh nyawamu lagi Rana Wulung! Tak kubunuhpun kau akan segera mampus. Aku lebih butuh tubuh muridmu yang cantik ini! Kau lihatlah! Hai pernahkah kau melihat tubuh muridmu tanpa sehelai benangpun menutupnya...? Ha Ha ha!"

"Tunggu!" teriak Rana Wulung.

TUJUH

Pangeran Matahari yang sudah siap untuk menelanjang tubuh Ratih yang berada dalam keadaan tertotok itu sesaat hentikan gerakan tangannya dan berpaling pada orang tua yang menggeletak di tanah itu.

"Apa maumu...?" tanyanya.

"Dengar... dengar. Demi Tuhan... Aku akan berikan peta itu padamu. Aku akan berikan peta itu! Asalkan kau berjanji... tidak, bukan berjanji! Tapi bersumpah! Asal kau mau bersumpah tidak akan mengganggu muridku!"

"Pasti kau hendak menipuku!" sahut Pangeran Matahari dengan sikap tak acuh.

"Aku tidak menipumu! Aku akan berikan peta itu! Bersumpahlah..."

Pangeran Matahari manggut-manggut beberapa kali. "Baik, serahkan peta itu padaku!"

"Bersumpah dulu!"

"Aku bersumpah!" ujar Pangeran Matahari. Satu tangan diangkat ke atas, satunya lagi mengusap-usap janggut birunya. "Nah, mana peta itu!"

"Di sana..." Rana Wulung menunjuk dengan tangan kiri gemetar. Yang ditunjuknya adalah arah pohon besar disamping kanan rumah kayu.

"Di sana di mana maksudmu?!" sentak Pangeran Matahari.

"Di... di bawah pohon. Tiga langkah ke kanan dari akar yang menonjol. Gali tanah di situ. Kau akan menemukan sebuah kotak besi tipis. Peta itu ada dalam kotak besi."

"Kalau kau berdusta kau dan muridmu tidak akan mendapatkan pengampunan!" mengancam si janggut biru lalu dia melangkah ke tempat yang dikatakan.

Dengan golok milik Ratih dia menggali tanah sejarak tiga langkah dari tonjolan akar. Menggali sedalam dua jengkal, ujung golok membentur sebuah benda keras. Ketika dikorek terlihat sebuah kotak besi yang sudah karatan. Kotak ini dililit dengan sehelai kawat yang juga sudah karatan. Dengan cepat Pangeran Matahari membuka lititan kawat itu lalu membuka kotak besi.

Di dalam kotak itu kelihatan sebuah kertas tebal yang berwarna kekuningan dimakan usia. Dengan hati-nati Pangeran Matahari membuka lipatan kertas tebal itu. Di situ tergambar sebuah sungai dan gunung lalu lingkaran bengkok-bengkok mungkin merupakan gambaran dari sebuan telaga, lalu tanda silang di sebelah timur telaga.

Pangeran Matahari menyeringai. Peta itu dilipatnya kembali lalu dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati Rana Wulung. Orang tua itu cepat membuka mulut.

"Kau sudah mendapatkan apa yang kau ingini! Sekarang tinggalkan tempat Ini!"

"Percuma aku mempunyai jalan hidup segala cerdik, segala congkak segala akal dan segala licik, kalau aku pergi begitu saja sementara rezeki besar sudah di depan mata..."

Paras Rana Wulung yang pucat jadi berubah. "Apa maksudmu...?"

"Aku telah kepalang tanggung melihat keindahan tubuh muridmu! Tak baik kalau dibiarkan begitu saja. Karena kau telah berbaik hati menyerahkan peta itu, maka aku memberi sedikit keringanan padamu. Aku tak akan bersenang-senang dengan gadis itu di hadapanmu. Tapi aku akan membawanya ke suatu tempat. Ha ha ha..."

"Manusia Iblis!" teriak Rana Wulung. Seperti ada yang memberi kekuatan padanya tubuhnya yang sejak tadi terkapar tiba-tiba bisa bangkit berdiri. Namun sebelum mencapai Pangeran Matahari orang tua ini roboh ke tanah dan tak sanggup lagi bangun. "Ya Tuhan... dosa apa yang telah kuperbuat hingga mqngalami nasib seperti ini..." mengeluh Rana Wulung dalam hatinya.

"Selamat tinggal orang tua tolol! Muridmu kubawa!"

Pangeran Matahari membungkuk siap untuk memanggul tubuh Ratih. Di saat itulah terdengar suara siulan disusul bentakan menggeledek.

"Dicari-cari tidak bertemu! Ternyata kau menjual lagak di puncak Sawojajar ini!" Bersamaan dengan itu hemhusan angin kencang menderu deras membuat Pangeran Matahari sesaat tergontai-gontai dan hampir saja jatuh duduk kalau tidak lekas memasang kuda-kuda pertahanan dengan merenggangkan kedua kakinya.

"Bangsat dari mana yang berani mencampuri urusan orang!" hardik Pangeran Matahari!

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu sosok tubuh Ratih yang terbaring di tanah lenyap. Ketika berpaling ke kiri Pangeran Matahari dapatkan gadis itu kini sudah terbaring di lantai serambi depan rumah kayu. Tegak disampingnya seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih, bersikap seenaknya sambil menyeringai.

"Kau!" seru Pangeran Matahari. Nadanya keras dan marah. Tapi dalam hatinya dia merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan takut. Beberapa kali sebelumnya dia telah bentrokan hebat dengan pemuda yang menyandang pelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu. Dan dalam setiap bentrokan dia selalu berada di pihak yang kurang menguntungkan.

"Rupanya kau sudah rindu akan kematian hingga mencariku ke tempat ini!" Wiro Sableng tertawa gelak gelak.

"Kalau pemuda rindukan gadis itu lumrah. Tapi kalau aku rindukan kamu untuk mencari mati. Ha ha ha...! Terbalik perutku!" Habis berkata begitu Wiro berlagak seperti orang mau muntah!

Paras Pangeran Matahari berubah kelam dan membesi. Dan ejekan Wiro Sableng masih belum habis.

"Eh, sejak kapan kau pakai janggut seperti itu. Pandai juga kau mewarnainya. Apakah kau pakai tahi kerbau atau kotoran kuda untuk mewarnai janggutmu hingga jadi biru seperti itu...?"

"Orang yang hendak mampus memang sering bicara ngacok!" kata Pangeran Matahari dengan suara bergetar. Dari tempatnya berdiri dia langsung hantamkan tangan kanan.

Sinar merah, kuning dan hitam berkiblat di puncak bukit Sawojajar itu. Udara terang benderang mengerikan karena disertai hembusan hawa panas yang luar biasa. Sebagian atap rumah kayu langsung hangus. Daun-daun dan juga ranting-ranting pepohonan menghitam.

"Iblis berjanggut biru ini benar-benar sakti luar biasa!" membatin Rana Wulung. Seumur hidupnya baru sekali itu dia melihat pakulan sakti seperti yang dilepaskan Pangeran Matahari.

Sementara itu di atas serambi rumah, kalau saja dia bisa berteriak pastilah Ratih sudah menjerit melihat bahaya yang mengancam pemuda gondrong yang telah dua kali menyelamatkan dirinya. Tapi gilanya dia melihat si gondrong malah masih tegak tenang.-tenang saja. Hanya dia kemudian menyaksikan tangan kanan Wiro berubah putih berkilau seperti perak sampai ke siku. Dan ketika pemuda itu pukulkan tanqannya ke depan, terdengar suara menggeledek disertai bertebarnya sinar putih menyilaukan dan panas luar biasa!

"O... ladalah! Inikah yang dinamakan pukulan sinar matahari...?" ujar Rana Wulung dalam hati. Tubuhnya terguling jauh. Begitu juga Ratih, terbanting ke dinding kamar. Asap kelabu kemudian menyungkup seantero tempat itu.

"Bangsat!" memaki Pangeran Matahari di dalam kepulan asap. Dia melompat ke kiri. Dendam kesumatnya atas kejadian di masa lalu terhadap Wiro masih belum terbalas. Malam itu kembali dia tak mampu merobohkan lawan. Menimbang bahwa dia sudah mendapatkan peti yang dicarinya maka dia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Selagi asap menupi pemandangan, Pangeran Matahari berkelebat dan lenyap dari situ.

DELAPAN

Ki Rana Wulung duduk bersandar ke dinding kayu kamarnya. Dadanya masih se-sak dan sakit. Tapi berkat obat yang diberikan Wiro, luka di dalam yang dideritanya menunjukkan tanda-tanda membaik. Darah tak lagi keluar setiap dia batuk dan meludah. Ratih duduk di sampingnya, membalut potongan kayu yang ditempelkan ke lengan kanan sang guru yang patah. Hari itu adalah hari kedua sejak terjadi bencana akibat kejahatan Pangeran Matahari.

"Sudah... Ikatanmu sudah cukup kencang. Kau pergilah mengurus kuburan Danu Kulihat dari sini timbunan tanah di sebelah kepala agak tenggelam.

"Baik guru..." jawab Ratih perlahan. "Tapi sampai hari ini guru belum memberi petunjuk apa yang hendak kita lakukan atas manusia terkutuk bernama Pangeran Matahari itu. Jika guru setuju saya bisa meminta bantuan pamanda Tumenggung Puro Bekasan untuk mengirimkan pasukan Kerajaan mencari dan menangkap orang itu..."

Ki Rana Wulung menarik nafas dalam. Sesaat dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk bersila di dekat pintu kamar lalu gelengkan kepalanya. "Manusia iblis seperti Pengeran Matahari itu sulit untuk dikejar, apalagi ditangkap sekalipun mengerahkan seluruh pasukan Kerajaan..."

"Sehebat itukah dia? Bukankah di Kotaraja juga banyak para tokoh silat istana yang bisa dimintakan bantuannya...?" ujar Ratih dengan agak kecewa.

"Menurut pendengaranku, manusia itu beberapa kali membuat keonaran di Kotaraja. Berani mengacau sampai ke dalam Keraton..."

"Lalu kita biarkan saja dia berbuat kejahatan? Bahkan dia telah mengambil peta rahasia yang sangat berharga itu, guru!"

"Dunia ini memang aneh. Dalam keanehan itu aku merasa malu dan ingin minta maaf... Juga ingin berterima kasih."

"Eh, kau malu karena apa guru. Dan mau minta maaf pada siapa?"

"Pada pemuda itu..." jawab Rana Wulung seraya menggoyangkan kepalanya ke arah Wiro. "Anak muda, kau masuklah ke mari."

Karena dipanggil Wiro masuk ke dalam. "Sebetulnya aku ingin minta diri..." berkata Wiro begitu duduk di hadapan Rana Wulung.

"Jangan begitu anak muda. Kalau tidak kusampaikan rasanya akan menjadi ganjalan. Kukatakan tadi aku malu. Malu karena telah terlanjur bersikap kasar dua hari lalu padamu. Padahal kau yang telah menyelamatkan kedua muridku sewaktu dihanyutkan banjir. Lalu kau juga yang menyelamatkan kami dari manusia iblis bernama Pangeran Matahari itu..."

"Memang begitulah maunya keanehan dunia, kek!" jawab Wiro.

Rana Wulung tertawa karena untuk pertama kalinya pemuda itu memanggilnya dengan sebutan kakek.

"Guru," tiba-tiba Ratih menyelak pembicaraan. "Kau masih belum menjawab apakah akan kita biarkan iblis berjanggut biru itu lolos membawa peta rahasia milikmu...?"

Rana Wulung memegang bahu muridnya dengan tangan kiri. "Pangeran Matahari mengagulkan dirinya sebagai seorang yang terhebat dalam segala licik, segala akal, segala congkak dan segala akal. Kau tak perlu mengawatirkan peta itu, muridku. Peta yang dirampasnya itu adalah peta palsu!"

Ratih dan Wiro terkejut. "Kau cerdik guru! Jadi kau masih menyimpan peta yang asli...?"

"Ya, dan aku akan memberikannya pada murid Sinto Gendeng ini. Sesuai dengan surat gurunya itu. Tentang Pangeran Matahari aku percaya hukuman bakal jatuh padanya!" Rana Wulung berpaling pada Wiro. "Syukur kau muncul kembali ke tempat ini..."

"Kek, aku kemari bukan untuk meminta peta itu. Bukankah kau sudah memutuskan untuk tidak memberikannya. Aku kembali kemari karena di tengah jalan secara tidak sengaja melihat seorang berpakaian biru, berjanggut biru dengan gerak-gerik mencurigakan. Ketika aku rasa-rasa kenal akan wajahnya walaupun kini memakai janggut biru, maka diam-diam aku menguntitnya. Ternyata dia datang kemari. Musuh besar yang sangat licik, yang sampai hari ini selalu lolos dari tanganku..."

"Terlepas apapun tujuanmu kembali kemari tapi aku sudah memutuskan untuk menyerahkan peta rahasia telaga emas itu padamu. Harap kau suka menyampaikannya pada gurumu di puncak Gunung Gede."

"Kalau begitu keputusanmu, aku hanya menurut saja," jawab Wiro.

Ki Rana Wulung membuka kain putih penutup kepalanya. Tampak rambutnya yang berwarna kelabu tergulung membentuk sebuah sanggul kecil di atas kepalanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini membuka sanggul itu. Darl dalam sanggul yang terbuka itu tampak sehelai kain berwarna hitam tergulung rapi tak lebih besar dari jari kelingking.

Selagi Ratih dan Wiro bertanya-tanya dalam hati benda apa sebenarnya yang ada dalam gulungan rambut Ki Rana Wulung, orang tua itu membuka gulungan kain hitam tadi. Ternyata lebarnya kain ini hanya selebar telapak tangan. Dan di atas kain itu terdapat sebuah lukisan telaga berwarna putih. Di bawah lukisan kecil ini ada serangkaian tulisan putih berbunyi:

Berbiduk di atas Bengawan 
Dari selatan ke arah barat 
Dari utara ke arah timur 
Telaga sejuk hanya satu 
Beringin sakti hanya satu 
Duduk bersila di atas batu merah 
Menghadap lurus ke utara 
Pasti terlihat pohon bersilang 
Rahasia tersembunyi di bawahnya 
Hanya yang mendapat berkah Ilahi aku mendapatkannya.


"Inikah peta telaga emas itu, guru?" bertanya Ratih.

Sang guru mengangguk. Lalu kain hitam kecil itu digulungnya kembali dan diulurkannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. "Simpan baik-baik. Serahkan pada gurumu. Dia tak perlu mengembalikannya padaku. Apa yang akan dilakukannya terhadap harta itu terserah dia. Aku sudah terlalu tua untuk mengurus segala urusan dunia..."

"Terima kasih atas kepercayaanmu, kek." kata Wiro seraya mengambil gulungan kain hitam. Benda ini kemudian dimasukkannya ke dalam ikatan ikat kepalanya di sebelah belakang.

Rana Wulung tersenyum. "Sepintas tampangmu tampak tolol. Nyatanya otakmu cerdik..."

Wiro garuk-garuk kepala. "Aku minta diri sekarang kek. Kudoakan kau lekas sembuh..."

"Obatmu pasti mujarab. Sekali lagi aku berterima kasih..." Ratih tampak seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Ada yang hendak kau sampaikan Ratih...?"

Sang dara agak gugup. Namun akhirnya dia menggelengkan kepala.

"Kalau tak ada apa-apa lagi, tolong ambilkan Qur'an ku. Di umur setua ini apa lagi yang akan kukerjakan kalau bukan berbuat Ibadah..."

********************

SEMBILAN

Pangeran Matahari menjadi sangat heran ketika dalam rimba belantara itu tiba-tiba saja dia mendengar suara orang bernyanyi di kejauhan. Nyanyian itu diiringi tabuhan gendang dan kerincingan.

"Setan atau manusia yang berpesta di hutan ini?!" ujar sang pangeran dalani hati. Meskipun dia menempuh rimba belantara itu untuk urusan penting dan memintas jalan, namun keanehan yang didengarnya itu membuat dia memutar langkah menuju arah datangnya suara nyanyian dan tabuhan gendang serta kerincingan.

Di suatu tempat yang leguk, hampir menyerupai lembah kecil, Pangeran Matahari melihat sepasang kakek-nenek asyik menyanyi sambil menari-nari dalam gerakan berputar-putar membentuk lingkaran. Masing-masing memegang tetabuhan berbentuk rebana yang pada pinggirannya dilingkari lembaran-lembaran kaleng tipis kecil. Setiap rebana itu ditabuh, kerincingan ikut berbunyi.

"Dua tua bangka edan! Kalau tidak edan masakan berada di tempat ini dan menari! Ada-ada saja."

Pangeran Matahari hendak balikkan diri guna melanjutkan perjalanan. Namun niatnya ini dibatalkan. Kakek nenek di bawah sana dilihatnya mengeluarkan sebuah bumbung kecil. Sambil menari keduanya kemudian mendongak ke atas dan tempelkan mulut bumbung bambu itu ke bibirnya. Dari tempatnya berdiri Pangeran Matahari dapat mencium harumnya bau minuman yang direguk kedua orang tua itu sambil menari dan menyanyi.

"Mabuk... Pantas mereka seperti orang gila. Tapi minuman itu sungguh luar biasa.Sejauh itu bau harumnya menebar sampai ke sini. Tenggorokanku kering. Kalau saja aku kebagian barang beberapa teguk... Ah, aku coba menemui mereka!"

Pangeran Matahari melangkah menuruni bagian rimba yang berbentuk lembah itu. Seperti tidak melihat kedatangan orang, dua kakek nenek tadi terus saja menari-nari dan menyanyi, menabuh rebana dan meneguk minuman harum di dalam bumbung bambu.

Tiba-tiba suara nyanyian berhenti. Tabuhan rebana dan suara gemerincing kaleng-kaleng lenyap. Dua kakek nenek palingkan wajah masing-masing ke arah pemuda berjanggut hiru. Ketika Pangeran Matahari menatap wajah krrdua orang tua itu, astaga! Hatinya tergetar. Kakek dan nenek ini memiliki sepasang mata sengat merah dan tidak memiliki bagian mata berwarna putih!

"Jangan, jangan..." Ucapan dalam hati Pangeran Matahari terputus ketika tiba-tiba si nenek berpakaian aneh penuh tambalan itu berkata pada temannya.

"Hai, kedatangan tamu dari jauh. Akan diajak minum atau diajak menari...?" Kawannya si kakek yang juga berpakaian penuh tambalan menjawab setelah lebih dulu tertawa cekikikan.

"Minum dan menari soal kedua. Tapi apakah dia pandai menyanyi...?!"

Si nenek kini yang ganti tertawa cekikikan. "Hai! Apakah kau pandai menyanyi?!" Si kakek ajukan pertanyaan.

Pangeran Matahari menggeleng. "Ah, janggutmu saja yang keren tapi tak pandai menyanyi!" Si nenek tampak kecewa.

"Apa maumu datang ke mari?!" Si kakek bertanya. Rebana di tangan kiri diletakkannya di atas kepala lalu dia menurunkan tubuh, duduk bersila di tanah. Anehnya rebana yang tadi dijunjungnya tetap berada di batas kepalanya semula, seolah-alah rebana itu tergantung di udara, diikat oleh tali yang tak kelihatan!

Bergetarlah hati Pangeran Matahari. Dadanya berdebar. Yang dihadapinya saat itu mungkin bukan orang-orang gila, tetapi manusia-manusia sakti dengan kepandaian langka!

"Hai! Di mana rebana ku?!" Tiba-tiba si kakek berseru dan menoleh kian ke mari, lalu memegang-megang kepalanya mencari-cari. Kawannya tertawa terpingkal-pingkal.

"Tua bangka pikun! Itu rebanamu, bukankah kau tinggalkan di puncak gunung?!" Mendengar kata-kata kawannya itu, si kakek mendongak ke atas. Dia melihat rebananya mengapung di udara lalu tepuk kening sendiri seraya berkata, "Pelupa benar aku ini. Tolong kau ambilkan rebanaku itu nek!"

Si nenek angguk-anggukkan kepalanya. Aneh sekali. Rebana yang mengapung di udara itu bergerak turun naik lalu jring! Rebana itu hinggap kembali di atas kepala si kakek! Kedua kakek nenek itu kemudian tertawa terpingkal-pingkal.

"Siapa gerangan dua manusia aneh luar biasa ini..." membatin Pangeran Matahari. Karena hatinya merasa tidak enak maka dia memutuskan untuk segera tinggalkan tempat itu. Tapi baru saja dia membalikkan tubuh, tahu tahu si nenek sudah menghadang langkahnya.

"Aih, datang baik-baik kini hendak pergi begitu saja. Sungguh tidak tahu peradatan..."

Dia mungkin tak suka kita, nek. Biar saja dia pergi!"

"Tidak bisa... tidak bisa..." sahut si nenek sambil geleng-gelengkan kepala. "Aku harus tahu dulu mengapa dia datang ke mari. Jangan-jangan membawa maksud tersembunyi..."

"Betul... betul! Ayo orang muda berjanggut biru. Katakan mengapa kau datang dan mengganggu kami di sini? Kalau kau tidak muncul nyanyi dan tarian kami tak akan terganggu..."

"Aku sama sekali tidak membawa niat tersembunyi. Apalagi hendak mengganggu kalian. Hanya saja minuman yang kalian teguk itu baunya harum sekali, menebar jauh menimbulkan selera. Apalagi aku sedang kehausan..."

"Aih, itu rupanya. Mengapa kau tidak bilang dari tadi?" ujar si nenek. "Kalau cuma sebumbung arak harum, masakan aku tidak mau memberi. Asal saja kau minum dan habiskan di tempat ini!"

Dari balik pakaian anehnya nenek itu keluarkan sebuah bumbung bambu berisi penuh arak lalu menyodorkannya pada Pan geran Matahari. "Nah, kau minumlah sampai habis sepuasmu. Tapi minum di sini saja, janyan dibawa. Tabungnya aku masih perlu!"

"Terima kasih nek. Aku hanya butuh beberapa teguk. Tak perlu semuanya."

"Terserah padamu. Asal kau minum itu sudah tanda menghormat kami..." Pangeran Matahari menerima tabung bambu itu. Tiba-tiba saja saat itu hatinya mendadak tidak enak. Ketika mulut bambu didekatkannya ke bibirnya, hidungnya membau sesuatu di antara keharuman arak dalam bambu. Racun!

"Hai! Kenapa kau tidak segera minum? Apa arakku tidak enak? Jangan berani menghina..."

"Terima kasih. Kau ambil kembali arakmu. Aku baru ingat berpantang minum minuman keras..." jawab Pangeran Matahari pula.

Kemudian dilihatnya paras si nenek membersitkan kemarahan. Sepasang matanya yang merah seperti sambaran api.

"Kalau tidak kau minum, kubunuh kau!" Perempuan tua itu mengancam.

"Jangan terlalu memaksa! Aku tidak suka dipaksa!"

Pangeran Matahari menghardik. Kedua tangannya diletakkan di pinggang setelah lebih dulu mencampakkan tabung arak ke tanah. Terjadi hal yang hebat. Ketika arak dalam tabung terguyur ke luar, tanah dan pohon-pohon kecil yang tersiram tampak menjadi hitam dan mengepulkan asap. Marahlah Pangeran Matahari. Duyaannya betul!

"Tua bangka keparat! Kau hendak membunuhku dengan minuman itu!"

"Hik hikk hik..." si nenek tertawa cekikikan.

Pangeran Matahari cekal dada pakaian perempuan puan tua ini dan angkat tinggi-tinggi tubuh si nenek lalu menghempaskannya ke tanah. Tapi ternyata si nenek jatuh dengan dua kaki lebih dulu dan tetap dalam keadaan berdiri!

Dari samping kawannya melompat marah. "Berani kau berlaku kurang ajar pada kawanku? Nyawamu tidak akan kami ampuni! Kau memilih dibunuh atau bunuh diri?!"

Pangeran Matahari tertawa dingin. "Kalian belum tahu berhadapan dengan siapa!" Lalu dia buka pakaian luarnya yang berwarna biru. Di balik pakaian biru itu tampak pakaian hitam dengan gambar puncak gunung, matahari serta garis-garis sinar berwarna merah.

"Ah, pakaian jelek begitu hendak disombongkan! Kami sudah memutuskan kau harus mampus! Kecuali..." Si nenek menggantung ucapannya.

"Kecuali apa?!" sentak Pangeran Matahari.

"Kau menyerahkan pada kami peta rahasia telaga emas!"

Terkejutlah Pangeran Matahari mendengar kata-kata perempuan tua itu. Jelas dia sudah kena tipu hingga datang menghampiri dua tua bangka edan itu. Tapi bagaimana mereka tahu kalau dia membawa peta telaga emas?

"Siapa kalian sebenarnya?!"

Kakek dan nenek tertawa panjang. Lalu sama-sama menjawab seperti sudah diatur dan dihafal baik-baik.

"Dari utara sampai selatan, dari timur sampai barat, siapa tidak kenal Sepasang Setan Bermata Api...?"

"Celaka!" keluh Pangeran Matahari dalam hati begitu mendengar dan mengetahui siapa adanya kedua kakek nenek itu. "Kalau tidak dengan segala licik dan segala akal aku bisa celaka..." Lalu dia mundur selangkah seraya berkata. "Ah, tidak tahunya aku berhadapan dengan datuk-datuk dunia hitam yang ditakuti dalam rimba persilatan. Jika kalian yang meminta sesuatu padaku, mana aku berani menolak. Tapi bagaimana kalau kita sama-sama memecahkan teka-teki dalam peta itu. Hasilnya kita bagi tiga."

"Aku setuju!" ujar si kakek.

"Aku tidak!" menampik si nenek. "Peta itu harus kau serahkan padaku. Sama ini juga!"

"Kalau begitu pintamu baiklah..."

Pangeran Matahari masukkan tangannya ke balik pakaian hitam. Tapi di lain kejap tangan itu tiba-tiba melesat ke depan dalam serangan kilat berupa satu dorongan telapak tangan. Si nenek yang rupanya juga tidak bodoh dan telah waspada, begitu melihat tangan orang berkelebat, cepat pula gerakkan kedua tangannya sekaligus dan memukul ke depan.

"Bukkk...!"

Dua telapak tangan saling beradu. Di saat yang sama tangan kiri si nenek berhasil mencekal lengan Pangeran Matahari. Sekali dia membuat gerakan membetot maka tubuh Pangeran Matahari terlempar ke atas!

Meskipun berhasil membuat Pangeran Matahari jungkir balik di udara, namun si nenek menerima nasib mengenaskan. Bentrokan telapak tangan tadi membuat tubuhnya jatuh berlutut. Isi perutnya seperti dibetot-betot. Kepalanya seperti dihantam palu godam. Darah mengucur dari kedua telinga, hidung dan mulut! Dia telah menerima hantaman pukulan Merapi Meletus! Meskipun memiliki tenaga dalam tinggi, ternyata masih berada di bawah tingkat tenaga dalam Pangeran Matahari. Dalam pada itu si nenek juga kalah kesaktian!

Perlahan-lahan tubuh si nenek terkulai ke depan. Akhirnya roboh ke tanah tanpa nyawa lagi. Pukulan itulah yang beberapa hari lalu hampir menewaskan Ki Rana Wulung di puncak bukit Sawojajar kalau saja tidak diobati oleh Pendekar 212 Wiro Sableng!

Melihat kawannya mati, si kakek berteriak marah. Kedua tangannya membuat gerakan menggapai ke langit. Tetapi anehnya kedua tangan itu seperti mulur menjadi panjang dan di lain saat yang kiri melesat ke tenggorokan Pangeran Matahari sedang tangan yang kanan mencengkeram.ke arah selangkangannya!

Pangeran Matahari berseru kaget dan cepat menghindar selamatkan diri sambil lepaskan pukulan Merapi Meletus. Tapi gerakannya setengah jaIan dipapas secara cerdik oleh lawan dengan satu ketukan pada sikunya. Pangeran Matahari menjerit. Sekujur tubuhnya bergeletar. Tangan kanannya terkulai seperti lumpuh. Kagetlah si janggut biru ini. Sebelum lawan menyerbu untuk kedua kalinya dia segera menghantam dengan pukulan Telapak Matahari.

Ini merupakan satu dua tiga pukulan sakti yang dimilikinya. Angin deras menderu panas. Si kakek menjerit ketika dirasakannya tubuhnya seperti terpanggang. Dia memukul ke depan. Tapi semakin dia mengerahkan tenaga semakin keras hawa panas yang membakarnya. Sekujur tubuhnya tampak menjadi merah lalu mcngepul. Kakek bermata merah ini menjerit keras. Itulah suara terakhir yang bisa dilakukannya. Tubuhnya roboh ke tanah, meregang nyawa menyusul kawannya.

"Tua bangka-tua bangka keparat! Membuang-buang waktuku saja!" maki Pangeran Matahari. Sesaat dia meraba selangkangannya. Tengkuknya terasa rasa dingin. Kalau saja cengkeraman lawan tadi sempat menghancurkan anggota rahasianya, sekalipun dia bisa bertahan hidup maka hidupnya sengsara selama-lamanya!

Pangeran Matahari siap melangko pergi. Mendadak matanya tertancap pada sebuah benda dalam genggaman tangan kanan lelaki tua yang terbujur di tanah itu. Astaga! Pangeran ini memeriksa pakaiannya. Ternyata peta rahasia telaga emas itu tak ada lagi di tempat dia menyembunyikan di balik pakaian. Bagaimana benda itu kini berada dalam genggaman si kakek? Dia cepat menarik peta itu dari tangan mayat. Tapi ketika dia membungkuk tahu-tahu kaki kanan mayat bergerak menghantam perutnya!

Pangeran Matahari terlempar dan jatuh terguling di tanah! Perutnya seperti pecah. Nafasnya megap-megap. Bagaimana mungkin mayat bisa menendang? Kecuali kakek edan itu memang sebenarnya belum mati?!"

Pemuda berjanggut biru ini berdiri. Baru saja berdiri, di depannya si kakek ternyata telah terlebih dulu berdiri. Orang tua bermata merah ini dalam keadaan tubuh seperti hangus acungkan peta rahasia di tangan kanannya.

"Peta ini palsu!" berkata si kakek sambil campakkan benda itu ke tanah. Lalu dia melangkah pergi.

Pangeran Matahari cepat mengambil peta yang dicampakkan dan mengejar si kakek. Secara licik dari belakang dia lepaskan pukulan Telapak Matahari. Kali ini dengan kekuatan hampir dua pertiga tenaga dalamnya. Di depan sana tubuh si kakek terpental jatuh. Berguling-guling beberapa kali lalu tak bergerak lagi. Sang pangeran mendekat dan memeriksa. Tubuh si kakek sama sekali tak bergerak. Dada dan perutnya tidak menunjukkan tanda-tanda pernafasan. Tapi dia tak mau tertipu untuk kedua kalinya. Tumit kaki kirinya dihantamkan ke batok kepala si kakek.

"Prakkk" Kepala itu rengkah!

"Manusia aneh. Bagaimana tadi jelas-jelas sudah mampus bisa hidup lagi ...?" berkata Pangeran Matahari dalam hati penuh tak mengerti. Sambil melangkah pergi dan sesekali berpaling ke belakang. Seolah-olah khawatir kalau manusia aneh itu tiba-tiba hidup kembali dan menyerangnya!

Sambil melangkah di dalam rimba belantara itu telinga Pangeran Matahari seperti dingiangi terus menerus ucapan si kakek tadi. Peta itu palsu! Benarkah? Kalau palsu di mana yang asli? Apakah Ki Rana Wulung telah menipunya? Di satu tempat dia duduk menjelepok di tanah dan kembangkan peta rahasia telaga emas. Lama dia memperhatikan gambar gunung, sungai dan lingkaran bengkok serta tanda silang. Sebelumnya dia sudah meneliti peta itu berulangkali. Terus terang saja memang sulit untuk mengerti atau mendapatkan petunjuk. Tanda silang mungkin sekali tempat dimana harta berupa emas itu disembunyikan. Tapi sungai dan, gunung, sungai mana dan gunung apa?

"Gila! Jangan-jangan peta ini memang benarbenar palsu!" kata Pangeran Matahari seraya memukulkan tinju kanannya ke dalam telapak tangan kiri. "Bangsat tua itu telah memperdayaiku! Akan dirasakannya pembalasanku!"

********************

SEPULUH

MATAHARI telah condong ke barat. Di dalam kamarnya Ki Rena Wulung baru saja memasuki tahajud terakhir sembahyang Asar ketika tiba-tiba pintu kanrar itu didobrak hancur berantakan. Satu bentakan menggeledak. Sesosok bayangan biru berkelebat.

"Bangsat penipu! Kau akan mampus tersiksa!"

Dalam kekhusukan sembahyang Ki Rana Wulung sama sekali tidak sempat membuat serangan mengelak ketika satu tendangan menghantam dadanya. Orang tua yang baru saja mulai sembuh ini mencelat menghantam dinding di belakangnya. Dinding itu bukan saja jebol tapi tubuhnyapun terlempar ke luar dan jatuh di halaman samping bangunan!

Pangeran Matahari hantamkan kaki dan tangannya untuk menerobos dinding, langsung melompat ke hadapan Ki Rana Wulung yanq saat itu tergeletak megap-megap sementara darah kental menyembur tiada henti dari mulutnya.

"Manusia iblis..." Rutuk Ki Rana Wulung. Suaranya hampir tak terdengar karena kerongkongannya tersendat oleh darah.

Pangeran Matahari jambak rambut orang tua itu lalu hantamkan kepalanya ke tiang serambi. Rana Wulung mengeluh pendek lalu roboh pingsan. Pangeran Matahari tarik kain sarung yang dikenakan si orang tua. Dengan kain itu diikatnya kedua kaki Rana Wulung lalu kakek malang ini digantungnya kaki ke atas kepala ke bawah pada sebuah balok melintang di serambi rumah.

Selesai melakukan kebiadaban itu Pangeran Matahari memeriksa seluruh bangunan kayu bahkan sampai ke halaman. Setiap benda termasuk batu, pepohonan dan semak belukar ditelitinya. Tapi sampai sang surya mulai redup di ufuk barat apa yang dicarinya tidak ditemukan.

"Keparat betul! Di mana disembunyikannya peta itu."

Pangeran Matahari memandang berkeliling. Sesaat dia menatap tubuh tua yang tergantung tak bergerak itu. Entah sudah mati entah masih hidup. Pangeran Matahari, merasa jengkel dan tidak puas. Dia menggeledah sekali lagi. Mengelilingi bangunan untuk ke empat kalinya ketika tiba-tiba matanya melihat sehelai kertas lusuh terselip di bawah tikar yang terbentang di lantai serambi bangunan.

Surat itu adalah surat yang disampaikan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dikirimkan oleh gurunya di puncak Gunung Gede. Lama Pangeran Matahari merenung dalam menyelidik isi dan arti surat yang aneh itu. Di balik keanehan itu dia yakin tersembunyi sesuatu.

"Rahasia surat ini tersembunyi di balik kalimat muatan berusia tiga puluh tahun lebih... Hem..." Bergumam Pangeran Matahari sembari mengusap-usap janggutnya.

"Jangan-jangan... Bukan mustahil yang dimaksud dengan muatan adalah peta rahasia telaga emas itu! Bukankah peta itu sudah berumur tiga puluh tahun sejak diketahui muncul pertama kali dalam rimba persilatan...? Aku harus menyelidik ke puncak Gunung Gede..."

Namun setelah memikir sampai di situ, Pangeran Matahari menjadi gelisah. Datang ke puncak Gunung Gede sama saja masuk ke goa harimau. Dia masih ingat akan pesan gurunya Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat sebelum dilepas pergi. Ada tiga tokoh silat muda yang harus diperhatikannya karena memiliki ilmu kepandaian yang sulit ditandingi. Salah satu dari tiga pendekar itu adalah Wiro Sableng. Jika Wiro sudah dilihatnya begitu hebat, tentu sang guru jauh lebih berbahaya lagi. Mungkin dia hanya mencari mati jika muncul di Gunung Gede. Apalagi jika Wiro ada pula di sana.

"Tetapi bukan mutahil peta rahasia itu diberikannya pada murid perempuannya! Ah, bagaimana ini!" Pangeran Matahari tenggelam dalam jalan pikiran penuh segala duga. "Apakah aku harus menyelidiki pula ke Kotaraja dan mencari keponakan Tumenggung Puro Bekasan itu..." Kembali sang pangeran merenung. Otak iblisnya bekerja. "Pemuda itu... si gadis! Tolol! Mengapa aku tidak memanfaatkan segala akal, segala licik, segala cerdik!"

Dengan seringai muncul di wajahnya yang keras angkuh, Pangeran Matahari berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Tumenggung Puro Bekasan tengah mereguk kopi hangat di cangkir besar ketika pagi itu pengawal masuk memberi tahu bahwa seorang penebang kayu dari Tegal Jenar datang menghadap. "Seorang penebang kayu...?" mata Tumenggung Puro Bekasan mendelik karena merasa terhina ada seorang rendahan datang mengganggu ketenteraman dan kenikmatan sarapan paginya.

"Betul Kanjeng Raden Tumenggung, seorang penebang kayu dari Tegal Jenar..."

"Apa keperluannya. Atau kau usir saja dia..."

"Saya siap melakukan itu Kanjeng Raden. Hanya saja katanya dia datang membawa berita penting tentang Ki Rana Weleng, guru Den Ayu Ratih Weningputri, keponakan Kanjeng Tumenggung..."

"Hemm... Kalau begitu suruh dia masuk tapi panggilkan dulu keponakanku itu!"

Tak selang berapa lama Ratih datang menemui pamannya sementara dari arah halaman depan, pengawal muncul membawa seorang lelaki setengah tua yang melangkah terbungkuk-bungkuk. Di pinggang kanannya terselip sebuah kapak. Pakaiannya bukan saja lusuh tapi berselimut debu, juga mukanya yang mulai keriput bercelomong debu. Inilah si penebang kayu dari Tegal Jenar.

"Berita apa yang kau bawa...?" Tumenggung Puro Bekasan langsung bertanya begitu si penebang kayu menghatur sembah.

"Nama saya Timbul Karso, penebang kayu asal Tegal Jenar. Seminggu lalu saya menebang kayu di puncak bukit Sawojajar. Tidak seperti biasanya, hidung saya mencium bau busuk dan di langit saya lihat banyak burung gagak hitam pemakan bangkai terbang berputar-putar, menukik lalu terbang lagi berputar-putar. Karena merasa curiga saya naik ke puncak bukit. Saya tahu di situ diam orang tua sakti bernama Ki Rana Wulung. Saya juga tahu kalau keponakan Kanjeng Tumenggung adalah salah seorang muridnya..."

"Dari mana kau tahu kalau keponakanku adalah muridnya...?"

"Saya acap kali bertemu dengan orang tua itu. Kami sering berbincang-bincang. Satu kali dia menerangkan bahwa keponakan Tumenggung Puro Bekasan adalah salah seorang muridnya..."

Ratih yang merasa tidak enak ajukan pertanyaan. "Apa yang kau temukan di puncak bukit...?"

"Mengerikan sekali Den Ayu. Saya tak tega mengatakannya..."

"Jangan konyol!" sentak Tumenggung Puro Bekasan. "Kowe datang kemari untuk menyampaikan berita. Sesudah sampai di sini bicara segala macam tidak tega!"

"Maafkan saya Kanjeng Raden Tumenggung..." kata si penebang kayu seraya membungkuk-bungkuk. "Saya menemukan kakek itu telah menjadi mayat, tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Tubuhnya rusak dipatoki burung-burung gagak dan..."

"Kau tidak memberi keterangan dusta?!" Ratih ajukan pertanyaan setengah berteriak. Matanya membelalak tapi ada genangan air mata mengambang di kelopak matanya.

"Saya bersumpah den ayu. Saya datang dari jauh membawa berita atas apa yang saya saksikan. Saya tidak mengharapkan apa-apa..."

"Kau tahu siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" tanya Tumenggung Puro Bekasan.

Timbul Karso gelengkan kepala. "Saya tidak tahu Kanjeng Raden Tumenggung, saya tidak tahu..."

"Saya tahu siapa yang melakukan itu paman," Ratih menyahuti. "Ingat penuturan saya tentang manusia iblis berjanggut biru yang mengaku bernama Pangeran Matahari? Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukannya!"

"Tapi menurutmu, bukankan orang itu sudah pergi setelah dapatkan peta rahasia dari gurumu?"

"Betul. Mungkin kemudian dia mengetahui peta itu palsu. Lalu kembali ke bukit Sawojajar dan membunuh guru. Manusia iblis! Saya akan mencarinya. Saya mohon petunjukmu paman..." Ratih menyeka air mau yang meluncur di pipinya.

"Soal mencari Pangeran Matahari aku bisa mengirimkan pasukan. Namun yang penting saat ini adalah mengurus jenazah gurumu Ki Rana Wulung..." Tumenggung Puro Bekasan berpaling pada Timbul Karso. "Penebang kayu, aku harap kau mau membantu mengurus dan mengubur jenazah orang tua itu..."

"Jangan saya Kanjeng Raden Tumenggung, jangan saya. Terlalu mengerikan. Saya tidak berani."

"Cari orang-orang desa.Minta bantuan mereka. Jerih payah mereka akan kuganjar dengan bayaran setimpal."

"Paman," Ratih bersuara. "Izinkan saya pergi ke Sawojajar. Biar saya sendiri yang mengurus dan mengubur jenazah guru. Kasihan orang tua itu..."

Tumenggung Puro Bekasan berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk. "Kau boleh pergi. Lima orang pengawal kelas satu akan mendampingimu. Bawa kuda-kuda yang kuat. Berikan seekor kuda pada penebang kayu ini. Juga sejumlah uang atas budi baiknya..."

"Saya tidak mengharapkan pamrih apa-apa Kanjeng Raden Tumenggung..." kata si penebang kayu sambil membungkuk.

Tumenggung Puro Bekasan tersenyum. Dia bangkit dari kvrsinya. Sesaat dia menatap paras penebang kayu itu lalu masuk kedalam.

SEBELAS

Di dalam kamarnya setelah Ratih Weningputri meninggalkan Kotaraja, Tumenggung Puro Bekasan duduk merenung. Seorang sebaik dan sesakti seperti Ki Rana Wulung menemui kematian secara mengerikan begitu rupa. Sulit bisa dipercayainya. Sekeji itukah dunia persilatan.

Hatinya risau karena keponakannya Danupaya dibunuh oleh orang persilatan. Dan Ratih, keponakannya yang tinggal satu-satunya, apakah akan mengalami nasib sama? Berpikir sampai ke situ akhirnya Tumenggung Puro Bekasan memanggil perwira muda kepala pengawal gedung ketumenggungan.

"Aku merasa was-was dengan keselamatan Ratih. Bawa enam orang pengawal lagi dan susul rombongan mereka.

Ketika pengawal itu hendak berlalu, sang Tumenggung memanggil kembali. "Ada satu pertanyaan perwira muda. Jika ada seorang mengatakan dirinya penebang kayu, bisa kau menyebutkan hal-hal yang membuktikan bahwa dia memang benar-benar penebang kayu...?"

"Pertanyaan Kanjeng Tumenggung cukup sulit. Saya akan menjawab sebisanya..." jawab perwira muda itu. "Pertama, tentu saja orang itu akan memiliki tubuh kekar, otat-otot keras mulai dari betis sampai ke pangkal lengan..."

"Aku setuju dengan pendapatmu!" berkata Tumenggung Puro Bekasan. "Apa lagi..."

"Biasanya tubuhnya agak miring ke kanan, lehernya juga. Atau ke kiri. Tergantung apakah dia kidal atau tidak. Ini karena setiap menebang sikap tubuhnya akan tertumpu pada tangannya yang lebih kuat..."

"Yang ini aku kurang setuju. Tapi tak apa. Mungkinkah seorang penebang kayu bertubuh bungkuk?"

Sang perwira berpikir sejenak. "Kalau tubuhnya bungkuk... Yang bisa dilakukannya adalah membelah kayu. Untuk menebang pohon dia akan mengalami kesulitan..."

"Tepat seperti apa yang ada di benakku!" kata sang Tumenggung pula. "Sekarang tangannya. Bagaimana menurutmu bentuk tangan seorang penebang kayu?"

"Mungkin tangannya tidak besar. Tapi walaupun kecil akan tampak kukuh. Urat-uratnya menonjol di antara otot-otot. Jari-jari dan telapak tangannya kekar bahkan biasanya tebal kapalan... Tumenggung tahu arti kapalan...?"

"Dugaanku tepat! Timbul Karso tidak memiliki tangan seperti itu! Dia bukan penebang kayu!" Tumenggung Puro Bekasan hampir berteriak ketika mengucapkan kata-kata itu. Wajahnya jelas sekali membayangkan rasa kawatir.

"Perwira, siapkan dua puluh pengawal. Aku akan memimpin sendiri rombongan mengejar Ratih. Aku punya firasat keponakanku itu berada dalam bahaya!"

********************

Terbungkuk-bungkuk di atas punggung kuda, penebang kayu itu ternyata cekatan menunggang kuda. Sejak meninggalkan Kotaraja kudanya menempel terus di belakang kuda Ratih Weningputri yang berada paling depan. Lima pengawal kelas satu memacu kuda masing-masing di sebelah belakang.

Di satu pedataran jauh di luar Kotaraja, si penebang kayu berseru, "Den Ayu... Saya tahu jalan memintas menuju bukit Sawojajar. Kita bisa sampai satu hari lebih cepat..."

Ratih diam saja. Pikirannya tengah terpusat pada suatu hal yang lain. "Tentunya jika Den Ayu setuju. Saya hanya menyarankan... Saya khawatir keadaan jenazah orang tua itu akan tambah rusak oleh cuaca dan burung-burung gagak..."

"Kalau memang ada jalan yang lebih pendek tentu saja aku setuju," terdengar jawaban Ratih. "Kau silahkan memimpin di sebelah depan!" Gadis ini membawa kudanya ke samping memberi jalan pada kuda Timbul Karso.

Sepanjang siang sampai menjelang sore rombongan itu bergerak menyusuri kaki bukit-bukit kecil, lalu menembus hutan jati. Ketika keluar dari hutan jati menjelang sore tahu-tahu mereka sudah sampai di seberang sebuah sungai. Ratih terkejut. Sungai ini adalah sungai yang biasa diseberanginya bersama Danupaya pada setiap kali mengunjungi Ki Rana Wulung di puncak Sawojajar.

"Ah, jalan memintas yang kita lalui benar-benar lebih dekat..." kata Ratih pada Timbul Karso. "Kalau tahu, tentu dulu-dulu aku akan mengambil jalan ini setiap kali menyambangi guru. Mari kita menyeberangi sungai. Sampai di seberang kita beristirahat dulu. Menjelang malam kita teruskan perjalanan."

"Saya mengikut saja Den Ayu..." jawab Timbul Karso.

Karena air sungai cukup jernih dan bersih, lima pengawal dalam rombongan itu tertarik untuk turun ke air. Mereka membuka pakaian luar masing-masing lalu pergi mandi. Si penebang kayu duduk melepaskan lelah di bawah sebatang pohon jati sementara Ratih mengasingkan diri di satu tempat agak ketinggian di tebing sungai yang terlindung semak belukar.

Malam mulai turun, udara siang yang panas berubah sejuk, Ratih bangkit berdiri dari balik semak belukar itu. Ketika dia kembali ke tempat para pengawal berada didapatinya Timbul Karo masih duduk bersandar ke pohon jati, kedua matanya terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur. Gadis itu memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat para pengawal itu. Menyangka mereka masih asyik-asyikan mandi di tikungan sungai, Ratih membangunkan si penebang kayu.

"Bangun! Sudah saatnya meneruskan perjalanan. Tolong kau panggilkan para pengawal!"

Timbul Karso mengusap-usap kedua matanya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia berdiri. "Maafkan saya. Terlalu letih sampai ketiduran. Saya akan panggil pengawal-pengawal itu..."

Lalu penebang kayu ini melangkah ke tikungan sungai. Sesaat kemudian terdengar teriakannya dari arah tikungan itu. Dia kemudian muncul setengah berlari.

"Den Ayu... Den Ayu..." serunya berulang kali.

Ratih Weningputri segera mendatangi. "Ada apa...?"

"Celaka! Lihat sendirilah... Mereka..."

Ratih berlari cepat menuju tikungan sungai. Timbul Karso mengikuti terbungkuk-bungkuk dari belakang. Gadis itu serta merta hentikan larinya ketika pandangan matanya membentur lima sosok tubuh pengawal kelas satu malang melintang di tepi sungai. Kelimanya telah jadi mayat dengan kepala pecah!

"Pembunuhan!" teriak Ratih marah sambil kepalkan kedua tinjunya.

"Mungkin binatang buas..."

"Tidak bisa jadi. Kalau binatang buas pasti ada bagian tubuh mereka yang lenyap digerogot."

"Atau hantu..."

"Bukan hantu! Bukan binatang buas! Mereka mati dibunuh! Benar-benar keji!" Ratih memandang berkeliling.

"Kalau dibunuh, siapa pembunuhnya?" bertanya Timbul Karso dan ikut-ikutan memandang berkeliling.

Tentu saja Ratih tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia diam saja. Mulutnya terkancing tapi kemarahannya menggelegak. Ketika rasa amarah itu dapat ditekannya dan pikiran sehat kembali muncul, diam-diam gadis ini merasa kawatir. Jika ada orang yang membunuh lima pengawalnya yang berkepandaian tinggi, berarti keselamatannya pun ikut terancam.

"Kita tinggalkan tempat ini sekarang juga!" Ratih memutuskan.

"Mayat lima pengawal itu...?" tanya si penebang kayu.

"Kau ceburkan mereka ke sungai. Biar arus membawanya ke laut!"

Timbul Karso melakukan apa yang dikatakan gadis itu. Ketika dia kembali ke tempat Ratih, dilihatnya gadis itu sudah duduk dipunggung kuda.

"Lekas naik ke kudamu. Kita berangkat sekarang!"

Ratih sesaat terheran ketika dilihatnya si penebang kayu gelengkan kepala. Lalu tubuhnya yang sejak pertama kali dilihatnya selalu terbungkuk-bungkuk kini tampak naik melurus. Ternyata dia memiliki badan tinggi semampai.

"Hai!" seru Ratih. "Sandiwara apa yang kau lakukan ini!"

"Terserah kau menamakan sandiwara apa. Tapi sandiwara ini cukup sampai di sini!"

"Suaramupun lain. Tidak seperti sebelumnya!"

Si penebang kayu keluarkan tawa bergelak. Ratih lebih terkejut. Dia rasa-rasa pernah mengenali atau mendengar suara tertawa seperti itu sebelumnya. "Ah, matamu tidak terlalu tajam untuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" Si penebang kayu membuka mulut sambil menanggalkan bajunya yang lusuh dan dekil. Ternyata dia mengenakan pakaian lain di bawah pakaian kotor itu. Pakaian berwarna biru!

Berubahlah paras Ratih. Dadanya berdebar. "Tak mungkin dia! Pakaian bisa sama tapi wajahnya jelas bukan dia!"

Seperti membaca apa yang ada di hati si gadis, lelaki berpakaian biru yang tadinya mengaku bernama Timbul Karso dan penebang kayu dari Tegal Jenar, gerakkan tangan kirinya ke wajahnya. Ketika tangan itu diturunkan, ada selapis topeng sangat tipis ikut tertarik dan tanggal. Kini kelihatan wajahnya yang asli. Satu wajah dengan rahang menggembung membersitkan kecongkakan dan kekerasan, tetapi juas dihiasi janggut berwarna biru pada dagunya!

Paras Ratih Weningputri seputih kain kafan! "Kau..." desis gadis ini dengan lidah hampir kelu.

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. "Senang bertemu aku kembali...?"

Tidak tunggu lebih lama Ratih gebrak pinggul kudanya. Tapi seperti kejadian sewaktu bersama Danupaya dulu, kuda tunggangannya sama sekali tidak bisa bergerak, hanya leher binatang itu saja yang menjulur-julur. Tubuh dan empat kakinya tidak bergeming sedikitpun!

"Kau mau buru-buru ke mana gadis jelita? Perjalananmu cukup sampai di sini. Kalaupun kita berangkat maka kau harus menurut ke mana mauku!"

"Manusia iblis! Kau pasti yang telah membunuh kelima pengawalku!"

Mereka tidak cukup pantas mengawal gadis secantik dan semulusmu! Aku lebih layak!" Habis berkata begitu Pangeran Matahari melompat ke punggung kuda dan duduk di belakang Ratih. Kedua tangannya langsung merangkul dada gadis itu. Hidungnya meluncur ke tengkuk putih yang ditumbuhi rambut-rambut halus.

"Iblis terkutuk! Lepaskan!" teriak Ratih. Kedua sikutnya dihantamkarr ke belakang. Tapi disadarinya kalau saat itu dia tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Hanya jalan suaranya yang masih terbuka. Pangeran Matahari telah menotoknya! Bahaya besar mengancam. Dan kini agaknya tak ada seorang lainpun yang bisa menolongnya! Tidak hantu tidak pula malaikat! Ratih menjerit-jerit sementara Pangeran Matahari terus menciumi dan merabai dadanya.

"Hentikan jeritanmu!" bentak sang pangeran. "Dengar baik-baik! Nyawa dan kehormatanmu ada di tanganmu! Nyawa dan kehormatanmu bagiku tidak ada harganya. Karenanya jika ingin selamat dengar dan jawab pertanyaanku!"

"Turun dari kuda ini! Kalau tidak aku tak akan menjawab! Lepaskan totokan di tubuhku!"

"Kau tidak layak memerintah! Kau yang harus mendengar apa yang kukatakan! Menjawab apa yang kutanyakan! Mengerti?!" hardik Pangeran Matahari.

Kalau tadi tangannya hanya meraba dari luar, kini dengan lebih kurang ajar sepuluh jari tangannya menyelusup ke balik pakaian gadis itu. Ratih merasakan tubuhnya seperti terbakar oleh rasa malu dan amarah yang bukan alang kepalang.

"Di mana peta telaga emas itu..." Pangeran Matahari ajukan pertanyaan.

"Tak ada padaku!" sahut Ratih.

"Kalau tak ada padamu dan juga tak ada pada gurumu..."

"Kau telah membunuh guruku!"

"Diam!" teriak Pangeran Matahari sambil sepuluh jarinya meremas.

"Kalau peta itu tak ada padamu, juga tak ada pada gurumu, lantas di mana? Siapa yang memegangnya?!"

"Guru telah memberikan pada pemuda bergelar Pendekar 212 Wiro Sableng itu...!"

"Hemmm, begitu? Lalu di mana pemuda itu sekarang berada. Kau pasti tahu!"

"Dalam perjalanan ke tempat kediaman gurunya di puncak Gunung Gede! Kalau kau inginkan peta itu silahkan pergi ke sana. Kalau saja kau mampu merampasnya! Kalau saja kau tidak takut dia akan memecahkan kepalamu seperti kau memecahkan kepala pengawal-pengawal itu!"

Pangeran Matahari tertawa mengekeh. "Apa sulitnya menghadapi pemuda tolol itu!"

"Kecongkakanmu kosong belaka! Buktinya ketika dia menggebrakmu di puncak bukit Sawojajar, kau melarikan diri.

"Diam!" hardik Pangeran Matahari. "Kau ikut aku ke Gunung Gede! Jika bangsat bernama Wiro Sableng itu tidak mau berikan peta telaga emas padaku, kau akan kubunuh!"

Ratih hanya bisa kertakkan geraham. Saat itulah terdengar suara siulan nyaring dari arah sungai. Lalu suara orang keluar dari air. Sesaat kemudian sesosok tubuh yang rupanya baru saja berenang menyeberang muncul di pinggiran sungai. Begitu muncul orang ini keluarkan ucapan,

"Siapa inginkan peta telaga emas silahkan berurusan denganku! Jangan berlaku seperti banci hanya berani pada perempuan!"

Ratih dan juga Pangeran Matahari segera mengenali suara itu.

"Pendekar 212!" seru sang dara.

DUA BELAS

Yang tegak, di tebing sungai memanglah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Dia berdiri bertolak pinggang dalam keadaan basah kuyup. Senyum seenaknya bermain di mulutnya.

"Pangeran Banci! Turun dari kudamu!" menghardik Wiro.

Mendidih darah Pangeran Matahari dipanggil dengan sebutan Pangeran Banci itu. Tapi terlalu bodoh jika dia harus memenuhi permintaan orang. Dengan menguasai Ratih, berarti dia akan menguasai keadaan. "Pemuda sedeng! Jika kau inginkan gadis ini selamat lekas serahkan peta telaga emas!"

"Jika begitu janjimu, aku akan memenuhi!" sahut Wiro tanpa tedeng aling-aling.

Lalu dia membuka simpul ikatan kain kepalanya. Melihat hal ini Ratih cepat berteriak, "Jangan serahkan padanya. Demi arwah guru aku bersedia mati dari pada peta jatuh ke tangan iblis berjanggut biru ini!"

"Jangan tolol!" menghardik Wiro. "Harta bisa dicari tapi nyawa dan kehormatan tak ada gantinya!"

Dari ikatan kain kepalanya Wiro keluarkan segulung kain hitam. Itulah peta telaga emas yang diterimanya dulu dari Ki Rana Wulung untuk disampaikan pada gurunya Sinto Gendeng.

"Kau pengecut! Manusia tidak berbudi!" teriak Ratih pada Wiro. "Guru terlalu bodoh menyerahkan peta itu padamu!"

Wiro tidak perdulikan teriakan si gadis. Dia ulurkan tangan kanannya pada Pangeran Matahari. "Ini yang kau inginkan. Ambillah!"

Manusia segala cerdik segala licik dan segala akal seperti Pangeran Matahari tidak sebodoh itu saja mau menerima langsung gulungan kain peta dari tangan Wiro.

"Lemparkan peta itu ke dekat batu hitam sana. Lalu melangkahkah mundur dan masuk ke dalam sungai!"

Wiro menyeringai. Seperti yang diperintahkan Pangeran Matahari, gulungan kain hitam berisi peta rahasia telaga emas dilemparkannya ke dekat sebuah batu hitam yang terletak di tepi sungai. Lalu dia melangkah mundur dan perlahan-lahan masuk ke dalam sungai sampai sebatas dada.

Sambil memeluk Ratih, Pangeran Matahari membuat lompatan dari punggung kuda. Tetapi pada saat itu sang kuda yang sejak tadi tertegun tak bisa bergerak, tiba-tiba saja seperti ada yang memusnahkan kekuatan aneh yang menguasai dirinya. Binatang ini meringkik keras sambil angkat kedua kakinya ke atas. Gerakan melompat yang dilakukan Pangeran Matahari walaupun berhasil namun tubuh Ratih keburu jatuh, tidak melayang bersama-sama tubuhnya. Di saat yang sama Pendekar 212 Wiro Sableng menghambur keluar dari dalam air sungai!

********************

Meskipun bergerak kencang seharian suntuk tanpa istirahat tapi rombongan yang dipimpin oleh Tumenggung Puro Bekasan masih belum dapat mengejar atau menemui rombongan Ratih. Di satu tempat sang Tumenggung memerintahkan rombongan berhenti dan berunding dengan perwira muda yang ikut bersamanya.

"Mereka pasti tidak menempuh jalan biasa! Ada di antara kalian mengetahui jalan lain?"

Seorang pengawal maju ke muka. "Setahun silam ketika saya ikut membasmi gerombolan rampok Warok Kutoireng, saya dan sejumlah perajurit melewati jalan setapak di kaki-kaki bebukitan. Kalau jalan itu masih ada, mungkin kita bisa lebih cepat sampai di Sawojajar..."

"Tak ada pilihan lain! Ikuti jalan itu. Kau memimpin di depan!"

Jalan yang mereka lalui ternyata memang jalan yang sebelumnya telah diambil oleh Pangeran Matahari. Ketika Wiro dan sang Pangeran saling berhadapan di tepi sungai, rombongan ini sampai pula di tempat tersebut. Tumenggung Puro Bekasan langsung memerintahkan puluhan perajurit mengurung tempat itu.

Saat itu Pangeran Matahari tengah berpikir keras untuk mengambil keputusan. Apakah dia akan serta merta mengambil peta yang dicampakkan Wiro di atas tanah atau terlebih dahulu menguasai Ratih kembali untuk jaminan keselamatan dirinya. Namun ketika dia melihat munculnya pasukan dari Kotaraja dibawah pimpinan Tumenggung Puro Bekasan, manusia iblis ini memutuskan untuk langsung mengambil peta yang tercampak di tanah lalu meninggalkan tempat itu.

Maka diapun membuat lompatan kilat untuk mengambil peta yang terbuat dari kain tergulung itu. Serambut lagi jari-jari tangannya akan menyentuh kain hitam, mendadak sontak gulungan kain itu mencelat terbang ke arah Wiro Sableng! Kejut sang Pangeran bukan alang kepalang. Wiro sendiri keluarkan suara tertawa mengejek sambil gulung benang hitam yang diikatkannya ke gulungan kain hitam!

"Manusia segala lick segala cerdik segala akal! Hari ini kau tertipu oleh selembar benang!"

"Bangsat rendah! Mampuslah!" teriak Pangeran Matahari.

Dua tangannya dihantamkan ke depan. Satu ke arah Wiro dan satu lagi ke arah Ratih yang masih terduduk di tanah sehabis jatuh dari kuda tadi. Sinar kuning, merah dan hitam melesat keluar dari tangan kiri kanan manusia iblis berjanggut biru tua. Ternyata dia lepaskan pukulan maut ganas bernama Gerhana Matahari! Terdengar suara menggelegar dahsyat disertai hawa panas luar biasa. Ratih menjerit.

Tumenggung Puro Bekasan keluarkan seruan tertahan. Orang ini coba menyerbu ke depan untuk menolong keponakannya tetapi hawa panas membuatnya mundur teratur. Dia tak berani mencoba lagi karena kepandaian apapun yang dimilikinya saat itu tidak sanggup menembus sinar menggidikkan yang keluar dari pukulan sakti Pangeran Matahari. Perwira muda dan para pengawal lainnyapun lebih tak berdaya lagi.

Wiro berseru tegang. Dari tempatnya berdiri jarak Ratih dengan Pangeran Matahari lebih dekat berarti pukulan lawan bisa sampai lebih dulu dari pada yang ditujukan padanya. Tanpa pikir panjang lagi, sambil siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri kanan, Wiro melompat ke depan.

Ratih kembali terdengar menjerit, ketika dua larik sinar menyilaukan yang juga mengandung hawa panas luar biasa menggebu-gebu menyongsong sinar pukulan maut Pangeran Matahari.

Kawasan tepi sungai itu seputar jarak dua pupuluh tombak terang benderang dan menggelegar seperti dilanda gempa. Belasan perajurit pengawal jatuh berkaparan. Ratih terguling-guling tapi selamat. Tumenggung Puro Bekasan dan perwira muda yang tetap disampingnya tergontai-gontai lalu cepat-cepat berpegangan ke pohon agar tidak terhempas jatuh.

Ketika asap hitam merah bercampur kuning musnah dilabrak cahaya dahsyat pukulan sinar matahari, kobaran api tampak di beberapa pohon. Asap hitam bergulung-gulung. Wiro tak mau tertipu oleh kelicikan lawan. Dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 lalu melompat masuk ke dalam asap tebal dan sini putar senjata mustikanya itu untuk mencegah kalau-kalau Pangeran Matahari tanpa kelihatan lepaskan pukulan-pukulan sakti secara membokong. Suara seperti ribuan tawon mengamuk keluar dari desingan kapak membuat suasana di tempat itu bertambah rnengerikan dan menegangkan.

Perlahan-lahan asap hitam tebal mulai berkurang lalu akhirnya pupus lenyap sama sekali. Api yang membakar dedaunan dan ranting pepohonan perlahan-lahan padam. Semua orang memandang berkeliling dengan rasa tegang masih menyungkup.

Pendekar 212 Wiro Sableng tegak di tengah kalangan pertempuran sambil melintangkan Kapak Naga Geni 212 di depan dada. Pangeran Matahari tak tampak lagi di tempat itu. Tetapi di tanah kelihatan gumpalan darah kental. Wiro maklum musuh besarnya itu telah terluka di dalam dan memuntahkan darah segar.

Setelah sekali lagi meneliti keadaan sekelilingnya untuk memastikan bahwa Pangeran Matahari betul-betul telah melarikan diri dari situ, Wiro masukkan senjata mustikanya ke balik pakaian. Lalu melangkah mendapatkan Ratih yang tengah diurut-urut oleh Tumenggung Puro Bekasan untuk melepaskan totokan yang membuat kaku sekujur tubuhnya. Tapi sang Tumenggung ternyata tidak berkemampuan membebaskan keponakannya itu.

"Maafkan saya," kata Wiro seraya berlutut di samping Ratih. Dipegangnya urat besar di leher sang dara. Di situ terasa darah mengalir seperti biasa. Berarti totokan Pangeran Matahari tidak bersarang di situ. Wiro memeriksa lagi. Lalu garuk-garuk-garuk kepala.

"Bagaimana orang muda, kau tak bisa menolongnya?" tanya Tumenggung Puro Bekasan dengan cemas.

"Bisa Tumenggung. Tapi tidak di sini. Terlalu banyak mata yang menyaksikan..." Lalu Wiro mendukung tubuh Ratih dan membawanya ke balik semak belukar. Di sini gadis itu dibaringkannya di tanah.

"Maafkan saya..." kata Wiro sekali lagi. Lalu dengan cepat membuka dada pakaian si gadis.

Ratih mengatupkan mulutnya dan memejamkan matanya rapat-rapat. Dirasakannya sepasang tangan pendekar itu mendekapi payudaranya. Ada hawa panas menjalar. Lalu ada jari yang menusuk pada sebelah bawah. Setelah itu totokan yang menguasai tubuhnya pun punah. Gadis ini melompat bangun seraya menutup dada pakaiannya dengan cepat dan paras merah karena jengah.

"Aku tak tahu harus mengucapkan apa padamu, Wiro. Hutang budi dan hutang nyawa, hutang kehormatan..."

Wiro tertawa kecil. "Soal hutang piutang itu adalah urusannya pedagang, bukan urusan kita orang-orang tolol! Aku harus pergi sekarang. Di lain waktu aku akan menyambangimu di Kotaraja."

"Tidak! Kau harus ikut kami sekarang ke Kotaraja!" berkata Ratih.

Wiro gelengkan kepala. "Lain kali saja. Aku harus menemui guru guna melaporkan semua yang terjadi. Selamat tinggal sahabat. Jaga dirimu baik-baik..."

Sehabis berkata begitu Wiro susupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian sang dara. Hal ini membuat Ratih tersentak kaget. Dia sama sekali tidak marah diperlakukan seperti itu. Tetapi sekurang ajar itukah pemuda satu ini? Sama seperti Pangeran Matahari...?

Ratih mengusap dadanya yang tadi disentuh Pendekar 212. Terasa ada sesuatu yang terselip antara dada dan pakaiannya. Ketika diperiksanya ternyata benda itu adalah gulungan kain hitam yang bukan lain adalah peta rahasia telaga emas! Mengertilah kini sang dara apa sebenarnya maksud pemuda itu tadi meraba dadanya. Bukan untuk sesuatu yang kurang ajar, tapi guna menyelipkan benda berharga itu.

"Pemuda nakal..." desis Ratih. Di bibirnya tersimpul senyum bahagia. "Entah kapan aku bisa melihatnya lagi..."

Semak belukar di samping kiri Ratih tiba-tiba terkuak. Satu kepala muncul. Ternyata Tumenggung Puro Bekasan.

"Hai, mana pemuda hebat itu?" bertanya sang Tumenggung.

"Dia lenyap seperti ditelan malam..." sahut Ratih.

"Hanya setan yang bisa lenyap secepat itu," ujar Tumenggung Puro Bekasan.

"Atau malaikat..." sahut sang dara dan senyum masih tersimpul di bibirnya yang merah.
T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar